Kewajiban pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP diatur dalam Undang-Undang KUP. Termasuk kewajiban bagi BUT, Bentuk Usaha Tetap. Kewajiban ini ada di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang KUP.
Continue reading “Kewajiban Pendaftaran dan Pengukuhan Bagi BUT”
Peraturan Menteri Keuangan No 35/PMK.03/2019 mengatur kewajiban ber-NPWP dan PKP bagi BUT
Kewajiban pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP diatur dalam Undang-Undang KUP. Termasuk kewajiban bagi BUT, Bentuk Usaha Tetap. Kewajiban ini ada di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang KUP.
Continue reading “Kewajiban Pendaftaran dan Pengukuhan Bagi BUT”
Dasar hukum diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) oleh Direktur Jenderal Pajak adalah Pasal 13 Undang-Undang KUP. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB. Masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak mengacu ke SPT. Tetapi tidak semua SPT harus diterbitkan surat ketetapan pajak. Direktur Jenderal Pajak memiliki alasan tertentu untuk menerbitkan SKPKB.
Continue reading “Alasan Diterbitkannya SKPKB Oleh Dirjen Pajak”
Secara umum yayasan adalah lembaga amal yang tidak mencari keuntungan. Tapi pada praktiknya, ada juga yayasan yang mencari keuntungan. Atau pada kenyataannya memang yayasan tersebut untung.
Akhir 2017, notaris diberikan fasilitas baru oleh Direktur Jenderal Pajak, yaitu akses khusus ke ereg.pajak.go.id untuk membuat NPWP badan.
Continue reading “Buat NPWP Badan Sekarang Bisa Oleh Notaris”
Masih banyak orang mengira, meminta NPWP sekedar meminta sederetan nomor saja. Atau sekedar “mendaftar” di kantor pajak. Padahal memiliki NPWP punya konsekuensi, yaitu lapor SPT Tahunan.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah identitas administrasi perpajakan di Indonesia. Seseorang dikenal oleh kantor pajak Indonesia jika memiliki NPWP. Jadi NPWP bukan bukti seseorang sudah bayar pajak.
Kewajiban perpajakan di Indonesia berlaku hanya 5 tahun. Setelah lewat 5 tahun, otoritas pajak tidak bisa lagi menagih hak negara dari Wajib Pajak. Kecuali jika Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Artinya penagihannya bukan melalui hukum administrasi pajak tetapi menggunakan pidana pajak. Hanya saja ada banyak penafsiran darimana 5 tahun dihitung.
Pasal 2 ayat (4a) UU KUP berbunyi:
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak
Pasal ini mengatakan bahwa otoritas pajak dapat menagih pajak 5 tahun ke belakang sejak NPWP diterbitkan secara jabatan. Ayat diatas sering dibandingkan dengan Pasal 2 ayat (4) UU KUP yang berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
Sebagian mengatakan bahwa jika NPWP itu ditetapkan secara jabatan berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KUP maka kewajiban perpajakannya dimulai sejak NPWP atau PKP ditetapkan. Jadi Pasal 2 ayat (4a) UU KUP tidak bisa digunakan.
Direktur Peraturan Perpajakan I atas nama Dirjen Pajak sudah menegaskan bahwa walaupun ditetapkan secara jabatan, DJP masih bisa menerbitkan surat ketetapan pajak 5 tahun ke belakang sejak penetapan secara jabatan.
Ini kutipan penting dari S-393/PJ.02/2016 tanggal 26 April 2016:
- Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP merupakan konsekuensi logis dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP, apabila Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak padahal telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP yang menyatakan bahwa kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi kewajiban subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP dimaksudkan untuk menegaskan dan memberikan kepastian hukum adanya ketentuan daluwarsa penetapan pajak 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang KUP.
- Pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP mengenai kewajiban perpajakan diberlakukan mundur 5 (lima) tahun tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan merupakan penafsiran yang bersifat a contrario. Ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP tidak dapat ditafsirkan secara a contrario. Dalam hukum pajak, penafsiran a contrario dan penafsiran analogy tidak dapat diterapkan karena dapat memperluas atau mempersempit dasar pengenaan dan penetapan pajak yang terutang.
Catatan:
Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
Tempat kedudukan sangat penting bagi perpajakan internasional. Tempat kedudukan wajib pajak disebut juga domisili wajib pajak. Negara domisili wajib pajak memiliki hak memajaki secara penuh atas penghasilan yang diterima. Jika domisili di Indonesia, maka otoritas perpajakan Indonesia menganggap bahwa wajib pajak tersebut adalah Wajib Pajak Dalam Negeri.
Menurut Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menetapkan tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi atau tempat kedudukan Wajib Pajak Badan. Penjelasan dari ayat ini sebagai berikut:
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-12/PJ/2015 merinci lebih lanjut tentang tempat tinggal orang pribadi dan tempat kedudukan wajib pajak badan. Hal-hal yang diatur dalam peraturan direktur jenderal pajak ini tentang domisili Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan.
Tempat tinggal orang pribadi menurut keadaan yang sebenarnya diatur sebagai berikut:
Jika saya ringkas, domisili WPOP itu tempat tinggal paling penting. Sedangkan domisili WP Badan itu ada 3, yaitu:
a. domisili seperti tertulis dalam akta pendirian dan perubahannya,
b. kantor pimpinan jika pusat administrasi dan tempat usaha berbeda, dan
c. tempat usaha untuk sektor usaha tertentu.
Salah satu yang ditentukan sebagai tempat usaha adalah Wajib Pajak yang usaha pokoknya menjual tanah dan/atau bangunan, yaitu ditentukan dalam SE-30/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
SE-30/PJ/2013 menyebutkan bahwa dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dilakukan oleh cabang. Karena wajib dibayar dan disampaikan SPT Masa di cabang, maka tentu wajib terdaftar di cabang.
;
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
(3) Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan:
a. tidak hidup terpisah; atau
b. tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis,
hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.
(4) Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(5) Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pada dasarnya kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan “persyaratan subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Yang dimaksud dengan “persyaratan objektif” adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga. Dalam hal ini wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.
Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha
Contoh :
Suami istri berdomisili di Salatiga. Karena suami bekerja di Pekanbaru, yang bersangkutan bertempat tinggal di Pekanbaru sedangkan istri bertempat tinggal di Salatiga.
Demikian halnya terhadap “anak yang belum dewasa” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya, yaitu yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah, kewajiban perpajakan anak yang belum dewasa tersebut digabung dengan orang tuanya.
Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama suaminya. Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Contoh :
Bapak Bagus yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Ibu Ayu memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan diberi Nomor Pokok Wajib Pajak baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000.
Apabila wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, maka Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Contoh :
Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak 56.789.012.3-XYZ.000 dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.