fbpx

PPh Pasal 26 Atas Pembayaran Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model.

Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber.

Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model.

Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Indonesia memiliki hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) terhadap Bentuk Usaha Tetap. Walaupun status Bentuk Usaha Tetap merupakan Wajib Pajak luar negeri tetap kewajiban perpajakan Bentuk Usaha Tetap disamakan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri lainnya, yaitu wajib melaporkan seluruh penghasilannya dari usaha atau kegiatannya di Indonesia. Wajib Pajak luar negeri yang lain tidak ada kewajiban melaporkan penghasilan usahanya seperti Bentuk Usaha Tetap.

Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :

  1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu ke OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.

Sekilas Ketentuan Pajak Penghasilan

Salah satu ciri khas pajak adalah tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Mungkin saja pelayanan negara kepada pembayar pajak dengan penyelundup pajak sama saja. Jadi, apa bedanya membayar pajak dengan tidak membayar pajak?

Hampir semua orang tidak akan membayar pajak dengan senang hati. Jika mungkin, setiap orang dapat menikmati hasil usahanya tanpa berkurang karena pajak. Supaya pajak dapat tetap dibayar oleh Wajib Pajak maka pajak harus memiliki kekuatan memaksa agar Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya.

Dalam negara hukum, sifat memaksa hanya dapat dibenarkan jika berdasarkan undang-undang. Sesuai dengan konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, pajak yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang.

Bagian Ketentuan Pajak Penghasilan, penulis akan menguraikan yurisdiksi pengenaan pajak, siapa dan apa yang kenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan domestik, mengapa perlu membuat tax treaty dengan negara lain, dan bagaimana kewenangan Indonesia memungut pajak atas premi asuransi berdasarkan tax treaty yang ada.

Yurisdiksi Pengenaan Pajak

Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.”

Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation . Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, seperti yang berlaku sekarang, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh).

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif .

Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”

Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri .

Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh dan diterima secara global , yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak).

Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Subjek Pajak

Subjek pajak itu adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek pajak itu pada umumnya subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak, yang kemudian diatur dalam undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai subjek pajak.

Subjek pajak diatur oleh Pasal 2 UU PPh. Menurut Pasal 2 ayat (1), subjek pajak adalah (a) 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; (b) badan; (c) bentuk usaha tetap. Selanjutnya, menurut Pasal 2 ayat (2), subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Pembagian subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri mengacu kepada domisili subjek pajak tersebut seperti yang diuraikan diatas.

Sedangkan perlakuan perpajakannya terdapat perbedaan yang mendasar. Subjek pajak luar negeri hanya dikenakan PPh di Indonesia atas penghasilan yang bersumber di Indonesia. Sebaliknya subjek pajak dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilannya, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (world wide income).

Objek Pajak

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan (seperti: memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak gerak, menempati rumah tertentu), perbuatan (seperti: melakukan penyerahan barang karena perjanjian), maupun peristiwa (seperti: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak) .

Tetapi objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang lengkapnya berbunyi, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,…

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

tambahan kemampuan ekonomis
Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud “tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.

baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh.

yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

dengan nama dan dalam bentuk apapun
Bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Pedoman yang harus dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.

Prinsip Netralitas

Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal.

Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang “netral” yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.

Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.

Doernberg, sebagaimana dikutif oleh Gunadi, menyebut tiga unsur netralitas:

netralitas ekspor modal (capital-export neutrality)
Sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik. Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002.

netralitas impor modal (capital-impor neutrality)
Netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality). Maksud netralitas ini adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.

netralitas nasional (national neutrality).
Netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.

Sementara Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.

International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.

Terjadinya Pajak Ganda

Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.

Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis . Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.

Contoh pajak ganda ini adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.

Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system. Sistem ini didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain.

Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar. Penerapan sistem ini menimbulkan efek pengenaan pajak berganda dan tidak mencerminkan asas keadilan dan pemerataan.

Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari Full integration system, deviden deduction system, split rate system, devidend examption system  dan imputation system. Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan  devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.

Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi. Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.

Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir. Contohnya devidend deduction system, yaitu integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan.

Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen. Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.

Sistem lainnya yaitu split rate system pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan. Terakhir, imputation system yaitu dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.

Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) karena ada dual residence; (2) konflik antara asas domisili dengan asas sumber; (3) perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).

Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan misalnya ia diperlakukan masing-masing sebagai penduduk Indonesia dan Singapura . Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Kriteria dimaksud adalah (i) tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence; (ii) pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada; (iii) kebiasaan berdiam (habitual abode); (iv) status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak; (v) prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Konflik antara asas domisili dengan asas sumber merupakan jenis pajak ganda yuridis yang kedua. Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut.

Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.

Metode Penghindaran Pajak Berganda

Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu metode pembebasan dan metode kredit.

Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber. Metode pembebasan meliputi:

Pembebasan subjek
Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa. Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 UU PPh.

Pembebasan objek
Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) diabaikan sama sekali.

Pembebasan pajak
Metode ini dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif.

Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.

Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Metode ini yang paling lazim dipakai dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memakai varian metode ini.

Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili. Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit. Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.

Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.

Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:

Overall limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Per country limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 UU PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Tax sparing
Metode ini disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday. Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber. Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.

Underlying tax credit
Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba. Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.

Matching credit
Matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty). Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.

Tax Treaty

Tujuan dari pembebasan dan kredit pajak adalah untuk menghindari pajak berganda. Undang-undang domestik biasanya telah mengatur secara unilateral pencegahan pajak ganda internasional. Pasal 3 dan Pasal 24 UU PPh merupakan ketentuan domestik mengenai pencegahan pajak berganda. Tetapi pengaturan unilateral pencegahan pajak berganda tersebut sering kurang memadai untuk menghilangkan sama sekali pengenaan pajak berganda. Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan ketentuan unilateral tidak efektif , yaitu:

Satu, apabila Wajib Pajak dalam negeri suatu negara menerima penghasilan dari negara lain yang telah mengenakan pajak sebagai negara sumber, negara domisili tersebut dapat saja secara unilateral membebaskan pengenaan pajak di negara domisili tersebut dengan tujuan mencegah pajak ganda dengan memakai metode pembebasan, namun tidak ada jaminan negara lain tersebut juga akan melakukan pencegahan pajak ganda yang sama. Jika di negara sumber dan di negara domisili tidak timbal balik (reciprocal) maka akan tetap ada pajak ganda.

Dua, suatu sistem pajak atas penghasilan di suatu negara itu unik, sehingga kemungkinan pengenaan pajak ganda atas penghasilan dari transaksi antara dua negara adalah sangat besar, apabila pencegahan pajak ganda hanya diserahkan kepada pengaturan kententuan pencegahan pajak ganda unilateral dari undang-undang domestik. Misalnya dalam hal ketentuan tentang negara sumber dari penghasilan tertentu yang berkenaan dengan source rule. Masing-masing negara mendefinisikan sendiri sehingga di dua negara atau lebih berbeda. Perbedaan definisi source rule merupakan penyebab pajak berganda seperti diuraikan diatas.

Tiga, ketentuan undang-undang domestik biasanya kaku dan tidak lentur. Biasanya interpretasi atas undang-undang domestik tidak memungkinkan memberi akomodasi untuk mencegah pajak ganda, sebab ketentuan undang-undang domestik itu ditujukan guna memasukkan sejumlah penerimaan pajak dan bukan untuk mencegah pajak ganda internasional.

Karena itu, untuk mencegah pajak ganda internasional dibuat ketentuan bilateral antara dua negara yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. Agar benar-benar tidak terjadi pajak berganda, biasanya dalam tax treaty dibuat aturan yang berlapis-lapis. Setidaknya ada tiga lapis aturan untuk menghindari pajak ganda.

Lapis pertama adalah ketentuan untuk mencegah dual residence. Dalam OECD model dan UN model, ketentuan tentang penduduk diatur dalam Pasal 4 tax treaty. Penyelesaian masalah dual residence ini biasanya dilakukan berdasarkan a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan. Jika kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah maka digunakan kriteria kedua, dan seterusnya. Kriteria yang dimaksud adalah permanent home, centre of vital interest, habitual abode, nationality dan mutual agreement. Dengan ditiadakannya kemungkinan dual residence maka pajak ganda yang disebabkan oleh hal ini dengan sendirinya tercegah.

Lapis kedua aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu: pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili. Pada dasarnya suatu tax treaty adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
    • penghasilan immovable propertypenghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treatypenghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises)penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain
    • imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.

Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan. Contoh jenis penghasilan ini adalah bunga, dividen dan royalti.

Ketiga, Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
    • capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property, pensiunan, business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
    • penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
  • penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif,  (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii)  balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.  

Lapis ketiga aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu mutual agreement procedure (MAP). MAP merupakan suatu upaya yang diberikan kepada setiap subjek pajak yang masih mengalami pemajakan ganda untuk meminta pejabat pajak yang berwenang dari negara domisili untuk melakukan mutual agreement dengan pejabat pajak yang berwenang dari negara sumber, sehingga tercapai kesepakatan untuk menghilangkan adanya pajak ganda yang dikenakan kepada subjek pajak tersebut.

Bentuk Usaha Tetap

Seperti diuraikan diatas, dalam tax treaty biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentu Usaha Tetap (BUT). Ketentuan tentang hal ini dalam OECD model dan UN model diatur dalam Pasal 7 ayat (1).

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat:

Satu, adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam.

Dua, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan

Tiga, kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Selanjutnya, yang akan dibahas disini pembatasan Bentuk Usaha Tetap untuk bidang usaha asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5).

Pasal 5 ayat (1) mensyaratkan adanya a fixed place. Seperti diuraikan diatas, Pasal 5 ayat (1) memerlukan tiga syarat, yaitu : adanya tempat usaha, bersifat tetap, dan dilakukan melalui tempat tetap tersebut. Sedangkan Pasal 5 ayat (5) mengatur bahwa orang / badan dapat ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal:

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi. UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Bentuk Usaha Tetap apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).

Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Batasan Bentuk Usaha Tetap Perusahaan Asuransi

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa terdapat dua model pengenaan premi asuransi ke luar negeri. Model pertama disarankan oleh OECD model. Commentary Pasal 5 ayat (5) menyebutkan, “according to the definition of the term “permanen establishment” an insurance company of one State may be taxed in the other State on its insurance business, if it has a fixed place of business within the meaning of paragrap 1 or if it carries on business through a person within the meaning of paragraph 5”.

Model kedua disarankan oleh UN model. Commentary Pasal 5 ayat (6) menyebutkan, “.. the Group agreed that the case of representation through independent agents should be left to bilateral negotiations, which could take account of the methods used to sell insurance ….

Australia

Tax treaty dengan Australia bernama “Agreement between the goverment of The Republic of Indonesia and the goverment of Australia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 22 April 1992, dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 62 tahun 1992 tanggal 10 Nopember 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Austria

Tax Treaty dengan negara Austria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Austria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect of taxes on income and on capital”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Vienna pada tanggal 24 Juli 1986 dan telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 8 tahun 1987 tanggal 20 April 1987.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Belgia

Tax Treaty dengan negara Belgia terdapat dua periode, yang pertama didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital” yang ditandatangani oleh kedua negara di Brussels pada tanggal 13 Nopember 1973 kemudian diratifikasi Keputusan Presiden No. 50 tahun 1974 tanggal 13 September 1974. Tax Treaty ini berlaku dari tanggal 1 Januari 1975 sampai dengan 31 Desember 1998.

Periode kedua didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income” yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 16 September 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 149 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. Tax treaty yang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999 sampai sekarang.

Pada periode pertama, tax treaty mengatur secara khusus batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (5). Tetapi pada periode kedua, batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi dihilangkan. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1999 Bentuk Usaha Tetap diuji dengan dependensi agen asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5).

Brunei Darussalam

Tax treaty dengan negara Brunei Darussalam bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Brunei Darussalam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandantangani oleh kedua negara di Bandar Seri Begawan pada tanggal 27 Februari 2000 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 2000 tanggal 20 April 2000.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Bulgaria

Tax treaty dengan negara Bulgaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Bulgaria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Sofia pada tanggal 11 Januari 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1991 tanggal 18 Juli 1991.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Kanada

Tax treaty dengan negara Kanada bernama “Convention between The Republic of Indonesia and Canada for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1979 tanggal 3 Desember 1979.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Tax treaty dengan Kanada telah diamandemen pada tanggal 1 April 1998 tetapi Pasal 5 ayat (5) tidak mengalami perubahan (tidak diamandemen).

Sri Lanka

Tax treaty dengan negara Sri Lanka bernama “Agreement between Republic of Indonesia and The Democratic Socialist Republic of Sri Lanka for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect ot taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Kolombo pada tangga 3 Februari 1993 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Taiwan

Tax treaty dengan negara Taiwan bernama “Agreement between The Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and The Taipei Economic and Trade Office for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”Tax treaty ini telah ditandatangani di Taipei pada tanggal 1 Maret 1995 dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 507/KMK.04/1995 tanggal 7 Nopember 1995.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Ceko

Tax treaty dengan negara Ceko bernama “Agreement between the govenment of Republic of Indonesia and the government of The Czech Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1994 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1995 tanggal 6 Desember 1995.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Denmark

Tax Treaty dengan negara Denmark bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Denmark for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”.  Tax treaty ini ditandatangani  di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1985 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 15 tahun 1986 pada tanggal 21 April 1986.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Finlandia

Tax Treaty dengan negara Finlandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Finland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 49 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perancis

Tax Treaty dengan negara Perancis bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The French Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jerman

Tax treaty  dengan negara Jerman bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Federal Republic of Germany for the avoidance of double taxation with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bonn pada tanggal 30 Oktober 1990 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Hungaria

Tax treaty dengan negara Hungaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hungarian People’s Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1989 tanggal 9 Desember 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

India

Tax treaty dengan negara India bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of India for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1987 tanggal 8 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Italia

Tax treaty dengan negara Italia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the gorvernment of The Italian Republic of for the avoidance of double taxation with respet to taxes on income and the prevention of fiscal evasion”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1990 tanggal 9 Oktober 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jepang

Tax treaty dengan negara Jepang bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and Japan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Tokyo pada tanggal 3 Maret 1982 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1982 tanggal 27 Oktober 1982.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Yordania

Tax treaty dengan negara Yordania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hashemite Kingdom of Jordan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Amman pada tanggal 12 Nopember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 151 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. 

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Korea

Tax treaty dengan negara Korea Selatan bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Nopember 1988 dan diratifikasi pada dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1989 tanggal 8 Maret 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Kuwait

Tax treaty dengan negara Kuwait bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The State of Kuwait for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuwait pada tanggal 23 April 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 152 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Luxembourg

Tax treaty dengan negara Luxembourg bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Grand Duchy of Luxembourg for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Luxembourg pada tanggal 14 Januari 1993 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Malaysia

Tax treaty dengan negara Malaysia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Malaysia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 12 September 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1992 tanggal 26 Juni 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mauritius

Tax treaty dengan negara Mauritius bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Mauritius for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Desember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1998 tanggal 12 Januari 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mongolia

Tax treaty dengan negara Mongolia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Mongolia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Ulan Bator pada tanggal 2 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 157 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung risiko di negara lain.

Belanda

Sampai saat ini, terdapat dua tax treaty dengan negara Belanda yang telah diratifikasi. Tax treaty yang pertama bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of The Netherlands for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty  ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1973 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1974 tanggal 14 Januari 1974. Kemudian, tahun 1993 tax treaty ini diamandemen dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1994 tanggal 24 Januari 1994.

Kedua tax treaty dengan Belanda mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5) dalam tax treaty tahun 1973 dan Pasal 5 ayat (6) dalam tax treaty tahun 1994. Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Selandia Baru

Tax treaty dengan negara Selandia Baru bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of New Zealand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Wellington pada tanggal 23 Maret 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Norwegia

Tax treaty dengan negara Norwegia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 45 tahun 1988 tanggal 8 Nopember 1988.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Pakistan

Tax treaty dengan negara Pakistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Islamic Republic of Pakistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Islamabad pada tanggal 7 Oktober 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 tahun 1991 tanggal 23 Januari 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Filipina

Tax treaty dengan negara Filipina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Philippines for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Manila pada tanggal 18 Juni 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1981 tanggal 28 Oktober 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Polandia

Tax treaty dengan negara Polandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Poland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Warsawa pada tanggal 16 Oktober 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 1993 tanggal 4 Agustus 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Rumania

Tax treaty dengan negara Rumania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Romania for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 147 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Singapura

Tax treaty dengan negara Singapura bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Singapura pada tanggal 8 Mei 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1990 tanggal 20 Desember 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Vietnam

Tax treaty dengan negara Vietnam bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Socialist Republic of Vietnam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Hanoi pada tanggal 22 Desember 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 177 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Afrika Selatan

Tax treaty dengan negara Afrika Selatan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of South Africa for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Juli 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 148 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Spanyol

Tax treaty dengan negara Spanyol bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Spain for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Mei 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Sudan

Tax treaty dengan negara Sudan bernama “Agreement between the government of the Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Sudan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Khartoum pada tanggal 10 Februari 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 150 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swedia

Tax treaty dengan negara Swedia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Sweden for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 28 Februari 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1989 tanggal 30 April 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swis

Tax treaty dengan negara Swis bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Swiss Confederation for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Bern pada tanggal 29 Agustus 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1989 tanggal 31 Agustus 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Siria

Tax treaty dengan negara Siria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Syria Arab Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Juni 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 176 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Thailand

Tax treaty dengan negara Thailand bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Thailand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bangkok pada tanggal 25 Maret 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1981 tanggal 7 Juli 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (4). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uni Emirat Arab

Tax treaty dengan negara Uni Emirat Arab bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the governement of The United Arab Emirates for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 156 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Tunisia

Tax treaty dengan negara Tunisia bernama “Agreement between the Republic of Indonesia and The Republic of Tunisia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Denpasar tanggal 13 Maret 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1993 tanggal 24 Februari 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Turki

Tax treaty dengan negara Turki bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The Republic of Turkey for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 160 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Ukraina

Tax treaty dengan negara Ukraina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Ukraine for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 April 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 155 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mesir

Tax treaty dengan negara Mesir bernama “Agreement the government of The Republic of Indonesia and The Arab Republic of Egypt for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kairo pada tanggal 13 Mei 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 153 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Inggris

Tax treaty dengan negara Inggris bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1974 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1975 tanggal 13 September 1975. Kemudian pada tanggal 5 April 1993 di Jakarta ditandatangani tax treaty yang kedua yang merupakan renegosiasi tax treaty yang pertama. Tax treaty yang kedua diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 118 tahun 1993 tanggal 8 Desember 1993.

Kedua tax treaty dengan Inggris mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Amerika Serikat

Tax treaty dengan negara Amerika Serikat bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of United States of Amerika for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1988 tanggal 31 Oktober 1988.

Kemudian pada tanggal 24 Juli 1996 di Jakarta ditandatangani protokol amandemen tax treaty  yang pertama. Amandemen ini telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 88 tahun 1996 tanggal 20 Nopember 1996.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7), dan tahun 1996 Pasal 5 ini tidak diamandemen. Sehingga setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uzbekistan

Tax treaty dengan negara Uzbekistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Uzbekistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income (profits)”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 161 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Venezuela

Tax treaty dengan negara Venezuela bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Venezuela for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 158 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perantara Asuransi

Pada bagian ini, penulis membahas ketentuan perantara asuransi yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian.

Pengertian Asuransi

Terdapat beberapa definisi asuransi atau pertanggungan yang dapat menjelaskan pertanyaan ‘apa itu asuransi’. Baik definisi yang ditulis oleh pakar tentang asuransi maupun definisi menurut undang-undang. Di bawah ini dua definisi asuransi berdasarkan definisi undang-undang :

Menurut Pasal 246 KUHD:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Jika diperhatikan, kedua definisi hukum tersebut tidak ada pertentangan. Tetapi definisi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian) lebih luas. Definisi UU Perasuransian mencakup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan definisi KUHD hanya mencakup asuransi kerugian.

Jika dilihat dari sudut tertanggung asuransi merupakan kemauan untuk menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti untuk sebagai pengganti (substitusi) kerugian besar yang belum pasti. Tertanggung bersedia membayar premi dimasa sekarang agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Manfaat Asuransi

Banyak menfaat yang dapat dipetik oleh individu atau perusahaan dari kegiatan perasuransian, seperti perasaan aman yang diperoleh tertanggung ketika resiko-resiko yang mungkin timbul dimasa yang akan datang. Dibawah ini beberapa manfaat asuransi menurut pandangan Riegel dan Miller, sebagaimana dikutif oleh Abbas Salim :

  1. Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-perusahaan berada dalam keadaan aman. Dengan membeli asuransi, para pengusaha akan menjadi tenang.
  2. Dengan asuransi efesiensi perusahaan dapat dipertahankan. Guna menjaga kelancaran perusahaan, maka dengan asuransi resiko dapat dikurangi.
  3. Penarikan biaya akan dilakukan seadil mungkin (the equitable assestment of cost). Ongkos-ongkos asuransi harus adil menurut besar kecilnya resiko yang dipertanggungkan.
  4. Asuransi sebagai dasar pemberian kredit.
  5. Asuransi merupakan alat penabung, umpamanya dalam asuransi jiwa.
  6. Asuransi dapat dipandang sebagai suatu sumber pendapatan (earning power). Sumber pendapatan ini didasarkan kepada financing the business.

Perantara Asuransi

Hubungan antara penanggung dan tertanggung harus dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut polis. Hubungan tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip asuransi yang berlaku umum. Ada lima prinsip asuransi dan satu prinsip tambahan untuk reasuransi yang disebut Follow the fortunes of the ceding company . Berikut ini keenam prinsip asuransi tersebut :

Prinsip itikad baik
Penanggung dan tertanggung wajib melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undang-undang. Tertanggung tidak diperkenankan menyembunyikan segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung. Sebaliknya, penanggung tidak boleh menolak atau melakukan penundaan penyelesaian klaim yang menjadi tanggung jawabnya dengan berbagai dalih.

Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan
Pihak tertanggung wajib membuktikan diri bahwa dialah yang mempunyai kepentingan atas objek yang dipertanggungkan pada saat terjadinya kerugian.

Prinsip Ganti Rugi (Indemnitas)
Penggantian dan/atau pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung hanya terbatas pada kerugian sebenarnya yang dibayarkan oleh tertanggung sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku serta sah menurut hukum.

Prinsip Subrograsi
Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti kerugian yang sah kepada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak tertangggung untuk memperoleh pemulihan dan/atau menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.

Prinsip saling menanggung
Prinsip saling menanggung (kontribusi) merupakan dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada pihak yang bersangkutan, termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung bersama sesuai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi, dan reasuransi.

Prinsip follow the fortune of the ceding company
Prinsip ini juga diartikan dengan prinsip “mengikuti suka dukanya penanggung pertama”, dalam arti sebagai berikut:
1). Bila penanggung pertama mengalami kerugian karena besarnya klaim yang harus dibayar, secara seimbang pihak reasuransi juga akan mengikuti hasil yang tidak menguntungkan.
2). Bila penanggung pertama mengalami keuntungan, pihak reasuransi juga akan menikmati keuntungan.

Bila penanggung pertama berhasil memperoleh hasil pemulihan (recoveries) dari pihak ketiga, reasuransi juga berhak memperoleh sebagian hasil pemulihan tersebut, seimbang dengan saham kepesertaan mereka dalam kontrak reasuransi.

Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya . Pada prakteknya, seringkali hubungan penanggung dan tertanggung tidak langsung tetapi melalui satu perantara asuransi.

Kepentingan dan harapan tertanggung dipertemukan dengan penanggung oleh perantara sehingga perusahaan asuransi yang dipilih benar-benar penanggung yang dapat memenuhi kepentingan dan harapan tertanggung. Sering kali tertanggung sangat buta terhadap informasi asuransi dan sangat awam tentang peraturan perasuransian. Karena itu, sangat diperlukan suatu perantara yang menjembatani tertanggung dan penanggung.

Secara ilmu tatalaksana, menurut Abbas Salim, terdapat tiga bagian organisasi asuransi , yaitu kantor pusat, sistem keagenan dan sistem cabang. Sistem keagenan dan sistem cabang adalah kepanjangan tangan kantor pusat di daerah (selain kantor pusat). Perbedaan antara sistem agen dan sistem cabang adalah :

  1. pada sistem agen, agen kepala bekerja atas dasar kontrak yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap kantor-kantor cabang. Sedangkan pada sistem cabang, kepala cabang bekerja sebagai karyawan dan diberi gaji serta harus bertanggung jawab penuh kepada kantor pusat.
  2. Untuk menjalankan tugas penjualan asuransi, agen kepala berhak mengangkat sub agen dan agen-agen lainnya. Mereka bekerja tidak diberi upah/gaji seperti cabang.
  3. Dalam melakukan penjualan asuransi agen kepala ikut aktif, sedangkan pada sistem cabang kepala cabang hanya bekerja mengawasi administrasi dan penjualan asuransi tersebut.
  4. Agen kepala penghasilannya tergantung kepada komisi, oleh sebab itu ia harus bekerja lebih giat agar penghasilannya bertambah.

Menurut Purwosutjipto, dalam bidang hukum pertanggungan terdapat empat jenis perantara :

Pertama, Agen pertanggungan, yakni ada tiga bentuk:

  1. Agen pertanggungan bentuk pertama yaitu agen pertanggungan yang bertugas mencari langganan bagi perusahaannya. Tetapi agen ini juga bertindak untuk kepentingan calon tertanggung dan menerima amanatnya.
  2. Agen pertanggungan bentuk kedua yaitu agen pertanggungan yang dibayar oleh perusahaan dan semacam “pekerja keliling”. Agen pertanggungan memiliki surat kuasa yang mengikat majikannya.
  3. Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Kedua, Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Ketiga, Makelar pertanggungan. Makelar pertanggungan adalah perantara yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan tetap dengan satu atau beberapa perusahaan pertanggungan tertentu. Sebelum melaksanakan tugasnya, makelar pertanggungan harus mengangkat sumpah dulu dimuka hakim pengadilan negeri.

Keempat, Assurantiebezorger, yaitu perantara pertanggungan yang bertindak sebagai pemegang kuasa calon tertanggung dan mewakili perusahaan pertanggungan (di bursa Amsterdam) yang atas namanya turut menandatangani polis. Kedudukan ini di Indonesia tidak ada. Di Indonesia perantara pertanggungan ini tidak ada.

Wirjono Prodjodikoro, membedakan antara agen asuransi dan makelar asuransi. Agen asuransi yaitu seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi dan yang mengadakan pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu. Sedangkan makelar asuransi yaitu orang yang menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, termasuk perantara dalam hal mengadakan asuransi yang diatur dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD.

Sedangkan UU Perasuransian membedakan usaha perasuransian menjadi dua, yaitu usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi. Menurut Pasal 3 hurub b UU Perasuransian, usaha penunjang asuransi terdiri dari:

  1. usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
  2. usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
  3. usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
  4. usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.
  5. usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Broker Asuransi

Terdapat tiga istilah yang sering dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu broker, makelar atau pialang. Istilah broker berasal dari bahasa Inggris tetapi sangat sering dipergunakan sehari-hari. Istilah makelar adalah istilah yang dipakai di Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Sedangkan dalam UU Perasuransian memakai istilah pialang. Karena itu, dalam tesis ini ketiga istilah tersebut digunakan dengan maksud yang sama.

KUHD mengatur makelar umum dalam Pasal 62 sampai dengan 73 KUHD, sedangkan khusus mengenai makelar pertanggungan laut diatur dalam Pasal 681 sampai dengan Pasal 685 KUHD.

Untuk menjadi makelar, orang harus diangkat oleh pemerintah dan sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya, ia harus bersumpah dimuka Pengadilan Negeri, Pasal 62 KUHD.

Kemudian, Pasal 64 KUHD menyebutkan bahwa pekerjaan makelar adalah melakukan penjualan dan pembelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan dan lainnya, kapal-kapal, andil-andil dalam dana umum dan efek-efek lainnya, obligasi-obligasi, surat wesel, surat order dan surat-surat dagang lainnya, pula untuk menyelenggarakan perdiscontoan, pertanggungan, perutangan dengan jaminan kapal dan pencarteran kapal, perutangan uang atau lainnya.

Pasal 66 KUHD mewajibkan para makelar membuat catatan dalam suatu buku tentang segala perbuatan sebagai makelar dan setiap hari semua itu ditulis dalam suatu buku harian secara teliti.

Khusus makelar asuransi laut, Pasal 681 KUHD mewajibkan :

  1. Membuat nota penghabisan (sluitnota) selaku hasil dari perundingan dengan seorang asurador untuk pihak yang dijamin. Dalam nota ini disebutkan wujud barang yang dijamin, jumlah uang asuransi, berapa preminya dan berbagai perjanjian.
  2. Mengisi polis sesuai dengan undang-undang dan dengan keinginan kedua belah pihak.
  3. Mengadakan daftar polis-polis.
  4. Memasukkan dalam daftar itu segala catatan-catatan, surat-surat pemberitahuan-pemberitahuan tentang apa saja yang bersangkutan dengan asuransi-asuransi yang diadakan dengan perantaraan makelar itu.
  5. Apabila terjadi suatu kerugian yang harus diganti, makelar harus memberikan kepada pihak yang menjamin segala bahan-bahan untuk melaksanakan persetujuan asuransi.
  6. Atas permintaan kedua belah pihak, memberikan turunan dari polis dan lain-lain surat kepada merekan.

Undang-Undang Perasuransian membagi perusahaan pialang menjadi dua yaitu: perusahaan pialan asuransi dan perusahaan pialang reasuransi.

Pasal 5 UU Perasuransian mengatur kegiatan usaha masing-masing sebagai berikut:

  1. Perusahaan pialang asuransi menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
  2. Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi kontrak asuransi.

Jika dilihat dari badan usahanya, usaha pialang asuransi merupakan usaha yang mandiri, artinya pialang asuransi merupakan badan hukum terpisah dari perusahaan asuransi, walaupun mungkin saja pialang asuransi tersebut merupakan anak perusahaan dari perusahaan asuransi.

Pasal 7 ayat (1) UU Perasuransian mengatur bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :

  1. Perusahaan Perseroan (Persero);
  2. Koperasi;
  3. Perseroan Terbatas;
  4. Usaha Bersama (Mutual).

Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengharuskan memiliki susunan organisasi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya ada fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan.

Modal disetor perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000,00. Jika perusahaan tersebut terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00.

Ketentuan tentang modal disetor ini terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992. Tetapi dalam Peraturan Pemerinah No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no. 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha asuransi, tidak diatur lagi jumlah modal disetor kecuali bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan reasuransi dapat membentuk modal disetor sesuai dengan kebutuhan. Menurut memori penjelasannya, penghilangan batas minimum modal disetor bagi perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi dikarenakan pialang merupakan sebuah profesi, karena itu yang lebih diutamakan adalah profesionalisme dari perusahaan pialang.

Sebagai sebuah profesi, perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi membentuk asosiasi yang bernama Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia atau disingkat ABAI. Asosiasi ini didirikan pada tanggal 11 Maret 1978 dan menyelenggarakan program akreditasi yang disebut CIIB atau Certified Indonesian Insurance and Reinsurance Brokers.

Seorang broker yang memiliki CIIB, dapat mengusulkan dan merencanakan seluruh program asuransi serta memberikan pilihan program asuransi yang terbaik untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembeli dan penempatan resikonya pada penanggung asuransi dan mengurus klaim dengan baik.

Berbeda dengan agen asuransi yang hanya mementingkan keuntungan penanggung, broker asuransi akan membela kepentingan tertanggung melalui konsultasi ahli dan berperan sebagai “bagian asuransi” perusahaan tertanggung.

Broker asuransi berfungsi memilih penanggung yang aman bagi tertanggung, memilih jenis pertanggungan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung, melakukan negosiasi tingkat premi dengan penanggung, dan jika terjadi klaim maka mereka juga berfungsi memberikan pelayanan dan administrasi penyelesaian klaim.

Berdasar uraian diatas, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan usaha yang berdiri sendiri dalam arti badan hukum tersendiri dan tidak ada usaha lain selain usaha pialang.

Pialang asuransi dan pialang reasuransi juga merupakan suatu profesi yang lebih mengutamakan profesionalisme daripada modal perusahaan. Selain itu, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan perantara antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan tertanggung, calon tertanggung atau pihak lain yang memerlukan jasa asuransi dan jasa reasuransi.

Agen Asuransi

Agen asuransi merupakan bagian dari pemasaran bagi perusahaan asuransi sebagaimana broker asuransi. Keduanya sama-sama mencari calon tertanggung dan merupakan perantara antara penanggung dan tertanggung.

Perbedaan hakiki antara agen asuransi adalah agen asuransi bekerja untuk dan atas nama penanggung sedangkan broker asuransi bekerja untuk tertanggung. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari definisi agen asuransi dan pialang asuransi menurut UU Perasuransian.

Pasal 1 angka 8 UU Perasuransian, “Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertangung.”

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Definisi tersebut dengan tegas membedakan antara pialang asuransi dengan agen asuransi. Pialang asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan tertanggung sedangkan agen asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan penanggung.

Agen asuransi karena bekerja untuk dan atas nama penanggung maka agen asuransi tidak beda dengan kepanjangan tangan dari penanggung. Semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung.

Agen asuransi terdapat dua macam, yaitu agen asuransi yang menjadi karyawan penanggung dan agen asuransi yang independen, dalam arti bukan karyawan penanggung.

Bagi perusahaan asuransi jiwa, agen asuransi yang independen lebih disukai karena tidak terikat dengan peraturan ketenaga-kerjaan . Tetapi keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk membentuk product image. Untuk itu, perusahaan asuransi biasanya memberikan training kepada agen agar menjadi tenaga pemasar yang unggul.

Seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992, bahwa semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni. Walaupun agen asuransi merupakan agen yang independen, tetapi agen asuransi tetap merupakan kepanjangan tangan perusahaan asuransi karena semua tindakan agen tersebut merupakan atau mengatasnamakan tindakan perusahaan asuransi yang diageni.

Kententuan lain yang mengikat agen asuransi dengan perusahaan asuransi adalah Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perijinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. Untuk mendapatkan ijin usaha agen asuransi, usaha agen asuransi harus memiliki bukti perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi yang diageni.

PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pada bagian ini, penulis membagi menjadi 3 bagian, yaitu : (a) withholding tax yang menguraikan alasan dan keuntungan metode withholding disamping kerugiannya; (b) PPh Pasal 26 dan tax treaty yang membahas kewenangan memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri; (c) PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang membahas kewajiban memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri.

Withholding Tax

Withholding merupakan metode pengumpulan pajak penghasilan pada saat pembayaran penghasilan oleh pihak lain kepada Wajib Pajak. Sebelum penghasilan diterima oleh Wajib Pajak maka penghasilan tersebut dipotong terlebih dahulu sebesar pajak yang terutang.

Pembayar penghasilan merupakan pemotong pajak. Tujuan dari withholding tax adalah memajaki (memotong pajak) penghasilan ketika penghasilan tersebut diterima. Karena itu, kadang-kadang metode ini juga dikenal dengan pay as you earn (PAYE).

Withholding merupakan bagian dari tax settlement. Ada dua pendekatan tax settlement yaitu : (a) self payment atau pembayaran angsuran bulanan oleh Wajib Pajak sendiri, dan (b) withholding system atau pelunasan pajak oleh pihak ketiga.

Dasar penghitungan self payment adalah prestasi kinerja tahun pajak yang lalu sedangkan dasar penghitungan withholding system adalah besarnya transaksi penerimaan atau perolehan penghasilan.

Pendekatan withholding tax terdapat dua macam. Pertama, pajak yang telah dipotong merupakan kredit pajak bagi pajak yang terutang pada tahun yang sama. Dengan kata lain, withholding tax merupakan pembayaran pajak dimuka yang akan dikreditkan pada akhir tahun saat penghitungan pajak terutang atas semua penghasilan yang diterima Wajib Pajak.

Pendekatan kedua, pajak yang dipotong merupakan pajak yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang lainnya.

Khusus bagi negara berkembang, withholding tax sangat penting. Administrator pajak mereka akan lebih baik menegakkan hukum pajak dan merupakan solusi bagi masalah pengumpulan pajak.

Keuntungan lain dari sistem pemotongan adalah :

  1. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak karena pihak yang dibayar diwajibkan melaporkan penghasilan atas pajak yang telah dipotong oleh pemotong.
  2. pajak yang terutang otomatis akan terkumpul oleh pemotong dan akan dilaporkan oleh pemotong sehingga akan teridenfikasi dari laporan pemotong.
  3. meningkatkan keadilan pajak karena walaupun Wajib Pajak tidak melaporkan penghasilannya atau hanya sebagian penghasilan yang dilaporkan, tetapi semua pajak terutangnya telah dibayar.
  4. mengurangi beban / membantu tugas kantor pajak untuk mengumpulkan pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
  5. metode ini biasanya “meringankan” beban Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang karena Wajib Pajak membayar pajak saat penghasilan diterima.

Sedangkan kelemahan dari metode ini, dapat memberikan beban bagi Wajib Pajak karena kelebihan pemotongan. Bagi Wajib Pajak yang mengalami kerugian, pemotongan pajak merupakan beban tambahan karena seharusnya Wajib Pajak tersebut tidak membayar pajak penghasilan.

Walaupun kelebihan pajak penghasilan tersebut dapat dikembalikan, tetapi Wajib Pajak mengalami opportunity cost. Metode withholding juga akan menambah beban bagi pemotong yang seharusnya menjadi beban kantor pajak.

Selain itu, khusus pemotongan yang bersifat final akan menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak tetap akan dipotong pajak oleh pemotong walaupun “seharusnya” Wajib Pajak tersebut tidak wajib membayar pajak.

Sistem perpajakan di Indonesia juga mengenal withholding tax. Ketentuan tentang withholding tax diatur dalam :

  1. Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Untuk pemotongan PPh atas : penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur oleh peraturan pemerintah.
  2. Pasal 21 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan.
  3. Pasal 22 UU PPh. Yaitu pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah.
  4. Pasal 23 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah dan penghargaan.
  5. Pasal 24 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri.
  6. Pasal 26 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.

PPh Pasal 26 dan tax treaty

Ada dua perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yaitu :

  1. penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Wajib Pajak luar negeri ini diperlakukan seperti Wajib Pajak dalam negeri, yaitu pemenuhan sendiri (self assessment) kewajiban perpajakannya
  2. Wajib Pajak luar negeri lainnya. Atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap yang bersumber dari Indonesia dipotong oleh pemberi penghasilan.

Pasal 26 UU PPh mengatur pemotongan PPh oleh pemberi penghasilan bagi Wajib Pajak (penerima penghasilan) yang berstatus Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Withholding tax PPh Pasal 26 bersifat final sehingga tidak dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, kecuali :

  1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan penghasilan yang diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud;
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.

Salah satu penghasilan yang menjadi objek pajak PPh Pasal 26 adalah premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Besarnya perkiraan penghasilan neto kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut, besarnya perkiraan penghasilan neto sebagai berikut :

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995. Siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Ketentuan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 diatas merupakan ketentuan domestik. Sebagai negera berdaulat, Indonesia dapat mengatur dan merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Khusus untuk subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan (objek pajak) berupa premi asuransi dari Indonesia diatur dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Tetapi otoritas negara / domestik untuk mengatur perpajakan mungkin akan dibatasi oleh treaty dan agreement internasional, yaitu

  1. bilateral tax conventions;
  2. multilateral treaties establishing free trade areas;
  3. agreements WTO
  4. the Article of Agreement of the IMF

Bilateral tax conventions lebih populer dengan nama tax treaty, yaitu perjanjian atau kesepakatan dibidang perpajakan antara dua pemerintah yang berdaulat yang bersifat resiprokal untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda.

Menurut Kees Van Raad , walaupun hierarki antara treaty dengan undang-undang domestik tidak sama setiap negara, tetapi menurut hukum sipil di kebanyakan negara, treaty memiliki status superior daripada undang-undang domestik.

Ketentuan dalam treaty mungkin saja dikesampingkan oleh undang-undang khusus seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Ketentuan hukum nasional dapat membatalkan ketentuan treaty yang sudah ada hanya jika Kongres Amerika Serikat secara tegas mengeluarkan ketentuan yang secara khusus mengesampingkan ketentuan treaty yang sudah ada tersebut.

Timbulnya kewenangan untuk memungut pajak oleh pemerintah berasal dari undang-undang domestik bukan berasal dari tax treaty. Undang-undang domestik mengatur siapa-siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, berapa tarif pajaknya dan bagaimana prosedur pembayaran pajak tersebut. Tax treaty justru membatasi hak pemerintah untuk mengenakan pajak tertentu.

Dalam beberapa peraturan pemerintah dan keputusan menteri keuangan secara tegas disebutkan bahwa ketentuan PPh Pasal 26, khususnya tentang tarif, dikesampingkan dan berlaku ketentuan dalam tax treaty. Contoh peraturan yang secara tegas menyebutkan berlakunya tax treaty daripada ketentuan PPh Pasal 26 adalah :

  1. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.
  2. Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 juga menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.

Dari uraian diatas terbukti bahwa ketentuan dalam undang-undang domestik “dikalahkan” oleh ketentuan tax treaty.

Tarif dalam tax treaty selalu lebih rendah daripada tarif dalam UU PPh atau ketentuan domestik. Hal ini terkait dengan fungsi suatu tax treaty yaitu membatasi kewenangan masing-masing negara yang bersepakat. Dengan tax treaty ditentukan hak pemajakan masing-masing treaty partner.

Kedudukan tax treaty lebih superior daripada ketentuan domestik karena tax treaty lebih spesialis (lex specialis derogat lex generalis).

Walaupun demikian, tax treaty tidak menciptakan ketentuan pajak yang baru karena kewenangan / hak pemajakan sebagaimana diatur dalam tax treaty hanya akan berlaku jika ketentuan domestik mengatur.

Maksud dari tax treaty biasanya dapat dilihat dari pembukaannya, yaitu “menghindari pemajakan berganda dan mencegah penghindaran pajak”.

Bahkan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, terdapat maksud lain yang tidak tertulis tetapi sebenarnya lebih penting daripada maksud yang tertulis, yaitu:

Pertama, merupakan pembagian penerimaan pajak dari penghasilan kedua negara treaty partner.

Kalau arus investasi dan bisnis seimbang antara kedua negara yang membuat tax treaty, biasanya bukan masalah besar jika masing-masing negara membatasi pemajakan di negara sumber dan menyerahkan pemajakan kepada negara domisili.

Sebaliknya, kalau arus investasi dan bisnis tidak seimbang akan berakibat pemindahan pendapatan pajak dari satu negara kepada negara lain. Biasanya keadaan tidak seimbang tersebut antara negara berkembang sebagai importir modal dan negara maju sebagai eksportir modal. Negara berkembang akan memperjuangkan hak pemajakan atas sumber penghasilan dari negaranya.

Kedua, negara-negara berkembang sekarang umumnya berusaha meningkatkan modal masuk dari negara-negara pengekspor modal.

Tax treaty dapat memfasilitasi maksud tersebut. Pembuatan tax treaty mengharuskan penerapan kaidah-kaidah internasional terutama tentang nondiscrimination, sehingga para investor yang menanamkan modalnya di negara lain akan terlindungi dengan tax treaty.

Menurut John Hutagaol, tax treaty memberikan banyak manfaat bagi Indonesia diantaranya :

  1. kemudahan informasi melalui pertukaran informasi,
  2. pemberian insentif pajak, dan
  3. kepastian hukum bagi investor asing.

Berdasarkan uraian diatas, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh hanya dapat diterapkan terhadap Wajib Pajak luar negeri yang berdomisili di negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia.

Jika Wajib Pajak luar negeri berdomisili di negara yang telah memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam tax treaty.

PPh Pasal 26 atas premi asuransi

PPh Pasal 26 atas premi asuransi diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh yang berbunyi,”Atas penghasilan dari … premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.”

Memori penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa ketentuan tersebut mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia. Atas penghasilan dari premi asuransi, premi reasuransi, dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Pasal 15 UU PPh memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk menentukan norma penghitungan khusus. Dasar pemberian wewenang tersebut adalah kepraktisan atau kelaziman.

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan norma penghitungan khusus. Hanya Wajib Pajak tertentu yang mengalami kesulitan untuk menghitung penghasilan neto sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) UU PPh atau Pasal 16 ayat (3) UU PPh.

Pasal 26 ayat (3) UU PPh juga memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menentukan perkiraan penghasilan neto. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kedudukan keduanya?

Menurut penulis, keduanya mengatur sesuatu yang berbeda walaupun sama mengatur tentang penghasilan neto. Pasal 15 UU PPh mengatur tentang penghasilan neto bagi Wajib Pajak tertentu.

Penghasilan neto yang dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh adalah “tambahan kemampuan ekonomis” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Karena itu, Pasal 15 termasuk dalam Bab III tentang objek pajak.

Sedangkan Pasal 26 UU PPh termasuk dalam Bab IV yang mengatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang salah satu cara pelunasan pajak yaitu withholding tax. Jadi Pasal 26 ayat (3) UU PPh merupakan kewenangan yang diberikan kepada menteri keuangan dalam rangka withholding tax.

Berdasarkan kuasa Pasal 26 ayat (3) UU PPh, menteri keuangan kemudian menetapkan besarnya penghasilan neto yaitu dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Besarnya perkiraan penghasilan neto berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut:

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995.

Dengan demikian, siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Tetapi, pada tanggal 05 Desember 1995 direktur jenderal pajak mengeluarkan surat No. S-428/PJ.432/1995 (Surat Dirjen) yang membebaskan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di :

Darimana kewenangan direktur jenderal pajak tersebut?

Seharusnya, direktur jenderal pajak tidak berwenang menentukan negara-negara mana saja yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 mengingat UU PPh tidak memberikan kuasa kepada direktur jenderal pajak.

Satu-satunya kewenangan yang didelegasikan oleh Pasal 26 UU PPh adalah besarnya perkiraan penghasilan neto dan diberikan kepada menteri keuangan.

Kewenangan pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri hanya mungkin “dikalahkan” oleh suatu tax treaty. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 hanya dapat dikecualikan oleh tax treaty yang telah dibuat oleh Indonesia dengan negara mitra (treaty partner). Sebagaimana dikemukakan oleh Kees Van Raad bahwa tax treaty memiliki kedudukan lebih superior daripada undang-undang domestik.

Pendapat senada dikemukakan oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H. bahwa Indonesia mengakui “primat hukum antar negara”, sehingga hukum antar negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum nasional.

Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri RI Moh. Hatta dalam pidatonya pada tanggal 11 Agustus 1950 di Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapat ini juga berdasarkan asas hukum modern yang termuat dalam dalil “persetujuan mematahkan undang-undang”.

Suatu tax treaty merupakan perjanjian antara dua negara yang merdeka dibidang perpajakan. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara lain termasuk dalam bidang perpajakan.

Sampai tahun 2000, terdapat 50 tax treaty yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dari 50 tax treaty tersebut satu tax treaty tidak paripurna yaitu tax treaty dengan negara Arab Saudi sedangkan sisanya, 49 tax treaty, merupakan tax treaty paripurna.

Khusus tentang pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber, tax treaty yang disepakati oleh Indonesia terdapat dua macam, yaitu yang mengacu kepada OECD model dan UN model.

Tax treaty yang mengacu kepada OECD model adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tax treaty dengan negara-negara tersebut tidak memuat aturan khusus tentang usaha asuransi. Hak pemajakan terhadap usaha asuransi disamakan dengan usaha yang lainnya, khususnya tentang usaha jasa.

Negara sumber memiliki hak pemajakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap di negara tersebut. Syarat adanya Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 5 ayat (1) tax treaty adalah adanya fixed place of business.

Rachmanto Surahmat menguraikan lebih lanjut bahwa definisi Pasal 5 ayat (1) mengandung tiga syarat, yaitu :

  1. adanya tempat usaha berupa prasarana;
  2. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
  3. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

“Tempat usaha tetap” tetap tersebut contohnya adalah tempat pemasaran di Indonesia yang disewa oleh perusahaan asuransi di luar negeri untuk memasarkan produknya di Indonesia.

Tempat pemasaran bisa berupa bangunan kantor atau hanya ruangan tertentu di suatu pusat perdagangan sekalipun. Server komputer juga menurut sebagian ahli perpajakan dapat disamakan seperti halnya suatu gedung yang salah satu ruanggannya disewa untuk dipakai sebagai tempat penjualan barang-barang perusahaan luar negeri .

Jika ada perusahaan asuransi luar negeri menempatkan servernya di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Selain itu, perusahaan asuransi luar negeri juga dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika memiliki agen tidak bebas di Indonesia.

Menurut OECD model (khususnya commentary on article 5 ), perusahaan asuransi dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain jika memiliki a fixed place of business sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau memiliki agen tidak bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).

Bunyi lengkap Pasal 5 ayat (5) tersebut sebagai berikut, “Notwithstanding the provisions of paragraphs 1 and 2, where a person – other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 applies – is acting on behalf of an enterprise and has, and habitually exercises, in a Contracting State an authority to conclude contracs in the name of the enterprise, that enterprise shall be deemed to have a permanent establishment in that State in respect of any activities which that person undertakes for the enterprise, unless the activities of such person are limited to those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixed place of business, would not make this fixed place of business a permanent establishment under the provisions of that paragraph.”

Menurut Yari Yuhariprasetya , bahwa ayat ini mensyaratkan dua hal secara kumulatif, yaitu

  1. adanya orang atau badan yang bertindak atas nama perusahaan asuransi di luar negeri; dan
  2. adanya otorisasi dari perusahaan asuransi di luar negeri kepada orang atau badan untuk menandatangani kontrak.

Khusus tentang agen asuransi di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Selain itu, Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 menyebutkan, ” Semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni.”

Artinya, agen asuransi selalu bertindak atas nama perusahaan asuransi yang diageninya dan semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung atau perusahaan asuransi.

Wawancara dengan fihak Direktorat Asuransi juga lebih menegaskan bahwa semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan perusahaan asuransi. Dengan demikian, syarat pertama telah terpenuhi.

Syarat kedua mengharuskan adanya otorisasi untuk menandatangani kontrak oleh agen. Tetapi bisa saja kontrak sudah ditandatangani oleh kantor pusat tetapi klien atau nasabah dicari oleh agen.

Hal ini juga berarti agen tersebut memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Menurut Rachmanto Surahmat , “apabila bentuk maupun format kontrak itu sudah dibuat standar dan ditandatangani oleh salah seorang dari kantor pusat, agen tersebut dapat dianggap mempunyai wewenang menandatangani kontrak, sebab ia mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.”

Apakah polis asuransi sudah dibuat standar? A. Hasymi Ali menyebutkan bahwa Polis Standar Kebakaran New York 1943 yang terdiri dari 165 baris menjadi pola semua proteksi asuransi.

Begitu juga Abdulkadir Muhammad, menyebutkan,”..untuk mencegah persaingan yang tidak sehat (unfair competition) sesama perusahaan asuransi, maka diupayakan penyeragaman syarat-syarat khusus dalam polis dengan cara menciptakan polis standar, baik secara nasional maupun secara internasional.. ada tiga jenis polis yang terkenal yaitu polis maskapai, polis bursa dan polis Lloyd.

Di bagian lain, Abdulkadir Muhammad, menyebutkan, “Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu.

Kemudian polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya. Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung.

Tetapi apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave it.

Berdasarkan uraian diatas dan pengalaman penulis memeriksa terhadap perusahaan asuransi, penulis berkesimpulan bahwa polis asuransi adalah kontrak yang sudah distandarkan.

Oleh karena itu, perusahaan asuransi di luar negeri yang memperoleh penghasilan premi asuransi dari Indonesia melalui agen asuransi di Indonesia, maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia karena telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Berikut ini adalah tax treaty yang dibuat oleh Indonesia dengan treaty partner yang mengacu kepada OECD model :

Sedangkan tax treaty yang mengacu kepada UN model khusus untuk bentuk usaha tetap perusahaan asuransi adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tidak seperti OECD model yang syarat bentuk usaha tetapnya disamakan dengan perusahaan jasa lainnya, UN model memiliki syarat khusus yang dimuat di Pasal 5 ayat (6) UN model yaitu :

  1. pengumpulan atau penerimaan premi dalam wilayah negara lain; atau
  2. menanggung resiko yang terletak di negara lain.

Pasal 5 ayat (6) UN model bunyi lengkapnya sebagai berikut, “Notwithstanding the preceding provisions of this article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except regard to re-insurance, be deemed to have permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 applies”.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (6) UN model tersebut, perlakuan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi dari Indonesia atau memiliki objek asuransi yang ditanggung di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu :

  1. Perusahaan asuransi (baik perusahaan asuransi umum maupun perusahaan reasuransi) di luar negeri yang menerima premi reasuransi dari Indonesia. Perusahaan ini dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika menerima premi reasuransi dari Indonesia melalui agen tidak bebas atau memiliki a fixed place of business di Indonesia. Ketentuan adanya Bentuk Usaha Tetap bagi reasuransi disamakan dengan perusahaan jasa lainnya.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi asuransi dari Indonesia atau menanggung resiko yang terletak di Indonesia, baik melalui agen asuransi maupun tidak, kecuali melalui broker asuransi. Selama bukan mengenai reasuransi dan penerimaan premi asuransi tersebut tidak melalui broker asuransi, maka perusahaan asuransi di luar negeri dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
  3. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi (baik premi asuransi umum maupun reasuransi) dari Indonesia melalui broker asuransi. Perusahaan asuransi seperti ini tidak dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena broker asuransi merupakan usaha yang independen (bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 5 ayat (6) OECD model dan Pasal 5 ayat (7) UN model.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terhadap pembayaran premi asuransi yang diterima oleh perusahaan asuransi di luar negeri yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak pembayar premi di Indonesia?

Hasil wawancara dengan fihak Direktorat Peraturan Perpajakan berpendapat bahwa tax treaty tidak memberikan hak withholding bagi perusahaan asuransi.

Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi disamakan dengan perusahaan jasa lain dan pemajakannya diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Tetapi jika memang harus dipotong maka pemotongan tersebut menjadi kredit pajak bagi Bentuk Usaha Tetap tersebut dan diperhitungkan diakhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) huruf b UU PPh.

Penulis juga sependapat bahwa pemajakan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi luar negeri disamakan dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.

Kewajiban pemotongan terhadap pengahasilan premi asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh tidak dapat dilaksanakan berdasarkan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) yaitu, “Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).”

Berdasarkan uraian diatas, terhadap pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak di dalam negeri kepada perusahaan asuransi terdapat tiga perlakuan Pajak Penghasilan yang berbeda, yaitu :

  1. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di dalam negeri. Pembayaran premi ini tidak dipotong (tidak ada withholding).
  2. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang bukan merupakan treaty partner. Pembayaran premi ini dipotong PPh Pasal 26 dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994.
  3. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang merupakan treaty partner. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka pembayaran premi tidak dipotong PPh Pasal 26.

Catatan:

Tulisan ini disalin dari tesis saya dengan beberapa perubahan, pengurangan, dan penyesuaian. Tesis dibuat pertengahan 2002 dan mendapat persetujuan tanggal 5 Nopember 2002.

Ringkasan tesis sudah di muat di laman Universitas Indonesia dengan link berikut: Pengenaan PPh pasal 26 atas premi asuransi (ui.ac.id)

Karena dibuat tahun 2002, maka beberapa ketentuan sudah berubah. Pembaca harap mengecek lagi ketentuan yang berlaku.

Terima kasih.

P3B

P3B adalah perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara mitra tentang perpajakan. Kedudukan P3B diatas undang-undang. Karena itu, sebagian aturan di Undang-Undang PPh tidak berlaku, kalah dengan aturan P3B berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.

P3B dalam bahasa Inggrisnya tax treaty. Tax Treaty memiliki 5 tujuan, yaitu:

  1. menghindari pajak berganda yang akan membebani dunia usaha,
  2. meningkatkan investasi asing,
  3. meningkatkan sumber daya manusia (SDM),
  4. pertukaran informasi untuk mencegah pengelakan pajak (tax evasion), dan
  5. kedudukan antar negara adalah setara.

Sekilas Sejarah Tax Treaty

Menurut Brian J. Arnold, tax treaty model memiliki sejarah panjang, dimulai dengan perjanjian diplomatik awal abad 19. Tujuan dari perjanjian diplomatik ini adalah memastikan bahwa diplomat negara yang bekerja di negara lain tidak akan didiskriminasi. Perjanjian diplomatik ini diperluas dengan menambahkan pajak penghasilan di awal Abad ke 20.

Sementara itu, Darussalam memberikan ringkasan perkembangan tax treaty model sebagai berikut:

Setelah Perang Dunia I, ekonomi dunia meningkat pesat. Khususnya di Eropa yang saat itu menjadi pusat ekonomi dunia. Orang kaya makin banyak, sehingga banyak yang memiliki usaha di beberapa negara. Dan masing-masing negara mengenakan pajak penghasilan. Akibatnya, perusahaan besar yang usahanya antar negara dikenakan pajak 2 kali atau lebih.

Grafik ekonomi dunia dalam 2000 tahun.

Karena itu, mucul muncul P3B agar pengusaha tidak dikenakan pajak ganda. Karena waktu itu pusat ekonomi berada di Eropa, maka P3B juga pertama kalinya berada di negara-negara Eropa.

P3B itu ditujukan untuk menghilangkan pajak ganda. Tetapi aturan masing-masing P3B tidak seragam. Tentu saja karena namanya perjanjian (treaty) ada perundingan dan negosiasi. Makanya P3B itu secara umum mirip, tapi banyak coraknya.

Akibat banyak corak tersebut, maka ada orang yang memanfaatkan kelemahan (loopholes) P3B. Perusahaan besar banyak memanfaatkan P3B dengan tujuan menghindari pajak. Hal ini disebut treaty shopping.

Treaty shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut.

Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai treaty shopping jika:

  1. Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
  2. Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
  3. Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner atau BO), khusus untuk penghasilan yang pasal dalam tax treaty-nya memuat klausul BO.

Celah P3B dan treaty shopping ini tentu saja menguntungkan perusahaan tetapi merugikan negara. Ya, negara sama sekali tidak mendapatkan pajak, baik negara sumber maupun negara domisili. Kondisi ini disebut double non taxation. Karena itu, topik otoritas pajak dunia saat ini sebenarnya lebih maju, bukan hanya P3B tetapi memerangi double non taxation melalui Global Forum.

Tata Cara Penerapan P3B

Wajib Pajak Dalam Negeri (Indonesia) yang melakukan transaksi dengan mitra bisnisnya di Luar Negeri dapat memanfaatkan aturan P3B. Aturan P3B seperti fasilitas, bisa digunakan dan bisa tidak digunakan.

Tetapi dalam hal akan menggunakan P3B, harus diperhatikan syarat-syaratnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka penggunaan P3B tidak berlaku. Artinya ketentuan yang berlaku kembali ke Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai aturan domestik.

Tata cara penerapan P3B diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018. Berdasarkan PER-25/PJ/2018, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan syarat:

  1. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  2. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  4. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.

Syarat pertama, penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri. Tentu saja penerima penghasilan harus subjek pajak luar negeri. Jika penerima penghasilan masih subjek pajak dalam negeri maka berlaku Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Syarat kedua, bahwa penerima penghasilan merupakan penduduk negara mitra. Artinya, sudah ada P3B antara Indonesia dengan negara dimana penerima penghasilan berdomisili. Jika belum ada perjanjian dengan negara tersebut, terus P3B mana yang dapat digunakan?

Di perpajakan, bukti subjek pajak terdaftar di negara tertentu dibuktikan dengan Certificate of Residence (CoR), atau Certificate of Domicile (CoD). Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B. CoR seperti KTP (kartu tanda penduduk) di Indonesia.

Syarat kedua juga mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri mengisi form DGT :

Form DGT ini harus diisi benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani. Form DGT harus disahkan oleh Competent Authority. Competent Authority adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Tetapi, CoR berfungsi juga sebagai pengesahan form DGT oleh Competent Authority. Jadi, jika ada CoR tidak perlu lagi pengesahan form DGT.

Contoh Certificate of Residence dari 
 Negara Inggris

Contoh SKD dari Amerika Serikat

Terakhir, jangan lupa untuk unggah form DGT ke eSKD di pajak.go.id

Lampiran SPT PPh Pasal 26 cukup dengan tanda terima dari eSKD ini.

Syarat ketiga, tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Syarat ini mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri memiliki :

  1. Substansi ekonomi yang valid,
  2. Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi,
  3. Manajemen mengelola usaha sendiri dan wewenangnya cukup,
  4. Aset yang cukup sesuai dengan profil usaha,
  5. Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
  6. Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.

Serta tidak terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B antara lain: pengurangan beban pajak; dan/atau tidak dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non taxation), yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.

Syarat keempat, Wajib Pajak Luar Negeri yang akan menggunakan P3B tertentu merupakan Beneficial Owner (BO). Beneficial Owner adalah pemilik dan/atau penerima manfaat sebenarnya atas penghasilan.

Ciri-ciri WPLN sebagai BO yaitu :

  1. tidak bertindak sebagai Agen, Nominee atau Conduit
  2. mempunyai kendali atas asset,
  3. tidak lebih dari 50% penghasilan digunakan memenuhi kewajiban kepada pihak lain,
  4. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban, dan
  5. tidak mempunyai kewajiban tertulis maupun tidak tertulis meneruskan sebagian/seluruh penghasilan dari Indonesia kepada pihak lain.

Struktur P3B

P3B adalah perjanjian dua negara. Karena yang berjanji adalah negara, maka kekuatan hukumnya diatas undang-undang berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.

Walaupun demikian, P3B tidak menggantikan Undang-Undang PPh. P3B hanya mengurangi hak pemajakan antar negara. Contoh, tarif PPh Pasal 26 di Undang-Undang PPh sebesar 20%. Tetapi dengan P3B menjadi 10%. Maka aturan yang dipakai adalah P3B.

Sebaliknya, jika Undang-Undang PPh tidak mewajibkan pemotongan atas jenis penghasilan tertentu, sedangkan di P3B diatur tarif tertentu, maka Indonesia tidak memotong PPh atas jenis penghasilan tertentu.

Karena itu perlu dipahami, jenis-jenis penghasilan apa saja yang diatur di P3B dan jenis penghasilan apa yang diatur di Undang-Undang PPh. Berikut ini struktur pengaturan P3B berdasarkan P3B Indonesia dengan Amerika Serikat. Ini contoh saja.

Pasal 1 Personal Scope
Pasal 2 Taxes Covered
Pasal 3 General Definitions
Pasal 4 Fiscal Residence
Pasal 5 Permanent Establishment
Pasal 6 Income From Immovable (Real) Property
Pasal 7 Source Of Income
Pasal 8 Business Profits
Pasal 9 Shipping And Air Transport
Pasal 10 Related Persons
Pasal 11 Dividends
Pasal 12 Interest
Pasal 13 Royalties
Pasal 14 Capital Gains
Pasal 15 Independent Personal Services
Pasal 16 Dependent Personal Services
Pasal 17 Artistes And Athletes
Pasal 18 Government Service
Pasal 19 Students And Trainees
Pasal 20 Teachers And Researchers
Pasal 21 Private Pensions And Annuities
Pasal 22 Social Security Payments
Pasal 23 Relief From Double Taxation
Pasal 24 Non-Discrimination
Pasal 25 Mutual Agreement Procedure
Pasal 26 Exchange Of Information
Pasal 27 Diplomatic And Consular Officers
Pasal 28 General Rules Of Taxation
Pasal 29 Assistance In Collection
Pasal 30 Entry Into Force
Pasal 31 Termination

Contoh tax treaty model 2017 dari OECD :

Tax treaty model merupakan model perjanjian atau contoh perjanjian di bidang pajak yang akan jadi acuan dua negara (bilateral) yang berunding. Tetapi contoh ini tidak mengikat, artinya masing-masing negara yang berunding bebas menggunakan model aturan yang akan diterapkan.

Negara Domisili dan Negara Sumber

Negara domisili adalah negara di mana Wajib Pajak berdomisili atau berkantor pusat. Negara sumber adalah negara asal penghasilan. Contoh, perusahaan di Indonesia membayar royalti ke perusahaan yang berkantor di negara Jepang. Artinya Indonesia sebagai negara sumber, sedangkan Jepang sebagai negara domisili.

Pada dasarnya suatu tax treaty (P3B) adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:
  2. Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan.
  3. Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:

Contoh jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan:

  • penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
  • penghasilan immovable property.
  • penghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treaty
  • penghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises).
  • penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah-ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain.
  • imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.

Contoh jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan adalah bunga, dividen dan royalti.

Contoh jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber yaitu:

  • penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
  • capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property
  • pensiunan
  • business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
  • penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
  • penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif, (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii) balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.

Active Income dan Passive Income

Selanjutnya, hal penting yang harus dipahami para pembelajar P3B adalah jenis penghasilan. Setiap pasal mengatur jenis penghasilan tertentu dengan aturan tertentu. Jenis penghasilan tertentu biasanya ditentukan negara mana yang berhak memajaki.

Tetapi untuk memudahkan, jenis-jenis penghasilan dapat digolongkan dalam 3 golongan, yaitu:

  1. Active Income,
  2. Passive Income, dan
  3. Other Income.

Active income merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Umumnya (secara pasti harus cek di masing-masing P3B), active income dikenakan pajak di negara domisili. Negara sumber berhak memajaki jika terdapat Permanent Establishment.

Active income adalah penghasilan dari business profit. Selain business profit pada umumnya, termasuk dalam active income yaitu : shipping, inland waterways transport and air transport, independent personal services, dependent personal services, directors, entertainer and sport person, government services, dan student.

Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari harta, baik harta berwujud maupun tidak berwujud. Umumnya, passive income dikenakan pajak di negara domisili dan negara sumber.

Tarifnya sudah ditentukan di P3B. Karena itu biasa disediakan tabel tarif pemotongan di negara sumber. Termasuk passive income yaitu penghasilan dari immovable property, divident, interest, royalty, capital gains, pensions.

Other income yaitu penghasilan yang tidak termasuk di dua golongan diatas.

Contoh tabel tarif pemotongan di negara sumber untu jenis penghasialn dividen, bunga, dan royalti:

Shall be Taxable Only dan May be Taxed

Pembagian hak pemajakan di P3B bisa juga dilihat dari kata-kata yang digunakan di setiap pasal P3B. Ya, karena pada dasarnya perjanjian dimulai dengan negosiasi, sebelum ditanda tangani. Saat negosiasi, disepakati kata-kata (terminologi) mana yang akan dipakai.

Terminologi shall be taxable only untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada negara domisili. Artinya, negara sumber tidak memiliki hak untuk memajaki berdasarkan P3B. Walaupun demikian, bisa jadi ada pengecualian dengan syarat tertentu.

Terminologi may be taxed digunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas penghasilan tersebut diberikan kepada negara domisili dan negara sumber.

Darussalam memberikan ringkasan pasal-pasal yang menggunakan terminologi shall be taxable only dan may be taxed. Berikut salinannya.

Jenis-jenis penghasilan yang biasanya menggunakan terminologi shall be taxable only :

Jenis-jenis penghasilan yang biasanya negara domisili memiliki hak pemajakan (menggunakan terminologi may be taxed) :

Permanent Establishment

Permanent Establishment (PE) dalam P3B diartikan sebagai hak pemajakan negara sumber. Beberapa pasal P3B mensyaratkan terpenuhinya P3B agar negara sumber dapat mengenakan pajak penghasilan.

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Pasal 5 ayat (1) OECD model 2017

Kata kunci PE adalah fixed place of business. Menurut Rachmanto Surahmat, PE memiliki tiga syarat, yaitu:

  1. adanya tempat usaha berupa prasaran, seperti gedung atau dalam hal-hal tertentu mesin dan peralatan,
  2. tempat usaha ini harus bersifat tetap, dan
  3. kegiatan usaha dilakukan melalui tempat tetap ini.

Istilah place of business mencakup setiap tempat, fasilitas atau instalasi yang digunakan untuk menjalankan bisnis perusahaan baik digunakan secara eksklusif untuk tujuan itu maupun tidak. Tidaklah penting apakah tempat, fasilitas atau instalasi dimiliki atau disewa oleh perusahaan.

Cakupan Pasal BUT di P3B

Istilah through which harus diberi arti yang luas agar dapat diterapkan pada setiap kegiatan bisnis dilakukan di lokasi tertentu yang dapat digunakan oleh perusahaan. Jadi, misalnya, suatu badan usaha yang bergerak di bidang pengaspalan jalan akan dianggap menjalankan usahanya melalui lokasi tempat kegiatan tersebut berlangsung.

Fixed secara umum diartikan tetap di titik geografis tertentu. Contoh yang paling mudah seperti kantor, gudang, dan tambang. Tetapi untuk peralatan, fixed juga diartikan jika berada di tempat tertentu. Tidak harus menancap ke bumi.

Keberadaan Wajib Pajak Luar Negeri tidak harus memiliki kantor. Orang yang disuruh atau menerima perintah dari perusahaan di Luar Negeri baik berstatus pegawai maupun agen tidak bebas (dependent agent) dapat dalam pengertian PE. Mungkin orang ini tinggal di hotel dan bekerja di mitra bisnisnya. Keberadaan orang ini biasanya akan diuji dengan time test.

A building site or construction or installation project constitutes a permanent stablishment only if it lasts more than twelve months.

Pasal 5 ayat (3) OECD model 2017

Proyek konstruksi dan jasa teknis biasanya harus lulus time test agar bisa disebut PE. Di OECD model 2017 diatas time test minimal 12 bulan. Ini karena OECD lebih banyak merepresentasikan negara maju yang biasanya tempat negara domisili.

Sebaliknya bagi negara berkembang, time test yang dikehendaki justru lebih pendek. Semakin singkat time test berarti kesempatan untuk mengenakan pajak atas kegiatan tersebut semakain besar.

Sebagai contoh : dalam hal konstruksi, negara berkembang cenderung untuk tidak menerapkan tes waktu sama sekali dengan alasan : proyek konstuksi, instalasi, dan perakitan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat; masa hadirnya personel dari perusahaan asing tersebut tidak relevan dengan penyelesaian proyek.

Berikut daftar time test berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra yang saya salin dari aplikasi TKB :

Perhitungan time test konstruksi dimulai pada saat kontraktor mempersiapkan dan memulai pekerjaannya di negara tempat dilakukannya pembangunan. Termasuk pekerjaan persiapan yaitu mendirikan bangunan untuk keperluan perencanaan.

Proyek tersebut dianggap terus berlangsung sampai pekerjaan selesai atau ditinggalkan untuk seterusnya. Proyek tidak dianggpa berhenti ketika pekerjaan tersebut diberhentikan sementara. Penghentian sementara bisa disebabkan oleh kurangnya bahan bangunan, kesulitan buruh, atau cuaca yang tidak mendukung.

Apabilan kontraktor luar negeri membagi proyek dengan subkontraktor dalam negeri, maka penghitungan time test meliputi semua pekerjaan dengan subkontraktor. Tetapi jika subkontraktor berasal dari luar negeri, maka subkontraktor dapat dianggap mempunyai PE jika kegiatan subkontraktor melewati time test.

Jika kontraktor luar negeri memiliki beberapa proyek di Indonesia, maka penghitungan time test harus dihitung proyek per proyek. Penghitungan waktunya harus terpisah antara proyek A dengan proyek B, dan seterusnya.

Pasal 5 ayat (4) OECD model mengatur pengecualian PE dalam P3B. Pengecualian ini banyak dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk penghindaran pajak. Kantor pusat di luar negeri mendesaian kantor cabang di Indonesia supaya masuk kriteria pengecualian ini sehingga tidak memiliki PE.

Namun demikian, harus diperhatikan istilah semata-mata atau solely for the purpose. Sebagai contoh, “the use of facilities solely for the purpose of storage, display or delivery of goods or merchandise belonging to the enterprise“. Wajib Pajak mengatakan bahwa kantor di Indonesia hanya untuk display atau contoh. Bukan stok untuk jualan. Padahal, selain display, kantor tersebut juga memiliki fungsi sebagai marketing. Sehingga bukan solely for purpose of display.

Kata kunci pengecualian PE di Pasal 5 adalah kegiatan yang bersifat preparatory or auxiliary. Belum ada penjualan, atau tidak menghasilkan. Karena bersifat persiapan, maka sulit untuk mengalokasikan keuntungan apapun ke PE.

Kuncinya, seberapa penting kegiatan di negara sumber. Contoh adanya PE di Indonesia tanpa ada penjualan di Indonesia. Contoh ini modifikasi dari contoh di paragrap 68 Commentary OECD model :

RCO perusahaan di Singapura mendirikan kantor pembelian di Indonesia. RCO membeli produk pertanian di Indonesia. Karyawan RCO di Indonesia punyak keahlian tentang produk pertanian yang sesuai dengan standar internasional. Dan melakukan kontrak pembelian. Meskipun satu-satunya aktivitas yang dilakukan RCO di Indonesia hanya pembelian, tetapi kantor tersebut merupakan PE karena fungsi pembelian merupakan suatu hal yang esensial dan bagian penting dari keseluruhan aktivitas RCO.

Jadi, kegiatan kantor perusahaan asing di Indonesia dapat ditetapkan sebagai PE di Indonesia jika terdapat kegiatan yang melampaui preparatory or auxiliary.

Pasal 5 ayat (5) dan ayat (6) OECD Model 2017

Contoh yang diberikan di SE-52/PJ/2021 sebagai berikut:

ABC Ltd. memiliki pengurusan suatu tempat usaha di Indonesia yang digunakan untuk melakukan administrasi pengiklanan atas barang hasil produksinya. Jika tempat usaha tetap ini digunakan semata-mata untuk tujuan administrasi pengiklanan barang hasil produksinya sendiri, maka tempat usaha tetap ini tidak dianggap sebagai suatu BUT. Namun, jika tempat usaha tetap ini selain melakukan administrasi pengiklanan barangnya sendiri juga melakukan administrasi pengiklanan untuk barang atau jasa milik perusahaan lain, maka tempat usaha tetap ini dianggap merupakan BUT bagi ABC Ltd

ABC Ltd. yang bergerak di bidang penjualan secara daring (online) memiliki gudang yang berukuran besar di Indonesia dan mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar untuk mengurusi penyimpanan barang di gudang tersebut. Kegiatan penyimpanan ini tidak dapat dianggap sebagai kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang dikarenakan kegiatan tersebut merupakan bagian yang esensial dan signifikan dari kegiatan perusahaan tersebut secara keseluruhan.

ABC Ltd. memiliki tempat usaha tetap di Indonesia yang digunakan untuk melakukan pembelian komoditas hasil pertanian berupa tembakau untuk kemudian dijual ke negara lain. ABC Ltd. mempekerjakan beberapa pegawai yang memiliki pengalaman dan pengetahuan akan kualitas dan kelas (grade) tembakau sesuai dengan standar dan permintaan pasar internasional. Para pegawai ini juga menyelesaikan proses transaksi dengan petani atau pedagang pengumpul di Indonesia. Dalam hal ini, kegiatan pembelian yang dilakukan oleh ABC Ltd. melalui tempat usaha tetap di Indonesia tidak termasuk dalam kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang karena merupakan bagian dari kegiatan esensial dan signifikan bagi ABC Ltd. secara keseluruhan.

Suatu perusahaan harus diperlakukan memiliki PE di suatu Negara jika dalam kondisi tertentu terdapat seseorang yang bertindak untuknya, walaupun perusahaan tersebut mungkin tidak memiliki kantor di Negara itu. Hal ini disebut BUT keagenan.

PE agen adalah PE yang dilakukan oleh agen tidak bebas. Agen terdapat dua jenis, yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Syarat seseorang dapat disebut agen tidak bebas:

  1. seseorang bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan atas nama (on behalf) suatu perusahaan;
  2. dalam melakukannya, orang tersebut biasanya membuat kontrak, atau biasa memainkan peran utama yang mengarah pada penyelesaian kontrak, dan
  3. kontrak-kontrak tersebut atas nama perusahaan atau untuk pengalihan kepemilikan, atau untuk pemberian hak untuk menggunakan.

Dalam bahasa lain, dalam buku Pajak Internasional, DJP menyebut syarat agen tidak bebas yang dapat dikenai PE yaitu:

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara. 
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Dulu, Prof. R. Mansyuri pernah menyebutkan bahwa agen bebas itu seperti komisioner di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Setelah saya cek, komisioner diatur di Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Bunyinya seperti ini:

Komisioner adalah orang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas order dan atas beban pihak lain

Sementara istilah agen yang diatur di Peraturan Menteri Perdagangan lebih tepat disebut agen tidak bebas:

agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006

Agen bebas (independen) biasanya akan bertanggung jawab kepada prinsipal atas hasil pekerjaannya. Dia tidak akan tunduk pada instruksi rinci dari prinsipal mengenai pelaksanaan pekerjaan.

Suatu Orang yang bertindak sebagai agen hanya dapat dianggap independen jika:

  1. agen tersebut independen terhadap perusahaan yang diwakilinya secara hukum dan ekonomis,
  2. agen tersebut bertindak dalam rangka menjalankan usaha rutinnya sendiri ketika bertindak atau melaksanakan kegiatan atas nama perusahaan.

Suatu agen dianggap tidak independen secara hukum jika ia bertindak berdasarkan instruksi detil dari suatu perusahaan sehubungan dengan kegiatan usahanya atau dikendalikan secara komprehensif oleh suatu perusahaan.

Suatu agen dianggap tidak independen secara ekonomis jika:

  1. agen tersebut tidak menanggung risiko usaha atau menanggung risiko yang tidak signifikan atas kegiatan usahanya;
  2. kegiatan agen tersebut dilakukan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya untuk satu perusahaan; atau
  3. agen tersebut bertindak atau melaksanakan kegiatan untuk satu perusahaan dan dengan demikian hanya mempunyai satu sumber penghasilan.

Teorinya, perusahaan dapat dikenai PE karena 4 sebab, yaitu : aset (fixed place of business), aktivitas (konstruksi, perakitan, instalasi, aktivitas supervisi, dan kegiatan jasa), agen tidak bebas, dan asuransi.

OECD model menyerahkan PE asuransi berdasarkan Pasal 5 terutama terkait agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan PE bagi usaha asuransi.

Menurut UN model, bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai PE apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang agen tidak bebas.

P3B Indonesia yang mengatur khusus asuransi diantaranya P3B Indonesia dengan : Aljazair, Amerika Serikat, Austria, Belanda, Brunei Darussalam, Ceko, Denmark, Filipina, Finlandia, Hongaria, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Utara, Korea Selatan, Kuwait, Luxembourg, Maroko, Mesir, Meksiko, Mongolia, Norwegia, Pakistan, Perancis, Polandia, Romania, Rusia, Singapura, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Thailand, Tiongkok (China), Tunisia, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yordania.

Terakhir, Prof R Mansyuri memberikan kesimpulan tentang PE sebagai berikut:

  • kriteria umum : tempat tetap;
  • contoh-contoh tempat tetap yang merupakan BUT seperti cabang, kantor, pabrik, tambang, dan lain-lain;
  • perluasan pengertian BUT kepada tempat pembangunan gedung dan kegiatan usaha lainnya yang melampaui time test;
  • warehouse yang juga dipakai untuk menyerahkan barang atau barang dagangan dalam memenuhi penjualan di negara sumber dianggap BUT;
  • hanya agen tidak bebas yang dianggap BUT;
  • agen perusahaan asuransi di negara sumber dapat dianggap BUT jika agen tersebut mengutip premi di nengara sumber atau menanggung resiko yang terletak di negara sumber dan agen tersebut merupakan agen tidak bebas;
  • agen bebas tidak dapat dijadikan dasar adanya BUT;
  • pengusaan perseroan oleh perseroan lainnya tidak dapat dipakai sebagai dasar adanya BUT.

Berikut video penjelasan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diunduh dari KLC BPPK Kementerian Keuangan. Karena tidak bisa “disematkan”, akhirnya saya unduh dari KLC dan unggah di sini:

Income From Immovable Property

Income from immovable property di OECD model diatur di Pasal 6. Pasal ini mengatur pemajakan atas penghasilan yang berasal dari aset tidak bergerak.

Income derived by a resident of a Contracting State from immovable property (including income from agriculture or forestry) situated in the other Contracting State may be taxed in that other State

Pasal 6 ayat (1) OECD Model 2017

Menurut DJP, seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.

Cakupan Pasal 6 Penghasilan dari Harta Tak Bergerak di P3B

Electronic Commerce

OECD model 2017 masih merekomendasikan bahwa pengenaan transaksi e-Commerce dilakukan di mana server berada. Server tempat situs web disimpan dan yang melaluinya dapat diakses adalah sebuah peralatan yang memiliki lokasi fisik dan lokasi tersebut dengan demikian dapat menjadi PE dari perusahaan yang mengoperasikan server tersebut.

Jika suatu perusahaan mengoperasikan peralatan komputer di lokasi tertentu, suatu PE mungkin ada meskipun tidak ada personel dari perusahaan tersebut yang diperlukan di lokasi tersebut untuk pengoperasian peralatan tersebut. Keberadaan personel tidak diperlukan. Kesimpulan ini berlaku untuk perdagangan elektronik.

Karena itu, di Perpu No 1 tahun 2020 Indonesia membuat pajak jenis baru. Namanya Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Subjek Pajak Luar Negeri yang memanfaatkan P3B Indonesia sehingga tidak dapat dikenai Pajak Penghasikan, maka Indonesia mengenakan pajak transaksi elektronik.

Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik

Pasal 6 ayat (8) Perpu 1 Tahun 2020

Namun, pengenaan PTE masih menunggu kesepakatan Global Forum. Global Forum berencana mengenakan PPh atas transaksi e-Commerce berdasarkan pillar one atau pillar two. Rencana semula akan disepakati akhir tahun 2020. Ternyata digeser ke pertengahan tahun 2022.

PwC telah merangkum blueprint pillar one dan pillar two. Berikut rangkumannya:

  • The Blueprints menunjukkan bahwa kemajuan teknis telah dicapai dalam menyetujui arsitektur perantara dari rencana tersebut.
  • Elemen signifikan dari kedua kerangka kerja Pilar masih harus diselesaikan, seperti cakupan Jumlah dan tarif realokasi berdasarkan Pilar Satu, dan tarif pajak minimum dan ‘daftar putih’ dari rezim yang dianggap patuh berdasarkan Pilar Dua.
  • Analisis dampak ekonomi yang diperbarui menyatakan bahwa laba yang dialokasikan kembali ke yurisdiksi pasar dapat mencapai hingga USD 100 miliar setiap tahun di bawah Pilar Satu, dan pendapatan baru yang diperoleh di bawah Pilar Dua bisa berada pada kisaran USD 60-100 miliar per tahun.
  • Posisi AS dalam negosiasi tetap tidak pasti.

Mengutip dari laman Pertapsi, Unified Approach (Pillar one) merupakan usulan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Hal tersebut dilakukan melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik.

Pillar One menawarkan hak pemajakan baru dengan memperkenalkan pembaruan terhadap alokasi profit dan konsep nexus baru. Perusahaan multinasional (MNE) yang memiliki peredaran bruto global di atas €20 miliar dan profitabilitas di atas 10% masuk dalam ruang lingkup ini. Alokasi hak hemajakan diberikan kepada yurisdiksi pasar ketika MNE memiliki peredaran bruto lebih atau sama dengan €1 juta dari yurisdiksi pasar terkait. Nilai yang dialokasikan adalah sejumlah 25% dari residual profit (laba yang melebihi 10% dari penghasilan).

Sedangkan Pillar Two yang juga dikenal sebagai “Global Minimum Tax, merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global untuk melindungi basis pajak. Pilar Two ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).

Pillar Two bertujuan untuk menegakkan pajak penghasilan perusahaan minimum global dengan tingkat efektif sebesar 15%, dihitung berdasarkan masing-masing yurisdiksi. Ini akan berlaku untuk perusahaan multinasional (MNE) yang memenuhi ambang batas EUR 750 juta yang ditentukan berdasarkan peraturan Country-by-Country, tetapi ambang batas yang lebih rendah dapat diterapkan atas kebijakan negara-negara pelaksana.

Pillar Two terdiri dari sejumlah tindakan yang memberikan hak untuk memungut pajak kepada yurisdiksi induk grup utama dan yurisdiksi entitas yang melakukan pembayaran antargrup ke perusahaan-perusahaan grup dengan tarif pajak rendah atau yurisdiksi yang mendukungnya.

Business Profits

Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits that are attributable to the permanent establishment in accordance with the provisions of paragraph 2 may be taxed in that other State.

Pasal 7 ayat (1) OECD Model 2017

Pasal ini mengalokasikan hak-hak pemajakan sehubungan dengan laba usaha suatu perusahaan dari suatu Negara. Penghasilan usaha dari suatu perusahaan hanya akan dikenakan di negara domisili. Negara sumber memiliki hak mengenakan pajak hanya sebatas penghasilan PE di negara sumber.

Cakupan Pasal 7 Penghasilan dari Usaha

Penghasilan yang dikenakan di negara sumber pada dasarnya ada 2 jenis penghasilan, yaitu:

  • attribution principel, dan
  • force of attraction principle.

Attribution principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh PE saja. Atau penghasilan yang didapat melalui PE tersebut. Prinsip atribusi ini diatur juga di Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.

Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;

Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.

Force of attraction principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari penghasilan kantor pusat tetapi penghasilan tersebut terkait dengan penghasilan PE. Atau Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis atau sama dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh PE di Indonesia.

Jadi kunci force of attraction principle adalah sama atau jenis, antara PE di negara sumber dengan pusat di negara domisili. Baik barang, kegiatan, atau jasa yang dilakan.

Menurut Rachmanto Surahmat, biasanya ada kompromi di force of attraction seperti di P3B dengan Jerman. Kompromi yang dimaksud adanya syarat pengenaan force of attraction, yaitu:

  • transaksi tersebut sengaja dialihkan dari PE dengan tujuan untuk mengindarkan pajak di negara sumber, dan
  • PE yang bersangkuta ikut campur tangan dalam transaksi tersebut.

Selain force of attraction, satu lagi istilah dalam PE yaitu effectively connected. Tentang hal ini, saya kutip penjelasan dari Undang-Undang PPh (cetak miring di bawah ini):

Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.

Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.

Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

Berikut ringkasan P3B Indonesia dengan negara mitra terkait Business Profits:

Branch Profit Tax

Branch Profit Tax adalah pajak yang dikenakan atas laba bersih setelah pajak BUT (PE). Branch profit tax (BTP) setara dengan pemajakan atas penghasilan dividen. Negara sumber mengenakan pajak atas dividen yang diterima perusahaan induk di luar negeri.

withholding tax atas dividen versus branch profit tax BUT

Indonesia menganut pemajakan atas laba bersih BUT. Kebanyakan P3B Indonesia dengan negara mitra mencantumkan klausul tetang BTP. Ketentuan BTP biasanya ada di pasal dividen. Contoh P3B Indonesia dengan United Arab Emirate:

Notwithstanding any other provisions of this Agreement, where a company which is a resident of a Contracting State has a permanent establishment in the other Contracting State, the profits of the permanent establishment may be subjected to an additional tax in that other State in accordance with its law, but the additional tax so charged shall not exceed 5% (five percent) of the amount of such profits after deducting therefrom income tax and other taxes on income imposed thereon in that other State

Pasal 10 ayat (7) P3B Indonesia – UAE

Berikut daftar tarif Branch Profit Tax berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra:

International Shipping And Air Transport

Pada umumnya, pengenaan pajak atas transaksi pelayaran dan penerbangan internasional berada di negara domisili.

Profits of an enterprise of a Contracting State from the operation of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in that State.

Pasal 8 ayat (1) OECD Model 2017

Tidak diberikannya hak pemajakan kepada negara sumber didasari pemikian bahwa laba dari perusahaaan yang menjalankan kegiatan pelayaran atau penerbangan diperoleh di laut lepas atau di udara sehingga pemberian hak pemajakan kepada neara sumber dapat menimbulkan pajak berganda atau dapat menimbulkan kesultan dalam pengalokasian laba.

Tetapi dalam penerapannya, beberapa P3B memberikan hak pemajakan atas perusahaan pelayaran internasional ke negara sumber dengan ketentuan khusus. Seperti, pemotongan 50% pajak.

Profits from sources within a Contracting State derived by an enterprise of the other Contracting State from the operation of ships in international traffic may be taxed in the first-mentioned State, but the tax imposed shall be reduced by an amount equal to 50% there of.

Pasal 8 ayat (1) P3B Indonesia dengan Austria

Cakupan moda transportasi adalah kapal (ship, dan boat) atau pesawat (aircraft). Perbedaan penggunaan moda transportasi tidak berdasarkan bentuk legalnya. Namun lebih kepada kebiasaan penggunaan istilah.

Berikut ketentuan P3B untuk penerbangan internasional dan pelayaran internasional:

Dividends, Interest, Royalties

Di tax treaty OECD model, pengaturan dividen di Pasal 10, bunga di Pasal 11, dan Royalti di Pasal 12. Saya menggabungkan dalam satu subjudul karena banyak kesamaan, seperti hak pemajakan di negara sumber (Indonesia lebih banyak sebagai negara sumber) dibatasi tarifnya.

Pasal 10, 11, dan 12 P3B

Dividen adalah pembagian keuntungan kepada pemegang saham perseroan yang modalnya terbagi atas saham. Apapun bentuk usahanya, jika modalnya terbagi atas saham dan terdapat pembagian keuntungan maka keuntungan tersebut disebut dividen.

Apabila perseoran terbatas (WPDN Indonesia) membagikan dividen kepada Wajib Pajak luar negeri (bisa Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan) yang memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka baik Indonesia maupun negara lain treaty partner tersebut sama-sama memiliki hak memajaki.

Contoh pembayaran dividen ke Luar Negeri:

PT ABC, yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) di Indonesia, membayarkan dividen kepada XYZ Ltd yang merupakan SPDN Negara Mitra P3B. Berdasarkan Pasal 10 P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut, atas penghasilan berupa dividen tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.

Istilah “paid’ atau “dibayarkan” yang digunakan memiliki arti yang luas, yaitu bahwa pembayaran merupakan pemenuhan kewajiban untuk menempatkan sejumlah dana atau uang untuk pemegang saham berdasarkan tata cara yang telah disepakati dalam kontrak atau cara yang umum.

Istilah ini tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan saat terutang suatu pajak atas penghasilan berupa dividen. Ketentuan mengenai saat suatu penghasilan terutang pajak sepenuhnya tergantung kepada peraturan perundang-undangan domestik masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan.

Bunga adalah penghasilan karena jaminan pengembalian pinjaman. Seperti dividen, penghasilan bunga lazimnya dikenai pada sumbernya dengan cara dipotong (withholding tax).

Definisi bunga umumnya merujuk pada penghasilan yang berasal dari klaim utang dalam bentuk apapun, baik yang dijamin dengan hipotik atau tidak, dan baik yang berhak atas bagian laba debitur atau tidak. Termasuk dalam definisi bunga, yaitu penghasilan dari simpanan atau surat berharga dalam bentuk kas, surat berharga, obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.

Bunga atas obligasi dengan hak partisipasi (participating bonds) umumnya tidak dianggap sebagai dividen dikarenakan karakter utama dari obligasi jenis ini adalah pemberian pinjaman yang diberikan imbalan dalam bentuk bunga.

Bunga atas obligasi konversi (convertible bonds) juga tidak dapat dianggap sebagai dividen sampai obligasi tersebut benar-benar dikonversi menjadi saham. Namun demikian, bunga obligasi dapat dianggap sebagai dividen jika pinjaman tersebut turut menanggung risiko yang dimiliki oleh debitur.

Pengertian bunga juga mencakup premium (premium) dan diskonto (discount) atau selisih antara jumlah yang dibayar oleh pemesan dengan nilai nominal atau nilai jatuh tempo suatu surat berharga utang

Dalam beberapa P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, terdapat pembayaran bunga yang dibebaskan dari pemajakan di Negara Sumber, antara lain:

  1. bunga yang dibayarkan kepada pemerintah atau institusi pemerintah;
  2. bunga yang dijamin oleh pemerintah atau institusi pemerintah; dan
  3. bunga yang dibayarkan kepada bank sentral;
    Daftar institusi milik pemerintah dan bank sentral yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan kedua Negara Pihak dalam Persetujuan dari waktu ke waktu.

Namun, perlakuan atas bunga dapat berubah dari passive income menjadi business income apabila yang menerima bunga tersebut melakukan kegiatan usaha di negara sumber melalui suatu bentuk usaha tetap, dan bunga itu mempunya hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap tersebut.

Imbalan dalam bentuk royalti adalah pemberian hak untuk menggunakan suatu intelektual property, atau saya sering menyebut hak atas kekayaan intelektual (HAKI), yaitu pemilik harta tidak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pemakaian hak tersebut.

Frasa “tidak perlu ikut campur tangan” merupakan pembeda antara royalti dengan jasa teknik. Jasa teknik, atau technical assistance, merupakan pemberian jasa. Sebagaimana jasa pada umumnya, jasa teknik memiliki tanggung jawab atas pemberian jasa tersebut.

Royalti adalah pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta atas kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film bioskop atau film atau rekaman yang digunakan untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merk dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, maupun penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan Industri, komersial atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman dl bidang industri, komersial atau ilmu pengetahuan.

Istilah royalti juga meliputi pembayaran yang dilakukan berdasarkan lisensi maupun pembayaran yang wajib dilakukan oleh suatu pihak karena memperbanyak suatu barang secara tidak sah atau melakukan pelanggaran hak cipta.

Mayoritas P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra mengatur bahwa imbalan atas penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersial, atau ilmu pengetahuan termasuk dalam pengertian royalti.

Untuk tujuan pengelompokan sebagai royalti, pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk informasi terkait pengalaman di bidang industri, komersial, atau ilmu pengetahuan, yang belum dipatenkan dan tidak masuk dalam kategori hak kekayaan intelektual lainnya, ayat 3 merujuk pada konsep “know-how”.

Kontrak know-how merupakan kontrak di mana salah satu pihak setuju untuk memberikan informasi kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan pengetahuan khusus atau pengalaman pihak pertama yang tidak diketahui umum (unrevealed to the public) untuk kepentingannya sendiri.

Kontrak pemberian know-how tersebut berbeda dengan kontrak penyerahan jasa, di mana salah satu pihak menggunakan keahlian tertentu yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya.

Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan kedua kontrak tersebut, antara lain: dalam kontrak penyerahan know-how, satu pihak memberikan informasi yang harus dirahasiakan kepada pihak lain. Dalam kontrak penyerahan jasa, satu pihak menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya tanpa mentransfernya kepada pihak lain. Biasanya, dalam kontrak penyerahan know-how, pihak yang memberikan informasi tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi. Sedangkan dalam kontrak penyerahan jasa, pihak yang memberikan jasa dapat memiliki keterlibatan lain selain pemberian informasi, seperti melakukan penelitian, desain, pengujian, atau membayar pihak lain untuk melakukan kegiatan tersebut.

Selain kontrak tersebut di atas, terdapat juga kontrak yang di dalamnya berisi pemberian know-how dan jasa. Penentuan perlakuan perpajakan atas kontrak dimaksud dapat dilakukan dengan memisahkan bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how dan pemberian jasa.

Atas bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how, berlaku ketentuan Pasal 12, dan atas bagian kontrak yang merupakan pemberian jasa, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (Laba Usaha).

Akan tetapi, dalam hal salah satu bagian kontrak dimaksud merupakan tujuan utama kontrak tersebut secara keseluruhan dan bagian kontrak lainnya hanya bersifat penunjang dan tidak terlalu penting, maka ketentuan yang berlaku atas bagian kontrak yang bersifat utama diterapkan atas kontrak secara keseluruhan.

Imbalan jasa teknik adalah pembayaran untuk jasa manajerial, teknis, dan konsultansi. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu pengetahuan.

Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.

Sementara jasa konsultansi merupakan pemberian petunjuk, pertimbangan, atau nasihat profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.

Dengan demikian, pemberian jasa yang bersifat rutin dan tidak melibatkan penggunaan pengetahuan, keterampilan, atau keahlian khusus.

Pemberian jasa teknik juga tidak melibatkan transfer informasi yang termasuk dalam pengertian royalti. Royalti merupakan pembayaran untuk pemberian informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan informasi tersebut untuk kepentingannya. Berbeda dengan pemberian jasa teknik, umumnya pihak yang memberikan informasi tersebut tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi.

Capital Gain

Kebanyakan negara mengenakan pajak atas capital gain apabila terjadi realisasi. Dalam hal tertentu, penjualan yang belum direalisasikan dapat terjadi tetapi untuk keperluan pajak, dianggap sudah direalisasikan. Penentuan apakah penjualan sudah diralisasikan atau belum direalisasikan adalah tergantung pada undang-undang domestik masing-masing negara.

Pengenaan pajak atas keuntungan dari pengalihan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu BUT, yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang negara lain, termasuk keuntungan dari pengalihan BUT atau tempat tetap tersebut.

Keuntungan dari pengalihan harta gerak tersebut dapat dikenai pajak di Negara di mana BUT atau tempat tetap berada (Negara Sumber).

Harta gerak yang dimaksud adalah harta gerak yang berlokasi di mana pun sepanjang menjadi bagian kekayaan BUT, atau menjadi bagian suatu tempat tetap yang digunakan untuk menjalankan jasa perorangan independen.

Contoh: Karo Ltd. merupakan residen negara Singapura mempunyai BUT Karo di Indonesia. BUT Karo mempunyai harta gerak di negara Singapura dan di Indonesia. BUT Karo melakukan pengalihan harta gerak yang berada di Indonesia. Atas keuntungan pengalihan tersebut menjadi bagian dari kekayaan dari BUT Karo. Dengan demikian, keuntungan atas pengalihan harta dimaksud dapat dikenai pajak di Indonesia.

Istilah “harta gerak” juga berarti seluruh harta selain harta tak gerak, termasuk harta tak berwujud seperti goodwill, lisensi, dan sejenisnya. Keuntungan atas pengalihan harta tersebut dipajaki di mana BUT-nya atau di mana tempat tetap berada (Jasa Perorangan Independen).

Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State

Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State

Pasal 13 Capital Gain ayat (4)

Ayat 4 memberikan hak pemajakan kepada Negara Sumber atas keuntungan dari pengalihan saham pada suatu perseroan atau hak kepemilikan sejenis pada entitas lain yang asetnya atau hartanya sebagian besar terdiri dari harta tak gerak yang berada di Negara tersebut, jika dalam suatu waktu dalam 365 hari sebelum terjadinya pengalihan, saham atau hak kepemilikan sejenis tersebut memiliki nilai yang besarnya melebihi 50 persen secara langsung maupun tidak langsung dari keseluruhan nilai harta tak gerak yang dimiliki oleh perseroan, persekutuan, trust, maupun warisan.

Ayat 4 ini bertujuan, salah satunya, untuk mencegah penghindaran pajak atas keuntungan dari pengalihan harta tak gerak dengan cara membentuk sebuah perseroan yang berperan sebagai pemilik harta tak gerak.

Ayat 4 juga bertujuan agar pemajakan atas keuntungan dari pengalihan saham atau bentuk kepemilikan sejenis pada suatu perseroan atau bentuk entitas lainnya yang memperoleh sebagian besar nilainya dari harta tak gerak.

Contoh: Forco One Ltd. memiliki seluruh saham Forco Two Ltd., keduanya merupakan SPDN Negara A. Selanjutnya Forco Two Ltd. memiliki sebagian besar saham pada PT ABC yang merupakan SPDN Indonesia. Komposisi harta tak gerak PT ABC melebihi 50% dari total seluruh harta.

Indonesia memiliki P3B dengan Negara A yang salah satu klausulnya mengikuti klausul Pasal 13 ayat 4 di atas. Dalam hal ini, jika Forco One Ltd. mengalihkan sahamnya pada Forco Two Ltd. kepada pihak lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 aya4 ini, atas keuntungan dari pengalihan saham Forco Two Ltd. tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.

Independent Personal Service

Cakupan pengaturan jasa perorangan independen yang umumnya dikenal sebagai jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen. Pengertian jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen ini dapat dipersamakan dengan pengertian pekerjaan bebas yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor KUP.

Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

Dikecualikan dari pengaturan Independent Personal Service adalah kegiatan industrial dan komersial. Jasa profesional yang diberikan dalam suatu hubungan kerja juga dikecualikan dari cakupan Independent Personal Service, seperti dokter yang bekerja sebagai pegawai di bagian keselamatan kerja suatu perseroan. Dalam hal ini, ketentuan dalam Dependent Personal Serviceatas penghasilan yang diperoleh dokter tersebut dalam kapasitasnya sebagai pegawai.

Pengertian “jasa profesional” diilustrasikan melalui beberapa contoh seperti jasa profesional dalam bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, kegiatan pendidikan atau pengajaran, dokter, pengacara, insinyur, arsitek, dokter gigi dan akuntan.

Pemberian contoh tersebut hanya berupa penjelasan dan tidak bersifat tertutup atau membatasi (non-exhaustive) kegiatan yang dicakup dalam pengertian jasa profesional.

Pengertian jasa profesional tidak termasuk kegiatan industri dan komersial dan juga jasa profesional yang dilakukan dalam suatu hubungan kerja, misalnya seorang tenaga kesehatan yang bekerja sebagai petugas medis dalam pabrik. Kegiatan independen yang dilakukan oleh artis dan atlet tidak termasuk dalam pengertian Pasal ini, kegiatan independen .

Dependent Personal Service

Subject to the provisions of Articles 16, 18 and 19, salaries, wages and other similar remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment shall be taxable only in that State unless the employment is exercised in the other Contracting State. If the employment is so exercised, such remuneration as is derived therefrom may be taxed in that other State

Pasal 15 Dependen Personal Service ayat (1)

Pasal 15 mengatur mengenai pembagian hak pemajakan antara Negara Domisili dan Negara Sumber atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan.

Negara Sumber dalam konteks penerapan Pasal ini merupakan Negara tempat suatu pekerjaan dilakukan. Pasal 15 berlaku untuk imbalan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, termasuk pemberian natura atau kenikmatan (payment in kind) seperti opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.

Ayat 1 menyebutkan ketentuan umum Pasal 15, yakni, bahwa penghasilan dari pekerjaan hanya dapat dikenai pajak di Negara Domisili, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan di Negara Sumber.

Pekerjaan dianggap dilakukan di tempat di mana pegawai yang bersangkutan secara fisik berada sewaktu menjalankan pekerjaan yang atasnya penghasilan tersebut dibayarkan.

Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan dari pekerjaan jika:

  1. pegawai merupakan SPDN Negara Domisili; dan
  2. pegawai melakukan pekerjaannya di Negara Domisili.

Contoh: Tuan Candra yang merupakan SPDN Indonesia adalah seorang pegawai yang melakukan pekerjaannya di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia sebagai Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan tersebut, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan Tuan Candra di negara X, maka atas penghasilan tersebut dapat dipajaki di negara X.

Ayat 1 juga mengatur bahwa ketentuan Imbalan Direktur, Pensiun dan Imbalan Jaminan Sosial, dan Jasa Pemerintahan berlaku untuk penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang disebut dalam pasal-pasal tersebut. Misalnya, penghasilan berupa pensiun atau imbalan sejenis lainnya sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan di masa lampau.

Contoh2: Mr. Anand merupakan SPDN India yang bekerja pada X Corp., sebuah perusahaan berdomisili di India. Mr. Anand dikirim oleh perusahaan tersebut untuk melakukan pekerjaan di Indonesia dalam pada beberapa periode dalam tahun 202X. Berdasarkan P3B dengan India, penentuan hak pemajakan India dan Indonesia atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaannya sebagai pegawai dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Indonesia merupakan Negara Sumber, yaitu Negara tempat pekerjaan dilakukan sehingga memiliki hak pemajakan atas imbalan kerja yang diperoleh oleh Mr. Anand untuk pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut;
  2. India merupakan Negara Domisili, yaitu Negara di mana Mr. Anand menjadi SPDN sehingga juga berhak mengenakan pajak atas imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 P3B antara Indonesia dengan India;

Berdasarkan kondisi pada angka 1 dan angka 2 di atas berlaku ketentuan Pasal 15 ayat 1 sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, dapat dikenai pajak di Indonesia.

Namun, dalam hal:

  1. Mr. Anand berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam periode 12 bulan;
  2. imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut dibayarkan oleh pihak yang bukan merupakan SPDN Indonesia; dan
  3. imbalan tersebut tidak dibebankan pada BUT X Corp. yang berada di Indonesia, maka Indonesia, meskipun merupakan Negara Sumber, tidak dapat memajaki penghasilan yang diperoleh oleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya dl Indonesia karena semua kondisi yang terdapat pada ayat 2 terpenuhi.

Directors’ Fee

Directors’ fees and other similar payments derived by a resident of a Contracting State in his capacity as a member of the Board of Directors of a company which is a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.

Pasal 16 Directors Fees And Remuneration of Top Level Managerial Officials

Pasal 16 mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Direksi dan pegawai manajerial level atas sebuah perseroan yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan.

Pasal ini memberikan hak pemajakan kepada Negara Domisili anggota Dewan Direksi dan juga kepada Negara Sumber atau Negara Pihak dalam Persetujuan tempat di mana perseroan menjadi SPDN.

Negara Pihak dalam Persetujuan dapat mengenakan pajak atas imbalan yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang merupakan SPDN Negara tersebut kepada SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dalam jabatannya sebagai direktur perseroan tersebut.

Istilah “fees and other similar payments” meliputi seluruh pembayaran yang diterima oleh SPDN dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi suatu perseroan, misalnya opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.

Jika posisi manajemen level atas (top-level management) dalam suatu perseroan yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dijabat oleh Orang yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, maka penghasilan yang diterima oleh Orang tersebut akan dikenai pajak dengan prinsip pemajakan yang sama dengan pemajakan atas penghasilan yang diterima anggota Dewan Direksi.

Istilah “posisi manajemen level atas” merujuk pada kedudukan yang tanggung jawab utamanya berkaitan dengan pengarahan kebijakan umum suatu perseroan, yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh direktur perseroan. Istilah tersebut juga meliputi jabatan direktur yang merangkap sebagai manajer level atas.

Entertainers and Sportspersons


Notwithstanding the provisions of Articles 14 and 15, income derived by a resident of a Contracting State as an entertainer, such as a theatre, motion picture, radio or television artiste, or a musician, or as a sportsperson, from his personal activities as such exercised in the other Contracting State, may be taxed in that other State.

Pasal 17 Artistes And Sportpersons

Pasal ini mengatur mengenai pengenaan pajak di Negara Sumber atas penghasilan yang diterima sebagai seniman seperti artis teater, film, radio atau televisi, atau pemain musik atau sebagai atlet yang merupakan SPDN Negara Domisili dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka berkaitan dengan pertunjukan yang dilakukan di Negara Sumber tersebut.

Seniman dan atlet yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, tempat kegiatan atau pertunjukan dilakukan.

Contoh: Blu Erni Liv adalah seorang musisi yang merupakan SPDN Negara A dan mengadakan pertunjukan bagi para penggemarnya di Indonesia. Berdasarkan ketentuan ayat ini, penghasilan yang diterima oleh Blu Erni Liv dari pertunjukannya di Indonesia tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.

Other Income

Capital represented by immovable property referred to in Article 6, owned by a resident of a Contracting State and situated in the other Contracting State, may be taxed in that other State.

Ayat 1 menyebutkan bahwa harta berupa harta tak gerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (Penghasilan dari Harta Tak Gerak) yang dimiliki oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan terletak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.

Capital represented by movable property forming part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or by movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services may be taxed in that other State

Ayat 2 menyebutkan bahwa harta berupa harta bergerak yang merupakan bagian dari harta suatu BUT yang dimiliki oleh perusahaan suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan atau harta bergerak yang terkait dengan tempat tetap yang tersedia bagi SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan yang berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.

Capital represented by ships and aircraft operated in international traffic and by boats engaged in inland waterways transport, and by movable property pertaining to the operation of such ships, aircraft and boats, shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated

Ayat 3 menyebutkan bahwa hak pemajakan atas harta berupa kapal dan pesawat terbang yang dioperasikan pada jalur lalu lintas internasional, berupa perahu yang digunakan di jalur perairan darat, dan berupa harta gerak yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat terbang, dan perahu tersebut diberikan hanya kepada Negara di mana tempat kedudukan manajemen efektif perseroan berada.

Multilateral Instrument (MLI)

Multilateral Instrument, disingkat MLI, merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.

MLI dikembangkan oleh OECD sebagai bagian dari solusi otoritas pajak untuk menutup celah (loophole) di tax treaty. Mengubah satu tax treaty membutuhkan waktu yang lama. Perundingan tax treaty bisa lebih dari 2 tahun. Bandingkan jika ada 100 tax treaty!

MLI merupakan modifikasi tax treaty secara serentak, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.

Menteri Keuangan telah menandatangani MLI pada 7 Juni 2017 di Kantor Pusat OECD, Paris, Perancis.

Pada saat ditanda-tangani, terdapat 68 negara yang ikut menandatangani dan akan segera disusul 30 negara lain. Per 6 Oktober 2022, sudah ada 100 negara yang menandatangani MLI.

Dengan ikut MLI, artinya pemerintah Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan BUT dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.

Presiden Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 77 tahun 2019 sebagai syarat ambil bagian dalam program MLI. Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention To Implement Tax Treaty Related Measures To Prevent Base Erosion And Profit Shifting.

Surat Edaran Mengenai Multilateral Instrument (MLI) sampai dengan akhir 2021:

  1. Australia SE-05/PJ/2021
  2. Belanda SE-16/PJ/2021
  3. Belgia SE-09/PJ/2021
  4. Denmark SE-10/PJ/2021
  5. Finlandia SE-08/PJ/2021
  6. India SE-17/PJ/2021
  7. Inggris SE-12/PJ/2021
  8. Jepang SE-06/PJ/2021
  9. Kanada SE-07/PJ/2021
  10. Korea Selatan SE-24/PJ/2021
  11. Luksemburg SE-22/PJ/2021
  12. Polandia SE-14/PJ/2021
  13. Portugal SE-15/PJ/2021
  14. Prancis SE-11/PJ/2021
  15. Qatar SE-19/PJ/2021
  16. Rusia SE-13/PJ/2021
  17. Selandia Baru SE-20/PJ/2021
  18. Serbia SE-25/PJ/2021
  19. Singapura SE-21/PJ/2021
  20. Slovakia SE-23/PJ/2021
  21. Uni Emirat Arab SE-18/PJ/2021

Tahun 2023 ada tambahan Tiongkok SE-3/PJ/2023, Thiland SE-04/PJ/2023, Seychelles SE-05/PJ/2023, Spanyol SE-06/PJ/2023

Di lampiran Surat Edaran tersebut terdapat naskah P3B. Contoh P3B Indonesia dengan Tiongkok yang terdapat di Surat Edaran SE-3/PJ/2023:

Slide MLI

Disclaimer: Artikel P3B ini banyak mengutif dari SE-52/PJ/2021

Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

raden agus suparman : tata cara penerapan P3B
Kewenangan otoritas pajak Indonesia memungut pajak dari orang asing atau Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) adalah Pasal 26 Undang-Undang PPh. Pasal ini mewajibkan kepada semua pemberi penghasilan di Indonesia untuk memotong penghasilan sesorang sebelum penghasilan tersebut diterima oleh orang luar (SPLN). Tarif yang berlaku di Pasal 26 adalah 20%. Tetapi dasar pengenaaan Pasal 26 ada dua yaitu, bruto yang seharusnya diterima dan perkiraan penghasilan neto.
 
Tetapi, ada beberapa pengecualian. Pemberi penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan Pasal 26 Undang-Undang PPh, tetapi menggunakan tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Direktur Jenderal Pajak telah mengatur tata cara penerapan P3B dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017.
 
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017 mengatur syarat-syarat SPLN dapat memanfaatkan P3B. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dalam hal:

  1. terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan ketentuan yang diatur dalam P3B;
  2. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  3. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  4. WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya;
  5. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  6. enerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Membuat Bukti Potong

Setiap Wajib Pajak yang memotong Pajak Penghasilan wajib hukumnya membuat bukti potong. Ketentuan ini berlaku baik penerima penghasilan berstatus Wajib Pajak dalam negeri atau Wajib Pajak luar negeri. 

Jika penerima penghasilan Wajib Pajak luar negeri maka bukti potong disebut bukti potong PPh Pasal 26. Sedangkan, jika penerima penghasilan merupakan Wajib Pajak dalam negeri maka bukti potong dapat berupa PPh Pasal 21 form 1721-A1, bukti potong PPh Pasal 23, atau bukti potong PPh Pasal 4 (2). Ini salah satu prinsip equal treatment yaitu perlakuanyang sama bagi bagi Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar ngeri, semuanya dikenai withholding taxes..

Bukti potong setidaknya dibuat dua: satu untuk penerima penghasilan yang penghasilannya dipotong PPh. Kedua, untuk dilaporkan dalam SPT Masa PPh. 
Adapun tarif yang digunakan menyesuaikan dengan dasar pengenaan. Jika dasar pengenaan Pasal 26 tanpa memanfaatkan P3B, maka tarif 20%. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan P3B maka tarif yang digunakan adalah tarif P3B.

Tarif Pasal 26 sebesar 20% dengan dasar pengenaan bruto yaitu semua penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN berupa:
  1. Deviden;
  2. Bunga termasuk Premium,Diskonto dan Imbalan jaminan pengembalian hutang;
  3. Royalty;
  4. Sewa;
  5. Penghasilan penggunaan harta
  6. Imbalan sehubungan dengan jasa pekerjaan dan kegiatan;
  7. Hadiah & penghargaan;
  8. Pensiun & pembayaran berkala lainnya;
  9. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/ atau
  10. keuntungan karena pembebasan utang.
PPh Pasal 26 yang sudah dipotong wajib disetorkan ke kas negara. Pemotong wajib membuat kode biling dulu di sse3.pajak.go.id. Berdasarkan kode biling, PPh Pasal 26 baru dapat disetorkan ke kas negara. Adapun kode pajak untuk PPh Pasal 26 adalah Penyetoran menggunakan kode 411127 dan : 
  • kode bayar 101 untuk deviden, 
  • kode bayar 102 untuk bunga, 
  • kode bayar 103 untuk royalti, 
  • kode bayar 104 untuk jasa, dan 
  • kode bayar 100 untuk selain deviden, bunga, royalti.
 
Penjualan atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yang diperoleh WP Luar Negeri dikenai tarif 20% dan penghasilan neto 25% berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2009. Artinya tarif efektif sebesar 5% dari harga jual. Tarif efektif 5% berasal dari tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dikalikan dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 25%.
Penjualan harta yang dimaksud dapat berupa penjualan : perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Tarif efektif sebesar 5% juga berlaku bagi penjualan saham dari perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dan dimiliki oleh SPLN. Ketentuan ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 434/KMK.04/1999.

Contoh: Mr. Sing, seorang warga negera Malaysia dan tinggal di Malaysia,memiliki saham PT Pasti Untung. Setelah sukses membesarkan perusahaan, dia menjual saham PT Pasti Untung ke Tn. Agus, seorang warga negara Indonesia dan tinggal di Indonesia. Atas transaksi ini maka Tn Agus wajib memotong PPh Pasal 26 dan wajib menyetorkan ke kas negara dengan kode pajak 411127-100.


Tetapi jika Mr. Sing menjual ke orang asing lagi, misal Mr Lay yang tinggal di Malaysia, maka yang berkewajiban menyetor PPh Pasal 26 adalah PT Pasti Untung.

Dalam hal penghasilan yang dibayarkan ke Wajib Pajak luar negeri berupa premi asuransi, maka tarif efektif sebagai berikut :

  • tarif efektif 10% dari premi yang dibayarkan oleh pihak yang tertanggung kepada perusahaan asuransi LN. Pemotong pajak adalah tertanggung.
  • tarif efektif 2% dari premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi LN. Pemotong Pajak adalah perusahaan asuransi di Indonesia. 
  • tarif efektif 1% dari premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di LN. Pemotong pajak adalah perusahaan reasuransi di Indonesia.

Ketentuan tarif efektif PPh Pasal 26 bagi penghasilan berupa premi asuransi diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994.


Perbedaan Antara Ketentuan Yang Diatur Dalam Undang-Undang PPh Dan Ketentuan Yang Diatur Dalam P3B
Konon kabarnya, sejarah P3B adalah semangat masing-masing negara untuk memungut pajak sebesarnya, termasuk ke wajib pajak yang berkedudukan di luar negeri. Akibatnya, SPLN mengalami pajak berganda, yaitu pemajakan di negara sumber (asal penghasilan) dan pemajakan di negera domisili (tempat kedudukan). 


Untuk menghilangkan pajak berganda tersebut, dibuatlah tax treaty (P3B). Sehingga dapat dimengerti jika fungsi P3B adalah menghilangkan hak pemajakan negara sumber, atau menurunkan tarif sesuai kesepakatan. Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. SPLN dapat memanfaatkan tarif P3B jika yang bersangkutan memperlihatkan Surat Keterangan Domisili atau Certificate of Residence.

Berikut contoh tarif P3B antara Indonesia dengan mitra perjanjian :
NO
NEGARA
BRANCH PROFIT TAX
DIVIDEN
BUNGA & ROYALTI
Tarif BPT
Pengecualian untuk perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH)
DIVIDEN
BUNGA
ROYALTI
PORTFOLIO
PENYERTAAN LANGSUNG
Umum
Khusus
Umum
Khusus
1
Algeria
10%
Tidak ada
15%
15%
15%
15%
2
Australia
15%
Ya
15%
15%
10%
15%
10%40
3
Austria
12%
Ya
15%
10%10
10%
10%
4
Bangladesh
10%
Ya
15%
10%10
10%
10%
5
Belgium
15%
Tidak
15%
15%
10%
10%
6
Brunei Darussalam
10%
Ya
15%
15%
15%
15%
7
Bulgaria
15%
Ya
15%
15%
10%
10%
8
Canada
15%
Ya
15%
15%
15%
15%
9
Czech
12,50%
Ya
15%
10%13
12,50%
12,50%
10
China
10%
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
11
Denmark
15%
Ya
20%
10%14
10%
15%
12
Egypt
15%
Ya
15%
15%
15%
15%
13
Finland
15%
Ya
15%
10%15
10%
15%
10%41
14
France
10%
Tidak
15%
10%16
15%
10%42
10%
15
Germany
10%
Tidak
15%
10%17
10%
15%
10%43
16
Hongkong
5%
ya
10%
5%
10%
5%
17
Hungary
Tidak ada
Tidak ada
15%
15%
15%
15%
18
India
10%
Ya
15%
10%18
10%
15%
19
Italy
12%
Ya
15%
10%19
10%
15%
10%44
20
Iran
7%
Tidak ada
7%
7%
10%
12%
21
Japan
10%
Ya
15%
10%20
10%
10%
22
Jordan
Tidak ada
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
23
Korea Selatan (Korea, Republic of)
10%
Ya
15%
10%21
10%
15%
24
Korea Utara (Korea, Democratic People’s Republic of)
10%
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
25
Kroasia
10%
ya
10%
10%
10%
10%
26
Kuwait
10%
Ya
10%
10%
5%
20%
27
Luxembourg23
10%
Ya
15%
10%22
10%
12,50%
28
Malaysia
12.5%
Ya
10%
10%
10%
10%
29
Maroko
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
30
Mexico
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
31
Mongolia
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
32
Netherlands
9%
Tidak
15%
10%
10%
20%
-Renegosiasi
9%
Tidak
15%
10%24
10%
10%
-Renegosiasi II [2]
10%
Tidak Ada
33
New Zealand
Tidak ada
Tidak ada
15%
15%
10%
15%
34
Norway
15%
Ya
15%
15%
10%
15%
10%45
35
Pakistan
10%
Tidak ada
15%
10%25
15%
15%
36
Philippines, The
20%
Tidak ada
20%
15%26
15%
10%53
15%
37
Poland
10%
Ya
15%
10%27
10%
15%
38
Portugal
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
39
Qatar
10%
Ya
10%
10%10
10%
5%
40
Romania
12,50%
Tidak ada
15%
12,5%28
12,50%
12,50%
15%46
41
Russia
12,50%
Ya
15%
15%
15%
15%
42
Saudi Arabia8
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
n/a
n/a
n/a
n/a
43
Seychelles
Tidak ada
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
44
Singapore
15%
Ya
15%
10%29
10%
15%
45
Slovak
10%
Ya
10%
10%
10%
15%
10%47
46
South Africa
10%
Ya
15%
10%30
10%
10%
47
Spain
10%
Ya
15%
10%31
10%
10%
48
Sri Lanka
sesuai UU domestik
Tidak ada
15%
15%
15%
15%
49
Sudan
10%
Ya
10%
10%
15%
10%
50
Sweden
15%
Ya
15%
10%32
10%
15%
10%48
51
Switzerland
10%
Ya
15%
10%33
10%
10%
52
Syria
10%
Ya
10%
10%
10%
20%
15%49
53
Taiwan
5%
Ya
10%
10%
10%
10%
54
Thailand34
sesuai UU
Tidak ada
(RI)15%
(RI)    15%
(RI)  15%
10%
10%
15%50
domestik
(Thai)25%
(Thai) 15%
(Thai)25%
55
Tunisia
12%
Ya
12%
12%
12%
15%
56
Turkey
15%
Ya
15%
10%35
10%
10%
57
U.A.E
5%
Tidak
10%
10%
5%
5%
58
Ukraine
10%
Ya
15%
10%36
10%
10%
59
United Kingdom
10%
Tidak
15%
10%
10%
15%
15%
-Renegosiasi
10%
Ya
15%
10%37
10%
15%
10%51
60
United States
15%
Ya
15%
15%
15%
15%
10%
-Renegosiasi
10%
Ya
15%
10%38
10%
10%
61
Uzbekistan
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
62
Venezuela
10%
Ya
15%
10%39
10%
20%
10%52
63
Vietnam
10%
Ya
15%
15%
15%
15%
 
Penerima Penghasilan Bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia
Ini adalah syarat kedua sesuai Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017. Hal ini dapat dimengerti karena Pasal 26 mengatur penerima penghasilan SPLN. Dalam hal penerima penghasilan subjek pajak dalam negeri, maka dipotong PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat (2).

Syarat berikutnya adalah penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Artinya tidak mungkin SPLN dari negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia memanfaatkan P3B. Petugas pajak pasti nanya, “P3B mana yang dipakai?”


WPLN Menyampaikan SKD WPLN Yang Telah Memenuhi Persyaratan Administratif Dan Persyaratan Tertentu Lainnya

Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah bukti kependudukan bagi perpajakan. Seseorang mengaku dari Negara A hanya dapat dibuktikan oleh SKD, bukan passport. SKD ini merupakan bukti formal kedudukan seseorang.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017 mengatur bahwa SKD WPLN memenuhi persyaratan administratif dalam hal :
  1. menggunakan Form DGT-1 atau Form DGT-2
  2. diisi dengan benar, lengkap dan jelas
  3. ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
  4. disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
  5. digunakan untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN; dan
  6. disampaikan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak bersamaan dengan penyampaian SPT Masa, paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
Penandasahan (lihat nomor 4 diatas) oleh Pejabat yang Berwenang dapat digantikan dengan Certificate of Residence yang harus memenuhi ketentuan: 
  • menggunakan bahasa Inggris;
  • berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  • paling sedikit mencantumkan informasi mengenai nama WPLN, tanggal penerbitan, dan tahun pajak berlakunya Certificate of Residence; dan
  • mencantumkan nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
Certificate of Residence tidak menggantikan Form DGT-1 atau Form DGT-2. Dalam hal WPLN menggunakan Certificate of Residence, WPLN tetap wajib mengisi Form DGT-1 selain Part III atau Form DGT-2 selain Part III.
Form DGT-2 digunakan oleh:
  • WPLN bank,
  • WPLN berbentuk dana pensiun, atau
  • WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen.

Sedangkan Form DGT-1 digunakan oleh WPLN selain WPLN yang menggunakan Form DGT-2.

Penyalahgunaan P3B
Salah satu syarat pemanfaatan P3B adalah tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Penyalahgunaan P3B terjadi dalam hal tujuan utama atau salah satu tujuan utama pengaturan transaksi adalah untuk mendapatkan Manfaat P3B serta bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B. 
Penyalahgunaan P3B tidak terjadi dalam hal WPLN memiliki:
  1. substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
  2. bentuk hukum (legal form) yang sama dengan substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
  3. kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi;
  4. aset tetap dan aset tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
  5. pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
  6. kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
Keenam syarat tersebut adalah batasan agar P3B dipergunakan sebagaimana seharusnya. Bisa juga dipandang sebagai syarat memanfaatkan P3B. Jika keenam syarat tersebut tidak terpenuhi maka terjadi penyalahgunaan dan tidak dapat memanfaatkan P3B. Jika tidak dapat memanfaatkan P3B maka kembali ke aturan domestik, menggunakan Pasal 26 Undang-undang PPh.
Kegiatan atau usaha aktif adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN sesuai keadaan yang sebenarnya yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk kegiatan signifikan yang dilakukan WPLN untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
Dalam hal terdapat perbedaan antara bentuk hukum (legal form) suatu struktur/skema transaksi dengan substansi ekonomisnya (economic substance), perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form). Ini adalah aturan yang tertulis pada Pasal 9 ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017. Ini juga salah satu bukti bahwa aturan pajak selalu menganut prinsip substance over form.
Penerima Penghasilan Merupakan Beneficial Owner
Syarat terakhir agar dapat memanfaatkan P3B adalah penerima penghasilan di Luar Negeri merupakan beneficial owner, atau penerima penghasilan sesungguhnya.
Beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut (SE-03/PJ.03/2008). Apabila penerima penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner, maka sesuai dengan ketentuan P3B, negara tempat penghasilan bersumber dapat mengenakan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.
Menurut PER-10/PJ/2017, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner jika memenuhi persyaratan:
  • bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
  • bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit
Persyaratan WPLN badan yang tidak bertindak sebagai agen, nominee, atau conduit (dianggap sebagai beneficial owner) adalah:
  1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
  2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
  3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan (4) tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Yang dimaksud dengan penghasilan badan yaitu seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan nonkonsolidasi WPLN.
Untuk menentukan nilai 50% penghasilan yang digunakan memenuhi kewajiban tidak termasuk:
  • pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan;
  • biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya; dan
  • pembagian keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.
Definisi Menurut PER-10/PJ/2017
  • Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
  • Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara sumber.
  • Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap atau tanpa melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  • Pemotong dan/atau Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN.
  • Surat Keterangan Domisili WPLN yang selanjutnya disingkat SKD WPLN adalah surat keterangan berupa formulir yang terdiri dari Form DGT-1 atau Form DGT-2 yang diisi oleh WPLN dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  • Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  • Pejabat yang Berwenang Mengesahkan SKD WPLN atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
  • Kustodian adalah lembaga yang telah mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang di Indonesia untuk memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
  • Agen adalah orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
  • Nominee adalah orang pribadi atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan/atau penghasilan (legal owner) untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
  • Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh Manfaat P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Indonesia, sementara manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang pribadi atau badan di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B jika penghasilan tersebut diterima langsung.
Beberapa ketentuan bagi Pemotong dan/atau Pemungut PPh Pasal 26 dan Kustodian (Lampiran PER-10/PJ/2017)
  1. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
  2. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku dan wajib disampaikan kepada WPLN.
  3. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tetap harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak walaupun tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut dengan mencantumkan besarnya penghasilan bruto dan mencantumkan “NIHIL” pada kolom jumlah PPh yang dipotong dan/atau dipungut. Bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak dimaksud tidak wajib disampaikan kepada WPLN.
  4. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib menyampaikan SPT Masa dengan dilampiri fotokopi SKD WPLN yang telah dilegalisir dan bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak ke Kantor Pelayanan Pajak.
  5. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus memastikan bahwa WPLN telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini untuk dapat menerapkan ketentuan dalam P3B. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak memastikan pemenuhan persyaratan tersebut dengan melakukan penelitian atas SKD WPLN yang telah disampaikan oleh WPLN.
  6. Penelitian atas SKD WPLN (Form DGT-1 atau Form DGT-2) untuk memastikan bahwa penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia harus dilakukan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak. Dalam hal penerima penghasilan adalah Subjek Pajak dalam negeri, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib memotong dan/atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh, Keberadaan Subjek Pajak Dalam Negeri untuk Form DGT-1 ditentukan: dalam Part V butir 3 tercantum alamat WPLN di Indonesia; atau dalam Part V butir 6 tercantum bahwa WPLN mempunyai tempat tinggal tetap di Indonesia; atau dalam Part V butir 7 tercantum tempat kediaman WPLN di Indonesia; atau dalam Part VI butir 1, 2, atau 3 mencantumkan tempat pendirian, tempat kedudukan, atau alamat kantor pusat WPLN di Indonesia.
  7. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus melakukan penelitian apakah tujuan utama atau salah satu tujuan utama transaksi atau pengaturan skema transaksi (arrangement) adalah untuk mendapatkan manfaat P3B serta bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B dengan memastikan apakah SKD WPLN Form DGT-1 mencantumkan jawaban: “Yes” dalam Part V Butir 4; atau “Yes” dalam Part VI Butir 5. P3B tidak diterapkan dalam hal salah satu jawaban WPLN penerima penghasilan menyatakan “Yes.
  8. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus melakukan penelitian terjadi atau tidaknya penyalahgunaan P3B dengan memastikan apakah SKD WPLN mencantumkan jawaban “No” untuk salah satu atau seluruh pertanyaan dalam Butir 7 sampai dengan Butir 10 pada Part VI. P3B tidak diterapkan dalam hal salah satu atau seluruh jawaban WPLN penerima penghasilan adalah “No.
  9. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus melakukan penelitian apakah WPLN merupakan beneficial owner yang dipersyaratkan dalam P3B dengan memastikan apakah SKD WPLN Form DGT-1 mencantumkan jawaban : “Yes” dalam Part V Butir 5; atau “Yes” dalam Part VII Butir 1; atau “No” untuk salah satu atau seluruh pertanyaan dalam Part VII Butir 2 sampai dengan Butir 4; atau “Yes” dalam Part VII Butir 5. P3B tidak diterapkan dalam hal salah satu jawaban WPLN penerima penghasilan tidak sesuai.
  10. Dalam hal WPLN penerima penghasilan adalah pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh otoritas pajak Indonesia dan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus memastikan bahwa lembaga tersebut benar-benar merupakan lembaga yang dimaksud dalam P3B dengan melakukan penelitian terhadap SKD WPLN dan/atau Certifícate of Residence dan/atau surat keterangan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal ini.
Untuk pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di bursa efek di Indonesia, selain bunga dan dividen yang diterima atau diperoleh WPLN melalui Kustodian:
  • Form DGT-2 harus diisi secara lengkap dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, serta disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  • Form DGT-2 asli diserahkan kepada Kustodian oleh WPLN penerima penghasilan;
  • Kustodian wajib menyerahkan Form DGT-2 asli yang masih berlaku yang diterima dari WPLN kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak;
  • Dalam hal WPLN penerima penghasilan menerima penghasilan dari beberapa sumber, Kustodian dapat membuat fotokopi lembar ke-1 dari Form DGT-2 dan meminta legalisasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Kustodian terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  • Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang melegalisasi fotokopi lembar ke-1 dari Form DGT-2 wajib menatausahakan 1 (satu) lembar legalisasi tersebut di KPP, dan Form DGT-2 asli dikembalikan kepada Kustodian;
  • Dalam hal diperlukan untuk pelaksanaan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, keberatan, pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, atau pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar; Kustodian harus menyampaikan Form DGT-2 asli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang berlaku;
  • Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B berdasarkan Form DGT-2 yang masih berlaku atau fotokopi Form DGT-2 yang telah dilegalisasi yang disampaikan oleh Kustodian dan menyimpan fotokopi Form DGT-2;
  • Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib membuat tanda bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta wajib menyerahkannya kepada WPLN melalui Kustodian.
Untuk pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN bank dan dana pensiun:
  • Form DGT-2 harus diisi secara lengkap dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman, di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, serta disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B; dan
  • Form DGT-2 asli diserahkan oleh WPLN kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat dipenuhi oleh WPLN, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib memotong dan/atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
SKD WPLN dan Certificate of Residence wajib disimpan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang berlaku.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d