Arah Baru Kementerian Keuangan dan Dampaknya Bagi Wajib Pajak

Laporan ini menyajikan analisis komparatif antara dua target fiskal utama yang mewarnai kebijakan ekonomi Indonesia pasca-2024: target ambisius rasio pajak (atau rasio penerimaan negara) sebesar 23% yang diusung oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan target yang lebih terukur dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Tahun 2025โ€“2029, yaitu di kisaran 11,52% hingga 15,00% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Renstra Kemenkeu berfokus pada reformasi struktural, digitalisasi, dan penguatan administrasi, sementara target 23% dianggap tidak realistis oleh banyak pengamat tanpa disertai pemulihan kepercayaan publik yang masif dan kebijakan yang dapat membalikkan tren penurunan penerimaan pajak yang terjadi belakangan.


1. Pendahuluan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025โ€“2029 adalah tahap awal penting menuju Visi Indonesia Emas 2045. Renstra Kemenkeu 2025โ€“2029 disusun sebagai panduan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional, dengan tujuan sentral mencapai pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan, dan mendukung perekonomian nasional.

Namun, perencanaan fiskal ini berhadapan dengan janji politik yang sangat ambisius dari pemerintahan baru Prabowo-Gibran, yaitu mendongkrak rasio perpajakan (atau rasio penerimaan negara) ke angka 23%. Perbandingan antara target resmi Kemenkeu dan ambisi politik ini krusial untuk memahami arah kebijakan fiskal jangka menengah negara.

Perbedaan Target Kuantitatif dan Historis

Target Rasio Perpajakan Kemenkeu (2025โ€“2029)

Renstra Kemenkeu menetapkan sasaran strategis yaitu pendapatan negara dari sektor pajak, kepabeanan, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang maksimal. Indikator kinerja utama terkait perpajakan adalah Rasio Penerimaan Perpajakan terhadap PDB, dengan target sebagai berikut:

TahunTarget Rasio Penerimaan Perpajakan terhadap PDB
202510,24% (baseline)
202911,52% โ€“ 15,00%

Target ini merupakan bagian dari upaya kebijakan fiskal yang diarahkan untuk mengakselerasi reformasi struktural dan meningkatkan pendapatan negara secara terukur (collecting more).

Target Rasio 23% (Kampanye Prabowo-Gibran)

Target 23% merupakan salah satu target fiskal paling ambisius dalam sejarah ekonomi Indonesia. Angka ini menuai skeptisisme karena mencapai target tersebut berarti menggandakan tingkat rasio perpajakan Indonesia saat ini.

Secara historis, rasio pajak Indonesia berada di kisaran 9%โ€“10% (pajak pusat) atau 10%โ€“11% (pajak pusat dan SDA).

Data tren rasio pajak sejak 2018 berkisar antara 8,33% hingga 10,39%. Bahkan pada tahun 2024, rasio pajak Indonesia tercatat menurun menjadi 10,08% dari 10,31% pada tahun 2023.

Perbedaan Definisi (Ruang Lingkup): Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, menjelaskan bahwa target 23% tersebut merujuk pada rasio penerimaan negara terhadap PDB, yang tidak hanya mencakup pajak, tetapi juga cukai, PNBP, dan penerimaan lainnya seperti hibah.

Namun, meskipun ruang lingkupnya diperluas (rasio pendapatan negara), target Renstra Kemenkeu untuk Rasio Pendapatan Negara terhadap PDB pada tahun 2029 hanya berkisar 12,86% โ€“ 18,00%.

Artinya, target 23% jauh melampaui bahkan target maksimal pendapatan negara dalam rencana resmi Kemenkeu.

Transformasi Kemenkeu vs. Terobosan Politik

Strategi yang digunakan untuk mencapai target ini menunjukkan perbedaan fundamental dalam pendekatannya: Kemenkeu memilih jalur reformasi terstruktur, sementara target 23% memerlukan terobosan kelembagaan dan perluasan basis yang drastis.

Strategi Kemenkeu (Renstra 2025โ€“2029)

Kemenkeu berfokus pada optimalisasi pendapatan negara (collecting more) melalui reformasi komprehensif:

  1. Digitalisasi dan Integrasi Sistem: Strategi ini mencakup pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (Core Tax Administration Systemโ€”Core Tax System), dan penguatan implementasi digitalisasi layanan penerimaan negara, termasuk integrasi basis data antarunit Kemenkeu dan antar-kementerian/lembaga melalui konsep Single Profile Wajib Bayar/Wajib Pajak/Pengguna Jasa.
  2. Peningkatan Pengawasan: Optimalisasi pengawasan dilakukan dengan memanfaatkan Big Data/Advanced Analytics dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) secara menyeluruh, yang dikenal sebagai Intelligence-Led Compliance. Ini juga didukung oleh penguatan sarana forensik digital dan peningkatan kepatuhan pajak high wealth individuals dan grup usahanya.
  3. Ekstensifikasi Basis Penerimaan: Kemenkeu terus menggali potensi sumber penerimaan baru, termasuk pajak karbon, pajak ekonomi digital, objek cukai baru (seperti produk minuman berpemanis, produk plastik, dan pangan olahan bernatrium), serta PNBP.
  4. Dukungan Regulasi: Di bidang perpajakan, Renstra mencantumkan urgensi penyelesaian RUU tentang Penilai untuk memberikan opini nilai ekonomi yang dapat membantu menentukan potensi fiskal Sumber Daya Alam (SDA) dan membentuk Neraca SDA.

Strategi Target 23%

Strategi yang diusulkan untuk mencapai 23% berpusat pada dua pilar utama:

  1. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN): Janji ini bertujuan untuk mendirikan badan di bawah Presiden yang bertanggung jawab meningkatkan rasio penerimaan hingga 23%.
  2. Perluasan Basis Pajak: Strategi utamanya adalah “memperluas kebun binatang” (memperbanyak dunia usaha), yang memerlukan penggalian potensi penerimaan baru yang selama ini tidak tergali, termasuk penegakan hukum atas kasus pajak yang sudah inkracht. Fokus juga diberikan pada sektor dengan potensi besar namun under-taxed, seperti ekonomi digital, tambang, dan properti mewah.

Tantangan dan Realisme Fiskal

Perbandingan kedua target ini menunjukkan perbedaan besar dalam hal realisme:

AspekRenstra Kemenkeu (11,52%โ€“15,00%)Target 23%
Rendah vs. RealistisTarget moderat, selaras dengan estimasi optimal tax ratio ADB (18%) dan RPJPN (18%โ€“20%).Dianggap tidak masuk akal dan mustahil dicapai dalam 5 tahun oleh pengamat dan cawapres lain.
Isu Kepercayaan PublikMeskipun Renstra tidak secara eksplisit membahas krisis kepercayaan, Kemenkeu berupaya meningkatkan efisiensi dan integritas layanan publik (misalnya, melalui penguatan sistem pengendalian internal terintegrasi dan audit berbasis teknologi).Menghadapi tantangan fundamental krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara (skandal KKN dan pelanggaran etik) yang menghambat kepatuhan sukarela.
Realisasi AwalDalam kondisi awal 2025, realisasi rasio pajak berada di posisi 8,42% pada paruh pertama 2025, jauh dari target akhir 2025 (10,24%). Kemenkeu memperkirakan shortfall pajak hingga Rp112,4 triliun pada akhir 2025.Kinerja fiskal yang melambat ini membuat target 23% terlihat semakin tidak realistis, kecuali terjadi lompatan kebijakan yang nyata.
Basis PajakReformasi administrasi diarahkan untuk mengintegrasikan data dan meningkatkan kepatuhan.Menghadapi fakta bahwa sebagian besar angkatan kerja (sekitar 91,16%) berpendapatan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), membuat perluasan basis sulit dilakukan secara signifikan melalui ekstensifikasi tradisional.
Risiko KebijakanPendekatan terukur didukung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang optimistis rasio pajak akan naik perlahan (target 11% di 2026) melalui efisiensi dan hidupnya sektor riil.Memaksakan target yang tidak realistis dikhawatirkan dapat mengganggu dunia usaha dan memaksa pemerintah mencari jalan pintas melalui pengurangan subsidi atau utang, yang berisiko bagi disiplin fiskal. Mantan Menkeu Sri Mulyani dilaporkan keberatan menyusun peta jalan untuk target 23% ini.

Evaluasi Kinerja 2020-2024

Selama periode 2020-2024, Kemenkeu telah mengimplementasikan berbagai kebijakan yang memberikan dampak signifikan bagi perekonomian dan dunia usaha, antara lain:

  • Pemberian Insentif Fiskal: Pemerintah aktif mendorong investasi dan kegiatan ekspor melalui berbagai fasilitas. Insentif diberikan untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui PMK No. 33/PMK.010/2021 dan untuk mendorong ekspor bagi Industri Kecil Menengah (IKM) melalui PMK No. 149/PMK.04/2022.
  • Fasilitasi Perdagangan Internasional: Upaya peningkatan ekspor diwujudkan melalui program Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Kebijakan ini berhasil meningkatkan partisipasi dunia usaha, yang tercermin dari jumlah perusahaan penerima fasilitas pada akhir periode 2024, yaitu sebanyak 190 perusahaan KITE pembebasan, 105 perusahaan KITE pengembalian, dan 126 perusahaan KITE IKM.
  • Reformasi Regulasi Perpajakan: Penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi tonggak penting dalam upaya menyederhanakan regulasi, dengan memperkenalkan perubahan signifikan seperti tarif PPN baru, program pengungkapan sukarela, dan penyesuaian skema PPh Orang Pribadi.
  • Digitalisasi dan Otomasi Layanan: Inovasi digital seperti CEISA (Sistem Informasi Kepabeanan dan Cukai) Barang Kiriman menunjukkan komitmen untuk modernisasi layanan, yang terbukti berhasil meraih predikat Top Inovasi Kelompok Keberlanjutan dalam Pemantauan Keberlanjutan dan Replikasi Inovasi Pelayanan Publik (PKRI) 2024.

Meskipun terdapat sejumlah pencapaian, evaluasi juga mengidentifikasi beberapa permasalahan dan kelemahan fundamental yang perlu menjadi fokus perbaikan:

  • Rendahnya Rasio Pajak: Tantangan utama yang konsisten adalah tax ratio yang belum optimal. Hal ini membatasi kapasitas pemerintah dalam membiayai program pembangunan dan meningkatkan ketergantungan pada utang.
  • Tingkat Kepatuhan yang Rendah: Masih rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dan Pengguna Jasa menjadi masalah krusial. Kondisi ini diperparah dengan adanya risiko penghindaran dan penggelapan pajak yang masih menjadi ancaman bagi penerimaan negara.
  • Pengawasan yang Belum Optimal: Terdapat risiko signifikan terkait peredaran Barang Kena Cukai (BKC) ilegal dan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan yang diberikan. Kapasitas pengawasan, baik dari sisi SDM maupun sarana prasarana, masih perlu ditingkatkan.
  • Kompleksitas Birokrasi dan Layanan: Diidentifikasi adanya beban administrasi yang tinggi dan otomasi layanan yang belum terintegrasi secara penuh (one-stop service). Hal ini menjadi kelemahan internal yang berdampak pada efisiensi layanan kepada publik.

Visi dan Tujuan Strategis Kemenkeu 2025-2029

Berlandaskan evaluasi kinerja dan tantangan masa depan, Kemenkeu menetapkan visi untuk periode 2025-2029: “Menjadi penggerak transformasi ekonomi nasional melalui pengelolaan keuangan negara serta sektor keuangan yang proaktif, adaptif, dan tepercaya dalam rangka mewujudkan Bersama Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”.

Visi ini dijabarkan ke dalam lima tujuan strategis yang komprehensif, mencakup seluruh aspek pengelolaan keuangan negara.

Kelima tujuan strategis Kemenkeu tersebut adalah:

  1. Kebijakan fiskal, sektor keuangan dan ekonomi yang proaktif, adaptif dan mampu menggerakkan transformasi ekonomi.
  2. Pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan dan mendukung perekonomian nasional.
  3. Pengeluaran negara yang berkualitas dan memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat.
  4. Perbendaharaan, kekayaan negara, serta pembiayaan dan risiko yang akuntabel, inovatif, dan mendorong tata kelola pembangunan yang baik.
  5. Pengelolaan sumber daya organisasi dan teknologi informasi dalam kerangka budaya Kemenkeu Satu yang mendorong akselerasi transformasi birokrasi nasional.

Bagi Wajib Pajak dan pelaku usaha, Tujuan 2 dan Tujuan 5 memiliki relevansi paling langsung.

Tujuan 2 secara langsung memengaruhi kewajiban perpajakan dan kepabeanan, karena menjadi landasan bagi kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan.

Sementara itu, Tujuan 5 akan menentukan kualitas, kecepatan, dan efisiensi layanan yang diterima oleh pengguna jasa, seiring dengan komitmen Kemenkeu untuk melakukan transformasi birokrasi dan digitalisasi.

Untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan tersebut, Kemenkeu telah menetapkan Sasaran Strategis beserta Indikator Kinerja Utama (IKU) yang relevan.

Sasaran Strategis UtamaIndikator Kinerja Utama (Target 2029)
Pendapatan negara dari sektor pajak, kepabeanan dan cukai, serta PNBP yang maksimalRasio penerimaan perpajakan terhadap PDB: 15%, dan rasio PNBP terhadap PDB: 2,99%
Birokrasi terintegrasi yang melayani, transformatif, efisien, dan berintegritasIndeks Kepuasan Pengguna Layanan: 4,24 (skala 5)

Untuk mewujudkan visi penerimaan negara yang maksimal ini, Kemenkeu tidak hanya menetapkan target, tetapi juga telah memetakan tiga pilar strategi utama di bidang perpajakan yang akan menjadi ujung tombak reformasi.

Kebijakan dan Strategi Perpajakan 2025-2029

Untuk mencapai target penerimaan negara yang ambisius, Kemenkeu telah merumuskan serangkaian kebijakan dan strategi yang berfokus pada tiga pilar utama: transformasi administrasi, perluasan basis pajak, dan penguatan pengawasan berbasis data dan teknologi.

Transformasi Regulasi dan Proses Bisnis

Strategi ini berfokus pada penyempurnaan kerangka regulasi dan tata kelola untuk menciptakan sistem yang lebih sederhana, efisien, dan berkepastian hukum. Langkah-langkah utamanya meliputi:

  • Penyederhanaan Administrasi: Mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak melalui simplifikasi peraturan dan prosedur.
  • Perbaikan Proses Sengketa: Memperbaiki proses bisnis keberatan dan banding perpajakan untuk memberikan penyelesaian yang lebih cepat dan adil.
  • Digitalisasi Terintegrasi: Memperkuat interoperabilitas layanan penerimaan negara antar unit eselon I dan dengan instansi lain (ILAP) untuk menciptakan ekosistem layanan yang terpadu.

Intensifikasi dan Ekstensifikasi Penerimaan

Pilar ini bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan dari sumber yang ada (intensifikasi) sekaligus menggali potensi dari sumber-sumber baru (ekstensifikasi).

Rencana utamanya mencakup:

  • Optimalisasi Pemanfaatan Data: Menggali potensi penerimaan dengan memanfaatkan data intelijen, data pihak ketiga, dan data dari instansi lain secara lebih masif dan sistematis.
  • Ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC): Melakukan kajian mendalam untuk memperluas objek cukai pada barang-barang seperti diapers, alat makan dan minum sekali pakai, serta tisu basah.
  • Perluasan Basis Pajak: Sebagai respons terhadap tantangan perubahan iklim global dan pesatnya ekonomi digital, Kemenkeu akan mengimplementasikan dan mengoptimalkan kebijakan baru seperti pajak karbon dan pajak atas kegiatan ekonomi digital.

Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum

Untuk memastikan kepatuhan dan menekan risiko kebocoran, Kemenkeu akan memperkuat fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara signifikan. Strategi ini akan berfokus pada:

  • Pemanfaatan Teknologi Canggih: Mengimplementasikan Big Data/Advanced Analytics dan kecerdasan buatan (Intelligence-Led Compliance) untuk melakukan pengawasan berbasis risiko yang lebih akurat dan proaktif.
  • Peningkatan Kapasitas Pengawasan: Memperkuat sarana dan prasarana untuk kegiatan audit/pemeriksaan serta pengawasan di lapangan.
  • Optimalisasi Penagihan Piutang Pajak: Meningkatkan efektivitas penagihan piutang negara, salah satunya melalui implementasi sistem pemblokiran secara otomatis (Automatic Blocking) terhadap Wajib Pajak yang memiliki tunggakan. Implikasinya, Wajib Pajak tidak bisa lagi menunda penyelesaian tunggakan pajak tanpa konsekuensi langsung terhadap operasional perbankan mereka. Ini menuntut disiplin arus kas yang lebih ketat.

Kebijakan dan Strategi Kepabeanan dan Cukai 2025-2029

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memegang peran ganda yang krusial: sebagai fasilitator perdagangan (trade facilitator) untuk mendukung daya saing industri nasional dan sebagai pelindung perbatasan (border protection) untuk menjaga keamanan negara dan mengamankan penerimaan.

Strategi 2025-2029 dirancang untuk menyeimbangkan kedua peran ini secara simultan: modernisasi pengawasan (border protection) akan digunakan untuk menekan penyelundupan yang merusak iklim usaha, sementara simplifikasi proses bagi pelaku usaha patuh (trade facilitation) akan menjadi imbalan atas kepatuhan yang tinggi.

Fasilitasi Perdagangan dan Peningkatan Daya Saing

DJBC akan terus memperkuat perannya dalam mendukung industri dan kelancaran arus logistik. Upaya ini mencakup:

  • Pemberian insentif fiskal dan prosedural untuk mendorong ekspor UMKM.
  • Simplifikasi dan percepatan proses ekspor-impor melalui perbaikan tata kelola logistik yang lebih efisien.
  • Optimalisasi layanan berbasis risiko untuk mempercepat arus barang bagi perusahaan dengan tingkat kepatuhan tinggi.

Optimalisasi Penerimaan dan Pengawasan Cukai

Strategi di bidang cukai berfokus pada dua aspek utama: optimalisasi penerimaan dan penekanan peredaran barang ilegal.

  • Optimalisasi Penerimaan: Mengamankan penerimaan dari BKC yang sudah ada, seperti hasil tembakau, sambil terus mengkaji potensi perluasan objek cukai baru yang relevan dengan tujuan pengendalian konsumsi.
  • Pengawasan Ketat: Meningkatkan efektivitas pengawasan untuk menekan peredaran BKC ilegal yang merugikan negara dan menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.

Modernisasi Pengawasan dan Keamanan Perbatasan

Untuk menjawab tantangan pengawasan yang semakin kompleks, DJBC akan melakukan modernisasi sarana dan prasarana secara signifikan, terutama di sektor pengawasan laut. Rencana ini meliputi:

  • Modernisasi persenjataan untuk unit patroli.
  • Pengadaan kapal patroli modern seperti interceptor boat untuk meningkatkan jangkauan dan kecepatan respons.
  • Pemanfaatan teknologi canggih seperti Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk meningkatkan efektivitas pengawasan maritim.

Rangkaian kebijakan dan strategi yang komprehensif ini, baik di bidang perpajakan maupun kepabeanan dan cukai, akan membawa sejumlah implikasi langsung yang perlu dipahami dan diantisipasi oleh Wajib Pajak dan para pelaku usaha.

Implikasi Langsung bagi Wajib Pajak dan Pelaku Usaha

Rencana strategis Kemenkeu 2025-2029 bukan sekadar dokumen internal pemerintah, melainkan sebuah peta jalan yang akan membentuk lanskap kewajiban dan interaksi Wajib Pajak dengan otoritas fiskal.

Pelaku usaha perlu memahami implikasi praktis dari rencana ini, yang mencakup tantangan baru sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan.

  1. Potensi Peningkatan Beban Kepatuhan dan Pemeriksaan. Strategi intensifikasi, ekstensifikasi, dan penguatan pengawasan yang berbasis pemanfaatan data pihak ketiga dan advanced analytics secara langsung akan meningkatkan kemungkinan Wajib Pajak untuk diperiksa. Otoritas akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendeteksi anomali dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu, pelaku usaha harus segera melakukan evaluasi internal (tax health check) untuk memitigasi risiko temuan pemeriksaan di masa depan.
  2. Peluang dari Insentif Fiskal dan Kemudahan Berusaha. Di sisi lain, rencana ini juga membuka peluang. Komitmen untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi akan terus berlanjut. Pelaku usaha, khususnya di sektor ekspor dan UMKM, disarankan untuk proaktif mengkaji kelayakan mereka untuk mendapatkan fasilitas KITE atau insentif KEK sebagai strategi untuk meningkatkan daya saing. Simplifikasi proses bisnis di kepabeanan juga dapat mengurangi biaya logistik dan mempercepat arus barang.
  3. Peningkatan Kualitas dan Efisiensi Layanan. Komitmen kuat pada transformasi birokrasi dan digitalisasi layanan menjadi angin segar bagi Wajib Pajak. Upaya menuju interoperabilitas sistem, layanan berbasis digital, dan penyederhanaan prosedur akan menghasilkan interaksi yang lebih cepat, efisien, dan transparan. Visi layanan yang terintegrasi (one-stop service) diharapkan dapat mengurangi beban administrasi dan waktu yang dihabiskan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya.

Kesimpulan: Menuju Rasio Penerimaan Perpajakan yang Lebih Tinggi

Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029 merupakan sebuah langkah terintegrasi dan ambisius untuk menjawab tantangan fundamental perekonomian Indonesia.

Keberhasilan implementasi rencana ini menjadi kunci untuk mengatasi masalah struktural “rendahnya tax ratio” yang selama ini menjadi kendala.

Melalui berbagai inisiatif tersebut, Kemenkeu menargetkan Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB dapat mencapai rentang 10,24% hingga 15% pada tahun 2029.

Target rasio pajak sampai dengan 2029 sebagai berikut: tahun 10,24% (tahun 2025), 11,34% (tahun 2026), 12,41% (tahun 2027), 13,67% (tahun 2028), dan 15% (tahun 2029).

Rasio pajak 15% seharusnya terlalu mudah dibandingkan dengan target pemerintahan Prabowo Gibran yaitu 23%.

Dengan pertumbuhan ekonomi 8% yang ditugaskan kepada Menteri Keuangan Purbaya, menurut saya target rasio pajak 15% akan tercapai sebelum 2029.

RI-Malaysia Ubah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Jakarta (ANTARA News) – Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat memberlakukan Protokol Perubahan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara kedua negara.

Tjiptardjo melalui Surat Edarannya yang diperoleh di Jakarta, Senin, menyebutkan, penandatanganan Pertukaran Piagam Pengesahan Protokol Perubahan P3B itu telah dilaksanakan pada 15 Juli 2010 di Putrajaya, Malaysia.

Berdasarkan Pasal 7 Protokol Perubahan P3B itu, saat berlaku (enter into force) adalah tanggal 15 Juli 2010 dan Protokol Perubahan P3B itu berlaku secara efektif terhadap pajak-pajak yang dipungut atas jumlah yang dibayarkan atau dikreditkan pada atau setelah tanggal 1 September 2010.

Protokol perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang telah ditandatangani di Kuala Lumpur Malaysia pada 12 September 1991, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2010 tanggal 17 Mei 2010 tentang Pengesahan Protokol Perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia dan Protokolnya yang Ditandatangani di Kuala Lumpur 12 September 1991.

Pokok-pokok perubahan yang disepakati dalam Protokol Perubahan adalah mengubah ketentuan Pasal 10 ayat (2) P3B mengenai besarnya batas maksimum tarif pengenaan pajak atas penghasilan deviden dari 15 persen menjadi 10 persen yang dapat dikenakan di negara sumber penghasilan deviden.

Selain itu mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (2) P3B mengenai besarnya batasan maksimum tarif pengenaan pajak atas penghasilan bunga dari 15 persen menjadi 10 persen yang dapat dikenakan di negara sumber penghasilan bunga.

Perubahan lainnya, mengubah ketentuan Pasal 12 ayat (2) P3B mengenai besarnya batasan maksimum tarif pengenaan pajak atas penghasilan royalti dari 15 persen menjadi 10 persen yang dapat dikenakan di negara sumber penghasilan royalti.

Kedua negara juga mengubah ketentuan Ayat 5 Protokol P3B mengenai pengecualian pengenaan branch profit tax untuk kontrak bagi hasil dalam bidang minyak dan gas yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, perwakilannya, perusahaan minyak dan gas negara, atau lembaga-lembaga lain yang ada di dalamnya dengan orang pribadi atau badan usaha yang merupakan penduduk Malaysia.

Ketentuan Ayat 5 Protokol P3B sebelumnya mengecualikan pengenaan branch profit tax untuk kontrak bagi hasil terkait dengan eksploitasi dan produksi minyak dan gas yang telah dirundingkan dengan Pemerintah Indonesia atau perusahaan minyak negara Indonesia yang terkait, sepanjang perusahaan yang berkedudukan di Malaysia yang menerima penghasilan dari kontrak bagi hasil akan diperlakukan setara dengan perusahaan dari negara pihak ketiga sehubungan dengan pengenaan pajak atas penghasilan yang diterimanya dari kontrak bagi hasil yang serupa.

Kedua negara juga mengubah ruang lingkup pemberlakuan P3B sehingga manfaat P3B tidak berlaku lagi bagi kegiatan usaha “Labuan offshore” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan Malaysia yaitu “Labuan Offshore Business Activity Tax Act 1990

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Dirjen Pajak Belum Sepakat Zakat Kurangi Pajak

Jakarta (ANTARA News) – Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menyatakan bahwa dirinya belum sepakat dengan wacana atau usulan agar pembayaran zakat dapat dikurangkan sebagai pengurang pembayaran pajak.

“Ini akan menimbulkan pengurangan berganda atau dobel pengurangan sehingga penerimaan pajak akan menurun sangat tajam,” kata Mochamad Tjiptardjo di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Kamis malam.

Menurut dia, wacana pembayaran zakat sebagai pengurang pembayaran pajak merupakan masalah sensitif sehingga harus diverifikasi dan diklarifikasi dengan sejelas-jelasnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan UU tentang Perpajakan (UU tentang Pajak Penghasilan/PPh) sebenarnya sudah ada ketentuan mengenai pembayaran zakat sebagai salah satu pengurang penghasilan bruto sehingga juga mengurangi penghasilan kena pajak (PKP).

“Pembayaran zakat melalui badan-badan yang sudah resmi ditunjuk menangani zakat merupakan pengurang penghasilan bruto sehingga pendapatan yang kena pajak juga berkurang,” jelasnya.

Ia mengakui, saat ini memang ada wacana menjadikan pembayaran pajak sebagai pengurang pajak. Saat ini ada pembahasan revisi UU tentang Pengelolaan Zakat.

Wacana yang berkembang mengusulkan agar pembayaran zakat dapat langsung dijadikan sebagai pengurang pembayaran pajak.

Ia mencontohkan, jika seseorang kewajiban pembayaran pajaknya mencapai Rp10 triliun dan ia membayar pajak sebesar Rp2,5 triliun maka kewajiban pembayaran pajaknya tinggal Rp7,5 triliun.

“Ini berarti ada pengurangan ganda yaitu pengurangan terhadap penghasilan bruto dan pengurangan terhadap kewajiban pajak yang harus dibayar,” jelasnya.

Ketika ditanya berapa besar penurunan penerimaan pajak jika wacana itu direalisasikan, Tjiptardjo menyatakan tidak tahu.

“Kita tidak tahu berapa banyak pembayar pajak dan berapa besar nilai zakat yang dibayarkan,” kata Tjiptardjo.

KOMENTAR :
Sepertinya perlu ada perubahan UU PPh lagi ๐Ÿ˜€

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

DPR desak peningkatan tax ratio

JAKARTA: Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) hingga 13% atau naik 1% dari target pemerintah dalam RAPBN 2011 sebesar 12%.

Juru Bicara Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan terobosan baru agar tax ratio pada 2011 bisa mencapai 13%.

“Ini sebenarnya bisa tercapai kalau pemerintah menghapuskan mafia perpajakan dan menurunkan tingkat penggelapan yang dilakukan perusahaan asing,” katanya dalam rapat paripurana DPR hari ini.

Dalam RAPBN 2011, pemerintah menargetkan tax ratio hanya sebesar 12% atau naik 1% dari APBN Perubahan 2010 sebesar 11,9%.

Tidak hanya itu, FPKS juga meminta pemerintah untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK dalam laporan audit LKPP 2009 yang menyebutkan adanya potensi penerimaan pajak sebesar Rp38,6 triliun yang belum dioptimalkan oleh Ditjen Pajak.

Lurens Bahang Dama, juru bicara dari Fraksi PAN, juga menghendaki pemerintah menaikkan tax ratio hingga 13%. Menurut dia, tax ratio Indonesia saat ini paling rendah dibandingkan dengan negara tetangga lainnya.

“Pemerintah harus ekstensifikasi, perbaiki administrasi pajak, menggali potensi pajak, tingkatkan penagihan, reformasi keberatan dan banding,” ujarnya.

Sementara itu,juru bicara dari Fraksi PDIP Utut Adianto menilai tax ratio yang pantas dicapai pada 2011 adalah sebesar 12,5% dari PDB. “Harus dilakukan optimalisasi sektor pajak dengan berbagai strategi,” katanya.

Menurut dia, peningkatan penerimaan pajak dari jenis pajak penghasilan (PPh) masih belum maksimal sehingga ke depannya perlu ditingkatkan lagi.

Adapun juru bicara dari Fraksi PPP Machmud Yunus mengatakan secara sepintas target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah pada 2011 memang mengalami kenaikan tapi kenaikan tersebut masih belum memuaskan.

“Kenaikan perpajakan masih jauh memuaskan karena PDB kita meningkat pesat tapi tidak diimbangi kenaikan tax ratio,” katanya. Bahkan, menurutnya, target tax ratio pemerintah pada 2011 justru menurun bila dibandingkan dengan capaian tax ratio pemerintah pada 2008 yang mencapai 13,5%.

“Fraksi PPP mengusulkan agar pemerintah melakukan langkah progresif dan menerapkan e-payment perpajakan dengan memanfaatkan single identity number atau SIN,” jelasnya. (luz)

bisnis.com

Kalau tax ratio mau lebih tinggi lagi, bikin lebur DJP, DJBC, dan
Dispenda menjadi lembaga baru yang menangani penerimaan dalam negeri.
Pasti tax ratio akan naik.

Kan tiga lembaga tersebut sebenarnya sama-sama administrator perpajakan!.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Ditjen Pajak Tindak WNA Penggelap Pajak

Jakarta (ANTARA News) – Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan bahwa pihaknya menindak warga negara asing yang telah memungut pajak namun tidak menyetorkannya kepada negara.

“Boleh saja orang asing, investor asing datang ke sini untuk investasi, tapi kalau dia nakal ya akan kita tindak,” kata Tjiptardjo di Gedung DPR Jakarta, Selasa.

Ia menyebutkan, pihaknya telah melakukan proses hukum terhadap warga negara Amerika Serikat yang telah melakukan tindak pidana perpajakan itu.

“Nama perusahaannya PT SI, yang bersangkutan sudah divonis 3 tahun 6 bulan,” jelas Tjiptardjo.

Menurut dia, kasus perpajakan di mana pelakunya adalah warga negara asing merupakan kasus yang sebelumnya belum pernah terjadi.

“Ini belum pernah terjadi. Kasusnya, perusahaan itu memungut pajak tapi tidak disetor ke negara. Jenis pajaknya PPN, PPh21, tapi tidak distor ke negara, yang mungut warga negara asing lagi,” katanya.

Ia mengingatkan, boleh saja orang asing atau investor asing datang ke sini (Indonesia) untuk investasi.”Tapi kalau dia nakal ya akan kita tindak,” katanya.

Menurut dia, kerugian negara akibat ulah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengamanan itu mencapai sekitar Rp3 miliar hingga Rp4 miliar.

Sementara itu mengenai proses hukum PT PHS, Tjiptardjo mengatakan, sesuai janji Menteri Keuangan, berkas kasus itu sudah dikirim ke Kejaksaan.”Kalau belum cukup nanti dikirim P19,” katanya.

Sementara itu mengenai kasus AA, Tjiptardjo mengatakan, dari sejumlah kasus terkait AA, sudah satu kasus berstatus P21.”Kita sudah dapat satu yang P21, tinggal dua lagi mau P21,” katanya.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Penyidikan kasus pajak perusahaan jalan terus

JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak menyatakan penanganan kasus penyidikan pajak terhadap beberapa perusahaan masih terus berlangsung meski saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tengah melakukan audit investigasi dan audit kinerja terhadap otoritas pajak itu.

Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan untuk kasus pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS) berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan.

“Kalau kasus PT Wilmar, masih bukti permulaan dan belum ada kabar,” katanya saat ditemui di gedung DPR hari ini. Khusus untuk penanganan kasus PT Asian Agri Group (AAG), jelasnya, saat ini sudah satu tersangka yang berkasnya telah masuk tahap penuntutan atau P21. “Trus yang dua lagi akan menyusul,” ujarnya.

Adapun penanganan kasus tiga perusahaan milik Bakrie Group, Tjiptardjo menuturkan penanganan masih dalam proses penyidikan untuk PT Kaltim Prima Coal dan PT Bumi Resource Tbk. “Kalau AI [Arutmin Indonesia] masih bukti permulaan juga karena masih menunggu dokumen,” jelasnya.

Menurut dia, penyidikan kasus pajak umumnya membutuhkan waktu yang lama guna mengumpulkan bukti yang kuat. “Kalau belum kuat terus dikirim ke Jaksa, nanti malah lepas, kan pembuktiaannya nggak gampang,” tambahnya.

Sebelumnya, Panja Perpajakan Komisi XI DPR meminta secara resmi kepada BPK untuk melakukan audit kinerja terhadap Ditjen Pajak dan audit investigasi terhadap 6 kasus pajak yang sedang ditangani oleh Ditjen Pajak.

Keenam kasus pajak tersebut adalah kasus penyidikan pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS) pada 2007-2008, PT Asian Agri Group (AAG) pada 2002-2005, PT Wilmar pada September 2009-April 2010, PT Alfa Kurnia pada Maret 2009-Mei 2009, PT ING Internasional pada 2005-2007, dan RS Emma Mojokerto pada 2006-2008. Proses audit tersebut kini tengah berlangsung dan ditargetkan selesai pada akhir bulan ini.(luz)

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com