fbpx

Agus Pajak di Youtube

Belajar pajak sambil nonton video

Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.

Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.

Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.

Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.

Playlist PPh

Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh

Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan

Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak

Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 4 Definisi Penghasilan

Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen

Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?

Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?

Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan

Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri

Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura

Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial

Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT

Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty

Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan

Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.

Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax

Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan

Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues

Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang

Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?

Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak

Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak

Cara Menghitung Kompensasi Kerugian

Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan

Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan

Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan

Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?

Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?

Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee

Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN

Norma Khusus Pasal 15

Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak

Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri

Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)

Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)

Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran

Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final

PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan

PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan

PPh final Jasa Konstruksi

PPh final Bunga Simpanan Koperasi

PPh Final Hadiah Undian

PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan

PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

PPh Final atas Penjualan Aset Kripto

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan

PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA

Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa

Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55

Revaluasi Aset Perusahaan

Pemotongan Pajak Tahun Berjalan

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 Final

Pajak Penghasilan Pasal 22

Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri

Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Objek dan Tarif PPh Pasal 26

Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan

Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan

Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%

Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian

Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?

Playlist KUP

Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak

Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan

Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek

Wajib Pajak Indonesia yang memiliki saham di luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung, minimal sebesar 50% dan saham tersebut tidak terdaftar di bursa saham, dikenai deemed dividend. Ketentuan ini berlaku mulai tahun 2017 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017.

Deemed Dividend adalah dividen yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN (Badan Usaha Luar Negeri) Nonbursa  terkendali langsung.

Ketentuan pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa, yaitu:
Wajib Pajak dalam negeri yang:

  • memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa; atau
contoh penyertaan langsung
 
  • secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa. 
contoh penyertaan tidak langsung
 
 
Saat diperolehnya Deemed Dividend
Saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan.
 
Dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, saat diperolehnya Deemed Dividend  ditetapkan pada akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir.
 
Besarnya Deemed Dividend
Besarnya Deemed Dividend dihitung dengan cara mengalikan persentase penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung dengan dasar pengenaan Deemed Dividend. Dasar pengenaan Deemed Dividend  yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali langsung.
Contoh :
PT JKL yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri pada tahun akhir Tahun Pajak 2016 memiliki penyertaan modal langsung sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari jumlah saham yang disetor VWX Ltd. di negara D. Saham VWX Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.
Pada tahun pajak 2016, VWX Ltd. memperoleh laba setelah pajak sebesar US$50.000,00.
Tahun pajak VWX Ltd. adalah 1 Januari s.d. 31 Desember 2016 dan batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk tahun pajak dimaksud di negara tersebut paling lambat 31 Mei 2017, sehingga saat diperolehnya Deemed Dividend bagi PT JKL atas penyertaan modalnya pada VWX Ltd. adalah 30 September 2017. Nilai kurs USD terhadap Rupiah yang berlaku pada tanggal 30 September 2017 adalah Rp11.500,00/USD.
Dengan demikian, besarnya Deemed Dividend tahun 20 17 yang diperoleh PT JKL adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00.
 
Deemed Dividend tersebut dilaporkan PT JKL sebesar USD32.500,00 x Rp11.500,00 /USD = Rp373.750.000,00 dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017.
Kredit Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengkreditkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung pada Tahun Pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak penghasilan tersebut.
Dalam hal dividen yang diterima tidak melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
  • pajak penghasilan yang seharusnya terutang atau seharusnya dibayar di luar negeri atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung dengan memperhtikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang berlaku efektif;
  • pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung; atau
  • jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung terhadap jumlah Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan dikalikan dengan jumlah Pajak Penghasilan atas Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan tersebut.
Dalam hal dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan dihitung sebagai berikut:
  • terhadap bagian dividen yang diterima sampai dengan sebesar Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, dihitung sesuai dengan ketentuan; dan
  • terhadap bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
  • pajak penghasilan yang seharusnya terutang atau seharusnya dibayar di luar negeri atas bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang berlaku efektif;
  • pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri atas bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan; atau
  • jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan terhadap Penghasilan Kena Pajak, dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang pada Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak diterimanya dividen.
Dalam hal dividen yang diterima bersumber dari 2 (dua) atau lebih negara atau yurisdiksi, penghitungan besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan dilakukan untuk masing-masing negara atau yurisdiksi (per country limitation).
 
Persyaratan Kredit Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak penghasilan harus menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan:
  • laporan keuangan;
  • fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, dalam hal terdapat kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan;
  • perhitungan atau rincian laba setelah pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
  • bukti pembayaran pajak penghasilan atau bukti pemotongan pajak penghasilan atas dividen yang diterima,
dari BULN Nonbursa terkendali langsung bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.



Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 

Legalisasi SKB Potput

Menyambung posting tentang SKP Potput, ada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-11/PJ/2011 [kayaknya diteken sehari sebelum pergantian dirjen] yang memudahkan Wajib Pajak.

SKB Potput adalah surat keterangan dari KPP terdaftar bahwa Wajib Pajak tersebut dalam SKB tersebut tidak perlu dilakukan pemotongan oleh pemberi penghasilan.

Artinya, SKB tersebut berfungsi supaya penghasilan kita tidak dipotong PPh.

Tentu saja KPP tidak memberikan surat dalam jumlah banyak. SKB tersebut diberikan satu kali saja.

Tetapi bisa jadi pelanggan kita banyak. Supaya masing-masing pelanggan tidak memotong PPh, maka masing-masing tentu perlu SKB tersebut.

Idealnya, pemotong itu mendapatkan SKB asli. Tetapi ini akan merepotkan WP dan kantor pajak sendiri.

Sehingga jalan keluarnya, atas SKB tersebut bisa difotokopi atau diperbanyak.

SE-11/PJ/2011 mengatur bahwa Wajib Pajak dapat menggunakan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP penerbit.

Tanpa legalisasi, tentu fotokopi SKB tidak boleh diterima. Artinya bisa jadi pemberi penghasilan tetap memotong PPh.

Untuk mendapatkan legalisasi SKB tersebut, KPP wajib menyelesaikan dalam satu hari saja!!!

Tidak terbayang, bagaimana jika yang mengajukan legalisasi ratusan Wajib Pajak dan masing-masing meminta legalisasi sebanyak 50 buah. Pegel dah!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

SKD

Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B di 1 (satu) negara mitra P3B [PER-35/PJ/2010].
Secara umum, SKD itu seperti KTP dalam kependudukan di kita. Boleh dibilang SKD adalah KTP untuk administrasi perpajakan.

Karena itu, SKD itu bisa untuk subjek pajak dalam negeri seperti yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-35/PJ/2010 atau untuk subjek pajak luar negeri seperti yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-61/PJ/2009.

Manfaat SKD
Pada umumnya, SKD diperlukan agar subjek pajak tertentu bisa menggunakan tax treaty yang sudah dibuat oleh negaranya.

Misalnya SKD yang dibuat oleh subjek pajak dalam negeri, maka kita membuat SKD jika kita memiliki transaksi dengan subjek pajak luar negeri (pelanggan di Luar Negeri).

SKD tersebut akan diberikan kepada pelanggan kita di LN agar kita dan pelanggan kita bisa menggunakan ketentuan tax treaty yang dibuat Indonesia.

Biasanya, SKD diminta oleh pihak yang memberikan penghasilan. Kita sebagai penerima penghasilan akan membuat SKD jika diminta oleh pelanggan kita di LN.

Begitu juga mitra kita di LN akan membuat SKD jika diminta oleh kita.

Biasanya, pembuatan SKD itu sesuai ketentuan domestik dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar.

Misalkan, Wajib Pajak Jepang tentu akan membuat SKD sesuai ketentuan domestik di negara Jepang.

Nah, PER-35/PJ/2010 adalah ketentuan domestik jika WP LN meminta SKD kepada kita.

Yang unik justru di Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 yaitu Indonesia mengatur WP LN untuk membuat SKD sesuai kehendak Indonesia dengan membuat Form DGT 1 atau Form DGT 2.

Seorang Wajib Pajak pernah cerita kepada saya, “Klien saya bingung bikin form DGT 1 karena di negaranya tidak ada prosedur seperti itu sehingga pihak berwenang menolak menandatangani form DGT 1.”

Nah lu …….

Mudah-mudahan saja Competent Authority atau authorized tax office negara lain tidak mempermasalahkan. Semoga!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Komisi Luar Negeri

Pak Raden, apabila kita menagih komisi kepada WP Luar Negeri Apakah dikenakan PPN dan apakah dipotong PPH Pasal 23

satri_nursatria@yahoo.com

Jawaban Saya:
Komisi dari luar negeri berarti Wajib Pajak Dalam Negeri memberikan jasa kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Perlakuan perpajakan atas penghasilan lintas batas seperti itu pada dasarnya diatur pada dua asas : yaitu asas sumber dan asas domisili.

Asas sumber, artinya negara pemberi penghasilan, berhak mengenakan / memotong Pajak Penghasilan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku di negara sumber. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka penghasilan yang bersumber dari Wajib Pajak yang terdaftar di Inggris tersebut akan dipotong Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak Luar Negeri jika menurut undang-undang perpajakan di Inggris diharuskan dipotong.

Kedua, asas domisili, yaitu negara tempat domisili penerima penghasilan akan mengenakan pajak berdasarkan undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka atas penghasilan tersebut harus dilaporkan di SPT Tahunan kita. Darimana pun asal penghasilan tersebut, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri harus dilaporkan. Total penghasilan tersebut kemudian dihitung berapa pajak terutang menurut UU PPh 1984.

Karena satu objek akan dikenakan pajak di dua negara yang berbeda, maka pasti terjadi perpajakan ganda (double taxation). Untuk menghindari pajak ganda, maka dibuatlah perjanjian perpajakan (tax treaty). Tetapi jika posisi kita sebagai penerima penghasilan (asas domisili) maka kita tidak perlu pusing membaca tax treaty. Kita cukup membaca ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU PPh 1984 dan peraturan dibawahnya.

Isu yang penting bagi penerima penghasilan hanya berkaitan dengan kredit pajak. Apakah pajak yang sudah dibayar (jika sudah dipotong pajak di luar negeri) dapat dikreditkan? Berapa kredit pajak yang dapat diperhitungkan menurut peraturan perpajakan di Indonesia?

Karena itu, atas komisi yang diterima dari luar negeri tidak ada PPh Pasal 23 (atau withholding tax lain) yang terutang.

Apakah dikenakan PPN?
Permasalahannya adalah : apakah jasa yang kita berikan dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia atau di luar negeri? Jika jasa tersebut dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia maka menjadi objek PPN (prinsip destinasi). Artinya, atas jasa tersebut wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar 10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN “tetap” dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Penjual menanggung pajak karena pembeli tidak mau membayar pajak!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Kredit Pajak Luar Negeri

Dari diermien : Pak kalau ada bukti potong pajak dari Luar Negeri apakah berlaku bukti potong tersebut di Indonesia (mis Pemotng dari Ghana)

Jawaban saya:
Kredit pajak dari Luar Negeri diatur di Pasal 24 UU PPh 1984. Bunyinya sebagai berikut :
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :

a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;

b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;

d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;

e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.

(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Keuangan sebagai pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud di Pasal 24 ayat (6) UU PPh 1984 adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Diantaranya diatur bahwa:
[a] agar kredit pajak luar negeri dapat diakui, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT. Permohonan dimaksud disertai dengan :
[aa.] Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
[ab.] Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
[ac.] Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

[b] jika kredit pajak dari luar negeri terdiri dari beberapa negara, maka dihitung tiap (masing-masing) negara dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. Contoh penghitungan teknisnya lebih baik lihat langsung ke lampiran Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002.

[c] jika rugi maka kerugian tidak dapat digabungkan. Jadi yang harus digabungkan hanya penghasilan saja. Selain itu, kelebihan kredit pajak luar negeri tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com