fbpx

Perlakuan Perpajakan Bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

http://www.uinjkt.ac.id

Perguruan tinggi negeri badan hukum, disingkat PTN BH adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Dahulu dikenal sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP), Wikipedia. Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-34/PJ/2017 bahwa PTN BH merupakan subjek pajak dalam negeri karena tidak memenuhi kriteria unit tertentu dari badan pemerintah yang dikecualikan sebagai subjek dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

PTN BH sebagai subjek pajak dalam negeri mencakup fakultas, jurusan, departemen, dan bagian lain yang merupakan bagian dari PTN BH sebagai badan hukum. Tetapi jika ada badan hukum terpisah dibawah PTN BH maka status badan hukum terpisah menjadi subjek pajak terpisah juga. Jadi, subjek pajak melekat pada badan hukum.

OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Perlakuan pajak penghasilan atas penerimaan PTB BH ada dua :

  • dikecualikan sebagai objek yaitu harta hibah, bantuan, dan sumbangan;
  • objek pajak penghasilan.

Penerimaan PTN BH yang dikecualikan adalah harta hibah, bantuan, dan sumbangan. Penerimaan tersebut dikecualikan sepanjang memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008.

Menurut PMK-245, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan adalah harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:

  • keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
  • badan keagamaan;
  • badan pendidikan;
  • badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
  • orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.

Badan pendidikan dimaksud adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan. PMK-245 tidak mengatur lebih lanjut perihal badan pendidikan yang tidak menceri keuntungan. 

Sedangkan penerimaan PTN BH yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu:

  1. Bantuan Pendanaan PTN BH, dan
  2. Sisa lebih.

Mengutip SE-34/PJ/2017 bahwa Bantuan Pendanaan PTN BH yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara berupa bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum dan yang bersumber dari selain anggaran pendapatan dan belanja negara yang diterima PTN Badan Hukum merupakan objek Pajak Penghasilan.

Bantuan Pendanaan PTN BH adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada PTN BH yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk penyelenggaraan dan pengelolaan Pendidikan Tinggi.

Pendanaan PTN BH yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara diberikan dalam bentuk:

  • bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum; dan/atau
  • bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pendanaan PTN Badan Hukum yang bersumber dari selain anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari:

  1. masyarakat;
  2. biaya pendidikan;
  3. pengelolaan dana abadi;
  4. usaha PTN BH;
  5. kerja sama tridharma Perguruan Tinggi;
  6. pengelolaan kekayaan PTN BH;
  7. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
  8. pinjaman.

Sisa lebih yang merupakan objek pajak penghasilan PTN BH adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba. 

Ketentuan tentang sisa lebih diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.03/2009 jo Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-44/PJ/2009.

Biaya operasional sehari-hari badan adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.

Sisa lebih ini diperlakukan sebagai dikecualikan dari objek pajak penghasilan jika dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut 

  • ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan 
  • yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun 
  • dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya

Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana adalah pembelian, pengadaan dan/atau pembangunan fisik sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang meliputi :

  1. pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
  2. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; atau
  3. pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas, guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.

Ada satu syarat yang sering dilupakan terkait penggunaan sisa lebih ini, yaitu pemberitahuan ke KPP bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka sisa lebih tersebut tetap menjadi objek pajak penghasilan pada tahun kelima.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.03/2009 mengatur :

Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku

Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-44/PJ/2009 mengatur :

Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
PTN BH wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) jika memenuhi syarat :

  • melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
  • bukan kriteria pengusaha kecil.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 223/PMK.011/2014 mengatur bahwa jasa pendidikan yang dikecualian sebagai objek PPN meliputi jasa pendidikan formal, nonformal, dan informal. Baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Dan PTN BH termasuk pendidikan tinggi formal.
 
Tetapi ada jasa pendidikan yang merupakan objek PPN, yaitu :
  • jasa penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan nonformal, maupun pendidikan informal, yang tidak termasuk dalam rincian jasa penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
  • jasa penyelenggaraan pendidikan formal atau jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal yang diserahkan satuan pendidikan yang tidak mendapatkan izin pendidikan dari instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
  • jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penyerahan barang dan/atau jasa lainnya.
Dengan demikian, dalam hal PKP PTN BH melakukan penyerahan jasa yang tidak termasuk dalam jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, maka wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan tersebut.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 

Bentuk Usaha Tetap Bagi Perusahaan Yang Menyediakan Layanan OTT

Direktur Jenderal Pajak sudah memberikan petunjuk pelaksanaan bagi petugas pajak tentang penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau layanan konten melalui internet melalui Surat Edaran nomor SE-04/PJ/2017. Menurut saya, surat edaran ini penafsiran resmi Direktorat Jenderal Pajak tentang BUT bagi perusahaan yang menyediakan layanan Over-The-Top (OTT).

Layanan Over-The-Top (OTT) meliputi : 

  • layanan aplikasimelalui Internet dan/atau 
  • layanan konten melalui Internet.

 

SE-04/PJ/2017 menjelaskan lebih lanjut bahwa layanan aplikasi melalui internet adalah penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan percakapan daring (chatting/instant messaging), serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin pencari, permainan (game), jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.
 
Sedangkan yang dimaksuk layanan konten melalui internet adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.
 
BUT adalah kendaraan atau alat. Subjek Pajak Luar Negeri tidak akan menerima penghasilan dari Indonesia kecuali melalui kendaraan atau alat. Hanya saja ada batasan kendaraan atau alat yang dapat dikenai Undang-Undang Pajak Penghasilan.
 
Ketentuan domestik Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan menyebut :

BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Untuk memahami maksud SE-04/PJ/2017 saya membagi BUT terkait OTT menjadi tiga tipe BUT, yaitu :

  • tempat
  • jasa,
  • agen

Agen elektronik  tempat tetap (fixed place) adalah peralatan yang di dalamnya terdapat program komputer yang dapat melakukan tindakan atau respon atas input secara otomatis.

 
BUT berupa tempat tetap dapat juga mencakup tempat lain sepanjang memenuhi ketentuan sebagai BUT dengan syarat tempat lain tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari SPLN.
 
BUT Jasa berupa pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (BUT Jasa) yang tidak mensyaratkan adanya termpat usaha yang bersifat permanen.
 
BUT agen orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas(BUT Agen) dan tidak mensyaratkan adanya termpat usaha yang bersifat permanen.
 
Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan Subjek Pajak Luar Negeri tersebut tidak bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary).
 
Dengan demikian, BUT bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan OTT dapat berupa:
  • tempat tetap yang dimiliki, disewa, atau dikuasai oleh SPLN atau pihak lain yang berada di Indonesia, seperti tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, bengkel atau workshop, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, komputer, server, pusat data, agen elektronik dan peralatan otomatis lainnya, yang digunakan oleh SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia; atau
  • keberadaan pegawai SPLN atau pihak lain yang bertindak untuk atau atas nama SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Nah itulah BUT layanan OTT menurut otoritas pajak Indonesia. Penegasan ini penting karena dalam hal terdapat BUT di Indonesia,  :
  1. perlakuan Pajak Penghasilan terhadap BUT tersebut dipersamakan dengan Subjek Pajak badan dalam negeri.
  2. Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (2a) Undang-Undang PPh dapat dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan BUT SPLN di Indonesia.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium
gambar dari LewatMana.com

Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita “cirikan” karakteristik konsorsium:

  1. kumpulan dua badan atau lebih,
  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

  • kewajiban PPh Badan, dan
  • kewajiban PPh Potput.  

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:

  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:

  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:

  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO
  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO
  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki “manajemen” dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 
  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.


KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

  • memberikan gaji ke buruh,
  • menyewa alat berat atau aktiva lain,
  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:

Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

 

Subjek Pajak BUT

Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984 :

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984 :
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia.

Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Catatan :
Bentuk Usaha Tetap adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk permanent establishment. Bentuk usaha tetap biasa disingkat BUT.

Bagi saya, BUT memiliki dua arti yang mirip-mirip tapi sedikit beda :
[1.] hak pemajakan di negara sumber [asas sumber] untuk laba dari usaha atau business profits.
[2.] “kendaraan” subjek pajak luar negeri untuk mendapatkan penghasilan dari Indonesia.

Pengertian pertama digunakan dalam tax treaty. Sebelumnya kita mesti tahu dulu dua istilah, yaitu negara domisili dan negara sumber.

Negara domisili atau state of residence adalah negara dimana perusahaan atau person terdaftar sebagai penduduk [residence].

Sedangkan negara sumber adalah negara lain dimana perusahaan mendapat penghasilan.

Contoh : PT ABC didirikan di Bandung maka Indonesia adalah negara domisili bagi PT ABC.

Seandainya PT ABC melebarkan sayap usaha ke Malaysia untuk memasarkan produknya maka Malaysia merupakan negara sumber.

Contah lain : XYZ Sdn Bhd didirikan di Penang, Malaysia, tapi memiliki pabrik di Batam, maka bagi XYZ Sdn Bhd Malaysia merupakan negara domisili dan Indonesia adalah negara sumber.

Biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili.

Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat dari BUT atau dilakukan oleh BUT.

Ketentuan tentang hal ini dalam tax treaty biasanya diatur dalam Pasal 7 ayat (1).

Negara sumber berhak mengenakan pajak jika syarat-syarat BUT dalam tax treaty dipenuhi.

Pengenakan pajak tentu saja hanya sebatas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Bagaimana syarat-syarat BUT menurut tax treaty? Silakan baca posting Permanent Establishment.

Sedangkan pengertian kedua berkaitan dengan UU PPh, yaitu ketentuan BUT secara sepihak sebagai negara berdaulat.

Seperti kita ketahui bahwa tax treaty kedudukannya lebih tinggi dari pada UU PPh sehingga aturan di tax treaty “mengalahkan” aturan di UU PPh.

Dengan demikian, aturan UU PPh yang berkaitan dengan BUT harus lebih luas.

BUT sebagai “kendaraan” subjek pajak luar negeri di UU PPh ditetapkan sebagai subjek pajak tersendiri sedangkan di tax treaty tidak.

BUT menurut UU PPh itu unik karena dia sebenarnya subjek pajak luar negeri tetapi diperlakukan seperti subjek pajak dalam negeri sehingga harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Dan NPWP ini berlaku selama BUT berada di Indonesia.

Kapan BUT berada di Indonesia? Hal ini diatur di Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984 seperti disebutkan diatas. Hal yang baru di tahun 2009 adalah perluasan dan penegasan untuk:
[1.] gudang;
[2.] ruang untuk promosi dan penjualan;
[3.] proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
[4.] pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
[5.] orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
[6.] agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
[7.] komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet

Pada waktu sosialisasi, salah satu ketua tim perumus mengatakan bahwa perluasan BUT untuk gudang karena prakteknya di Pulau Batam sering kali orang Singapur hanya memiliki gudang penyimpanan di Pulau Batam dan menjual langsung barang dagangannya melalui internet.

Barang-barang disimpan di gudang dan didistribusikan langsung ke konsumen di Indonesia. Karena itu, gudang ditegaskan sebagai BUT.

Untuk memudahkan mengingat, BUT dikelompokkan kedalam empat tipe :
[1.] tipe aset :
tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

[2.] tipe aktivitas :
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

[3.] tipe agen :orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

[4.] tipe asuransi :
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Permanent Establishment

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan Internasional karena berkaitan dengan
[a.] taxing right atau hak pemajakan.
[b.] source rules yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan apa syarat-syaratnya bagi suatu jenis penghasilanagar negara tempat diterimanya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan.
[c.] threshold atau ambang batas yaitu kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber untuk memajaki penghasilan usaha antar negara.

Hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap [BUT].

Sebelum lebih jauh, tulisan ini berkaitan dengan BUT di tax treaty. Karena itu dibawah disebut OECD model dan UN model.

OECD model dibuat oleh negara-negara maju, sedangkan UN model dibuat oleh para ahli perpajakan PBB tetapi dasarnya tetap OECD model. Boleh dibilang UN model adalah modifikasi OECD model.

Keduanya adalah contoh yang menjadi acuan negara-negara dalam negosiasi tax treaty. Karena masih “model” maka dalam tax treaty yang disepakati, mungkin saja tidak sama dengan modelnya.

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh BUT maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights).

Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak.

OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Menurut Pak Rachmanto Surahmat [dalam buku yang berjudul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda – sebuah pengantar], fixed place sebagaimana diatur di Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat :
a. adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam;

b. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan

c. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Pada dasarnya, BUT dikelompokkan ke dalam empat tipe :
[1.] Tipe aset
BUT tipe aset ini disebutkan di Pasal 5 ayat (1). Tipe Aset memiliki tiga ciri atau karakteristik atau pengujian [test], yaitu :

[1.a.] place of business, yaitu tempat baik satu ruangan kecil atau kantor yang lebih luas. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa yang penting perusahaan luar negeri memiliki hak untuk menggunakan tempat tersebut. Karena itu, pada era digital ini isu server komputer menjadi topik hangat. Salah satu tulisan di blog yang berkaitan dengan e-commerce ditulis oleh Pak Rusdi Yanis.

[1.b.] fixed, yaitu derajat kepermanenan baik secara geografis (dimensi ruang) maupun berkelanjutan (dimensi waktu). Ini menurut Pak Gunadi [dalam buku yang berjudul Pajak Internasional].

Perlu ada hubungan antara komersial dan geografis [commercial and geographic coherence] secara nature of the business.

Tetapi menurut Pak Rachmanto Surahmat, “tetap” berkaitan antara tempat tersebut dan titik geografis.

Keberadaan suatu peralatan di satu lokasi sudah cukup untuk dianggap berada di satu tempat tetap.

[1.c.] doing business through that fixed place.

[2.] Tipe aktivitas
BUT tipe aktivitas ada dua:
[2.a.] proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja.

[2.b.] kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan.

Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b.

Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas.

Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test.

Berbeda dengan [2.a.] diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan.

Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

[3.] Tipe agen
Tidak semua agen merupakan BUT. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas.

Nah, agen yang manjadi BUT adalah agen tidak bebas. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai BUT jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas.

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal :
[3.a.] Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.

[3.b.] Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut.

Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.

[3.c.] Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

[4.] Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan BUT asuransi.

OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas.

Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai BUT apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).

Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model.

Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Biasanya ada pengecualian di tax treaty yang biasanya disebutkan di Pasal 5 ayat (4). Sebagai contoh, berikut ini Pasal 5 ayat (4) tax treaty Indonesia – China :

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah “bentuk usaha tetap” dianggap tidak mencakup:
a). penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

b). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

c). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

d) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;

e) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan atau penyediaan informasi;

f) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang, bagi keperluan perusahaan

g) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat a) sampai dengan sub ayat e), sepanjang kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap yang merupakan hasil penggabungan tadi bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Organisasi Internasional

Sesuai dengan kelaziman “diplomasi” antar negara bahwa ada organisasi Internasional dan pejabat organisasi tersebut yang ditetapkan sebagai bukan subjek Pajak. Bahkan khusus kantor perwakilan negara seperti kantor kedutaan besar dianggap sebagai negara lain.
Misalkan Kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said Jakarta dianggap sebagai “wilayah hukum Malaysia” sehingga berlaku peraturan perundang-undangan Malaysia, bukan peraturan Indonesia. Karena itu sangat wajar jika para pejabat Kedutaan Besar tersebut bukan subjek pajak Indonesia tapi subjek pajak Malaysia.

Berkaitan dengan organisasi Internasional, maka tidak semua organisasi tersebut otomatis dikecualikan sebagai subjek pajak PPh. Organisasi internasional mana yang dikecualikan, ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penetapan Menteri Keuangan terbaru dikeluarkan pada bulan Desember 2008 kemarin dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008.

Berikut ini adalah dasar hukum pengecualian subjek pajak dan lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008 :

Pasal 3 ayat (1) UU PPh 1984

Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;

b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PPh 1984

Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

Pasal 3 ayat (2) UU PPh 1984

Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan :

I. Badan-badan Internasional Dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
1. ADB (Asian Development Bank)
2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
3. IFC (International Finance Corporation)
4. IMF (International Monetary Fund)
5. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Sett lement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
6. FAO (Food and Agricultural Organization)
7. ILO (International Labour Organization)
8. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
9. UNIC (United Nations Information Centre)
10. UNICEF (United Nations Children’s Fund)
11. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
12. WHO (World Health Organization)
13. World Bank

II. Kerjasama Teknik:
1. Kerjasama Teknik Australia – Republik Indonesia (Australia-Indonesia Partnership)
2. Kerjasama Teknik Canada – Republik Indonesia
3. Kerjasama Teknik India – Republik Indonesia
4. Kerjasama Teknik Inggris – Republik Indonesia
5. Kerjasama Teknik Jepang – Republik Indonesia
6. Kerjasama Teknik New Zealand – Repubiik Indonesia
7. Kerjasama Teknik Negeri Belanda – Republik Indonesia
8. Kerjasama Teknik Rusia – Republik Indonesia
9. Kerjasama Teknik Jerman – Republik Indonesia
10. Kerjasama Teknik Perancis – Kepublik Indonesia
11. Kerjasama Teknik Negeri Polandia – Republik Indonesia
12. Kerjasama Teknik Amerika Serikat – Republik Indonesia (USAID: United States Agency for International Development)
13. Kerjasama Teknik Swiss – Republik Indonesia
14. Kerjasama Teknik Italia – Republik Indonesia
15. Kerjasama Teknik Belgia – Republik Indonesia
16. Kerjasama Teknik Denmark – Republik Indonesia
17. Kerjasama Teknik Korea – Republik Indonesia
18. Kerjasama Teknik Finlandia – Republik Indonesia
19. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Malaysia – Republik Indonesia
20. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Singapura – Republik Indonesia
21. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Teknik RRC – Republik Indonesia
22. Kerjasama Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknik Vietnam – Republik Indonesia
23. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Thailand – Republik Indonesia
24. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik Meksiko – Republik Indonesia
25. Kerjasama Teknik Kerajaan Arab Saudi – Republik Indonesia
26. Kerjasama Teknik Iran – Republik Indonesia
27. Kerjasama Teknik Pakistan – Republik Indonesia
28. Kerjasama Teknik Philippina – Republik Indonesia

III. Kerjasama Kebudayaan
1. Kerjasama Kebudayaan Belanda – Republik Indonesia
2. Kerjasama Kebudayaan Jepang – Republik Indonesia
3. Kerjasama Kebudayaan Mesir/RPA – Republik Indonesia
4. Kerjasama Kebudayaan Austria – Republik Indonesia

IV. Organisasi-Organisasi Internasional Lainnya:
1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. FPP Int. (Foster Parents Plan Int.)
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik Di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Homines Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
26. KAS(Konrad Adenauer Srifrung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
31. Kyoto University- Jepang
32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
33. Swisscontact – Swiss Foundation for Technical Cooperation
34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging lot Bestrijding der Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children’s Fund)
50. CRS (Catholic Relief Service)
51. CWS (Church World Service)
52. The Ford Foundation
53. FES(FriedrichEbertStiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pekerja Indonesia di Luar Negeri

Ini adalah kabar yang baik bagi para pekerja Indonesia yang bekerja di Luar Negeri. Telah keluar Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-2/PJ/2009. Menurut bagian “menimbang” dari Perdirjen ini bahwa peraturan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Saya menggarisbawahi kata-kata “memberikan kepastian hukum”.

Inilah jawaban “keresahan” para pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Memang sudah seharusnya ketentuan perpajakan kita konsisten bahwa aturan 183 hari itu berlaku baik bagi setiap orang yang berada di Indonesia maupun orang yang berada di luar Indonesia. Jika berada di Indonesia 183 hari atau lebih maka menjadi subjek Pajak dalam negeri. Sebaliknya, jika berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka menjadi subjek Pajak luar negeri.

Inti dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-2/PJ/2009 merupakan “penegasan” warga Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari merupakan subjek pajak luar negeri. Karena merupakan subjek pajak luar negeri maka atas penghasilan di negara tempat bekerja tersebut tidak perlu dilaporkan di Indonesia dan tidak dikenakan PPh di Indonesia. Supaya lebih jelas, saya kutip Pasal 1 sampai Pasal 4.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Pasal 2
Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan Subjek Pajak Luar Negeri.

Pasal 3
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.

Pasal 4
Dalam hal Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

Saya ingatkan bahwa “status” subjek pajak luar negeri tidak memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Memang ada dua subjek pajak luar negeri yaitu subjek pajak yang memperoleh penghasilan dari Indonesia melalui BUT dan subjek pajak luar negeri [SPLN] yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT. Biar lebih gampang, kita istilahkan SPLN Non-BUT dan SPLN BUT. Nah, para pekerja ini semestinya SPLN Non-BUT. Mungkin akan berbeda jika para WNI tersebut di luar negeri bukan sebagai pekerja tapi pengusaha!

Subjek Pajak non BUT tidak memiliki kewajiban melaporkan penghasilan yang diperolehnya dari Indonesia karena kewajiban perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia telah “dibebankan” kepada subjek pajak Indonesia yang memberikan penghasilan. Berikut kutipan dari memori penjelasan Pasal 2 UU PPh 1984:

Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Di Perdirjan ini ada menyinggung tengan warga negera. Menurut saya, penyebutkan warga negara karena Perdirjen ini mengatur pekerja Indonesia. Seperti disebutkan di Pasal 1-nya bahwa yang dimaksud pekerja Indonesia adalah warga negera Indonesia yang bekerja di Luar Negeri. Tentu jika warga negara Cina bekerja di Singapura maka bukan pekerja Indonesia [sekedar contoh]!

Semoga Perdirjen ini semakin memperjelas!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

WPDN tapi tinggal di LN

Sebuah pertanyaan via email tentang PPh atas pembayaran deviden telah menyadarkan saya bahwa praktek di lapangan ada Wajib Pajak Dalam Negeri [WPDN] tapi tinggal di Luar Negeri [LN], misalnya Singapore.
WPDN yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki NPWP. Kita perhatikan, siapa yang wajib memiliki NPWP menurut UU KUP berikut ini.

Pasal 2 ayat (1) UU KUP

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Penjelasan ayat ini berbunyi :

Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Dan persyaratan subjektif yang dimaksud [tentang WPDN] diatur di Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [perubahan tahun 2008]

orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Sedangkan kapan berakhirnya seseorang menjadi WPDN, diatur di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 [perubahan tahun 2008]

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Memang di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa WPDN [atau lebih tepat subjek pajak dalam negeri] berakhir pada saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Kata-kata “untuk selama-lamnya” saya pikir tidak bisa disamakan dengan “tidak akan kembali ke Indonesia”. Coba perhatikan memori penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984:

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Ditambah lagi penjelasan Pasal 2A ayat (4) UU PPh 1984 :

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

Bagi saya, dua penjelasan diatas mempertegas bahwa bagi orang pribadi yang sering “mondar-mandir” antara dalan negeri dan luar negeri maka status WPDN atau WPLN ditentukan oleh keberadaan dirinya di Indonesia atau di LN selama 183 hari dalam satu tahun. Contoh, jika pada tahun 2009 seseorang berada di Singapore selama 183 hari maka dia berstatus WPLN. Sedangkan pada tahun 2010 dia berada di Singapore kurang 183 hari [misalkan cuma 180 hari saja] dan sisanya berada di Indonesia maka dia statusnya WPDN.

Kembali ke pertanyaan via email tadi. PT X pemegang sahamnya A dan B. Kebetulan A berdomisili di Singapore [misalkan tinggal lebih dari 183 hari]. Tetapi sebelumnya penduduk Jakarta sehingga dulunya memiliki NPWP. Sedangkan B masih di Jakarta. Dengan demikian, maka A sekarang statusnya WPLN dan B berstatus WPDN. Nah, pada waktu pembayaran deviden ke A, apakah dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26? Jawaban saya, dipotong PPh Pasal 26 karena statusnya sudah WPLN.

Walaupun di Pasal 2 ayat (1) UU KUP tidak disebutkan apakah kewajiban subjektif tersebut subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri tetapi pendapat saya hanya subjek pajak dalam negeri. Kenapa? Karena ada kewajiban mendaftarkan diri di KPP. Perhatikan kutipan berikut, “.. wajib mendaftarkan diri .. meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan …” Artinya, subjek pajak luar negeri memang tidak wajib memiliki NPWP.

Terus bagaimana dengan si A? Jika masih memiliki NPWP memang secara formal memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Menurut saya, selama NPWP belum dicabut, kewajiban perpajakan masih melekat. Dan mohon dicatat bahwa format SPT Tahunan kita hanya untuk WPDN dengan world wide income atau full liabilities. Bagaimana A yang berstatus WPLN tetapi harus melaporkan penghasilan seperti WPDN? Ini kontradiksi.

Salah satu prinsip yang dipakai di Indonesia adalah the substance over-form. Seharusnya peraturan materil juga mengalahkan peraturan formal. Si A secara substansi sebagai WPLN tetapi secara formal sebagai WPDN.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Subjek Pajak

Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, erkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.

Setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang -undangan yang berlaku; dan
b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; dan
c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
d. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
e. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
f. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk usaha tetap / BUT ( permanent establishment ) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, p ertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

UU Pajak Penghasilan menganut resident principle untuk Wajib Pajak dalam negeri dan source principle untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut:

a. Wajib Pajak dalam negeri :
1). dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;
3). wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :
pemenuhan kewajiban perpajaka nnya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

c. Wajib Pajak luar negeri non -BUT :
1). dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3). tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Kapan bermula dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ?
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri: (a) dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. Wajib Pajak badan dalam negeri: (a) dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; (b) berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi: (a) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut; (b) berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4. Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT; (b) berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
5. Wajib Pajak Orang pribadi atau badan luar negeri non-BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia; (b) berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: