fbpx

Agus Pajak di Youtube

Belajar pajak sambil nonton video

Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.

Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.

Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.

Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.

Playlist PPh

Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh

Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan

Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak

Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 4 Definisi Penghasilan

Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen

Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?

Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?

Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan

Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri

Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura

Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial

Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT

Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty

Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan

Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.

Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax

Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan

Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues

Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang

Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?

Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak

Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak

Cara Menghitung Kompensasi Kerugian

Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan

Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan

Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan

Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?

Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?

Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee

Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN

Norma Khusus Pasal 15

Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak

Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri

Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)

Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)

Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran

Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final

PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan

PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan

PPh final Jasa Konstruksi

PPh final Bunga Simpanan Koperasi

PPh Final Hadiah Undian

PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan

PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

PPh Final atas Penjualan Aset Kripto

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan

PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA

Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa

Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55

Revaluasi Aset Perusahaan

Pemotongan Pajak Tahun Berjalan

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 Final

Pajak Penghasilan Pasal 22

Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri

Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Objek dan Tarif PPh Pasal 26

Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan

Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan

Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%

Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian

Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?

Playlist KUP

Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak

Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan

SKB PPh Atas Waris

SKB PPh atas warisan

Warisan bukan objek Pajak Penghasilan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf b UU PPh bahwa warisan dikecualikan sebagai objek pajak. Artiya, bagi penerima warisan itu merupakan penghasilan tetapi tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Apapun jenis harta warisan tersebut.

Jika warisan berupa tanah dan/atau bangunan, maka ada proses pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pengalihan hak dari almarhum pemilik lama kepada ahli waris sebagai pemilik baru. Ketentuan tentang pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan mewajibkan mengsyaratkan pajak-pajak atas tanah tersebut sudah lunas. Seperti PBB, BPHTB, dan PPh pengalihan atas tanah dan/atau bangunan. Karena transaksinya berasal dari warisan, maka sebenarnya tidak ada PPh pengalihan atas tanah dan/atau bangunan.


Untuk membuktikan bahwa tidak ada PPh yang terutang, pihak Badan Pertanahan mensyaratkan adanya SKB (surat keterangan bebas) dari kantor pajak. Ketentuan terbaru tentang SKB PPh atas waris diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Surat Edaran nomor SE-20/PJ/2015 tentang Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Karena Warisan.

Adapun isi dari surat edaran tersebut kurang lebih seperti dibawah ini:

Pengajuan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

  1. Pada prinsipnya PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan demikian dalam hal atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikecualikan dari pengenaan PPh, maka pengecualian tersebut diberikan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  2. Pengecualian dari kewajiban pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diberikan dengan penerbitan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  3. Permohonan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau terdaftar atau bertempat tinggal.3
  4. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan merupakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pewaris kepada ahli waris.
  5. Mengingat pewaris telah meninggal dunia maka pengajuan permohonan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diajukan oleh ahli waris ke KPP tempat pewaris, sebagai pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan, terdaftar atau bertempat tinggal.
  6. Persyaratan terkait pengajuan permohonan SKB atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2009.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan terkait Akta Pembagian Hak Bersama (APHB).

  1. Pembagian hak bersama atas harta warisan berdasarkan APHB menjadi hak individu masing-masing ahli waris termasuk dalam pengertian pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan, sepanjang hak bersama tersebut dibagi kepada seluruh ahli waris (pemegang hak bersama) sesuai bagian masing-masing berdasarkan hukum waris yang berlaku di Indonesia.
  2. Atas pembagian hak bersama merupakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penerbitan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  3. Dalam hal pada saat pembagian hak bersama atas harta warisan pihak yang menerima tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dengan pihak yang memberi atau mengalihkan, pengalihan hak tersebut terutang PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan;
  4. Dalam hal pada saat pembagian hak bersama atas harta warisan pihak yang menerima merupakan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, pengalihan hak tersebut dapat merupakan hibah yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.



Hal terpenting dari syarat pemberian SKB adalah pelaporan dalam SPT Tahunan. Bahwa harta yang diwariskan sudah dilaporkan di SPT Tahunan pewaris.

SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan hanya diberikan apabila tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek pewarisan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pewaris, kecuali pewaris memiliki penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak.



Penghasilan Dana Pensiun

Untuk kepentingan kesejahteraan pegawai di saat pensiun, beberapa pemberi kerja banyak mendirikan lembaga Dana Pensiun. Lembaga ini berbeda dengan perusahaan asuransi. Iuran yang dipotong dari gaji yang kita terima atau iuran yang dibayar oleh pekerja dikurangkan dari penghasilan objek PPh Pasal 21. Ini artinya, pada saat gajian, bagian penghasilan kita disisihkan dari pengenaan Pajak Penghasilan [PPh].
 
Penghasilan yang kita sisihkan untuk hari-hari pensiun tersebut akan dikenakan pada saat dibayarkan pensiunan. Dari segi waktu, artinya ada penangguhan waktu pengenaan PPh. Tetapi selain itu, Dana Pensiun yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan [artinya dianggap sebagai Dana Pensiun legal] dapat fasilitas lain. Yaitu, investasi yang dilakukan oleh Dana Pensiun dari dana / iuran yang diterim pekerja dikecualikan sebagai objek PPh. Ini artinya, sebagian penghasilan yang kita sisihkan akan berkembang tanpa dipotong PPh terlebih dahulu.
 
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 234/PMK.03/2009 bahwa :
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa:
a. bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia;
 
b. bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan / atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau
 
c. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia,
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
 
Peraturan menteri keuangan [PMK] ini berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh 1984. Sengaja saya memberi alur dana sebelum ke hasil investasi. Jika kita baca PMK saja maka kita bisa menduga bahwa semua yang disebutkan diatas akan dikecualikan dari objek PPh. Padahal tidak! Hasil investasi yang dilakukan oleh Dana Pensiun yang dikecualikan hanya yang berasal dari iuran pekerja.
 
Bisa jadi Dana Pensiun menerima titipan dari seorang milyarder yang menyimpan uangnya. Uang titipan seperti ini jelas bukan iuran pensiun. Karena itu, walaupun investasi diterima oleh Dana Pensiun tetapi karena dana bukan dari iuran maka tetap merupakan objek PPh!
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 

Zakat dan Sumbangan Keagamaan

Sejak tahun 2009 sumbangan keagamaan yang boleh dibiayakan tidak hanya untuk orang Islam tetapi berlaku bagi agama lain yaitu : Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Saya pikir hanya lima agama yang diakui di Indonesia.
Sedangkan sumbangan yang boleh dibiayakan memiliki syarat “sumbangan keagamaan yang bersifat wajib”.
Berikut dasar hukumnya.
Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1) UU PPh 1984 amandemen 2008 berbunyi :
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 UU PPh 1984  adalah Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2009 yang berbunyi :
Pasal 1
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek Pajak penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2
Zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah zakat yang diterima oleh:
a.   badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
b.   penerima zakat yang berhak
Pasal 3
Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia  bagaimana dimaksud datam Pasal 1 adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:
a.   lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
b.  penerima sumbangan yang berhak.
Pasal 4
Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan.
Pasal  5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2OO9.
Sebelumnya saya bingung kaitan antara peraturan pemerintah ini dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK/2008 yang sama-sama mengatur sumbangan.
Saya pikir, kenapa peraturan menteri keuangan terbit duluan sedangkan peraturan pemerintah terbit belakangan. Setelah dibaca ke UU PPh 1984 ternyata memang acuannya beda.
Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK/2008 mengacu ke Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 UU PPh 1984 yang pengaturan lebih lanjutnya dengan Peraturan Menteri Keuangan.  
Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2009 mengacu ke Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 UU PPh 1984 yang pengaturan lebih lanjutnya dengan Peraturan Pemerintah.
Sebenarnya ada ganjalan dengan istilah “penerima sumbangan yang berhak”.  
Apakah kita suci selain Al-Quran mengatur sumbangan wajib? Karena saya dengar konsep zakat hanya ada di Islam.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Pasal 4 ayat (3) huruf n UU PPh 1984 [amandemen 2008] berbunyi:

bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan kewenangan tersebut kemudian Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 247/PMK.03/2008. Berikut ringkasan yang saya buat:

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial [BPJS] adalah :
[a.] Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
[b.] Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
[c.] Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
[d.] Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau
[e.] badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program JaminanSosial.

Sedangkan Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikecualikan adalah :
(1) Wajib Pajak atau masyarakat yang tidak mampu yaitu Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik.

(2) Wajib Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam yaitu Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

(3) Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah sebagaimana yaitu Wajib pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa.

Sekali lagi, ketentuan bantuan atau santunan diatas untuk BPJS dan penerimanya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah jika kita [Wajib Pajak bukan BPJS] memberikan bantuan bagi Wajib Pajak lain dianggap objek pajak bagi penerimanya?

Saya kutip Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 UU PPh 1984,

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : .. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

Menurut saya, ketentuan tersebut mengatur bahwa bantuan dan sumbangan dikecualikan dari objek pajak.

Perhatikan sesudah tanda koma kata “termasuk”! Kalimat sesudah tanda koma sampai tanda ; [titik koma] merupakan penjelas dari bantuan atau sumbangan. Kata “termasuk” sinonim dengan “antara lain”.

Artinya zakat dan sumbangan keagamaan adalah contoh bantuan dan sumbangan. Masih banyak contoh sumbangan lain.

Berdasarkan hal itu, saya berkesimpulan bahwa semua sumbangan dan bantuan bukan objek pajak bagi penerimanya.

TETAPI ternyata Menteri Keuangan telah menetapkan Wajib Pajak penerima mana yang dikecualikan sebagai objek pajak yaitu yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 dan catatan saya sudah diposting.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Beasiswa

Untuk mendorong Wajib Pajak memberikan beasiswa bagi warga negara Indonesia maka pemerintah telah menetapkan bahwa beasiswa bukan penghasilan bagi penerimanya.
Dasar hukumnya ada di Pasal 4 ayat (3) huruf l UU PPh 1984 [amandemen 2008] yang berbunyi :

beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008 tentang Bea Siswa Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan. Berikut kutipan Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008 :

Pasal 1
(1) Penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan:
a. Pemilik;
b. Komisaris;
c. Direksi; atau
d. Pengurus,
dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.

Pasal 2
Komponen beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

Saya kira dari Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008 tersebut sudah jelas beasiswa yang dikecualikan sebagai objek PPh bagi penerimanya.

Penerima beasiswa sejak tahun 2009 tidak perlu pegawai tapi lebih luas, asalkan memenuhi dua syarat yaitu:
a. penerima adalah Warga Negara Indonesia, dan
b. pendidikan berada di Indonesia

Apakah pemberi beasiswa boleh membiayakan? Boleh berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh 1984.

Bahkan di Pasal 6 tersebut bukan hanya pengeluaran beasiswa [pendidikan formal] tetapi magang dan pelatihan [pendidikan nonformal].

Memori penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh 1984 sebagai berikut, “Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.”

Semoga semakin banyak Wajib Pajak yang memberikan beasiswa! Bravo pendidikan murah.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Hibah, Bantuan, dan Sumbangan

Sebenarnya ada beberapan penerimaan yang bisa disebut penghasilan oleh definisi Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 tetapi oleh undang-undang sendiri ditetapkan sebagai bukan penghasilan yang diatur di Pasal 4 ayat (3) UU PPh 1984.
Pada posting kali ini akan diurang “penghasilan” yang berkaitan dengan hibah, bantuan, dan sumbangan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008.
Berikut adalah kutipan langsung sebagai dasar hukum :

Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [amandemen 2008] :

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 ini dijabarkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008.

Berikut bunyi pasal 1 PMK tersebut :

Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:
a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
b. badan keagamaan;
c. badan pendidikan;
d. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
c. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Inilah hibah, bantuan, dan sumbangan yang bukan objek PPh. Artinya jika ada hibah yang diluar batasan diatas maka hibah tersebut menjadi objek PPh.

Tidak semua hibah bukan objek PPh. Tidak semua sumbangan bukan penghasilan. Supaya lebih jelas, berikut pengertian lebih lanjut yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 ditambah dengan catatan saya

[1.] Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak kandung. Jadi hibah kepada anak kandung, atau hibah kepada orang tua bukan objek PPh.

Tetapi hibah yang diterima dari kakak, adik, anak angkat, mantu, mertua, orang lain merupakan objek PPh.

Karena itu, jika kita menerima hibah dari mertua maka jangan dibilang dari mertua tapi hibah dari orang tua kepada anaknya [istri kita] .

Ingat, satu keluarga adalah satu entitas tetapi garis keturunan tetap terpisah.

[2.] Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan.

Menurut saya, suatu badan mencari keuntungan atau bukan bisa dilihat dari praktek atau operasional badan tersebut, bukan dari akta notaris atau tujuan pendirian.

Apakah badan tersebut memperoleh penghasilan semata-mata untuk kegiatan keagamaan atau ada motif mencari keuntungan [bisnis].

[3.] Badan pendidikan adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan.

Nah sekarang badan pendidikan tidak perlu takut lagi dikenakan PPh karena sudah jelas bahwa atas sumbangan ke badan pendidikan bukan objek PPh dengan syarat badan tersebut tidak mencari keuntungan.

Ada yang berpendapat bahwa jika kampus terus-terusan membangun gedung berarti ada indikasi badan pendidikan tersebut mencari keuntungan.

Saya pikir ini tidak tepat karena pembangunan gedung kuliah, gedung administrasi, fasilitas pendidikan [lab, perpus, ruang praktek], dan gaji pengajar keperluan “tak terpisahkan” dari proses pendidikan.

Kecuali jika badan pendidikan tersebut memberikan keuntungan pribadi bagi pendiri atau pihak lain.

[4.] Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
[4.a.] pemeliharaan kesehatan;
[4.b.] pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
[4.c.] pemelihataan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
[4.d.] santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
[4.e.] pemberian beasiswa;
[4.f.] pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
[4.g.] kegiatan sosial lainnya,
yang tidak mencari keuntungan.

[5.] Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil adalah orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Perhatikan kata “yang” dan “atau” yang saya cetak tebal. Kata “yang” menunjukkan syarat kumulatif, sedangkan kata “atau” adalah syarat alternatif [opsi]. Artinya bisa dilihat dari kekayaan yang lima ratus juta rupiah atau memiliki omset dua milyar lima ratus juta rupiah. Mana yang memenuhi.

Kesemua hibah, bantuan, dan sumbangan tidak boleh diberikan dalam rangka pekerjaan, usaha, kepemilikan, atau penguasaan.

Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan aturan lebih lanjut tentang hal ini.

Pendapat saya adalah pemberian tersebut tidak ada timbal balik.

Sebagai contoh, jika PT ABC memberikan sumbangan kepada badan pendidikan berupa software komputer untuk dipakai keperluan proses pendidikan maka sumbangan tersebut bukan objek PPh bagi penerima dan dicatat sebesar nilai buku dalam daftar harta badan pendidikan tersebut.

Tetapi jika pemberian tersebut dikaitkan atau ada persyaratan timbal balik, misalnya badan pendidikan tersebut diminta melakukan penelitian untuk keperluan PT ABC, maka pemberian tersebut berkaitan dengan usaha atau pekerjaan.

Seyogyanya badan pendidikan tidak “menjual jasa” kecuali jasa pendidikan itu sendiri. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :

Jenis jasa di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi :
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan Iuar sekolah, seperti kursus-kursus.

Dengan demikian, karena kegiatan penelitian tidak termasuk jasa di bidang pendidikan, maka [sebagai contoh] jika badan pendidikan melakukan penelitian dan hasilnya dijual baik secara langsung maupun tidak maka atas hasil penjualan tersebut objek PPh.

Berbeda dengan sumbangan pendidikan baik dari mahasiswa atau pihak lain yang dipergunakan untuk penyelenggaraan pendidikan maka [berapapun jumlahnya] bukan objek PPh.

Mungkin dalam prakteknya akan lebih mudah lagi dibedakan mana objek PPh atau bukan, mana kegiatan sosial mana kegiatan “bisnis” yang dibungkus kegiatan sosial.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com