fbpx

PPh Pasal 25

1. Perusahaan ini mau melaporkan PPh Pasal 25, bagaimana pelaporannya, saya sudah menghubungi AR, beliau mengatakan dibutuhkan surat pernyataan perihal perusahaan belum melakukan transaksi/operasional keuangan di tahun 2010, jika surat pernyataan ini diperlukan, ditujukan kepada siapa yah pak?

2. Lalu form2 apa saja yang dibutuhkan untuk melaporkan PPh Pasal 25 ini? apakah laporan keuangan Nov-Des 2010 perlu juga dilampirkan? Apakah dibutuhkan SPT Masa?

3. Untuk tahun 2011, bagaimana pelaporan PPh Pasal 25nya pak? Setiap bulan PPh pasal 25 harus dibayar yah? bagaimana pembayaran dan pelaporannya pak?

Surat Pernyataan merupakan “pernyataan” tertulis seseorang tentang sesuatu atau tentang fakta tertentu.

Fungsi surat pernyataan lebih kepada penguatan atau pengukuhan fakta atau keadaan yang dinyatakan di surat pernyataan.

Biasanya, surat pernyataan tidak ditujukan kepada orang tertentu atau kepada alamat tertentu. Berbeda dengan surat permohonan, misalnya.

Karena itu, surat pernyataan bisa digunakan untuk keperluan apa saya yang memerlukan “pernyataan” tersebut. Untuk lebih menguatkan pernyataan, biasanya surat pernyataan dibubuhi materai.

Terkait dengan Wajib Pajak yang belum memiliki penghasilan dan melaporkan SPT PPh Tahunan “Nihil”, biasanya pihak fiskus meminta Surat Pernyataan.

Yaitu sebuah pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan belum memiliki penghasilan.

Surat Pernyataan ini akan menjadi lampiran SPT Tahunan. Surat Pernyataan ini juga akan menjadi pelengkap laporan keuangan yang juga dilaporkan “Nihil”.

SPT Masa PPh Pasal 25? Saya cek ke www.pajak.go.id dan www.ortax.org untuk mencari formulir SPT Masa PPh Pasal 25. Ternyata tidak ada.

Berarti yang dilaporkan ke KPP hanyalah Surat Setoran Pajak (SSP) Pasal 25 “Nihil”. Silakan cek postingan terkait pelaporan PPh Pasal 25 sebelumnya.

Menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-22/PJ/2008 bahwa pembayaran PPh Pasal 25 melalui modul penerimaan negara (MPN) dan SSP PPh Pasal 25 telah mendapat validasi NTPN dari bank persepsi, maka Wajib Pajak dianggap telah lapor PPh Pasal 25.

Untuk lebih lengkapnya, berikut saya kutip Pasal 4 PER-22/PJ/2008 :

Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Faktur Pajak Tanpa Identitas Pembeli

siang pak .. saya mau nanya gimana kalo misalnya ada pembeli yg tdk minta di buatkan FP krn NPWP tdk ada ….
tpi Dari sisi penjual ingin membuat FP sederhana dan ppnx dijadikan pajak keluaran ,.. bgimana pak ??

Tanpa kita sadari, jika kita belanja di supermarket atau toko waralaba seperti Indomart, kita sebagai pembeli sebenarnya selalu diberi faktur pajak.

Kita sebagai pembeli dikasih struk yg berfungsi faktur pajak keluaran bagi Indomaret.

Apakah pembeli memerlukan struk itu dan mengarsipkan di rumah? Kebanyakan kita justru membuang struk tersebut saat keluar toko persisnya ke tempat sampah di samping pintu.

Pihak Indomaret wajib melaporkan semua omsetnya dan wajib pula membuat faktur pajak. Struk berfungsi sebagai faktur pajak.

Hanya saja karena tida ada identitas dan NPWP pembeli maka faktur pajak tersebut tidak bisa dikreditkan oleh pembeli.

Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-13/PJ/2010, bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak.

DJP tidak mengatur lagi format atau bentuk faktur pajak. Karena itu, bisa saja “judul” dalam dokumen tersebut bukan faktur pajak seperti “faktur pajak standar” sebelumnya.

Bisa jadi judulnya invoice atau faktur atau istilah lain. SE-56/PJ/2010 menegaskan bahwa invoice dipersamakan dengan faktur pajak jika memenuhi syarat Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

Pasal 13 ayat (5) UU PPN mengatur bahwa keterangan yang wajib dicantumkan dalam faktur pajak adalah :
[1.] nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

[2.] nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

[3.] jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

[4.] Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

[5.] Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

[6.] kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

[7.] nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN bagian akhirnya berbunyi :

Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.

Artinya boleh saja kita membuat faktur pajak tidak mencantumkan identitas pembeli.

Hanya saja faktur pajak yang tidak mencantumkan identitas pembeli tidak dapat dikreditkan oleh pembeli.

Dan DJP juga tidak akan memberikan sanksi STP sebagaimana diatur di Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP.

Aturan Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP kira-kira seperti ini :

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain: identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;

Kata “selain” sengaja ditebalkan. Seolah-olah DJP akan memaafkan kesalahan WP dengan tidak menerbitkan STP jika kesalahannya karena faktur pajak yang dibuat tanpa identitas pembeli.

Semoga menjadi lebih jelas.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

ekspor

pak saya ingin bertanya tentang export , bgaimana cara memasukan data peb ke espt ppn karena saya bingung ,untuk nilai dpp nya ?
di form peb nya ada data :
freight : 400 us
fob : 150 us
dari dua data tersebut yg mana kah yg di jadikan sebagai DPP yg di masukan ke dalam e – spt

Ada kebiasaan yang lazim digunakan oleh para pebisnis di Indoneisa terkait dengan syarat ekspor dan impor.

Jika pebisnis melakukan ekspor maka syarat penjualan lazimnya adalah FOB. Sebaliknya jika melakukan impor barang, maka syarat impor lazimnya adalah CIF.

FOB alias Free On Board artinya eksportir (penjual) menyerahkan barang diatas kapal “clean on board”.

Pembeli di luar negeri kemudian membayar freight dan menanggung asuransi. Keuntungan bagi penjual antara lain :
[1.] pelabuhan pemuatan di negerinya sendiri dan penjual telah mengenal kondisi, peraturan perpajakan dan kepabeanan;

[2.] menghindari fluktuasi freight rate dan valuta asing.

CIF alias cost insurance & freight artinya penjual menanggung biaya freight sampai tempat tujuan yang ditunjuk pembeli (pembeli di Indonesia) ditambah asuransi.

Penjual mengapalkan barang dalam keadaan “clean for export”. Menguntungkan penjual jika eksportir besar bisa dapat memilih “term” yang lebih baik cari “carrier”.

Dapat menguntungkan pembeli karena menghindari fluktuasi rate.

Dokumen-dokumen terkait ekspor biasanya :
[1.] kontrak penjualan (sales contract)
[2.] faktur (commercial invoice)
[3.] letter of credit (L/C)
[4.] Pemberitahuan ekspor barang (PEB)
[5.] Bill of lading (B/L)
[6.] Polis asuransi
[7.] Packing list
[8.] Certificate of origin (COO)
[9.] Surat pernyataan mutu (Quality Statement)
[10.] Wesel ekspor (bill of exchange)

Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, nilai ekspor mana yang dilaporkan di SPT PPN? Nilai ekspor yang sebenarnya adalah nilai yang tertera di invoice.

Biasanya disinilah harga ekspor yang ditagihkan ke pembeli di Luar Negeri. Karena itu, nilai ekspor yang dilaporkan di SPT PPN adalah nilai yang tertera di invoice.

Kembali kepada kelaziman pebisnis di Indonesia. Kenapa pebisnis di Indonesia menghindari bayar freight?

Kalau jual barang yang bayar freight pembeli di luar negeri (FOB). Sebaliknya, jika membeli barang yang bayar freight juga tetep penjual di luar negeri (CIF). Terima beres “ditempat”.

Alasanya yang sebenarnya tentu pebisnis tersebut yang tahu. Tetapi kabar kabur yang “terdengar” adalah menghindari pembayaran PPh Pasal 26.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

NPWP untuk wanita kawin

Wanita yg sdh menikah punya NPWP sendiri baik memiliki Ph dari 1 pemberi kerja maupun buka usaha sendiri SPT Tahunannya pisah dgn suami ya pak? yg SPT Tahunannya gabung dgn suami hanya untuk istri yg NPWPnya tdk ikut dgn NPWP suami ya pak?
satu lagi pak sy bingung NPWP istri yg ikut dg NPWP suami itu yg no. akhir NPWP nya 1, atau NPWP Istri sama dgn suami dari awal hingga akhir tanpa ada perbedaan sedikitpun?

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP :

Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Pasal 2 PER-51/PJ/2008

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi anggota keluarga adalah :
a.Anggota keluarga yang diakui oleh Penanggung Biaya Hidup, termasuk anak yang belum dewasa serta memiliki penghasilan dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya.

b.Wanita kawin yang :
1.menjalankan usaha dan/atau melakukan pekerjaan bebas; dan/atau
2.tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas dan memiliki penghasilan sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak,

dan tidak terikat perjanjian pisah harta, serta tidak menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Berdasarkan aturan tersebut, dalam satu keluarga dapat satu NPWP. Teman-teman di DJP sering menyebut NPWP cabang bagi anggota keluarga.

Misalnya NPWP untuk istri pertama 01.234.456.8-kpp-999 NPWP untuk istri kedua 01.234.456.8-kpp-998 (masing-masing istri memiliki usaha sendiri), atau NPWP untuk anak yang sudah terkenal sebagai artis 01.234.456.8-kpp-997.

Khusus untuk istri, UU KUP sekarang membolehkan memiliki NPWP yang terpisah dari suami. Syarat istri dapat memiliki NPWP yang terpisah adalah :
[a.] memiliki perjanjian pisah harta, atau
[b.] menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri

Pasal 8 ayat (2) UU PPh 1984 :

Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Sekedar mengingatkan saja, NPWP terpisah tidak berarti penghitungan perpajakan juga terpisah.

Penghitungan PPh OP atas keluarga tersebut tetap digabung dulu, baru kemudian dihitung kewajiban PPh secara proporsional.

Pasal 8 ayat (3) UU PPh 1984 :

Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

Berikut saya kutip contoh di penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU PPh :

Wajib Pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp50.000.000,00. Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan sebesar Rp50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan sebesar Rp75.000.000,00, seluruh penghasilan isteri sebesar Rp125.000.000,00 (Rp50.000.000,00 + Rp75.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut A dikenai pajak atas penghasilan sebesar Rp225.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp50.000.000,00 + Rp75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp225.000.000,00 tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ini contoh lanjutan, di ayat (2) dan (3) apabila ada perjanjian pisah harta :

apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp225.000.000,00.

Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp 56.250.000,00, maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:

Suami : 100.000.000,00/225.000.000,00 x Rp56.250.000,00 = Rp25.000.000,00

Isteri : 125.000.000,00/225.000.000,00 x Rp56.250.000,00 = Rp31.250.000,00

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

PPh 26 atas Jasa Luar Negeri

Pertanyaan saya:
1. Apakah betul Penerimaan WP LN atas Jasa yang diberikan kpd PT ABC merupakan obyek PPh26.
2. Meskipun PT ABC belum membayar tagihan selama bertahun tahun apakah tetap harus pungut dan setor PPh 26?
3.Mengapa di tax treaty (Singapore dan Malaysia) tidak memberikan secara tegas pasala yang menyatakan penghasilan atas jasa yang diterima WP LN dikenakan PPh26 sebesar 20%?
4. Jika ada COR atau COD (Certificate of Resident/Domicile) dikenakan hanya 10% atas PPh 26…Mana pasal yang mendukung atau KEPMEN yang mendukung statement ini?
5. Apakah PPh 26 yang kita pungut dari tagihan dan kita setor dengan SSP dapat dikreditkan dengan PAJAK BADAN WP LN (Wajib Pajak Luar Negeri).
6. Untuk kode SSP atas PPh26 JASA Luar Negeri apa ya pak..?

Benar bahwa atas pembayaran jasa ke luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20%.

Pasal 26 adalah pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri. Ini berdasarkan asas sumber.

Indonesia sebagai sumber penghasilan memiliki kewenangan untuk mengenakan PPh.

Karena subjek pajaknya di luar negeri maka kewajiban perpajakan mereka sebatas atas penghasilan dari Indonesia saja.

Tetapi jika Indonesia menagih ke si subjek pajak yang di luar negeri maka sangat susah karena mereka berada di luar negeri.

Karena itu pembayar penghasilan (sumber di Indonesia) diberikan kewajiban untuk memotong dan menyetor.

Dengan disetorkannya PPh oleh wajib pajak dalam negeri, maka kewajiban perpajakan si wajib pajak luar negeri selesai. Inilah yang disebut PPh Pasal 26 karena diatur di Pasal 26 UU PPh.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 sudah timbul saat terjadi tagihan dari mitra kerja kita di luar negeri.

Walaupun atas tagihan tersebut belum dibayar tetapi tetap sudah terutang.

Hanya saja saat bayar ke bank persepsi, saran saya di SSP harus dicantumkan nomor tagihan tersebut.

Ini untuk meyakinkan siapa saja dan KAPAN saja bahwa atas tagihan tersebut sudah dipotong PPh Pasal 26.

Konstruksi tax treaty dengan UU PPh tentu beda. Tax treaty hanya “mancabuti” kewenangan UU PPh berdasarkan jenis penghasilan.

Apakah passive income atau active income? Pasal 7 biasanya mengatur active income dengan judul BUSINESS INCOME.

Berdasarkan Pasal 7 tax treaty, hak pemajakan negara sumber “dibatasi” hanya jika penghasilan tersebut melalui permanent establisment.

Saya kutip Pasal 7 ayat (1) tax treaty Singapur – Indonesia :

The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to that permanent establishment.

Certificate of domicile (COD) adalah syarat penggunaan tax treaty.

Apakah benar penerima penghasilan orang singapur? Jawabnnya ada di COD.

Ini persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh si wajib pajak luar negeri.

Jika wajib pajak luar negeri yang menjadi mitra kerja kita tidak dapat memberikan COD maka aturan yang berlaku kembali ke Pasal 26 UU PPh.

Karena PPh Pasal 26 merupakan pembayaran PPh atas wajib pajak luar negeri maka PPh Pasal 26 tidak bisa dikreditkan dengan PPh Badan penyetor.

“Pemilik” PPh-nya berbeda. Tetapi bisa dikreditkan oleh si wajib pajak luar negeri.

Sebenarnya, bisa atau tidak tergantung sistem perpajakan yang berlaku di Negara yang bersangkutan.

Dalam konteks Indonesia, di UU PPh diatur di Pasal 24 sehingga disebut PPh Pasal 24.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 

 

marina bay sands singapore
Photo by Elina Sazonova on Pexels.com
%d blogger menyukai ini: