fbpx

Tambahan Kekayaan Neto

tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
gambar dari emas24karang.com

 

 

 

 

 

Objek PPh sesuai namanya adalah penghasilan. Secara umum, definisi penghasilan diatur di Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Salah satu kriteria penghasilan adalah menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Secara teori, ini merupakan metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

Hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi, merupakan penghasilan. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan, dimana y sebagai penghasilan, c sebagai konsumsi, dan s sebagai tabungan.

Dalam praktek, menghitung PPh terutang dibatasi oleh tahun pajak. Ketetapan pajak yang diterbitkan oleh kantor pajak hanya bisa per tahun pajak. Satu surat ketetapan pajak tidak mungkin untuk dua tahun pajak atau lebih.

Sedangkan kriteria “menambah kekayaan Wajib Pajak” merupakan sisa yang ditabung menjadi kekayaan. Artinya kumulatif dari kekayaan yang ada per tanggal tertentu. Atau sisa kekayaan yang ada pada akhir tahun tertentu.

Kenapa akhir tahun? Karena daftar kekayaan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ke kantor pajak pada umumnya per 31 Desember dan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

semua penghasilan akan “mengendap” menjadi kekayaan Wajib Pajak



Menghitung tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak dilakukan dengan menjumlahkan total kekayaan, kemudian dikurangi dengan “penghasilan neto” yang sudah dikenai pajak. Sisanya tentu yang belum dikenai pajak.

Penghasilan neto dalam hal ini merupakan penghasilan bruto dalam satu tahun dikurangi biaya hidup dalam tahun tersebut. Biaya hidup disini adalah semua pengeluran baik untuk konsumsi maupun pajak-pajak selain PPh. 

contoh daftar pengeluran versi LHKPN


Karena “menambah kekayaan Wajib Pajak” merupakan restan, sisa, atau saldo atas penghasilan-penghasilan masa lalu, maka objek PPh dari kriteria ini tidak ada tahun pajak. Kan yang dihitung juga restan kekayaan tahun yang diperiksa!

Secara matematis, jika semua penghasilan yang menjadi restan kekayaan sudah dikenai pajak penghasilan tentu saja penghitungan “hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak” hasilnya akan nihil. Walaupun penghitungannya berulang-ulang setiap tahun.

Tetapi, jika penghitungan tersebut hasilnya terdapat “hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak” maka itu merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh.

 



Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com



gold bars
Photo by Michael Steinberg on Pexels.com

Ruko dan Rukan termasuk objek PPh Pasal 22 atau tidak?

contoh iklan jual rumah seharga 100 milyar rupiah di Jakarta Selatan

Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015 mengatur kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, diantaranya “apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Peraturan ini tidak merinci “dan sejenisnya” yang menjadi objek PPh Pasal 22.

Karena itu timbul pertanyaan, apakah rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), kondominium hotel (kondotel) termasuk “dan sejenisnya”?


Untuk menjawab pertanyaan ini saya baca latar belakang peraturan ini. Latar belakang yang saya maksud ada di bagian menimbang. Ini kutipannya:

pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak atas penghasilan yang digunakan untuk konsumsi barang yang tergolong sangat mewah

Dari bagian menimbang itu saya menemukan kata “konsumsi”. Istilah konsumsi saya baca di wiki:

Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung 

Dari pengertian diatas, saya memiliki dua kriteria:

  • memenuhi kebutuhan, dan
  • memenuhi kepuasan.

Kebutuhan untuk barang orang kaya tentu bukan kebutuhan pokok. Barang yang dimaksud tergolong sangat mewah. Jadi, menurut saya kebutuhan dalam hal ini adalah “tempat tinggal” dan kendaraan.

Untuk jenis “tempat tinggal” bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

  • rumah
  • apartemen
  • kondominium

    Sedangkan jenis kendaraan bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

    • pesawat terbang pribadi, 
    • helikopter pribadi,
    • kapal pesiar, 
    • yacht,
    • sedan, 
    • jeep, 
    • sport utility vehicle (suv), 
    • multi purpose vehicle (mpv), 
    • minibus,
    • kendaraan bermotor roda dua dan tiga

    Sedangkan kriteria kedua adalah kriteria kepuasan. Pemuasan pribadi pembeli supaya tempat tinggal dan kendaraan yang dimiliki “sekelas” dengan penghasilannya. Pamer!

    Maksudnya, bahwa tempat tinggal dan kendaraan mereka kelasnya sudah sangat mewah. Nah sangat mewah inilah yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015.

    KESIMPULAN
    Kembali ke pertanyaan, apakah rumah toko dan rumah kantor termasuk objek PPh Pasal 22 yang dimaksud Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015?

    Menurut saya bukan. Alasannya:
    • tujuan pembuatan rumah toko dan rumah kantor adalah untuk usaha sehingga tidak termasuk pengertian “rumah tinggal” walaupun bisa saja dia tinggal di ruko atau rukan.  
    Bagaimana jika rumah atau apartemen digunakan untuk usaha? Misalnya disewakan? Atau rumah yang dijadikan kantor? Atau rumah yang bagian depannya ada toko? Tetap menjadi objek karena pada dasarnya rumah dan apartemen dimaksud untuk tempat tinggal. Hanya saja penggunaannya yang “menyimpang”.


    DEFINISI:
    Ruko (singkatan dari rumah toko) adalah sebutan bagi bangunan-bangunan di Indonesia yang umumnya bertingkat antara dua hingga lima lantai, di mana lantai-lantai bawahnya digunakan sebagai tempat berusaha ataupun semacam kantor sementara lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.

    FUNGI:
    fungsi utama dari kantor dan rumah sangatlah bertolak belakang sehingga Anda harus mengatur dan mendesainnya sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara satu dan lainnya. 

    Rumah, ibaratnya istana. Kehangatan, keakraban, kepedulian, kebersamaan, dan kebutuhan untuk istirahat sangat dominan di rumah. Sedangkan kantor penuh dengan deadline, pusat dari segala produktivitas yang Anda miliki juga merupakan icon dari profesionalisme Anda sebagai pekerja.


    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog





    Tax Collection Cost

    Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merekomendasikan masyarakat agar tidak membayar pajak karena penerimaan pajak banyak dikorupsi oknum pegawai Pajak. ICW membaca rekomendasi ini sebagai tamparan kepada pemerintah. DJP kemudian menjawab bahwa membayar pajak sebagai upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27ayat (3) UUD 1945. Seberapa banyakkah yang dikorupsi?

    Secara umum, dua bisa disebut banyak. Artinya, sedikit itu hanya satu. Berapa banyakkah yang dikorupsi? Persisnya tidak ada yang tahu! Apalagi jika akan menggunakan pendapat Pak Dirjen Pajak sekarang bahwa pihak yang korupsi uang pajak itu ada dua:
    a. pegawai pajak yang bersedia disuap oleh Wajib Pajak;
    b. Wajib Pajak yang tidak membayar pajak.

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah lama melakukan evaluasi administrasi perpajakan di tubuh DJP. Bulan September 2012 KPK telah menerbitkan Kajian Penerapan Kode Etik dalam Reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak kemudian menyambut baik terhadap hasil riset ini. DJP berharap agar masyarakat juga mengetahui bahwa DJP memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi dan pencegahan segala bentuk penyalahgunaan wewenang oleh oknum pegawainya.

    Hal terpenting yang harus diperhatikan oleh masyarakat Wajib Pajak, selain isyu korupsi, adalah tax collection cost. Gampangnya, tax collection cost adalah sejumlah uang yang dihabiskan oleh administrator perpajakan untuk mengumpulkan pajak. Untuk memudahkan membacanya biasanya menggunakan perbandingan. Jadi cost yang digunakan administratior perpajakan dibandingan dengan pajak yang berhasil dikumpulkan.

    Berapa tax collection cost DJP tahun 2012? Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan,
    Anggaran kita hanya 5 triliun, dibandingkan dengan realisasi 880 triliun, artinya cost of collection kita hanya 0,5 %. Di negara lain sampai 3 %,” demikian diungkapkan Dirjen Pajak Fuad Rahmany dalam pengarahan mental pegawai di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi (Sumbarja) hari Rabu, 12 September 2012.

    Artinya, biaya perpajakan oleh DJP cukup murah. 🙂
    Walaupun sebagian masyarakat menganggap bahwa gaji pegawai pajak sudah tinggi. Tetapi justru tax collection cost dari tahun 2009 menurun. Berikut catatannya:

     2009 penerimaan Rp577 triliun, belanjanya Rp5,3 triliiun, sehingga tax collection cost hanya 0,6 persen, di bawah satu persen. 2010 penerimaan Rp661 triliun, belanjanya Rp5,148 triliun turun lagi. Jadi hanya 0,78 persen, bahkan 2013 menjadi 0,55 persen.

    salam

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Reformasi Pengadilan Pajak

    Salah satu agenda yang harus dijalankan adalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Kalimat tersebut saya kutip dari penjelasan UU No. 35 Tahun 1999.
    Di paragrap selanjutnya disebutkan, “pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan.”
    Sayang sekali, agenda reformasi dibidang hukum tadi belum menyentuh pengadilan pajak.

    Pengadilan pajak saat ini masih dibawah kementrian keuangan. Menurut Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 bahwa pembinaan teknis  pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementrian Keuangan.

    Padahal, bentuk reformasi di bidang hukum adalah memindahkan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen (sekarang kementrian) yang bersangkutan menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

    Artinya, saat ini struktur pengadilan pajak belum reformis.

    Bagaimana jika pengadilan pajak dikembalikan kepada semangat reformasi di bidang hukum?

    Serahkan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung.

    Mungkin bisa dimasukkan sebagai pengadilan khusus di peradilan tata usaha negara.

    Selama ini putusan pengadilan pajak dianggap putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.

    Hal ini ditegaskan di Pasal 27 ayat (2) UU KUP. Putusannya memang sudah dimasukkan sebagai peradilan tata usaha negara, tetapi masalah keuangan, administrasi, dan organisasi masih menginduk ke Kementrian Keuangan.

    Ini ibarat kepala ada di Mahkamah Agung tapi leher kebawah berada di Kementrian Keuangan.

    Adakah kemauan Kementrian Keuangan untuk mereformasi pengadilan pajak? Ini pertanyaan sentral.

    Kemauan ini harus berada di tingkat kementrian karena melibatkan dua institusi, yaitu pengadilan pajak dan DJP.

    Proses pengadilan sengketa pajak dimulai dari proses keberatan di DJP. Kemudian banding di pengadilan pajak.

    Saya merasa, jika pihak kementrian sudah mengintruksikan pencabutan “pengadilan semu” sengketa pajak ke peradilan tata usaha negara maka DJP tidak bisa menolak.

    Secara strukturan, DJP harus tunduk pada kebijakan yang dikeluarkan pihak kementrian.

    Walaupun demikian, pemindahan pengadilan semu sengketa pajak ke peradilan tata usaha negara akan lebih baik bagi DJP.

    Sekurang-kurangnya ada tiga keuntungan yang akan diraih DJP jika melepas kewenangan proses keberatan :
    [1.] Memperlihatkan bahwa DJP mau mereformasi diri.
    Fungsi utama DJP sebenarnya sebagai administrator pajak. Menteri Keuangan sudah memutuskan untuk memberikan fungsi kebijakan fiskal 100% ke BKF, sehingga kebijakan perpajakan juga diserahkan ke BKF.

    Fungsi pengadilan semu juga harus dikeluarkan. Fungsi yang tersisa tinggal DJP sebagai administrator penerimaan pajak semata. Wajib Pajak pun tidak akan lagi menuduh DJP terlalu kuat!

    [2.] Memberikan kesetaraan bagi Wajib Pajak.
    Sebenarnya DJP memiliki kewenangan terlalu besar. DJP menetapkan pajak terutang.

    DJP juga memutus sengketa atas pajak terutang, walaupun di tingkat keberatan.

    Pada saat menghitung pajak, pemeriksa berlandaskan “demi penerimaan”. Pada saat memutuskan sengketa, penelaah keberatan juga berlandaskan “demi penerimaan”.

    Akibatnya, Wajib Pajak diperlakukan tidak proporsional karena semua berlandaskan “demi penerimaan”.

    Jika proses keberatan diserahkan pada PTUN, PT TUN dan MA maka Wajib Pajak dan DJP memiliki posisi setara memperjuangkan hak dan kewenangannya. Ada pihak yang independen dan merdeka memutuskan sengketa tersebut.

    [3.] Meningkatkan profesional pemeriksa pajak.
    Pejabat fungsional pemeriksa pajak tentu akan berpikir ulang jika mereka menghitung pajak berdasarkan “kehendaknya semata”.

    Jika proses keberatan dan banding diserahkan pada peradilan tata usaha negara maka pemeriksa tentu akan selalu berpikir, “Bagaimana mempertahankan argumentasi saya di peradilan tata usaha negara?”.

    Kondisi ini akan menghapus arogansi pemeriksa pajak karena sangat rentan ketetapannya dibatalkan oleh PTUN.

    Maksud arogansi pemeriksa pajak adalah penafsiran peraturan secara sepihak! Efeknya tentu menghilangkan citra buruk bagi DJP.

    Wajib Pajak akan merasa setara dengan pemeriksa pada saat pemeriksaan.

    Semoga ada perubahan!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Tax Ratio Indonesia

    Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa tax ratio kita pernah sampai 18,54%. Pemberitaan selama ini, tax ratio Indonesia sekitar 12%.
    Tahun ini pemerintah dan DPR menetapkan tax ratio sebesar 12,5%. Tetapi tax ratio ini tidak termasuk pajak daerah. Jadi kalau dimasukkan pajak daerah berapa?

    Tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB).

    Tax ratio seringkali menjadi ukuran kinerja sektor perpajakan. Hanya saja, menurut saya, seringkali sektor perpajakan yang dimaksud selalu mengacu ke DJP. Hal ini yang harus diluruskan.

    Sebelum lebih lanjut, saya perjelas dulu definisi pajak. Pengertian pajak secara resmi diatur di Pasal 1 angka 1 UU KUP.

    Pajak  adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Sedangkan menurut wikipedia, pajak adalah  iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

    Ada juga ahli ekonomi yang memberi definisi bahwa pajak adalah pendapatan yang berasal dari sektor privat yang dipindahkan ke sektor publik.

    Dari pengertian diatas, saya mengambil pengertian yang sederhana bahwa pajak adalah pendapatan negara.

    Di struktur APBN kita, pendapatan negara terdiri dari tiga : pendapatan perpajakan, pendapatan bukan pajak, dan hibah.

    Untuk yang terakhir, saya setuju bahwa hibah tidak termasuk pajak. Tetapi penerimaan bukan perpajakan yang dimaksud di APBN jika dikembalikan pada pengertian pajak, maka substansinya pajak juga walaupun secara istilah bukan pajak.

    Dengan pemahaman seperti itu (semua pendapatan negara kecuali hibah merupakan pajak) maka tax ratio menurut APBN 2011 sebesar 15,69%. K

    apan tax ratio mencapai 18,54%? Silakan perhatikan tabel dibawah!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Kehadiran WP dalam Closing Conference

    “Closing Conference” adalah istilah lain yang sering dipergunakan dalam pemeriksaan pajak untuk Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
    Penggunaan judul “Closing Conference” semata-mata supaya lebih singkat saja! Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
    Ini definisi resmi menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007.

    Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh pemeriksa pajak.

    Bahkan jika pemeriksaan pajak dilakukan TANPA Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan maka produk dari pemeriksaan tersebut dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP.

    Setidaknya ada dua poin yang harus diperhatikan dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

    Pertama, sesuai dengan definisi bahwa Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.

    Namanya juga “pembahasan”. Jika hanya satu pihak, apa yang harus dibahas? Pada prakteknya, walaupun pemeriksa pajak terdiri minimal 3 orang [dalam satu tim] tetapi mereka tidak ada perpedaan pendapat.

    Terutama jika Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan [SPHP] sudah dikirim ke Wajib Pajak.

    Walaupun ada perbedaan pendapat, maka mereka akan berunding sebelum SPHP terbit dan diterima oleh Wajib Pajak.

    Jadi poin pertama adalah Wajib Pajak disatu pihak dan pemeriksa pajak dipihak lawan. Keduanya tidak sepakat.

    Ketidaksepakatan tersebut kemudian dibahas dalam forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan [closing conference].

    Jika salah satu tidak ada, maka tidak ada forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan! Jadi keberadaan forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan WAJIB ada jika Wajib Pajak tidak setuju atas SPHP! Baik tidak setuju seluruhnya maupun sebagian.

    Kedua, kalimat di Pasal 36 ayat (1) huruf d angka 2 UU KUP, yaitu “pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.”

    Saya tekankan pada kata-kata “dengan Wajib Pajak”! Menurut saya, kata-kata tersebut meWAJIBkan kehadiran Wajib Pajak pada forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

    Tanpa kehadiran Wajib Pajak maka tidak ada closing conference. Tanpa closing conference maka hasil pemeriksaan dapat dibatalkan!

    Walaupun kehadiran Wajib Pajak dalam closing conference begitu penting, tetapi Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 hanya menyebut “hak hadir” bagi Wajib Pajak.

    [1] Pada Pasal 11 ayat (1) 199/PMK.03/2007 menyebutkan, “Pemeriksa Pajak wajib memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.”

    [2] Pada Pasal 13 ayat (1) 199/PMK.03/2007 menyebutkan, “Wajib Pajak berhak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang ditentukan.”

    WAJIB PAJAK TIDAK SETUJU “SPHP”
    Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) 199/PMK.03/2007 bahwa Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.

    Penggunaan kata “wajib” artinya jika tidak dilakukan atau tidak memberikan tanggapan secara tertulis maka Wajib Pajak dianggap setuju atas hasil pemeriksaan [lihat Pasal 21 PER-19/PJ/2008]

    Prakteknya, bisa jadi Wajib Pajak memberikan tanggapan tertulis atas SPHP. Misalkan Wajib Pajak tidak setuju atas SPHP.

    Tetapi pada saat pembahasan, Wajib Pajak tidak hadir.

    Apakah ketidakhadiran Wajib Pajak dalam forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan berarti tidak ada Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan?

    Memang dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 bahwa pemeriksa pajak tetap dapat membuat risalah Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan membuat Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak.

    Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak justru menegaskan bahwa TIDAK ADA Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan!

    Dibahas dengan siapa? Bukankah kehadiran Wajib Pajak merupakan hak? Bisa datang, bisa tidak? Tidak ada konsekuensi hukum seperti WAJIB!

    Sebaliknya, jika tidak ada Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak maka produk hukum hasil pemeriksaan tersebut dapat dibatalkan.

    Proses pembatalan tersebut bisa secara jabatan oleh kantor pajak sendiri atau atas permohonan Wajib Pajak.

    Menurut saya, “celah” ini akan jadi bumerang bagi pemeriksa pajak!

    PENDAPAT
    Seharusnya kehadiran Wajib Pajak dalam closing conference bersifat WAJIB. Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan SPHP.

    Jika tidak memberikan tanggapan maka dianggap setuju. Begitu juga jika Wajib Pajak tidak hadir dalam closing conference maka ketidakhadiran tersebut dianggap persetujuan atas hasil pemeriksaan.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PM atas BKP yang dibebaskan

    Kemarin seorang teman pemeriksa menanyakan masalah pengkreditan pajak masukan [PM] atas ekspor barang kena pajak (BKP) yang dibebaskan. BKP tersebut menurut peraturan dibebaskan dari PPN.
    Menurutnya, sebagian teman-temannya berpendapat bahwa atas PM BKP yang dibebaskan boleh dikreditkan asal penyerahannya ekspor. Tetapi jika penjualannya lokal, maka atas PM BKP tersebut tidak boleh dikreditkan.

    Saya berpendapat bahwa perlakuan tersebut salah. Seharusnya, PM atas BKP yang dibebaskan tidak boleh dikreditkan baik untuk tujuan ekspor maupun penjualan lokal. Jika dibebaskan maka PPN tidak terutang.

    PPN terutang itu tarifnya bisa 10% atau 0%. Jangan terpengaruh pada tarif 0% seolang-olah tidak terutang.

    Selain itu, bahwa jika BKP tersebut dibebaskan maka sebenarnya atas penjualan BKP tersebut masih terdapat PPN. Sedangkan ekspor bertujuan “melucuti” PPN yang terkandung di BKP.

    Kemudian saya cek ke UU PPN. Ternyata di Pasal 16B UU PPN dengan jelas bahwa atas penyerahan BKP yang dibebaskan, tidak boleh ada pengkreditan pajak. Berbeda dengan istilah PPN tidak dipungut.

    PPN yang tidak dipungut masih tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Dengan demikian, PM-nya boleh dikreditkan.

    Berikut kutipan Pasal 16B UU PPN:
    Pasal 16B

    (1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
    a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

    b.penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;

    c.impor Barang Kena Pajak tertentu;

    d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

    e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabeandiatur dengan Peraturan Pemerintah.

    (2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

    (3)Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

    Pasal 16B ayat (3) diatas sengaja saya tebalkan untuk memperlihatkan bahwa atas “penyerahannya dibebaskan”. Penyerahan tersebut tidak dibatasi hanya untuk penyerahan lokal atau dalam negeri saja. Artinya bisa penyerahan lokal atau penyerahan ekspor.

    Demikian pendapat saya

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Jangka Waktu Pemeriksaan

    Apakah jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana administratif atau untuk kepastian hukum? Saya berusaha untuk menjawab dua sisi jangka waktu pemeriksaan.

    UU KUP tidak mengatur berapa lama pemeriksaan harus diselesaikan. Pembatasan 12 bulan hanya khusus digunakan untuk pemeriksaan SPT Lebih Bayar.

    Pasal 17B ayat (1) UU KUP berbunyi :

    Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

    Jadi pembatasan 12 bulan sebenarnya untuk kepastian hukum, apakah permintaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak diterim atau ditolak.

    Kalau SPT Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar tetapi Wajib Pajak tidak meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak, apakah tetap diperiksa?

    Prakteknya, semua SPT Lebih Bayar tetap diperiksa baik meminta pengembalian atau tidak.

    Walaupun UU KUP tidak menyebutkan secara pasti berapa lama jangka waktu pemeriksaan pajak, tetapi dengan jelas mendelegasikan pengaturan jangka waktu pemeriksaan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

    Berikut bunyi Pasal 31 ayat (2) UU KUP berbunyi :

    Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

    Sebagai tindak lanjut dari Pasal 31 UU KUP kemudian terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007.

    Menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 bahwa jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan adalah :
    [1] paling lama 6 bulan untuk pemeriksaan kantor;
    [2] paling lama 8 bulan untuk pemeriksaan lapangan; dan
    [3] paling lama 2 tahun jika terindikasi transfer pricing;

    Kembali ke pertanyaan awal, apakah jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana administratif atau untuk kepastian hukum?

    Sebagian besar (saya kira) fungsional pemeriksa tidak beranggapan bahwa jangka waktu pemeriksaan merupakan bagian dari kepastian hukum.

    Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jangka waktu pemeriksaan yang lewat dari 8 bulan. Apakah pemeriksaan tersebut kemudian menjadi batal?

    Ternyata pada prakteknya tetap saja pemeriksaan berlanjut dan berujung di skp [surat ketetapan pajak].

    Dari pihak Wajib Pajak, jangka waktu 8 bulan bisa jadi terlalu lama. Dia harus menunggu ketidakpastian selama 8 bulan.

    Bahkan sebagian Wajib Pajak sebanarnya ingin mengatakan, “Hey fiskus, kalau kamu tidak bisa membuktikan SPT saya salah dalam jangka waktu 8 bulan, tetapkan saja nihil!”

    Sebaliknya dari sisi pemeriksa pajak, bisa jadi waktu 8 bulan tersebut masih kurang.

    Mungkin si pemeriksa tidak hanya memeriksa satu Wajib Pajak pada waktu bersamaan.

    Ada beberapa Wajib Pajak yang sedang diperiksa sehingga perhatian untuk satu Wajib Pajak tidak setiap hari. Pada akhirnya, jangka waktu 8 bulan pemeriksaan dilewati.

    Apakah penerbitan skp hasil pemeriksaan yang lewat 8 bulan bisa dibatalkan? Menurut Pasal 36 ayat (1) UU KUP hasil pemeriksaan yang bisa dibatalkan hanya dua kondisi, yaitu :
    [1] SPHP tidak disampaikan, atau
    [2] tidak ada pembahasan akhir dengan Wajib Pajak.

    Dengan demikian, hasil pemeriksaan yang lewat 8 bulan tidak bisa dibatalkan karena tidak diatur oleh UU KUP.

    Karena tidak diatur lebih lanjut, maka pemeriksaan yang lewat jangka waktu sebagai mana diatur Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tidak bisa digugat oleh Wajib Pajak.

    Saya lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa pengaturan jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana internal administrasi pemeriksaan.

    Salaam

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Bank Persepsi

    Apakah selama ini anda mengira bahwa kantor pajak adalah tempat menerima setoran pajak? Jika jawaban anda ya, maka anda salah besar!
    Direktorat Jenderal Pajak [DJP] atau kantor pajak dibawahnya sebenarnya merupakan kantor administrasi perpajakan pusat. Kita bedakan pajak pusat versus pajak daerah karena memang ada pajak daerah.
    Pajak pusat untuk mengisi Pendapatan di APBN. Sedangkan pajak daerah untuk mengisi Pendapatan APBD. Walaupun sebagian APBD ada juga yang berasal dari APBN.
    Tempat setoran pajak sebenarnya bank atau pos persepsi. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara.
    Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Pemberian nama “persepsi” menunjukkan bahwa tidak semua kantor bank menerima setoran pajak.
    Begitu juga dengan kantor pos, tidak semua kantor pos menerima setoran pajak.
    Tapi saya kira, sebagian besar kantor bank saat ini bisa menerima setoran pajak.
    Media setoran pajak di bank persepsi dan pos persepsi adalah Surat Setoran Pajak [SSP]. Beginilah format SSP menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 38/PJ/2009 :
    Setelah kita isi, biasanya SSP diisi dikantor masing-masing Wajib Pajak, SSP diserahkan ke teller bank.
    Kemudian komputer bank persepsi akan online dengan komputer Kementrian Keuangan melalui aplikasi yang disebut Modul Penerimaan Negara [MPN].
    Jika terhubung maka MPN akan memberikan Nomor Transaksi Penerimaan Negara [NTPN].
    Selain itu, komputer bank persepsi juga akan memberikan Nomor Transaksi Bank [NTB]. Baik NTPN maupun NTB akan tercetak di SSP, khususnya bagian validasi.
    Instansi pemerintah yang terlibat dalam penerimaan negara ada dua, yaitu DJP sebagai administrasi perpajakan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan [DJPb].
    Semua SSP kemudian direkonsiliasi antara DJP dan DJPb. Jika sudah tercatat di DJPb maka setoran pajak tersebut kemudian disebut penerimaan negara.
    Data penerimaan negara inilah yang sering diumumkan kepada publik setiap akhir tahun apakah target pajak tercapai atau tidak.
    Jadi tidak mungkin DJP mengumumkan adanya penerimaan sekian trilyun rupiah jika belum ada rekonsiliasi dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    SKPN Tambahan?

    KONON kabarnya ada Wajib Pajak yang mengajukan SKB ke salah satu kantor pajak. Salah satu lampiran untuk mendapatkan SKB tersebut, si Wajib Pajak melampirkan Laporan Keuangan yang sudah di audit (audited).

     

    Kebetulan Wajib Pajak tersebut sudah diperiksa dan telah diterbitkan SKPN dengan rugi [misalnya] 100 milyar rupiah.

    Tetapi pada Laporan Keuangan yang telah diaudit ternyata Wajib Pajak tersebut mengalami kerugian HANYA [misalnya] 20 milyar rupiah saja.

    Kemudian kantor pajak tersebut merasa mendapat DATA BARU.

    Berdasarkan data baru [novum] tersebut, kemudian kantor pajak mengusulkan pemeriksaan ulang ke Dirjen Pajak.

    Untuk melakukan pemeriksaan ulang memang harus ada novum dan persetujuan Dirjen Pajak.

    Kemudian timbul pertanyaan :
    [1] Apa produk hasil pemeriksaan ulang?


    [2] Berdasarkan novum, bahwa Wajib Pajak tetap mengalami kerugian walaupun ruginya jauh lebih kecil.

    Ada koreksi positif 80 milyar, tapi Wajib Pajak tetap rugi fiskal. Artinya tidak ada PPh terutang atau PPh kurang bayar.

    Hasil pemeriksaan ulang tetap tidak kurang bayar. Jika demikian, produk hukum harus SKPN. Adakah produk hukum berupa SKP Nihil Tambahan?

    Jawabannya tetap SKPN

     
    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
     

     

    people playing flutes
    Photo by Kamil Kalkan on Pexels.com
    %d blogger menyukai ini: