fbpx

Agus Pajak di Youtube

Belajar pajak sambil nonton video

Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.

Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.

Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.

Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.

Playlist PPh

Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh

Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan

Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak

Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 4 Definisi Penghasilan

Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen

Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?

Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?

Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan

Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri

Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura

Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial

Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT

Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty

Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan

Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.

Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax

Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan

Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues

Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang

Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?

Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak

Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak

Cara Menghitung Kompensasi Kerugian

Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan

Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan

Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan

Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?

Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?

Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee

Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN

Norma Khusus Pasal 15

Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak

Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri

Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)

Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)

Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran

Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final

PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan

PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan

PPh final Jasa Konstruksi

PPh final Bunga Simpanan Koperasi

PPh Final Hadiah Undian

PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan

PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

PPh Final atas Penjualan Aset Kripto

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan

PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA

Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa

Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55

Revaluasi Aset Perusahaan

Pemotongan Pajak Tahun Berjalan

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 Final

Pajak Penghasilan Pasal 22

Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri

Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Objek dan Tarif PPh Pasal 26

Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan

Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan

Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%

Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian

Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?

Playlist KUP

Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak

Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan

PPh Pasal 25 kios

Kios atau outlet adalah tempat kita usaha. Biasanya jika disebut kios, luas tempat usaha kita tidak luas.
Gambarannya seperti kios-kios di pasar tradisional dan pasar modern.
Khusus dalam posting ini, kios yang dimaksud adalah kios yang dimilik oleh Wajib Pajak Orang Pribadi [WPOP].
Jika dimiliki oleh Wajib Pajak Badan, maka perhitungan PPh Pasal 25 akan berbeda.

Usaha WPOP tersebut bisa berupa:
[1.] penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
[2.] penyerahan jasa
yang dilakukan didalam kios tersebut.

Menurut SE-77/PJ/2010 bahwa PPh Pasal 25 kios sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima per seratus)dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing kios.

Artinya jika kita punya 25 kios, maka kita bisa memiliki 25 Surat Setoran Pajak (SSP) setiap bulan. Mengapa? Karena setiap SSP harus mencantumkan NPWP.

Sedangkan NPWP harus mencerminkan tempat. Tempat ini menurut saya cukup satu gedung.

Sebagai contoh : saya punya kios di Pasar Baru Bandung sebanyak 3 biji. Maka untuk kios tersebut cukup dianggap satu cabang.

Tetapi jika saya punya kios lagi di Pasar Kopo, maka saya harus punya NPWP cabang Kopo. Begitu seterusnya.

Nah, masing-masing cabang tersebut harus dihitung berapa omset sebenarnya. Pajak penghasilannya dibayar sebesar 0,75% ke Bank Persepsi.

Kemudian, pada akhir tahun, semua setoran tersebut merupakan kredit pajak bagi Pajak Penghasilan Orang Pribadi saya. Dan dilaporkan di SPT Tahunan PPh OP.

Jadi, setelah disetor, SSP jangan dihilangkan karena PPh Pasal 25 yang disetor setiap bulan ke Bank merupakan cicilan atas kewajiban kita yang terutang pada akhir tahun!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

fasilitas bagi perusahaan terbuka

Bagi perusahaan yang sudah terbuka (listing di bursa saham) sekarang sudah bisa menikmati fasilitas Pajak Penghasilan berupa tarif yang lebih rendah 5% dari tarif pajak pada umumnya.
Pada tanggal 30 Desember 2008 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 ini tarif yang di UU No.17 Tahun 2000 sebesar semula 30% menjadi 25%.

Tarif Ini tentu hanya berlaku untuk tahu pajak 2008. Sejak tahun pajak 2009, berlaku UU PPh baru dengan tarif tunggal sebesar 28%. Dan sejak tahun 2010 tarif PPh Badan turun lagi menjadi hanya 25% saja.

Nah bagi perseroan terbuka maka tarif pajak untuk :

-> tahun 2009 sebesar 23% [yaitu 28% – 5%] dan
-> tahun 2010 sebesar 20% [yaitu 25% – 5%].

Bahkan di UU No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2009, penurunan tarif ini dimuat di Pasal 17 ayat 2b UU PPh 1984.

Bunyi lengkapnya sebagai berikut :

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Tetapi tidak semua perseroan terbuka dapat menikmati fasilitas ini.

Syarat bagi perseroan terbuka untuk dapat menikmati penurunan tarif ini adalah :
[1.] Paling sedikit 40% saham disetor milik publik;
[2.] Publik yang memiliki saham paling sedikit 300 pihak. Artinya setiap pihak paling banyak sekitar 0,13% jika dibagi rata;
[3.] Salah satu atau beberapa pihak harus kurang dari 5% dari total modal disetor. Jika ada tiga pihak yang memiliki 4% saja maka sisanya 28% harus dibagi ke 297 pihak.
[4.] Dimiliki setidak-tidaknya 6 bulan atau 183 hari.

Untuk menikmati tarif khusus ini, perseroan terbuka harus melampirkan Surat Keterangan dari Biro Administrasi Efek berupa formulir X.H.1-6 setiap tahun atau setiap lapor SPT Tahunan PPh Badan.

Perhitungan pajak terutang dengan tarif khusus ini dijadikan sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25 [cicilan pajak tahun berjalan yang dibayar setiap bulan].

Hanya saja menurut saya, contoh perhitungan pajak yang dilampirkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 ini “salah”.

Pada contoh perhitungan PPh Pasal 25 masih menggunakan tarif lama [tarif progresif] padahal untuk tahun pajak 2009 berlaku tarif tunggal.

Memang setelah saya hitung pajak terhitung justru lebih besar daripada contoh. Menurut saya, perhitungan PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut :

Penghasilan kena pajak Rp.500.000.000,00
PPh terutang 23% x Rp.500.000.000,00 = Rp. 115.000.000,00
Dikurangi potput : Rp.115.000.000,00 – Rp. 22.500.000,00 = Rp.92.500.000,00
PPh Pasal 25 menjadi Rp.92.500.000,00 / 12 = Rp.7.708.333,00

Sedangkan di contoh yang diberikan PPh Pasal 25 sebesar Rp. 7.500.000,00.

Hal ini terjadi karena pada contoh masih menggunakan tarif progressif. Artinya penghasilan kena pajak sampai dengan Rp.100.000.000,00 menggunakan tarif 10% dan 15% sehingga PPh terutang hanya Rp.12.500.000,00 sedangkan dengan tarif tunggal 23% menjadi Rp.23.000.000,00.

Tetapi jika penghasilan kena pajak lebih besar lagi, misalnya 50 milyar rupiah, maka PPh terutang tentu akan lebih kecil menggunakan tarif tunggal.

Walaupun demikian, yang harus diikuti tetap contoh di Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984 :

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu.

Memang di Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984 disebutkan “PPh tahun pajak yang lalu” tetapi karena adanya perbedaan tarif antara tahun pajak 2008 dan tahun pajak 2009 maka akan ada “perbedaan” kredit pajak.

Asumsi PPh Pasal 25 selalu sama antara penghasilan kena pajak tahun sekarang dan tahun yang lalu.

Dengan asumsi ini tentu PPh yang terutang akan sama sehinggal begitu SPT dibuat maka PPh terutang akan LUNAS dengan PPh Pasal 25.

Tidak ada PPh Pasal 29. Walaupun pada kenyataannya selalu akan beda.

Dan walaupun ada perbedaan maka perbedaannya diharapkan tidak terlalu besar.

Inilah filosofi cicilan pajak berupa PPh Pasal 25.

Cag!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

PPh Pasal 25

Selamat Pagi…Iva mau tanya lagi mengenai SPT Tahunan, Poin F.ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALANa. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, bagi Wajib Pajak pada umumnya, adalah berdasarkan penghasilan teratur menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu; Bagaimana penghasilan yang menjadi dasar perhitungan angsuran pd SPT Tahunan th 2006, Jika perusahaan tersebut baru berdiri pd Oktober th 2006 ?
Terima kasih…
iva_maniest@yahoo.com

Jawaban saya :Secara umum, rumusan penghitungan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu : Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan kredit pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24. Hasilnya dibagi 12 (dua belas).

Tetapi rumusan tersebut tidak dapat diterapkan untuk Wajib Pajak dengan “hal-hal tertentu” sebagaimana diatur Pasal 25 ayat (6) UU PPh 1984 :
[1] Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
[2] Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
[3] Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
[4] Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
[5] Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
[6] Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Pertanyaan diatas tidak berkaitan dengan hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud diatas. Selain hal-hal tertentu, ada juga pengaturan PPh Pasal 25 atas Wajib Pajak tertentu, yaitu : Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, BUMD, dan OP pengusaha tertentu, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.

Jika berkaitan dengan Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, dan BUMD maka bisa dilihat di postingan saya terdahulu. Tetapi kasus yang ditanyakan adalah PPh Pasal 25 tahun 2007.

Ini bukan Wajib Pajak baru karena Wajib Pajak tersebut sudah membuat SPT Tahunan tahun 2006 sementara Wajib Pajak baru maksudnya adalah Wajib Pajak yang baru berdiri pada tahun berjalan dan belum membuat SPT Tahunan. Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru dengan menghitung penghasilan neto sebulan yang disetahunkan hanya cocok untuk PPh Pasal 25 tahun 2006, yaitu PPh Pasal 25 untuk bulan Nopember dan Desember 2006 sampai dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan tahun 2006 (asumsi SPT paling lambat disampaikan bulan Maret 2007).

Dan di SPT Tahunan tahun 2006 ada perhitungan PPh Pasal 25 untuk PPh Pasal 25 tahun 2007. Penghitungan ini akan jadi acuan untuk penghitungan PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Cara perhitungan inilah yang dipertanyakan. Mungkin karena pada tahun 2006, penghasilan yang dilaporkan di SPT hanya 3 (tiga) bulan saja.

Jawaban saya ada dua : pertama, jika WP tersebut orang pribadi dengan usaha toko/gerai, dan kedua WP badan atau WP orang pribadi selain yang pertama. Berikut ini uraian lebih lanjut jawaban saya.

Pasal 1 KEP-547/PJ./2000, “Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai tempat usaha termasuk cabang yang tersebar di beberapa tempat baik dalam satu maupun beberapa wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.”

Kemudian, Pasal 1 ini dirubah dengan KEP-171/PJ./2002, hingga berbunyi, “Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.” Menurut Keputusan Dirjen Pajak yang terakhir ini, PPh Pasal 25 untuk setiap setiap gerai adalah 2% dari total omset (peredaran usaha bruto). Inilah jawaban pertama!

Jawaban pertama diatas tidak bisa diterapkan untuk Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi dengan usaha lain. Karena kasus yang ditanyakan bukan hal-hal tertentu dan bukan Wajib Pajak tertentu, maka berlaku ketentuan umum sebagai diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984. Inilah jawaban kedua! Untuk lebih jelas, saya berikan contoh dengan angka-angka.

PT “X” berdiri dan memulai usaha sebagai jasa konsultasi pada bulan Oktober 2006. Pada bulan Oktober 2006 ini tentu saja tidak ada kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 karena pembayaran PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 dibayar pada bulan Nopember 2006. Berikut penghasilan kena pajak yang dibukukan PT “X” setiap bulan : Oktober 2006 sebesar Rp.1.000.000, Nopember 2006 Rp. 1.500.000, dan Desember 2006 sebesar Rp.2.500.000,-

Penghitungan PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.000.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.100.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 Nopember 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.150.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 Desember 2006 sebagai berikut: ((Rp.2.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.250.000,-

Penghitungan PPh Pasal 25 tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000. Rumusannya diatur di Pasal 2 ayat (1), “Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).”

Penghasilan neto yang dikalikan dengan tarif umum adalah penghasilan neto menurut pembukuan “setiap bulan” berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf a Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.

Dengan pembayaran PPh Pasal 25 seperti diatas, maka SPT Tahunan tahun 2006 akan menjadi SPT Nihil. Perhitungannya sebagai berikut:
Penghasilan kena pajak selama 3 bulan sebesar Rp. 5.000.000,- dikalikan tarif umum 10%, maka PPh terutang Rp.500.000,- Perhitungan PPh terutang ini sama persis dengan kredit pajak PPh Pasal 25 diatas.

Besarnya PPh Pasal 25 bulan Januari 2007 sampai dengan Maret 2007 sama dengan pembayaran PPh Pasal 25 bulan Desember 2006 yaitu sebesar Rp.250.000,- Hal ini berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU PPh 1984, “Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.”

Kemudian, berdasarkan PPh terutang tahun pajak 2006, PPh Pasal 25 tahun berjalan sebesar Rp.41.667,- yaitu PPh terutang tahun pajak 2006 sebesar Rp.500.000,- dibagi 12 (dua belas). Hal ini sesuai dengan rumusan di Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984.

PPh Pasal 25 sebesar Rp.41.667,- adalah PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Penurunan PPh Pasal 25 tersebut adalah konsekuensi dari Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu “menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu” padahal SPT tahun lalu itu hanya 3 (bulan) bulan. Berbeda dengan rumusan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru, yaitu “disetahunkan”. SPT Tahunan menghitung pajak yang benar-benar diperoleh (sebenarnya). Sedangkan penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru menghitung pajak dengan “norma” atau “deem”. Disebut norma karena penghasilan kena pajak yang jadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak yang disetahunkan, bukan yang benar-benar terjadi 🙂 (mudah-mudahan tidak bingung).

Demikian dan mudah-mudahan jadi lebih jelas.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah cicilan Pajak Penghasilan kita atas penghasilan yang ktia terima tahun ini, sekarang, atau tahun berjalan. Hanya saja, teknis penghitungan untuk mencari berapa PPh Pasal 25 yang dibayar, dilakukan dengan membagi PPh terutang pada tahun lalu.

Selain itu, PPh terutang yang akan kita bagi dua belas juga bukan total PPh terutang. Jika kita memiliki penghasilan insidentil, kadang-kadang terima tapi kadang-kadang tidak terima, maka penghasilan tersebut dikurangkan. Jadi PPh terutang yang dibagi dua belas itu adalah PPh terutang atas penghasilan tetap kita.

Sesudah dihitung PPh terutang, kurangkan kredit pajak yang berasal dari withholding tax, yakni : PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24. Nah, sisa pajak yang ada itu kemudian dibagi dua belas.

Itulah cicilan kita pada tahun berjalan. Saya ulangi, cicilan PPh Pasal 25 tahun berjalan dihitung berdasarkan PPh terutang tahun lalu.

Tetapi, ada wajib pajak tertentu yang penghitungan PPh Pasal 25-nya tidak berdasarkan PPh terutang tahun lalu tapi berdasarkan kondisi “sekarang”. Wajib Pajak tersebut adalah : wajib pajak baru, bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, badan usaha milik negera, badan usaha milik daerah, wajib pajak pemilik toko (outlet).

Berikut ini saya kutif dari Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 dan yang teriakhir dari Keputusan Menteri Keuangan No. 84/KMK.03/2002.

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas) [Pasal 2].

Darimana dapat penghasilan neto? Jika Wajib Pajak baru tersebut memilih menggunakan pembukuan maka penghasilan neto sebulan tersebut dari pembukuan. Jika memilih menggunakan Norma Penghasilan, maka dari penghasilan bruto kali tarif norma.

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas)[ Pasal 3].

Bagaimana jika banknya baru berdiri? Maka yang penghasilan neto yang disetahunkan adalah penghasilan neto triwulan pertama.

Sedangkan PPh Pasal 25 untuk BUMN dan BUMD berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Dari RKAP itu sudah bisa diketahui, kira-kira penghasilan neto berapa, terus kalikan dengan tarif progresif, terakhir bagi dua belas.

Jika ada withholding tax, sebelum dibagi dua belas, PPh terutang kurangi dengan withholding tax.

Tetapi RKAP itu disahkan setelah kewajiban kita menyampaikan SPT PPh Tahunan lewat (biasanya Maret) maka PPh Pasal 25 masih menggunakan PPh Pasal 25 tahun lalu.

Wajib Pajak pemilik toko memiliki cara khusus membayar PPh Pasal 25. Dan cara ini sebenarnya lebih fair bagi Wajib Pajak karena mencerminkan penghasilan tahun yang bersangkutan (tahun berjalan).

Siapapun pengusaha dibidang perdagangan, baik tingkat grosir maupun pengecer yang memiliki gerai, toko, kios, atau tempat usaha lainnya, wajib membayar PPh Pasal 25 sebesar 2% dari total penjualan kotor setiap bulan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com