fbpx

Blog

PPh Pasal 26 Atas Pembayaran Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model.

Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber.

Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model.

Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Indonesia memiliki hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) terhadap Bentuk Usaha Tetap. Walaupun status Bentuk Usaha Tetap merupakan Wajib Pajak luar negeri tetap kewajiban perpajakan Bentuk Usaha Tetap disamakan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri lainnya, yaitu wajib melaporkan seluruh penghasilannya dari usaha atau kegiatannya di Indonesia. Wajib Pajak luar negeri yang lain tidak ada kewajiban melaporkan penghasilan usahanya seperti Bentuk Usaha Tetap.

Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :

  1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu ke OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.

Sekilas Ketentuan Pajak Penghasilan

Salah satu ciri khas pajak adalah tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Mungkin saja pelayanan negara kepada pembayar pajak dengan penyelundup pajak sama saja. Jadi, apa bedanya membayar pajak dengan tidak membayar pajak?

Hampir semua orang tidak akan membayar pajak dengan senang hati. Jika mungkin, setiap orang dapat menikmati hasil usahanya tanpa berkurang karena pajak. Supaya pajak dapat tetap dibayar oleh Wajib Pajak maka pajak harus memiliki kekuatan memaksa agar Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya.

Dalam negara hukum, sifat memaksa hanya dapat dibenarkan jika berdasarkan undang-undang. Sesuai dengan konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, pajak yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang.

Bagian Ketentuan Pajak Penghasilan, penulis akan menguraikan yurisdiksi pengenaan pajak, siapa dan apa yang kenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan domestik, mengapa perlu membuat tax treaty dengan negara lain, dan bagaimana kewenangan Indonesia memungut pajak atas premi asuransi berdasarkan tax treaty yang ada.

Yurisdiksi Pengenaan Pajak

Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.”

Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation . Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, seperti yang berlaku sekarang, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh).

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif .

Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”

Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri .

Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh dan diterima secara global , yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak).

Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Subjek Pajak

Subjek pajak itu adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek pajak itu pada umumnya subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak, yang kemudian diatur dalam undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai subjek pajak.

Subjek pajak diatur oleh Pasal 2 UU PPh. Menurut Pasal 2 ayat (1), subjek pajak adalah (a) 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; (b) badan; (c) bentuk usaha tetap. Selanjutnya, menurut Pasal 2 ayat (2), subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Pembagian subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri mengacu kepada domisili subjek pajak tersebut seperti yang diuraikan diatas.

Sedangkan perlakuan perpajakannya terdapat perbedaan yang mendasar. Subjek pajak luar negeri hanya dikenakan PPh di Indonesia atas penghasilan yang bersumber di Indonesia. Sebaliknya subjek pajak dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilannya, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (world wide income).

Objek Pajak

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan (seperti: memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak gerak, menempati rumah tertentu), perbuatan (seperti: melakukan penyerahan barang karena perjanjian), maupun peristiwa (seperti: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak) .

Tetapi objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang lengkapnya berbunyi, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,…

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

tambahan kemampuan ekonomis
Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud “tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.

baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh.

yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

dengan nama dan dalam bentuk apapun
Bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Pedoman yang harus dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.

Prinsip Netralitas

Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal.

Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang “netral” yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.

Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.

Doernberg, sebagaimana dikutif oleh Gunadi, menyebut tiga unsur netralitas:

netralitas ekspor modal (capital-export neutrality)
Sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik. Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002.

netralitas impor modal (capital-impor neutrality)
Netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality). Maksud netralitas ini adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.

netralitas nasional (national neutrality).
Netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.

Sementara Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.

International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.

Terjadinya Pajak Ganda

Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.

Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis . Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.

Contoh pajak ganda ini adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.

Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system. Sistem ini didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain.

Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar. Penerapan sistem ini menimbulkan efek pengenaan pajak berganda dan tidak mencerminkan asas keadilan dan pemerataan.

Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari Full integration system, deviden deduction system, split rate system, devidend examption system  dan imputation system. Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan  devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.

Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi. Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.

Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir. Contohnya devidend deduction system, yaitu integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan.

Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen. Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.

Sistem lainnya yaitu split rate system pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan. Terakhir, imputation system yaitu dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.

Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) karena ada dual residence; (2) konflik antara asas domisili dengan asas sumber; (3) perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).

Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan misalnya ia diperlakukan masing-masing sebagai penduduk Indonesia dan Singapura . Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Kriteria dimaksud adalah (i) tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence; (ii) pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada; (iii) kebiasaan berdiam (habitual abode); (iv) status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak; (v) prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Konflik antara asas domisili dengan asas sumber merupakan jenis pajak ganda yuridis yang kedua. Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut.

Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.

Metode Penghindaran Pajak Berganda

Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu metode pembebasan dan metode kredit.

Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber. Metode pembebasan meliputi:

Pembebasan subjek
Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa. Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 UU PPh.

Pembebasan objek
Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) diabaikan sama sekali.

Pembebasan pajak
Metode ini dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif.

Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.

Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Metode ini yang paling lazim dipakai dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memakai varian metode ini.

Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili. Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit. Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.

Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.

Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:

Overall limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Per country limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 UU PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Tax sparing
Metode ini disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday. Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber. Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.

Underlying tax credit
Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba. Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.

Matching credit
Matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty). Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.

Tax Treaty

Tujuan dari pembebasan dan kredit pajak adalah untuk menghindari pajak berganda. Undang-undang domestik biasanya telah mengatur secara unilateral pencegahan pajak ganda internasional. Pasal 3 dan Pasal 24 UU PPh merupakan ketentuan domestik mengenai pencegahan pajak berganda. Tetapi pengaturan unilateral pencegahan pajak berganda tersebut sering kurang memadai untuk menghilangkan sama sekali pengenaan pajak berganda. Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan ketentuan unilateral tidak efektif , yaitu:

Satu, apabila Wajib Pajak dalam negeri suatu negara menerima penghasilan dari negara lain yang telah mengenakan pajak sebagai negara sumber, negara domisili tersebut dapat saja secara unilateral membebaskan pengenaan pajak di negara domisili tersebut dengan tujuan mencegah pajak ganda dengan memakai metode pembebasan, namun tidak ada jaminan negara lain tersebut juga akan melakukan pencegahan pajak ganda yang sama. Jika di negara sumber dan di negara domisili tidak timbal balik (reciprocal) maka akan tetap ada pajak ganda.

Dua, suatu sistem pajak atas penghasilan di suatu negara itu unik, sehingga kemungkinan pengenaan pajak ganda atas penghasilan dari transaksi antara dua negara adalah sangat besar, apabila pencegahan pajak ganda hanya diserahkan kepada pengaturan kententuan pencegahan pajak ganda unilateral dari undang-undang domestik. Misalnya dalam hal ketentuan tentang negara sumber dari penghasilan tertentu yang berkenaan dengan source rule. Masing-masing negara mendefinisikan sendiri sehingga di dua negara atau lebih berbeda. Perbedaan definisi source rule merupakan penyebab pajak berganda seperti diuraikan diatas.

Tiga, ketentuan undang-undang domestik biasanya kaku dan tidak lentur. Biasanya interpretasi atas undang-undang domestik tidak memungkinkan memberi akomodasi untuk mencegah pajak ganda, sebab ketentuan undang-undang domestik itu ditujukan guna memasukkan sejumlah penerimaan pajak dan bukan untuk mencegah pajak ganda internasional.

Karena itu, untuk mencegah pajak ganda internasional dibuat ketentuan bilateral antara dua negara yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. Agar benar-benar tidak terjadi pajak berganda, biasanya dalam tax treaty dibuat aturan yang berlapis-lapis. Setidaknya ada tiga lapis aturan untuk menghindari pajak ganda.

Lapis pertama adalah ketentuan untuk mencegah dual residence. Dalam OECD model dan UN model, ketentuan tentang penduduk diatur dalam Pasal 4 tax treaty. Penyelesaian masalah dual residence ini biasanya dilakukan berdasarkan a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan. Jika kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah maka digunakan kriteria kedua, dan seterusnya. Kriteria yang dimaksud adalah permanent home, centre of vital interest, habitual abode, nationality dan mutual agreement. Dengan ditiadakannya kemungkinan dual residence maka pajak ganda yang disebabkan oleh hal ini dengan sendirinya tercegah.

Lapis kedua aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu: pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili. Pada dasarnya suatu tax treaty adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
    • penghasilan immovable propertypenghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treatypenghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises)penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain
    • imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.

Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan. Contoh jenis penghasilan ini adalah bunga, dividen dan royalti.

Ketiga, Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
    • capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property, pensiunan, business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
    • penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
  • penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif,  (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii)  balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.  

Lapis ketiga aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu mutual agreement procedure (MAP). MAP merupakan suatu upaya yang diberikan kepada setiap subjek pajak yang masih mengalami pemajakan ganda untuk meminta pejabat pajak yang berwenang dari negara domisili untuk melakukan mutual agreement dengan pejabat pajak yang berwenang dari negara sumber, sehingga tercapai kesepakatan untuk menghilangkan adanya pajak ganda yang dikenakan kepada subjek pajak tersebut.

Bentuk Usaha Tetap

Seperti diuraikan diatas, dalam tax treaty biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentu Usaha Tetap (BUT). Ketentuan tentang hal ini dalam OECD model dan UN model diatur dalam Pasal 7 ayat (1).

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat:

Satu, adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam.

Dua, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan

Tiga, kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Selanjutnya, yang akan dibahas disini pembatasan Bentuk Usaha Tetap untuk bidang usaha asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5).

Pasal 5 ayat (1) mensyaratkan adanya a fixed place. Seperti diuraikan diatas, Pasal 5 ayat (1) memerlukan tiga syarat, yaitu : adanya tempat usaha, bersifat tetap, dan dilakukan melalui tempat tetap tersebut. Sedangkan Pasal 5 ayat (5) mengatur bahwa orang / badan dapat ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal:

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi. UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Bentuk Usaha Tetap apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).

Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Batasan Bentuk Usaha Tetap Perusahaan Asuransi

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa terdapat dua model pengenaan premi asuransi ke luar negeri. Model pertama disarankan oleh OECD model. Commentary Pasal 5 ayat (5) menyebutkan, “according to the definition of the term “permanen establishment” an insurance company of one State may be taxed in the other State on its insurance business, if it has a fixed place of business within the meaning of paragrap 1 or if it carries on business through a person within the meaning of paragraph 5”.

Model kedua disarankan oleh UN model. Commentary Pasal 5 ayat (6) menyebutkan, “.. the Group agreed that the case of representation through independent agents should be left to bilateral negotiations, which could take account of the methods used to sell insurance ….

Australia

Tax treaty dengan Australia bernama “Agreement between the goverment of The Republic of Indonesia and the goverment of Australia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 22 April 1992, dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 62 tahun 1992 tanggal 10 Nopember 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Austria

Tax Treaty dengan negara Austria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Austria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect of taxes on income and on capital”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Vienna pada tanggal 24 Juli 1986 dan telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 8 tahun 1987 tanggal 20 April 1987.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Belgia

Tax Treaty dengan negara Belgia terdapat dua periode, yang pertama didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital” yang ditandatangani oleh kedua negara di Brussels pada tanggal 13 Nopember 1973 kemudian diratifikasi Keputusan Presiden No. 50 tahun 1974 tanggal 13 September 1974. Tax Treaty ini berlaku dari tanggal 1 Januari 1975 sampai dengan 31 Desember 1998.

Periode kedua didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income” yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 16 September 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 149 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. Tax treaty yang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999 sampai sekarang.

Pada periode pertama, tax treaty mengatur secara khusus batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (5). Tetapi pada periode kedua, batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi dihilangkan. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1999 Bentuk Usaha Tetap diuji dengan dependensi agen asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5).

Brunei Darussalam

Tax treaty dengan negara Brunei Darussalam bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Brunei Darussalam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandantangani oleh kedua negara di Bandar Seri Begawan pada tanggal 27 Februari 2000 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 2000 tanggal 20 April 2000.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Bulgaria

Tax treaty dengan negara Bulgaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Bulgaria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Sofia pada tanggal 11 Januari 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1991 tanggal 18 Juli 1991.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Kanada

Tax treaty dengan negara Kanada bernama “Convention between The Republic of Indonesia and Canada for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1979 tanggal 3 Desember 1979.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Tax treaty dengan Kanada telah diamandemen pada tanggal 1 April 1998 tetapi Pasal 5 ayat (5) tidak mengalami perubahan (tidak diamandemen).

Sri Lanka

Tax treaty dengan negara Sri Lanka bernama “Agreement between Republic of Indonesia and The Democratic Socialist Republic of Sri Lanka for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect ot taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Kolombo pada tangga 3 Februari 1993 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Taiwan

Tax treaty dengan negara Taiwan bernama “Agreement between The Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and The Taipei Economic and Trade Office for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”Tax treaty ini telah ditandatangani di Taipei pada tanggal 1 Maret 1995 dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 507/KMK.04/1995 tanggal 7 Nopember 1995.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Ceko

Tax treaty dengan negara Ceko bernama “Agreement between the govenment of Republic of Indonesia and the government of The Czech Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1994 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1995 tanggal 6 Desember 1995.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Denmark

Tax Treaty dengan negara Denmark bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Denmark for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”.  Tax treaty ini ditandatangani  di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1985 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 15 tahun 1986 pada tanggal 21 April 1986.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Finlandia

Tax Treaty dengan negara Finlandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Finland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 49 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perancis

Tax Treaty dengan negara Perancis bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The French Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jerman

Tax treaty  dengan negara Jerman bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Federal Republic of Germany for the avoidance of double taxation with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bonn pada tanggal 30 Oktober 1990 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Hungaria

Tax treaty dengan negara Hungaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hungarian People’s Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1989 tanggal 9 Desember 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

India

Tax treaty dengan negara India bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of India for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1987 tanggal 8 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Italia

Tax treaty dengan negara Italia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the gorvernment of The Italian Republic of for the avoidance of double taxation with respet to taxes on income and the prevention of fiscal evasion”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1990 tanggal 9 Oktober 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jepang

Tax treaty dengan negara Jepang bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and Japan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Tokyo pada tanggal 3 Maret 1982 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1982 tanggal 27 Oktober 1982.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Yordania

Tax treaty dengan negara Yordania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hashemite Kingdom of Jordan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Amman pada tanggal 12 Nopember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 151 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. 

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Korea

Tax treaty dengan negara Korea Selatan bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Nopember 1988 dan diratifikasi pada dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1989 tanggal 8 Maret 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Kuwait

Tax treaty dengan negara Kuwait bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The State of Kuwait for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuwait pada tanggal 23 April 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 152 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Luxembourg

Tax treaty dengan negara Luxembourg bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Grand Duchy of Luxembourg for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Luxembourg pada tanggal 14 Januari 1993 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Malaysia

Tax treaty dengan negara Malaysia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Malaysia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 12 September 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1992 tanggal 26 Juni 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mauritius

Tax treaty dengan negara Mauritius bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Mauritius for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Desember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1998 tanggal 12 Januari 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mongolia

Tax treaty dengan negara Mongolia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Mongolia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Ulan Bator pada tanggal 2 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 157 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung risiko di negara lain.

Belanda

Sampai saat ini, terdapat dua tax treaty dengan negara Belanda yang telah diratifikasi. Tax treaty yang pertama bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of The Netherlands for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty  ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1973 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1974 tanggal 14 Januari 1974. Kemudian, tahun 1993 tax treaty ini diamandemen dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1994 tanggal 24 Januari 1994.

Kedua tax treaty dengan Belanda mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5) dalam tax treaty tahun 1973 dan Pasal 5 ayat (6) dalam tax treaty tahun 1994. Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Selandia Baru

Tax treaty dengan negara Selandia Baru bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of New Zealand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Wellington pada tanggal 23 Maret 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Norwegia

Tax treaty dengan negara Norwegia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 45 tahun 1988 tanggal 8 Nopember 1988.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Pakistan

Tax treaty dengan negara Pakistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Islamic Republic of Pakistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Islamabad pada tanggal 7 Oktober 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 tahun 1991 tanggal 23 Januari 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Filipina

Tax treaty dengan negara Filipina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Philippines for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Manila pada tanggal 18 Juni 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1981 tanggal 28 Oktober 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Polandia

Tax treaty dengan negara Polandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Poland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Warsawa pada tanggal 16 Oktober 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 1993 tanggal 4 Agustus 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Rumania

Tax treaty dengan negara Rumania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Romania for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 147 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Singapura

Tax treaty dengan negara Singapura bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Singapura pada tanggal 8 Mei 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1990 tanggal 20 Desember 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Vietnam

Tax treaty dengan negara Vietnam bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Socialist Republic of Vietnam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Hanoi pada tanggal 22 Desember 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 177 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Afrika Selatan

Tax treaty dengan negara Afrika Selatan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of South Africa for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Juli 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 148 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Spanyol

Tax treaty dengan negara Spanyol bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Spain for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Mei 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Sudan

Tax treaty dengan negara Sudan bernama “Agreement between the government of the Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Sudan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Khartoum pada tanggal 10 Februari 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 150 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swedia

Tax treaty dengan negara Swedia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Sweden for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 28 Februari 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1989 tanggal 30 April 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swis

Tax treaty dengan negara Swis bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Swiss Confederation for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Bern pada tanggal 29 Agustus 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1989 tanggal 31 Agustus 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Siria

Tax treaty dengan negara Siria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Syria Arab Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Juni 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 176 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Thailand

Tax treaty dengan negara Thailand bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Thailand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bangkok pada tanggal 25 Maret 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1981 tanggal 7 Juli 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (4). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uni Emirat Arab

Tax treaty dengan negara Uni Emirat Arab bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the governement of The United Arab Emirates for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 156 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Tunisia

Tax treaty dengan negara Tunisia bernama “Agreement between the Republic of Indonesia and The Republic of Tunisia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Denpasar tanggal 13 Maret 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1993 tanggal 24 Februari 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Turki

Tax treaty dengan negara Turki bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The Republic of Turkey for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 160 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Ukraina

Tax treaty dengan negara Ukraina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Ukraine for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 April 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 155 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mesir

Tax treaty dengan negara Mesir bernama “Agreement the government of The Republic of Indonesia and The Arab Republic of Egypt for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kairo pada tanggal 13 Mei 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 153 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Inggris

Tax treaty dengan negara Inggris bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1974 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1975 tanggal 13 September 1975. Kemudian pada tanggal 5 April 1993 di Jakarta ditandatangani tax treaty yang kedua yang merupakan renegosiasi tax treaty yang pertama. Tax treaty yang kedua diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 118 tahun 1993 tanggal 8 Desember 1993.

Kedua tax treaty dengan Inggris mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Amerika Serikat

Tax treaty dengan negara Amerika Serikat bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of United States of Amerika for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1988 tanggal 31 Oktober 1988.

Kemudian pada tanggal 24 Juli 1996 di Jakarta ditandatangani protokol amandemen tax treaty  yang pertama. Amandemen ini telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 88 tahun 1996 tanggal 20 Nopember 1996.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7), dan tahun 1996 Pasal 5 ini tidak diamandemen. Sehingga setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uzbekistan

Tax treaty dengan negara Uzbekistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Uzbekistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income (profits)”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 161 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Venezuela

Tax treaty dengan negara Venezuela bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Venezuela for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 158 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perantara Asuransi

Pada bagian ini, penulis membahas ketentuan perantara asuransi yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian.

Pengertian Asuransi

Terdapat beberapa definisi asuransi atau pertanggungan yang dapat menjelaskan pertanyaan ‘apa itu asuransi’. Baik definisi yang ditulis oleh pakar tentang asuransi maupun definisi menurut undang-undang. Di bawah ini dua definisi asuransi berdasarkan definisi undang-undang :

Menurut Pasal 246 KUHD:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Jika diperhatikan, kedua definisi hukum tersebut tidak ada pertentangan. Tetapi definisi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian) lebih luas. Definisi UU Perasuransian mencakup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan definisi KUHD hanya mencakup asuransi kerugian.

Jika dilihat dari sudut tertanggung asuransi merupakan kemauan untuk menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti untuk sebagai pengganti (substitusi) kerugian besar yang belum pasti. Tertanggung bersedia membayar premi dimasa sekarang agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Manfaat Asuransi

Banyak menfaat yang dapat dipetik oleh individu atau perusahaan dari kegiatan perasuransian, seperti perasaan aman yang diperoleh tertanggung ketika resiko-resiko yang mungkin timbul dimasa yang akan datang. Dibawah ini beberapa manfaat asuransi menurut pandangan Riegel dan Miller, sebagaimana dikutif oleh Abbas Salim :

  1. Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-perusahaan berada dalam keadaan aman. Dengan membeli asuransi, para pengusaha akan menjadi tenang.
  2. Dengan asuransi efesiensi perusahaan dapat dipertahankan. Guna menjaga kelancaran perusahaan, maka dengan asuransi resiko dapat dikurangi.
  3. Penarikan biaya akan dilakukan seadil mungkin (the equitable assestment of cost). Ongkos-ongkos asuransi harus adil menurut besar kecilnya resiko yang dipertanggungkan.
  4. Asuransi sebagai dasar pemberian kredit.
  5. Asuransi merupakan alat penabung, umpamanya dalam asuransi jiwa.
  6. Asuransi dapat dipandang sebagai suatu sumber pendapatan (earning power). Sumber pendapatan ini didasarkan kepada financing the business.

Perantara Asuransi

Hubungan antara penanggung dan tertanggung harus dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut polis. Hubungan tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip asuransi yang berlaku umum. Ada lima prinsip asuransi dan satu prinsip tambahan untuk reasuransi yang disebut Follow the fortunes of the ceding company . Berikut ini keenam prinsip asuransi tersebut :

Prinsip itikad baik
Penanggung dan tertanggung wajib melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undang-undang. Tertanggung tidak diperkenankan menyembunyikan segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung. Sebaliknya, penanggung tidak boleh menolak atau melakukan penundaan penyelesaian klaim yang menjadi tanggung jawabnya dengan berbagai dalih.

Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan
Pihak tertanggung wajib membuktikan diri bahwa dialah yang mempunyai kepentingan atas objek yang dipertanggungkan pada saat terjadinya kerugian.

Prinsip Ganti Rugi (Indemnitas)
Penggantian dan/atau pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung hanya terbatas pada kerugian sebenarnya yang dibayarkan oleh tertanggung sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku serta sah menurut hukum.

Prinsip Subrograsi
Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti kerugian yang sah kepada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak tertangggung untuk memperoleh pemulihan dan/atau menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.

Prinsip saling menanggung
Prinsip saling menanggung (kontribusi) merupakan dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada pihak yang bersangkutan, termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung bersama sesuai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi, dan reasuransi.

Prinsip follow the fortune of the ceding company
Prinsip ini juga diartikan dengan prinsip “mengikuti suka dukanya penanggung pertama”, dalam arti sebagai berikut:
1). Bila penanggung pertama mengalami kerugian karena besarnya klaim yang harus dibayar, secara seimbang pihak reasuransi juga akan mengikuti hasil yang tidak menguntungkan.
2). Bila penanggung pertama mengalami keuntungan, pihak reasuransi juga akan menikmati keuntungan.

Bila penanggung pertama berhasil memperoleh hasil pemulihan (recoveries) dari pihak ketiga, reasuransi juga berhak memperoleh sebagian hasil pemulihan tersebut, seimbang dengan saham kepesertaan mereka dalam kontrak reasuransi.

Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya . Pada prakteknya, seringkali hubungan penanggung dan tertanggung tidak langsung tetapi melalui satu perantara asuransi.

Kepentingan dan harapan tertanggung dipertemukan dengan penanggung oleh perantara sehingga perusahaan asuransi yang dipilih benar-benar penanggung yang dapat memenuhi kepentingan dan harapan tertanggung. Sering kali tertanggung sangat buta terhadap informasi asuransi dan sangat awam tentang peraturan perasuransian. Karena itu, sangat diperlukan suatu perantara yang menjembatani tertanggung dan penanggung.

Secara ilmu tatalaksana, menurut Abbas Salim, terdapat tiga bagian organisasi asuransi , yaitu kantor pusat, sistem keagenan dan sistem cabang. Sistem keagenan dan sistem cabang adalah kepanjangan tangan kantor pusat di daerah (selain kantor pusat). Perbedaan antara sistem agen dan sistem cabang adalah :

  1. pada sistem agen, agen kepala bekerja atas dasar kontrak yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap kantor-kantor cabang. Sedangkan pada sistem cabang, kepala cabang bekerja sebagai karyawan dan diberi gaji serta harus bertanggung jawab penuh kepada kantor pusat.
  2. Untuk menjalankan tugas penjualan asuransi, agen kepala berhak mengangkat sub agen dan agen-agen lainnya. Mereka bekerja tidak diberi upah/gaji seperti cabang.
  3. Dalam melakukan penjualan asuransi agen kepala ikut aktif, sedangkan pada sistem cabang kepala cabang hanya bekerja mengawasi administrasi dan penjualan asuransi tersebut.
  4. Agen kepala penghasilannya tergantung kepada komisi, oleh sebab itu ia harus bekerja lebih giat agar penghasilannya bertambah.

Menurut Purwosutjipto, dalam bidang hukum pertanggungan terdapat empat jenis perantara :

Pertama, Agen pertanggungan, yakni ada tiga bentuk:

  1. Agen pertanggungan bentuk pertama yaitu agen pertanggungan yang bertugas mencari langganan bagi perusahaannya. Tetapi agen ini juga bertindak untuk kepentingan calon tertanggung dan menerima amanatnya.
  2. Agen pertanggungan bentuk kedua yaitu agen pertanggungan yang dibayar oleh perusahaan dan semacam “pekerja keliling”. Agen pertanggungan memiliki surat kuasa yang mengikat majikannya.
  3. Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Kedua, Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Ketiga, Makelar pertanggungan. Makelar pertanggungan adalah perantara yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan tetap dengan satu atau beberapa perusahaan pertanggungan tertentu. Sebelum melaksanakan tugasnya, makelar pertanggungan harus mengangkat sumpah dulu dimuka hakim pengadilan negeri.

Keempat, Assurantiebezorger, yaitu perantara pertanggungan yang bertindak sebagai pemegang kuasa calon tertanggung dan mewakili perusahaan pertanggungan (di bursa Amsterdam) yang atas namanya turut menandatangani polis. Kedudukan ini di Indonesia tidak ada. Di Indonesia perantara pertanggungan ini tidak ada.

Wirjono Prodjodikoro, membedakan antara agen asuransi dan makelar asuransi. Agen asuransi yaitu seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi dan yang mengadakan pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu. Sedangkan makelar asuransi yaitu orang yang menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, termasuk perantara dalam hal mengadakan asuransi yang diatur dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD.

Sedangkan UU Perasuransian membedakan usaha perasuransian menjadi dua, yaitu usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi. Menurut Pasal 3 hurub b UU Perasuransian, usaha penunjang asuransi terdiri dari:

  1. usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
  2. usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
  3. usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
  4. usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.
  5. usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Broker Asuransi

Terdapat tiga istilah yang sering dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu broker, makelar atau pialang. Istilah broker berasal dari bahasa Inggris tetapi sangat sering dipergunakan sehari-hari. Istilah makelar adalah istilah yang dipakai di Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Sedangkan dalam UU Perasuransian memakai istilah pialang. Karena itu, dalam tesis ini ketiga istilah tersebut digunakan dengan maksud yang sama.

KUHD mengatur makelar umum dalam Pasal 62 sampai dengan 73 KUHD, sedangkan khusus mengenai makelar pertanggungan laut diatur dalam Pasal 681 sampai dengan Pasal 685 KUHD.

Untuk menjadi makelar, orang harus diangkat oleh pemerintah dan sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya, ia harus bersumpah dimuka Pengadilan Negeri, Pasal 62 KUHD.

Kemudian, Pasal 64 KUHD menyebutkan bahwa pekerjaan makelar adalah melakukan penjualan dan pembelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan dan lainnya, kapal-kapal, andil-andil dalam dana umum dan efek-efek lainnya, obligasi-obligasi, surat wesel, surat order dan surat-surat dagang lainnya, pula untuk menyelenggarakan perdiscontoan, pertanggungan, perutangan dengan jaminan kapal dan pencarteran kapal, perutangan uang atau lainnya.

Pasal 66 KUHD mewajibkan para makelar membuat catatan dalam suatu buku tentang segala perbuatan sebagai makelar dan setiap hari semua itu ditulis dalam suatu buku harian secara teliti.

Khusus makelar asuransi laut, Pasal 681 KUHD mewajibkan :

  1. Membuat nota penghabisan (sluitnota) selaku hasil dari perundingan dengan seorang asurador untuk pihak yang dijamin. Dalam nota ini disebutkan wujud barang yang dijamin, jumlah uang asuransi, berapa preminya dan berbagai perjanjian.
  2. Mengisi polis sesuai dengan undang-undang dan dengan keinginan kedua belah pihak.
  3. Mengadakan daftar polis-polis.
  4. Memasukkan dalam daftar itu segala catatan-catatan, surat-surat pemberitahuan-pemberitahuan tentang apa saja yang bersangkutan dengan asuransi-asuransi yang diadakan dengan perantaraan makelar itu.
  5. Apabila terjadi suatu kerugian yang harus diganti, makelar harus memberikan kepada pihak yang menjamin segala bahan-bahan untuk melaksanakan persetujuan asuransi.
  6. Atas permintaan kedua belah pihak, memberikan turunan dari polis dan lain-lain surat kepada merekan.

Undang-Undang Perasuransian membagi perusahaan pialang menjadi dua yaitu: perusahaan pialan asuransi dan perusahaan pialang reasuransi.

Pasal 5 UU Perasuransian mengatur kegiatan usaha masing-masing sebagai berikut:

  1. Perusahaan pialang asuransi menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
  2. Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi kontrak asuransi.

Jika dilihat dari badan usahanya, usaha pialang asuransi merupakan usaha yang mandiri, artinya pialang asuransi merupakan badan hukum terpisah dari perusahaan asuransi, walaupun mungkin saja pialang asuransi tersebut merupakan anak perusahaan dari perusahaan asuransi.

Pasal 7 ayat (1) UU Perasuransian mengatur bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :

  1. Perusahaan Perseroan (Persero);
  2. Koperasi;
  3. Perseroan Terbatas;
  4. Usaha Bersama (Mutual).

Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengharuskan memiliki susunan organisasi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya ada fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan.

Modal disetor perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000,00. Jika perusahaan tersebut terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00.

Ketentuan tentang modal disetor ini terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992. Tetapi dalam Peraturan Pemerinah No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no. 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha asuransi, tidak diatur lagi jumlah modal disetor kecuali bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan reasuransi dapat membentuk modal disetor sesuai dengan kebutuhan. Menurut memori penjelasannya, penghilangan batas minimum modal disetor bagi perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi dikarenakan pialang merupakan sebuah profesi, karena itu yang lebih diutamakan adalah profesionalisme dari perusahaan pialang.

Sebagai sebuah profesi, perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi membentuk asosiasi yang bernama Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia atau disingkat ABAI. Asosiasi ini didirikan pada tanggal 11 Maret 1978 dan menyelenggarakan program akreditasi yang disebut CIIB atau Certified Indonesian Insurance and Reinsurance Brokers.

Seorang broker yang memiliki CIIB, dapat mengusulkan dan merencanakan seluruh program asuransi serta memberikan pilihan program asuransi yang terbaik untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembeli dan penempatan resikonya pada penanggung asuransi dan mengurus klaim dengan baik.

Berbeda dengan agen asuransi yang hanya mementingkan keuntungan penanggung, broker asuransi akan membela kepentingan tertanggung melalui konsultasi ahli dan berperan sebagai “bagian asuransi” perusahaan tertanggung.

Broker asuransi berfungsi memilih penanggung yang aman bagi tertanggung, memilih jenis pertanggungan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung, melakukan negosiasi tingkat premi dengan penanggung, dan jika terjadi klaim maka mereka juga berfungsi memberikan pelayanan dan administrasi penyelesaian klaim.

Berdasar uraian diatas, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan usaha yang berdiri sendiri dalam arti badan hukum tersendiri dan tidak ada usaha lain selain usaha pialang.

Pialang asuransi dan pialang reasuransi juga merupakan suatu profesi yang lebih mengutamakan profesionalisme daripada modal perusahaan. Selain itu, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan perantara antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan tertanggung, calon tertanggung atau pihak lain yang memerlukan jasa asuransi dan jasa reasuransi.

Agen Asuransi

Agen asuransi merupakan bagian dari pemasaran bagi perusahaan asuransi sebagaimana broker asuransi. Keduanya sama-sama mencari calon tertanggung dan merupakan perantara antara penanggung dan tertanggung.

Perbedaan hakiki antara agen asuransi adalah agen asuransi bekerja untuk dan atas nama penanggung sedangkan broker asuransi bekerja untuk tertanggung. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari definisi agen asuransi dan pialang asuransi menurut UU Perasuransian.

Pasal 1 angka 8 UU Perasuransian, “Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertangung.”

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Definisi tersebut dengan tegas membedakan antara pialang asuransi dengan agen asuransi. Pialang asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan tertanggung sedangkan agen asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan penanggung.

Agen asuransi karena bekerja untuk dan atas nama penanggung maka agen asuransi tidak beda dengan kepanjangan tangan dari penanggung. Semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung.

Agen asuransi terdapat dua macam, yaitu agen asuransi yang menjadi karyawan penanggung dan agen asuransi yang independen, dalam arti bukan karyawan penanggung.

Bagi perusahaan asuransi jiwa, agen asuransi yang independen lebih disukai karena tidak terikat dengan peraturan ketenaga-kerjaan . Tetapi keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk membentuk product image. Untuk itu, perusahaan asuransi biasanya memberikan training kepada agen agar menjadi tenaga pemasar yang unggul.

Seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992, bahwa semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni. Walaupun agen asuransi merupakan agen yang independen, tetapi agen asuransi tetap merupakan kepanjangan tangan perusahaan asuransi karena semua tindakan agen tersebut merupakan atau mengatasnamakan tindakan perusahaan asuransi yang diageni.

Kententuan lain yang mengikat agen asuransi dengan perusahaan asuransi adalah Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perijinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. Untuk mendapatkan ijin usaha agen asuransi, usaha agen asuransi harus memiliki bukti perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi yang diageni.

PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pada bagian ini, penulis membagi menjadi 3 bagian, yaitu : (a) withholding tax yang menguraikan alasan dan keuntungan metode withholding disamping kerugiannya; (b) PPh Pasal 26 dan tax treaty yang membahas kewenangan memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri; (c) PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang membahas kewajiban memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri.

Withholding Tax

Withholding merupakan metode pengumpulan pajak penghasilan pada saat pembayaran penghasilan oleh pihak lain kepada Wajib Pajak. Sebelum penghasilan diterima oleh Wajib Pajak maka penghasilan tersebut dipotong terlebih dahulu sebesar pajak yang terutang.

Pembayar penghasilan merupakan pemotong pajak. Tujuan dari withholding tax adalah memajaki (memotong pajak) penghasilan ketika penghasilan tersebut diterima. Karena itu, kadang-kadang metode ini juga dikenal dengan pay as you earn (PAYE).

Withholding merupakan bagian dari tax settlement. Ada dua pendekatan tax settlement yaitu : (a) self payment atau pembayaran angsuran bulanan oleh Wajib Pajak sendiri, dan (b) withholding system atau pelunasan pajak oleh pihak ketiga.

Dasar penghitungan self payment adalah prestasi kinerja tahun pajak yang lalu sedangkan dasar penghitungan withholding system adalah besarnya transaksi penerimaan atau perolehan penghasilan.

Pendekatan withholding tax terdapat dua macam. Pertama, pajak yang telah dipotong merupakan kredit pajak bagi pajak yang terutang pada tahun yang sama. Dengan kata lain, withholding tax merupakan pembayaran pajak dimuka yang akan dikreditkan pada akhir tahun saat penghitungan pajak terutang atas semua penghasilan yang diterima Wajib Pajak.

Pendekatan kedua, pajak yang dipotong merupakan pajak yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang lainnya.

Khusus bagi negara berkembang, withholding tax sangat penting. Administrator pajak mereka akan lebih baik menegakkan hukum pajak dan merupakan solusi bagi masalah pengumpulan pajak.

Keuntungan lain dari sistem pemotongan adalah :

  1. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak karena pihak yang dibayar diwajibkan melaporkan penghasilan atas pajak yang telah dipotong oleh pemotong.
  2. pajak yang terutang otomatis akan terkumpul oleh pemotong dan akan dilaporkan oleh pemotong sehingga akan teridenfikasi dari laporan pemotong.
  3. meningkatkan keadilan pajak karena walaupun Wajib Pajak tidak melaporkan penghasilannya atau hanya sebagian penghasilan yang dilaporkan, tetapi semua pajak terutangnya telah dibayar.
  4. mengurangi beban / membantu tugas kantor pajak untuk mengumpulkan pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
  5. metode ini biasanya “meringankan” beban Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang karena Wajib Pajak membayar pajak saat penghasilan diterima.

Sedangkan kelemahan dari metode ini, dapat memberikan beban bagi Wajib Pajak karena kelebihan pemotongan. Bagi Wajib Pajak yang mengalami kerugian, pemotongan pajak merupakan beban tambahan karena seharusnya Wajib Pajak tersebut tidak membayar pajak penghasilan.

Walaupun kelebihan pajak penghasilan tersebut dapat dikembalikan, tetapi Wajib Pajak mengalami opportunity cost. Metode withholding juga akan menambah beban bagi pemotong yang seharusnya menjadi beban kantor pajak.

Selain itu, khusus pemotongan yang bersifat final akan menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak tetap akan dipotong pajak oleh pemotong walaupun “seharusnya” Wajib Pajak tersebut tidak wajib membayar pajak.

Sistem perpajakan di Indonesia juga mengenal withholding tax. Ketentuan tentang withholding tax diatur dalam :

  1. Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Untuk pemotongan PPh atas : penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur oleh peraturan pemerintah.
  2. Pasal 21 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan.
  3. Pasal 22 UU PPh. Yaitu pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah.
  4. Pasal 23 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah dan penghargaan.
  5. Pasal 24 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri.
  6. Pasal 26 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.

PPh Pasal 26 dan tax treaty

Ada dua perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yaitu :

  1. penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Wajib Pajak luar negeri ini diperlakukan seperti Wajib Pajak dalam negeri, yaitu pemenuhan sendiri (self assessment) kewajiban perpajakannya
  2. Wajib Pajak luar negeri lainnya. Atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap yang bersumber dari Indonesia dipotong oleh pemberi penghasilan.

Pasal 26 UU PPh mengatur pemotongan PPh oleh pemberi penghasilan bagi Wajib Pajak (penerima penghasilan) yang berstatus Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Withholding tax PPh Pasal 26 bersifat final sehingga tidak dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, kecuali :

  1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan penghasilan yang diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud;
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.

Salah satu penghasilan yang menjadi objek pajak PPh Pasal 26 adalah premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Besarnya perkiraan penghasilan neto kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut, besarnya perkiraan penghasilan neto sebagai berikut :

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995. Siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Ketentuan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 diatas merupakan ketentuan domestik. Sebagai negera berdaulat, Indonesia dapat mengatur dan merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Khusus untuk subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan (objek pajak) berupa premi asuransi dari Indonesia diatur dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Tetapi otoritas negara / domestik untuk mengatur perpajakan mungkin akan dibatasi oleh treaty dan agreement internasional, yaitu

  1. bilateral tax conventions;
  2. multilateral treaties establishing free trade areas;
  3. agreements WTO
  4. the Article of Agreement of the IMF

Bilateral tax conventions lebih populer dengan nama tax treaty, yaitu perjanjian atau kesepakatan dibidang perpajakan antara dua pemerintah yang berdaulat yang bersifat resiprokal untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda.

Menurut Kees Van Raad , walaupun hierarki antara treaty dengan undang-undang domestik tidak sama setiap negara, tetapi menurut hukum sipil di kebanyakan negara, treaty memiliki status superior daripada undang-undang domestik.

Ketentuan dalam treaty mungkin saja dikesampingkan oleh undang-undang khusus seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Ketentuan hukum nasional dapat membatalkan ketentuan treaty yang sudah ada hanya jika Kongres Amerika Serikat secara tegas mengeluarkan ketentuan yang secara khusus mengesampingkan ketentuan treaty yang sudah ada tersebut.

Timbulnya kewenangan untuk memungut pajak oleh pemerintah berasal dari undang-undang domestik bukan berasal dari tax treaty. Undang-undang domestik mengatur siapa-siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, berapa tarif pajaknya dan bagaimana prosedur pembayaran pajak tersebut. Tax treaty justru membatasi hak pemerintah untuk mengenakan pajak tertentu.

Dalam beberapa peraturan pemerintah dan keputusan menteri keuangan secara tegas disebutkan bahwa ketentuan PPh Pasal 26, khususnya tentang tarif, dikesampingkan dan berlaku ketentuan dalam tax treaty. Contoh peraturan yang secara tegas menyebutkan berlakunya tax treaty daripada ketentuan PPh Pasal 26 adalah :

  1. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.
  2. Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 juga menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.

Dari uraian diatas terbukti bahwa ketentuan dalam undang-undang domestik “dikalahkan” oleh ketentuan tax treaty.

Tarif dalam tax treaty selalu lebih rendah daripada tarif dalam UU PPh atau ketentuan domestik. Hal ini terkait dengan fungsi suatu tax treaty yaitu membatasi kewenangan masing-masing negara yang bersepakat. Dengan tax treaty ditentukan hak pemajakan masing-masing treaty partner.

Kedudukan tax treaty lebih superior daripada ketentuan domestik karena tax treaty lebih spesialis (lex specialis derogat lex generalis).

Walaupun demikian, tax treaty tidak menciptakan ketentuan pajak yang baru karena kewenangan / hak pemajakan sebagaimana diatur dalam tax treaty hanya akan berlaku jika ketentuan domestik mengatur.

Maksud dari tax treaty biasanya dapat dilihat dari pembukaannya, yaitu “menghindari pemajakan berganda dan mencegah penghindaran pajak”.

Bahkan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, terdapat maksud lain yang tidak tertulis tetapi sebenarnya lebih penting daripada maksud yang tertulis, yaitu:

Pertama, merupakan pembagian penerimaan pajak dari penghasilan kedua negara treaty partner.

Kalau arus investasi dan bisnis seimbang antara kedua negara yang membuat tax treaty, biasanya bukan masalah besar jika masing-masing negara membatasi pemajakan di negara sumber dan menyerahkan pemajakan kepada negara domisili.

Sebaliknya, kalau arus investasi dan bisnis tidak seimbang akan berakibat pemindahan pendapatan pajak dari satu negara kepada negara lain. Biasanya keadaan tidak seimbang tersebut antara negara berkembang sebagai importir modal dan negara maju sebagai eksportir modal. Negara berkembang akan memperjuangkan hak pemajakan atas sumber penghasilan dari negaranya.

Kedua, negara-negara berkembang sekarang umumnya berusaha meningkatkan modal masuk dari negara-negara pengekspor modal.

Tax treaty dapat memfasilitasi maksud tersebut. Pembuatan tax treaty mengharuskan penerapan kaidah-kaidah internasional terutama tentang nondiscrimination, sehingga para investor yang menanamkan modalnya di negara lain akan terlindungi dengan tax treaty.

Menurut John Hutagaol, tax treaty memberikan banyak manfaat bagi Indonesia diantaranya :

  1. kemudahan informasi melalui pertukaran informasi,
  2. pemberian insentif pajak, dan
  3. kepastian hukum bagi investor asing.

Berdasarkan uraian diatas, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh hanya dapat diterapkan terhadap Wajib Pajak luar negeri yang berdomisili di negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia.

Jika Wajib Pajak luar negeri berdomisili di negara yang telah memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam tax treaty.

PPh Pasal 26 atas premi asuransi

PPh Pasal 26 atas premi asuransi diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh yang berbunyi,”Atas penghasilan dari … premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.”

Memori penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa ketentuan tersebut mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia. Atas penghasilan dari premi asuransi, premi reasuransi, dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Pasal 15 UU PPh memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk menentukan norma penghitungan khusus. Dasar pemberian wewenang tersebut adalah kepraktisan atau kelaziman.

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan norma penghitungan khusus. Hanya Wajib Pajak tertentu yang mengalami kesulitan untuk menghitung penghasilan neto sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) UU PPh atau Pasal 16 ayat (3) UU PPh.

Pasal 26 ayat (3) UU PPh juga memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menentukan perkiraan penghasilan neto. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kedudukan keduanya?

Menurut penulis, keduanya mengatur sesuatu yang berbeda walaupun sama mengatur tentang penghasilan neto. Pasal 15 UU PPh mengatur tentang penghasilan neto bagi Wajib Pajak tertentu.

Penghasilan neto yang dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh adalah “tambahan kemampuan ekonomis” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Karena itu, Pasal 15 termasuk dalam Bab III tentang objek pajak.

Sedangkan Pasal 26 UU PPh termasuk dalam Bab IV yang mengatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang salah satu cara pelunasan pajak yaitu withholding tax. Jadi Pasal 26 ayat (3) UU PPh merupakan kewenangan yang diberikan kepada menteri keuangan dalam rangka withholding tax.

Berdasarkan kuasa Pasal 26 ayat (3) UU PPh, menteri keuangan kemudian menetapkan besarnya penghasilan neto yaitu dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Besarnya perkiraan penghasilan neto berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut:

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995.

Dengan demikian, siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Tetapi, pada tanggal 05 Desember 1995 direktur jenderal pajak mengeluarkan surat No. S-428/PJ.432/1995 (Surat Dirjen) yang membebaskan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di :

Darimana kewenangan direktur jenderal pajak tersebut?

Seharusnya, direktur jenderal pajak tidak berwenang menentukan negara-negara mana saja yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 mengingat UU PPh tidak memberikan kuasa kepada direktur jenderal pajak.

Satu-satunya kewenangan yang didelegasikan oleh Pasal 26 UU PPh adalah besarnya perkiraan penghasilan neto dan diberikan kepada menteri keuangan.

Kewenangan pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri hanya mungkin “dikalahkan” oleh suatu tax treaty. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 hanya dapat dikecualikan oleh tax treaty yang telah dibuat oleh Indonesia dengan negara mitra (treaty partner). Sebagaimana dikemukakan oleh Kees Van Raad bahwa tax treaty memiliki kedudukan lebih superior daripada undang-undang domestik.

Pendapat senada dikemukakan oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H. bahwa Indonesia mengakui “primat hukum antar negara”, sehingga hukum antar negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum nasional.

Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri RI Moh. Hatta dalam pidatonya pada tanggal 11 Agustus 1950 di Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapat ini juga berdasarkan asas hukum modern yang termuat dalam dalil “persetujuan mematahkan undang-undang”.

Suatu tax treaty merupakan perjanjian antara dua negara yang merdeka dibidang perpajakan. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara lain termasuk dalam bidang perpajakan.

Sampai tahun 2000, terdapat 50 tax treaty yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dari 50 tax treaty tersebut satu tax treaty tidak paripurna yaitu tax treaty dengan negara Arab Saudi sedangkan sisanya, 49 tax treaty, merupakan tax treaty paripurna.

Khusus tentang pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber, tax treaty yang disepakati oleh Indonesia terdapat dua macam, yaitu yang mengacu kepada OECD model dan UN model.

Tax treaty yang mengacu kepada OECD model adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tax treaty dengan negara-negara tersebut tidak memuat aturan khusus tentang usaha asuransi. Hak pemajakan terhadap usaha asuransi disamakan dengan usaha yang lainnya, khususnya tentang usaha jasa.

Negara sumber memiliki hak pemajakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap di negara tersebut. Syarat adanya Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 5 ayat (1) tax treaty adalah adanya fixed place of business.

Rachmanto Surahmat menguraikan lebih lanjut bahwa definisi Pasal 5 ayat (1) mengandung tiga syarat, yaitu :

  1. adanya tempat usaha berupa prasarana;
  2. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
  3. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

“Tempat usaha tetap” tetap tersebut contohnya adalah tempat pemasaran di Indonesia yang disewa oleh perusahaan asuransi di luar negeri untuk memasarkan produknya di Indonesia.

Tempat pemasaran bisa berupa bangunan kantor atau hanya ruangan tertentu di suatu pusat perdagangan sekalipun. Server komputer juga menurut sebagian ahli perpajakan dapat disamakan seperti halnya suatu gedung yang salah satu ruanggannya disewa untuk dipakai sebagai tempat penjualan barang-barang perusahaan luar negeri .

Jika ada perusahaan asuransi luar negeri menempatkan servernya di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Selain itu, perusahaan asuransi luar negeri juga dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika memiliki agen tidak bebas di Indonesia.

Menurut OECD model (khususnya commentary on article 5 ), perusahaan asuransi dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain jika memiliki a fixed place of business sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau memiliki agen tidak bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).

Bunyi lengkap Pasal 5 ayat (5) tersebut sebagai berikut, “Notwithstanding the provisions of paragraphs 1 and 2, where a person – other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 applies – is acting on behalf of an enterprise and has, and habitually exercises, in a Contracting State an authority to conclude contracs in the name of the enterprise, that enterprise shall be deemed to have a permanent establishment in that State in respect of any activities which that person undertakes for the enterprise, unless the activities of such person are limited to those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixed place of business, would not make this fixed place of business a permanent establishment under the provisions of that paragraph.”

Menurut Yari Yuhariprasetya , bahwa ayat ini mensyaratkan dua hal secara kumulatif, yaitu

  1. adanya orang atau badan yang bertindak atas nama perusahaan asuransi di luar negeri; dan
  2. adanya otorisasi dari perusahaan asuransi di luar negeri kepada orang atau badan untuk menandatangani kontrak.

Khusus tentang agen asuransi di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Selain itu, Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 menyebutkan, ” Semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni.”

Artinya, agen asuransi selalu bertindak atas nama perusahaan asuransi yang diageninya dan semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung atau perusahaan asuransi.

Wawancara dengan fihak Direktorat Asuransi juga lebih menegaskan bahwa semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan perusahaan asuransi. Dengan demikian, syarat pertama telah terpenuhi.

Syarat kedua mengharuskan adanya otorisasi untuk menandatangani kontrak oleh agen. Tetapi bisa saja kontrak sudah ditandatangani oleh kantor pusat tetapi klien atau nasabah dicari oleh agen.

Hal ini juga berarti agen tersebut memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Menurut Rachmanto Surahmat , “apabila bentuk maupun format kontrak itu sudah dibuat standar dan ditandatangani oleh salah seorang dari kantor pusat, agen tersebut dapat dianggap mempunyai wewenang menandatangani kontrak, sebab ia mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.”

Apakah polis asuransi sudah dibuat standar? A. Hasymi Ali menyebutkan bahwa Polis Standar Kebakaran New York 1943 yang terdiri dari 165 baris menjadi pola semua proteksi asuransi.

Begitu juga Abdulkadir Muhammad, menyebutkan,”..untuk mencegah persaingan yang tidak sehat (unfair competition) sesama perusahaan asuransi, maka diupayakan penyeragaman syarat-syarat khusus dalam polis dengan cara menciptakan polis standar, baik secara nasional maupun secara internasional.. ada tiga jenis polis yang terkenal yaitu polis maskapai, polis bursa dan polis Lloyd.

Di bagian lain, Abdulkadir Muhammad, menyebutkan, “Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu.

Kemudian polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya. Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung.

Tetapi apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave it.

Berdasarkan uraian diatas dan pengalaman penulis memeriksa terhadap perusahaan asuransi, penulis berkesimpulan bahwa polis asuransi adalah kontrak yang sudah distandarkan.

Oleh karena itu, perusahaan asuransi di luar negeri yang memperoleh penghasilan premi asuransi dari Indonesia melalui agen asuransi di Indonesia, maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia karena telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Berikut ini adalah tax treaty yang dibuat oleh Indonesia dengan treaty partner yang mengacu kepada OECD model :

Sedangkan tax treaty yang mengacu kepada UN model khusus untuk bentuk usaha tetap perusahaan asuransi adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tidak seperti OECD model yang syarat bentuk usaha tetapnya disamakan dengan perusahaan jasa lainnya, UN model memiliki syarat khusus yang dimuat di Pasal 5 ayat (6) UN model yaitu :

  1. pengumpulan atau penerimaan premi dalam wilayah negara lain; atau
  2. menanggung resiko yang terletak di negara lain.

Pasal 5 ayat (6) UN model bunyi lengkapnya sebagai berikut, “Notwithstanding the preceding provisions of this article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except regard to re-insurance, be deemed to have permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 applies”.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (6) UN model tersebut, perlakuan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi dari Indonesia atau memiliki objek asuransi yang ditanggung di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu :

  1. Perusahaan asuransi (baik perusahaan asuransi umum maupun perusahaan reasuransi) di luar negeri yang menerima premi reasuransi dari Indonesia. Perusahaan ini dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika menerima premi reasuransi dari Indonesia melalui agen tidak bebas atau memiliki a fixed place of business di Indonesia. Ketentuan adanya Bentuk Usaha Tetap bagi reasuransi disamakan dengan perusahaan jasa lainnya.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi asuransi dari Indonesia atau menanggung resiko yang terletak di Indonesia, baik melalui agen asuransi maupun tidak, kecuali melalui broker asuransi. Selama bukan mengenai reasuransi dan penerimaan premi asuransi tersebut tidak melalui broker asuransi, maka perusahaan asuransi di luar negeri dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
  3. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi (baik premi asuransi umum maupun reasuransi) dari Indonesia melalui broker asuransi. Perusahaan asuransi seperti ini tidak dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena broker asuransi merupakan usaha yang independen (bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 5 ayat (6) OECD model dan Pasal 5 ayat (7) UN model.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terhadap pembayaran premi asuransi yang diterima oleh perusahaan asuransi di luar negeri yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak pembayar premi di Indonesia?

Hasil wawancara dengan fihak Direktorat Peraturan Perpajakan berpendapat bahwa tax treaty tidak memberikan hak withholding bagi perusahaan asuransi.

Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi disamakan dengan perusahaan jasa lain dan pemajakannya diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Tetapi jika memang harus dipotong maka pemotongan tersebut menjadi kredit pajak bagi Bentuk Usaha Tetap tersebut dan diperhitungkan diakhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) huruf b UU PPh.

Penulis juga sependapat bahwa pemajakan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi luar negeri disamakan dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.

Kewajiban pemotongan terhadap pengahasilan premi asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh tidak dapat dilaksanakan berdasarkan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) yaitu, “Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).”

Berdasarkan uraian diatas, terhadap pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak di dalam negeri kepada perusahaan asuransi terdapat tiga perlakuan Pajak Penghasilan yang berbeda, yaitu :

  1. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di dalam negeri. Pembayaran premi ini tidak dipotong (tidak ada withholding).
  2. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang bukan merupakan treaty partner. Pembayaran premi ini dipotong PPh Pasal 26 dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994.
  3. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang merupakan treaty partner. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka pembayaran premi tidak dipotong PPh Pasal 26.

Catatan:

Tulisan ini disalin dari tesis saya dengan beberapa perubahan, pengurangan, dan penyesuaian. Tesis dibuat pertengahan 2002 dan mendapat persetujuan tanggal 5 Nopember 2002.

Ringkasan tesis sudah di muat di laman Universitas Indonesia dengan link berikut: Pengenaan PPh pasal 26 atas premi asuransi (ui.ac.id)

Karena dibuat tahun 2002, maka beberapa ketentuan sudah berubah. Pembaca harap mengecek lagi ketentuan yang berlaku.

Terima kasih.

CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023

CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023

Mengoptimalkan resiko perpajakan perusahaan dapat pembuatan SPT Tahunan, sehingga perusahaan dapat dilakukan sebelum mengantisipasi dan meminimalkan resiko perpajakan di kemudian hari. Dalam seminar kali ini kami akan mengupas tuntas bagaimana perusahaan dapat mengelola resiko tersebut, dengan membuat analisa yang dapat dilakukan seperti ekualisasi biaya, ekualisasi omset, arus piutang dan yang lainnya.

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan kita semua maka Botax Consulting Indonesia menyelenggarakan kegiatan seminar dengan tema:

CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023

Tempat : Hotel Santika Bandung
(Sabtu, 4 November 2023) Pkl 09.00 – 16.00 WIB

Registrasi dengan link :
https://bit.ly/seminar41123-Bandung

Terimakasih dan sampai bertemu untuk sharing Bersama Sobat 🥰

Free Tax Clinics

Tidak selamanya konsultasi dengan konsultan pajak berbayar, ada juga konsultasi pajak gratis atau free tax clinic. Cek informasi di bawah ini.

PT Botax Consulting Indonesia berkantor pusat di Bogor, (Bogor Tax disingkat Botax). Selain di Bogor, Botax juga memiliki kantor cabang di Bandung yaitu di: Lantai 6 blok C, Graha Pos, Jalan Banda 30, Bandung

Kantor cabang Bandung memberikan konsultasi pajak gratis (free tax clinics) yang bertempat di kantor Botax, Lantai 6 blok C, Graha Pos Indenesia, Bandung.

Konsultasi pajak gratis diadakan setiap hari Rabu dan Kamis, dari jam 09.00 sampai dengan jam 15.00

Bapak/ibu yang berkenan datang ke kantor Botax Bandung, silakan booking di laman Botax berikut:

free tax clinic

Apakah anda mendapatkan surat cinta (SP2DK) dari kantor pajak? Atau anda sedang diperiksa oleh kantor pajak dan sudah mendapatkan SPHP dari kantor pajak? Baiknya konsultasikan dulu dengan saya, Raden Agus Suparman.

Konsultasi gratis ini hanya bisa dilakukan setelah anda booking di laman botax.

Selamat jumpa di kantor Botax Bandung

P3B

P3B adalah perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara mitra tentang perpajakan. Kedudukan P3B diatas undang-undang. Karena itu, sebagian aturan di Undang-Undang PPh tidak berlaku, kalah dengan aturan P3B berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.

P3B dalam bahasa Inggrisnya tax treaty. Tax Treaty memiliki 5 tujuan, yaitu:

  1. menghindari pajak berganda yang akan membebani dunia usaha,
  2. meningkatkan investasi asing,
  3. meningkatkan sumber daya manusia (SDM),
  4. pertukaran informasi untuk mencegah pengelakan pajak (tax evasion), dan
  5. kedudukan antar negara adalah setara.

Sekilas Sejarah Tax Treaty

Menurut Brian J. Arnold, tax treaty model memiliki sejarah panjang, dimulai dengan perjanjian diplomatik awal abad 19. Tujuan dari perjanjian diplomatik ini adalah memastikan bahwa diplomat negara yang bekerja di negara lain tidak akan didiskriminasi. Perjanjian diplomatik ini diperluas dengan menambahkan pajak penghasilan di awal Abad ke 20.

Sementara itu, Darussalam memberikan ringkasan perkembangan tax treaty model sebagai berikut:

Setelah Perang Dunia I, ekonomi dunia meningkat pesat. Khususnya di Eropa yang saat itu menjadi pusat ekonomi dunia. Orang kaya makin banyak, sehingga banyak yang memiliki usaha di beberapa negara. Dan masing-masing negara mengenakan pajak penghasilan. Akibatnya, perusahaan besar yang usahanya antar negara dikenakan pajak 2 kali atau lebih.

Grafik ekonomi dunia dalam 2000 tahun.

Karena itu, mucul muncul P3B agar pengusaha tidak dikenakan pajak ganda. Karena waktu itu pusat ekonomi berada di Eropa, maka P3B juga pertama kalinya berada di negara-negara Eropa.

P3B itu ditujukan untuk menghilangkan pajak ganda. Tetapi aturan masing-masing P3B tidak seragam. Tentu saja karena namanya perjanjian (treaty) ada perundingan dan negosiasi. Makanya P3B itu secara umum mirip, tapi banyak coraknya.

Akibat banyak corak tersebut, maka ada orang yang memanfaatkan kelemahan (loopholes) P3B. Perusahaan besar banyak memanfaatkan P3B dengan tujuan menghindari pajak. Hal ini disebut treaty shopping.

Treaty shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut.

Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai treaty shopping jika:

  1. Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
  2. Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
  3. Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner atau BO), khusus untuk penghasilan yang pasal dalam tax treaty-nya memuat klausul BO.

Celah P3B dan treaty shopping ini tentu saja menguntungkan perusahaan tetapi merugikan negara. Ya, negara sama sekali tidak mendapatkan pajak, baik negara sumber maupun negara domisili. Kondisi ini disebut double non taxation. Karena itu, topik otoritas pajak dunia saat ini sebenarnya lebih maju, bukan hanya P3B tetapi memerangi double non taxation melalui Global Forum.

Tata Cara Penerapan P3B

Wajib Pajak Dalam Negeri (Indonesia) yang melakukan transaksi dengan mitra bisnisnya di Luar Negeri dapat memanfaatkan aturan P3B. Aturan P3B seperti fasilitas, bisa digunakan dan bisa tidak digunakan.

Tetapi dalam hal akan menggunakan P3B, harus diperhatikan syarat-syaratnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka penggunaan P3B tidak berlaku. Artinya ketentuan yang berlaku kembali ke Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai aturan domestik.

Tata cara penerapan P3B diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018. Berdasarkan PER-25/PJ/2018, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan syarat:

  1. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  2. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  4. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.

Syarat pertama, penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri. Tentu saja penerima penghasilan harus subjek pajak luar negeri. Jika penerima penghasilan masih subjek pajak dalam negeri maka berlaku Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Syarat kedua, bahwa penerima penghasilan merupakan penduduk negara mitra. Artinya, sudah ada P3B antara Indonesia dengan negara dimana penerima penghasilan berdomisili. Jika belum ada perjanjian dengan negara tersebut, terus P3B mana yang dapat digunakan?

Di perpajakan, bukti subjek pajak terdaftar di negara tertentu dibuktikan dengan Certificate of Residence (CoR), atau Certificate of Domicile (CoD). Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B. CoR seperti KTP (kartu tanda penduduk) di Indonesia.

Syarat kedua juga mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri mengisi form DGT :

Form DGT ini harus diisi benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani. Form DGT harus disahkan oleh Competent Authority. Competent Authority adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Tetapi, CoR berfungsi juga sebagai pengesahan form DGT oleh Competent Authority. Jadi, jika ada CoR tidak perlu lagi pengesahan form DGT.

Contoh Certificate of Residence dari 
 Negara Inggris

Contoh SKD dari Amerika Serikat

Terakhir, jangan lupa untuk unggah form DGT ke eSKD di pajak.go.id

Lampiran SPT PPh Pasal 26 cukup dengan tanda terima dari eSKD ini.

Syarat ketiga, tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Syarat ini mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri memiliki :

  1. Substansi ekonomi yang valid,
  2. Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi,
  3. Manajemen mengelola usaha sendiri dan wewenangnya cukup,
  4. Aset yang cukup sesuai dengan profil usaha,
  5. Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
  6. Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.

Serta tidak terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B antara lain: pengurangan beban pajak; dan/atau tidak dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non taxation), yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.

Syarat keempat, Wajib Pajak Luar Negeri yang akan menggunakan P3B tertentu merupakan Beneficial Owner (BO). Beneficial Owner adalah pemilik dan/atau penerima manfaat sebenarnya atas penghasilan.

Ciri-ciri WPLN sebagai BO yaitu :

  1. tidak bertindak sebagai Agen, Nominee atau Conduit
  2. mempunyai kendali atas asset,
  3. tidak lebih dari 50% penghasilan digunakan memenuhi kewajiban kepada pihak lain,
  4. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban, dan
  5. tidak mempunyai kewajiban tertulis maupun tidak tertulis meneruskan sebagian/seluruh penghasilan dari Indonesia kepada pihak lain.

Struktur P3B

P3B adalah perjanjian dua negara. Karena yang berjanji adalah negara, maka kekuatan hukumnya diatas undang-undang berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.

Walaupun demikian, P3B tidak menggantikan Undang-Undang PPh. P3B hanya mengurangi hak pemajakan antar negara. Contoh, tarif PPh Pasal 26 di Undang-Undang PPh sebesar 20%. Tetapi dengan P3B menjadi 10%. Maka aturan yang dipakai adalah P3B.

Sebaliknya, jika Undang-Undang PPh tidak mewajibkan pemotongan atas jenis penghasilan tertentu, sedangkan di P3B diatur tarif tertentu, maka Indonesia tidak memotong PPh atas jenis penghasilan tertentu.

Karena itu perlu dipahami, jenis-jenis penghasilan apa saja yang diatur di P3B dan jenis penghasilan apa yang diatur di Undang-Undang PPh. Berikut ini struktur pengaturan P3B berdasarkan P3B Indonesia dengan Amerika Serikat. Ini contoh saja.

Pasal 1 Personal Scope
Pasal 2 Taxes Covered
Pasal 3 General Definitions
Pasal 4 Fiscal Residence
Pasal 5 Permanent Establishment
Pasal 6 Income From Immovable (Real) Property
Pasal 7 Source Of Income
Pasal 8 Business Profits
Pasal 9 Shipping And Air Transport
Pasal 10 Related Persons
Pasal 11 Dividends
Pasal 12 Interest
Pasal 13 Royalties
Pasal 14 Capital Gains
Pasal 15 Independent Personal Services
Pasal 16 Dependent Personal Services
Pasal 17 Artistes And Athletes
Pasal 18 Government Service
Pasal 19 Students And Trainees
Pasal 20 Teachers And Researchers
Pasal 21 Private Pensions And Annuities
Pasal 22 Social Security Payments
Pasal 23 Relief From Double Taxation
Pasal 24 Non-Discrimination
Pasal 25 Mutual Agreement Procedure
Pasal 26 Exchange Of Information
Pasal 27 Diplomatic And Consular Officers
Pasal 28 General Rules Of Taxation
Pasal 29 Assistance In Collection
Pasal 30 Entry Into Force
Pasal 31 Termination

Contoh tax treaty model 2017 dari OECD :

Tax treaty model merupakan model perjanjian atau contoh perjanjian di bidang pajak yang akan jadi acuan dua negara (bilateral) yang berunding. Tetapi contoh ini tidak mengikat, artinya masing-masing negara yang berunding bebas menggunakan model aturan yang akan diterapkan.

Negara Domisili dan Negara Sumber

Negara domisili adalah negara di mana Wajib Pajak berdomisili atau berkantor pusat. Negara sumber adalah negara asal penghasilan. Contoh, perusahaan di Indonesia membayar royalti ke perusahaan yang berkantor di negara Jepang. Artinya Indonesia sebagai negara sumber, sedangkan Jepang sebagai negara domisili.

Pada dasarnya suatu tax treaty (P3B) adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:
  2. Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan.
  3. Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:

Contoh jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan:

  • penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
  • penghasilan immovable property.
  • penghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treaty
  • penghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises).
  • penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah-ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain.
  • imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.

Contoh jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan adalah bunga, dividen dan royalti.

Contoh jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber yaitu:

  • penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
  • capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property
  • pensiunan
  • business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
  • penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
  • penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif, (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii) balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.

Active Income dan Passive Income

Selanjutnya, hal penting yang harus dipahami para pembelajar P3B adalah jenis penghasilan. Setiap pasal mengatur jenis penghasilan tertentu dengan aturan tertentu. Jenis penghasilan tertentu biasanya ditentukan negara mana yang berhak memajaki.

Tetapi untuk memudahkan, jenis-jenis penghasilan dapat digolongkan dalam 3 golongan, yaitu:

  1. Active Income,
  2. Passive Income, dan
  3. Other Income.

Active income merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Umumnya (secara pasti harus cek di masing-masing P3B), active income dikenakan pajak di negara domisili. Negara sumber berhak memajaki jika terdapat Permanent Establishment.

Active income adalah penghasilan dari business profit. Selain business profit pada umumnya, termasuk dalam active income yaitu : shipping, inland waterways transport and air transport, independent personal services, dependent personal services, directors, entertainer and sport person, government services, dan student.

Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari harta, baik harta berwujud maupun tidak berwujud. Umumnya, passive income dikenakan pajak di negara domisili dan negara sumber.

Tarifnya sudah ditentukan di P3B. Karena itu biasa disediakan tabel tarif pemotongan di negara sumber. Termasuk passive income yaitu penghasilan dari immovable property, divident, interest, royalty, capital gains, pensions.

Other income yaitu penghasilan yang tidak termasuk di dua golongan diatas.

Contoh tabel tarif pemotongan di negara sumber untu jenis penghasialn dividen, bunga, dan royalti:

Shall be Taxable Only dan May be Taxed

Pembagian hak pemajakan di P3B bisa juga dilihat dari kata-kata yang digunakan di setiap pasal P3B. Ya, karena pada dasarnya perjanjian dimulai dengan negosiasi, sebelum ditanda tangani. Saat negosiasi, disepakati kata-kata (terminologi) mana yang akan dipakai.

Terminologi shall be taxable only untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada negara domisili. Artinya, negara sumber tidak memiliki hak untuk memajaki berdasarkan P3B. Walaupun demikian, bisa jadi ada pengecualian dengan syarat tertentu.

Terminologi may be taxed digunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas penghasilan tersebut diberikan kepada negara domisili dan negara sumber.

Darussalam memberikan ringkasan pasal-pasal yang menggunakan terminologi shall be taxable only dan may be taxed. Berikut salinannya.

Jenis-jenis penghasilan yang biasanya menggunakan terminologi shall be taxable only :

Jenis-jenis penghasilan yang biasanya negara domisili memiliki hak pemajakan (menggunakan terminologi may be taxed) :

Permanent Establishment

Permanent Establishment (PE) dalam P3B diartikan sebagai hak pemajakan negara sumber. Beberapa pasal P3B mensyaratkan terpenuhinya P3B agar negara sumber dapat mengenakan pajak penghasilan.

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Pasal 5 ayat (1) OECD model 2017

Kata kunci PE adalah fixed place of business. Menurut Rachmanto Surahmat, PE memiliki tiga syarat, yaitu:

  1. adanya tempat usaha berupa prasaran, seperti gedung atau dalam hal-hal tertentu mesin dan peralatan,
  2. tempat usaha ini harus bersifat tetap, dan
  3. kegiatan usaha dilakukan melalui tempat tetap ini.

Istilah place of business mencakup setiap tempat, fasilitas atau instalasi yang digunakan untuk menjalankan bisnis perusahaan baik digunakan secara eksklusif untuk tujuan itu maupun tidak. Tidaklah penting apakah tempat, fasilitas atau instalasi dimiliki atau disewa oleh perusahaan.

Cakupan Pasal BUT di P3B

Istilah through which harus diberi arti yang luas agar dapat diterapkan pada setiap kegiatan bisnis dilakukan di lokasi tertentu yang dapat digunakan oleh perusahaan. Jadi, misalnya, suatu badan usaha yang bergerak di bidang pengaspalan jalan akan dianggap menjalankan usahanya melalui lokasi tempat kegiatan tersebut berlangsung.

Fixed secara umum diartikan tetap di titik geografis tertentu. Contoh yang paling mudah seperti kantor, gudang, dan tambang. Tetapi untuk peralatan, fixed juga diartikan jika berada di tempat tertentu. Tidak harus menancap ke bumi.

Keberadaan Wajib Pajak Luar Negeri tidak harus memiliki kantor. Orang yang disuruh atau menerima perintah dari perusahaan di Luar Negeri baik berstatus pegawai maupun agen tidak bebas (dependent agent) dapat dalam pengertian PE. Mungkin orang ini tinggal di hotel dan bekerja di mitra bisnisnya. Keberadaan orang ini biasanya akan diuji dengan time test.

A building site or construction or installation project constitutes a permanent stablishment only if it lasts more than twelve months.

Pasal 5 ayat (3) OECD model 2017

Proyek konstruksi dan jasa teknis biasanya harus lulus time test agar bisa disebut PE. Di OECD model 2017 diatas time test minimal 12 bulan. Ini karena OECD lebih banyak merepresentasikan negara maju yang biasanya tempat negara domisili.

Sebaliknya bagi negara berkembang, time test yang dikehendaki justru lebih pendek. Semakin singkat time test berarti kesempatan untuk mengenakan pajak atas kegiatan tersebut semakain besar.

Sebagai contoh : dalam hal konstruksi, negara berkembang cenderung untuk tidak menerapkan tes waktu sama sekali dengan alasan : proyek konstuksi, instalasi, dan perakitan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat; masa hadirnya personel dari perusahaan asing tersebut tidak relevan dengan penyelesaian proyek.

Berikut daftar time test berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra yang saya salin dari aplikasi TKB :

Perhitungan time test konstruksi dimulai pada saat kontraktor mempersiapkan dan memulai pekerjaannya di negara tempat dilakukannya pembangunan. Termasuk pekerjaan persiapan yaitu mendirikan bangunan untuk keperluan perencanaan.

Proyek tersebut dianggap terus berlangsung sampai pekerjaan selesai atau ditinggalkan untuk seterusnya. Proyek tidak dianggpa berhenti ketika pekerjaan tersebut diberhentikan sementara. Penghentian sementara bisa disebabkan oleh kurangnya bahan bangunan, kesulitan buruh, atau cuaca yang tidak mendukung.

Apabilan kontraktor luar negeri membagi proyek dengan subkontraktor dalam negeri, maka penghitungan time test meliputi semua pekerjaan dengan subkontraktor. Tetapi jika subkontraktor berasal dari luar negeri, maka subkontraktor dapat dianggap mempunyai PE jika kegiatan subkontraktor melewati time test.

Jika kontraktor luar negeri memiliki beberapa proyek di Indonesia, maka penghitungan time test harus dihitung proyek per proyek. Penghitungan waktunya harus terpisah antara proyek A dengan proyek B, dan seterusnya.

Pasal 5 ayat (4) OECD model mengatur pengecualian PE dalam P3B. Pengecualian ini banyak dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk penghindaran pajak. Kantor pusat di luar negeri mendesaian kantor cabang di Indonesia supaya masuk kriteria pengecualian ini sehingga tidak memiliki PE.

Namun demikian, harus diperhatikan istilah semata-mata atau solely for the purpose. Sebagai contoh, “the use of facilities solely for the purpose of storage, display or delivery of goods or merchandise belonging to the enterprise“. Wajib Pajak mengatakan bahwa kantor di Indonesia hanya untuk display atau contoh. Bukan stok untuk jualan. Padahal, selain display, kantor tersebut juga memiliki fungsi sebagai marketing. Sehingga bukan solely for purpose of display.

Kata kunci pengecualian PE di Pasal 5 adalah kegiatan yang bersifat preparatory or auxiliary. Belum ada penjualan, atau tidak menghasilkan. Karena bersifat persiapan, maka sulit untuk mengalokasikan keuntungan apapun ke PE.

Kuncinya, seberapa penting kegiatan di negara sumber. Contoh adanya PE di Indonesia tanpa ada penjualan di Indonesia. Contoh ini modifikasi dari contoh di paragrap 68 Commentary OECD model :

RCO perusahaan di Singapura mendirikan kantor pembelian di Indonesia. RCO membeli produk pertanian di Indonesia. Karyawan RCO di Indonesia punyak keahlian tentang produk pertanian yang sesuai dengan standar internasional. Dan melakukan kontrak pembelian. Meskipun satu-satunya aktivitas yang dilakukan RCO di Indonesia hanya pembelian, tetapi kantor tersebut merupakan PE karena fungsi pembelian merupakan suatu hal yang esensial dan bagian penting dari keseluruhan aktivitas RCO.

Jadi, kegiatan kantor perusahaan asing di Indonesia dapat ditetapkan sebagai PE di Indonesia jika terdapat kegiatan yang melampaui preparatory or auxiliary.

Pasal 5 ayat (5) dan ayat (6) OECD Model 2017

Contoh yang diberikan di SE-52/PJ/2021 sebagai berikut:

ABC Ltd. memiliki pengurusan suatu tempat usaha di Indonesia yang digunakan untuk melakukan administrasi pengiklanan atas barang hasil produksinya. Jika tempat usaha tetap ini digunakan semata-mata untuk tujuan administrasi pengiklanan barang hasil produksinya sendiri, maka tempat usaha tetap ini tidak dianggap sebagai suatu BUT. Namun, jika tempat usaha tetap ini selain melakukan administrasi pengiklanan barangnya sendiri juga melakukan administrasi pengiklanan untuk barang atau jasa milik perusahaan lain, maka tempat usaha tetap ini dianggap merupakan BUT bagi ABC Ltd

ABC Ltd. yang bergerak di bidang penjualan secara daring (online) memiliki gudang yang berukuran besar di Indonesia dan mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar untuk mengurusi penyimpanan barang di gudang tersebut. Kegiatan penyimpanan ini tidak dapat dianggap sebagai kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang dikarenakan kegiatan tersebut merupakan bagian yang esensial dan signifikan dari kegiatan perusahaan tersebut secara keseluruhan.

ABC Ltd. memiliki tempat usaha tetap di Indonesia yang digunakan untuk melakukan pembelian komoditas hasil pertanian berupa tembakau untuk kemudian dijual ke negara lain. ABC Ltd. mempekerjakan beberapa pegawai yang memiliki pengalaman dan pengetahuan akan kualitas dan kelas (grade) tembakau sesuai dengan standar dan permintaan pasar internasional. Para pegawai ini juga menyelesaikan proses transaksi dengan petani atau pedagang pengumpul di Indonesia. Dalam hal ini, kegiatan pembelian yang dilakukan oleh ABC Ltd. melalui tempat usaha tetap di Indonesia tidak termasuk dalam kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang karena merupakan bagian dari kegiatan esensial dan signifikan bagi ABC Ltd. secara keseluruhan.

Suatu perusahaan harus diperlakukan memiliki PE di suatu Negara jika dalam kondisi tertentu terdapat seseorang yang bertindak untuknya, walaupun perusahaan tersebut mungkin tidak memiliki kantor di Negara itu. Hal ini disebut BUT keagenan.

PE agen adalah PE yang dilakukan oleh agen tidak bebas. Agen terdapat dua jenis, yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Syarat seseorang dapat disebut agen tidak bebas:

  1. seseorang bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan atas nama (on behalf) suatu perusahaan;
  2. dalam melakukannya, orang tersebut biasanya membuat kontrak, atau biasa memainkan peran utama yang mengarah pada penyelesaian kontrak, dan
  3. kontrak-kontrak tersebut atas nama perusahaan atau untuk pengalihan kepemilikan, atau untuk pemberian hak untuk menggunakan.

Dalam bahasa lain, dalam buku Pajak Internasional, DJP menyebut syarat agen tidak bebas yang dapat dikenai PE yaitu:

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara. 
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Dulu, Prof. R. Mansyuri pernah menyebutkan bahwa agen bebas itu seperti komisioner di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Setelah saya cek, komisioner diatur di Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Bunyinya seperti ini:

Komisioner adalah orang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas order dan atas beban pihak lain

Sementara istilah agen yang diatur di Peraturan Menteri Perdagangan lebih tepat disebut agen tidak bebas:

agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006

Agen bebas (independen) biasanya akan bertanggung jawab kepada prinsipal atas hasil pekerjaannya. Dia tidak akan tunduk pada instruksi rinci dari prinsipal mengenai pelaksanaan pekerjaan.

Suatu Orang yang bertindak sebagai agen hanya dapat dianggap independen jika:

  1. agen tersebut independen terhadap perusahaan yang diwakilinya secara hukum dan ekonomis,
  2. agen tersebut bertindak dalam rangka menjalankan usaha rutinnya sendiri ketika bertindak atau melaksanakan kegiatan atas nama perusahaan.

Suatu agen dianggap tidak independen secara hukum jika ia bertindak berdasarkan instruksi detil dari suatu perusahaan sehubungan dengan kegiatan usahanya atau dikendalikan secara komprehensif oleh suatu perusahaan.

Suatu agen dianggap tidak independen secara ekonomis jika:

  1. agen tersebut tidak menanggung risiko usaha atau menanggung risiko yang tidak signifikan atas kegiatan usahanya;
  2. kegiatan agen tersebut dilakukan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya untuk satu perusahaan; atau
  3. agen tersebut bertindak atau melaksanakan kegiatan untuk satu perusahaan dan dengan demikian hanya mempunyai satu sumber penghasilan.

Teorinya, perusahaan dapat dikenai PE karena 4 sebab, yaitu : aset (fixed place of business), aktivitas (konstruksi, perakitan, instalasi, aktivitas supervisi, dan kegiatan jasa), agen tidak bebas, dan asuransi.

OECD model menyerahkan PE asuransi berdasarkan Pasal 5 terutama terkait agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan PE bagi usaha asuransi.

Menurut UN model, bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai PE apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang agen tidak bebas.

P3B Indonesia yang mengatur khusus asuransi diantaranya P3B Indonesia dengan : Aljazair, Amerika Serikat, Austria, Belanda, Brunei Darussalam, Ceko, Denmark, Filipina, Finlandia, Hongaria, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Utara, Korea Selatan, Kuwait, Luxembourg, Maroko, Mesir, Meksiko, Mongolia, Norwegia, Pakistan, Perancis, Polandia, Romania, Rusia, Singapura, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Thailand, Tiongkok (China), Tunisia, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yordania.

Terakhir, Prof R Mansyuri memberikan kesimpulan tentang PE sebagai berikut:

  • kriteria umum : tempat tetap;
  • contoh-contoh tempat tetap yang merupakan BUT seperti cabang, kantor, pabrik, tambang, dan lain-lain;
  • perluasan pengertian BUT kepada tempat pembangunan gedung dan kegiatan usaha lainnya yang melampaui time test;
  • warehouse yang juga dipakai untuk menyerahkan barang atau barang dagangan dalam memenuhi penjualan di negara sumber dianggap BUT;
  • hanya agen tidak bebas yang dianggap BUT;
  • agen perusahaan asuransi di negara sumber dapat dianggap BUT jika agen tersebut mengutip premi di nengara sumber atau menanggung resiko yang terletak di negara sumber dan agen tersebut merupakan agen tidak bebas;
  • agen bebas tidak dapat dijadikan dasar adanya BUT;
  • pengusaan perseroan oleh perseroan lainnya tidak dapat dipakai sebagai dasar adanya BUT.

Berikut video penjelasan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diunduh dari KLC BPPK Kementerian Keuangan. Karena tidak bisa “disematkan”, akhirnya saya unduh dari KLC dan unggah di sini:

Income From Immovable Property

Income from immovable property di OECD model diatur di Pasal 6. Pasal ini mengatur pemajakan atas penghasilan yang berasal dari aset tidak bergerak.

Income derived by a resident of a Contracting State from immovable property (including income from agriculture or forestry) situated in the other Contracting State may be taxed in that other State

Pasal 6 ayat (1) OECD Model 2017

Menurut DJP, seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.

Cakupan Pasal 6 Penghasilan dari Harta Tak Bergerak di P3B

Electronic Commerce

OECD model 2017 masih merekomendasikan bahwa pengenaan transaksi e-Commerce dilakukan di mana server berada. Server tempat situs web disimpan dan yang melaluinya dapat diakses adalah sebuah peralatan yang memiliki lokasi fisik dan lokasi tersebut dengan demikian dapat menjadi PE dari perusahaan yang mengoperasikan server tersebut.

Jika suatu perusahaan mengoperasikan peralatan komputer di lokasi tertentu, suatu PE mungkin ada meskipun tidak ada personel dari perusahaan tersebut yang diperlukan di lokasi tersebut untuk pengoperasian peralatan tersebut. Keberadaan personel tidak diperlukan. Kesimpulan ini berlaku untuk perdagangan elektronik.

Karena itu, di Perpu No 1 tahun 2020 Indonesia membuat pajak jenis baru. Namanya Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Subjek Pajak Luar Negeri yang memanfaatkan P3B Indonesia sehingga tidak dapat dikenai Pajak Penghasikan, maka Indonesia mengenakan pajak transaksi elektronik.

Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik

Pasal 6 ayat (8) Perpu 1 Tahun 2020

Namun, pengenaan PTE masih menunggu kesepakatan Global Forum. Global Forum berencana mengenakan PPh atas transaksi e-Commerce berdasarkan pillar one atau pillar two. Rencana semula akan disepakati akhir tahun 2020. Ternyata digeser ke pertengahan tahun 2022.

PwC telah merangkum blueprint pillar one dan pillar two. Berikut rangkumannya:

  • The Blueprints menunjukkan bahwa kemajuan teknis telah dicapai dalam menyetujui arsitektur perantara dari rencana tersebut.
  • Elemen signifikan dari kedua kerangka kerja Pilar masih harus diselesaikan, seperti cakupan Jumlah dan tarif realokasi berdasarkan Pilar Satu, dan tarif pajak minimum dan ‘daftar putih’ dari rezim yang dianggap patuh berdasarkan Pilar Dua.
  • Analisis dampak ekonomi yang diperbarui menyatakan bahwa laba yang dialokasikan kembali ke yurisdiksi pasar dapat mencapai hingga USD 100 miliar setiap tahun di bawah Pilar Satu, dan pendapatan baru yang diperoleh di bawah Pilar Dua bisa berada pada kisaran USD 60-100 miliar per tahun.
  • Posisi AS dalam negosiasi tetap tidak pasti.

Mengutip dari laman Pertapsi, Unified Approach (Pillar one) merupakan usulan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Hal tersebut dilakukan melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik.

Pillar One menawarkan hak pemajakan baru dengan memperkenalkan pembaruan terhadap alokasi profit dan konsep nexus baru. Perusahaan multinasional (MNE) yang memiliki peredaran bruto global di atas €20 miliar dan profitabilitas di atas 10% masuk dalam ruang lingkup ini. Alokasi hak hemajakan diberikan kepada yurisdiksi pasar ketika MNE memiliki peredaran bruto lebih atau sama dengan €1 juta dari yurisdiksi pasar terkait. Nilai yang dialokasikan adalah sejumlah 25% dari residual profit (laba yang melebihi 10% dari penghasilan).

Sedangkan Pillar Two yang juga dikenal sebagai “Global Minimum Tax, merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global untuk melindungi basis pajak. Pilar Two ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).

Pillar Two bertujuan untuk menegakkan pajak penghasilan perusahaan minimum global dengan tingkat efektif sebesar 15%, dihitung berdasarkan masing-masing yurisdiksi. Ini akan berlaku untuk perusahaan multinasional (MNE) yang memenuhi ambang batas EUR 750 juta yang ditentukan berdasarkan peraturan Country-by-Country, tetapi ambang batas yang lebih rendah dapat diterapkan atas kebijakan negara-negara pelaksana.

Pillar Two terdiri dari sejumlah tindakan yang memberikan hak untuk memungut pajak kepada yurisdiksi induk grup utama dan yurisdiksi entitas yang melakukan pembayaran antargrup ke perusahaan-perusahaan grup dengan tarif pajak rendah atau yurisdiksi yang mendukungnya.

Business Profits

Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits that are attributable to the permanent establishment in accordance with the provisions of paragraph 2 may be taxed in that other State.

Pasal 7 ayat (1) OECD Model 2017

Pasal ini mengalokasikan hak-hak pemajakan sehubungan dengan laba usaha suatu perusahaan dari suatu Negara. Penghasilan usaha dari suatu perusahaan hanya akan dikenakan di negara domisili. Negara sumber memiliki hak mengenakan pajak hanya sebatas penghasilan PE di negara sumber.

Cakupan Pasal 7 Penghasilan dari Usaha

Penghasilan yang dikenakan di negara sumber pada dasarnya ada 2 jenis penghasilan, yaitu:

  • attribution principel, dan
  • force of attraction principle.

Attribution principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh PE saja. Atau penghasilan yang didapat melalui PE tersebut. Prinsip atribusi ini diatur juga di Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.

Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;

Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.

Force of attraction principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari penghasilan kantor pusat tetapi penghasilan tersebut terkait dengan penghasilan PE. Atau Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis atau sama dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh PE di Indonesia.

Jadi kunci force of attraction principle adalah sama atau jenis, antara PE di negara sumber dengan pusat di negara domisili. Baik barang, kegiatan, atau jasa yang dilakan.

Menurut Rachmanto Surahmat, biasanya ada kompromi di force of attraction seperti di P3B dengan Jerman. Kompromi yang dimaksud adanya syarat pengenaan force of attraction, yaitu:

  • transaksi tersebut sengaja dialihkan dari PE dengan tujuan untuk mengindarkan pajak di negara sumber, dan
  • PE yang bersangkuta ikut campur tangan dalam transaksi tersebut.

Selain force of attraction, satu lagi istilah dalam PE yaitu effectively connected. Tentang hal ini, saya kutip penjelasan dari Undang-Undang PPh (cetak miring di bawah ini):

Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.

Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.

Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

Berikut ringkasan P3B Indonesia dengan negara mitra terkait Business Profits:

Branch Profit Tax

Branch Profit Tax adalah pajak yang dikenakan atas laba bersih setelah pajak BUT (PE). Branch profit tax (BTP) setara dengan pemajakan atas penghasilan dividen. Negara sumber mengenakan pajak atas dividen yang diterima perusahaan induk di luar negeri.

withholding tax atas dividen versus branch profit tax BUT

Indonesia menganut pemajakan atas laba bersih BUT. Kebanyakan P3B Indonesia dengan negara mitra mencantumkan klausul tetang BTP. Ketentuan BTP biasanya ada di pasal dividen. Contoh P3B Indonesia dengan United Arab Emirate:

Notwithstanding any other provisions of this Agreement, where a company which is a resident of a Contracting State has a permanent establishment in the other Contracting State, the profits of the permanent establishment may be subjected to an additional tax in that other State in accordance with its law, but the additional tax so charged shall not exceed 5% (five percent) of the amount of such profits after deducting therefrom income tax and other taxes on income imposed thereon in that other State

Pasal 10 ayat (7) P3B Indonesia – UAE

Berikut daftar tarif Branch Profit Tax berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra:

International Shipping And Air Transport

Pada umumnya, pengenaan pajak atas transaksi pelayaran dan penerbangan internasional berada di negara domisili.

Profits of an enterprise of a Contracting State from the operation of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in that State.

Pasal 8 ayat (1) OECD Model 2017

Tidak diberikannya hak pemajakan kepada negara sumber didasari pemikian bahwa laba dari perusahaaan yang menjalankan kegiatan pelayaran atau penerbangan diperoleh di laut lepas atau di udara sehingga pemberian hak pemajakan kepada neara sumber dapat menimbulkan pajak berganda atau dapat menimbulkan kesultan dalam pengalokasian laba.

Tetapi dalam penerapannya, beberapa P3B memberikan hak pemajakan atas perusahaan pelayaran internasional ke negara sumber dengan ketentuan khusus. Seperti, pemotongan 50% pajak.

Profits from sources within a Contracting State derived by an enterprise of the other Contracting State from the operation of ships in international traffic may be taxed in the first-mentioned State, but the tax imposed shall be reduced by an amount equal to 50% there of.

Pasal 8 ayat (1) P3B Indonesia dengan Austria

Cakupan moda transportasi adalah kapal (ship, dan boat) atau pesawat (aircraft). Perbedaan penggunaan moda transportasi tidak berdasarkan bentuk legalnya. Namun lebih kepada kebiasaan penggunaan istilah.

Berikut ketentuan P3B untuk penerbangan internasional dan pelayaran internasional:

Dividends, Interest, Royalties

Di tax treaty OECD model, pengaturan dividen di Pasal 10, bunga di Pasal 11, dan Royalti di Pasal 12. Saya menggabungkan dalam satu subjudul karena banyak kesamaan, seperti hak pemajakan di negara sumber (Indonesia lebih banyak sebagai negara sumber) dibatasi tarifnya.

Pasal 10, 11, dan 12 P3B

Dividen adalah pembagian keuntungan kepada pemegang saham perseroan yang modalnya terbagi atas saham. Apapun bentuk usahanya, jika modalnya terbagi atas saham dan terdapat pembagian keuntungan maka keuntungan tersebut disebut dividen.

Apabila perseoran terbatas (WPDN Indonesia) membagikan dividen kepada Wajib Pajak luar negeri (bisa Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan) yang memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka baik Indonesia maupun negara lain treaty partner tersebut sama-sama memiliki hak memajaki.

Contoh pembayaran dividen ke Luar Negeri:

PT ABC, yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) di Indonesia, membayarkan dividen kepada XYZ Ltd yang merupakan SPDN Negara Mitra P3B. Berdasarkan Pasal 10 P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut, atas penghasilan berupa dividen tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.

Istilah “paid’ atau “dibayarkan” yang digunakan memiliki arti yang luas, yaitu bahwa pembayaran merupakan pemenuhan kewajiban untuk menempatkan sejumlah dana atau uang untuk pemegang saham berdasarkan tata cara yang telah disepakati dalam kontrak atau cara yang umum.

Istilah ini tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan saat terutang suatu pajak atas penghasilan berupa dividen. Ketentuan mengenai saat suatu penghasilan terutang pajak sepenuhnya tergantung kepada peraturan perundang-undangan domestik masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan.

Bunga adalah penghasilan karena jaminan pengembalian pinjaman. Seperti dividen, penghasilan bunga lazimnya dikenai pada sumbernya dengan cara dipotong (withholding tax).

Definisi bunga umumnya merujuk pada penghasilan yang berasal dari klaim utang dalam bentuk apapun, baik yang dijamin dengan hipotik atau tidak, dan baik yang berhak atas bagian laba debitur atau tidak. Termasuk dalam definisi bunga, yaitu penghasilan dari simpanan atau surat berharga dalam bentuk kas, surat berharga, obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.

Bunga atas obligasi dengan hak partisipasi (participating bonds) umumnya tidak dianggap sebagai dividen dikarenakan karakter utama dari obligasi jenis ini adalah pemberian pinjaman yang diberikan imbalan dalam bentuk bunga.

Bunga atas obligasi konversi (convertible bonds) juga tidak dapat dianggap sebagai dividen sampai obligasi tersebut benar-benar dikonversi menjadi saham. Namun demikian, bunga obligasi dapat dianggap sebagai dividen jika pinjaman tersebut turut menanggung risiko yang dimiliki oleh debitur.

Pengertian bunga juga mencakup premium (premium) dan diskonto (discount) atau selisih antara jumlah yang dibayar oleh pemesan dengan nilai nominal atau nilai jatuh tempo suatu surat berharga utang

Dalam beberapa P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, terdapat pembayaran bunga yang dibebaskan dari pemajakan di Negara Sumber, antara lain:

  1. bunga yang dibayarkan kepada pemerintah atau institusi pemerintah;
  2. bunga yang dijamin oleh pemerintah atau institusi pemerintah; dan
  3. bunga yang dibayarkan kepada bank sentral;
    Daftar institusi milik pemerintah dan bank sentral yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan kedua Negara Pihak dalam Persetujuan dari waktu ke waktu.

Namun, perlakuan atas bunga dapat berubah dari passive income menjadi business income apabila yang menerima bunga tersebut melakukan kegiatan usaha di negara sumber melalui suatu bentuk usaha tetap, dan bunga itu mempunya hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap tersebut.

Imbalan dalam bentuk royalti adalah pemberian hak untuk menggunakan suatu intelektual property, atau saya sering menyebut hak atas kekayaan intelektual (HAKI), yaitu pemilik harta tidak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pemakaian hak tersebut.

Frasa “tidak perlu ikut campur tangan” merupakan pembeda antara royalti dengan jasa teknik. Jasa teknik, atau technical assistance, merupakan pemberian jasa. Sebagaimana jasa pada umumnya, jasa teknik memiliki tanggung jawab atas pemberian jasa tersebut.

Royalti adalah pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta atas kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film bioskop atau film atau rekaman yang digunakan untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merk dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, maupun penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan Industri, komersial atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman dl bidang industri, komersial atau ilmu pengetahuan.

Istilah royalti juga meliputi pembayaran yang dilakukan berdasarkan lisensi maupun pembayaran yang wajib dilakukan oleh suatu pihak karena memperbanyak suatu barang secara tidak sah atau melakukan pelanggaran hak cipta.

Mayoritas P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra mengatur bahwa imbalan atas penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersial, atau ilmu pengetahuan termasuk dalam pengertian royalti.

Untuk tujuan pengelompokan sebagai royalti, pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk informasi terkait pengalaman di bidang industri, komersial, atau ilmu pengetahuan, yang belum dipatenkan dan tidak masuk dalam kategori hak kekayaan intelektual lainnya, ayat 3 merujuk pada konsep “know-how”.

Kontrak know-how merupakan kontrak di mana salah satu pihak setuju untuk memberikan informasi kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan pengetahuan khusus atau pengalaman pihak pertama yang tidak diketahui umum (unrevealed to the public) untuk kepentingannya sendiri.

Kontrak pemberian know-how tersebut berbeda dengan kontrak penyerahan jasa, di mana salah satu pihak menggunakan keahlian tertentu yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya.

Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan kedua kontrak tersebut, antara lain: dalam kontrak penyerahan know-how, satu pihak memberikan informasi yang harus dirahasiakan kepada pihak lain. Dalam kontrak penyerahan jasa, satu pihak menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya tanpa mentransfernya kepada pihak lain. Biasanya, dalam kontrak penyerahan know-how, pihak yang memberikan informasi tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi. Sedangkan dalam kontrak penyerahan jasa, pihak yang memberikan jasa dapat memiliki keterlibatan lain selain pemberian informasi, seperti melakukan penelitian, desain, pengujian, atau membayar pihak lain untuk melakukan kegiatan tersebut.

Selain kontrak tersebut di atas, terdapat juga kontrak yang di dalamnya berisi pemberian know-how dan jasa. Penentuan perlakuan perpajakan atas kontrak dimaksud dapat dilakukan dengan memisahkan bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how dan pemberian jasa.

Atas bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how, berlaku ketentuan Pasal 12, dan atas bagian kontrak yang merupakan pemberian jasa, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (Laba Usaha).

Akan tetapi, dalam hal salah satu bagian kontrak dimaksud merupakan tujuan utama kontrak tersebut secara keseluruhan dan bagian kontrak lainnya hanya bersifat penunjang dan tidak terlalu penting, maka ketentuan yang berlaku atas bagian kontrak yang bersifat utama diterapkan atas kontrak secara keseluruhan.

Imbalan jasa teknik adalah pembayaran untuk jasa manajerial, teknis, dan konsultansi. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu pengetahuan.

Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.

Sementara jasa konsultansi merupakan pemberian petunjuk, pertimbangan, atau nasihat profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.

Dengan demikian, pemberian jasa yang bersifat rutin dan tidak melibatkan penggunaan pengetahuan, keterampilan, atau keahlian khusus.

Pemberian jasa teknik juga tidak melibatkan transfer informasi yang termasuk dalam pengertian royalti. Royalti merupakan pembayaran untuk pemberian informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan informasi tersebut untuk kepentingannya. Berbeda dengan pemberian jasa teknik, umumnya pihak yang memberikan informasi tersebut tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi.

Capital Gain

Kebanyakan negara mengenakan pajak atas capital gain apabila terjadi realisasi. Dalam hal tertentu, penjualan yang belum direalisasikan dapat terjadi tetapi untuk keperluan pajak, dianggap sudah direalisasikan. Penentuan apakah penjualan sudah diralisasikan atau belum direalisasikan adalah tergantung pada undang-undang domestik masing-masing negara.

Pengenaan pajak atas keuntungan dari pengalihan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu BUT, yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang negara lain, termasuk keuntungan dari pengalihan BUT atau tempat tetap tersebut.

Keuntungan dari pengalihan harta gerak tersebut dapat dikenai pajak di Negara di mana BUT atau tempat tetap berada (Negara Sumber).

Harta gerak yang dimaksud adalah harta gerak yang berlokasi di mana pun sepanjang menjadi bagian kekayaan BUT, atau menjadi bagian suatu tempat tetap yang digunakan untuk menjalankan jasa perorangan independen.

Contoh: Karo Ltd. merupakan residen negara Singapura mempunyai BUT Karo di Indonesia. BUT Karo mempunyai harta gerak di negara Singapura dan di Indonesia. BUT Karo melakukan pengalihan harta gerak yang berada di Indonesia. Atas keuntungan pengalihan tersebut menjadi bagian dari kekayaan dari BUT Karo. Dengan demikian, keuntungan atas pengalihan harta dimaksud dapat dikenai pajak di Indonesia.

Istilah “harta gerak” juga berarti seluruh harta selain harta tak gerak, termasuk harta tak berwujud seperti goodwill, lisensi, dan sejenisnya. Keuntungan atas pengalihan harta tersebut dipajaki di mana BUT-nya atau di mana tempat tetap berada (Jasa Perorangan Independen).

Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State

Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State

Pasal 13 Capital Gain ayat (4)

Ayat 4 memberikan hak pemajakan kepada Negara Sumber atas keuntungan dari pengalihan saham pada suatu perseroan atau hak kepemilikan sejenis pada entitas lain yang asetnya atau hartanya sebagian besar terdiri dari harta tak gerak yang berada di Negara tersebut, jika dalam suatu waktu dalam 365 hari sebelum terjadinya pengalihan, saham atau hak kepemilikan sejenis tersebut memiliki nilai yang besarnya melebihi 50 persen secara langsung maupun tidak langsung dari keseluruhan nilai harta tak gerak yang dimiliki oleh perseroan, persekutuan, trust, maupun warisan.

Ayat 4 ini bertujuan, salah satunya, untuk mencegah penghindaran pajak atas keuntungan dari pengalihan harta tak gerak dengan cara membentuk sebuah perseroan yang berperan sebagai pemilik harta tak gerak.

Ayat 4 juga bertujuan agar pemajakan atas keuntungan dari pengalihan saham atau bentuk kepemilikan sejenis pada suatu perseroan atau bentuk entitas lainnya yang memperoleh sebagian besar nilainya dari harta tak gerak.

Contoh: Forco One Ltd. memiliki seluruh saham Forco Two Ltd., keduanya merupakan SPDN Negara A. Selanjutnya Forco Two Ltd. memiliki sebagian besar saham pada PT ABC yang merupakan SPDN Indonesia. Komposisi harta tak gerak PT ABC melebihi 50% dari total seluruh harta.

Indonesia memiliki P3B dengan Negara A yang salah satu klausulnya mengikuti klausul Pasal 13 ayat 4 di atas. Dalam hal ini, jika Forco One Ltd. mengalihkan sahamnya pada Forco Two Ltd. kepada pihak lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 aya4 ini, atas keuntungan dari pengalihan saham Forco Two Ltd. tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.

Independent Personal Service

Cakupan pengaturan jasa perorangan independen yang umumnya dikenal sebagai jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen. Pengertian jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen ini dapat dipersamakan dengan pengertian pekerjaan bebas yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor KUP.

Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

Dikecualikan dari pengaturan Independent Personal Service adalah kegiatan industrial dan komersial. Jasa profesional yang diberikan dalam suatu hubungan kerja juga dikecualikan dari cakupan Independent Personal Service, seperti dokter yang bekerja sebagai pegawai di bagian keselamatan kerja suatu perseroan. Dalam hal ini, ketentuan dalam Dependent Personal Serviceatas penghasilan yang diperoleh dokter tersebut dalam kapasitasnya sebagai pegawai.

Pengertian “jasa profesional” diilustrasikan melalui beberapa contoh seperti jasa profesional dalam bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, kegiatan pendidikan atau pengajaran, dokter, pengacara, insinyur, arsitek, dokter gigi dan akuntan.

Pemberian contoh tersebut hanya berupa penjelasan dan tidak bersifat tertutup atau membatasi (non-exhaustive) kegiatan yang dicakup dalam pengertian jasa profesional.

Pengertian jasa profesional tidak termasuk kegiatan industri dan komersial dan juga jasa profesional yang dilakukan dalam suatu hubungan kerja, misalnya seorang tenaga kesehatan yang bekerja sebagai petugas medis dalam pabrik. Kegiatan independen yang dilakukan oleh artis dan atlet tidak termasuk dalam pengertian Pasal ini, kegiatan independen .

Dependent Personal Service

Subject to the provisions of Articles 16, 18 and 19, salaries, wages and other similar remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment shall be taxable only in that State unless the employment is exercised in the other Contracting State. If the employment is so exercised, such remuneration as is derived therefrom may be taxed in that other State

Pasal 15 Dependen Personal Service ayat (1)

Pasal 15 mengatur mengenai pembagian hak pemajakan antara Negara Domisili dan Negara Sumber atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan.

Negara Sumber dalam konteks penerapan Pasal ini merupakan Negara tempat suatu pekerjaan dilakukan. Pasal 15 berlaku untuk imbalan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, termasuk pemberian natura atau kenikmatan (payment in kind) seperti opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.

Ayat 1 menyebutkan ketentuan umum Pasal 15, yakni, bahwa penghasilan dari pekerjaan hanya dapat dikenai pajak di Negara Domisili, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan di Negara Sumber.

Pekerjaan dianggap dilakukan di tempat di mana pegawai yang bersangkutan secara fisik berada sewaktu menjalankan pekerjaan yang atasnya penghasilan tersebut dibayarkan.

Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan dari pekerjaan jika:

  1. pegawai merupakan SPDN Negara Domisili; dan
  2. pegawai melakukan pekerjaannya di Negara Domisili.

Contoh: Tuan Candra yang merupakan SPDN Indonesia adalah seorang pegawai yang melakukan pekerjaannya di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia sebagai Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan tersebut, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan Tuan Candra di negara X, maka atas penghasilan tersebut dapat dipajaki di negara X.

Ayat 1 juga mengatur bahwa ketentuan Imbalan Direktur, Pensiun dan Imbalan Jaminan Sosial, dan Jasa Pemerintahan berlaku untuk penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang disebut dalam pasal-pasal tersebut. Misalnya, penghasilan berupa pensiun atau imbalan sejenis lainnya sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan di masa lampau.

Contoh2: Mr. Anand merupakan SPDN India yang bekerja pada X Corp., sebuah perusahaan berdomisili di India. Mr. Anand dikirim oleh perusahaan tersebut untuk melakukan pekerjaan di Indonesia dalam pada beberapa periode dalam tahun 202X. Berdasarkan P3B dengan India, penentuan hak pemajakan India dan Indonesia atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaannya sebagai pegawai dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Indonesia merupakan Negara Sumber, yaitu Negara tempat pekerjaan dilakukan sehingga memiliki hak pemajakan atas imbalan kerja yang diperoleh oleh Mr. Anand untuk pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut;
  2. India merupakan Negara Domisili, yaitu Negara di mana Mr. Anand menjadi SPDN sehingga juga berhak mengenakan pajak atas imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 P3B antara Indonesia dengan India;

Berdasarkan kondisi pada angka 1 dan angka 2 di atas berlaku ketentuan Pasal 15 ayat 1 sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, dapat dikenai pajak di Indonesia.

Namun, dalam hal:

  1. Mr. Anand berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam periode 12 bulan;
  2. imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut dibayarkan oleh pihak yang bukan merupakan SPDN Indonesia; dan
  3. imbalan tersebut tidak dibebankan pada BUT X Corp. yang berada di Indonesia, maka Indonesia, meskipun merupakan Negara Sumber, tidak dapat memajaki penghasilan yang diperoleh oleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya dl Indonesia karena semua kondisi yang terdapat pada ayat 2 terpenuhi.

Directors’ Fee

Directors’ fees and other similar payments derived by a resident of a Contracting State in his capacity as a member of the Board of Directors of a company which is a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.

Pasal 16 Directors Fees And Remuneration of Top Level Managerial Officials

Pasal 16 mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Direksi dan pegawai manajerial level atas sebuah perseroan yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan.

Pasal ini memberikan hak pemajakan kepada Negara Domisili anggota Dewan Direksi dan juga kepada Negara Sumber atau Negara Pihak dalam Persetujuan tempat di mana perseroan menjadi SPDN.

Negara Pihak dalam Persetujuan dapat mengenakan pajak atas imbalan yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang merupakan SPDN Negara tersebut kepada SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dalam jabatannya sebagai direktur perseroan tersebut.

Istilah “fees and other similar payments” meliputi seluruh pembayaran yang diterima oleh SPDN dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi suatu perseroan, misalnya opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.

Jika posisi manajemen level atas (top-level management) dalam suatu perseroan yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dijabat oleh Orang yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, maka penghasilan yang diterima oleh Orang tersebut akan dikenai pajak dengan prinsip pemajakan yang sama dengan pemajakan atas penghasilan yang diterima anggota Dewan Direksi.

Istilah “posisi manajemen level atas” merujuk pada kedudukan yang tanggung jawab utamanya berkaitan dengan pengarahan kebijakan umum suatu perseroan, yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh direktur perseroan. Istilah tersebut juga meliputi jabatan direktur yang merangkap sebagai manajer level atas.

Entertainers and Sportspersons


Notwithstanding the provisions of Articles 14 and 15, income derived by a resident of a Contracting State as an entertainer, such as a theatre, motion picture, radio or television artiste, or a musician, or as a sportsperson, from his personal activities as such exercised in the other Contracting State, may be taxed in that other State.

Pasal 17 Artistes And Sportpersons

Pasal ini mengatur mengenai pengenaan pajak di Negara Sumber atas penghasilan yang diterima sebagai seniman seperti artis teater, film, radio atau televisi, atau pemain musik atau sebagai atlet yang merupakan SPDN Negara Domisili dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka berkaitan dengan pertunjukan yang dilakukan di Negara Sumber tersebut.

Seniman dan atlet yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, tempat kegiatan atau pertunjukan dilakukan.

Contoh: Blu Erni Liv adalah seorang musisi yang merupakan SPDN Negara A dan mengadakan pertunjukan bagi para penggemarnya di Indonesia. Berdasarkan ketentuan ayat ini, penghasilan yang diterima oleh Blu Erni Liv dari pertunjukannya di Indonesia tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.

Other Income

Capital represented by immovable property referred to in Article 6, owned by a resident of a Contracting State and situated in the other Contracting State, may be taxed in that other State.

Ayat 1 menyebutkan bahwa harta berupa harta tak gerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (Penghasilan dari Harta Tak Gerak) yang dimiliki oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan terletak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.

Capital represented by movable property forming part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or by movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services may be taxed in that other State

Ayat 2 menyebutkan bahwa harta berupa harta bergerak yang merupakan bagian dari harta suatu BUT yang dimiliki oleh perusahaan suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan atau harta bergerak yang terkait dengan tempat tetap yang tersedia bagi SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan yang berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.

Capital represented by ships and aircraft operated in international traffic and by boats engaged in inland waterways transport, and by movable property pertaining to the operation of such ships, aircraft and boats, shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated

Ayat 3 menyebutkan bahwa hak pemajakan atas harta berupa kapal dan pesawat terbang yang dioperasikan pada jalur lalu lintas internasional, berupa perahu yang digunakan di jalur perairan darat, dan berupa harta gerak yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat terbang, dan perahu tersebut diberikan hanya kepada Negara di mana tempat kedudukan manajemen efektif perseroan berada.

Multilateral Instrument (MLI)

Multilateral Instrument, disingkat MLI, merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.

MLI dikembangkan oleh OECD sebagai bagian dari solusi otoritas pajak untuk menutup celah (loophole) di tax treaty. Mengubah satu tax treaty membutuhkan waktu yang lama. Perundingan tax treaty bisa lebih dari 2 tahun. Bandingkan jika ada 100 tax treaty!

MLI merupakan modifikasi tax treaty secara serentak, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.

Menteri Keuangan telah menandatangani MLI pada 7 Juni 2017 di Kantor Pusat OECD, Paris, Perancis.

Pada saat ditanda-tangani, terdapat 68 negara yang ikut menandatangani dan akan segera disusul 30 negara lain. Per 6 Oktober 2022, sudah ada 100 negara yang menandatangani MLI.

Dengan ikut MLI, artinya pemerintah Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan BUT dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.

Presiden Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 77 tahun 2019 sebagai syarat ambil bagian dalam program MLI. Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention To Implement Tax Treaty Related Measures To Prevent Base Erosion And Profit Shifting.

Surat Edaran Mengenai Multilateral Instrument (MLI) sampai dengan akhir 2021:

  1. Australia SE-05/PJ/2021
  2. Belanda SE-16/PJ/2021
  3. Belgia SE-09/PJ/2021
  4. Denmark SE-10/PJ/2021
  5. Finlandia SE-08/PJ/2021
  6. India SE-17/PJ/2021
  7. Inggris SE-12/PJ/2021
  8. Jepang SE-06/PJ/2021
  9. Kanada SE-07/PJ/2021
  10. Korea Selatan SE-24/PJ/2021
  11. Luksemburg SE-22/PJ/2021
  12. Polandia SE-14/PJ/2021
  13. Portugal SE-15/PJ/2021
  14. Prancis SE-11/PJ/2021
  15. Qatar SE-19/PJ/2021
  16. Rusia SE-13/PJ/2021
  17. Selandia Baru SE-20/PJ/2021
  18. Serbia SE-25/PJ/2021
  19. Singapura SE-21/PJ/2021
  20. Slovakia SE-23/PJ/2021
  21. Uni Emirat Arab SE-18/PJ/2021

Tahun 2023 ada tambahan Tiongkok SE-3/PJ/2023, Thiland SE-04/PJ/2023, Seychelles SE-05/PJ/2023, Spanyol SE-06/PJ/2023

Di lampiran Surat Edaran tersebut terdapat naskah P3B. Contoh P3B Indonesia dengan Tiongkok yang terdapat di Surat Edaran SE-3/PJ/2023:

Slide MLI

Disclaimer: Artikel P3B ini banyak mengutif dari SE-52/PJ/2021

Webinar SP2DK

Pahami dapur SP2DK agar tahu bagaimana cara meresponnya

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) sering diplesetkan dengan “Surat Cinta”. Hal ini terjadi karena, dulu, seringnya kantor pajak mengirim surat himbauan kepada Wajib Pajak.

Awalnya bernama Surat Himbauan. Kemudian berubah nama menjadi SP2DK. Sebenarnya, bagaimana SP2DK “diracik”?

Saya memiliki pengalaman 8 tahun menjadi Kepala Seksi Pengawasan (dan Konsultasi). Berdasarkan pengalaman, dan pengetahuan selama ini tentang konsep SP2DK, saya akan berbagi bagaimana SP2DK disiapkan dan bagaimana cara meresponnya.

Link untuk joint https://bit.ly/3OwX9y0

Di Webinar ini saya akan sharing empat hal:

  1. Sejarah AR dan SP2DK
  2. Sumber Data SP2DK
  3. Cara Merespon SP2Dk
  4. Bagaimana Usul Pemeriksaan Dari AR

Meminjam kata-kata Sun Tzu “Kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali medan perangmu”, diharapkan peserta webinar menjadi tidak takut lagi jika menerima “surat cinta” dari kantor pajak.

Sampai jumpa.

Agus Pajak di Youtube

Belajar pajak sambil nonton video

Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.

Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.

Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.

Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.

Playlist PPh

Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh

Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan

Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak

Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 4 Definisi Penghasilan

Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen

Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?

Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?

Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan

Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri

Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura

Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial

Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT

Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty

Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan

Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.

Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax

Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan

Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues

Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang

Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?

Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak

Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak

Cara Menghitung Kompensasi Kerugian

Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan

Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan

Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan

Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?

Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?

Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee

Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN

Norma Khusus Pasal 15

Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak

Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri

Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)

Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)

Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran

Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final

PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan

PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan

PPh final Jasa Konstruksi

PPh final Bunga Simpanan Koperasi

PPh Final Hadiah Undian

PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan

PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

PPh Final atas Penjualan Aset Kripto

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan

PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA

Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa

Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55

Revaluasi Aset Perusahaan

Pemotongan Pajak Tahun Berjalan

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 Final

Pajak Penghasilan Pasal 22

Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri

Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Objek dan Tarif PPh Pasal 26

Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan

Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan

Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%

Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian

Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?

Playlist KUP

Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak

Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan

Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan Pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis

Pemeriksaan Pajak

Saya sudah menulis tentang pemeriksaan pajak di blog pajaktaxes.blogspot.com yang cukup lengkap. Di tulisan kali ini, saya menulis ulang pemeriksaan pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis.

Masih banyak Wajib Pajak yang menganggap apa yang dilakukan pemeriksa pajak sebagai pemeriksaan pajak. Padahal yang dimaksud adalah penelitian. Secara umum, penelitian merupakan tindakan administrasi pajak oleh petugas pajak.

Kegiatan penelitian oleh petugas pajak sangat beragam. Produk hasil penelitian juga sangat banyak. Bisa berupa surat biasa, permintaan keterangan, sampai keputusan.

Sedangkan ciri utama kegiatan pemeriksaan ditandai dengan adanya surat pemberitahuan pemeriksaan pajak, dan Surat Pemeriksaan Pajak yang disampaikan oleh pemeriksa pajak.

Tujuan Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Berdasarkan Pasal 29 ini, tujuan pemeriksaan pajak ada dua, yaitu: menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, dan tujuan lain.

Tujuan Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak dengan cara yang tidak benar dengan cara menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal.

Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib:

  • Mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai tempat tinggal, tempat domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
  • Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
  • Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
  • Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.

Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

Penjelasan terbaik sistem self assessment ada pada Pasal 12 Undang-Undang KUP. Pasal ini merupakan penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT tidak benar. Berbeda dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat ketetapan pajak.

Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.

“Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:

Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP

Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar. Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka.

Benar karena Wajib Pajak telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas Negara yang telah dipungut atau dipotong dari pihak lain.

Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:

  • pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
  • penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
  • harta dan kewajiban; dan/atau
  • pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:

  • Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
  • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
  • Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:

  • Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
  • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
  • Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak.

Pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya:
[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak

Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak.

Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:

Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.

Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan .

Dengan pengertian seperti ini, ruang lingkup pemeriksaan pajak dapat dibagi menjadi dua:
[a.] jenis pajak yang diperiksa; dan
[b.] periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.

Ruang lingkup pemeriksaan pajak bisa diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan yang disampaikan.

Dapat juga Wajib Pajak melihat ruang lingkup pemeriksaan dari SP2 yang diperlihatkan atau disampaikan oleh pemeriksa.

Kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 juga memperlihatkan ruang lingkup atau batasan “perintah” diberikan kepada pemeriksa pajak.

Jenis pajak yang diperiksa dapat berupa:
[a.] seluruh jenis pajak (all taxes);
[b.] beberapa jenis pajak; atau
[c] satu jenis pajak (single tax).

Seluruh jenis pajak artinya semua kewajiban perpajakan yang menjadi kewajiban Wajib Pajak harus diperiksa oleh pemeriksa.

Atas pemeriksaan ini, dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan, maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak kecuali jika penyelesaian pemeriksaan melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) Sumir.

Pada umumnya, pemeriksaan khusus dengan jenis pemeriksaan lapangan biasanya pemeriksa diberikan ruang lingkup pemeriksaan suluruh jenis pajak.

Untuk seluruh jenis pajak, kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 adalah dengan digit pertama 1 (satu).

Contoh: 1412, 1422, atau 1912. Artinya, jika digit pertama angka 1 maka jenis pajak yang diperiksa meliputi: PPh Badan atau PPh OP, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, dan PBB (kecuali PBB P2 yang sudah kewenangan Pemda).

Beberapa jenis pajak biasanya digunakan untuk jenis PPh pemotongan dan pemungutan, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

PPh pemotongan dan pemungutan biasa disingkat P2PPh. Tetapi sejak akhir 2013, bisa beberapa jenis pajak bisa juga ditambahkan PPN.

Untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, terutama yang baru tahap eksplorasi maka biasanya menggunakan beberapa jenis pajak karena kewajiban perpajakan PPh Badan belum ada.

Seperti seluruh jenis pajak tetapi dikurangi jenis pajak PPh Badan. Kode pemeriksaan untuk beberapa jenis pajak menggunakan digit pertama 0 (nol).

Untuk memperjelas jenis pajak apa saja yang diperiksa, setelah kode pemeriksaan maka disebutkan jenis pajak apa saja. Contoh kode 0412 (P2PPh dan PPN), atau 0412 (PPh Badan dan PPN), atau 0412 (P2PPh).

Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja. Sebelumnya, satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan lebih bayar PPN.

Tetapi sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan lebih bayar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan diharuskan satu jenis pajak.

Maksud pembatasan jenis pemeriksaan menjadi satu jenis pajak adalah agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar dan mempercepat penyelesaian.

Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan.

Kegiatan pemeriksaan lebih bayar sekitar 65% dari keseluruhan penugasan. Dan diantara penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya dikarena SPT lebih bayar yang nominalnya tidak signifikan.

Untuk mengurangi beban tersebut, maka sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu jenis pajak.

Ditambah lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014 yang menggeser lebih bayar “receh-receh” dilakukan dengan penelitan oleh petugas AR.

Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi lebih cepat, yaitu 15 hari kerja untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.

Ruang lingkup pemeriksaan yang kedua adalah periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.

Undang-Undang KUP mengenal istilah masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.

Secara umum, satu masa pajak adalah satu bulan kalender. Tetapi bisa juga satu masa pajak tiga bulan kalender. Masa pajak biasa digunakan untuk jenis pajak PPN.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Periode akuntansi menentukan tahun pajak. Yang pasti 1 tahun pajak sama dengan 12 bulan.

Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Bagian tahun pajak artinya kurang dari 12 bulan kalender. Tahun pajak dan bagian tahun pajak biasa digunakan dalam PPh.

Bagian tahun pajak artinya periode yang diperika kurang dari 12 bulan.

SP2 yang diberikan harus secara jelas menyebutkan periode pembukuan yang diperiksa. Sehingga di SP2 biasanya disebutkan bulan atau masa pajak yang diperiksa.

Periode bulan pembukuan (periode akuntansi) kebanyakan dimulai dari bulan Januari dan diakhir bulan Desember.

Tetapi ada juga yang tidak mengikuti kalender masehi, seperti periode pembukuan mulai April sampai dengan Maret.

Dalam hal bulan permulaan periode pembukuan yang tercantum di SP2 berbeda dengan periode akuntansi yang dianut Wajib Pajak, maka atas SP2 tersebut harus dibatalkan dan dibuatkan SP2 baru yang sesuai dengan periode pembukuan Wajib Pajak.

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan PPh Badan tidak mungkin dilakukan untuk tahun berjalan.

Kenapa? Karena pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus menerbitkan surat ketetapan pajak.

Artinya, periode pembukuan yang diperiksa harus sudah lewat.

Tetapi pemeriksaan tahun berjalan masih bisa dilakukan untuk pemeriksaan PPN untuk masa pajak yang sudah lewat. Contoh SP2 ditandatangani bulan Agustus 2014 untuk pemeriksaan satu jenis pajak PPN masa pajak Maret 2014.

Contoh SP2
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan

Kriteria Pemeriksaan Pajak

Kriteria pemeriksaan pajak merupakan alasan atau dasar dilakukan pemeriksaan pajak.

Peraturan menteri keuangan selalu membagi alasan pemeriksaan menjadi dua, yaitu pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan pemeriksaan yang merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak.

Pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak mengacu pada ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.

Sedangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak mengacu pada Pasal 29 Undang-Undang KUP.

Kewenangan Direktur Jenderal Pajak berasal dari kata “dapat” dalam kalimat “Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal…

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam hal memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  • terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  • Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
  • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
  • Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
  • Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
  • Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko;
  • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
  • Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Penafsiran Kewenangan Direktur Jenderal Pajak

Ada tiga “mazhab” yang saya temukan terkait penafsiran kewenangan pemeriksaan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (pemeriksa pajak).

Mazhab pertama alasan pemeriksaan mengatakan bahwa SPT Wajib Pajak diperiksa jika ada bukti ketidakpatuhan yang dimiliki oleh DJP.

Harus ditemukan bukti ketidakbenaran SPT Wajib Pajak, baru kemudian dilakukan pemeriksaan. Itulah pemeriksaan menguji kepatuhan.

Tetapi dalam kondisi database DJP yang belum terkelola dengan baik maka akan ada simalakama antara pencarian data dan pemeriksaan.

Salah satu kewenangan pemeriksaan itu adalah meminjam dokumen apapun yang dimiliki oleh Wajib Pajak.

Dengan data ini tentu pemeriksa bisa menguji kepatuhan Wajib Pajak. Tetapi untuk masuk ke pemeriksaan, apa yang dimiliki DJP?

Jika Wajib Pajak memiliki pembisik yang mengatakan bahwa database DJP belum terkelola dengan baik maka lebih aman bagi mereka untuk tidak melaporkan SPT-nya karena dengan begitu tidak akan diperiksa!

DJP tidak punya alasan untuk melakukan pemeriksaan.

Sehingga teman saya pernah mengatakan, “Untuk mendapatkan bukti ketidakpatuhan Wajib Pajak maka harus dilakukan pemeriksaan. Sebaliknya untuk dilakukan pemeriksaan, harus ada bukti ketidakpatuhan. Jadi mana dulu?”

Alasan Wajib Pajak Diperiksa Oleh Ditjen Pajak

Mazhab yang kedua mengatakan bahwa alasan pemeriksaan pajak adalah analisis risiko. Ini yang digunakan sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 199/PMK.03/2007.

Kata-kata pertama analisis risiko sebenarnya ada di Pasal 29A Undang-Undang KUP, yaitu terkait dengan pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak yang terdaftar di bursa efek (listed company).

Istilah analisis risiko tetap digunakan sampai Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 seperti yang petikannya sudah diatas.

Bukti ketidakpatuhan tentu berbeda dengan analisis risiko.

Namanya analisis tentu bisa saja hanya berupa indikasi. Analisis juga bisa berbentuk kuantitatif yaitu angka-angka dan bisa juga kualitatif yang berupa deskripsi yang menggambarkan indikasi ketidakpatuhan.

Perkembangan selanjutnya, ditingkat kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran, analisis risiko ini dibagi dua:

  • analisis manual, dan
  • analisis komputerisasi.

Analisis manual dilakukan dengan manual. Satu Wajib Pajak atau satu grup dilakukan analisis secara manual. Analisi ini dituangkan dalam lembar analisis yang disebut “Analisis Risko Wajib Pajak”.

Sedangkan analisis komputerisasi dilakukan oleh komputer kantor pusat. Mulai 2022, Direktur Pemeriksaan sudah menggunakan Compliance Risk Management (CRM) dan Business Intelligence (BI) untuk membuat analisis risiko.

Mazhab ketiga alasan pemeriksaan pajak adalah karena kewenangan yang diberikan oleh Pasal 29 Undang-Undang KUP yang sudah dikutip diatas.

Pemikiran lain dari mazhab ketiga ini bahwa tidak ada satupun ketentuan di Undang-Undang KUP yang melarang atau membatasi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan.

Artinya, dengan kewenangan yang diberikan Pasal 29 sudah jelas bahwa Dirjen Pajak bisa saja melakukan pemeriksaan pajak dengan “suka-suka”.

Setelah dilakukan pemeriksaan, baru diketahui apakah Wajib Pajak melaporkan SPT dengan benar atau salah. Ini merupakan kebalikan dari mazhab pertama diatas.

Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus

Pada tingkat kebijakan, kriteria pemeriksaan dibagi dua:

  • pemeriksaan rutin, dan
  • pemeriksaan khusus

Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Menurut Surat Edaran SE-15/PJ/2018, Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal:

  • Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
  • Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
  • Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
  • Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
  • Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi.
  • Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
  • Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku; perubahan metode pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap
  • Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP PBB P3

Dan pemeriksaan khusus terdiri:

  • Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret (audit based on data) yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  • Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk-based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Pada dasarnya, pemeriksaan yang harus dilakukan oleh DJP adalah  pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP, yaitu pemeriksaan restitusi pajak.

Selain Pasal 17B, maka masuk domain kewenangan Dirjen Pajak, boleh diperiksa tetapi boleh juga tidak diperiksa.

SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar tetapi dikompensasi: boleh diperiksa, boleh juga tidak. 

SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi: boleh diperiksa, boleh juga tidak diperiksa.

Tujuan tidak diwajibkannya pemeriksaan pajak adalah mengurangi beban pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan rutin dan sekaligus memperbanyak ruang pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan khusus.

Sebagian pegawai pajak berpendapat bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi harus diperiksa karena memiliki risiko tinggi.

Kerugian tersebut seperti sebuah cek untuk mengurangi pajak terutang di tahun pajak berikutnya.

Terkait dengan ini, sebenarnya untuk SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak benar-benar tidak diperiksa.

Dalam hal tahun pajak yang diperiksa terdapat kompensasi kerugian dari tahun lalu, maka dalam kebijakan pemeriksaan tetap mengharuskan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan perluasan pemeriksaan sampai dengan tahun pajak yang belum daluwarsa.

Tetapi jika memang sudah daluwarsa atau segera akan daluwarsa tidak harus diperiksa.

Salah satu pertimbangannya, dilihat dari manajemen risiko bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak otomatis memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau bahkan SPT Tahunan Nihil.

Jenis Pemeriksaan Pajak

Jenis pemeriksaan pajak membagi pemeriksaan menjadi dua, yaitu 

  1. pemeriksaan kantor, dan
  2. pemeriksaan lapangan

Berdasarkan pengertiannya, Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.

Sedangkan Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.

Pada prakteknya bisa jadi tidak ada perbedaan antara pemeriksaan kantor dan lapangan, kecuali terkait dokumen awal yaitu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

Seharusnya antara Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan ada perbedaan yang signifikan. Terutama karena Pemeriksaan Kantor sebenarnya untuk pemeriksaan yang secara risiko lebih rendah.

Sedangkan Pemeriksaan Lapangan untuk pemeriksaan yang cakupannya luas, kompleks, dan memiliki risiko tinggi. Inilah salah satu alasan kenapa pemeriksaan transfer pricing harus Pemeriksaan Lapangan karena dianggap memiliki risiko tinggi.

Pada saat Pemeriksaan Kantor pemeriksa melakukan pengujian pengujian transfer pricing maka jenis pemeriksaan diubah menjadi jenis Pemeriksaan Lapangan. 

Pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi adalah Wajib Pajak tertentu yang berulang-ulang atau sering atau setidaknya lebih dari sekali meminta restitusi.

Terutama resitusi PPN yang bisa dilakan setiap bulan, setiap masa pajak oleh Wajib Pajak tertentu. Diantara yang sering restitusi tersebut adalah Wajib Pajak rekanan pemerintah yang pajaknya sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara.

Diantara yang sering restitusi, Wajib Pajak sudah menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak.

Sehingga begitu datang pemeriksa pajak atau bahkan cukup ditelpon dari kantor, maka Wajib Pajak langsung meminjamkan dokumen yang sudah disiapkan tersebut. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi memiliki risiko relatif kecil

Pasal 5 ayat (2) PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur bahwa pemeriksaan kantor dilakukan dalam hal:

  • Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  • terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

Standar Pemeriksaan Pajak

PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur standar pemeriksaan di Pasal 6 sampai dengan Pasal 10. Standar pemeriksaan tidak pernah berubah sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.

Standar Pemeriksaan

Standara pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan pemeriksaan. Boleh dibilang, standar pemeriksaan merupakan syarat minimal.

Pelaksanaan pemeriksaan pajak boleh lebih bagus atau diatas standar pemeriksaan yang sudah ditetapkan. Dalam hal dibawah standar, sebenarnya tidak ada sanksi bagi pemeriksa pajak tetapi akan menjadi ukuran pembinaan pelaksanaan pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan. 

Standara pemeriksaan dibagi tiga:

  1. standar umum
  2. standar pelaksanaan
  3. standar pelaporan hasil pemeriksaan

Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak. Peraturan menteri keuangan  dan peraturan direktur jenderal pajak memberikan syarat minimal pemeriksa pajak sebagai berikut:

[a.] telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.

Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif).

Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan.

Pemeriksa Pajak diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.

Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan.

Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.

[b.] menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan dan penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus menggunakan keterampilannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif, dan independen, serta selalu menjaga integritas.

Pemeriksa Pajak dianggap telah menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama apabila dalam melaksanakan Pemeriksaan didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

[c.] jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara.

Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.

Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam semua hal yang berkaitan dengan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya.

Gangguan independensi yang  dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak selama Penieriksaan meliputi hal-hal berikut:
[c.1.] memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak.

[c.2.] memiliki kepentingan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Wajib Pajak.

[c.3.] pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan masalah perpajakan, akuntansi, atau pun keuangan kepada Wajib Pajak dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.

[c.4.] memiliki teman dekat  atau keluarga yang dapat berposisi sebagai wakil Wajib Pajak yang diperiksa.

[c.5.] keadaan, kondisi dan perbuatan tertentu lainnya yang menurut pertimbangan Pemeriksa Pajak dapat mengganggu independensi tersebut..  

[d.] taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.

Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang seksama.

Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun.

Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim.

Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk KKP (Kertas Kerja Pemeriksaan).

KKP wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:

  • bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
  • bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
  • dasar pembuatan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan);
  • sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
  • referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan.

LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.

LHP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sekurang-kurangnya memuat:

  • penugasan Pemeriksaan;
  • identitas Wajib Pajak;
  • pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
  • pemenuhan kewajiban perpajakan;
  • data/informasi yang tersedia;
  • buku dan dokumen yang dipinjam;
  • materi yang diperiksa;
  • uraian hasil Pemeriksaan;
  • ikhtisar hasil Pemeriksaan;
  • penghitungan pajak terutang; dan
  • simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.

Hak dan Kewajiban Pemeriksa Pajak

Kewajiban pemeriksa versus hak Wajib Pajak. Keduanya sebenarnya berhadap-hadapan. Harusnya kewajiban disisi pemeriksa maka hak disisi Wajib Pajak.

Tetapi ternyata tidak semuanya seperti itu. Karena itu saya sandingkan antara kewajiban Pemeriksa dan hak Wajib Pajak supaya  terlihat mana yang berhadapan dan mana yang tidak.

Pemeriksa pajak berhak (berwenang):

[a.] melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

[b.] mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

[c.] memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

[d.] meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:

[d.1] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

[d.2] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

[d.3] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

[e.] melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;

[f.] meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan

[g.] meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

Terkait dengan kewenangan pemeriksa pajak, Undang-Undang KUP memberikan hak untuk mendapatkan semua informasi yang dimiliki oleh Wajib Pajak.

Walaupun informasi tersebut bersifat rahasia, baik rahasia dagang maupun rahasia pribadi Wajib Pajak, maka rahasia tersebut dicabut atau dinyatakan tidak rahasia berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP.

Hanya rahasia bank yang membutuhkan ijin Menteri Keuangan untuk mendapatkan informasi perbankan Wajib Pajak. Namun sekarang, permintaah rekening bank ke OJK cukup dengan aplikasi. Sehingga sangat memangkas birokrasi.

Kewajiban Pemeriksa Pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No 18/PMK.03/2021. Berikut daftar lengkap kewajiban pemeriksa pajak:

[a.] menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;

[b.] memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;

[c.] memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

[d.] melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
[d.1] alasan dan tujuan Pemeriksaan;

[d.2] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

[d.3] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor dan

[d.4] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;

[e.] menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;

[f.] menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;

[g.] memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

[h.] menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

[i.] melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;

[j.] mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan

[k.] merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

Kewenangan versus kewajiban diatas adalah untuk versi jenis Pemeriksaan Lapangan.

Ada beberapa kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki manakala jenis Pemeriksaan Kantor.

Kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor adalah kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Dengan kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak maka timbul kewenangan pemeriksaan pajak untuk meminjam dokumen yang ditemukan saat itu juga, memasuki ruangan atau bangunan atau tempat tertentu dan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Lapangan berwenang melakukan penyegelan

Sebaliknya ada kewenangan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor yang tidak ada di Pemeriksaan Lapangan, yaitu meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak.

Apakah pemeriksaan lapangan benar-benar tidak memiliki kewenangan meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik? Sebenarnya tidak juga.

Pemeriksaan lapangan tetap memiliki kewenangan untuk meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik baik melalui Wajib Pajak maupun tidak. Justru pemeriksaan lapangan lebih luas. Karena tidak harus melalui Wajib Pajak. 

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, Wajib Pajak memiliki hak:

[a.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;

[b.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;

[c.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

[d.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;

[e.] menerima SPHP;

[f.] menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

[g.] mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan

[h.] memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan

Sedangkan kewajiban Wajib Pajak pada saat dilakukan pemeriksaan yaitu:

[a.] memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

[b.] memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

[c.] memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;

[d.] memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:

[d.1.] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

[d.2.] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

[d.3.] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

[e.] menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan\

[f.] memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak

Jangka waktu pemeriksaan pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021.

Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP ini merupakan dasar hukum dan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang KUP bahwa jangka waktu pemeriksaan pajak “harus dibatasi”.

Ada sebagian yang tidak setuju dengan adanya jangka waktu pemeriksaan. Hal ini karena proses pengumpulan data untuk diuji seringkali tergantung pada pihak eksternal.

Contoh adalah ijin membuka rahasia perbankan yang seringkali bisa berbulan-bulan baru dijawab. Atau konfirmasi pihak ketiga yang berasal dari negara lain yang jawabannya seringkali baru bisa diterima sekian tahun kemudian.

Tetapi karena Undang-Undang KUP mengharuskan adanya jangka waktu pemeriksaan maka dalam peraturan menteri keuangan selalu diatur batas waktu pemeriksaan.

Pada awalnya, jangka waktu pemeriksaan memang tidak diatur. Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tidak mengatur masalah jangka waktu.

Baru muncul jangka waktu pemeriksaan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

Padahal keputusan menteri keuangan ini masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Jangka waktu pemeriksaan masuk Undang-Undang KUP baru pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2).

Jangka waktu pemeriksaan dapat dibagi dua bagian, yaitu:

  • jangka waktu pengujian; dan
  • jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan

Kenapa jangka waktu pemeriksaan dibagi dua? Dulu, sebelum ada pembagian jangka waktu pemeriksaan, kadang pemeriksa pajak memberikan SPHP diujung jangka waktu pemeriksaan.

Contoh, Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2011 mengatur jangka waktu pemeriksaan 8 bulan. Pemeriksa pajak kemudian menyampaikan SPHP di bulan ke 8.

Padahal setelah SPHP ada pembahasan, lamanya 1 bulan. Dengan demikian, total pemeriksaan  menjadi 9 bulan. Bukan 8 bulan lagi.

Karena itu, sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013, jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, antara sebelum SPHP dan setelah SPHP.

Sebelum SPHP disebut jangka waktu pengujian. Dan setelah SPHP disebut jangka waktu pembahasan.

Jangka Waktu Pengujian

Jangka waktu pengujian Pemeriksan Lapangan paling lama 6 (enam) bulan.

Enam bulan dihitung dari Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Jangka waktu pengujian ini dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 2 (dua) bulan.

Alasan dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian yaitu:

  • Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
  • terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
  • ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
  • berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

Khusus pemeriksaan lapangan berikut:

  • Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
  • Wajib Pajak dalam satu grup; atau
  • Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,

pemeriksaan dapat diperpanjang 6 bulan. Bahkan sampai 3 kali perpanjangan sehingga total jangka waktu pengujian 22 bulan.

Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor paling lama 4 (empat) bulan.

Empat bulan dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.

Alasan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor yaitu:

  • Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
  • terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
  • ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
  • berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret paling lama 1 (satu) bulan.

Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret tidak dapat diperpanjang.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, apabila jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan Lapangan atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak.

Namun, jika pemeriksa pajak tetap belum menyampaikan SPHP, walaupun jangka waktu pengujian sudah berakhir, pada kenyataannya tidak ada akibat hukumnya bagi hasil pemeriksaan.

Berbeda jika tidak ada SPHP dan tidak ada pembahasan, kelalaian tersebut berakibat hukum hasil pemeriksaan dibatalkan.

Jangka Waktu Pembahasan

Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.

Sedangkan Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.

Jangka Waktu Pemeriksaan Restitusi Pajak

Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan.

Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B Undang-Undang KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B.

Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.

Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda.

Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi.

Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama.
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.

Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:
SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013.

Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan.

Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja.

Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.

Surat Perintah Pemeriksaan (SP2)

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa Pajak berdasarkan SP2.

Idealnya, pemeriksaan dilakukan oleh tim yang sama sejak pertama kali SP2 disampaikan sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.

Namun dalam kenyataannya, mutasi Pemeriksa Pajak dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu pemeriksaan selesai.

Oleh karena itu, jika terjadi mutasi Pemeriksa Pajak maka kantor pajak akan memberikan pemberitahuan bahwa tim Pemeriksa Pajak berubah. Pemberitahuan ini dalam bentuk SP2 Perubahan.

Format SP2 Perubahan

Pertemuan Dengan Wajib Pajak

Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor.

Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (pemeriksa pajak aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.

Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai:
[a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;

[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan

[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.

Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.

Peminjaman Dokumen

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, maka  buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.

Ini adalah contekan dari Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.

Saya mengingatkan saja bahwa pada saat datang ke tempat Wajib Pajak, pemeriksa pajak tidak perlu membuat surat peminjaman dokumen.

Kebiasaan sebagian pemeriksa, sebelum datang ke tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa menyiapkan dulu surat peminjaman dokumen.

Sebenarnya, surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen itu dilakukan dalam hal:
[a.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan;

[b.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pelaksanaan Pemeriksaan (dengan segala alasannya, misalnya gudang arsipnya di luar kota).

Pada kesempatan pertama datang ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak berwenang memasuki semua ruangan dan tidak ada ruangan rahasia karena semua rahasia demi kepentingan Negara (pajak merepresentasikan negara) menjadi tidak ada.

Semua harus terbuka bagi pemeriksa pajak. Pada saat menjalankan tugas sesuai SP2, pemeriksa pajak adalah perwakilan NKRI untuk tugas perpajakan.

Untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik, pemeriksa pajak memiliki kewenangan meminta Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak.

Sebaliknya dari sisi Wajib Pajak,  pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP memerintahkan bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

Dokumen yang diminta akan disampaikan sesuai ketentuan di Undang-Undang KUP, yaitu satu bulan.

Kemudian, jika ada perbedaan nama atau jenis dokumen antara yang digunakan oleh Wajib Pajak dengan yang tertulis di lampiran Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka Wajib Pajak dapat mengatakan, “Bapak/ibu, dokumen nomor sekian tidak ada di perusahaan kami.”

Padahal bisa jadi dokumen yang sejenis atau berfungsi sama tetapi namanya berbeda ada.

Kalaupun ada, kemudian Wajib Pajak mengatakan tidak ada, sebenarnya Pemeriksa Pajak tidak bisa membuktikan kebohongan Wajib Pajak.

Bandingkan jika Pemeriksa Pajak ketempat usaha Wajib Pajak dan menemukan dokumen yang diperlukan! Alasan apa yang bisa digunakan Wajib Pajak?

Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan koreksi berdasarkan analisis.

Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib Pajak.

Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-23/PJ/2013).

Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa. 

Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu fakta. 

Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa. 

Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil Pemeriksaan.

Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek Pasal 4 huruf c PER-23/PJ/2013.

Pada kenyataannya, Pemeriksa Pajak yang duduk manis di kantor menunggu kedatangan dokumen sering kali kecewa ketika dokumen yang diminta dengan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen datang mendekati jangka waktu pengujian habis atau bahkan setelah SPHP diterima oleh Wajib Pajak.

Sebenarnya, Pemeriksa Pajak bisa menggunakan kewenangannya untuk menghitung pajak terutang secara jabatan.

Tetapi sangat jarang digunakan karena beberapa kasus kalah di pengadilan pajak. Itu yang jadi acuan. Padahal putusan Pengadilan Pajak tidak pernah jadi dasar hukum.

Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen bisa sampaikan beberapa kali sepanjang Pemeriksa Pajak memandang perlu.

Tetapi ketentuan satu bulan sebagaimana diatur Pasal 29  ayat (3a) Undang-Undang KUP tetap berlaku.

Sehingga, jika Pemeriksa Pajak setelah 7 bulan pemeriksaan masih mengeluarkan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka bisa jadi atas dokumen tersebut tidak diuji karena jangka waktu pengujian mungkin sudah lewat.

Apakah buku, catatan, dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah SPHP diterbitkan boleh diterima oleh Pemeriksa Pajak.

Ini adalah bagian dari perdebatan di internal DJP. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh. Permasalahannya, setelah SPHP adalah waktu untuk pembahasan hasil pemeriksaan.

Bukan waktunya lagi menguji dokumen Wajib Pajak. Pengujian tetap disarankan sebelum SPHP.

Tetapi disatu sisi ada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP:

 Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

Secara tidak langsung Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP mengatakan bahwa selama jangka waktu pemeriksaan belum selesai maka dokumen dapat diterima oleh Pemeriksa Pajak.

Sedangkan pemeriksaan selesai setelah ditanda-tanganinya LHP. Bagaimana jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen seabreg-abreg?

Dalam hal Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diminta berdasarkan berita acara tidak dipenuhinya permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen Pemeriksa Pajak harus menentukan dapat atau tidaknya melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan bukti kompeten yang cukup sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.

Jika kesimpulan Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Penyegelan

Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan.  Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang KUP:

 Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b

Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.

Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.

Penyegelan dilakukan manakala:
[a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;

[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;

[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat

Penyegelan hanya ada dalam jenis Pemeriksaan Lapangan. Sehingga jika Pemeriksa Pajak datang ke tempat usaha/domisili Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara.

Selanjutnya, Pemeriksa Pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan.

Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka  buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga .

Penyegelan dilakukan denga menempelkan tanda segel. Peraturan menteri keuangan menyebut “tanda segel” bukan “kertas segel”.

Tanda segel bisa dibuat dari apa saja. Tanda segel harus ditempel. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak. 

Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan.

Jika Pemeriksa Pajak merasa belum cukup waktu melakukan penyegelan, tidak ada larangan dilakukan penyegelan kedua dan seterusnya.

Pembukaan segel dilakukan apabila:

  • Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak telah memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
  • berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
  • terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.

Permintaan Keterangan

Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
[a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan
[b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.

Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung.

Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan.

Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.

Penyelesaian Pemeriksaan

Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP  atau LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan.

Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP.

Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa Wajib Pajak harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.

Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan! Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan  dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan.

Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir dilakukan dalam hal:
[a.] Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:

  • tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
  • tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan.

[b.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:

  • tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  • tidak dilanjutkan dengan penyidikan tetapi diselesaikan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP; atau
  • dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.

[c.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
[d.] Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya  tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
[e.] Terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

SPHP dan Closing Conference

Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan.

Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP. Tapi sekarang boleh direvisi sekali.

SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP yang berbunyi:

 Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan 

Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) Undang-Undang KUP terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] jangka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)

Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan.

Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri.

Ketentuan “rukun” pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:

 Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

  1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau 
  2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. 

Karena Undang-Undang KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing conference).

Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.

Pasal-Pasal tersebut diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021

Setelah pemeriksa dapat menghitung pajak-pajak terutang, atau karena jangka waktu pengujian telah terlampaui, maka pemeriksa pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Surat ini ditandatangani oleh kepala kantor, dan dalam lampirannya mencantumkan daftar pos-pos yang dikoreksi atau objek pajak tertentu yang dikoreksi.

Daftar pos-pos ini sering juga disebut daftar temuan. SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili.

Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di Undang-Undang KUP. Dulu salah satu alasan tidak menggunakan email karena alamat email yang tidak standar.

Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Tanggapan tertulis harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.

Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan.

Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju.

Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference.

Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.

Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum Undang-Undang KUP 2007 ada pendapat seperti itu.

Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan Undang-Undang KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!

Undangan pembahasan harus disampaikan 3 hari kerja setelah surat tanggapan diterima oleh kantor pajak, atau 10 hari kerja setelah SPHP jika Wajib Pajak meminta perpanjangan jangka waktu tanggapan.

Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.

Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak.

Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.

Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak.

Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian.

Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan

Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim Quality Assurance Pemeriksaan memiliki tugas:

a. membahas perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;

b. memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan

c. membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.

Kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013 yang menyebutkan, “Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum koreksi dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Setelah menerima surat permohonan  pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, kemudian Tim Quality Assurance Pemeriksaan mengundang pemeriksa pajak dan Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.  

Tim Quality Assurance Pemeriksaan hanya menilai dan memutuskan pendapat yang mana yang benar. 

Tim Quality Assurance hanya memeriksa bagian formal atau dasar hukum koreksi serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, keputusan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dapat:
*** membenarkan pendapat Wajib Pajak;
*** membenarkan pendapat pemeriksa pajak; atau
*** memiliki pendapat lain diluar pendapat Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.

Walaupun Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) boleh memiliki kesimpulan yang berbeda dengan Wajib Pajak dan pemeriksa, tetapi Tim QA tidak boleh membuat koreksi fiskal baru diluar yang disengketakan pada saat pembahasan.

Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan kesimpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.

Jika Tim QA boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa pajak.

Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan Teknik Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-pengujian dilakukan oleh pemeriksa pajak saja.

Pembahasan masalah ini memang cukup panjang tetapi pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya, aturan yang terlalu detil sering membelenggu.

Tetapi inti pembatasan yang saya sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan saatnya pengujian dokumen.

Bagaimana jika pendapat Tim QA memerlukan pengujian? Karena pengujian dokumen merupakan domain pemeriksa pajak, maka setelah selesai pembahasan dengan Tim QA pelaksanaan pengujian tetap dilakukan oleh pemeriksaan pajak.

Tim QA hanya memberikan “batasan-batasan” koreksi mana yang boleh dan koreksi mana yang tidak boleh.

Sangat mungkin jika Tim QA memutuskan suatu kesimpulan tetapi mengenai jumlah atau nominal rupiah yang dikoreksi ditentukan sendiri oleh pemeriksa pajak setelah dilakukan “penghitungan ulang”.

Pendapat Tim QA harus berdasarkan masing-masing masalah. Sebagai contoh, hasil pemeriksaan PPh Badan yang dituangkan dalam SPHP dan Risalah Pembahasan, pemeriksa telah melakukan koreksi fiskal atas 7 pos baik penghasilan maupun biaya.

Bisa jadi Tim QA setuju dengan pendapat Wajib Pajak dalam 4 pos, tetapi 3 pos lain Tim QA sependapat dengan pemeriksa pajak.

Hasil pembahasan di Tim QA harus diformalkan dalam Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

Risalah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Tim QA, Wajib Pajak, dan pemeriksa pajak.

Dokumen Risalah Tim QA berfungsi seperti notula atau laporan hasil rapat. Pendapat masing-masing pihak: Wajib Pajak, pemeriksa pajak, dan pendapat Tim QA harus ditulis secara jelas di Risalah Tim QA.

Dan pendapat Tim QA adalah pendapat terakhir sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.

Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus bertanggung jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung jawab atas pendapatnya.

Jika pendapat pemeriksa “dipatahkan” oleh Tim QA maka pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak berpendapat untuk masalah tersebut.

Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir.

Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan  berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir.

Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.

Pengungkapan Ketidakbenaran

Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP.

Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

Laporan tersendiri secara tertulis  harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
[a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format SPT;
[b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
[c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa bunga KMK ditambah 10%.

Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP.

Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan.

Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.

Semua pemeriksaan yang “ditingkatkan” menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan pajaknya tertangguh.

Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, “nasib” pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan.

Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika:
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;

[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan  adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;

[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau

[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana.

Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal.

Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana.

Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan.

Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.

Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja.

Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan.

Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah.

Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang.

Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan pajak.

Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.

Pemeriksaan Ulang

Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang KUP. Berikut kutipan Pasal 15:

 Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya.

Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP.

Masing-masing memiliki “jalur” atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar.

Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru.

Nah, untuk lebih jelas masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:

 Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau

b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.

2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.

3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. 

Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur.

Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT.

Harus jelas dulu novum-nya apa? Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang.

Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.

Pemeriksaan Tujuan Lain

Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.

Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:

  • pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
  • penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  • pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
  • pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  • Wajib Pajak mengajukan keberatan;
  • pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
  • pencocokan data dan/atau alat keterangan;
  • penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
  • penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
  • Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
  • penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/ atau
  • memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan.

Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja.

Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas.

Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second opinion).

Raden Agus Suparman

Praktisi Pajak sejak 1995. Sekarang bergabung dengan Taxprime Academy

Perubahan Tarif PPh Jasa Konstruksi

Variasi tarif PPh Jasa Konstruksi kini, 2022, lebih banyak

Pemerintah telah mengubah Tarif PPh Jasa Konstruksi. Perubahan ini mulai berlaku 21 Februari 2022 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022.

Perubahan ini terkait dengan adanya Pandemi Covid-19. Karena itu, di Pasal 10D disebutkan bahwa ketentuan tarif ini akan dievaluasi setelah 3 tahun berlaku. Artinya, mungkin ada perubahaan lagi di tahun 2025.

Dulu, jasa konstruksi itu dibagi 3 yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal ini bisa baca di definisi jasa kontruksi. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Sekarang jasa konstruksi dibagi 5, yaitu:
a. klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat umum;
b. klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat spesialis;
c. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat umum;
d. ktasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat spesialis; dan
e. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi.

Dan definisi jasa konstruksi menjadi :

Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.

Pasal 1 angka 2 PP Nomor 9 Tahun 2022

Dari definisi ini, Jasa Konstruksi dibagi dua, yaitu jasa konsultansi, dan pekerjaan. Gampangnya jasa konsultansi yang dulunya jasa perencanaan dan jasa pengawasan.

Layanan jasa konsultansi konstruksi mencakup layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.

Layanan jasa pekerjaan konstruksi mencakup kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.

Sedangkan pekerjaan konstruksi terintegrasi merupakan gabungan keduanya. Lebih lengkap, dan lebih kompleks.

Layanan jasa pekerjaan konstruksi terintegrasi mencakup gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi konstruksi, termasuk di dalamnya penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan

Tarif PPh Jasa Konstruksi

Seperti di peraturan pemerintah sebelumnya, PPh Jasa Konstruksi dikenai PPh Final. Artinya, PPh terutang dikenai dari nilai kontrak dikalikan dengan tarif.

Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum atau seharusnya tercantum dalam kontrak Jasa Kohstruksi secara keseluruhan.

Sedangkan tarif PPh Jasa Konstruksi:

a. 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;

b. 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;

c. 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b

d. 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha;

e. 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha;

f. 3,5% (tiga koma lima persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan; dan

g. 6% (enam persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan.

Sertifikat badan usaha adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan Jasa Konstruksi asing yang dikeluarkan oleh:

  • lembaga sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha yang terakreditasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan dicatat oleh lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK);
  • lembaga sertifikasi badan usaha yang telah diakreditasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; atau
  • menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

Jadi, sekarang sertifkat badan usaha tidak hanya dikeluarkan oleh LPJK seperti dulu. Tetapi termasuk sertifikat teknik yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.

Sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi dan dicatat oleh lembaga pengembangan jasa konstruksi.

Yang sedikit membingungkan ada di huruf c, yaitu frase “penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b”. Ternyata menurut penjelasannya, tarif 2,65% untuk klasifikasi menengah dan besar.

Yang dimaksud dengan “Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b” antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar atau spesialis.

Penjelasan PP nomor 9 tahun 2022

Seperti definisi diatas, tarif juga dapat dibagi dua, yaitu jasa konsultansi, dan pekerjaan.

Tarif PPh Jasa Konsultasi yaitu:

  • jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan (huruf f), dan
  • jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan (huruf g).

Sedangkan PPh Pekerjaan Konstruksi sisanya. PPh Pekerjaan Konstruksi ada yang untuk UKM (huruf a), tidak memiliki sertifikat atau kompetensi perorangan (huruf b), dan besar termasuk spesialis (huruf c).

Huruf d dan huruf e untuk Pekerjaan Kontruksi Terintegrasi. Untuk yang tidak memiliki sertifikasi menggunakan huruf e.

Berdasarkan penggolongan terserbut, kita dapat kesimpulan bahwa pemborong bangunan (rumah dan kantor) perorangan yang tidak memiliki kompetensi keahlian jasa konstruksi tetap dikenai PPh final. Tidak dikenai PPh Pasal 21. Ini karena orang pribadi tersebut sebagai pengusaha. Berbeda dengan tukang yang bekerja kepada pengusaha perorangan tersebut.

Contoh Kasus Jasa Konstruksi

PP Nomor 9 Tahun 2022

Pajak Daerah

Pajak daerah dan retribusi daerah update undang-undang terbaru

Pajak daerah artinya pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, yaitu pemerintah provinsi, pemeriksan kota, atau pemerintah kebupaten. Walaupun namanya pajak daerah, namun dalam pelaksanaannya, pajak daerah dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan cq Ditjen Perimbangan Keuangan Daerah.

Pajak dapat digolongkan berdasarkan kewenangan yang memungutnya, yaitu pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat seperti: Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak pusat telah mengalami reformasi undang-undang pada tahun 1985. Sedangkan pajak daerah seperti Pajak Kendaraan Bermotor baru “dikodifikasi” dari ordonansi menjadi pajak daerah pada tahun 1997.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Baru pada tahun 1997 Indonesia memiliki Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebelumnya, pajak daerah masih diatur berdasarkan ordonansi dan perundang-undangan tahun 1950-an.

Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 pertama kali menghimpun pajak-pajak daerah dalam satu undang-undang. Undang-Undang ini kemudian menghapus beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum pajak-pajak daerah. Undang-undang yang dihapus oleh Undang-Undang ini yaitu:

  1. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934
  2. Ordonansi Pajak Potong 1936 
  3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio 
  4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I
  5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
  6. Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah
  7. Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah 
  8. Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
  9. Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
  10. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah

Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 kemudian dicabut dengan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Selanjutnya pada tahun 2022, Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 dicabut dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pajak Daerah Pemerintah Provinsi

Pajak daerah yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi yaitu:

a. PKB;
b. BBNKB;
C. PAB;
d. PBBKB;
e. PAP;
f. Pajak Rokok; dan
g. Opsen Pajak MBLB.

PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.

PAB (Pajak Alat Berat) adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.

Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.

PAP (Pajak Air Permukaan) adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.

Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.

Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.

Opsen Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan) adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pajak Daerah Pemerintah Kota / Kabupaten

Sedangkan pajak daerah yang merupakan kewenangan Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten yaitu:

  • PBB-P2;
  • BPHTB;
  • PBJT;
  • Pajak Reklame;
  • PAT;
  • Pajak MBLB;
  • Pajak Burung Walet;
  • Opsen PKB; dan
  • Opsen BBNKB.

PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.

BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.

PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.

Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.

PAT (Pajak Air Tanah) adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan) adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.

Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.

Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Self Assessment dan Official Assessment

Self assessment adalah sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menetapkan, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang. Insitusi pemungut pajak bertugas mengawasi pelaksanaan self assessement ini.

Official Assessment adalah sistem perpajakan yang menetapkan besarnya pajak yang terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Tidak ada pajak terutang jika tidak ada penetapan dari institusi yang dimaksud. Wajib Pajak tinggal bayar saja.

Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 menganut dua sistem assessment diatas. Beberapa pajak daerah merupakan self assessment, dan lainnya official assessment. Pembagian self assessment dan official assessment diatur di Pasal 5.

Pajak daerah yang menggunakan self assessment yaitu:

  • PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor);
  • Pajak Rokok;
  • Opsen Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan);
  • BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan);
  • PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu);
  • Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan);
  • Pajak Sarang Burung Walet.

Wajib Pajak wajib membuat Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, dan melaporkan ke Pemerintah Daerah sebagai bentuk pertanggung-jawaban self assessment.

Pajak daerah yang menggunakan official assessment, yaitu:

  • PKB (Pajak Kendaraan Bermotor);
  • BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor);
  • PAB (Pajak Alat Berat);
  • PAP (Pajak Air Permukaan);
  • PBB-P2;
  • Pajak Reklame;
  • PAT (Pajak Air Tanah);
  • Opsen PKB;
  • Opsen BBNKB.

Pemerintah daerah akan menerbitkan surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang untuk menagih pajak yang harus dibayar.

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

Objek PBBKB adalah penyerahan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor. Seperti kita ketahui, penyedia bahan bakar yang langsung ke konsumen biasa disebut SPBU. Sehingga yang wajib bayar dan lapor PBBKB adalah SPBU.

Menurut ketentuannya, penyedia BBKB adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.

Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. Dan tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

Pajak Rokok

Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.

Rokok meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Artinya, dipungut dan disetorkan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai bersamaan dengan cukai rokok.

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

BPHTB

Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Lebih spesifik maksud hak di sini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.

Seseorang yang memohon hak-hak diatas, wajib membayar lunas BPHTB sebagai persyaratan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional. BPHTB sendiri di bayar ke Pemda Kota atau Pemda Kabupaten.

Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

Nilai perolehan objek pajak ditetapkan sebagai berikut:

  1. harga transaksi untuk jual beli;
  2. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
  3. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.

Tetapi jika harga transaksi atau nilai pasar diatas ternyata masih dibawah NJOP (nilai jual objek pajak), maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP tahun perolehan hak.

Untuk menghitung BPHTB terutang, sebelum dikalikan dengan tarif yang berlaku, nilai perolehan diatas dikurangi dulu dengan NPOPTKP (nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak).

Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditentukan :

  • untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah).
  • dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Sehingga rumus BPHTB terutang = (nilai perolehan – NPOPTKP) x 5%

BPHTB terutang ini wajib dilunasi sebelum:

  1. dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
  2. dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
  3. penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
  4. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
  5. diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
  6. diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
  7. penunjukan pemenang lelang untuk lelang.

Perolehan hak yang dikecualikan sebagai objek BPHTB yaitu:

  1. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
  2. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
  3. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
  4. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  5. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
  6. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
  7. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
  8. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)

PBJT merupakan gabungan beberapa pajak yang sebelumnya sudah ada. Pajak yang digabungkan yaitu pajak restoran, pajak hotel, pajak parkir, pajak hiburan, dan pajak penerangan jalan.

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:

  • Makanan dan/ atau Minuman;
  • Tenaga Listrik;
  • Jasa Perhotelan;
  • Jasa Parkir; dan
  • Jasa Kesenian dan Hiburan.

Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:

  • konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan
  • konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).

Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh restoran, dan jasa boga atau katering.

Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.

Penyedia jasa boga atau katering yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan:

  • proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
  • penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
  • penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.

Pengecualian objek PBJT atas penyerahan Makanan dan/atau Minuman:

  • dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;
  • dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
  • dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
  • disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.

Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi objek PBJT adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. Tenaga Listrik yang dikecualikan dari objek PBJT yaitu:

  1. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
  2. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
  3. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
  4. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dai instansi teknis terkait; dan
  5. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.

Jasa Perhotelan yang menjadi objek PBJT meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:

  1. hotel;
  2. hostel;
  3. vila;
  4. pondok wisata;
  5. motel;
  6. losmen;
  7. wisma pariwisata;
  8. pesanggrahan;
  9. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
  10. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
  11. glamping.

Pengecualian objek PBJT atas jasa perhotelan:

  • Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
  • jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
  • jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
  • jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
  • jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.

Jasa Parkir yang menjadi objek PBJT meliputi penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).

Pengecualian objek PBJT atas jasa parkir:

  • jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
  • jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
  • jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
  • jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.

Jasa Kesenian dan Hiburan yang menjadi objek PBJT meliputi:

  1. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
  2. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
  3. kontes kecantikan;
  4. kontes binaraga;
  5. pameran;
  6. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
  7. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
  8. permainan ketangkasan;
  9. olah raga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
  10. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
  11. panti pijat dan pijat refleksi; dan
  12. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Pengecualian objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan :

  • promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
  • kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
  • bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.

Buku Panduan PPS

Sebelum menyesal baca dulu buku panduan PPS ini

Buku Panduan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini disusun oleh P2Humas Direktorat Jenderal Pajak.

Menurut Direktur P2Humas, Neilmaldrin Noor, buku Cara Mudah Ikut PPS ini disusun untuk memberikan panduan bagi Wajib Pajak yang ingin mengikuti program ini sekaligus sebagai pedoman untuk seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam memberikan pelayanan.

Buku ini terdiri dari dua seri, yakni Seri Panduan Program Pengungkapan Sukarela 2022 yang menjelaskan secara rinci baik teori maupun aplikasi dan Seri FAQ yang memuat berbagai pertanyaan yang sering ditanyakan terkait PPS.

Setelah buku terbuka, silakan klik di area buku untuk memperjelas. Buku juga bisa diunduh dalam format pdf. Menu unduh di bagian kiri atas.

Pada dasarnya, buku terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

kebijakan I

  1. Subjek, Objek dan Tarif (halaman 4)
  2. Manfaat (halaman 5)
  3. Persyaratan (halaman 5)
  4. Ketentuan Harta Bersih (halaman 5)
  5. Penghitungan (halaman 6)
  6. Ketentuan Khusus Terkait Investasi (halaman 7
  7. Kewajiban Pelaporan Realisasi (halaman 8)
  8. Tata Cara Pengungkapan & Penyampaian SPPH (halaman 8)
  9. Contoh Perhitungan (halaman (10)
  10. Pencabutan SPPH (halaman 13)
  11. Pengawasan SPPH oleh DJP (halaman 13)
  12. Pembayaran PPh Final (halaman 14)
  13. Wanprestasi Wajib Pajak (halaman 14)
  14. Kewajiban Pasca PPS (halaman 17)
  15. Tutorial Penyampaian SPPH Online (Halaman 19)

Kebijakan ii

  1. Subjek, Objek dan Tarif (halaman 58)
  2. Manfaat (halaman 59)
  3. Persyaratan (halaman 59)
  4. Ketentuan Harta Bersih (halaman 61)
  5. Penghitungan (halaman 62)
  6. Ketentuan Khusus Terkait Investasi (halaman 63)
  7. Kewajiban Pelaporan Realisasi (halaman 64)
  8. Tata Cara Pengungkapan & Penyampaian SPPH (halaman 64)
  9. Contoh Perhitungan (halaman 66)
  10. Pencabutan SPPH (halaman 69)
  11. Pengawasan SPPH oleh DJP (halaman 69)
  12. Pembayaran PPh Final (halaman 70)
  13. Wanprestasi Wajib Pajak (halaman 71)
  14. Kewajiban Pasca PPS (halaman 73)
  15. Tutorial Penyampaian SPPH Online (halaman 75)

Dan lampiran-lampiran mulai halaman 118 berupa daftar kode negara dan laman terkait PPS termasuk video tutorial.

%d