fbpx

Kewajiban Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri dalam SPT Tahunan PPh

Direktur Jenderal Pajak mewajibkan pelaporan utang swasta luar negeri dalam SPT Tahunan PPh Badan. Walaupun ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015 berlaku baik bagi wajib pajak badan maupun orang pribadi tetapi Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2017 hanya mewajibkan kepada wajib pajak badan saja.

Kewajiban melaporkan utang swasta muncul di Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Kemudian Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2017 mengatur lebih lanjut media kewajiban pelaporan utang swasta luar negeri.

Pasal 7 ayat 2 PER-25/PJ/2017 berbunyi :

Dalam hal Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki utang swasta luar negeri, Wajib Pajak juga wajib menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Selain itu, PER-25/PJ/2017 mengatur format perbandingan utang dan modal. Sehingga ada 2 (dua) lampiran SPT Tahunan yang harus dibuat, yaitu :

  1. Laporan Penghitungan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal; 
  2. Laporan Utang Swasta Luar Negeri.

Kewajiban penyampaian laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal dan laporan utang swasta luar negeri mulai berlaku sejak tahun pajak 2017. 

Sehingga bagi wajib pajak yang sedang menyiapkan SPT Tahunan dan ada utang swasta, segera siapkan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dan Laporan Utang Swasta Luar Negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Berikut contoh format laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal :

raden agus suparman : contoh format laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal (Laporan DER)

 

 

Sedangkan contoh format laporan utang swasta luar negeri sebagai berikut :

raden agus suparman : contoh format laporan utang swasta luar negeri
Aturan DER (Debt to Equity Ratio) di Indonesia
Besarnya perbandingan antara utang dan modal sering disingkat DER, yaitu singkatan dari debt to equity ratio. DER menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin besar angka DER menunjukkan semakan besar komposisi utang dibandingkan dengan modal sendiri.
 
DER pertama kali diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985. Keputusan ini menetapkan DER setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3 : 1).
 
Sayang tahun berikutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 ditunda pelaksanaannya oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985.
 
Aturan DER muncul lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Aturan ini membatasi  DER setinggi-tingginya empat dibanding satu (4 : 1). Hanya saja aturan DER terakhir dikecualikan bagi :
  1. Wajib Pajak bank;
  2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
  3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
  4. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
  5. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
  6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Perpajakan sangat berkepentingan dengan pengaturan DER karena terkait dengan kewajaran biaya pinjaman. Bagi biaya pinjaman yang tidak wajar, maka biaya tersebut dianggap bukan biaya.


Biaya pinjaman yang tidak memenuhi ketentuan DER diatas (lebih dari 4), dianggap sebagai dividen bagi pihak yang menerima atau memperolehnya dan dikenakan pajak pada saat biaya pinjaman tersebut dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya, jika penerima biaya pinjaman memiliki hubungan istimewa. Karena dianggap dividen, maka bukan biaya dan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika tidak memiliki hubungan istimewa, tentu bukan dividen tetapi bukan biaya juga. Yang pasti, atas kelebihan diatas 4 tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
 
Tetapi jika nominal saldo equitas Rp0 (nol rupiah) atau minus rupiah, maka biaya pinjaman tersebut seluruhnya dianggap bukan biaya dan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
 
Ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan terkait hubungan istimewa tetap berlaku. Jadi biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
 
Berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pula maka tidak mungkin ada pinjaman tanpa bunga. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2010 pinjaman tanpa bunga dibolehkan dengan syarat.
 
Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:
  • pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
  • modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
  • pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
  • perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 
 
 
 
 
 

Author: Raden Agus Suparman

Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com atau 08888110017 Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.

Eksplorasi konten lain dari Tax Advisor

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca