fbpx

Norma Penghitungan Penghasilan Neto 2015

Norma Penghitungan Penghasilan Neto 2015

Norma penghitungan penghasilan neto adalah cara lain menghitung penghasilan neto. Disebut cara lain karena penghasilan neto ini tidak menggambarkan penghasilan sebenarnya. Untuk menghitung penghasilan neto sebenarnya, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Tetapi jika tidak mampu, maka boleh menghitung penghasilan lain dengan norma penghitungan penghasilan neto.

Kenapa Harus Menghitung Penghasilan Neto?
Untuk menghitung Pajak Penghasilan harus diketahui dulu penghasilan neto. Pajak Penghasilan adalah perkalian tarif dengan penghasilan neto. Tarif yang dimaksud sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU PPh. Dan penghasilan neto disebut juga penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak menjadi dasar penerapan tarif sebagaimana diatur pada Pasal 16 UU PPh.

Jadi, menurut UU PPh tidak mungkin menghitung Pajak Penghasilan jika penghasilan neto tidak diketahui.

Menghitung penghasilan neto ada dua:

Siapapun boleh menggunakan pembukuan. Dan menjadi WAJIB hukumnya bagi subjek pajak badan dan subjek pajak orang pribadi yang memiliki usaha dengan omset diatas Rp.4,8 milyar.

Untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, Wajib Pajak orang pribadi wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan ini disampaikan ke KPP terdaftar. Disampaikan paling lambat bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan. 3 bulan sejak awal tahun pajak artinya bulan Maret karena tahun pajak sama dengan tahun kalender.

Kewajiban memberitahukan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015.  

Ini daftar norma penghitungan penghasilan neto untuk SPT Tahunan.

PENGHASILAN NETO OLEH PEMERIKSA
Peraturan direktur jenderal pajak tentang norma penghasilan neto sudah lama ada. Sebelumnya dengan KEP-536/PJ./2000. Hanya saja ada sesuatu yang baru dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015, yaitu norma bagi Wajib Pajak yang diperiksa. 

Pasal 3 ayat (1) PER-17/PJ/2015:  

Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


PER-17/PJ./2015 memberikan kewenangan kepada pemeriksa pajak untuk:

  • menghitung penghasilan neto

dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang diperiksa:

  • tidak menyelenggarakan pembukuan, atau
  • tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau
  • tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, atau
  • tidak memperlihatkan pencatatan, atau 
  • tidak memperlihatkan bukti-bukti pendukungnya.

Ini daftar norma penghitungan penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang diperiksa:

 #PajakMilikBersama

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com



Wajib Pajak Baru

Saya awam banget nich soal Pajak, nah pas lagi cari2 info di google ketemu blog anda dan tulisannya tentang PTKP sangat informatif sekali cuma saya masih bingung nih, mudah2an Mas Raden ada waktu untuk menjawab email saya.

Bermula dari kewajiban di kantor saya supaya semua karyawannya mengumpulkan KTP untuk dibuatkan NPWP dan setelah NPWP jadi kemudian dibagikan ternyata karyawati yang berstatus istri tidak mendapatkan NPWP karena tanggungan Suami dan pihak kantor menyarankan untuk mengurus NPWP sendiri

Nah saya agak bingung nih karena Suami saya penghasilannya tidak tetap dan biasanya penghasilannya habis untuk operasional saja dan kami punya 4 orang anak. Pekerjaan suami saya di bidang pengobatan alternatif (terapi pijat/akupresur/shiatsu, konsultan spiritual, prediksi tarot,dll) dan saya sendiri sebagai marketing di perusahaan swasta

Yang jadi pertanyaan : * NPWP dibuat atas nama Suami saya atau saya ? Kalo atas nama suami saya, ketika saya apply NPWP melalui e-reg, apa yang harus diisi : Status Usaha –> tunggal atau orang pribadi tertentu (saya bingung nich bedanya) Jenis usahanya ditulis apa ? Alamat usahanya bagaimana ? karena pindah2 –> kalo ada uang ngontrak, kalo tidak buka di rumah / terima panggilan Terus suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan karena menyangkut lampiran untuk NPWP tsb, apa cukup KTP saja atau plus Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha –> maksudnya apa sih, semacam domisili ? kan bukan perusahaan ?

Kutipan dari blog Mas Raden: Karena maksud dari PTKP untuk kebutuhan minimum, penghasilan untuk kebutuhan minimum, maka jika WP OP memiliki istri dan tanggungan maka PTKP juga bertambah. Maaf, UU PPh 1984 memandang bahwa pencari rejeki (penghasilan) adalah suami. Sehingga jika seorang istri pekerja dan suaminya pengangguran maka untuk mendapatkan PTKP tanggungan suami, si istri tersebut harus mendapatkan keterangan dari kantor kecamatan! –> Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya ?

Berikut adalah jumlah PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan neto WP OP yang berstatus kawin, istri punya penghasilan dan penghasilan tersebut digabung dengan penghasilan suami di SPT PPh : 1. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 27,600,000 2. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 28,800,000 3. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 30,000,000 4. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 31,200,000 –> kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?

Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa ? apa dampaknya ? menyalahi aturankah ? Trus seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya ?
Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ? harus buat pembukuan ?, seperti apa ?, ada contohnya gak ? laporannya bagaimana? bingung nich walaupun sudah baca informasinya di pajak.go.id
Nindy

Jawaban saya :

Terus terang, saya sendiri belum pernah menggunakan e-registration. Saya dapat NPWP dengan prosedur biasa, mengisi form pendaftaran kemudian diserahkan ke KPP tempat kita akan daftar. Daftarnya juga kolektif, karena ada keharusan pegawai DJP punya NPWP. Jadi yang berkaitan dengan e-registration saya tidak bisa jawab lebih lanjut.

Berkaitan dengan Status Usaha, Jenis usaha, Alamat usaha, jawab dengan kenyataan atau yang “mendekati”. Misalnya, status usaha dijawab orang pribadi tertentu saja bila tidak ada pilihan. Jenis usaha jika masih bingung isikan aja “lain-lain” atau salah satu yang paling banyak mendapatkan penghasilan. Misalnya ibu lebih banyak penghasilan dari agen marketing, tulis saja itu. Dan, alamat usaha pilih yang sesuai dengan jenis usaha. Jadi alamat usaha bisa alamat kantor tempat ibu bekerja. Atau, jika punya tempat praktek, bisa alamat usaha tempat praktek suami ibu.

Ingat, data-data yang dimasukkan adalah data yang berlaku pada saat pendaftaran. Jika setelah pendaftaran ternyata usaha dan alamat usaha Wajib Pajak berubah, maka data tersebut harus di up-date ke KPP. Biasanya setiap SPT yang dikirim selalu ada form untuk perubahan data. Nah, saat menyampaikan SPT Tahunan, sekalian up-date data.

“Suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan?” WP OP non usahawan maksudnya tidak punya usaha sendiri, bukan wirausahawan. Mungkin yang lebih tepat pilihan itu untuk pekerja yang punya majikan atau karyawan. Jadi untuk suami ibu lebih baik WPOP usahawan karena dari pekerjaan suami ibu [selain tidak punyak majikan juga (?)] punya penghasilan.

Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha. Beragam orang mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Karena itu, formulir yang disediakan atau data yang dimintan tentu untuk semua orang. Banyak usaha yang mengharuskan memiliki ijin dari Pemda setempat seperti dari Dinas Perdagangan atau Dinas Perindustrian. Jika pada saat daftar kita sudah punyak ijin, maka isikan nomor ijin dari Pemda tersebut. Jika kita belum punya, jangan dipaksakan dengan mengisi nomor palsu :-).

“Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya?” Mungkin judulnya “Surat Keterangan” yang isinya menerangkan bahwa suami ibu pengangguran atau tidak memiliki penghasilan. Redaksi surat keterangan tersebut tentu tergantung masing-masing penerbit. Bentuknya tidak ada yang baku. Yang penting kan substansi surat tersebut. Kewajiban mengharuskan memiliki surat keterangan ini selalu disebutkan dalam peraturan petunjuk pelaksana pemotongan PPh Pasal 21 seperti KEP-545/PJ./2000.

“Kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?” Banyaknya tanggungan yang boleh ditanggung oleh Wajib Pajak paling banyak hanya 3 orang. Selebihnya tidak ditanggung. Ini kebijakan administrator pajak di Indonesia. Artinya, Wajib Pajak yang memiliki anak 12 orang [seperti saudara sepupu istriku :-)] tetap hanya bisa memiliki tanggungan 3 orang saja. Mungkin ini berkaitan dengan program KB [keluarga berencana].

“Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa?” Berdasarkan UU KUP yang berlaku tahun 2007 dan sebelumnya bahwa NPWP harus atas nama suami. Istri yang memiliki NPWP tersendiri adalah istri yang memiliki perjanjian pisah harta yang dibuktikan dengan akta notaris perjanjian harta. Atau bisa juga dengan keputusan hakim. Tetapi, prakteknya banyak juga yang memiliki NPWP, yaitu NPWP suami dan istri memiliki “NPWP cabang” [kode nomor sama] dengan menambahkan kode “001” setelah kode KPP.

Di Penjelasan Pasal 2 (1) UU No. 28 tahun 2007, berlaku mulai sejak 1 Januari 2008, disebutkan “Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan menuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.” Artinya, sejak 2008 boleh memiliki NPWP terpisan [nomor-nya beda] dari suami. Tetapi petunjuk lebih lanjut ketentuan ini belum ada.

“Seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya?” NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi berlaku seumur hidup. Artinya, bisa berlaku sampai kapan pun dan hanya bisa dirubah datanya, seperti : alamat domisili dan kode KPP terdaftar. Jika ibu tidak memiliki akta pisah harta, lebih baik memiliki NPWP gabungan atas nama suami. Tidak masalah, apakah yang memiliki penghasilan istri atau suami. Toh, pelaporan penghasilannya akan digabung dalam satu SPT. Jika ibu memiliki penghasilan yang sudah dipotong oleh pemberi kerja, maka potongan tersebut akan dikreditkan di SPT suami ibu. Potongan pajak tersebut tidak hilang. Penghasilan yang dilaporkan digabungkan dan pajak-pajak yang sudah dibayar juga digabungkan.

“Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ?” Setiap orang yang memiliki NPWP memiliki kewajiban melaporkan penghasilannya ke KPP terdaftar. Berdasarkan Pasal 3 UU KUP bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT. Sebenarnya, kewajiban ini tidak berlaku hanya untuk mereka yang punya NPWP. Setiap subjek pajak yang mendapatkan penghasilan secara otomatis berarti Wajib Pajak! Kabarnya, kedepan akan ada perbedaan tarif pajak untuk menghitung pajak orang yang punya NPWP dengan yang belum punya NPWP tapi ketahuan punya penghasilan [jika DPR setuju].

“harus buat pembukuan?” UU KUP membedakan antara pembukuan dan pencatatan. Pencatatan boleh disebut “pembukuan sederhana”. Syarat pencatatan berdasarkan Pasal 28 ayat (9) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) adalah catatan penerimaan kotor. Lebih detilnya: Wajib Pajak harus punya buku penerimaan penghasilan. Setiap memperoleh penghasilan dicatat di buku tersebut. Kemudian setiap bulan dijumlahkan untuk memudahkan penghitungan dalam satu tahun. Setiap tutup tahun, misalnya 31 Desember, dijumlah total penghasilan dalam satu tahun. Catatan ini akan jadi dasar pelaporan SPT.

Wajib Pajak yang dapat menggunakan pencatatan adalah mereka yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp.1.800.000.000,- (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dan memberitahukan ke KPP terdaftar 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007. Tetapi, jika terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dengan menggunakan catatan maka Wajib Pajak memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan netto. Norma ini adalah persentase tertentu untuk menghitung penghasilan neto sebagai dasar menghitung pajak. Contoh : 32% x Rp.200 juta = Rp.64 juta. 32% adalah besarnya Norma. Rp.200 juta adalah total penghasilan dalam satu tahun. Rp.64 juta adalah penghasilan neto yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dari angka Rp.64 juta ini kemudian dikalikan dengan tarif pajak sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh 1984.
Ketentuan yang mengatur norma penghitungan penghasilan netto sampai saat ini adalah KEP-536/PJ./2000. Wajib Pajak dapat meminta daftar norma ini ke pejabat AR di masing-masing KPP Pratama. Menurut saya, untuk profesi suami ibu sekarang ini masuk ke nomor urut 161 kode 97000 yaitu Jasa Perorangan dan Rumah Tangga dengan norma untuk wilayah Jakarta 32%.

Bagaimana menerapkan norma jika usahanya banyak? Pertama, penghasilan harus digabungkan sesuai jenis penghasilan atau jenis pekerjaan. Kemudian, masing-masing jenis pekerjaan tersebut dicari tarif normanya. Mungkin tarifnya berbeda-beda. Masing-masing jenis penghasilan dihitung penghasilan neto, kemudian digabung dan dikalikan tarif pajak.

Nah, mudah-mudahan sekarang lebih jelas.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 

Norma Penghitungan

Tidak semua Wajib Pajak tentu memiliki kemampuan untuk membuat pembukuan. Justru pada umumnya, pengusahan kita mayoritas masih pada taraf usaha kecil.
Mereka sangat mungkin tidak memiliki kemampuan membuat pembukuan. Selain itu, para profesional yang memiliki praktek profesi sendiri mungkin saja tidak memiliki pembukuan.
Nah, bagi mereka yang tidak mau membuat pembukuan, Direktorat Jenderal Pajak telah membuat Norma Penghitungan.

Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :

a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau

b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.

Aplikasinya, Norma Penghitungan itu merupakan persentase tertentu untuk mencari penghasilan neto.

Wajib Pajak tidak perlu merinci berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk mencari penghasilan neto.

Formula umum untuk mencari penghasilan neto itu : penghasilan kotor – biaya = penghasilan neto.

Tetapi formula Norma Penghitungan untuk mencari penghasilan neto adalah :
penghasilan kotor x Norma = penghasilan neto.

Saya ingatkan kembali, untuk mencari PPh terutang untuk WP OP, penghasilan neto masih dikurangi lagi dengan PTKP. Sehingga formula lengkap untuk mencari PPh terutang adalah :

((Penghasilan kotor x Norma) – PTKP) x Tarif = PPh Terutang

Pemilihan Norma Penghasilan bagi Wajib Pajak memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah sederhana. Wajib Pajak tidak perlu membuat pembukuan yang lengkap.

Wajib Pajak tidak perlu membuat laporan keuangan seperti Neraca (balance sheet), dan Laporan Laba Rugi (income statement). Wajib Pajak cukup membuat catatan penghasilan kotor!!!

Kerugiannya adalah tidak pernah rugi. Yah, bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan Norma Penghitungan maka usahanya tidak akan pernah rugi. Selalu untung! Pada kenyataannya, namanya usaha ada untung, ada rugi bukan?

Seperti dijelaskan diatas, Norma Penghitungan dibuat berdasarkan penelitian. Artinya, Norma Penghitungan dibuat dengan moderat atau pertengahan.

Karena itu, pada prakteknya mungkin laba usaha kita bisa diatas atau dibawah Norma Penghitungan.

Karena itu, jika laba usaha (persentase keuntungan) kita tinggi maka akan menguntungkan jika penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan.

Jika sebaliknya, persentase keuntungan kita kecil, Wajib Pajak sebenarnya rugi menggunakan Norma Penghitungan.

Jadi, jelaslah jika Norma Penghitungan mengabaikan unsur keadilan.

Memang tujuan Norma Penghitungan sekedar penyederhanaan penghitungan penghasilan bersih.

Jika menginginkan keadilan, maka kita mesti repot-repot membuat pembukuan dan laporan keuangan.

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan.

Hanya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang memiliki total penjualan (omset) setahun sampai dengan Rp.600 juta sajalah.

Tetapi sejak Januari 2007 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007 batas penghasilan menjadi Rp1.800.000.000 (satu milyar delapan ratus juta rupiah).

Jika total penjualan melebihi angka tersebut, atau WP badan, maka WAJIB menggunakan pembukuan dan menyusun laporan keuangan.

Selain itu, untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: