fbpx

Pajak orang lain

Ada sebagian Wajib Pajak yang bangga telah membayar pajak dalam jumlah besar. Tetapi setelah diteliti lebih lanjut, sebagian besar pajak yang dibayar adalah pajak orang lain.
 
Pajak orang yang saya maksud adalah withholding taxes atau pemotongan dan pemungutan [potput], yaitu : PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN.

 

PPh Pasal 21 adalah PPh milik karyawan kita atau orang yang bekerja kepada kita.

Begitu juga PPh Pasal 23 merupakan PPh milik mitra kerja kita. PPh Pasal 23 dipotong saat kita mendapatkan penghasilan.

Dipotong oleh pembeli atau pemakai jasa. Sedangkan PPh Pasal 22 biasanya disebut pemungutan karena [salah satu alasannya] dipungut saat penjualan dan dipungut oleh penjual.

Begitu juga dengan PPN. Pajak Pertambahan Nilai dipungut oleh penjual. Secara teori, PPN dibayar oleh pembeli akhir atau end user.

PPN yang disetor sebenarnya adalah pajak konsumen yang telah dipungut!

Dengan demikian, pemotong dan pemungut pajak orang lain bisa majikan, mitra kerja : pemakai jasa, penjual barang objek PPh Pasal 22, atau penjual BKP/JKP.

Atau bisa juga pemotong / pemungut itu adalah bendaharawan pemerintah. Sekali lagi, ini adalah pajak orang lain.

Prakteknya, beberapa Wajib Pajak telah memotong atau memungut pajak orang lain tapi tidak disetorkan kepada Kas Negara.

Ini adalah tindakan kriminal. Masuk domain kejahatan bukan pelanggaran! Sanksi yang pantas untuk diberikan tentu saja sanksi terberat yaitu, pidana pajak!

Saya kutip Pasal 39 ayat (1) huruf I UU KUP:

Setiap orang yang dengan sengaja:

i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Saya mendengar bahwa di Ibu kota sekarang ini ada PPh Pasal 21 atas dana BOS yang telah dipotong tetapi tidak disetorkan ke Kas Negara.

Jumlah PPh Pasal 21 yang tidak disetorkan mencapai puluhan milyar rupiah. Tentu saja pemotong PPh Pasal 21 ini adalah bendahara pemerintah.

Kabarnya, kasus ini sekarang sedang dalam proses penyidikan DJP. Saya tidak tahu, apakah ini berasal dari pengaduan masyarakat atau murni “pengendusan” DJP sendiri.

Jika pembaca menemukan praktek seperti ini atau mengetahui ada pajak orang lain yang telah dipotong atau dipungut tapi tidak disetor ke Kas Negara, segera mengirim surat ke KPDJP atau Kanwil Pajak setempat supaya ditindaklanjuti!

salaam

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
man standing near building white black turtleneck shirt
Photo by Andrea Piacquadio on Pexels.com

Memperkecil Omset

Banyak Wajib Pajak yang berusaha menghindari membayar pajak baik PPh maupun PPN dengan melaporkan “sebagian” penjualan yang sebenarnya.
 
Variasi dari sebagian tersebut memang tergantung dari “kelas” Wajib Pajak. Ada yang kurang dari lima persen saja yang dilaporkan!
 
Ada yang sekitar 40%-an dari penjualan yang sebenarnya. Jika di SPT Masa PPN dan SPT Tahunan PPh pos peredaran usaha sekitar 45juta rupiah , berarti penjualan sebenarnya sekitar 100juta rupiah.

 

Sayang sekali, ini adalah praktek yang paling tidak disukai oleh kantor pajak. Bahkan tidak ada ampun lagi, jika perbedaan tersebut berakibat pajak-pajak terutang yang cukup signifikan, maka inilah salah satu tindak pidana perpajakan yang akan masuk domain penyidikan. Bukan ketetapan pajak lagi.

Jangan kira praktek memperkecil omset ini hanya satu dua Wajib Pajak. Saya menduga bahwa praktek seperti ini sudah dilakukan oleh “sebagian besar” pelaku usaha.

Ini tentu dugaan saya, untuk membuktikan dugaan tersebut harus dilakukan survey atau sensus kepada seluruh Wajib Pajak pelaku usaha (pekerjaan bebas).

Seorang pemilik industri kembang gula di daerah Jawa Timur mengaku kepada teman saya bahwa omset yang dilaporkankan kurang dari 5% saja!

Tetapi dengan omset tersebut, dia telah masuk ke dalam Wajib Pajak Besar di daerahnya dan layak masuk KPP Madya (sayang ini WP OP).

Pada saat dilakukan pemeriksaan keterangan atau membuat Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK) seorang pegawai Wajib Pajak mengaku bahwa omset yang dilaporkan sekitar 40%-an.

Uniknya, pemilik usaha tidak merasa bahwa perbuatan tersebut sebagai tindak pidana perpajakan. Menurutnya, memperkecil omset sudah LAZIM dilakukan Wajib Pajak lain dan selama ini hasilnya adalah Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh KPP!

Menurutnya, tindak pidana perpajakan itu adalah membuat faktur pajak palsu.

Posting ini secara khusus saya ingatkan kepada para Wajib Pajak pelaku usaha supaya jangan memperkecil omset!

Apalagi jika omset yang sebenarnya sudah mencapai milyaran rupiah. Carilah trik lain untuk tax saving!

Kenapa harus saya ingatkan sekarang?

Karena sekarang Direktorat Intelijen dan Penyidikan sudah mulai serius untuk “menggarap” penyidikan. Salah satu kriteria tindak pidana perpajakan adalah praktek “memperkecil omset”.

Bagaimana jika sudah telanjur? Ya … bikin SPT Pembetulan saja!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
 
 
glacier snow dawn landscape
Photo by Sanket Barik on Pexels.com