fbpx

Tax Collection Cost

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merekomendasikan masyarakat agar tidak membayar pajak karena penerimaan pajak banyak dikorupsi oknum pegawai Pajak. ICW membaca rekomendasi ini sebagai tamparan kepada pemerintah. DJP kemudian menjawab bahwa membayar pajak sebagai upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27ayat (3) UUD 1945. Seberapa banyakkah yang dikorupsi?

Secara umum, dua bisa disebut banyak. Artinya, sedikit itu hanya satu. Berapa banyakkah yang dikorupsi? Persisnya tidak ada yang tahu! Apalagi jika akan menggunakan pendapat Pak Dirjen Pajak sekarang bahwa pihak yang korupsi uang pajak itu ada dua:
a. pegawai pajak yang bersedia disuap oleh Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang tidak membayar pajak.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah lama melakukan evaluasi administrasi perpajakan di tubuh DJP. Bulan September 2012 KPK telah menerbitkan Kajian Penerapan Kode Etik dalam Reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak kemudian menyambut baik terhadap hasil riset ini. DJP berharap agar masyarakat juga mengetahui bahwa DJP memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi dan pencegahan segala bentuk penyalahgunaan wewenang oleh oknum pegawainya.

Hal terpenting yang harus diperhatikan oleh masyarakat Wajib Pajak, selain isyu korupsi, adalah tax collection cost. Gampangnya, tax collection cost adalah sejumlah uang yang dihabiskan oleh administrator perpajakan untuk mengumpulkan pajak. Untuk memudahkan membacanya biasanya menggunakan perbandingan. Jadi cost yang digunakan administratior perpajakan dibandingan dengan pajak yang berhasil dikumpulkan.

Berapa tax collection cost DJP tahun 2012? Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan,
Anggaran kita hanya 5 triliun, dibandingkan dengan realisasi 880 triliun, artinya cost of collection kita hanya 0,5 %. Di negara lain sampai 3 %,” demikian diungkapkan Dirjen Pajak Fuad Rahmany dalam pengarahan mental pegawai di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi (Sumbarja) hari Rabu, 12 September 2012.

Artinya, biaya perpajakan oleh DJP cukup murah. 🙂
Walaupun sebagian masyarakat menganggap bahwa gaji pegawai pajak sudah tinggi. Tetapi justru tax collection cost dari tahun 2009 menurun. Berikut catatannya:

 2009 penerimaan Rp577 triliun, belanjanya Rp5,3 triliiun, sehingga tax collection cost hanya 0,6 persen, di bawah satu persen. 2010 penerimaan Rp661 triliun, belanjanya Rp5,148 triliun turun lagi. Jadi hanya 0,78 persen, bahkan 2013 menjadi 0,55 persen.

salam

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Layanan Kring Pajak

Sejak 8 Januari 2008, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengoperasikan Contact Center yang menjalankan fungsi sebagai Pusat Layanan Informasi dan Pusat Pengaduan Pajak dan diberi nama Kring Pajak.
Kring Pajak dapat dihubungi oleh masyarakat umum melalui saluran telepon dengan nomor 500200. Kring Pajak dioperasikan sebagai salah satu sarana bagi DJP dan dengan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (Clean Government) dan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di lingkungan DJP.

Sebagai Pusat Layanan Informasi, Kring Pajak berfungsi untuk memberikan layanan informasi, konsultasi perpajakan umum, dan konsultasi aplikasi perpajakan elektronik.

Layanan diberikan oleh petugas yang telah diberikan pelatihan yang intensif sehingga memiliki kemampuan komunikasi dan pengetahuan yang memadai di bidang perpajakan dan aplikasi perpajakan elektronik. Hingga kini, Kring Pajak 500200 memiliki 83 pegawai yang cakap dan kompeten.

Keberadaan Kring Pajak telah membantu masyarakat memperoleh informasi perpajakan secara cepat, mudah, murah dan akurat serta tidak terbatas waktu dan tempat. Masyarakat dapat menghubungi Kring Pajak melalui saluran telepon di mana pun dan kapan pun dari seluruh wilayah Indonesia.

Untuk memberikan pelayanan informasi yang prima kepada masyarakat, petugas Kring Pajak didukung dan dilengkapi dengan aplikasi Tax Knowledge Base (TKB) yang selalu up‑to‑date dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan peraturan perpajakan.

Aplikasi TKB adalah sumber informasi bagi para petugas layanan (agent) dalam melayani permintaan informasi maupun menjawab pertanyaan di bidang perpajakan.

Di samping berfungsi sebagai Pusat Layanan Informasi, Kring Pajak juga berfungsi sebagai Pusat Pengaduan Pajak (Tax Complaint Center), yaitu menerima dan mengelola pengaduan yang diterima dari masyarakat untuk mendukung terwujudnya tata kelola yang mendukung prinsip-prinsip good governance.

Jenis aduan yang ditangani mencakup kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran kode etik, multitafsir atas aturan perpajakan, serta layanan dan sarana pelayanan yang tidak memenuhi standar. Untuk mendukung penanganan atas jenis kasus yang beragam, saluran penyampaian aduan yang disediakan juga beragam, mulai dari surat, faksimile, e-mail, telepon, hingga walk-in (pengaduan on-site)

Untuk menjamin kualitas layanan, standard operating procedure (SOP) Kring Pajak memastikan bahwa seluruh pengaduan yang diterima oleh petugas layanan direkam dalam Sistem Informasi Pengaduan Pajak (SIPP).

SIPP ini terus disempurnakan untuk menjamin mutu layanan di mana kasus aduan dapat dilacak perkembangan dan informasi pendukungnya sehingga seluruh bukti/data yang diterima untuk diproses lebih lanjut dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kerahasiaan pelapor juga dijamin sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pengembangan Kring 500200 diharapkan dapat berkontribusi dalam membangun DJP yang lebih profesional, transparan dan bertanggung jawab. Misi lain yang diemban oleh unit ini adalah mendukung layanan publik yang berkualitas, serta mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan layanan publik DJP.

Prestasi dalam industri Contact Center

Pada tahun 2011, Kring Pajak telah meraih prestasi yang membanggakan pada kompetisi-kompetisi di tingkat nasional maupun internasional. Kompetisi-kompetisi tersebut diselenggarakan baik oleh Indonesia Contact Center Association (ICCA) maupun Contact Center World (CCW) yang diikuti oleh contact center dari berbagai latar belakang industri. ICCA dan CCW sendiri merupakan organisasi profesi resmi dalam bidang contact center di Indonesia dan di dunia.

Penghargaan yang berhasil diraih oleh Kring Pajak di tingkat nasional pada tahun 2011 yakni:

  1. Juara 1 (Platinum) untuk kategori The Best Quality Assurance below 100 seats
  2. Juara 3 (Silver) untuk kategori The Best Quality Assurance below 100 seats
  3. Juara 2 (Gold) untuk kategori The Best Back Office Operational below 100 seats
  4. Juara 2 (Gold) untuk kategori The Best Agent Operasional below 100 seats
  5. Juara 3 (Silver) untuk kategori The Best Agent Operasional below 100 seats
  6. Juara 4 (Bronze) untuk kategori The Best Supervisor below 100 seats
  7. Juara 4 (Bronze) untuk kategori The Best Contact Center Got Talent.

Sedangkan untuk tingkat Asia Pasifik dan dunia, penghargaan yang berhasil diraih oleh Kring Pajak pada tahun 2011 adalah:

  1. Juara 1 (Gold Medal/Top Ranking Performance in Contact Center World/ Contact Center Best Practice) untuk kategori Direct Response Campaigne pada tingkat regional Asia Pasifik di Gold Coast Australia.
  2. Juara 1 (Gold Medal/Top Ranking Performance in Contact Center World/ Contact Center Best Practice) untuk kategori Direct Response Campaigne pada kompetisi tingkat dunia (final di Las Vegas, Amerika Serikat)
  3. Juara 4 (Outbound Telemarketer pada tingkat regional Asia Pasifik di Gold Coast Australia.
  4. Juara 4 untuk kategori Supervisor tingkat regional Asia Pasifik di Gold Coast Australia.

Pencapaian prestasi yang diraih di tahun 2011 itu melebihi pencapaian prestasi tahun 2010. Hal itu tampaknya tak terlepas dari komitmen Kring Pajak 500200 untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan tulus, tuntas dan berkualitas.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

The Best Contact Center Indonesia 2011

Rabu malam, tanggal 1 Juni 2011 lalu di Hotel Bidakara Jakarta, Direktorat Jenderal Pajak memborong penghargaan di ajang bergengsi pada malam penghargaan The Best Contact Center Indonesia 2011 yang diselenggarakan oleh Indonesia Contact Center Association (ICCA).
Malam penghargaan yang dihadiri lebih seribu orang dari kalangan praktisi Contact Center di antaranya dari Bank Central Asia, Bank Mandiri, Avaya, Infomedia, Indosat, Telkom Indonesia, Huawei, Bakrie Telecom, BRI, 168 Solution, Pertamina, PT KAI, PT AXA Mandiri, Ditjen Pajak dan lain-lain, demikian meriah dan ditunggu-tunggu oleh peserta dan hadirin untuk mendengarkan pembacaan penerima penghargaan.

Ajang penghargaan ini diadakan setiap tahun dimulai sejak tahun 2007 dengan jumlah peserta yang meningkat dari tahun ke tahun.

Kring Pajak 500200 baru mulai mengikuti ajang tersebut tahun 2009 dan ketika itu meraih penghargaan sebagai Institusi Pemerintah yang pertama kali memiliki Contact Center.

Tahun 2010 lalu DJP mengirimkan empat orang untuk dua katagori dan berhasil meraih dua penghargaan, yaitu satu Platinum untuk kategori The Best Agent Inbound Below 100 Seat dan satu Silver untuk katagori The Best Supervisor.

Tahun 2011, ajang The Best Contact Center Indonesia diikuti oleh lebih dari 40 perusahaan swasta ternama dan beberapa perusahaan milik pemerintah dan sekitar 250 peserta untuk katagori individual.

Lomba yang diadakan mulai tanggal 2 sampai dengan 5 Mei 2011 tersebut memperlihatkan persaingan yang sangat ketat.

Para peserta adalah orang-orang terbaik di institusinya. Kring Pajak 500200, tahun ini mengirimkan 15 orang untuk mengikuti delapan kategori lomba individual yaitu kategori: The Best Supervisor, The Best Team Leader, The Best Trainer, The Best Technical Support, The Best Quality Assurance, The Best Back Office, The Best Telemarketer dan The Best Agent.

Tahun ini Kring Pajak 500200 berhasil memboyong tujuh penghargaan individual yaitu satu Platinum (penghargaan tertinggi) sebagai The Best Quality Assurance yang diraih oleh Yosinta Suwastika, tiga Gold untuk The Best Back Office Operation oleh Adhy Putranto, The Best Inbound Agent oleh Putri

Akhirina dan The Best Telemarketer (outbound agent) oleh Andy Fitriono, dua Silver sebagai The Best Agent olehSeptianTrisetyo Adi, The Best Quality Assurance oleh Nimas Fitriana dan satu Bronze sebagai The Best Supervisor yang diraih oleh Andri Ebenhard Panangian.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas N.E. Fatimah yang turut hadir menyemangati hingga acara usai, menyatakan bahwa prestasi yang sangat membanggakan ini merupakan sebuah bukti bahwa Direktorat Jenderal Pajak adalah institusi pemerintah yang concern terhadap upaya peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat dan selalu mengedepankan kepuasan stakeholder.

Ajang ini merupakan sebuah proses pencapaian yang dilakukan dengan kerendahan hati untuk memberikan jawaban atas keluhan, pendapat dan pandangan yang disampaikan masyarakat agar Ditjen Pajak terus memperbaiki diri. Kring Pajak 500200 menjadi salah satu unit kebanggaan Ditjen Pajak untuk membangun citra institusi menjadi lebih baik.

disalin dari www.pajak.go.id

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Itjen Lebih Superior

Auditor dimanapun harus diletakkan lebih sederajat daripada auditee (pihak terperiksa). Setidaknya, ini pemahaman saya.
Auditor harus diberikan kekuasaan untuk mengakses semua informasi dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Bahkan untuk internal auditor, harus lebih maju lagi, yaitu harus mencegah penyimpangan. Internal audit sering juga disebut kepatuhan internal.
Karena berada di posisi intern, maka kepatuhan internal bisa “mendeteksi” potensi penyimpangan dan berusaha mencegahkan.
Inspektorat Jenderal (Itjen) adalah auditor internal bagi sebuah lembaga. Kementrian Keuangan sebagai lembaga penting di Republik ini memiliki Itjen.
Auditee atau pihak terperiksa adalah unit-unit eselon satu di Kementrian Keuangan seperti DJP.
Karena merupakan posisinya sebagai auditor, maka Itjen Kemenkeu bisa memeriksa setiap berkas yang ada di DJP.
Sebelum “rezim” Dirjen Pajak Hadi Poernomo, Itjen bisa memeriksa Kertas Kerta Pemeriksaan (KKP) dan Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP).
Karena memiliki kewenangan untuk mangaudit KKP dan LHP termasuk SPT Wajib Pajak, maka dulu banyak pemeriksaan ulang berasal dari hasil pemeriksaan Itjen.
Saya sendiri beberapa kali melakukan pemeriksaan ulang berdasarkan rekomendasi hasil pemeriksaan Itjen.
Seharusnya, menurut UU KUP sekarang, pemeriksaan ulang hanya bisa dilakukan jika ada data baru.
Setelah Hadi Poernomo menjadi Dirjen Pajak, DJP lebih “aman” dari jangkauan Itjen Kemenkeu.
Ada sebuah surat yang dipegang oleh temen-temen di lapangan bahwa Itjen termasuk “orang lain”.
Hanya DJP yang bisa mengakses berkas Wajib Pajak termasuk KKP dan LHP. Dasarnya adalah rahasia jabatan sebagaimana dimaksud di Pasal 34 UU KUP.
Sejak itu, Itjen seperti macan kehilangan gigi. Itjen Kemenkeu hanya memeriksa anggaran atau penggunaan APBN oleh DJP.
Tidak lagi melakukan pemeriksaan berkas Wajib Pajak.
Terkait dengan majalah Tempo minggu ini,  posisi Itjen sebagai kepatuhan internal, bukan sebagai auditor yang melakukan pemeriksaan berkas KPC.
Sebagai internal auditor, jika dipandang ada kekeliruan prosedur, maka Itjen tentu memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi.
Domain internal auditor dalam hal ini sebatas prosedur-prosedur. Bukan kepada materi.
Tetapi dalam kasus KPC, Wajib Pajak berusaha “meminjam” tangan Itjen untuk mempercepat proses.
Materi dari hasil pemeriksaan sendiri saya yakin tidak dipengaruhi oleh Itjen Kemenkeu.
Dulu, sebelum reformasi DJP para Wajib Pajak bisa lebih longgar untuk mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Tetapi setelah reformasi DJP banyak hal berubah. Walaupun saya yakin tidak 100% berubah. Namanya juga manusia.
Tetapi dalam kasus KPC, saya menduga pemeriksa termasuk yang tidak bisa dipengaruhi sehingga Wajib Pajak harus meminjam tangan Itjen Kemenkeu.
Jika si pemeriksa pajak bisa dipengaruhi, kenapa harus berpanjang tangan meminta tangan Itjen Kemenkeu?
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Laporan Tahunan DJP

DJP sejak 2007 sudah memposisikan diri sebagai institusi yang reformis. Banyak sektor yang sudah mengalami perubahan.
Pihak pegawai sendiri selalu melakukan cut off kapan “jahiliah” kapan modern. Tentu saja garis batas tersebut tidak serta merta membuat semuanya sempurna.

Butuh proses untuk menjadi institusi yang modern. Mungkin kasus Gayus bisa menjadi pemicu bagi internal DJP untuk selalu melakukan perubahan. Publik boleh saja memiliki persepsi berbeda.

Tetapi banyak pegawai DJP yang ingin membuktikan dengan prestasi. Tidak dengan debat kusir.

Salah satu bentuk perubahan adalah dipublikasikannya Laporan Tahunan DJP atau Annual Report. Saya sangat setuju jika DJP setiap tahun mempublikasi kinerja. Biarkan masyarakat Wajib Pajak mengenal DJP.

Biarkan masyarakat menilai, apa yang sudah dilakukan DJP? Mudah-mudahan masyarakat akan lebih proporsional menilai DJP!

Fungsi DJP sebenarnya administrator pajak. DJP merupakan lembaga administrasi perpajakan.

Ukuran keberhasilan DJP harusnya diukur dengan penerimaan pajak. Silakan menilai kinerja DJP berikut yang saya crop dari halaman 35 Laporan Tahunan DJP :

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

EWS

Faktur Pajak tidak sah adalah salah satu masalah dalam sistem administrasi perpajakan kita. Ada segelintir orang yang memanfaatkan kelemahan sistem Pajak Keluaran Pajak Masukan (PKPM) dari Pajak Pertambahan Nilai.
Setiap Wajib Pajak yang sudah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN dari pembeli (disebut PK). Sebaliknya pada saat dia membeli dia juga dipungut PPN oleh penjual (disebut PM).

Setiap masa pajak, seroang PKP wajib melaporkan kewajiban berapa PK yang dia pungut dan berapa PM yang dia bayar.

Fisik dari PKPM tersebut adalah faktur pajak. Faktur pajak tersebut seharusnya mencerminkan keadaan sebenarnya, yaitu merupakan dokumen dari transaksi jual beli yang dilakukan oleh PKP.

Tetapi dalam kasus faktur pajak tidak sah, faktur pajak dibuat tidak ada transaksi jual beli tetapi yang ada transaksi jual beli dokumen faktur pajak. Hal ini disebut faktur pajak yang dibuat tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya!

Bagi para pelaku penerbit faktur pajak tidak sah diancam penjara minimal 2 tahun sebagaimana disebutkan di Pasal 39A UU KUP :

Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

DJP ke depan akan mengembangkan sistem informasi yang bisa memberikan early warning system (EWS) kepada semua petugas pajak jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah pada faktur pajak tidak sah.

EWS ini diharapkan dapat mencegah praktek-praktek yang merugikan pada penerimaan negara.

Sebagai contoh, jika ada faktur pajak yang dikreditkan oleh seorang PKP sedangkan penerbit faktur pajak tersebut merupakan PKP “diduga pemain” atau suspect maka komputer secara otomatis memberitahukan bahwa faktur pajak tersebut harus diklarifikasi oleh petugas tertentu.

Atau ada PKP yang memiliki indikasi terntentu, maka system secara otomatis memberitahukan bahwa atas PKP tersebut harus diklarifikasi.

Indikasi tertentu menurut SE-29/PJ.53/2003 sebagai berikut :
[a.] Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, tetapi elemen data SPT beserta lampirannya tidak dapat direkam karena Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar sebagai PKP pada Master File Lokal.

[b.] Wajib Pajak yang sering pindah alamat atau selalu mengajukan permohonan perpindahan alamat atau tempat kedudukan atau permohonan perpindahan lokasi tempat terdaftar (Kantor Pelayanan Pajak).

[c.] Wajib Pajak Non Efektif (NE) tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan yang cukup besar tiap bulannya.

[d.] Wajib Pajak yang baru berdiri langsung mempunyai jumlah penyerahan besar, tetapi kurang bayarnya relatif kecil.

[e.] Wajib Pajak-Wajib Pajak yang pengurus dan komisarisnya terdiri dari orang yang sama.

[f.] Wajib Pajak-Wajib Pajak yang Akta Pendirian badan hukumnya disahkan oleh Notaris yang sama dan pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan, demikian juga dengan Nomor Akta.

[g.] Wajib Pajak yang melaporkan jumlah penyerahan yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan.

[h.] Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah penyerahan yang terutang PPN (Pajak Keluaran) menjadi besar dan atau jumlah Pajak Masukan menjadi besar.

Contoh kasus : Faktur Pajak yang semula dinyatakan batal melalui SPT Masa PPN digunakan lagi untuk transaksi kepada pihak lain sehingga Pajak Keluaran-nya menjadi tinggi, untuk mengimbanginya Wajib Pajak menambah nilai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sedemikian rupa sehingga hasil akhirnya tidak mengubah nilai Pajak Pertambahan Nilai kurang bayar yang telah dilaporkan.

[i.] Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha perdagangan dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti core business Wajib Pajak tersebut.

[j.] Wajib Pajak yang jumlah pajak kurang bayar-nya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

[k.] Wajib Pajak tidak tertib atau tidak pernah melaporkan kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 21, 23 dan 25.

[l.] Wajib Pajak yang melakukan rekayasa pembukuan.

[m.] Wajib Pajak yang alamatnya tidak ditemukan, begitupula alamat pengurusnya.

[n.] Wajib Pajak yang jumlah penyerahannya besar, namun PPh Pasal 21 nya kecil.

[o.] Wajib Pajak yang SPT Masa PPN-nya Lebih Bayar dan dikompensasi terus menerus, dan begitu dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan adanya persediaan.

Semoga aplikasi EWS tersebut segera dapat direalisasikan!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

BAPN

Sejak Menteri Keuangan mengumumkan rencana reorganisasi DJP, sebenarnya yang paling bertanya-tanya adalah pegawai DJP sendiri.
Kenapa? Karena rencana perombakan tersebut belum dibicarakan secara matang di DJP itu sendiri.
KONON kabarnya, sebelum diberitakan di media, pimpinan DJP sendiri baru membicarakan kemungkinan-kemungkinan dan belum mengambil kesimpulan.

Berita yang kemudian berkembang, ternyata bahwa DJP bukan dirombak dalam arti dipecah dua, tetapi hanya mengurangi kewenangan pembuatan kebijakan. Selanjutnya, fungsi membuat aturan dan kebijakan perpajakan akan dipegang oleh BKF.

Kemungkinan, nanti akan ada “boyongan” pegawai DJP dan DJBC ke Pusat Kebijakan Pendapatan Negara di BKF.

Kalau orang-orang pembuat kebijakan pendapatan negara sudah dikumpulkan dalam satu wadah di Badan Kebijakan Fiskal, maka tidak ada salahnya para pelaksana kebijakan tersebut juga disatukan dalam Badan Administrasi Pendapatan Negara atau disingkat BAPN.

Badan ini merupakan gabungan antara DJP dan DJBC. Keduanya sama-sama merupakan administrator pendapatan negara!

Saya kira jika DJP dan DJBC benar-benar digabung, maka lembaga gabungan tersebut akan lebih powerfull menggali penerimaan negara.

Salah satu fungsi DJBC adalah pengawas lalu lintas barang ekspor dan impor. Informasi transaksi perdagangan justru sangat berguna bagi pemeriksa pajak dalam menentukan pajak terutang baik PPN maupun PPh. Bukan hanya bea masuk saja.

Selama ini, DJP dan DJBC merasa satu saudara yang dihalangi oleh tembok birokrasi.

Sebagai contoh, ketika saya berdinas di kota Kudus, saya meminta informasi tentang cukai rokok untuk kepentingan pemeriksaan Wajib Pajak pabrik rokok. Walaupun datang ke kantor bea cukai [ sebelum menjadi Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea Cukai] dengan surat formal, tetapi tetap tidak bisa dilayani. “Kita memang satu departemen, tetapi pajak dan bea cukai tetap saja tidak sama!” Begitulah birokrasi.

Sekali lagi, jika DJP dan DJBC digabung, maka tembok birokrasi seperti itu akan hilang. Bukankah kedua institusi tersebut sama-sama mengumpulkan penerimaan negara?

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Untuk apa bayar pajak?

Untuk apa bayar pajak? Inilah pertanyaan penting bagi mereka yang bayar pajak. APBN merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Walaupun penerimaan APBN ada juga dari pinjaman, tetapi secara teori pinjaman tidak boleh dibayar dengan pinjaman. Pinjaman harus dibayar dengan penerimaan pajak. Boleh dibilang bahwa pinjaman itu pajak yang diterima dimuka.

Untuk APBN tahun depan, Kementrian Pekerjaan Umum merupakan penerima dana pajak terbesar yaitu Rp.56,5 trilyun. Dana sebesar ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur fly over dan underpass, sepanjang 4.551 meter, serta jembatan sepanjang 2.119 meter dan preservasi jalan dan jembatan sepanjang 35.961 kilometer dan 212.360 kilometer, serta peningkatan kapasitas jalan sepanjang 2613 kilometer.

Berikut lima besar penerima dana APBN 2011 menurut pidato Presiden seperti yang dikutip oleh Kompas :
[1.] Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp 56,5 triliun;
[2.] Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp 50,3 triliun;
[3.] Kementerian Pertahanan sebesar Rp 45,2 triliun;
[4.] Kementerian Agama sesar Rp 31 triliun; dan
[5.] Polri sebesar Rp 28,3 triliun.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Membangun Morale Pajak

Tulisan berikut adalah karya Rhenald Kasali yang saya salin dari intranet PortalDJP.
Sebelumnya, beliau memang menjadi salah satu pembicara pada acara yang diadakan oleh DJP. Selama membaca.

Ketika ribuan orang dan para elite mencaci-maki Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak gara-gara Gayus Tambunan, lenyaplah morale (spirit,kegigihan,dan kegairahan) para pegawai.

Hal yang sama saya rasakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat proses “kriminalisasi” pimpinan berlangsung, mulai dari kasus Antasari sampai Bibit-Chandra. Sayang, pimpinan yang tinggal dua di KPK saat itu terlalu sibuk untuk memikirkan masalah morale ini. Informasi yang saya temui menyebutkan, gangguan psikologis mulai membuat mereka lamban bertindak.

Hal serupa bisa saja terjadi di Ditjen Pajak.

Apalagi mantan dirjennya, yang dulu mungkin tak berbuat apa-apa, hampir setiap hari muncul di televisi mencacimaki Ditjen Pajak.

Dia merasa Ditjen Pajak dulu lebih baik daripada sekarang. Terhadap ocehan seperti ini, secara kritis saya hanya bisa mengatakan,” Apa kata dunia?”

Beruntung, pemerintah segera merumuskan pengganti mereka yang tak kalah cekatannya.

Dan beruntung pula di Ditjen Pajak sudah ada hasil yang memadai dari reformasi birokrasi perpajakan jilid satu yang lalu.

Beruntunglah Ditjen Pajak segera bertindak, menyatukan morale yang dipelopori para reformer yang “gerah” dikait-kaitkan dengan Gayus.

Apa yang harus dilakukan Ditjen Pajak untuk memperkuat pilar bangsa agar dana pajak dapat terus ditingkatkan dan diamankan dari orang-orang rakus?

Halte Bus Gayus

Melalui siaran televisi Anda sudah sering menyaksikan kondektur bus yang melewati Kantor Ditjen Pajak di dekat jembatan Semanggi, menyebut kantor itu dengan nama Gayus. B

egitu kerasnya amarah rakyat terhadap Gayus, sampai seluruh insan Ditjen Pajak terkena imbas.

Beberapa orang muda pegawai pajak yang naik bus kota bahkan memilih untuk turun di halte bus sebelum atau setelah halte Gayus lalu berjalan kaki sejauh 1-2 km menuju kantor.

Seperti masyarakat umum,mereka juga kecewa pada atasannya, terlebih pada yang terlibat kasus Gayus.

Mereka marah besar, apalagi selama ini sudah bertekad antikorupsi. Bekerja di Ditjen Pajak hidup mereka benar-benar berada dalam ujian.

Setiap hari orang datang merasakan kompromi beserta amplop tebal.

Tapi,kalau Anda tanya kepada pembayar pajak seperti saya, saya yakin jawabnya akan sama: Banyak pembaruan yang telah mereka lakukan.

Seorang mantan pegawai pajak di era lalu mengatakan,“Dulu 8 dari 10 petugas pajak adalah markus dan pemburu amplop.

Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang, tetapi masih ada,mungkin 2 dari 10”.

Mendengar ucapan itu, saya jadi tersenyum, bagaimana mantan Dirjen Pajak yang sekarang menjadi praktisi dan sering muncul di televisi bisa bilang, zaman dia itu jauh lebih baik dari sekarang.

Tetapi, itulah politik, penuh intrik, balas dendam, tapi tidak kritis, cuma sinis.

Yang mereka suka tidak berpikir panjang adalah apa dampaknya bagi nasib bangsa di kemudian hari?

Bayangkan kalau orang pajak yang bagusbagus ramai-ramai mengundurkan diri.

Atau kalau mereka jadi tak bergairah memburu wajib pajakwajib pajak kakap?

Morale kerja adalah modal utama seorang pegawai.

Sejak mazhab learning dalam manajemen hidup, aliran Isaac Newton yang kaya dengan logika terstruktur sudah lama ditinggalkan.

Manusia tidak bisa lagi dipandang sebagai komponen yang sama dan standar. Dia juga bukanlah sebuah objek yang duduk dalam hierarki vertikal pada suatu jajaran birokrasi.

Manusia adalah makhluk hidup yang dilahirkan dengan nalar, kehendak, dan perasaan.

Ketika kita gagal memahaminya,gagal pulalah kita memartisipasikan mereka.

Untuk itulah,kita perlu terus menumbuhkan morale birokrasi, terutama jajaran yang ditugaskan untuk menghimpun dana dalam jumlah besar.

Ciri-ciri morale dapat dilihat secara kasatmata dalam daya juang, semangat hidup, daya kreasi, daya tangkal, dan tentu saja besarnya goals yang mereka tetapkan.

Sedangkan morale yang memburuk dapat dilihat dari kegairahan yang memudar, bekerja karena diperintah, ketidaksempurnaan pencapaian target, konflik, keinginan untuk berhenti, tak ada inisiatif, dan saling menyalahkan.

Lingkaran Baik

Pekan lalu Rumah Perubahan diminta bantuan untuk membangun kembali morale aparat Ditjen Pajak.

Ini untuk kesekian kalinya saya membantu temanteman Ditjen Pajak sehingga saya agak kenal siapa mereka, apa pergulatan yang mereka hadapi, dan bagaimana perubahan menghantam mereka.

Sembilan tahun lalu saya mulai bergulat dengan mereka menantang asumsi-asumsi yang mereka anut selama bertahun-tahun dan mengajak keluar melawan belenggu-belenggu.

Lalu ketika Darmin Nasution memimpin Ditjen Pajak, saya juga diminta memberikan pengarahan tentang Strategic Change & Planning dalam mengawal reformasi pajak jilid satu.

Semua program perubahan di Ditjen Pajak mereka kerjakan sendiri praktis tanpa bantuan konsultan.

Padahal di luar sudah banyak konsultan asing yang menganga di depan mereka. Sebagai guru perubahan, saya selalu mengatakan empat hal ini.

Pertama, perubahan selalu datang bersama teman-temannya yaitu penyangkalan, perlawanan (resistensi), kecurigaan, dan pengkhianatan internal.Kedua, perubahan tidak pernah bergerak lincah seperti garis lurus yang mengikuti pola teratur.

Perubahan memiliki dua pola berbentuk spiral yaitu lingkaran baik dan lingkaran setan. Lingkaran spiral itu dapat dijelaskan seperti orang yang menaiki gunung.

Dia melewati lekuk liku kontur gunung yang kadang menanjak,lalu menurun, dan naik lagi.Meski banyak melewati turunan, arahnya menuju puncak dapat dilihat.

Sedangkan lingkaran setan tak memberi kepastian tujuan. Bila ada masalah setelah lama berhasil, dia segera menukikkan balik ke titik nol. Seperti kata Chairil Anwar,” Sekali berarti,lalu mati.” Ketiga,tidak semua orang dapat diajak berubah.

Ibarat tanah di perbukitan yang tandus ingin diubah menjadi hutan,hendaknya kita tak perlu berambisi dengan menanam semua titik.

Kita cukup menanam benih pada tanah yang subur, dan mendiamkan batu-batu besar berada di sana.

Lalu pohon-pohon besar itu akan mengeluarkan biji. Biji-biji dibawa musang, tikus, bajing, dan seterusnya menambah area persebaran.

Lama-lama batu tertutup oleh pohon-pohon besar, dan bukit menjadi hijau.Namun, batu tetaplah batu,bukan tanah.

Keempat,perubahan harus dimulai dari kesamaan cara pandang. Dari semua orang yang melihat, bahkan hanya 20% yang bergerak.

Maka ketika Ditjen Pajak mendapat serangan,saya kira harus ada orang yang mengambil peran.

Bukan untuk melakukan pekerjaan sia-sia mengetuk batu, melainkan melindungi pohon-pohon yang sudah tumbuh.

Itulah tugas mulia kita,menjaga agar reformer pajak jangan dijadikan tumbal wajib pajak bermasalah.

Pesan Menteri Keuangan

Harus diakui sudah ada banyak reformer di Ditjen Pajak. Mereka menulis perasaan mereka pada buku berjudul Berbagi Kisah dan Harapan.

Cara menulisnya memang masih amatir,tetapi itulah isi perasaan insan pajak yang secara garis besar selalu mengatakan, “Ingat pesan itu dari kampung. Hidup bermartabat bukan dengan uang korupsi.”

Di penghujung acara selama tiga hari pekan lalu itu, Menteri Keuangan (Menkeu) berpesan: Musuh terbesar birokrasi adalah rasa sungkan bawahan terhadap atasannya dan sungkan sesama pejabat.

“Beranilah menyampaikan yang benar. Bila perlu, berdebatlah,” ujar mantan CEO Bank Mandiri itu. Saya kira Menkeu Agus Martowardojo sangat tepat.

Ini musuh bersama reformasi birokrasi yang harus dihadapi bersama.

Kalau birokrasi kita lebih profesional, mereka akan mendahulukan halhal yang utama ketimbang mementingkan kehendak orang lain yang belum tentu penting.

Saya mengerti rasa berang kita terhadap aparat perpajakan belumlah pupus.

Namun, mereka yang mau berubah dan menjadi reformer harus diberi apresiasi.

Bersama merekalah kita melawan para koruptor dan pengemplang pajak yang berlindung di balik kekuatan atau motif-motif balas dendam politisi kotor.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Mencari Logika Reformasi Birokrasi

Berikut ini adalah tulisan Meuthia Ganie-Rochman, Dosen FISIP Universitas Indonesia, yang dimuat di metronews yang bertanggal 10 Juni 2010.
Saya copas ke sini karena “menyebut-nyebut” keberhasilan Direktorat Jenderal Pajak 🙂

Selama membaca!

Apa arti organisasi bagi suatu bangsa? Seberapa besar bangsa Indonesia
memandang penting pengetahuan yang berkaitan dengan organisasi: struktur yang
berkaitan dengan gagasan tentang tujuan yang ingin dicapai organisasi, logika
pengorganisasian, model-model yang sesuai dengan wilayah sosialnya.

Harus diakui bahwa kita tidak terlalu memandang nilai strategis “organisasi”.
Hal ini agak ironis karena setelah reformasi 1998 kita menginginkan banyak
perubahan, terutama di sektor publik.

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai sikap kita ini.

Namun, saya hanya menyebut dua.
Indikator yang paling mudah adalah jika kita pergi ke toko-toko buku besar
utama. Adakah bisa kita dapatkan satu buku yang membahas suatu organisasi di Indonesia dari sudut struktur, fungsi, tujuan, tekanan dan distorsi, model
penanganan sumber daya organisasi, perkembangan struktur dan sebagainya yang menjadi pengetahuan sistematik?

Yang kita temukan adalah buku tentang berbagai organisasi besar atau fenomenal di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nadhatul  Ulama, Partai Keadilan Sejahtera, baik dari sudut sejarah pendiriannya, misi
atau kecenderungan ideologis pimpinannya.

Indikator yang kedua adalah dalam begitu banyak proyek dan program yang
dikelola pemerintah, masyarakat atau donor, pengembangan organisasi dari semua yang akan menjalankannya adalah aspek yang sering dilupakan. Namun, kita bisa menyebut sedikit pengecualian, yaitu pada pembangunan/reformasi organisasi pada Kementerian Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengapa pengetahuan suatu bangsa tentang organisasi sangat penting?

Kebanyakan orang Indonesia memahami organisasi sebagai penting dari sudut
efisiensi pengelolaan sumber daya. Ini pandangan yang dipengaruhi pengetahuan generik dari ilmu manajemen konservatif. Padahal, apa yang perlu diatur suatu organisasi jauh lebih banyak dimensinya. Apalagi dalam konteks keragaman kelompok masyarakat yang ada di Indonesia dan menginginkan tata kelola yang tidak koruptif, dan saat standar kinerja, profesi, batasan publik dan privat sering kabur.

Organisasi dalam konteks demikian harus berhadapan dengan pola-pola
resistensi, jaringan kepentingan internal dengan aktor eksternal, dan mencari
jalan agar bagaimana pihak-pihak yang berada di luar organisasi dapat
dimanfaatkan untuk mengelola perubahan internal. Dengan demikian, makna
transparansi dan akuntabilitas, dua prinsip yang sudah dianggap mantera bagi
pembaharuan organisasi, akan lebih kontekstual.

Bisa dibayangkan bahwa organisasi di wilayah yang berbeda akan menghadapi
situasi yang berbeda. Organisasi birokrasi berbeda dari nilai strategik sumber
daya yang dimilikinya. Ada yang letaknya pada wewenang pengumpulan finansial dari masyarakat, ada yang terletak pada pemberian sanksi seperti pada lembaga-lembaga penegak hukum, atau ada yang pada weweangnya memberikan perizianan.

Hal ini saja sudah menggambarkan pada titik mana dalam organisasi tersebut
serta aktor apa yang mempunyai posisi strategis.

Nilai strategis di lembaga
penegak hukum bersifat deliberatif dan lebih tergantung personal pejabat
publiknya. Jenis nilai semacam ini lebih sukar diberi ukuran-ukuran obyektif
karena itu paling sukar dilakukan pembaharuan.

Pada lembaga publik yang berhubungan dengan pajak, pembaharuan organisasi dengan menggunakan standar memang lebih mudah.

Akan tetapi, karena berada dalam wilayah kepentingan individual, faktor keinginan untuk melakukan negosiasi dari anggota masyarakat akan lebih besar.

Sedangkan nilai strategis pemberi lisensi lebih kecil karena sangat mudah
distandardisasikan serta anggota masyarakat masih menemukan cara untuk “tetap melakukan” tanpa kelengkapan izin. Ini salah satu alasan berkembangnya sektor informal. Kesulitan yang dialami anggota masyarakat bagi yang membutuhkan lebih terletak pada banyaknya komponen dan kelambanannya.

Reformasi di Kementerian Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak
yang dianggap berhasil, menunjukan kombinasi yang tepat antara skema pembaharuan dan kepemimpinan.

Skema memperhitungkan komponen pembaharuan yang dianggap krusial yaitu titik transparansi sebagai kontrol eksternal, kontrol internal, dan reward system.

Teknokrasi sistem (standar, komponen, prosedur dan sebagainya) dibuat
terbuka, sehingga menyulitkan penyembunyian informasi. Kasus pelanggaran melalui jalan peradilan pajak, di satu sisi, menujukkan bahwa reformasi harus berlanjut meliputi institusi terkait yang makin luas.

Namun, disini lain, bisa dikatakan pelanggaran itu menujukkan keberhasilan reformasi internal karena pelanggaran “ditarik ke luar” ke wilayah tempat ketidakpastian berada.

Satu hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menarik energi luar untuk
ikut dalam proses pembaharuan internal adalah mengidentifikasikan dengan tepat orientasi dan kapasitas kelompok di luar organisasi yang potensial. Untuk
lembaga peradilan misalnya, keterbukaan dalam pertimbangan hakim hanya menarik atau sejalan dengan kepentingan sebagian kecil orang.

Dengan demikian, tidak dapat diharapkan tekanan dari masyarakat sipil dari segi skala. Yang berminat adalah organisasi yang mampu memahami, seperti perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil reformasi hukum/bantuan hukum.

Namun, kapasitas organisasi ini terbatas, antara lain, dari sudut sumber
daya. Karena itu transparansi sektor peradilan tidak akan banyak bisa dilakukan
oleh kekuatan masyarakat sipil, melainkan harus dilekatkan pada sistem
kelembagaan negara, antara lain mengaitkan data base para hakim dengan sistem promosi.

Contoh lain ada pada lembaga pelayanan publik. Melibatkan kontrol masyarakat pengguna tidak boleh bersifat terlalu teknokratis. Sistem kartu penilai dengan melibatkan perhitungan dari aga independen bisa diletakan pada skema promosi jabatan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d