fbpx

Kewajiban Pendaftaran dan Pengukuhan Bagi BUT

Peraturan Menteri Keuangan No 35/PMK.03/2019 mengatur kewajiban ber-NPWP dan PKP bagi BUT

Kewajiban pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP diatur dalam Undang-Undang KUP. Termasuk kewajiban bagi BUT, Bentuk Usaha Tetap. Kewajiban ini ada di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang KUP.

Continue reading “Kewajiban Pendaftaran dan Pengukuhan Bagi BUT”

PKP Harus Berhati-hati Menggunakan e-Faktur

Pengusaha kena pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak setiap kali melakukan transaksi penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Sekarang, faktur pajak dibuat secara elektronik sehingga disebut e-faktur. Namun, jangan terkecoh dengan aplikasi e-faktur abal-abal. PKP harus berhati-hati menggunakan aplikasi e-faktur. Ada peringatan dari DJP tentang hal ini.

Continue reading “PKP Harus Berhati-hati Menggunakan e-Faktur”

Siapa Yang Wajib Memungut Pajak Pertambahan Nilai?

Tidak setiap pengusaha wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Walaupun secara teoritis bahwa beban PPN “digeser-geser” dari produsen ke pedagang besar, kemudian digeser lagi ke pedagang pengecer dan sampai ke konsumen akhir, tetapi diantara mata rantai tersebut mungkin saja putus. Putusnya mata rantai disebabkan, pengusaha tersebut tidak diwajibkan memungut PPN.

Continue reading “Siapa Yang Wajib Memungut Pajak Pertambahan Nilai?”

Alasan Diterbitkannya SKPKB Oleh Dirjen Pajak

gambar taxes 9

Dasar hukum diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) oleh Direktur Jenderal Pajak adalah Pasal 13 Undang-Undang KUP. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB. Masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak mengacu ke SPT. Tetapi tidak semua SPT harus diterbitkan surat ketetapan pajak. Direktur Jenderal Pajak memiliki alasan tertentu untuk menerbitkan SKPKB.

Continue reading “Alasan Diterbitkannya SKPKB Oleh Dirjen Pajak”

Tata Cara Permohonan Pengukuhan PKP

gambar pajak 01

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. PKP merupakan istilah dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seseorang boleh menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN jika sudah dikukuhkan sebagai PKP.

Continue reading “Tata Cara Permohonan Pengukuhan PKP”

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium
gambar dari LewatMana.com

Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita “cirikan” karakteristik konsorsium:

  1. kumpulan dua badan atau lebih,
  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

  • kewajiban PPh Badan, dan
  • kewajiban PPh Potput.  

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:

  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:

  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:

  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO
  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO
  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki “manajemen” dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 
  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.


KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

  • memberikan gaji ke buruh,
  • menyewa alat berat atau aktiva lain,
  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:

Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

 

Penetapan Tempat Tinggal Orang Pribadi Dan Tempat Kedudukan Badan

Tempat tinggal dan tempat kedudukan menentukan perlakuan perpajakan

Tempat kedudukan sangat penting bagi perpajakan internasional. Tempat kedudukan wajib pajak disebut juga domisili wajib pajak. Negara domisili wajib pajak memiliki hak memajaki secara penuh atas penghasilan yang diterima. Jika domisili di Indonesia, maka otoritas perpajakan Indonesia menganggap bahwa wajib pajak tersebut adalah Wajib Pajak Dalam Negeri.


Menurut Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menetapkan tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi atau tempat kedudukan Wajib Pajak Badan. Penjelasan dari ayat ini sebagai berikut:

Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-12/PJ/2015 merinci lebih lanjut tentang tempat tinggal orang pribadi dan tempat kedudukan wajib pajak badan. Hal-hal yang diatur dalam peraturan direktur jenderal pajak ini tentang domisili Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan.

Tempat tinggal orang pribadi menurut keadaan yang sebenarnya diatur sebagai berikut:

  1. rumah tetap orang pribadi beserta keluarganya bertempat tinggal;
  2. rumah tetap orang pribadi tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan, dalam hal orang pribadi mempunyai rumah tetap di 2 (dua) tempat atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak;
  3. tempat orang pribadi lebih lama tinggal, dalam hal rumah tetap tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan tidak dapat ditentukan;
  4. tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal keadaan nomor 3 tidak dapat ditentukan. 


Tempat kedudukan badan menurut keadaan yang sebenarnya ditentukan sebagai berikut:
  1. tempat kantor pimpinan, pusat administrasi dan keuangan, dan tempat menjalankan kegiatan usaha berada sebagaimana tercantum dalam akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap, atau dokumen izin usaha dan atau kegiatan, atau surat keterangan tempat kegiatan usaha, atau perjanjian kerjasama bagi bentuk kerjasama operasi (joint operation);
  2. tempat kantor pimpinan berada, dalam hal tempat kantor pimpinan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan dan tempat menjalankan kegiatan usaha;
  3. tempat menjalankan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak badan yang bergerak di sektor usaha tertentu yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
  4. tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal tempat kantor pimpinan, pusat administrasi dan keuangan,dan tempat menjalankan kegiatan usaha yang kenyataannya berbeda dengan yang tercantum dalam akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap, atau dokumen izin usaha dan/ atau kegiatan, atau surat keterangan tempat kegiatan usaha, atau perjanjian kerjasama bagi bentuk kerjasama operasi (joint operation), atau keadaan sebenarnya berada di beberapa tempat.

Jika saya ringkas, domisili WPOP itu tempat tinggal paling penting. Sedangkan domisili WP Badan itu ada 3, yaitu:
a. domisili seperti tertulis dalam akta pendirian dan perubahannya, 
b. kantor pimpinan jika pusat administrasi dan tempat usaha berbeda, dan
c. tempat usaha untuk sektor usaha tertentu.

Salah satu yang ditentukan sebagai tempat usaha adalah Wajib Pajak yang usaha pokoknya menjual tanah dan/atau bangunan, yaitu ditentukan dalam SE-30/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

SE-30/PJ/2013 menyebutkan bahwa dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dilakukan oleh cabang. Karena wajib dibayar dan disampaikan SPT Masa di cabang, maka tentu wajib terdaftar di cabang. 


;




Pembersihan PKP

Ibarat badan manusia, biasanya makin tua makin banyak penyakit yang mengganggu kesehatannya.  Begitu juga dengan administrasi, semakin lama administrasi makin tambun termasuk masalah didalamnya. Karena itu, supaya bisa menjalankan good governance, maka diperlukan upaya pembersihan masalah-masalah yang dapat mengganggu administrasi. Salah satu sumber masalah adalah penyalahgunaan PKP. Kenapa ada oknum yang menyalahgunakan PKP?

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini [Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984]. Sebelum berlaku UU No. 42 tahun 2009 Wajib Pajak wajib membuat dua faktur, yaitu faktur komersial yang digunakan untuk keperluan pembukuan, dan kedua faktur pajak yang dibagi lagi menjadi faktur pajak standar, faktur pajak sedernaha, dan faktur pajak gabungan. Khusus faktur pajak standar, harus ada dokumen yang diberi judul “Faktur Pajak Standar”. Faktur pajak khusus digunakan untuk pelaporan di SPT Masa PPN.

Sejak terbit Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-13/PJ/2010 bahwa faktur pajak dibagi dua yaitu faktur pajak dan faktur pajak gabungan. Sedangkan bentuk dan ukurannya dibebaskan dan disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak. Hal ini diatur di Pasal 3 ayat (1)  Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-13/PJ/2010 Walaupun bentuk dan ukurannya dibebaskan tetapi dokumen faktur pajak tetap memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu yang diatur di Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984.

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak [Pasal 1 angka 23 UU PPN 1984]. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Pertambahan Nilai [PPN]. PPN dipungut oleh penjual dari pembeli. Kepada pembeli diberikan faktur pajak sebagai bukti bahwa pembeli telah membayar pajak. Karena itu, sebenarnya, dari sisi pembeli,  faktur pajak sama atau setara dengan surat setoran pajak.

Boleh dibilang, salah satu kelemahan sistem PPN adalah kebebasan yang diberikan oleh Negara kepada PKP untuk membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan. Bandingkan dengan pembuatan dokumen SSP sebagai bukti setoran pajak ke bank persepsi. Harusnya faktur tersebut mencerminkan transaksi sebenarnya. Tetapi dalam praktiknya, ada PKP yang spesial memproduksi faktur pajak untuk diperjualbelikan. Di kalangan internal DJP faktur pajak seperti itu sering disebut faktur pajak palsu.

Sebagian PKP memang tidak bermotif sebagai produsen faktur pajak palsu, tetapi pengusaha tersebut meminta dikukuhkan PKP untuk keperluan pengadaan / tender dengan pihak pemerintah. Setidaknya sebagai pengusaha yang “seolah-olah pesaing” supaya syarat peserta tender tercukupi. Kabar dari salah satu nara sumber LKPP, pesaing tersebut bisa dipesan satu, dua, atau tiga. Sedangkan kabar dari para pemeriksa pajak mengatakan ada spesialis “penjual bendera” perusahaan yang alamatnya hanya disatu gang tetapi “dihuni” oleh puluhan perusahaan.

Itulah sebagian alasan pengusaha meminta pengukuhan PKP. Mereka tidak peduli dengan kewajiban penyampaian SPT Masa yang harus dibuat setiap bulan. Toh petugas pajak juga kebingungan mencari alamatnya. Karena pada saat meminta pengukuhan PKP, tidak ada petugas DJP yang mengecek ke lapangan. Mungkin sebagian kecil sih ada, tetapi sebagian besar tidak. Berprasangka baik 🙂

Karena itu, di tahun 2012 ini DJP akan membersihkan PKP yang tidak benar. Istilahnya registrasi ulang. Tentu nantinya akan ada pengusaha yang dihapus sebagai PKP. Pengusaha yang bagaimana yang akan dicabut pengukuhan PKPnya? Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-05/PJ/2012, pencabutan PKP dilakukan terhadap :

  • Pengusaha Kena Pajak yang telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai di tempat lain;
  • Pengusaha Kena Pajak yang pindah alamat ke wilayah kerja kantor Direktorat Jenderal Pajak lainnya; atau
  • Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak.

PKP yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yaitu:
[1.] PKP dengan status tidak aktif (Non Efektif);
[2.] PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011;
[3.] PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang Pajak Keluaran dan Pajak Masukannya nihil untuk Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011;
[4.] PKP, yang pada Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011 yang pada bagian periode tersebut tidak menyampaikan SPT Masa PPN atau menyampaikan SPT Masa PPN yang Pajak Keluaran dan Pajak Masukannya nihil;
[5.] PKP yang tidak ditemukan pada waktu pelaksanaan Sensus Pajak Nasional; atau
[6.] PKP yang tidak diyakini keberadaan dan/atau kegiatan usahanya.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: