P3B adalah perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara mitra tentang perpajakan. Kedudukan P3B diatas undang-undang. Karena itu, sebagian aturan di Undang-Undang PPh tidak berlaku, kalah dengan aturan P3B berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.
P3B dalam bahasa Inggrisnya tax treaty. Tax Treaty memiliki 5 tujuan, yaitu:
- menghindari pajak berganda yang akan membebani dunia usaha,
- meningkatkan investasi asing,
- meningkatkan sumber daya manusia (SDM),
- pertukaran informasi untuk mencegah pengelakan pajak (tax evasion), dan
- kedudukan antar negara adalah setara.
Sekilas Sejarah Tax Treaty
Menurut Brian J. Arnold, tax treaty model memiliki sejarah panjang, dimulai dengan perjanjian diplomatik awal abad 19. Tujuan dari perjanjian diplomatik ini adalah memastikan bahwa diplomat negara yang bekerja di negara lain tidak akan didiskriminasi. Perjanjian diplomatik ini diperluas dengan menambahkan pajak penghasilan di awal Abad ke 20.
Sementara itu, Darussalam memberikan ringkasan perkembangan tax treaty model sebagai berikut:
Setelah Perang Dunia I, ekonomi dunia meningkat pesat. Khususnya di Eropa yang saat itu menjadi pusat ekonomi dunia. Orang kaya makin banyak, sehingga banyak yang memiliki usaha di beberapa negara. Dan masing-masing negara mengenakan pajak penghasilan. Akibatnya, perusahaan besar yang usahanya antar negara dikenakan pajak 2 kali atau lebih.

Karena itu, konsep mucul P3B agar pengusaha tidak dikenakan pajak ganda. Karena waktu itu pusat ekonomi berada di Eropa, maka P3B juga pertama kalinya berada di negara-negara Eropa.
P3B itu ditujukan untuk menghilangkan pajak ganda. Tetapi aturan masing-masing P3B tidak seragam. Tentu saja karena namanya perjanjian (treaty) ada perundingan dan negosiasi. Makanya P3B itu secara umum mirip, tapi banyak coraknya.
Akibat banyak corak tersebut, maka ada orang yang memanfaatkan kelemahan (loopholes) P3B. Perusahaan besar banyak memanfaatkan P3B dengan tujuan menghindari pajak. Hal ini disebut treaty shopping.
Treaty shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut.
Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai treaty shopping jika:
- Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
- Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
- Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner atau BO), khusus untuk penghasilan yang pasal dalam tax treaty-nya memuat klausul BO.
Celah P3B dan treaty shopping ini tentu saja menguntungkan perusahaan tetapi merugikan negara. Ya, negara sama sekali tidak mendapatkan pajak, baik negara sumber maupun negara domisili. Kondisi ini disebut double non taxation. Karena itu, topik saat ini sebenarnya lebih maju, bukan hanya P3B tetapi memerangi double non taxation melalui Global Forum.
Tata Cara Penerapan P3B
Wajib Pajak Dalam Negeri (Indonesia) yang melakukan transaksi dengan mitra bisnisnya di Luar Negeri dapat memanfaatkan aturan P3B. Aturan P3B seperti fasilitas, bisa digunakan dan bisa tidak digunakan.
Tetapi dalam hal akan menggunakan P3B, harus diperhatikan syarat-syaratnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka penggunaan P3B tidak berlaku. Artinya ketentuan yang berlaku kembali ke Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai aturan domestik.
Tata cara penerapan P3B diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018. Berdasarkan PER-25/PJ/2018, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan syarat:
- penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
- penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
- tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
- penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.

Syarat pertama, penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri. Tentu saja penerima penghasilan harus subjek pajak luar negeri. Jika penerima penghasilan masih subjek pajak dalam negeri maka berlaku Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Syarat kedua, bahwa penerima penghasilan merupakan penduduk negara mitra. Artinya, sudah ada P3B antara Indonesia dengan negara dimana penerima penghasilan berdomisili. Jika belum, P3B mana yang digunakan?
Di perpajakan, bukti subjek pajak terdaftar di negara tertentu dibuktikan dengan Certificate of Residence (CoR), atau Certificate of Domicile (CoD). Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B. CoR seperti KTP (kartu tanda penduduk) di Indonesia.
Syarat kedua juga mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri mengisi form DGT :
Form DGT ini harus diisi benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani. Form DGT harus disahkan oleh Competent Authority. Competent Authority adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Tetapi, CoR berfungsi juga sebagai pengesahan form DGT oleh Competent Authority. Jadi, jika ada CoR tidak perlu lagi pengesahan form DGT.


Terakhir, jangan lupa untuk unggah form DGT ke eSKD di pajak.go.id

Syarat ketiga, tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Syarat ini mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri memiliki :
- Substansi ekonomi yang valid,
- Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi,
- Manajemen mengelola usaha sendiri dan wewenangnya cukup,
- Aset yang cukup sesuai dengan profil usaha,
- Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
- Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
Serta tidak terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B antara lain: pengurangan beban pajak; dan/atau tidak dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non taxation), yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.

Syarat keempat, Wajib Pajak Luar Negeri yang akan menggunakan P3B tertentu merupakan Beneficial Owner (BO). Beneficial Owner adalah pemilik dan/atau penerima manfaat eebenarnya atas penghasilan.
Ciri-ciri WPLN sebagai BO yaitu :
- tidak bertindak sebagai Agen, Nominee atau Conduit
- mempunyai kendali atas asset,
- tidak lebih dari 50% penghasilan digunakan memenuhi kewajiban kepada pihak lain,
- menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban, dan
- tidak mempunyai kewajiban tertulis maupun tidak tertulis meneruskan sebagian/seluruh penghasilan dari Indonesia kepada pihak lain.

Struktur P3B
P3B adalah perjanjian dua negara. Karena yang berjanji adalah negara, maka kekuatan hukumnya diatas undang-undang berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.
Walaupun demikian, P3B tidak menggantikan Undang-Undang PPh. P3B hanya mengurangi hak pemajakan antar negara. Contoh, tarif PPh Pasal 26 di Undang-Undang PPh sebesar 20%. Tetapi dengan P3B menjadi 10%. Maka aturan yang dipakai adalah P3B.
Sebaliknya, jika Undang-Undang PPh tidak mewajibkan pemotongan atas jenis penghasilan tertentu, sedangkan di P3B diatur tarif tertentu, maka Indonesia tidak memotong PPh atas jenis penghasilan tertentu.
Karena itu perlu dipahami, jenis-jenis penghasilan apa saja yang diatur di P3B dan jenis penghasilan apa yang diatur di Undang-Undang PPh. Berikut ini struktur pengaturan P3B berdasarkan P3B Indonesia dengan Amerika Serikat. Ini contoh saja.
Pasal 1 Personal Scope
Pasal 2 Taxes Covered
Pasal 3 General Definitions
Pasal 4 Fiscal Residence
Pasal 5 Permanent Establishment
Pasal 6 Income From Immovable (Real) Property
Pasal 7 Source Of Income
Pasal 8 Business Profits
Pasal 9 Shipping And Air Transport
Pasal 10 Related Persons
Pasal 11 Dividends
Pasal 12 Interest
Pasal 13 Royalties
Pasal 14 Capital Gains
Pasal 15 Independent Personal Services
Pasal 16 Dependent Personal Services
Pasal 17 Artistes And Athletes
Pasal 18 Government Service
Pasal 19 Students And Trainees
Pasal 20 Teachers And Researchers
Pasal 21 Private Pensions And Annuities
Pasal 22 Social Security Payments
Pasal 23 Relief From Double Taxation
Pasal 24 Non-Discrimination
Pasal 25 Mutual Agreement Procedure
Pasal 26 Exchange Of Information
Pasal 27 Diplomatic And Consular Officers
Pasal 28 General Rules Of Taxation
Pasal 29 Assistance In Collection
Pasal 30 Entry Into Force
Pasal 31 Termination
Contoh tax treaty model 2017 dari OECD :
Tax treaty model merupakan model perjanjian atau contoh perjanjian di bidang pajak yang akan jadi acuan dua negara (bilateral) yang berunding. Tetapi contoh ini tidak mengikat, artinya masing-masing negara yang berunding bebas menggunakan model aturan yang akan diterapkan.
Negara Domisili dan Negara Sumber
Negara domisili adalah negara di mana Wajib Pajak berdomisili atau berkantor pusat. Negara sumber adalah negara asal penghasilan. Contoh, perusahaan di Indonesia membayar royalti ke perusahaan yang berkantor di negara Jepang. Artinya Indonesia sebagai negara sumber, sedangkan Jepang sebagai negara domisili.
Selanjutnya, hal penting yang harus dipahami para pembelajar P3B adalah jenis penghasilan. Setiap pasal mengatur jenis penghasilan tertentu dengan aturan tertentu. Jenis penghasilan tertentu biasanya ditentukan negara mana yang berhak memajaki.
Tetapi untuk memudahkan, jenis-jenis penghasilan dapat digolongkan dalam 3 golongan, yaitu:
- Active Income,
- Passive Income, dan
- Other Income.
Active income merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Umumnya (secara pasti harus cek di masing-masing P3B), active income dikenakan pajak di negara domisili. Negara sumber berhak memajaki jika terdapat Permanent Establishment.
Active income adalah penghasilan dari business profit. Selain business profit pada umumnya, termasuk dalam active income yaitu : shipping, inland waterways transport and air transport, independent personal services, dependent personal services, directors, entertainer and sport person, government services, dan student.
Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari harta, baik harta berwujud maupun tidak berwujud. Umumnya, passive income dikenakan pajak di negara domisili dan negara sumber.
Tarifnya sudah ditentukan di P3B. Karena itu biasa disediakan tabel tarif pemotongan di negara sumber. Termasuk passive income yaitu penghasilan dari immovable property, divident, interest, royalty, capital gains, pensions.
Other income yaitu penghasilan yang tidak termasuk di dua golongan diatas.
Contoh tabel tarif pemotongan di negara sumber untu jenis penghasialn dividen, bunga, dan royalti:
Shall be Taxable Only dan May be Taxed
Pembagian hak pemajakan di P3B bisa juga dilihat dari kata-kata yang digunakan di setiap pasal P3B. Ya, karena pada dasarnya perjanjian dimulai dengan negosiasi, sebelum ditanda tangani. Saat negosiasi, disepakati kata-kata (terminologi) mana yang akan dipakai.
Terminologi shall be taxable only untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada negara domisili. Artinya, negara sumber tidak memiliki hak untuk memajaki berdasarkan P3B. Walaupun demikian, bisa jadi ada pengecualian dengan syarat tertentu.
Terminologi may be taxed digunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas penghasilan tersebut diberikan kepada negara domisili dan negara sumber.
Darussalam memberikan ringkasan pasal-pasal yang menggunakan terminologi shall be taxable only dan may be taxed. Berikut salinannya.
Jenis-jenis penghasilan yang biasanya menggunakan terminologi shall be taxable only :
Jenis-jenis penghasilan yang biasanya negara domisili memiliki hak pemajakan (menggunakan terminologi may be taxed) :
Permanent Establishment
Permanent Establishment (PE) dalam P3B diartikan sebagai hak pemajakan negara sumber. Beberapa pasal P3B mensyaratkan terpenuhinya P3B agar negara sumber dapat mengenakan pajak penghasilan.
For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on
Pasal 5 ayat (1) OECD model 2017
Kata kunci PE adalah fixed place of business. Menurut Rachmanto Surahmat, PE memiliki tiga syarat, yaitu:
- adanya tempat usaha berupa prasaran, seperti gedung atau dalam hal-hal tertentu mesin dan peralatan,
- tempat usaha ini harus bersifat tetap, dan
- kegiatan usaha dilakukan melalui tempat tetap ini.
Istilah place of business mencakup setiap tempat, fasilitas atau instalasi yang digunakan untuk menjalankan bisnis perusahaan baik digunakan secara eksklusif untuk tujuan itu maupun tidak. Tidaklah penting apakah tempat, fasilitas atau instalasi dimiliki atau disewa oleh perusahaan.

Istilah through which harus diberi arti yang luas agar dapat diterapkan pada setiap kegiatan bisnis dilakukan di lokasi tertentu yang dapat digunakan oleh perusahaan. Jadi, misalnya, suatu badan usaha yang bergerak di bidang pengaspalan jalan akan dianggap menjalankan usahanya melalui lokasi tempat kegiatan tersebut berlangsung.
Fixed secara umum diartikan tetap di titik geografis tertentu. Contoh yang paling mudah seperti kantor, gudang, dan tambang. Tetapi untuk peralatan, fixed juga diartikan jika berada di tempat tertentu. Tidak harus menancap ke bumi.
Keberadaan Wajib Pajak Luar Negeri tidak harus memiliki kantor. Orang yang disuruh atau menerima perintah dari perusahaan di Luar Negeri baik berstatus pegawai maupun agen tidak bebas (dependent agent) dapat dalam pengertian PE. Mungkin orang ini tinggal di hotel dan bekerja di mitra bisnisnya. Keberadaan orang ini biasanya akan diuji dengan time test.
A building site or construction or installation project constitutes a permanent stablishment only if it lasts more than twelve months.
Pasal 5 ayat (3) OECD model 2017
Proyek konstruksi dan jasa teknis biasanya harus lulus time test agar bisa disebut PE. Di OECD model 2017 diatas time test minimal 12 bulan. Ini karena OECD lebih banyak merepresentasikan negara maju yang biasanya tempat negara domisili.
Sebaliknya bagi negara berkembang, time test yang dikehendaki justru lebih pendek. Semakin singkat time test berarti kesempatan untuk mengenakan pajak atas kegiatan tersebut semakain besar.
Sebagai contoh : dalam hal konstruksi, negara berkembang cenderung untuk tidak menerapkan tes waktu sama sekali dengan alasan : proyek konstuksi, instalasi, dan perakitan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat; masa hadirnya personel dari perusahaan asing tersebut tidak relevan dengan penyelesaian proyek.
Berikut daftar time test berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra yang saya salin dari aplikasi TKB :
Perhitungan time test konstruksi dimulai pada saat kontraktor mempersiapkan dan memulai pekerjaannya di negara tempat dilakukannya pembangunan. Termasuk pekerjaan persiapan yaitu mendirikan bangunan untuk keperluan perencanaan.
Proyek tersebut dianggap terus berlangsung sampai pekerjaan selesai atau ditinggalkan untuk seterusnya. Proyek tidak dianggpa berhenti ketika pekerjaan tersebut diberhentikan sementara. Penghentian sementara bisa disebabkan oleh kurangnya bahan bangunan, kesulitan buruh, atau cuaca yang tidak mendukung.
Apabilan kontraktor luar negeri membagi proyek dengan subkontraktor dalam negeri, maka penghitungan time test meliputi semua pekerjaan dengan subkontraktor. Tetapi jika subkontraktor berasal dari luar negeri, maka subkontraktor dapat dianggap mempunyai PE jika kegiatan subkontraktor melewati time test.
Jika kontraktor luar negeri memiliki beberapa proyek di Indonesia, maka penghitungan time test harus dihitung proyek per proyek. Penghitungan waktunya harus terpisah antara proyek A dengan proyek B, dan seterusnya.
Pasal 5 ayat (4) OECD model mengatur pengecualian PE dalam P3B. Pengecualian ini banyak dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk penghindaran pajak. Kantor pusat di luar negeri mendesaian kantor cabang di Indonesia supaya masuk kriteria pengecualian ini sehingga tidak memiliki PE.
Namun demikian, harus diperhatikan istilah semata-mata atau solely for the purpose. Sebagai contoh, “the use of facilities solely for the purpose of storage, display or delivery of goods or merchandise belonging to the enterprise“. Wajib Pajak mengatakan bahwa kantor di Indonesia hanya untuk display atau contoh. Bukan stok untuk jualan. Padahal, selain display, kantor tersebut juga memiliki fungsi sebagai marketing. Sehingga bukan solely for purpose of display.
Kata kunci pengecualian PE di Pasal 5 adalah kegiatan yang bersifat preparatory or auxiliary. Belum ada penjualan, atau tidak menghasilkan. Karena bersifat persiapan, maka sulit untuk mengalokasikan keuntungan apapun ke PE.
Kuncinya, seberapa penting kegiatan di negara sumber. Contoh adanya PE di Indonesia tanpa ada penjualan di Indonesia. Contoh ini modifikasi dari contoh di paragrap 68 Commentary OECD model :
RCO perusahaan di Singapura mendirikan kantor pembelian di Indonesia. RCO membeli produk pertanian di Indonesia. Karyawan RCO di Indonesia punyak keahlian tentang produk pertanian yang sesuai dengan standar internasional. Dan melakukan kontrak pembelian. Meskipun satu-satunya aktivitas yang dilakukan RCO di Indonesia hanya pembelian, tetapi kantor tersebut merupakan PE karena fungsi pembelian merupakan suatu hal yang esensial dan bagian penting dari keseluruhan aktivitas RCO.
Jadi, kegiatan kantor perusahaan asing di Indonesia dapat ditetapkan sebagai PE di Indonesia jika terdapat kegiatan yang melampaui preparatory or auxiliary.

Contoh yang diberikan di SE-52/PJ/2021 sebagai berikut:
ABC Ltd. memiliki pengurusan suatu tempat usaha di Indonesia yang digunakan untuk melakukan administrasi pengiklanan atas barang hasil produksinya. Jika tempat usaha tetap ini digunakan semata-mata untuk tujuan administrasi pengiklanan barang hasil produksinya sendiri, maka tempat usaha tetap ini tidak dianggap sebagai suatu BUT. Namun, jika tempat usaha tetap ini selain melakukan administrasi pengiklanan barangnya sendiri juga melakukan administrasi pengiklanan untuk barang atau jasa milik perusahaan lain, maka tempat usaha tetap ini dianggap merupakan BUT bagi ABC Ltd
ABC Ltd. yang bergerak di bidang penjualan secara daring (online) memiliki gudang yang berukuran besar di Indonesia dan mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar untuk mengurusi penyimpanan barang di gudang tersebut. Kegiatan penyimpanan ini tidak dapat dianggap sebagai kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang dikarenakan kegiatan tersebut merupakan bagian yang esensial dan signifikan dari kegiatan perusahaan tersebut secara keseluruhan.
ABC Ltd. memiliki tempat usaha tetap di Indonesia yang digunakan untuk melakukan pembelian komoditas hasil pertanian berupa tembakau untuk kemudian dijual ke negara lain. ABC Ltd. mempekerjakan beberapa pegawai yang memiliki pengalaman dan pengetahuan akan kualitas dan kelas (grade) tembakau sesuai dengan standar dan permintaan pasar internasional. Para pegawai ini juga menyelesaikan proses transaksi dengan petani atau pedagang pengumpul di Indonesia. Dalam hal ini, kegiatan pembelian yang dilakukan oleh ABC Ltd. melalui tempat usaha tetap di Indonesia tidak termasuk dalam kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang karena merupakan bagian dari kegiatan esensial dan signifikan bagi ABC Ltd. secara keseluruhan.
Suatu perusahaan harus diperlakukan memiliki PE di suatu Negara jika dalam kondisi tertentu terdapat seseorang yang bertindak untuknya, walaupun perusahaan tersebut mungkin tidak memiliki kantor di Negara itu. Hal ini disebut BUT keagenan.
PE agen adalah PE yang dilakukan oleh agen tidak bebas. Agen terdapat dua jenis, yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Syarat seseorang dapat disebut agen tidak bebas:
- seseorang bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan atas nama (on behalf) suatu perusahaan;
- dalam melakukannya, orang tersebut biasanya membuat kontrak, atau biasa memainkan peran utama yang mengarah pada penyelesaian kontrak, dan
- kontrak-kontrak tersebut atas nama perusahaan atau untuk pengalihan kepemilikan, atau untuk pemberian hak untuk menggunakan.
Dalam bahasa lain, dalam buku Pajak Internasional, DJP menyebut syarat agen tidak bebas yang dapat dikenai PE yaitu:
- Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
- Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
- Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.
Dulu, Prof. R. Mansyuri pernah menyebutkan bahwa agen bebas itu seperti komisioner di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Setelah saya cek, komisioner diatur di Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Bunyinya seperti ini:
Komisioner adalah orang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas order dan atas beban pihak lain
Sementara istilah agen yang diatur di Peraturan Menteri Perdagangan lebih tepat disebut agen tidak bebas:
agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006
Agen bebas (independen) biasanya akan bertanggung jawab kepada prinsipal atas hasil pekerjaannya. Dia tidak akan tunduk pada instruksi rinci dari prinsipal mengenai pelaksanaan pekerjaan.
Suatu Orang yang bertindak sebagai agen hanya dapat dianggap independen jika:
- agen tersebut independen terhadap perusahaan yang diwakilinya secara hukum dan ekonomis,
- agen tersebut bertindak dalam rangka menjalankan usaha rutinnya sendiri ketika bertindak atau melaksanakan kegiatan atas nama perusahaan.
Suatu agen dianggap tidak independen secara hukum jika ia bertindak berdasarkan instruksi detil dari suatu perusahaan sehubungan dengan kegiatan usahanya atau dikendalikan secara komprehensif oleh suatu perusahaan.
Suatu agen dianggap tidak independen secara ekonomis jika:
- agen tersebut tidak menanggung risiko usaha atau menanggung risiko yang tidak signifikan atas kegiatan usahanya;
- kegiatan agen tersebut dilakukan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya untuk satu perusahaan; atau
- agen tersebut bertindak atau melaksanakan kegiatan untuk satu perusahaan dan dengan demikian hanya mempunyai satu sumber penghasilan.
Teorinya, perusahaan dapat dikenai PE karena 4 sebab, yaitu : aset (fixed place of business), aktivitas (konstruksi, perakitan, instalasi, aktivitas supervisi, dan kegiatan jasa), agen tidak bebas, dan asuransi.
OECD model menyerahkan PE asuransi berdasarkan Pasal 5 terutama terkait agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan PE bagi usaha asuransi.
Menurut UN model, bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai PE apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang agen tidak bebas.
P3B Indonesia yang mengatur khusus asuransi diantaranya P3B Indonesia dengan : Aljazair, Amerika Serikat, Austria, Belanda, Brunei Darussalam, Ceko, Denmark, Filipina, Finlandia, Hongaria, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Utara, Korea Selatan, Kuwait, Luxembourg, Maroko, Mesir, Meksiko, Mongolia, Norwegia, Pakistan, Perancis, Polandia, Romania, Rusia, Singapura, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Thailand, Tiongkok (China), Tunisia, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yordania.
Terakhir, Prof R Mansyuri memberikan kesimpulan tentang PE sebagai berikut:
- kriteria umum : tempat tetap;
- contoh-contoh tempat tetap yang merupakan BUT seperti cabang, kantor, pabrik, tambang, dan lain-lain;
- perluasan pengertian BUT kepada tempat pembangunan gedung dan kegiatan usaha lainnya yang melampaui time test;
- warehouse yang juga dipakai untuk menyerahkan barang atau barang dagangan dalam memenuhi penjualan di negara sumber dianggap BUT;
- hanya agen tidak bebas yang dianggap BUT;
- agen perusahaan asuransi di negara sumber dapat dianggap BUT jika agen tersebut mengutip premi di nengara sumber atau menanggung resiko yang terletak di negara sumber dan agen tersebut merupakan agen tidak bebas;
- agen bebas tidak dapat dijadikan dasar adanya BUT;
- pengusaan perseroan oleh perseroan lainnya tidak dapat dipakai sebagai dasar adanya BUT.
Berikut video penjelasan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diunduh dari KLC BPPK Kementerian Keuangan. Karena tidak bisa “disematkan”, akhirnya saya unduh dari KLC dan unggah di sini:
Income From Immovable Property
Income from immovable property di OECD model diatur di Pasal 6. Pasal ini mengatur pemajakan atas penghasilan yang berasal dari aset tidak bergerak.
Income derived by a resident of a Contracting State from immovable property (including income from agriculture or forestry) situated in the other Contracting State may be taxed in that other State
Pasal 6 ayat (1) OECD Model 2017
Menurut DJP, seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.

Electronic Commerce
OECD model 2017 masih merekomendasikan bahwa pengenaan transaksi e-Commerce dilakukan di mana server berada. Server tempat situs web disimpan dan yang melaluinya dapat diakses adalah sebuah peralatan yang memiliki lokasi fisik dan lokasi tersebut dengan demikian dapat menjadi PE dari perusahaan yang mengoperasikan server tersebut.
Jika suatu perusahaan mengoperasikan peralatan komputer di lokasi tertentu, suatu PE mungkin ada meskipun tidak ada personel dari perusahaan tersebut yang diperlukan di lokasi tersebut untuk pengoperasian peralatan tersebut. Keberadaan personel tidak diperlukan. Kesimpulan ini berlaku untuk perdagangan elektronik.
Karena itu, di Perpu No 1 tahun 2020 Indonesia membuat pajak jenis baru. Namanya Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Subjek Pajak Luar Negeri yang memanfaatkan P3B Indonesia sehingga tidak dapat dikenai Pajak Penghasikan, maka Indonesia mengenakan pajak transaksi elektronik.
Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik
Pasal 6 ayat (8) Perpu 1 Tahun 2020
Namun, pengenaan PTE masih menunggu kesepakatan Global Forum. Global Forum berencana mengenakan PPh atas transaksi e-Commerce berdasarkan pillar one atau pillar two. Rencana semula akan disepakati akhir tahun 2020. Ternyata digeser ke pertengahan tahun 2022.
PwC telah merangkum blueprint pillar one dan pillar two. Berikut rangkumannya:
- The Blueprints menunjukkan bahwa kemajuan teknis telah dicapai dalam menyetujui arsitektur perantara dari rencana tersebut.
- Elemen signifikan dari kedua kerangka kerja Pilar masih harus diselesaikan, seperti cakupan Jumlah dan tarif realokasi berdasarkan Pilar Satu, dan tarif pajak minimum dan ‘daftar putih’ dari rezim yang dianggap patuh berdasarkan Pilar Dua.
- Analisis dampak ekonomi yang diperbarui menyatakan bahwa laba yang dialokasikan kembali ke yurisdiksi pasar dapat mencapai hingga USD 100 miliar setiap tahun di bawah Pilar Satu, dan pendapatan baru yang diperoleh di bawah Pilar Dua bisa berada pada kisaran USD 60-100 miliar per tahun.
- Posisi AS dalam negosiasi tetap tidak pasti.
Business Profits
Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits that are attributable to the permanent establishment in accordance with the provisions of paragraph 2 may be taxed in that other State.
Pasal 7 ayat (1) OECD Model 2017
Pasal ini mengalokasikan hak-hak pemajakan sehubungan dengan laba usaha suatu perusahaan dari suatu Negara. Penghasilan usaha dari suatu perusahaan hanya akan dikenakan di negara domisili. Negara sumber memiliki hak mengenakan pajak hanya sebatas penghasilan PE di negara sumber.

Penghasilan yang dikenakan di negara sumber pada dasarnya ada 2 jenis penghasilan, yaitu:
- attribution principel, dan
- force of attraction principle.
Attribution principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh PE saja. Atau penghasilan yang didapat melalui PE tersebut. Prinsip atribusi ini diatur juga di Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.
Force of attraction principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari penghasilan kantor pusat tetapi penghasilan tersebut terkait dengan penghasilan PE. Atau Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis atau sama dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh PE di Indonesia.
Jadi kunci force of attraction principle adalah sama atau jenis, antara PE di negara sumber dengan pusat di negara domisili. Baik barang, kegiatan, atau jasa yang dilakan.
Menurut Rachmanto Surahmat, biasanya ada kompromi di force of attraction seperti di P3B dengan Jerman. Kompromi yang dimaksud adanya syarat pengenaan force of attraction, yaitu:
- transaksi tersebut sengaja dialihkan dari PE dengan tujuan untuk mengindarkan pajak di negara sumber, dan
- PE yang bersangkuta ikut campur tangan dalam transaksi tersebut.
Selain force of attraction, satu lagi istilah dalam PE yaitu effectively connected. Tentang hal ini, saya kutip penjelasan dari Undang-Undang PPh (cetak miring di bawah ini):
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
Berikut ringkasan P3B Indonesia dengan negara mitra terkait Business Profits:
Branch Profit Tax
Branch Profit Tax adalah pajak yang dikenakan atas laba bersih setelah pajak BUT (PE). Branch profit tax (BTP) setara dengan pemajakan atas penghasilan dividen. Negara sumber mengenakan pajak atas dividen yang diterima perusahaan induk di luar negeri.

Indonesia menganut pemajakan atas laba bersih BUT. Kebanyakan P3B Indonesia dengan negara mitra mencantumkan klausul tetang BTP. Ketentuan BTP biasanya ada di pasal dividen. Contoh P3B Indonesia dengan United Arab Emirate:
Notwithstanding any other provisions of this Agreement, where a company which is a resident of a Contracting State has a permanent establishment in the other Contracting State, the profits of the permanent establishment may be subjected to an additional tax in that other State in accordance with its law, but the additional tax so charged shall not exceed 5% (five percent) of the amount of such profits after deducting therefrom income tax and other taxes on income imposed thereon in that other State
Pasal 10 ayat (7) P3B Indonesia – UAE
Berikut daftar tarif Branch Profit Tax berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra:
International Shipping And Air Transport
Pada umumnya, pengenaan pajak atas transaksi pelayaran dan penerbangan internasional berada di negara domisili.
Profits of an enterprise of a Contracting State from the operation of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in that State.
Pasal 8 ayat (1) OECD Model 2017
Tidak diberikannya hak pemajakan kepada negara sumber didasari pemikian bahwa laba dari perusahaaan yang menjalankan kegiatan pelayaran atau penerbangan diperoleh di laut lepas atau di udara sehingga pemberian hak pemajakan kepada neara sumber dapat menimbulkan pajak berganda atau dapat menimbulkan kesultan dalam pengalokasian laba.
Tetapi dalam penerapannya, beberapa P3B memberikan hak pemajakan atas perusahaan pelayaran internasional ke negara sumber dengan ketentuan khusus. Seperti, pemotongan 50% pajak.
Profits from sources within a Contracting State derived by an enterprise of the other Contracting State from the operation of ships in international traffic may be taxed in the first-mentioned State, but the tax imposed shall be reduced by an amount equal to 50% there of.
Pasal 8 ayat (1) P3B Indonesia dengan Austria
Cakupan moda transportasi adalah kapal (ship, dan boat) atau pesawat (aircraft). Perbedaan penggunaan moda transportasi tidak berdasarkan bentuk legalnya. Namun lebih kepada kebiasaan penggunaan istilah.
Berikut ketentuan P3B untuk penerbangan internasional dan pelayaran internasional:
Dividends, Interest, Royalties
Di tax treaty OECD model, pengaturan dividen di Pasal 10, bunga di Pasal 11, dan Royalti di Pasal 12. Saya menggabungkan dalam satu subjudul karena banyak kesamaan, seperti hak pemajakan di negara sumber (Indonesia lebih banyak sebagai negara sumber) dibatasi tarifnya.

Dividen adalah pembagian keuntungan kepada pemegang saham perseroan yang modalnya terbagi atas saham. Apapun bentuk usahanya, jika modalnya terbagi atas saham dan terdapat pembagian keuntungan maka keuntungan tersebut disebut dividen.
Apabila perseoran terbatas (WPDN Indonesia) membagikan dividen kepada Wajib Pajak luar negeri (bisa Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan) yang memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka baik Indonesia maupun negara lain treaty partner tersebut sama-sama memiliki hak memajaki.
Contoh pembayaran dividen ke Luar Negeri:
PT ABC, yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) di Indonesia, membayarkan dividen kepada XYZ Ltd yang merupakan SPDN Negara Mitra P3B. Berdasarkan Pasal 10 P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut, atas penghasilan berupa dividen tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.
Istilah “paid’ atau “dibayarkan” yang digunakan memiliki arti yang luas, yaitu bahwa pembayaran merupakan pemenuhan kewajiban untuk menempatkan sejumlah dana atau uang untuk pemegang saham berdasarkan tata cara yang telah disepakati dalam kontrak atau cara yang umum.
Istilah ini tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan saat terutang suatu pajak atas penghasilan berupa dividen. Ketentuan mengenai saat suatu penghasilan terutang pajak sepenuhnya tergantung kepada peraturan perundang-undangan domestik masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan.
Bunga adalah penghasilan karena jaminan pengembalian pinjaman. Seperti dividen, penghasilan bunga lazimnya dikenai pada sumbernya dengan cara dipotong (withholding tax).
Definisi bunga umumnya merujuk pada penghasilan yang berasal dari klaim utang dalam bentuk apapun, baik yang dijamin dengan hipotik atau tidak, dan baik yang berhak atas bagian laba debitur atau tidak. Termasuk dalam definisi bunga, yaitu penghasilan dari simpanan atau surat berharga dalam bentuk kas, surat berharga, obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.
Bunga atas obligasi dengan hak partisipasi (participating bonds) umumnya tidak dianggap sebagai dividen dikarenakan karakter utama dari obligasi jenis ini adalah pemberian pinjaman yang diberikan imbalan dalam bentuk bunga.
Bunga atas obligasi konversi (convertible bonds) juga tidak dapat dianggap sebagai dividen sampai obligasi tersebut benar-benar dikonversi menjadi saham. Namun demikian, bunga obligasi dapat dianggap sebagai dividen jika pinjaman tersebut turut menanggung risiko yang dimiliki oleh debitur.
Pengertian bunga juga mencakup premium (premium) dan diskonto (discount) atau selisih antara jumlah yang dibayar oleh pemesan dengan nilai nominal atau nilai jatuh tempo suatu surat berharga utang
Dalam beberapa P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, terdapat pembayaran bunga yang dibebaskan dari pemajakan di Negara Sumber, antara lain:
- bunga yang dibayarkan kepada pemerintah atau institusi pemerintah;
- bunga yang dijamin oleh pemerintah atau institusi pemerintah; dan
- bunga yang dibayarkan kepada bank sentral;
Daftar institusi milik pemerintah dan bank sentral yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan kedua Negara Pihak dalam Persetujuan dari waktu ke waktu.
Namun, perlakuan atas bunga dapat berubah dari passive income menjadi business income apabila yang menerima bunga tersebut melakukan kegiatan usaha di negara sumber melalui suatu bentuk usaha tetap, dan bunga itu mempunya hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap tersebut.
Imbalan dalam bentuk royalti adalah pemberian hak untuk menggunakan suatu intelektual property, atau saya sering menyebut hak atas kekayaan intelektual (HAKI), yaitu pemilik harta tidak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pemakaian hak tersebut.
Frasa “tidak perlu ikut campur tangan” merupakan pembeda antara royalti dengan jasa teknik. Jasa teknik, atau technical assistance, merupakan pemberian jasa. Sebagaimana jasa pada umumnya, jasa teknik memiliki tanggung jawab atas pemberian jasa tersebut.
Royalti adalah pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta atas kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film bioskop atau film atau rekaman yang digunakan untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merk dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, maupun penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan Industri, komersial atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman dl bidang industri, komersial atau ilmu pengetahuan.
Istilah royalti juga meliputi pembayaran yang dilakukan berdasarkan lisensi maupun pembayaran yang wajib dilakukan oleh suatu pihak karena memperbanyak suatu barang secara tidak sah atau melakukan pelanggaran hak cipta.
Mayoritas P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra mengatur bahwa imbalan atas penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersial, atau ilmu pengetahuan termasuk dalam pengertian royalti.
Untuk tujuan pengelompokan sebagai royalti, pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk informasi terkait pengalaman di bidang industri, komersial, atau ilmu pengetahuan, yang belum dipatenkan dan tidak masuk dalam kategori hak kekayaan intelektual lainnya, ayat 3 merujuk pada konsep “know-how”.
Kontrak know-how merupakan kontrak di mana salah satu pihak setuju untuk memberikan informasi kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan pengetahuan khusus atau pengalaman pihak pertama yang tidak diketahui umum (unrevealed to the public) untuk kepentingannya sendiri.
Kontrak pemberian know-how tersebut berbeda dengan kontrak penyerahan jasa, di mana salah satu pihak menggunakan keahlian tertentu yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan kedua kontrak tersebut, antara lain: dalam kontrak penyerahan know-how, satu pihak memberikan informasi yang harus dirahasiakan kepada pihak lain. Dalam kontrak penyerahan jasa, satu pihak menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya tanpa mentransfernya kepada pihak lain. Biasanya, dalam kontrak penyerahan know-how, pihak yang memberikan informasi tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi. Sedangkan dalam kontrak penyerahan jasa, pihak yang memberikan jasa dapat memiliki keterlibatan lain selain pemberian informasi, seperti melakukan penelitian, desain, pengujian, atau membayar pihak lain untuk melakukan kegiatan tersebut.
Selain kontrak tersebut di atas, terdapat juga kontrak yang di dalamnya berisi pemberian know-how dan jasa. Penentuan perlakuan perpajakan atas kontrak dimaksud dapat dilakukan dengan memisahkan bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how dan pemberian jasa.
Atas bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how, berlaku ketentuan Pasal 12, dan atas bagian kontrak yang merupakan pemberian jasa, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (Laba Usaha).
Akan tetapi, dalam hal salah satu bagian kontrak dimaksud merupakan tujuan utama kontrak tersebut secara keseluruhan dan bagian kontrak lainnya hanya bersifat penunjang dan tidak terlalu penting, maka ketentuan yang berlaku atas bagian kontrak yang bersifat utama diterapkan atas kontrak secara keseluruhan.
Imbalan jasa teknik adalah pembayaran untuk jasa manajerial, teknis, dan konsultansi. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu pengetahuan.
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
Sementara jasa konsultansi merupakan pemberian petunjuk, pertimbangan, atau nasihat profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian, pemberian jasa yang bersifat rutin dan tidak melibatkan penggunaan pengetahuan, keterampilan, atau keahlian khusus.
Pemberian jasa teknik juga tidak melibatkan transfer informasi yang termasuk dalam pengertian royalti. Royalti merupakan pembayaran untuk pemberian informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan informasi tersebut untuk kepentingannya. Berbeda dengan pemberian jasa teknik, umumnya pihak yang memberikan informasi tersebut tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi.
Capital Gain
Kebanyakan negara mengenakan pajak atas capital gain apabila terjadi realisasi. Dalam hal tertentu, penjualan yang belum direalisasikan dapat terjadi tetapi untuk keperluan pajak, dianggap sudah direalisasikan. Penentuan apakah penjualan sudah diralisasikan atau belum direalisasikan adalah tergantung pada undang-undang domestik masing-masing negara.

Pengenaan pajak atas keuntungan dari pengalihan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu BUT, yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang negara lain, termasuk keuntungan dari pengalihan BUT atau tempat tetap tersebut.
Keuntungan dari pengalihan harta gerak tersebut dapat dikenai pajak di Negara di mana BUT atau tempat tetap berada (Negara Sumber).
Harta gerak yang dimaksud adalah harta gerak yang berlokasi di mana pun sepanjang menjadi bagian kekayaan BUT, atau menjadi bagian suatu tempat tetap yang digunakan untuk menjalankan jasa perorangan independen.
Contoh: Karo Ltd. merupakan residen negara Singapura mempunyai BUT Karo di Indonesia. BUT Karo mempunyai harta gerak di negara Singapura dan di Indonesia. BUT Karo melakukan pengalihan harta gerak yang berada di Indonesia. Atas keuntungan pengalihan tersebut menjadi bagian dari kekayaan dari BUT Karo. Dengan demikian, keuntungan atas pengalihan harta dimaksud dapat dikenai pajak di Indonesia.
Istilah “harta gerak” juga berarti seluruh harta selain harta tak gerak, termasuk harta tak berwujud seperti goodwill, lisensi, dan sejenisnya. Keuntungan atas pengalihan harta tersebut dipajaki di mana BUT-nya atau di mana tempat tetap berada (Jasa Perorangan Independen).
Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State
Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State
Pasal 13 Capital Gain ayat (4)
Ayat 4 memberikan hak pemajakan kepada Negara Sumber atas keuntungan dari pengalihan saham pada suatu perseroan atau hak kepemilikan sejenis pada entitas lain yang asetnya atau hartanya sebagian besar terdiri dari harta tak gerak yang berada di Negara tersebut, jika dalam suatu waktu dalam 365 hari sebelum terjadinya pengalihan, saham atau hak kepemilikan sejenis tersebut memiliki nilai yang besarnya melebihi 50 persen secara langsung maupun tidak langsung dari keseluruhan nilai harta tak gerak yang dimiliki oleh perseroan, persekutuan, trust, maupun warisan.
Ayat 4 ini bertujuan, salah satunya, untuk mencegah penghindaran pajak atas keuntungan dari pengalihan harta tak gerak dengan cara membentuk sebuah perseroan yang berperan sebagai pemilik harta tak gerak.
Ayat 4 juga bertujuan agar pemajakan atas keuntungan dari pengalihan saham atau bentuk kepemilikan sejenis pada suatu perseroan atau bentuk entitas lainnya yang memperoleh sebagian besar nilainya dari harta tak gerak.
Contoh: Forco One Ltd. memiliki seluruh saham Forco Two Ltd., keduanya merupakan SPDN Negara A. Selanjutnya Forco Two Ltd. memiliki sebagian besar saham pada PT ABC yang merupakan SPDN Indonesia. Komposisi harta tak gerak PT ABC melebihi 50% dari total seluruh harta.
Indonesia memiliki P3B dengan Negara A yang salah satu klausulnya mengikuti klausul Pasal 13 ayat 4 di atas. Dalam hal ini, jika Forco One Ltd. mengalihkan sahamnya pada Forco Two Ltd. kepada pihak lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 aya4 ini, atas keuntungan dari pengalihan saham Forco Two Ltd. tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.
Independent Personal Service
Cakupan pengaturan jasa perorangan independen yang umumnya dikenal sebagai jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen. Pengertian jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen ini dapat dipersamakan dengan pengertian pekerjaan bebas yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor KUP.

Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Dikecualikan dari pengaturan Independent Personal Service adalah kegiatan industrial dan komersial. Jasa profesional yang diberikan dalam suatu hubungan kerja juga dikecualikan dari cakupan Independent Personal Service, seperti dokter yang bekerja sebagai pegawai di bagian keselamatan kerja suatu perseroan. Dalam hal ini, ketentuan dalam Dependent Personal Serviceatas penghasilan yang diperoleh dokter tersebut dalam kapasitasnya sebagai pegawai.
Pengertian “jasa profesional” diilustrasikan melalui beberapa contoh seperti jasa profesional dalam bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, kegiatan pendidikan atau pengajaran, dokter, pengacara, insinyur, arsitek, dokter gigi dan akuntan.
Pemberian contoh tersebut hanya berupa penjelasan dan tidak bersifat tertutup atau membatasi (non-exhaustive) kegiatan yang dicakup dalam pengertian jasa profesional.
Pengertian jasa profesional tidak termasuk kegiatan industri dan komersial dan juga jasa profesional yang dilakukan dalam suatu hubungan kerja, misalnya seorang tenaga kesehatan yang bekerja sebagai petugas medis dalam pabrik. Kegiatan independen yang dilakukan oleh artis dan atlet tidak termasuk dalam pengertian Pasal ini, kegiatan independen .
Dependent Personal Service
Subject to the provisions of Articles 16, 18 and 19, salaries, wages and other similar remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment shall be taxable only in that State unless the employment is exercised in the other Contracting State. If the employment is so exercised, such remuneration as is derived therefrom may be taxed in that other State
Pasal 15 Dependen Personal Service ayat (1)

Pasal 15 mengatur mengenai pembagian hak pemajakan antara Negara Domisili dan Negara Sumber atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan.
Negara Sumber dalam konteks penerapan Pasal ini merupakan Negara tempat suatu pekerjaan dilakukan. Pasal 15 berlaku untuk imbalan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, termasuk pemberian natura atau kenikmatan (payment in kind) seperti opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.
Ayat 1 menyebutkan ketentuan umum Pasal 15, yakni, bahwa penghasilan dari pekerjaan hanya dapat dikenai pajak di Negara Domisili, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan di Negara Sumber.
Pekerjaan dianggap dilakukan di tempat di mana pegawai yang bersangkutan secara fisik berada sewaktu menjalankan pekerjaan yang atasnya penghasilan tersebut dibayarkan.
Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan dari pekerjaan jika:
- pegawai merupakan SPDN Negara Domisili; dan
- pegawai melakukan pekerjaannya di Negara Domisili.
Contoh: Tuan Candra yang merupakan SPDN Indonesia adalah seorang pegawai yang melakukan pekerjaannya di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia sebagai Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan tersebut, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan Tuan Candra di negara X, maka atas penghasilan tersebut dapat dipajaki di negara X.
Ayat 1 juga mengatur bahwa ketentuan Imbalan Direktur, Pensiun dan Imbalan Jaminan Sosial, dan Jasa Pemerintahan berlaku untuk penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang disebut dalam pasal-pasal tersebut. Misalnya, penghasilan berupa pensiun atau imbalan sejenis lainnya sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan di masa lampau.
Contoh2: Mr. Anand merupakan SPDN India yang bekerja pada X Corp., sebuah perusahaan berdomisili di India. Mr. Anand dikirim oleh perusahaan tersebut untuk melakukan pekerjaan di Indonesia dalam pada beberapa periode dalam tahun 202X. Berdasarkan P3B dengan India, penentuan hak pemajakan India dan Indonesia atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaannya sebagai pegawai dapat dilakukan sebagai berikut:
- Indonesia merupakan Negara Sumber, yaitu Negara tempat pekerjaan dilakukan sehingga memiliki hak pemajakan atas imbalan kerja yang diperoleh oleh Mr. Anand untuk pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut;
- India merupakan Negara Domisili, yaitu Negara di mana Mr. Anand menjadi SPDN sehingga juga berhak mengenakan pajak atas imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 P3B antara Indonesia dengan India;
Berdasarkan kondisi pada angka 1 dan angka 2 di atas berlaku ketentuan Pasal 15 ayat 1 sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, dapat dikenai pajak di Indonesia.
Namun, dalam hal:
- Mr. Anand berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam periode 12 bulan;
- imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut dibayarkan oleh pihak yang bukan merupakan SPDN Indonesia; dan
- imbalan tersebut tidak dibebankan pada BUT X Corp. yang berada di Indonesia, maka Indonesia, meskipun merupakan Negara Sumber, tidak dapat memajaki penghasilan yang diperoleh oleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya dl Indonesia karena semua kondisi yang terdapat pada ayat 2 terpenuhi.
Directors’ Fee

Directors’ fees and other similar payments derived by a resident of a Contracting State in his capacity as a member of the Board of Directors of a company which is a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.
Pasal 16 Directors Fees And Remuneration of Top Level Managerial Officials
Pasal 16 mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Direksi dan pegawai manajerial level atas sebuah perseroan yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan.
Pasal ini memberikan hak pemajakan kepada Negara Domisili anggota Dewan Direksi dan juga kepada Negara Sumber atau Negara Pihak dalam Persetujuan tempat di mana perseroan menjadi SPDN.
Negara Pihak dalam Persetujuan dapat mengenakan pajak atas imbalan yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang merupakan SPDN Negara tersebut kepada SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dalam jabatannya sebagai direktur perseroan tersebut.
Istilah “fees and other similar payments” meliputi seluruh pembayaran yang diterima oleh SPDN dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi suatu perseroan, misalnya opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.
Jika posisi manajemen level atas (top-level management) dalam suatu perseroan yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dijabat oleh Orang yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, maka penghasilan yang diterima oleh Orang tersebut akan dikenai pajak dengan prinsip pemajakan yang sama dengan pemajakan atas penghasilan yang diterima anggota Dewan Direksi.
Istilah “posisi manajemen level atas” merujuk pada kedudukan yang tanggung jawab utamanya berkaitan dengan pengarahan kebijakan umum suatu perseroan, yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh direktur perseroan. Istilah tersebut juga meliputi jabatan direktur yang merangkap sebagai manajer level atas.
Entertainers and Sportspersons

Notwithstanding the provisions of Articles 14 and 15, income derived by a resident of a Contracting State as an entertainer, such as a theatre, motion picture, radio or television artiste, or a musician, or as a sportsperson, from his personal activities as such exercised in the other Contracting State, may be taxed in that other State.
Pasal 17 Artistes And Sportpersons
Pasal ini mengatur mengenai pengenaan pajak di Negara Sumber atas penghasilan yang diterima sebagai seniman seperti artis teater, film, radio atau televisi, atau pemain musik atau sebagai atlet yang merupakan SPDN Negara Domisili dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka berkaitan dengan pertunjukan yang dilakukan di Negara Sumber tersebut.
Seniman dan atlet yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, tempat kegiatan atau pertunjukan dilakukan.
Contoh: Blu Erni Liv adalah seorang musisi yang merupakan SPDN Negara A dan mengadakan pertunjukan bagi para penggemarnya di Indonesia. Berdasarkan ketentuan ayat ini, penghasilan yang diterima oleh Blu Erni Liv dari pertunjukannya di Indonesia tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.
Other Income

Capital represented by immovable property referred to in Article 6, owned by a resident of a Contracting State and situated in the other Contracting State, may be taxed in that other State.
Ayat 1 menyebutkan bahwa harta berupa harta tak gerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (Penghasilan dari Harta Tak Gerak) yang dimiliki oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan terletak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.
Capital represented by movable property forming part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or by movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services may be taxed in that other State
Ayat 2 menyebutkan bahwa harta berupa harta bergerak yang merupakan bagian dari harta suatu BUT yang dimiliki oleh perusahaan suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan atau harta bergerak yang terkait dengan tempat tetap yang tersedia bagi SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan yang berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.
Capital represented by ships and aircraft operated in international traffic and by boats engaged in inland waterways transport, and by movable property pertaining to the operation of such ships, aircraft and boats, shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated
Ayat 3 menyebutkan bahwa hak pemajakan atas harta berupa kapal dan pesawat terbang yang dioperasikan pada jalur lalu lintas internasional, berupa perahu yang digunakan di jalur perairan darat, dan berupa harta gerak yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat terbang, dan perahu tersebut diberikan hanya kepada Negara di mana tempat kedudukan manajemen efektif perseroan berada.
Multilateral Instrument (MLI)
Multilateral Instrument, disingkat MLI, merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.
MLI dikembangkan oleh OECD sebagai bagian dari solusi otoritas pajak untuk menutup celah (loophole) di tax treaty. Mengubah satu tax treaty membutuhkan waktu yang lama. Perundingan tax treaty bisa lebih dari 2 tahun. Bandingkan jika ada 100 tax treaty!
MLI merupakan modifikasi tax treaty secara serentak, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.
Menteri Keuangan telah menandatangani MLI pada 7 Juni 2017 di Kantor Pusat OECD, Paris, Perancis.
Pada saat ditanda-tangani, terdapat 68 negara yang ikut menandatangani dan akan segera disusul 30 negara lain. Per 6 Oktober 2022, sudah ada 100 negara yang menandatangani MLI.
Dengan ikut MLI, artinya pemerintah Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan BUT dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.
Presiden Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 77 tahun 2019 sebagai syarat ambil bagian dalam program MLI. Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention To Implement Tax Treaty Related Measures To Prevent Base Erosion And Profit Shifting.
Surat Edaran Mengenai Multilateral Instrument (MLI) sampai dengan akhir 2021:
- Australia SE-05/PJ/2021
- Belanda SE-16/PJ/2021
- Belgia SE-09/PJ/2021
- Denmark SE-10/PJ/2021
- Finlandia SE-08/PJ/2021
- India SE-17/PJ/2021
- Inggris SE-12/PJ/2021
- Jepang SE-06/PJ/2021
- Kanada SE-07/PJ/2021
- Korea Selatan SE-24/PJ/2021
- Luksemburg SE-22/PJ/2021
- Polandia SE-14/PJ/2021
- Portugal SE-15/PJ/2021
- Prancis SE-11/PJ/2021
- Qatar SE-19/PJ/2021
- Rusia SE-13/PJ/2021
- Selandia Baru SE-20/PJ/2021
- Serbia SE-25/PJ/2021
- Singapura SE-21/PJ/2021
- Slovakia SE-23/PJ/2021
- Uni Emirat Arab SE-18/PJ/2021
Tahun 2023 ada tambahan Tiongkok SE-3/PJ/2023, Thiland SE-04/PJ/2023, Seychelles SE-05/PJ/2023, Spanyol SE-06/PJ/2023
Di lampiran Surat Edaran tersebut terdapat naskah P3B
Slide MLI
Disclaimer: Artikel P3B ini banyak mengutif dari SE-52/PJ/2021