fbpx

Pertanyaan dan Jawaban Tentang PPh Setengah Persen

PPh Setengah Persen adalah kemudahan yang diberikan oleh pemerintah

PPh Setengah Persen (0,5%) salah satu fasilitas yang diberikan oleh pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak UKM. Pengenaan tarif 0,5% berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018. Peraturan ini menggantikan Peraturan Pemerintah nomor 46 yang mengatur tarif final 1% untuk UKM.

Seperti disebutkan di bagian penjelasan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018 (PP 23) bahwa tujuan PP 23:

  • untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya;
  • untuk mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal;
  • Untuk lebih memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan.

Wajib Pajak kelas UKM cukup diwajibkan membayar pajak setengah persen dari omset. Pajak yang dikenai adalah pajak penghasilan. Sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN) tidak diwajibkan karena ambang batas kewajiban PPN sama dengan ambang batas PPh setengah persen yaitu 4,8 miliar rupiah. Omset setahun.

Tarif PPh Setengah Persen ini bersifat final. Yaitu omset setiap bulan dikalikan dengan 0,5%. Kenapa dari omset, bukan dari keuntungan? Semua pajak penghasilan yang menggunakan metode final menggunakan dasar pengenaan dari omset. Alasannya untuk kemudahan penghitungan. Cocok dengan tujuan pengaturan.

Wajib Pajak PP 23

Kapan Mulai Berlakunya PP 23?

PP 23 menggantikan PP 46. Mulai berlakunya PP 23 sejak 1 Juli 2018. Artinya, Wajib pajak yang semula membayar PPh 1% berdasarkan PP 46 maka sejak masa pajak Juli 2018 wajib bayar PPh hanya 0,5%.

Karena bayar pajak ke kas negara dilakukan pada bulan setelah masa pajak, maka untuk masa pajak Juli 2018 paling telat dibayarkan bulan Agustus 2018.

Jika sudah telanjur membayar 1%, maka atas pembayaran tersebut yang setenganya dapat digeser ke masa pajak berikutnya melalui mekanisme Pemindahbukuan, biasa disingkat Pbk. Formulir Pbk dapat diunduh di blog ini.

Siapa Yang Dapat Memanfaatkan PP 23?

Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan PPh Setengah Persen adalah Wajib Pajak:

  • orang pribadi, dan
  • badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas

yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak.

Namun demikian, PP 23 memberikan batasan waktu untuk memanfaatkan fasilitas PPh Setengah Persen. Batasan waktu menurut PP 23:

  • orang pribadi dibatasi selama 7 tahun sejak 2018.
  • badan perseroan terbatas (PT) selama 3 tahun sejak 2018
  • badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, dan firma dibatasi 4 tahun sejak 2018.

Artinya, untuk PT wajib menggunakan tarif PPh umum di tahun 2021 walaupun omset tahun sebelumnya masih Rp 4,8 miliar. Karena PP 23 berlaku sejak Juli 2018 maka kewajiban tarif PPh umum juga berlaku mulai Juli 2021.

Begitu juga dengan koperasi, CV, dan Fa wajib menggunakan tarif PPh umum di bulan Juli 2022. Sedangkan orang pribadi akan diwajibkan di tahun 2025.

Wajib pajak yang baru terdaftar di tahun 2019, dan seterusnya, tentu ketentuan tahun diatas dihitung sejak terdaftar.

subjek PP23

Terdapat pengecualian Wajib Pajak yang tidak memanfaatkan PP 23, yaitu:

  • Wajib Pajak yang memilih menggunakan tarif umum pajak penghasilan walaupun omset masih di bawah Rp 4,8 miliar.
  • CV atau Firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus dan menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
  • Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pasal 31A Undang-undang PPh atau Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2010.
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pasal 31A Undang-undang PPh berupa fasilitas pengurangan penghasilan neto, penyusutan dan amortisasi dipercepat, kompensasi kerugian lebih lama, dividen ke SPLN sebesar 10% atau sesuai P3B). Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010  berupa fasilitasi berupa pembebasan atau pengurangan PPh Badan.

Keahlian khusus dan pekerjaan bebas yang dimaksud yaitu:

  1. tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris);
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/wati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi;
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Jenis penghasilan pekerjaan bebas diatas merupakan penghasilan yang dikecualikan. Jadi untuk penghasilan pekerjaan bebas pengecualian tidak hanya berlaku untuk anggota CV atau Firma tetapi termasuk orang pribadi.

Berikut pengecualian penghasilan yang dikecualikan dari PP 23:

  • penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
  • penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final (lainnya); dan
  • penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak (Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh).
bukan objek PP23

Jika saya rangkum, PP 23 tidak dikenakan terhadap:

  1. Wajib Pajak yang memiliki omset di atas Rp 4,8 miliar setahun,
  2. Wajib Pajak yang telah melebihi batas waktu,
  3. Wajib Pajak memilih tarif PPh umum,
  4. Wajib Pajak CV, Firma, dan orang pribadi yang menyerahkan jasa pekerjaan bebas,
  5. Wajib Pajak yang memiliki fasilitas PPh sesuai Pasal 31A Undang-undang PPh dan PP 94 tahun 2010,
  6. Wajib Pajak BUT,
  7. Penghasilan jenis final selain PP 23,
  8. Penghasilan dari luar negeri yang sudah dikenai pajak di luar negeri,
  9. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh.

Bagaimana Memilih Tarif PPh Umum?

Salah satu kerugian menggunakan metode PPh final adalah tidak boleh rugi. Mungkin pada kenyataannya Wajib Pajak mengalami rugi komersial, tetapi dalam PPh Final, Wajib Pajak yang mengalami kerugian pun wajib bayar pajak. Inilah kelemahan PPh Final.

PP 23 memberikan pilihan bagi Wajib Pajak untuk memilih menggunakan PPh tarif umum. Artinya wajib pajak tersebut membayar PPh jika secara fiskal memiliki penghasilan neto (tidak rugi).

Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.03/2018 mengatur bahwa Wajib Pajak dapat memilih menggunakan tarif PPh umum dengan cara mengajukan permohonan ke kantor pajak terdaftar.

  • Bagi Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebelum 1 Juli 2018, paling lambat pada akhir Tahun Pajak dan Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya.
  • Wajib Pajak yang terdaftar 1 Juli sampai dengan 31 Desember 2018, menyampaikan permohonan paling lambat 31 Desember 2018. Tarif PPh umum berlaku sejak terdaftar sampai dengan 31 Desember 2018.
  • Terdaftar mulai 1 Januari 2019 dan seterusnya, menyampaikan permohonan saat mendaftarkan diri. Dan berlaku seterusnya.
Contoh pemberitahuan PPh umum
Contoh Pemberitahuan Wajib Pajak Yang Memilih Dikenai PPh Tarif Umum

Apakah Orang Pribadi Nanti Wajib Pembukuan?

Bedakan kewajiban pembukuan dengan metode pembayaran PPh Final! Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang KUP bahwa Wajib Pajak badan wajib hukumnya menyelenggarakan pembukuan, walaupun menggunakan PPh secara final.

Jadi, Wajib Pajak badan yang masih membayar PPh Setengah Persen tetap wajib menyelenggarakan pembukuan.

Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib membuat catatan. Hal ini diatur di Pasal 28 ayat (2) Undang-undang KUP. Gunanya catatan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.

Siapapun boleh menggunakan pembukuan. Dan menjadi WAJIB hukumnya bagi subjek pajak badan dan subjek pajak orang pribadi yang memiliki usaha dengan omset diatas Rp. 4,8 miliar.

Dengan demikian, setelah tidak menggunakan PPh Setengah Persen, maka Wajib Pajak orang pribadi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan jika omset masih dibawah Rp 4,8 miliar. Tetapi jika omset setahun sudah diatas Rp 4,8 miliar maka menjadi wajib menyelenggarakan pembukuan.

Apakah Omset Rp 4,8 miliar termasuk omset cabang?

Banyak Wajib Pajak memiliki tempat usaha di beberapa tempat. Mungkin Wajib Pajak orang pribadi memiliki beberapa toko di beberapa mall.

Apakah batasan omset Rp 4,8 miliar itu omset pusat saja atau termasuk omset cabang? Jawabannya: total semua omset termasuk semua cabang.

Masing-masing cabang wajib membayar PPh Setengah Persen. Tetapi ketentuan batasan omset yang dapat memanfaatkan PP 23 merupakan hal yang berbeda.

Ketentuan omset Rp 4,8 miliar juga berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi yang suami dan istrinya memiliki usaha. Omset usaha suami harus digabung dengan omset usaha istri. Jika total omset melebihi jumlah Rp 4,8 miliar maka tidak boleh menggunakan PPh Setengah Persen.

Dalam bahasa PP 23 omset itu disebut peredaran bruto. Peredaran bruto adalah seluruh imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.

Bagaimana Membayar PPh Setengah Persen?

PPh Setengah Persen dihitung dari omset atau peredaran bruto. Sehingga pajak penghasilan yang wajib dibayarkan sebesar 0,5% x omset. Dibayar setiap bulan! Dihitung dan dibayar untuk setiap outlet atau NPWP cabang. Beberapa outlet boleh digabung asal masih satu NPWP.

tarif PP 23

Pajak dibayar di bank atau Pos. Bisa juga di ATM. Atau melalui internet banking. Bahkan kabarnya di Tokopedia segera bisa.

Sebelum bayar ke bank, baik melalui teller maupun internet banking, pastikan dulu buat kode billing. Kode jenis pajak yang digunakan adalah 411128-420

Apakah Wajib Pajak PP 23 Harus Memiliki Surat Keterangan?

Menurut PP 23, bahwa pelunasan PPh Setengah Persen ada dua:

  1. dilunasi sendiri, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak yang bersangkutan berakhir, atau
  2. dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut.

Supaya dapat dipotong PPh 0,5% oleh pemotong, maka Wajib Pajak PP 23 saat melakukan tagihan kepada mitra bisnis harus melampirkan Surat Keterangan. Jadi, surat keterangan ini syarat dipotong PPh 0,5%.

Berbeda dengan PP 46 sebelumnya, Wajib Pajak PP 46 dapat mengajukan SKB ke kantor pajak. Fungsi SKB supaya tidak dipotong oleh mitra bisnis. Artinya, fungsi Surat Keterangan di PP 23 “seperti” berfungsi sebaliknya.

Walaupun demikian, Wajib Pajak yang memiliki SKB PP 46, Wajib Pajak tersebut tetap dapat memanfaatkan SKB sampai dengan 31 Desember 2018. Walaupun kewajiban PPh-nya sudah menggunakan PP 23 sejak bulan Juli 2018. Atas kewajiban PPh Setengah Persen tersebut tetap dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.

Contoh Permohonan SKet

Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan kepada:

  • KPP terdaftar (jika memiliki cabang maka cukup pusat saja),
  • KP2KP atau KPP Micro di wilayah KPP terdaftar,
  • Saluran tertentu (mungkin nantinya boleh elektronik).

Persyaratan mengajukan permohonan:

  • surat permohonan ditandatangani oleh orang yang terdaftar di SPT Tahunan atau kuasa,
  • telah menyampaikan SPT Tahunan (kecuali Wajib Pajak baru atau tidak memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan), dan
  • memenuhi syarat Wajib Pajak PP 23.

Setelah surat permohonan diterima, 3 hari kerja kemudian akan diterbitkan Surat Keterangan.

Contoh SKet

Surat Keterangan ini memiliki dua fungsi:

  • supaya dipotong PPh 0,5% dan
  • Supaya tidak dipungut PPh Pasal 22, baik PPh impor maupun pembelian barang.

Kewajiban Pemotong PPh PP 23

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.03/2018 bahwa pemotong PPh Setengah Persen adalah:

  • pembeli barang, dan/atau
  • pengguna jasa.

Pemotong PPh Setengah Persen memiliki kewajiban:

  • memastikan bahwa terdapat Surat Keterangan untuk setiap transaksi,
  • PPh yang dipotong wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya,
  • PPh yang disetor atas nama pihak yang dipotong,
  • SSP PPh sebagai Bukti Potong harus ditandatangani dan diserahkan kepada Wajib Pajak yang dipotong,
  • melaporan SPT Masa PPh paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Terkait keharusan menyetor PPh untuk setiap Wajib Pajak yang dipotong, menurut saya ini merupakan kewajiban yang memberatkan jika Wajib Pajak yang dipotong jumlahnya banyak. Mungkin puluhan atau ratusan.

Jika saya dalam posisi Wajib Pajak pemotong, untuk memudahkan administrasi saya akan minta kepada Wajib Pajak yang dipotong:

  • Surat Keterangan, dan
  • Kode Billing PPh PP 23.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.03/2018 tidak mewajibkan pemotong membuat Bukti Potong. SSP merupakan Bukti Potong PPh PP 23. Sehingga sebagai pemotong, kewajibannya tinggal menyetor ke bank berdasarkan “rekapan” kode billing. Mungkin beban akan berpindah ke bank atau kantor Pos.

Perlu sorfware akuntansi online? Silakan klik https://go.zahironline.com/auth/signup?partner=AGUSPAJAK

Zahir Online adalah software akuntansi modern dengan teknologi cloud computing berbasis web untuk memudahkan Anda dalam mengelola bisnis dari mana saja dan kapan saja secara real time.

Author: Raden Agus Suparman

Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com atau 08888110017 Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.

10 thoughts on “Pertanyaan dan Jawaban Tentang PPh Setengah Persen”

  1. Cara input PPh final yang dipotong oleh WP pemungut di dalam E-spt PPh Ps. 4 (2) di bagian mana Pak ? Apakah setiap SSP yang telah disetor wajib di scan sebagai Lampiran PDF SPT ?

    1. Dan saya pun mencari format SPT Masa PPh PP23. Mohon maaf 🙏 belum ketemu. Mungkin harus nunggu PER Dirjen atau SE untuk mendapatkan jawaban 😅

      Tetapi jika SSP PPh PP23 “disamakan” dengan Bukti Potong, berarti PPh PP23 dimasukkan di nomor Penghasilan Tertentu Lainnya dan bagian Lampiran disebutkan jumlah SSP yang sudah dibayarkan. Sementara itu.

  2. Untuk mengakomodir pemungutan PP 23, bila SPT PPh Ps 4 (2) dilaporkan dalam laporan SPT secara manual bisa seperti Bpk. sarankan di Nomor Penghasilan Tertentu Lainnya. Akan tetapi tidak bisa diinput dalam hal jumlah lembar SSP yang telah dibayarkan, karena jumlah lembar ini akan diisikan secara otomatis sejumlah Bukpot yang dibuat. Baik pak kita tunggu PER atau SE turunan berikutnya, dan untuk periode pemotong yg sedang berjalan, WP wajib pemungut hanya bisa melakukan tindakan yang Bpk sarankan, yaitu meminta E-biling dari pihak lawan transaksi, lalu kita pungut PPh final 0,5 % dan kita setorkan. Bukti Penerimaan Negara wajib kita Tanda Tangani dan stempel dan diserahkan kepada lawan transaksi.

  3. Selamat Sore,

    Saya ingin bertanya terkait PMK-99/PMK.03/2018.

    Pertanyaan (Pasal 4 ayat 7):
    1. Apakah Wajib Pajak Badan (misal PT. Swasta) wajib memotong PPh Final 0,5% untuk transaksi pembelian barang dari Wajib Pajak PP23?
    2. Apakah PPh Final 0,5% terutang pada saat pembayaran atau pada saat penyerahan?
    3. Bisakah Pemotong/Pemungut Pajak membuat satu SSP saja untuk semua transaksi pada suatu masa pajak atas nama Wajib Pajak PP23 yang sama? Ataukah harus membuat satu per satu SSP sesuai invoice?

    Pertanyaan (Pasal 10):
    Bagaimana perhitungan PPh terutang pada akhir tahun bagi WP Badan (misalnya baru berdiri di Agustus 2017 & masih rugi) yang sebelumnya menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Ketentuan Umum PPh, namun sejak tanggal 01 Juli 2018 memenuhi kriteria sebagai WP PP23 dan memilih untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan PP23?

    Terima kasih

    1. 1. Tidak wajib. Kan syarat memotong harus ada Surat Keterangan.

      2. Mana yang lebih dulu.

      3. Menurut PMK-99 tidak bisa.

      Berdasarkan PP23 bahwa PPh final 0,5% adalah pilihan. Jika memilih untuk bayar PPh PP23 maka tetap bayar walaupun perusahaan dalam keadaan rugi.

      1. Terima kasih pak Agus atas jawabannya.

        Pertanyaan lagi:
        1. Apakah PT. Swasta memotong/memungut PPh Final 0,5% atas transaksi pembelian barang apabila WP PP23 melampirkan Suket? Ataukah pemotongan/pemungutan PPh Final 0,5% ini hanya berlaku bila bertransaksi dengan Wajib Potong/Wajib Pungut saja (misalnya Bendahara Pemerintah)?

        2. Menyambung pertanyaan saya sebelumnya. Bila WP Badan yang sebelumnya menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Ketentuan Umum PPh, namun sejak tanggal 01 Juli 2018 memenuhi kriteria sebagai WP PP23 dan memilih untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan PP23. Bagaimana laporan penghasilan & biaya-biaya di SPT Tahunan Badan 2018-nya? Apakah omset & biaya periode Jan-Juni 2018 mengikuti ketentuan umum PPh, dan periode Jul-Des 2018 mengikuti ketentuan PP23?

        Salam.

        1. 1. PP23 dan PMK-99 merupakan aturan khusus. Artinya jika tidak terpenuhi syarat maka berlaku aturan umum. Kekhususan yang saya maksud adalah Surat Keterangan. Saat seorang Wajib Pajak menyampaikan Surat Keterangan, maka ini harus dimaknai sebagai permintaan. “Tolong dong saya bayarin PPh 0,5% dari nilai transaksi.”

          2. Bedakan pelaporan dan metode penghitungan PPh. Kewajiban membuat Laporan Keuangan merupakan kewajiban tersendiri. Semua WP badan wajib membuat Laporan Keuangan dan dicantumkan di SPT Tahunan form 1771.

          Jadi, penghasilan dan biaya tetap dilaporkan. Laporan Keuangan tetap wajib di lampirkan. Tapi cara menghitung PPh menggunakan PPh final. Dan tarif menurut PP23 sebesar 0,5%.

          Sekali lagi saya ulang: final adalah cara menghitung PPh.

  4. Terima kasih pak Agus atas penjelasannya.

    1. Berarti bilamana pembeli (WP Badan “Swasta”) tidak mendapat copy Suket dari penjual (WP PP23) maka pembeli tersebut tidak wajib memotong PPh Final 0,5%. Namun si penjual yang akan setor sendiri PPh Final 0,5%-nya. begitu pak?

    2. Bagi WP Badan yang baru berdiri sebelum PP23 terbit namun per masa pajak Juli 2018 “memilih” untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan PP23. Bagaimana perhitungan PPh periode Jan-Juni 2018 di SPT Tahunan form 1771-nya pak? apakah dianggap final juga?

    Salam.

  5. Bagi wajib pajak yang memilih PPh umum di tahun 2019, dari PPh final ke PPh umum maka perhitungan PPh Pasal 25 di bulan Januari 2019 atau awal tahun fiskal diperlakukan seperti WP Baru.

    Perhitungan PPh Pasal 25 atas WP baru dilakukan dengan mengalikan 12 penghasilan kena pajak di bulan Januari kemudian dihitung PPh terutang. Setelah ketemu PPh terutang dalam satu tahun, baru dibagi 12 untuk menghitunga PPh Pasal 25 di bulan Januari.

    sekedar bacaan tambahan silakan cek di
    http://pajaktaxes.blogspot.com/2007/05/pph-pasal-25.html

  6. 1. Berarti bilamana pembeli (WP Badan “Swasta”) tidak mendapat copy Suket dari penjual (WP PP23) maka pembeli tersebut tidak wajib memotong PPh Final 0,5%. Namun si penjual yang akan setor sendiri PPh Final 0,5%-nya. begitu pak?

    benar begitu.

    2. Bagi WP Badan yang baru berdiri sebelum PP23 terbit namun per masa pajak Juli 2018 “memilih” untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan PP23. Bagaimana perhitungan PPh periode Jan-Juni 2018 di SPT Tahunan form 1771-nya pak? apakah dianggap final juga?

    iya final.
    Januari – Juni 2018 kan pakai PP46 yang 1%
    Juli – Desember pilih PP23 yang 0,5%
    Semuanya pakai PPh final. Bedanya cuma di tarif.

Comments are closed.

Eksplorasi konten lain dari Tax Advisor

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca