fbpx

RI-Malaysia Ubah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Jakarta (ANTARA News) – Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat memberlakukan Protokol Perubahan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara kedua negara.

Tjiptardjo melalui Surat Edarannya yang diperoleh di Jakarta, Senin, menyebutkan, penandatanganan Pertukaran Piagam Pengesahan Protokol Perubahan P3B itu telah dilaksanakan pada 15 Juli 2010 di Putrajaya, Malaysia.

Berdasarkan Pasal 7 Protokol Perubahan P3B itu, saat berlaku (enter into force) adalah tanggal 15 Juli 2010 dan Protokol Perubahan P3B itu berlaku secara efektif terhadap pajak-pajak yang dipungut atas jumlah yang dibayarkan atau dikreditkan pada atau setelah tanggal 1 September 2010.

Protokol perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang telah ditandatangani di Kuala Lumpur Malaysia pada 12 September 1991, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2010 tanggal 17 Mei 2010 tentang Pengesahan Protokol Perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia dan Protokolnya yang Ditandatangani di Kuala Lumpur 12 September 1991.

Pokok-pokok perubahan yang disepakati dalam Protokol Perubahan adalah mengubah ketentuan Pasal 10 ayat (2) P3B mengenai besarnya batas maksimum tarif pengenaan pajak atas penghasilan deviden dari 15 persen menjadi 10 persen yang dapat dikenakan di negara sumber penghasilan deviden.

Selain itu mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (2) P3B mengenai besarnya batasan maksimum tarif pengenaan pajak atas penghasilan bunga dari 15 persen menjadi 10 persen yang dapat dikenakan di negara sumber penghasilan bunga.

Perubahan lainnya, mengubah ketentuan Pasal 12 ayat (2) P3B mengenai besarnya batasan maksimum tarif pengenaan pajak atas penghasilan royalti dari 15 persen menjadi 10 persen yang dapat dikenakan di negara sumber penghasilan royalti.

Kedua negara juga mengubah ketentuan Ayat 5 Protokol P3B mengenai pengecualian pengenaan branch profit tax untuk kontrak bagi hasil dalam bidang minyak dan gas yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, perwakilannya, perusahaan minyak dan gas negara, atau lembaga-lembaga lain yang ada di dalamnya dengan orang pribadi atau badan usaha yang merupakan penduduk Malaysia.

Ketentuan Ayat 5 Protokol P3B sebelumnya mengecualikan pengenaan branch profit tax untuk kontrak bagi hasil terkait dengan eksploitasi dan produksi minyak dan gas yang telah dirundingkan dengan Pemerintah Indonesia atau perusahaan minyak negara Indonesia yang terkait, sepanjang perusahaan yang berkedudukan di Malaysia yang menerima penghasilan dari kontrak bagi hasil akan diperlakukan setara dengan perusahaan dari negara pihak ketiga sehubungan dengan pengenaan pajak atas penghasilan yang diterimanya dari kontrak bagi hasil yang serupa.

Kedua negara juga mengubah ruang lingkup pemberlakuan P3B sehingga manfaat P3B tidak berlaku lagi bagi kegiatan usaha “Labuan offshore” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan Malaysia yaitu “Labuan Offshore Business Activity Tax Act 1990

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Dirjen Pajak Belum Sepakat Zakat Kurangi Pajak

Jakarta (ANTARA News) – Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menyatakan bahwa dirinya belum sepakat dengan wacana atau usulan agar pembayaran zakat dapat dikurangkan sebagai pengurang pembayaran pajak.

“Ini akan menimbulkan pengurangan berganda atau dobel pengurangan sehingga penerimaan pajak akan menurun sangat tajam,” kata Mochamad Tjiptardjo di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Kamis malam.

Menurut dia, wacana pembayaran zakat sebagai pengurang pembayaran pajak merupakan masalah sensitif sehingga harus diverifikasi dan diklarifikasi dengan sejelas-jelasnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan UU tentang Perpajakan (UU tentang Pajak Penghasilan/PPh) sebenarnya sudah ada ketentuan mengenai pembayaran zakat sebagai salah satu pengurang penghasilan bruto sehingga juga mengurangi penghasilan kena pajak (PKP).

“Pembayaran zakat melalui badan-badan yang sudah resmi ditunjuk menangani zakat merupakan pengurang penghasilan bruto sehingga pendapatan yang kena pajak juga berkurang,” jelasnya.

Ia mengakui, saat ini memang ada wacana menjadikan pembayaran pajak sebagai pengurang pajak. Saat ini ada pembahasan revisi UU tentang Pengelolaan Zakat.

Wacana yang berkembang mengusulkan agar pembayaran zakat dapat langsung dijadikan sebagai pengurang pembayaran pajak.

Ia mencontohkan, jika seseorang kewajiban pembayaran pajaknya mencapai Rp10 triliun dan ia membayar pajak sebesar Rp2,5 triliun maka kewajiban pembayaran pajaknya tinggal Rp7,5 triliun.

“Ini berarti ada pengurangan ganda yaitu pengurangan terhadap penghasilan bruto dan pengurangan terhadap kewajiban pajak yang harus dibayar,” jelasnya.

Ketika ditanya berapa besar penurunan penerimaan pajak jika wacana itu direalisasikan, Tjiptardjo menyatakan tidak tahu.

“Kita tidak tahu berapa banyak pembayar pajak dan berapa besar nilai zakat yang dibayarkan,” kata Tjiptardjo.

KOMENTAR :
Sepertinya perlu ada perubahan UU PPh lagi 😀

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

DPR desak peningkatan tax ratio

JAKARTA: Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) hingga 13% atau naik 1% dari target pemerintah dalam RAPBN 2011 sebesar 12%.

Juru Bicara Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan terobosan baru agar tax ratio pada 2011 bisa mencapai 13%.

“Ini sebenarnya bisa tercapai kalau pemerintah menghapuskan mafia perpajakan dan menurunkan tingkat penggelapan yang dilakukan perusahaan asing,” katanya dalam rapat paripurana DPR hari ini.

Dalam RAPBN 2011, pemerintah menargetkan tax ratio hanya sebesar 12% atau naik 1% dari APBN Perubahan 2010 sebesar 11,9%.

Tidak hanya itu, FPKS juga meminta pemerintah untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK dalam laporan audit LKPP 2009 yang menyebutkan adanya potensi penerimaan pajak sebesar Rp38,6 triliun yang belum dioptimalkan oleh Ditjen Pajak.

Lurens Bahang Dama, juru bicara dari Fraksi PAN, juga menghendaki pemerintah menaikkan tax ratio hingga 13%. Menurut dia, tax ratio Indonesia saat ini paling rendah dibandingkan dengan negara tetangga lainnya.

“Pemerintah harus ekstensifikasi, perbaiki administrasi pajak, menggali potensi pajak, tingkatkan penagihan, reformasi keberatan dan banding,” ujarnya.

Sementara itu,juru bicara dari Fraksi PDIP Utut Adianto menilai tax ratio yang pantas dicapai pada 2011 adalah sebesar 12,5% dari PDB. “Harus dilakukan optimalisasi sektor pajak dengan berbagai strategi,” katanya.

Menurut dia, peningkatan penerimaan pajak dari jenis pajak penghasilan (PPh) masih belum maksimal sehingga ke depannya perlu ditingkatkan lagi.

Adapun juru bicara dari Fraksi PPP Machmud Yunus mengatakan secara sepintas target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah pada 2011 memang mengalami kenaikan tapi kenaikan tersebut masih belum memuaskan.

“Kenaikan perpajakan masih jauh memuaskan karena PDB kita meningkat pesat tapi tidak diimbangi kenaikan tax ratio,” katanya. Bahkan, menurutnya, target tax ratio pemerintah pada 2011 justru menurun bila dibandingkan dengan capaian tax ratio pemerintah pada 2008 yang mencapai 13,5%.

“Fraksi PPP mengusulkan agar pemerintah melakukan langkah progresif dan menerapkan e-payment perpajakan dengan memanfaatkan single identity number atau SIN,” jelasnya. (luz)

bisnis.com

Kalau tax ratio mau lebih tinggi lagi, bikin lebur DJP, DJBC, dan
Dispenda menjadi lembaga baru yang menangani penerimaan dalam negeri.
Pasti tax ratio akan naik.

Kan tiga lembaga tersebut sebenarnya sama-sama administrator perpajakan!.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Ditjen Pajak Tindak WNA Penggelap Pajak

Jakarta (ANTARA News) – Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan bahwa pihaknya menindak warga negara asing yang telah memungut pajak namun tidak menyetorkannya kepada negara.

“Boleh saja orang asing, investor asing datang ke sini untuk investasi, tapi kalau dia nakal ya akan kita tindak,” kata Tjiptardjo di Gedung DPR Jakarta, Selasa.

Ia menyebutkan, pihaknya telah melakukan proses hukum terhadap warga negara Amerika Serikat yang telah melakukan tindak pidana perpajakan itu.

“Nama perusahaannya PT SI, yang bersangkutan sudah divonis 3 tahun 6 bulan,” jelas Tjiptardjo.

Menurut dia, kasus perpajakan di mana pelakunya adalah warga negara asing merupakan kasus yang sebelumnya belum pernah terjadi.

“Ini belum pernah terjadi. Kasusnya, perusahaan itu memungut pajak tapi tidak disetor ke negara. Jenis pajaknya PPN, PPh21, tapi tidak distor ke negara, yang mungut warga negara asing lagi,” katanya.

Ia mengingatkan, boleh saja orang asing atau investor asing datang ke sini (Indonesia) untuk investasi.”Tapi kalau dia nakal ya akan kita tindak,” katanya.

Menurut dia, kerugian negara akibat ulah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengamanan itu mencapai sekitar Rp3 miliar hingga Rp4 miliar.

Sementara itu mengenai proses hukum PT PHS, Tjiptardjo mengatakan, sesuai janji Menteri Keuangan, berkas kasus itu sudah dikirim ke Kejaksaan.”Kalau belum cukup nanti dikirim P19,” katanya.

Sementara itu mengenai kasus AA, Tjiptardjo mengatakan, dari sejumlah kasus terkait AA, sudah satu kasus berstatus P21.”Kita sudah dapat satu yang P21, tinggal dua lagi mau P21,” katanya.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Penyidikan kasus pajak perusahaan jalan terus

JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak menyatakan penanganan kasus penyidikan pajak terhadap beberapa perusahaan masih terus berlangsung meski saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tengah melakukan audit investigasi dan audit kinerja terhadap otoritas pajak itu.

Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan untuk kasus pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS) berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan.

“Kalau kasus PT Wilmar, masih bukti permulaan dan belum ada kabar,” katanya saat ditemui di gedung DPR hari ini. Khusus untuk penanganan kasus PT Asian Agri Group (AAG), jelasnya, saat ini sudah satu tersangka yang berkasnya telah masuk tahap penuntutan atau P21. “Trus yang dua lagi akan menyusul,” ujarnya.

Adapun penanganan kasus tiga perusahaan milik Bakrie Group, Tjiptardjo menuturkan penanganan masih dalam proses penyidikan untuk PT Kaltim Prima Coal dan PT Bumi Resource Tbk. “Kalau AI [Arutmin Indonesia] masih bukti permulaan juga karena masih menunggu dokumen,” jelasnya.

Menurut dia, penyidikan kasus pajak umumnya membutuhkan waktu yang lama guna mengumpulkan bukti yang kuat. “Kalau belum kuat terus dikirim ke Jaksa, nanti malah lepas, kan pembuktiaannya nggak gampang,” tambahnya.

Sebelumnya, Panja Perpajakan Komisi XI DPR meminta secara resmi kepada BPK untuk melakukan audit kinerja terhadap Ditjen Pajak dan audit investigasi terhadap 6 kasus pajak yang sedang ditangani oleh Ditjen Pajak.

Keenam kasus pajak tersebut adalah kasus penyidikan pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS) pada 2007-2008, PT Asian Agri Group (AAG) pada 2002-2005, PT Wilmar pada September 2009-April 2010, PT Alfa Kurnia pada Maret 2009-Mei 2009, PT ING Internasional pada 2005-2007, dan RS Emma Mojokerto pada 2006-2008. Proses audit tersebut kini tengah berlangsung dan ditargetkan selesai pada akhir bulan ini.(luz)

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

%d blogger menyukai ini: