Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.
Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.
Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.
Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.
Playlist PPh
Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh
Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan
Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak
Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 4 Definisi Penghasilan
Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen
Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?
Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?
Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final
Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan
Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri
Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura
Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial
Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT
Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty
Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan
Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.
Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax
Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan
Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues
Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang
Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?
Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak
Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak
Cara Menghitung Kompensasi Kerugian
Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan
Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan
Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan
Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?
Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?
Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN
Norma Khusus Pasal 15
Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak
Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri
Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri
Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)
Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)
Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran
Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final
PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan
PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan
PPh final Jasa Konstruksi
PPh final Bunga Simpanan Koperasi
PPh Final Hadiah Undian
PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan
PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
PPh Final atas Penjualan Aset Kripto
Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Tarif Pajak Penghasilan
PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA
Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa
Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55
Revaluasi Aset Perusahaan
Pemotongan Pajak Tahun Berjalan
Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 Final
Pajak Penghasilan Pasal 22
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23
Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri
Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan
Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan
Objek dan Tarif PPh Pasal 26
Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan
Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan
Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%
Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian
Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?
Playlist KUP
Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak
Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan
Wajib Pajak yang tidak memiliki latar belakang akuntansi akan kesulitan untuk menghitung PPh Badan. Darimana mulai belajarnya? Inilah panduan lengkap menghitung PPh Badan dan cara mengisi SPT Tahunan PPh Badan, form 1771.
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pasal 1 Undang-Undang PPh
Berdasarkan Pasal 1 tersebut, terdapat 3 hal dasar pengenaan PPh yang harus dipahami terlebih dahulu. Ini berlaku juga untuk PPh Badan. Ketiganya yaitu:
Subjek Pajak
Penghasilan
Tahun Pajak
Salah satu karakteristik pajak penghasilan adalah sebagai pajak subjektif. Sebelum menghitung objek pajak, harus dipastikan dulu status subjek pajak.
Karena itu, pajak penghasilan mengatur subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri. Masing-masing memiliki perlakuan pajak penghasilan yang berbeda.
Selanjutnya penghasilan. Setelah subjek pajak statusnya jelas, selanjutnya identifikasi objek pajak yang akan dikenakan. Objek pajak PPh jelas penghasilan.
Secara umum, penghasilan yang dikenai pajak adalah penghasilan neto. Karena itu, jika subjek pajak mengalami kerugian, maka tidak ada pajak penghasilan.
Terakhir, pajak penghasilan terutang pada akhir periode tahunan. Jika perusahaan menggunakan pembukuan sesuai dengan bulan kalender, maka akhir periode adalah 31 Desember.
Keadaan sebenarnya pada tanggal 31 Desember menentukan pajak terutang. Bisa jadi belum genap 12 bulan sampai 31 Desember, tetapi tetap harus dihitung PPh Badan terutang.
Contoh: perusahaan berdiri pada bulan September 2020. Pada 31 Desember baru berjalan 4 bulan. Maka PPh terutang tetap dihitung untuk penghasilan neto 4 bulan tersebut.
Jika wajib pajak ingin mengambil periode pembukuan tidak sesuai kalender, misalnya periode April – Maret, maka wajib pajak harus memberitahukan kantor pajak.
Subjek Pajak Badan
Subjek pajak diatur di Pasal 2 Undang-Undang PPh. Khusus subjek pajak dalam negeri, diatur di Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh. Begini aturannya:
Subjek pajak dalam negeri adalah : a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi adalah pengganti subjek pajak orang pribadi yang sudah meninggal. Orangnya sudah meninggal tetapi warisannya masih menghasilkan, ada objek pajak. Contoh warisan misalnya pabrik tekstil.
Karena pajak penghasilan pajak subjektif, harus ada subjek pajaknya. Supaya dapat dikenai pajak penghasilan, maka si pabrik itu sendiri dijadikan subjek pajak. Pabrik tidak akan jadi subjek pajak lagi jika warisan tersebut sudah dibagi ke ahli waris.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang KUP
Jika membaca definisi badan di Undang-Undang KUP, subjek pajak badan konkretnya selain orang pribadi.
Badan Dalam Negeri
Semua bentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan undang-undang Indonesia merupakan subjek pajak dalam negeri badan. Undang-undang PPh menyebutnya “badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia”.
Instansi yang berwenang menetapkan badan hukum di Indonesia adalah Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, semua badan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Ham merupakan subjek pajak dalam negeri badan. Tidak peduli siapa pemilik badan hukum tersebut.
Logisnya, sepanjang badan hukum tersebut legal, maka masuk dalam pengertian subjek pajak dalam negeri badan.
Pengecualian badan sebagai subjek pajak hanya berlaku untuk lembaga pemerintah. Undang-undang PPh sudah memberikan batasan lembaga pemerintah, yaitu:
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Lembaga pemerintah yang bukan subjek pajak adalah lembaga pemerintah yang operasionalnya dibiayai dari APBN atau APBD. Dan atas penggunaan APBN atau APBD tersebut dilakukan audit oleh Inspektoran Jenderal atau Inspektorat Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kenapa lembaga pemerintah dikecualikan dari subjek pajak? Karena pemerintah adalah pihak yang memungut pajak.
Jika pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Pajak adalah aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.
Bentuk Usaha Tetap atau BUT merupakan kendaraan bagi subjek pajak luar negeri untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Maksud kendaraan subjek pajak luar negeri yaitu BUT sebagai sarana untuk mendapatkan active income.
Subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia terbagi 2 perlakuan perpajakan.
BUT yang diperlakukan seperti subjek pajak Badan dalam negeri, dan
Subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan tidak melalui BUT.
Walaupun tidak tepat, untuk memudahkan memahami, anggap saja BUT adalah subjek pajak luar negeri yang memiliki usaha di Indonesia dan mendapatkan active income dari Indonesia.
Sedangkan selain BUT (no 2 diatas) adalah subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tetapi subjek pajak tidak dapat di-BUT-kan. No 2 ini pengenaan pajaknya masuk di Pasal 26 Undang-Undang PPh.
Karena itu penting memahami karakteristik BUT.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh
Jadi, BUT menurut ketentuan domestik:
subjek pajak luar negeri,
orang pribadi atau badan, dan
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Perbedaan BUT dan Anak Perusahaan
Berdasarkan pengalaman bertanya ke Wajib Pajak, banyak yang masih belum tahu perbedaan antara BUT dan anak perusahaan. Mereka bilang, kita cabang dari perusahaan XYZ di luar negeri. Padahal yang dimaksud anak perusahaan.
Padahal terdapat banyak perbedaan perlakuan perpajakan antara BUT dan anak perusahaan. Terutama dari sisi perlakuan biaya BUT.
Silakan cek tabel berikut:
Perbedaan BUT dan anak perusahaan (WPDN Badan).
Pemahaman saya, terdapat makna antar BUT menurut Undang-Undang PPh dan P3B. BUT di Undnag-Undang PPh bermakna subjek pajak. Sedangkan BUT di P3B bermakna hak pemajakan.
Pengecualian Subjek Pajak
Selain pemerintah, ada 3 golongan bukan subjek pajak, yaitu:
kantor perwakilan negara asing;
pejabat diplomatik; dan
organisasi internasional.
Ada dua syarat organisasi internasional statusnya bukan subjek pajak:
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
Daftar organisasi internasional yang bukan subjek pajak ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 156/PMK.010/2015. Daftarnya ada di sini
Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh
Berdasarkan definisi penghasilan diatas, kita bisa mengetahui bahwa penghasilan memiliki 5 yaitu:
Tambahan kemampuan ekonomis
Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
Dengan nama dan dalam bentuk apapun
Setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud “tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu. Tetapi dalam penghitungan penghasilan neto, UU PPh mengharuskan mencatat secara bruto, yaitu dengan mencatatkan semua biaya dan penghasilan. Contoh pelaporan capital gain atas penjualan aktiva, semua hasil penjualan laporkan dan biaya-biaya termasuk penyusutan dicatat sebagai pengurang.
Tambahan Kemampuan Ekonomis
Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.
Realisasi juga dapat mengacu pada peristiwa hukum atau taxable event. Contoh, tanah dan rumah yang kita diami setiap tahun nilainya naik, minimal harga tanahnya yang naik. Tapi karena belum ada taxable event, maka tidak dikenai PPh setiap tahun. Tanah tersebut dikenakan PPh jika dijual atau dialihkan kepada orang lain.
Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income. Saya kutip ulang bunyi sebagian Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh:
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun
Penghasilan yang dikenakan PPh meliputi seluruh penghasilan yang didapat dari mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Semua penghasilan wajib hukumnya dilaporkan.
Berbeda dengan subjek pajak luar negeri yang memiliki kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh.
Undang-Undang Cipta Kerja memang sudah memberi pengecualian penghasilan dari luar negeri sebagai objek pajak. Tetapi pengecualian ini dengan syarat. Artinya, jika syarat tidak terpenuhi, maka penghasilan dari luar negeri tersebut tetap dikenai pajak penghasilan di Indonesia.
Dapat Dipakai Untuk Konsumsi atau Menambah Kekayaan
Unsur yang keempat ini merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak.
Objek PPh sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi.
Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.
Penghasilan yang dipakai membeli harta menjadi dasar pengenaan pengampunan pajak (tax amnesty) berdasarkan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Tax Amnesty tahun 2016 dan 2017 dikenakan terhadap harta yang masih dimiliki per 31 Desember 2015 dan tidak dilaporkan di SPT Tahunan. Dasar pemikirannya, atas harta yang belum dilaporkan tersebut atas penghasilannya (dianggap) belum bayar PPh.
Begitu juga dengan Program Pengungkapan Sukarela, yang dikenai pajak penghasilan adalah harta yang ada pada tanggal 31 Desember 2020 tetapi belum dilaporkan. Yakni harta yang diperoleh dari tahun 2016 sampai dengan 2020.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak adalah penghasilan
Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang-Undang PPh
Dengan Nama dan Dalam Bentuk Apapun
Ini adalah penerapan prinsip the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.
Dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya.
Prinsip ini sangat penting untuk diingat terutama jika kita mau memahami jenis penghasilan. Seringkali nama yang dipergunakan tidak mencermintkan hakikat yang sebenarnya.
Sengaja menggunakan istilan tertentu untuk mendapatkat insentif PPh. Jika kita tidak memahami substansi permasalahan, tentu akan terkecoh.
Umum, Final, Dikecualikan Dari Objek
Pasal 4 Undang-Undang PPh membagi penghasilan menjadi 3, yaitu:
Penghasilan umum (Pasal 4 ayat 1),
Penghasilan Final (Pasal 4 ayat 2), dan
Dikecualiakan Dari Objek (Pasal 4 ayat 3).
Penggolongan ini membedakan perlakukan perpajakan. Membedakan cara atau metode perhitungan.
Penghasilan umum dikenai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh setelah dihitung penghasilan neto. Penghasilan bruto digunggung dari semua penghasilan. Digunggung maksudnya dijumlahkan semuanya. Setelah semua terkumpul baru dikurangi dengan biaya fiskal.
PPh Final merupakan penyederhanaan cara atau metode penghitungan PPh. Penyederhanaan karena Wajib Pajak tidak perlu membuat laporang keuangan untuk menghitung PPh terutang. Walaupun Undang-Undang KUP mewajibkan pembukuan, data yang diperlukan cukup data penghasilan bruto saja.
Berapapun nominal penghasilan brutonya, tinggal dikalikan dengan tarif tersebut.
Sedangkan dikecualikan dari objek artinya tidak dikenai PPh. Berapapun jumlah penghasilannya, pajaknya tetap nihil.
Penghasilan Umum
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur definisi penghasilan. Selain mengatur definisi, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh juga memberikan contoh-contoh penghasilan yang dikenai PPh umum.
Berikut ini merupakan contoh. Walaupun demikian, penghasilan tidak terbatas pada yang disebutkan di Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk natura dan/atau kenikmatan kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
laba usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
keuntungan karena pembebasan utang
keuntungan selisih kurs mata uang asing;
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
premi asuransi;
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
penghasilan dari usaha berbasis syariah;
imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
surplus Bank Indonesia.
Penghasilan Yang Dikenai PPh Final
Secara ringkas, jenis-jenis penghasilan yang dikenai PPh final sebagai berikut:
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
Bunga Obligasi;
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN);
Bunga Simpanan yg Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
Hadiah Undian;
Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek;
Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau
Pengalihan Penyertaan Modal pd Perusahaan Pasangan Usahanya;
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Penghasilan WP KKKS berupa Uplift atau Imbalan lain yang sejenis;
Penghasilan WP KKKS dari Pengalihan Interest;
Dividen yang diterima oleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri;
Penghasilan Berupa Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap;
Penjualan BBM dan BBG oleh produsen atau importir kepada penyalur/agen.
Penghasilan istri yang semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21 dan pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Dalam Negeri
Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah atau Build Operate And Transfer (BOT)
Penghasilan Yang Dikecualikan Dari Objek PPh
Berikut ini merupakan penghasilan tetapi Undang-undang PPh mengecualikan sebagai objek pajak, yaitu
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Warisan
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi: makanan, bahan makanan, bahan minuman, danf atau minuman bagi seluruh pegawai; natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu; natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan; natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;.
Dividen atau penghasilan lain (rincian pasca UU HPP ada di bawah daftar ini).
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saharn-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.
dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan
Sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi.
Dividen dan penghasilan lain yang dikecualikan sebagai objek pajak, dibagi dua:
dividen yang diterima dari perseroan terbatas di Indonesia, dan
dividen dan penghasilan lain dari Luar Negeri
Persyaratan dividen yang diterima dari PT yang dikecualikan :
diterima oleh wajib pajak badan, tidak ada syarat. Langsung dikecualian.
diterima oleh orang pribadi, syarat diinvestasikan selama 3 tahun.
Persyaratan dividen dan penghasilan lain dari Luar Negeri yang dikecualikan:
dividen dari perusahaan privat, syarat : dibagikan dan diinvestasikan minimal 30% dari penghasilan bersih setelah pajak.
dividen dari perusahaan terbuka, syarat: diinvestasikan di Indonesia.
penghasilan dari BUT (cabang) di luar negeri, syarat dibagikan dan diinvestasikan minimal 30% dari penghasilan bersih setelah pajak.
penghasilan dari usaha aktif di luar negeri, syarat diinvestasikan di Indonesia.
Ada beberapa objek pajak yang sebelumnya masuk penghasilan umum, setelah adanya Omnibus Law berubaha menjadi penghasilan yang dikecualikan. Intisarinya begini:
Dividen dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak badan.
Dividen dan penghasilan setelah pajak dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha lainnya di Indonesia.
Penghasilan dari Luar Negeri selain BUT sepanjang diinvestasikan di Indonesia dikecualikan dari objek.
Pengecualian objek PPh atas : bagian laba/SHU koperasi, dan dana haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto biasa disebut biaya fiskal, atau deductibleexpenses. Sedangkan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sering disebut non-deductible expenses.
Biaya Yang Boleh Menjadi Pengurang
Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur biaya pengurang penghasilan bruto. Tetapi beberapa jenis biaya diatur tersendiri seperti di Pasal 5 untuk BUT, di Pasal 11 dan 11A untuk penyusutan dan amortisasi.
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur kaidah umum bolehnya biaya dikurangkan dari penghasilan bruto:
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Contoh biaya-biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan bruto setelah Undang-Undang HPP sebagai berikut:
biaya pembelian bahan;
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
bunga, sewa, dan royalti;
biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah;
premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan;
biaya administrasi;
pajak kecuali Pajak Penghasilan;
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
kerugian selisih kurs mata uang asing;
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat;
sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.
Biaya Yang Tidak Boleh Menjadi Pengurang
Secara naluriah, pengusaha akan memperkecil pajak. Salah satu cara memperkecil pajak terutang adalah dengan memperbesar biaya supaya penghasilan neto kecil. Karena itu, Undang-undang PPh mengatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto walaupun biaya tersebut benar-benar ada. Tujuan pengaturan ini supaya laba bersih usaha wajar.
Pasal 9 Undang-undang PPh mengatur pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya secara fiskal. Walaupun secara komersial (diantaranya) diperbolehkan.
Berikut ini adalah pengaturan di Pasal 9 Undang-Undang PPh setelah Undang-Undang HPP:
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piurang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piurang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang memenuhi persyaratan tertentu;
premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan
jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang PPh.
Pajak Penghasilan.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Cara Menghitungan Penyusutan Fiskal
Terdapat beberapa perbedaan aturan penghitungan penyusutan menurut akuntansi dan menurut Undang-Undang PPh (fiskal). Secara ringkas, perbedaan tersebut yaitu:
Masa manfaat menurut fiskal berdasarkan kelompok harta. Dan kelompok harta ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
Saat dimulai penyusutan adalah eksistensi harta di bulan tersebut. Atau penyusutan dimulai saat bulan pengeluaran. 1 hari = 1 bulan.
Fiskal tidak memperhitungkan nilai sisa harta. Harga perolehan dibagi habis selama masa manfaat, walaupun pada akhir masa manfaat masih bisa dijual (ada nilai sisa).
Setelah Undang-Undang HPP, harta yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun dapat menggunakan metode penyusutan berdasarkan standar akuntansi atau menggunakan metode yang diatur di Pasal 11 dan Pasal 11A tetapi masa manfaat sesuai masa manfaat sebenarnya. Tidak lagi mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
Debt To Equity Ratio
Pajak membatasi jumlah biaya pinjaman yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Ketentuan ini disebut debt to equity ratio (DER). Lebih lanjut tentang penghitungan DER dapat dilihat di Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut Pajak
Walaupun demikian, terdapat 3 alasan kenapa biaya pinjaman (biaya bunga) dapat dikoreksi. Ketiganya bisa dilihat di gambar berikut:
Koreksi biaya bunga
Kredit Pajak Luar Negeri
Pajak-pajak yang kita bayar di luar negeri dapat kita manfaatkan sebagai kredit pajak. Hal ini diatur di Pasal 24 Undnag-Undang PPh sehingga disebut PPh Pasal 24.
Peraturan terbaru tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018.
Pada prinsip Indonesia mengatur per country limitation.
Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
jumlah PPh Luar Negeri yang benar-benar dibayar; dan
jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut.
Seperti disampaikan diatas, bahwa pada dasarnya PPh Badan itu terutang pada akhir periode akuntansi. Dalam hal periode akuntansi menggunakan kalender, maka saat terutang PPh badan adalah 31 Desember.
Namun demikian, setiap bulan kita diminta atau diwajibkan untuk membayar PPh yang belum terutang. Ini namanya PPh Pasal 25. PPh ini dihitung berdasarkan jumlah terutang PPh Badan SPT 1771 yang terakhir disampaikan.
SPT Tahunan PPH disebut form 1771. Dalam bentuk pdf, format SPT 1771 sebagai berikut:
Dan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Badan dapat diunduh di sini:
Semua penghasilan, baik penghasilan yang dikenakan tarif Pasal 17, maupun penghasilan yang dihitung menggunakan tarif final, dan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak wajib hukumnya dilaporkan di form 1771.
Sedangkan biaya-biaya fiskal, walaupun menurut ketentuan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pajak-pajak yang sudah dibayar, baik yang dipotong oleh pihak lain maupun yang kita bayar sendiri, hukumnya dapat dilaporkan. Jadi ini pilihan dari sisi Wajib Pajak.
Dalam hal terdapat bukti potong PPh Pasal 23 yang belum dilaporkan di SPT 1771, sepanjang penghasilan dari bukti potong tersebut sudah dilaporkan, maka itu tidak mengapa. Boleh.
Sudah Lapor Tetapi Dianggap Tidak Lapor
Pasal 3 ayat (7) Undang-undang KUP mengatur 4 hal yang menyebabkan SPT dianggap tidak disampaikan, yaitu :
Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen;
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
Teknologi pelaporan SPT melalui DJP Online setiap tahun selalu ditingkatkan. Tidak heran jika tiap tahun ada “cara baru” lapor SPT. Namun, ke depan format PDF yang dimodifikasi menjadi e-form akan menjadi trend. Seperti mulai tahun 2022, SPT Masa unifikasi juga menggunakan pdf.
Tutorial mengisi SPT Tahunan PPh Badan 1771 dengan menggunakan eform dapat dilihat di sini:
Konsultan Pajak
Sekarang, setiap orang bisa belajar pajak. Namun bagi sebagian pebisnis, mungkin tidak memiliki kemewahan waktu untuk belajar pajak. Perlu solusi cepat bagaimana mana membuat SPT Tahunan.
Saran terbaik tentu saja memanfaatkan jasa konsultan pajak untuk membuat SPT Tahunan. Bahkan bukan cuma SPT Tahunan, bisa juga SPT Masa.
Bagi anda yang ingin fokus ke bisnis, dan menyerahkan urusan pajak ke profesional, silakan isi form berikut:
JIka terdapat kesalahan, apakah saya dapat menghapus SPT Tahunan?
Semua SPT yang sudah disampaikan oleh Wajib Pajak tidak dapat dihapus di sistem database pajak. Tetapi, wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT. Tidak ada batasan berapa kali satu SPT dibetulkan. Boleh berkali-kali. Ada juga yang sampai lebih dari 4 kali pembetulan. Semua jenis SPT dapat dibetulkan berkali-kali. Lebih lanjut tentang pembetulan dapat dilihat di Pembetulan SPT