Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2020. Ini adalah peraturan perundang-undangan dengan cara omnibus law. Satu undang-undang mengubah dan mengatur beberapa undang-undang.
Salah satu bagian yang diubah adalah undang-undang perpajakan. Bagian Ketiga tentang Kebijakan di Bidang Perpajakan. Perpu ini mengatur:
- penurunan tarif PPh Badan dan BUT;
- perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
- perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
- pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.

Penyesuaian tarif PPh Badan dan BUT dimulai tahun 2020. Tarif PPh Badan dan BUT berlaku untuk tahun pajak 2020 dan 2021 menjadi 22%. Atau Diskon 3% dari tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Dan tahun 2022 diskon lagi menjadi hanya 20%.
Perusahaan terbuka (Tbk) dapat diskon lagi, yakni 3% lebih rendah dari tarif diatas. Jadi untuk perusahaan Tbk berlaku tarif 19% untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Sedangkan tahun pajak 2022 menjadi 17%.
Fasilitas untuk perusahaan Tbk ada syarat tambahan, yaitu 40 saham go public dan syarat tertentu lain. Perpu tidak merinci apa yang dimaksud dengan syarat tertentu lain.
Selanjutnya, diskon tarif diatas mungkin akan dilanjutkan dengan undang-undang omnibus law khusus perpajakan.
Pajak Transaksi Elektronik
Perpu ini juga mengatur bahwa perdagangan PMSE dikenai PPN. Dan dikenai juga PPh atau pajak transaksi elektronik. Ini yang benar-benar baru. Perpu 1 memunculkan jenis pajak baru. Yakni pajak transaksi elektronik.
Jika WPLN memanfaatkan tax treaty sehingga tidak dapat dikenai PPh, maka Indonesia mengenakan pajak transaksi elektronik.

PPN yang dikenakan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh:
- pedagang luar negeri,
- penyedia jasa luar negeri,
- PPMSE luar negeri, dan/atau
- PPMSE dalam negeri
Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan PPMSE luar negeri dapat ditetapkan sebagai BUT jika memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.
Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat berupa:
- peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu;
- penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau
- pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu.
Jenis pajak baru diatur di Pasal 6 ayat (8), yaitu:
Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik.
Pokoknya, pelaku ekonomi digital harus bayar pajak.
Pasal 6 ayat (8) Perpu 1 tahun 2020
Pajak transaksi elektronik dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PMSE kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri.
Selain itu, hal baru di Perpu ini adalah kewenangan Menteri Keuangan untuk mengusulkan penutupan akes elektronik kepada pelaku ekonomi digital. Hal ini diatur di Pasal 7 ayat 3:
Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran.
Relaksasi Jatuh Tempo
Perpu 1 tahun 2020 memberikan kelonggaran kepada petugas pajak dan kepada Wajib Pajak berupa relaksasi jatuh tempo.
Salah satunya penambahan waktu bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak. Dari semula 3 bulan menjadi 9 bulan sejak surat ketetapan pajak.

Selain pengajuan keberatan, penambahan jatuh tempo 6 bulan juga berlaku selama Covid19 untuk proses:
- permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP
- permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP

Dan terakhir, jatuh tempo penerbitan SKPKPP (Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak) ditambah 1 bulan. Menjadi 2 bulan.
Halaman berikutnya Surat Edaran Direktur Jederal Pajak nomor SE-22/PJ/2020.