fbpx

Sengketa Perpajakan

Surat Ketetapan Pajak [skp] bukanlah keputusan final. Memang akan menjadi final jika Wajib Pajak menerima dan membayar skp tersebut.
Saya berpendapat skp adalah produk “pemahaman pemeriksa pajak”.
Sehingga tidak ada yang pasti atas skp tersebut.

Koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak disebabkan oleh dua hal :
[1.] akuntansi
[2.] aturan pajak

Koreksi fiskal karena akuntansi maksudnya koreksi fiskal yang dilakukan karena pemeriksa menganggap : bukti tidak cukup sehingga tidak bisa dibiayakan, selisih antara pembukuan WP dan SPT (sering kali yang diambil adalah yang paling menguntungkan untuk negara), WP salah hitung (ini masalah matematis dan manusiawi), perbedaan metode pembukuan (misalnya saat pengakuan ekspor atau impor), atau yang paling sering saya gunakan : Wajib Pajak belum melaporkan semua penghasilan, dan belum melaporkan semua objek pajak.

Sedangkan koreksi fiskal karena aturan pajak berbeda dengan akuntansi. Contoh Pasal 6 ayat (1) UU PPh mengatakan :

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Sehingga, bisa jadi secara akuntansi bisa dibiayakan tetapi secara fiskal tidak bisa dibiayakan.

Lebih jelas lagi dengan ketentuan Pasal 9 UU PPh yang mengatur pengeluaran yang tidak dapat dibiayakan atau tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

Atau ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU PPh yang hanya membolehkan metode penilaian persediaan dengan cara “rata-rata” atau FIFO.

Mungkin koreksi karena akuntansi lebih banyak diterima. Misal koreksi karena Wajib Pajak memperkecil omset.

Saat diperiksa, omset sebenarnya ketahuan. Sehingga WP akan menerima hasil pemeriksaan tersebut karena memang hasil pemeriksaan berdasarkan fakta sebenarnya.

Walaupun demikian tidak berarti koreksi berdasarkan akuntansi juga tidak akan jadi sengketa pajak.

Apalagi jika koreksi fiskal karena aturan pajak. Lebih khusus lagi jika aturan pajak yang dijadikan dasar koreksi masuk wilayah “gray area” atau wilayah abu-abu. Sebagian ada yang menyebut multitafsir.

Banyak Wajib Pajak yang bermotif dagang. Mana yang lebih menguntungkan secara finansial, itulah yang ditempuh.

Jika menurutnya hasil pemeriksaan tersebut bisa dikurangi, maka dia bisa tempuh jalur itu. Maka dicarilah kelemahan hasil pemeriksaan.

Namanya juga produk manusia, tidak sempurna. Selalu ada sisi kekurangannya.

Rambut boleh sama hitam, tapi pemikiran dan pendapat bisa berbeda-beda. Aturan yang menurut pemeriksa jelas, bisa ditafsirkan lain sehingga menjadi tidak jelas.

Sudut pandang atau cara memahami aturan bisa beda-beda tergantung latar belakang masing-masing. Termasuk yang menurut keumuman atau kelaziman disebut “aneh”.

Sarana untuk mengurangi hasil pemeriksaan sebenarnya ada 3 jalur, yaitu normal, extraordinary, dan terbatas.

Tiga istilah tersebut saya dapatkan dari Majalah Berita Pajak bulan April 2011. Istilah tersebut dikemukakan oleh orang yang kebetulan saat ini sebagai Sekretaris DJP yang sebelumnya menjadi “Tim KUP“.

[a.] Jalur Normal
Jalur normal berdasarkan Pasal 25, 26, dan 27 UU KUP. Untuk lebih lengkapnya saya kutip dulu biar jelas.

Pasal 25 UU KUP mengatur proses pengajuan keberatan. Pasal 25 ayat (1) UU KUP berbunyi :

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Pasal 26 UU KUP mengatur hasil keberatan. Pasal 26 ayat (1) UU KUP berbunyi :

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

Pasal 27 UU KUP mengatur pengajuan permohonan banding. Pasal 27 ayat (1) UU KUP berbunyi :

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).

[b.] Jalur Extraordinary
Jalu extraordinary berdasarkan Pasal 36 UU KUP.

Mengapa disebut extraordinary? Wah, saya juga lupa alasannya 😀

Tetapi kemungkinan karena pasal ini mengatur kewenangan DJP yang lebih kuat.

Saya kutip dulu bunyi Pasal 36 ayat (1) UU KUP :

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Wajib Pajak dapat meminta menghapus sanksi administrasi yang sudah dihitung oleh pemeriksa pajak.

Jalur ini bisa diambil Wajib Pajak jika tidak melakukan proses keberatan. Artinya, dia menerima hasil pemeriksaan.

Karena menerima hasil pemeriksaan, dia bayar dulu pokok pajaknya sampai lunas.

Setelah lunas, dia minta pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Biasanya alasan yang sering digunakan adalah kemampuan liquiditas.

Wajib Pajak dapat meminta mengurangi hasil pemeriksaan atau membatalkan skp dan STP. Jalur ini bisa digunakan jika Wajib Pajak sudah menggunakan jalur keberatan berdasarkan Pasal 26 UU KUP.

Tetapi karena kekurangan syarat formal, maka keberatan Wajib Pajak ditolak. Padahal bisa jadi materi keberatan Wajib Pajak benar.

Nah untuk mewujudkan keadilan, maka dibuka pintu ini. Artinya, ini seperti proses keberatan tetapi dengan “tidak memperhatikan” syarat formal.

Bedanya dengan proses keberatan, pintu Pasal 36 UU KUP tidak bisa banding ke Pengadilan Pajak. Wajib Pajak harus menerima apapun hasilnya.

[c.] Jalur Terbatas
Jalur terbatas berdasarkan Pasal 16 UU KUP. Pasal 16 UU KUP mengatur pembetulan atau koreksi ketetapan pajak.

Tetapi koreksi dijalur ini terijadi karena kesalahan manusiawi. Lebih jelasnya saya kutip dulu Pasal 16 UU KUP dan penjelasannya.

Pasal 16 ayat (1) UU KUP :

Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU KUP (bagian tengah tidak dikutip supaya tidak terlalu panjang).

Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.

Pengertian ”membetulkan” pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.

Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.

Memang tiga jalur tersebut tidak mencerminkan sengketa pajak sebagaimana judul posting kali ini. Jalur yang “murni” sengketa pajak sebenarnya jalur normal yang bisa banding sampai Pengadilan Pajak dan bisa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Jalur mana yang akan dipilih oleh Wajib Pajak? Kembali ke motif dagang, mana yang lebih menguntungkan finansial si Wajib Pajak 😀

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Know How Fee

Ini adalah salah satu perselisihan antara pemeriksa pajak dan Wajib Pajak. Inti perselisihan berasal dari pemeriksa pajak melakukan koreksi fiskal atas know how fee. Dikoreksi semua alias 100%.
Pemeriksa pajak berpendapat bahwa pembayaran tersebut tidak wajar dan seharusnya merupakan pembayaran deviden karena penerima know how fee ternyata pemegang saham dengan persentase kepemilikan 65% (enam puluh lima persen).

Tentu saja Wajib Pajak menolak koreksi tersebut. Menurut Wajib Pajak, know how fee adalah royalti yang harus dibayar berdasarkan agreement yang telah dibuat dengan perusahaan induk.

Kenapa harus ada know how fee? Katanya, perusahaan induk :
[a.] merancang design produk (bersama-sama dengan pemilik merek),
[b.] mereview sample design,
[c.] pemilihan mesin-mesin,
[d.] pemilihan bahan-bahan,
[e.] dilibatkan dalam proses produksi, dan
[f.] pengawasan proses produksi.

Singkat cerita 😀 pihak pajak bersikukuh atas koreksinya, sebaliknya pihak Wajib Pajak bersikukuh terhadap pendapatnya.

SKPKB (surat ketetapan pajak kurang bayar) pun terbit. Kemudian Wajib Pajak melakukan proses keberatan. Karena ini termasuk “kasus besar”, maka kepala kantor (kakanwil) berisiatif untuk membuat tim pembahas.

Maksudnya, atas konsep laporan keberatan, sebelum diteken oleh kepala kantor, dibahas dulu oleh beberapa orang yang telah ditunjuk.

Dalam proses pembahasan, diketahui ada prosedur yang dilewati oleh tim pemeriksa sebelumnya, yaitu pemeriksa pajak tidak melakukan Analisis Fungsional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-01/PJ.7/1993.

Analisis fungsional diperlukan untuk menentukan atau mengukur kewajaran transfer pricing.

Selain itu, dari data-data Wajib Pajak ternyata lebih dari 66% harga bahan baku produk tersebut dibeli dari perusahaan induk.

Ini tidak dipermasalahkan oleh pemeriksa pajak atau tidak dilakukan koreksi. Padahal menurut tim pembahas, justru pembelian bahan baku tersebut harus diuji kewajarannya.

Jangan-jangan transfer pricing justru dilakukan melalui pembelian bahan baku tersebut? Dan indikasi itu bisa dilihat dari tahun-tahun sebelumnya yang terus merugi.

Ditambah lagi, ada biaya-biaya selain know how fee dan pembelian bahan yang dibayarkan ke perusahaan induk.

Ini juga seharusnya menjadi perhatian. Dan untuk menentukan kewajaran harga, semua “transfer” baik yang berupa pembelian bahan baku, jasa atau fee, dan biaya lainnya harus digabung!

Tujuannya sekalian untuk mengukur kewajaran harga transfer.

Jika berdasarkan Analisis Fungsional bisa dihitung besaran kewajaran transfer pricing (berdasarkan metode yang tepat), maka selisihnya bisa dikoreksi.

Atau seperti pendapat pemeriksa bahwa selisih pembayaran diatas kewajaran merupakan pembayaran deviden kepada pemegang saham walaupun diberi nama Know How Fee.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Transfer Harga

Ini adalah masalah klasik bagi dunia perpajakan. Transfer pricing dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menggeser-geser laba sebuah unit usaha.
 
Saya memahami transfer pricing adalah cara untuk menggeser-geser keuntungan usaha.
 
Akumulasi keuntungan usaha perlu digeser-geser berkaitan dengan tarif Pajak Penghasilan di suatu negara, dalam rangka menghindara Pajak Penghasilan yang lebih besar.

 

Tetapi, banyak perusahaan asing (atau perusahaan dengan modal dari Luar Negeri, bisa disebut PMA) yang beroperasi di Indonesia melaporkan usahanya di SPT PPh Tahunan dengan kondisi rugi.

Karena perusahaan rugi, maka otomatis tidak membayar PPh Badan. Tetapi setelah diperinci ternyata kerugian tersebut diakibatkan biaya-biaya yang dibayarkan ke Luar Negeri.

Biaya-biaya tersebut tentu saja boleh dibiayakan secara komersial. Tetapi secara fiskal? Tunggu dulu! Apakah memang biaya tersebut “pantas”? Apakah besaran biaya atau harga tersebut wajar? Apa ukuran kewajaran yang bisa disepakati? Inilah permasalah klasik perpajakan yang saya maksud.

Biasanya transfer pricing digunakan dengan :
1. harga jual terlalu rendah;
2. harga beli bahan terlalu tinggi;
3. pembebanan overhead cost;
4. pinjaman pemegang saham;
5. pembebanan jasa-jalan;
6. pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).

Nah untuk melengkapi copy paste SE-04/PJ.7/1993 seperti posting sebelumnya, berikut ini contoh transfer pricing yang No. 6 dan No. 7.

Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar.

Contoh :
A adalah pemegang 50% saham PT. B. Harta perusahaan PT. B berupa kendaraan, dibeli A dengan harga Rp. 10 juta.

Nilai buku kendaraan tersebut adalah Rp. 10 juta. Harga pasaran kendaraan sejenis dalam keadaan yang sama adalah Rp. 30 juta.

Perlakuan perpajakan :
Oleh karena harga pasar sebanding untuk kendaraan tersebut adalah Rp. 30 juta, maka penghasilan kena pajak PT. B dikoreksi positif Rp. 20 juta (Rp. 30 juta – Rp. 10 juta).

Sedangkan bagi A selisih harga Rp. 20 juta merupakan penghasilan berupa dividen yang oleh PT. B harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang tidak mempunyai substansi usaha (letter box company).

Contoh :
PT. I Indonesia, yang mempunyai hubungan istimewa dengan H Ltd Hongkong, dua-duanya adalah anak perusahaan K di Korea. Dalam usahanya PT. I mengekspor barang yang langsung dikirim ke X di Amerika Serikat atas permintaan H Ltd Hongkong.

Harga pokok barang tersebut adalah Rp. 100. PT. I Indonesia selalu menagih H Ltd dengan jumlah Rp. 110. Sedang H Ltd Hongkong menagih X Amerika Serikat. Informasi yang diperoleh dari Amerika Serikat menunjukan bahwa X membeli barang dengan harga Rp. 175.

Keterangan lebih lanjut menunjukan bahwa H Ltd Hongkong hanya berupa Letter Box Company (reinvoicing center), tanpa substansi bisnis.

Perlakuan perpajakan :
Oleh karena tarif pajak perseroan di Hongkong lebih rendah dari Indonesia, maka terdapat petunjuk adanya usaha Wajib Pajak untuk mengalihkan laba kena pajak dari Indonesia ke Hongkong agar di peroleh penghematan pajak.

Dengan memperhatikan fungsi (substansi bisnis) dari H Ltd, maka perantaraan transaksi demikian (untuk penghitungan pajak) dianggap tidak ada, sehingga harga jual oleh PT. I dikoreksi sebesar Rp. 65 (Rp. 175 – Rp. 110).


Kalau fungsi H Ltd adalah sebagai agen yang pada umumnya mendapat laba kotor (komisi) 10%, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan laba sebesar Rp. 75 dialokasikan sebagai berikut :
– untuk H Ltd = Rp.17,50 (10% x Rp. 175),
– untuk PT. I = Rp. 57,50 (Rp. 75 – Rp. 17,50).
Harga jual oleh PT. I yang wajar adalah Rp. 157,50 (Rp. 175 – Rp. 17,50).

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
city buildings and green trees near ocean
Photo by Jimmy Chan on Pexels.com

Keberatan dan Banding

Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak jika merasa tidak puas atau kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan / pemungutan oleh pihak ketiga. Saya yakin, sebagian besar Wajib Pajak melakukan proses keberatan karena surat ketetapan pajak (skp) yang dianggap tidak adil. Dan surat ketetapan pajak itu biasanya diterbitkan sebagai produk dari pemeriksaan pajak. Ya, keberatan umumnya didahului dengan proses pemeriksaan.

Seorang pemeriksa pajak tentu banyak berbeda pendapat dengan Wajib Pajak tentang perlakuan perpajakan atas suatu transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Jika dalam pembahasan dengan Wajib Pajak tidak menemukan titik temu, maka tidak jarang pemeriksa pajak mengeluarkan jurus “pokoknya”. Selama argumentasi pemeriksa pajak memiliki landasan yuridis, selaras dengan “akal sehat”, maka pendapat pemeriksa dapat dipertahankan dan hakim banding-lah yang menentukan benar tidaknya pendapat pemeriksa pajak.

Prosedur pemeriksaan sekarang dibuat lebih merepotkan pemeriksa pajak sekaligus lebih memperkuat produk pemeriksaan. Saat menemukan temuan, pemeriksa pajak dapat membicarakan hasil temuan tersebut dengan Wajib Pajak. Kemudian, temuan itu dituangkan secara formal dalam surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). Berdasarkan SPHP tersebut Wajib Pajak kemudian memberikan tanggapan SPHP. Berdasarkan tanggapan SPHP, pemeriksa pajak dengan media Surat Panggilan memanggil Wajib Pajak untuk mendiskusikan hasil pemeriksaan. Tetapi jika temuan sudah didiskusikan terlebih dahulu sebelum SPHP keluar, maka pembahasan hasil pemeriksaan bisa lebih singkat atau bisa jadi langsung ke penandatangani berita acara hasil pemeriksaan.

Bersama dengan tanggapan SPHP, Wajib Pajak dapat memberikan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk membantah pendapat pemeriksa. Setelah itu, pada saat panggilan pembahasan (setelah diterima Surat Panggilan), Wajib Pajak juga dapat melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan. Setelah itu, dokumen yang digunakan untuk membantah pendapat pemeriksa bisa tidak berguna sama sekali karena sejak jamannya pa Pung (Dirjen Pajak Hadi Purnomo), Direktorat Jenderal Pajak memiliki klausul “dokumen yang tidak digunakan pada saat pemeriksaan, tidak dapat digunakan pada saat keberatan dan banding”.

Klausul tersebut dibuat karena banyaknya “dokumen baru” yang muncul pada saat banding di Pengadilan Pajak (dulu masih BPSP), padahal pada saat pemeriksaan dokumen tersebut tidak menjadi pertimbangan Wajib Pajak. Bahkan banyak dokumen Wajib Pajak yang pada saat pemeriksaan diminta, bahkan dengan surat permintaan dokumen, dokumen yang diminta tidak “nongol”, tetapi pada saat banding tuh dokumen menjadi lengkap.

Pada kasus lain, banyak produk hasil pemeriksaan dibuat dengan “penetapan secara jabatan”. Ini adalah jurus terakhir dari pemeriksaan pajak karena tidak adanya dokumen yang dapat dijadikan dasar untuk menghitung besarnya pajak terutang. Penetapan secara jabatan adalah salah satu diskresi pemeriksaan pajak saat dokumen yang diminta tidak ada. Dulu, banyak kasus yang ditetapkan secara jabatan, Wajib Pajak keberatan, kemudian banding di Pengadilan Pajak, dan “sim salabim” dokumen yang dulu pernah diminta oleh pemeriksa pajak, pada waktu pemeriksaan di banding, dokumen menjadi lengkap! Ini kenyataan.

TIM PEMBAHAS
Sejak awal tahun 2007, proses pemeriksaan ditekankan pada adanya Tim Pembahas. Tim ini bisa berada di tingkat KPP Pratama atau Madya atau di Kanwil. Tim ini diposisikan sebagai Tim yang independen untuk menguji pendapat pemeriksa pajak.

Wajib Pajak yang masih belum puas pada saat pembahasan hasil pemeriksaan, “sesaat” setelah berita acara hasil pemeriksaan dapat mengajukan pembahasan di Tim Pembahas UP3. Permintaan Wajib Pajak itu disertai dengan uraian ketidakcocokan antara pendapat pemeriksa pajak dan pendapat Wajib Pajak. Tim Pembahas UP3 (Karikpa atau KPP) kemudian membahas permintaan tersebut dan dituangkan dalam dokumen yang bernama Risalah Tim Pembahas UP3.

Jika hasil pembahasan Tim Pembahas UP3 masih belum memuaskan bagi Wajib Pajak maka masih ada kesempatan terakhir sebelum menjadi skp, yaitu permintaan Wajib Pajak untuk pembahasan oleh Tim Pembahas Kanwil. Permintaan tersebut mengharuskan Wajib Pajak menguraikan perbedaan pendapat antara pendapat Wajib Pajak, pendapat pemeriksa pajak, dan pendapat Tim Pembahas UP3. Masing-masing pokok masalah harus diurai dari masing-masing pihak.

Pembahasan Tim Pembahas Kanwil kemudian dituangkan dalam Risalah Tim Pembahas Kanwil. Setelah ada dokumen tersebut, tertutup kesempatan Wajib Pajak untuk menyanggah hasil pemeriksaan. Dan hasil pemeriksaan kemudian akan dituangkan dalam surat ketetapan pajak (skp).

Pada prakteknya, bisa jadi Tim Pembahas membenarkan pendapat Wajib Pajak. Hal ini tergantung argumentasi dan kelengkapan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan pada saat pembahasan sebelumnya. Jika ini terjadi maka pendapat pemeriksa tentu tidak dapat dipakai dan tidak akan diteruskan menjadi surat ketetapan pajak. Tetapi bisa juga Tim Pembahas UP3 dan Tim Pembahas Kanwil membenarkan pendapat pemeriksa pajak. Jika ini yang terjadi, Wajib Pajak masih memiliki dua kesempatan, yaitu proses keberatan dan banding. Tetapi harus diingat, proses keberatan dan banding tidak menunda proses penagihan!

Berdasarkan dokumen Risalah Tim Pembahas, pemeriksa pajak kemudian membuat nota penghitungan pajak sebagai dasar pembuatan surat ketetapan pajak. Nota penghitungan pajak dibuat paling lama sebulan sejak tanggal SPHP. Jadi, proses permintaan dan pembahasan Tim Pembahas baik Tim Pembahas UP3 maupun Tim Pembahas Kanwil, waktunya kurang dari satu bulan.

Jika dibagi-bagi, alokasi waktu sejak tanggal SPHP diterima Wajib Pajak adalah sebagai berikut: seminggu sejak diterima SPHP, pengumpulan dokumen tambahan dan penyusunan surat sanggahan SPHP. Seminggu kemudian pembahasan SPHP antara pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak. Seminggu kemudian, permintaan pembahasan dan pembahasan oleh Tim Pembahas UP3. Seminggu kemudian, permintaan pembahasan dan pembahasan oleh Tim Pembahas Kanwil. Oh, ya, Wajib Pajak tidak dilibatkan pada saat pembahasan oleh Tim Pembahas. Tetapi Wajib Pajak dapat meminta salinan dokumen Risalah Tim Pembahas ke pemeriksa pajak.

Inilah prosedur pemeriksaan yang saya maksud merepotkan pemeriksa pajak tetapi sekaligus memperkuat produk pemeriksaan. Dengan adanya Tim Pembahas, maka ada pendapat yang dianggap independen yang menilai pendapat pemeriksa pajak. Jika hasil Tim Pembahas sama dengan pendapat pemeriksa pajak maka pada saat keberatan dan banding pemeriksa lebih kuat.

KEBERATANMenurut Pasal 25 ayat (1) UU KUP, keberatan dapat diajukan atas :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Bagaimana dengan STP atau surat tagihan pajak, apakah bisa keberatan? Banyak Wajib Pajak yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh petugas pajak dengan STP yang menurut Wajib Pajak tidak adil. Tetapi, sampai dengan tahun 2007, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan keberatan atas STP karena UU KUP tidak menyebutkan STP sebagai objek keberatan. Artinya, Wajib Pajak hanya bisa membayar STP yang telah diterbitkan oleh petugas pajak!

Bagaimana membuat surat keberatan?
a. Satu Keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak;
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. Wajib menyatakan alasan-alasan secara jelas;
d. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak.

Satu surat untuk satu skp. Jika hasil pemeriksaan ada lima skp, misalnya : SKPKB PPh Badan, SKPKB PPh Pasal 21, SKPKB PPh Pasal 23, SKPKB PPh Pasal 4(2), dan SKPKB PPN, maka surat keberatan harus dibuat lima buah. Tidak boleh satu surat untuk keberatan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, misalnya.

Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal. Ini perintah UU KUP! Tetapi UU KUP juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Silakan pembaca menterjemahkan sendiri klausul “keadaan diluar kekuasaannya”.

Di kantor modern, keputusan keberatan dilakukan oleh kanwil dan diteliti oleh pejabat penelaah keberatan. Ini adalah profesi baru di DJP sendiri. Pejabat penelaah keberatan hanya ada di kanwil, sama halnya seperti AR yang hanya ada di KPP. Walaupun demikian, surat keberatan tetap dilayangkan ke KPP, bukan ke kanwil. Nanti KPP yang akan meneruskan surat keberatan ke kanwil.

Sebelum ditetapkan hasil pemeriksaan, biasanya pada proses keberatan pemeriksa pajak juga masih dimintai jawaban keberatan dan salinan kertas kerja pemeriksaan. Artinya, penelaah keberatan nanti akan membanding-bandingkan pendapat Wajib Pajak dan pendapat pemeriksa pajak. Walaupun penelaah keberatan merupakan pegawai DJP, tetapi sebenarnya penelaah keberatan berposisi sebagai hakim yang memutuskan antara posisi Wajib Pajak dan posisi pemeriksa pajak.

BANDINGDua belas bulan sejak surat keberatan diterima oleh KPP, maka kantor pajak harus mengeluarkan Surat Keputusan Keberatan (SK Keberatan). Jangka waktu 12 bulan tersebut ditetapkan oleh Pasal 26 ayat (1) UU KUP. Karena itu, jangka waktu 12 bulan adalah jangka waktu paling lama. Sebelum 12 bulan, bisa jadi SK Keberatan keluar.

SK Keberatan tidak dapat menjadi Wajib Pajak puas. Masih ada satu kesempatan lagi bagi Wajib Pajak untuk menguji pendapatnya, yaitu melalui proses banding ke Pengadilan Pajak. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” Ini lembaga yang tidak memiliki hirarki dengan DJP. Lebih independen dan insya allah hakim yang memutuskannya lebih kredibel daripada pejabat penelaah keberatan di kanwil.

Tata cara pengajuan banding sebagai berikut:
– Surat banding ditulis dalam bahasa Indonesia;
– Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan yang dibanding diterima;
– Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding;
– Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
– Dilampiri salinan Surat Keputusan yang dibanding;
– Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.

Dalam sejarah banding, jika dibuatkan prosentase Putusan Banding, maka sebagian besar Putusan Banding berpihak ke Wajib Pajak. Berdasarkan penelitian DJP sendiri, keputusan banding yang membatalkan surat ketetapan pajak dikarenakan lemahnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Artinya, banyak pemeriksaan pajak yang melakukan pemeriksaan tanpa dasar yuridis dan argumentasi yang kuat. Inilah kesempatan Wajib Pajak, walaupun untuk mencapai banding ini harus melalui jalan yang berliku :-).

Selamat menempuh banding.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: