CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023
Mengoptimalkan resiko perpajakan perusahaan dapat pembuatan SPT Tahunan, sehingga perusahaan dapat dilakukan sebelum mengantisipasi dan meminimalkan resiko perpajakan di kemudian hari. Dalam seminar kali ini kami akan mengupas tuntas bagaimana perusahaan dapat mengelola resiko tersebut, dengan membuat analisa yang dapat dilakukan seperti ekualisasi biaya, ekualisasi omset, arus piutang dan yang lainnya.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan kita semua maka Botax Consulting Indonesia menyelenggarakan kegiatan seminar dengan tema:
CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023
Tempat : Hotel Santika Bandung (Sabtu, 4 November 2023) Pkl 09.00 – 16.00 WIB
Pemeriksaan Pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis
Saya sudah menulis tentang pemeriksaan pajak di blog pajaktaxes.blogspot.com yang cukup lengkap. Di tulisan kali ini, saya menulis ulang pemeriksaan pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis.
Masih banyak Wajib Pajak yang menganggap apa yang dilakukan pemeriksa pajak sebagai pemeriksaan pajak. Padahal yang dimaksud adalah penelitian. Secara umum, penelitian merupakan tindakan administrasi pajak oleh petugas pajak.
Kegiatan penelitian oleh petugas pajak sangat beragam. Produk hasil penelitian juga sangat banyak. Bisa berupa surat biasa, permintaan keterangan, sampai keputusan.
Sedangkan ciri utama kegiatan pemeriksaan ditandai dengan adanya surat pemberitahuan pemeriksaan pajak, dan Surat Pemeriksaan Pajak yang disampaikan oleh pemeriksa pajak.
Tujuan Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Berdasarkan Pasal 29 ini, tujuan pemeriksaan pajak ada dua, yaitu: menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, dan tujuan lain.
Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak dengan cara yang tidak benar dengan cara menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal.
Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib:
Mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai tempat tinggal, tempat domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.
Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Penjelasan terbaik sistem self assessment ada pada Pasal 12 Undang-Undang KUP. Pasal ini merupakan penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT tidak benar. Berbeda dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat ketetapan pajak.
Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.
“Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP
Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah: a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga; b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP
Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar. Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka.
Benar karena Wajib Pajak telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas Negara yang telah dipungut atau dipotong dari pihak lain.
Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
harta dan kewajiban; dan/atau
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.
Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.
Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak.
Pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya: [a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; [b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; [c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; [d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan; [e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; [f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan; [g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; [h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; [i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; [j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau [k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan .
Dengan pengertian seperti ini, ruang lingkup pemeriksaan pajak dapat dibagi menjadi dua: [a.] jenis pajak yang diperiksa; dan [b.] periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.
Ruang lingkup pemeriksaan pajak bisa diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan yang disampaikan.
Dapat juga Wajib Pajak melihat ruang lingkup pemeriksaan dari SP2 yang diperlihatkan atau disampaikan oleh pemeriksa.
Kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 juga memperlihatkan ruang lingkup atau batasan “perintah” diberikan kepada pemeriksa pajak.
Jenis pajak yang diperiksa dapat berupa: [a.] seluruh jenis pajak (all taxes); [b.] beberapa jenis pajak; atau [c] satu jenis pajak (single tax).
Seluruh jenis pajak artinya semua kewajiban perpajakan yang menjadi kewajiban Wajib Pajak harus diperiksa oleh pemeriksa.
Atas pemeriksaan ini, dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan, maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak kecuali jika penyelesaian pemeriksaan melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) Sumir.
Pada umumnya, pemeriksaan khusus dengan jenis pemeriksaan lapangan biasanya pemeriksa diberikan ruang lingkup pemeriksaan suluruh jenis pajak.
Untuk seluruh jenis pajak, kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 adalah dengan digit pertama 1 (satu).
Contoh: 1412, 1422, atau 1912. Artinya, jika digit pertama angka 1 maka jenis pajak yang diperiksa meliputi: PPh Badan atau PPh OP, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, dan PBB (kecuali PBB P2 yang sudah kewenangan Pemda).
Beberapa jenis pajak biasanya digunakan untuk jenis PPh pemotongan dan pemungutan, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
PPh pemotongan dan pemungutan biasa disingkat P2PPh. Tetapi sejak akhir 2013, bisa beberapa jenis pajak bisa juga ditambahkan PPN.
Untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, terutama yang baru tahap eksplorasi maka biasanya menggunakan beberapa jenis pajak karena kewajiban perpajakan PPh Badan belum ada.
Seperti seluruh jenis pajak tetapi dikurangi jenis pajak PPh Badan. Kode pemeriksaan untuk beberapa jenis pajak menggunakan digit pertama 0 (nol).
Untuk memperjelas jenis pajak apa saja yang diperiksa, setelah kode pemeriksaan maka disebutkan jenis pajak apa saja. Contoh kode 0412 (P2PPh dan PPN), atau 0412 (PPh Badan dan PPN), atau 0412 (P2PPh).
Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja. Sebelumnya, satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan lebih bayar PPN.
Tetapi sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan lebih bayar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan diharuskan satu jenis pajak.
Maksud pembatasan jenis pemeriksaan menjadi satu jenis pajak adalah agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar dan mempercepat penyelesaian.
Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan.
Kegiatan pemeriksaan lebih bayar sekitar 65% dari keseluruhan penugasan. Dan diantara penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya dikarena SPT lebih bayar yang nominalnya tidak signifikan.
Untuk mengurangi beban tersebut, maka sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu jenis pajak.
Ditambah lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014 yang menggeser lebih bayar “receh-receh” dilakukan dengan penelitan oleh petugas AR.
Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi lebih cepat, yaitu 15 hari kerja untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.
Ruang lingkup pemeriksaan yang kedua adalah periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.
Undang-Undang KUP mengenal istilah masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
Secara umum, satu masa pajak adalah satu bulan kalender. Tetapi bisa juga satu masa pajak tiga bulan kalender. Masa pajak biasa digunakan untuk jenis pajak PPN.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Periode akuntansi menentukan tahun pajak. Yang pasti 1 tahun pajak sama dengan 12 bulan.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Bagian tahun pajak artinya kurang dari 12 bulan kalender. Tahun pajak dan bagian tahun pajak biasa digunakan dalam PPh.
Bagian tahun pajak artinya periode yang diperika kurang dari 12 bulan.
SP2 yang diberikan harus secara jelas menyebutkan periode pembukuan yang diperiksa. Sehingga di SP2 biasanya disebutkan bulan atau masa pajak yang diperiksa.
Periode bulan pembukuan (periode akuntansi) kebanyakan dimulai dari bulan Januari dan diakhir bulan Desember.
Tetapi ada juga yang tidak mengikuti kalender masehi, seperti periode pembukuan mulai April sampai dengan Maret.
Dalam hal bulan permulaan periode pembukuan yang tercantum di SP2 berbeda dengan periode akuntansi yang dianut Wajib Pajak, maka atas SP2 tersebut harus dibatalkan dan dibuatkan SP2 baru yang sesuai dengan periode pembukuan Wajib Pajak.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan PPh Badan tidak mungkin dilakukan untuk tahun berjalan.
Kenapa? Karena pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus menerbitkan surat ketetapan pajak.
Artinya, periode pembukuan yang diperiksa harus sudah lewat.
Tetapi pemeriksaan tahun berjalan masih bisa dilakukan untuk pemeriksaan PPN untuk masa pajak yang sudah lewat. Contoh SP2 ditandatangani bulan Agustus 2014 untuk pemeriksaan satu jenis pajak PPN masa pajak Maret 2014.
Contoh SP2
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Kriteria Pemeriksaan Pajak
Kriteria pemeriksaan pajak merupakan alasan atau dasar dilakukan pemeriksaan pajak.
Peraturan menteri keuangan selalu membagi alasan pemeriksaan menjadi dua, yaitu pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan pemeriksaan yang merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak.
Pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak mengacu pada ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Sedangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak mengacu pada Pasal 29 Undang-Undang KUP.
Kewenangan Direktur Jenderal Pajak berasal dari kata “dapat” dalam kalimat “Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal…“
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam hal memenuhi kriteria:
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko;
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Ada tiga “mazhab” yang saya temukan terkait penafsiran kewenangan pemeriksaan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (pemeriksa pajak).
Mazhab pertama alasan pemeriksaan mengatakan bahwa SPT Wajib Pajak diperiksa jika ada bukti ketidakpatuhan yang dimiliki oleh DJP.
Harus ditemukan bukti ketidakbenaran SPT Wajib Pajak, baru kemudian dilakukan pemeriksaan. Itulah pemeriksaan menguji kepatuhan.
Tetapi dalam kondisi database DJP yang belum terkelola dengan baik maka akan ada simalakama antara pencarian data dan pemeriksaan.
Salah satu kewenangan pemeriksaan itu adalah meminjam dokumen apapun yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Dengan data ini tentu pemeriksa bisa menguji kepatuhan Wajib Pajak. Tetapi untuk masuk ke pemeriksaan, apa yang dimiliki DJP?
Jika Wajib Pajak memiliki pembisik yang mengatakan bahwa database DJP belum terkelola dengan baik maka lebih aman bagi mereka untuk tidak melaporkan SPT-nya karena dengan begitu tidak akan diperiksa!
DJP tidak punya alasan untuk melakukan pemeriksaan.
Sehingga teman saya pernah mengatakan, “Untuk mendapatkan bukti ketidakpatuhan Wajib Pajak maka harus dilakukan pemeriksaan. Sebaliknya untuk dilakukan pemeriksaan, harus ada bukti ketidakpatuhan. Jadi mana dulu?”
Alasan Wajib Pajak Diperiksa Oleh Ditjen Pajak
Mazhab yang kedua mengatakan bahwa alasan pemeriksaan pajak adalah analisis risiko. Ini yang digunakan sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 199/PMK.03/2007.
Kata-kata pertama analisis risiko sebenarnya ada di Pasal 29A Undang-Undang KUP, yaitu terkait dengan pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak yang terdaftar di bursa efek (listed company).
Istilah analisis risiko tetap digunakan sampai Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 seperti yang petikannya sudah diatas.
Bukti ketidakpatuhan tentu berbeda dengan analisis risiko.
Namanya analisis tentu bisa saja hanya berupa indikasi. Analisis juga bisa berbentuk kuantitatif yaitu angka-angka dan bisa juga kualitatif yang berupa deskripsi yang menggambarkan indikasi ketidakpatuhan.
Perkembangan selanjutnya, ditingkat kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran, analisis risiko ini dibagi dua:
analisis manual, dan
analisis komputerisasi.
Analisis manual dilakukan dengan manual. Satu Wajib Pajak atau satu grup dilakukan analisis secara manual. Analisi ini dituangkan dalam lembar analisis yang disebut “Analisis Risko Wajib Pajak”.
Sedangkan analisis komputerisasi dilakukan oleh komputer kantor pusat. Mulai 2022, Direktur Pemeriksaan sudah menggunakan Compliance Risk Management (CRM) dan Business Intelligence (BI) untuk membuat analisis risiko.
Mazhab ketiga alasan pemeriksaan pajak adalah karena kewenangan yang diberikan oleh Pasal 29 Undang-Undang KUP yang sudah dikutip diatas.
Pemikiran lain dari mazhab ketiga ini bahwa tidak ada satupun ketentuan di Undang-Undang KUP yang melarang atau membatasi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan.
Artinya, dengan kewenangan yang diberikan Pasal 29 sudah jelas bahwa Dirjen Pajak bisa saja melakukan pemeriksaan pajak dengan “suka-suka”.
Setelah dilakukan pemeriksaan, baru diketahui apakah Wajib Pajak melaporkan SPT dengan benar atau salah. Ini merupakan kebalikan dari mazhab pertama diatas.
Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus
Pada tingkat kebijakan, kriteria pemeriksaan dibagi dua:
pemeriksaan rutin, dan
pemeriksaan khusus
Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Menurut Surat Edaran SE-15/PJ/2018, Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi.
Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku; perubahan metode pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP PBB P3
Dan pemeriksaan khusus terdiri:
Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret (audit based on data) yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk-based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pada dasarnya, pemeriksaan yang harus dilakukan oleh DJP adalah pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP, yaitu pemeriksaan restitusi pajak.
Selain Pasal 17B, maka masuk domain kewenangan Dirjen Pajak, boleh diperiksa tetapi boleh juga tidak diperiksa.
SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar tetapi dikompensasi: boleh diperiksa, boleh juga tidak.
SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi: boleh diperiksa, boleh juga tidak diperiksa.
Tujuan tidak diwajibkannya pemeriksaan pajak adalah mengurangi beban pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan rutin dan sekaligus memperbanyak ruang pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan khusus.
Sebagian pegawai pajak berpendapat bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi harus diperiksa karena memiliki risiko tinggi.
Kerugian tersebut seperti sebuah cek untuk mengurangi pajak terutang di tahun pajak berikutnya.
Terkait dengan ini, sebenarnya untuk SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak benar-benar tidak diperiksa.
Dalam hal tahun pajak yang diperiksa terdapat kompensasi kerugian dari tahun lalu, maka dalam kebijakan pemeriksaan tetap mengharuskan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan perluasan pemeriksaan sampai dengan tahun pajak yang belum daluwarsa.
Tetapi jika memang sudah daluwarsa atau segera akan daluwarsa tidak harus diperiksa.
Salah satu pertimbangannya, dilihat dari manajemen risiko bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak otomatis memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau bahkan SPT Tahunan Nihil.
Jenis Pemeriksaan Pajak
Jenis pemeriksaan pajak membagi pemeriksaan menjadi dua, yaitu
pemeriksaan kantor, dan
pemeriksaan lapangan
Berdasarkan pengertiannya, Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Sedangkan Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.
Pada prakteknya bisa jadi tidak ada perbedaan antara pemeriksaan kantor dan lapangan, kecuali terkait dokumen awal yaitu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
Seharusnya antara Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan ada perbedaan yang signifikan. Terutama karena Pemeriksaan Kantor sebenarnya untuk pemeriksaan yang secara risiko lebih rendah.
Sedangkan Pemeriksaan Lapangan untuk pemeriksaan yang cakupannya luas, kompleks, dan memiliki risiko tinggi. Inilah salah satu alasan kenapa pemeriksaan transfer pricing harus Pemeriksaan Lapangan karena dianggap memiliki risiko tinggi.
Pada saat Pemeriksaan Kantor pemeriksa melakukan pengujian pengujian transfer pricing maka jenis pemeriksaan diubah menjadi jenis Pemeriksaan Lapangan.
Pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi adalah Wajib Pajak tertentu yang berulang-ulang atau sering atau setidaknya lebih dari sekali meminta restitusi.
Terutama resitusi PPN yang bisa dilakan setiap bulan, setiap masa pajak oleh Wajib Pajak tertentu. Diantara yang sering restitusi tersebut adalah Wajib Pajak rekanan pemerintah yang pajaknya sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara.
Diantara yang sering restitusi, Wajib Pajak sudah menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak.
Sehingga begitu datang pemeriksa pajak atau bahkan cukup ditelpon dari kantor, maka Wajib Pajak langsung meminjamkan dokumen yang sudah disiapkan tersebut. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi memiliki risiko relatif kecil.
Pasal 5 ayat (2) PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur bahwa pemeriksaan kantor dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Standar Pemeriksaan Pajak
PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur standar pemeriksaan di Pasal 6 sampai dengan Pasal 10. Standar pemeriksaan tidak pernah berubah sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
Standar Pemeriksaan
Standara pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan pemeriksaan. Boleh dibilang, standar pemeriksaan merupakan syarat minimal.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak boleh lebih bagus atau diatas standar pemeriksaan yang sudah ditetapkan. Dalam hal dibawah standar, sebenarnya tidak ada sanksi bagi pemeriksa pajak tetapi akan menjadi ukuran pembinaan pelaksanaan pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan.
Standara pemeriksaan dibagi tiga:
standar umum
standar pelaksanaan
standar pelaporan hasil pemeriksaan
Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak. Peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak memberikan syarat minimal pemeriksa pajak sebagai berikut:
[a.] telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.
Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif).
Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan.
Pemeriksa Pajak diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.
Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan.
Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.
[b.] menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan dan penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus menggunakan keterampilannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif, dan independen, serta selalu menjaga integritas.
Pemeriksa Pajak dianggap telah menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama apabila dalam melaksanakan Pemeriksaan didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
[c.] jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara.
Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.
Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam semua hal yang berkaitan dengan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya.
Gangguan independensi yang dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak selama Penieriksaan meliputi hal-hal berikut: [c.1.] memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak.
[c.2.] memiliki kepentingan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Wajib Pajak.
[c.3.] pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan masalah perpajakan, akuntansi, atau pun keuangan kepada Wajib Pajak dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.
[c.4.] memiliki teman dekat atau keluarga yang dapat berposisi sebagai wakil Wajib Pajak yang diperiksa.
[c.5.] keadaan, kondisi dan perbuatan tertentu lainnya yang menurut pertimbangan Pemeriksa Pajak dapat mengganggu independensi tersebut..
[d.] taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.
Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang seksama.
Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun.
Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim.
Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk KKP (Kertas Kerja Pemeriksaan).
KKP wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:
bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
dasar pembuatan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan);
sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan.
LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
LHP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sekurang-kurangnya memuat:
penugasan Pemeriksaan;
identitas Wajib Pajak;
pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
pemenuhan kewajiban perpajakan;
data/informasi yang tersedia;
buku dan dokumen yang dipinjam;
materi yang diperiksa;
uraian hasil Pemeriksaan;
ikhtisar hasil Pemeriksaan;
penghitungan pajak terutang; dan
simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
Hak dan Kewajiban Pemeriksa Pajak
Kewajiban pemeriksa versus hak Wajib Pajak. Keduanya sebenarnya berhadap-hadapan. Harusnya kewajiban disisi pemeriksa maka hak disisi Wajib Pajak.
Tetapi ternyata tidak semuanya seperti itu. Karena itu saya sandingkan antara kewajiban Pemeriksa dan hak Wajib Pajak supaya terlihat mana yang berhadapan dan mana yang tidak.
Pemeriksa pajak berhak (berwenang):
[a.] melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
[b.] mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
[c.] memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
[d.] meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:
[d.1] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
[d.2] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
[d.3] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
[e.] melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
[f.] meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
[g.] meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Terkait dengan kewenangan pemeriksa pajak, Undang-Undang KUP memberikan hak untuk mendapatkan semua informasi yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Walaupun informasi tersebut bersifat rahasia, baik rahasia dagang maupun rahasia pribadi Wajib Pajak, maka rahasia tersebut dicabut atau dinyatakan tidak rahasia berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP.
Hanya rahasia bank yang membutuhkan ijin Menteri Keuangan untuk mendapatkan informasi perbankan Wajib Pajak. Namun sekarang, permintaah rekening bank ke OJK cukup dengan aplikasi. Sehingga sangat memangkas birokrasi.
Kewajiban Pemeriksa Pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No 18/PMK.03/2021. Berikut daftar lengkap kewajiban pemeriksa pajak:
[a.] menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
[b.] memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
[c.] memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
[d.] melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai: [d.1] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[d.2] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[d.3] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor dan
[d.4] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
[e.] menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
[f.] menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
[g.] memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
[h.] menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
[i.] melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;
[j.] mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan
[k.] merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
Kewenangan versus kewajiban diatas adalah untuk versi jenis Pemeriksaan Lapangan.
Ada beberapa kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki manakala jenis Pemeriksaan Kantor.
Kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor adalah kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Dengan kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak maka timbul kewenangan pemeriksaan pajak untuk meminjam dokumen yang ditemukan saat itu juga, memasuki ruangan atau bangunan atau tempat tertentu dan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Lapangan berwenang melakukan penyegelan.
Sebaliknya ada kewenangan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor yang tidak ada di Pemeriksaan Lapangan, yaitu meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak.
Apakah pemeriksaan lapangan benar-benar tidak memiliki kewenangan meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik? Sebenarnya tidak juga.
Pemeriksaan lapangan tetap memiliki kewenangan untuk meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik baik melalui Wajib Pajak maupun tidak. Justru pemeriksaan lapangan lebih luas. Karena tidak harus melalui Wajib Pajak.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, Wajib Pajak memiliki hak:
[a.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;
[b.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
[c.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
[d.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[e.] menerima SPHP;
[f.] menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
[g.] mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan
[h.] memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan
Sedangkan kewajiban Wajib Pajak pada saat dilakukan pemeriksaan yaitu:
[a.] memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
[b.] memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
[c.] memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;
[d.] memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:
[d.1.] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
[d.2.] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
[d.3.] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
[e.] menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan\
[f.] memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Jangka waktu pemeriksaan pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021.
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP ini merupakan dasar hukum dan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang KUP bahwa jangka waktu pemeriksaan pajak “harus dibatasi”.
Ada sebagian yang tidak setuju dengan adanya jangka waktu pemeriksaan. Hal ini karena proses pengumpulan data untuk diuji seringkali tergantung pada pihak eksternal.
Contoh adalah ijin membuka rahasia perbankan yang seringkali bisa berbulan-bulan baru dijawab. Atau konfirmasi pihak ketiga yang berasal dari negara lain yang jawabannya seringkali baru bisa diterima sekian tahun kemudian.
Tetapi karena Undang-Undang KUP mengharuskan adanya jangka waktu pemeriksaan maka dalam peraturan menteri keuangan selalu diatur batas waktu pemeriksaan.
Pada awalnya, jangka waktu pemeriksaan memang tidak diatur. Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tidak mengatur masalah jangka waktu.
Baru muncul jangka waktu pemeriksaan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
Padahal keputusan menteri keuangan ini masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Jangka waktu pemeriksaan masuk Undang-Undang KUP baru pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2).
Jangka waktu pemeriksaan dapat dibagi dua bagian, yaitu:
jangka waktu pengujian; dan
jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan
Kenapa jangka waktu pemeriksaan dibagi dua? Dulu, sebelum ada pembagian jangka waktu pemeriksaan, kadang pemeriksa pajak memberikan SPHP diujung jangka waktu pemeriksaan.
Contoh, Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2011 mengatur jangka waktu pemeriksaan 8 bulan. Pemeriksa pajak kemudian menyampaikan SPHP di bulan ke 8.
Padahal setelah SPHP ada pembahasan, lamanya 1 bulan. Dengan demikian, total pemeriksaan menjadi 9 bulan. Bukan 8 bulan lagi.
Karena itu, sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013, jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, antara sebelum SPHP dan setelah SPHP.
Sebelum SPHP disebut jangka waktu pengujian. Dan setelah SPHP disebut jangka waktu pembahasan.
Jangka Waktu Pengujian
Jangka waktu pengujian Pemeriksan Lapangan paling lama 6 (enam) bulan.
Enam bulan dihitung dari Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Jangka waktu pengujian ini dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 2 (dua) bulan.
Alasan dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian yaitu:
Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Khusus pemeriksaan lapangan berikut:
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
Wajib Pajak dalam satu grup; atau
Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,
pemeriksaan dapat diperpanjang 6 bulan. Bahkan sampai 3 kali perpanjangan sehingga total jangka waktu pengujian 22 bulan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor paling lama 4 (empat) bulan.
Empat bulan dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
Alasan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor yaitu:
Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret paling lama 1 (satu) bulan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret tidak dapat diperpanjang.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, apabila jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan Lapangan atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak.
Namun, jika pemeriksa pajak tetap belum menyampaikan SPHP, walaupun jangka waktu pengujian sudah berakhir, pada kenyataannya tidak ada akibat hukumnya bagi hasil pemeriksaan.
Berbeda jika tidak ada SPHP dan tidak ada pembahasan, kelalaian tersebut berakibat hukum hasil pemeriksaan dibatalkan.
Jangka Waktu Pembahasan
Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
Sedangkan Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
Jangka Waktu Pemeriksaan Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan.
Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B Undang-Undang KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B.
Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda.
Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi.
Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu! a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama. b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.
Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu: SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013.
Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan.
Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja.
Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.
Surat Perintah Pemeriksaan (SP2)
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa Pajak berdasarkan SP2.
Idealnya, pemeriksaan dilakukan oleh tim yang sama sejak pertama kali SP2 disampaikan sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.
Namun dalam kenyataannya, mutasi Pemeriksa Pajak dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu pemeriksaan selesai.
Oleh karena itu, jika terjadi mutasi Pemeriksa Pajak maka kantor pajak akan memberikan pemberitahuan bahwa tim Pemeriksa Pajak berubah. Pemberitahuan ini dalam bentuk SP2 Perubahan.
Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor.
Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (pemeriksa pajak aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai: [a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.
Peminjaman Dokumen
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, maka buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.
Ini adalah contekan dari Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
Saya mengingatkan saja bahwa pada saat datang ke tempat Wajib Pajak, pemeriksa pajak tidak perlu membuat surat peminjaman dokumen.
Kebiasaan sebagian pemeriksa, sebelum datang ke tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa menyiapkan dulu surat peminjaman dokumen.
Sebenarnya, surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen itu dilakukan dalam hal: [a.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan;
[b.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pelaksanaan Pemeriksaan (dengan segala alasannya, misalnya gudang arsipnya di luar kota).
Pada kesempatan pertama datang ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak berwenang memasuki semua ruangan dan tidak ada ruangan rahasia karena semua rahasia demi kepentingan Negara (pajak merepresentasikan negara) menjadi tidak ada.
Semua harus terbuka bagi pemeriksa pajak. Pada saat menjalankan tugas sesuai SP2, pemeriksa pajak adalah perwakilan NKRI untuk tugas perpajakan.
Untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik, pemeriksa pajak memiliki kewenangan meminta Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak.
Sebaliknya dari sisi Wajib Pajak, pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP memerintahkan bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Dokumen yang diminta akan disampaikan sesuai ketentuan di Undang-Undang KUP, yaitu satu bulan.
Kemudian, jika ada perbedaan nama atau jenis dokumen antara yang digunakan oleh Wajib Pajak dengan yang tertulis di lampiran Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka Wajib Pajak dapat mengatakan, “Bapak/ibu, dokumen nomor sekian tidak ada di perusahaan kami.”
Padahal bisa jadi dokumen yang sejenis atau berfungsi sama tetapi namanya berbeda ada.
Kalaupun ada, kemudian Wajib Pajak mengatakan tidak ada, sebenarnya Pemeriksa Pajak tidak bisa membuktikan kebohongan Wajib Pajak.
Bandingkan jika Pemeriksa Pajak ketempat usaha Wajib Pajak dan menemukan dokumen yang diperlukan! Alasan apa yang bisa digunakan Wajib Pajak?
Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan koreksi berdasarkan analisis.
Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib Pajak.
Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-23/PJ/2013).
Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa.
Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu fakta.
Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa.
Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil Pemeriksaan.
Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek Pasal 4 huruf c PER-23/PJ/2013.
Pada kenyataannya, Pemeriksa Pajak yang duduk manis di kantor menunggu kedatangan dokumen sering kali kecewa ketika dokumen yang diminta dengan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen datang mendekati jangka waktu pengujian habis atau bahkan setelah SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Sebenarnya, Pemeriksa Pajak bisa menggunakan kewenangannya untuk menghitung pajak terutang secara jabatan.
Tetapi sangat jarang digunakan karena beberapa kasus kalah di pengadilan pajak. Itu yang jadi acuan. Padahal putusan Pengadilan Pajak tidak pernah jadi dasar hukum.
Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen bisa sampaikan beberapa kali sepanjang Pemeriksa Pajak memandang perlu.
Tetapi ketentuan satu bulan sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (3a) Undang-Undang KUP tetap berlaku.
Sehingga, jika Pemeriksa Pajak setelah 7 bulan pemeriksaan masih mengeluarkan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka bisa jadi atas dokumen tersebut tidak diuji karena jangka waktu pengujian mungkin sudah lewat.
Apakah buku, catatan, dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah SPHP diterbitkan boleh diterima oleh Pemeriksa Pajak.
Ini adalah bagian dari perdebatan di internal DJP. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh. Permasalahannya, setelah SPHP adalah waktu untuk pembahasan hasil pemeriksaan.
Bukan waktunya lagi menguji dokumen Wajib Pajak. Pengujian tetap disarankan sebelum SPHP.
Tetapi disatu sisi ada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP:
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
Secara tidak langsung Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP mengatakan bahwa selama jangka waktu pemeriksaan belum selesai maka dokumen dapat diterima oleh Pemeriksa Pajak.
Sedangkan pemeriksaan selesai setelah ditanda-tanganinya LHP. Bagaimana jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen seabreg-abreg?
Dalam hal Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diminta berdasarkan berita acara tidak dipenuhinya permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen Pemeriksa Pajak harus menentukan dapat atau tidaknya melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan bukti kompeten yang cukup sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.
Jika kesimpulan Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan. Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b
Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.
Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.
Penyegelan dilakukan manakala: [a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat
Penyegelan hanya ada dalam jenis Pemeriksaan Lapangan. Sehingga jika Pemeriksa Pajak datang ke tempat usaha/domisili Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara.
Selanjutnya, Pemeriksa Pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan.
Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga .
Penyegelan dilakukan denga menempelkan tanda segel. Peraturan menteri keuangan menyebut “tanda segel” bukan “kertas segel”.
Tanda segel bisa dibuat dari apa saja. Tanda segel harus ditempel. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak.
Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan.
Jika Pemeriksa Pajak merasa belum cukup waktu melakukan penyegelan, tidak ada larangan dilakukan penyegelan kedua dan seterusnya.
Pembukaan segel dilakukan apabila:
Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak telah memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.
Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu: [a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan [b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.
Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung.
Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan.
Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.
Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP atau LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan.
Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP.
Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa Wajib Pajak harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.
Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan! Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan.
Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir dilakukan dalam hal: [a.] Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:
tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan.
[b.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:
tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
tidak dilanjutkan dengan penyidikan tetapi diselesaikan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP; atau
dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
[c.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP. [d.] Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. [e.] Terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
SPHP dan Closing Conference
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan.
Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP. Tapi sekarang boleh direvisi sekali.
SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP yang berbunyi:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) Undang-Undang KUP terdiri dari: [a.] pemeriksaan ulang, [b.] jangka waktu pemeriksaan, [c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan [d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan.
Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri.
Ketentuan “rukun” pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: … d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing conference).
Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
Pasal-Pasal tersebut diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021
Setelah pemeriksa dapat menghitung pajak-pajak terutang, atau karena jangka waktu pengujian telah terlampaui, maka pemeriksa pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Surat ini ditandatangani oleh kepala kantor, dan dalam lampirannya mencantumkan daftar pos-pos yang dikoreksi atau objek pajak tertentu yang dikoreksi.
Daftar pos-pos ini sering juga disebut daftar temuan. SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili.
Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di Undang-Undang KUP. Dulu salah satu alasan tidak menggunakan email karena alamat email yang tidak standar.
Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Tanggapan tertulis harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.
Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan.
Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju.
Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference.
Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum Undang-Undang KUP 2007 ada pendapat seperti itu.
Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan Undang-Undang KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!
Undangan pembahasan harus disampaikan 3 hari kerja setelah surat tanggapan diterima oleh kantor pajak, atau 10 hari kerja setelah SPHP jika Wajib Pajak meminta perpanjangan jangka waktu tanggapan.
Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak.
Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak.
Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian.
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim Quality Assurance Pemeriksaan memiliki tugas:
a. membahas perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b. memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
c. membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013 yang menyebutkan, “Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum koreksi dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Setelah menerima surat permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, kemudian Tim Quality Assurance Pemeriksaan mengundang pemeriksa pajak dan Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Tim Quality Assurance Pemeriksaan hanya menilai dan memutuskan pendapat yang mana yang benar.
Tim Quality Assurance hanya memeriksa bagian formal atau dasar hukum koreksi serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, keputusan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dapat: *** membenarkan pendapat Wajib Pajak; *** membenarkan pendapat pemeriksa pajak; atau *** memiliki pendapat lain diluar pendapat Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.
Walaupun Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) boleh memiliki kesimpulan yang berbeda dengan Wajib Pajak dan pemeriksa, tetapi Tim QA tidak boleh membuat koreksi fiskal baru diluar yang disengketakan pada saat pembahasan.
Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan kesimpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.
Jika Tim QA boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa pajak.
Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan Teknik Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-pengujian dilakukan oleh pemeriksa pajak saja.
Pembahasan masalah ini memang cukup panjang tetapi pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya, aturan yang terlalu detil sering membelenggu.
Tetapi inti pembatasan yang saya sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan saatnya pengujian dokumen.
Bagaimana jika pendapat Tim QA memerlukan pengujian? Karena pengujian dokumen merupakan domain pemeriksa pajak, maka setelah selesai pembahasan dengan Tim QA pelaksanaan pengujian tetap dilakukan oleh pemeriksaan pajak.
Tim QA hanya memberikan “batasan-batasan” koreksi mana yang boleh dan koreksi mana yang tidak boleh.
Sangat mungkin jika Tim QA memutuskan suatu kesimpulan tetapi mengenai jumlah atau nominal rupiah yang dikoreksi ditentukan sendiri oleh pemeriksa pajak setelah dilakukan “penghitungan ulang”.
Pendapat Tim QA harus berdasarkan masing-masing masalah. Sebagai contoh, hasil pemeriksaan PPh Badan yang dituangkan dalam SPHP dan Risalah Pembahasan, pemeriksa telah melakukan koreksi fiskal atas 7 pos baik penghasilan maupun biaya.
Bisa jadi Tim QA setuju dengan pendapat Wajib Pajak dalam 4 pos, tetapi 3 pos lain Tim QA sependapat dengan pemeriksa pajak.
Hasil pembahasan di Tim QA harus diformalkan dalam Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
Risalah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Tim QA, Wajib Pajak, dan pemeriksa pajak.
Dokumen Risalah Tim QA berfungsi seperti notula atau laporan hasil rapat. Pendapat masing-masing pihak: Wajib Pajak, pemeriksa pajak, dan pendapat Tim QA harus ditulis secara jelas di Risalah Tim QA.
Dan pendapat Tim QA adalah pendapat terakhir sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.
Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus bertanggung jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung jawab atas pendapatnya.
Jika pendapat pemeriksa “dipatahkan” oleh Tim QA maka pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak berpendapat untuk masalah tersebut.
Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir.
Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir.
Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.
Pengungkapan Ketidakbenaran
Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP.
Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Laporan tersendiri secara tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan: [a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format SPT; [b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan [c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa bunga KMK ditambah 10%.
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP.
Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan.
Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima: 1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan 2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.
Semua pemeriksaan yang “ditingkatkan” menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan pajaknya tertangguh.
Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, “nasib” pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan.
Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika: [a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau
[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana.
Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal.
Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana.
Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan.
Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja.
Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan.
Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah.
Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang.
Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan pajak.
Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang KUP. Berikut kutipan Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya.
Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP.
Masing-masing memiliki “jalur” atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar.
Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru. Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru.
Nah, untuk lebih jelas masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang: a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh: 1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur.
Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT.
Harus jelas dulu novum-nya apa? Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang.
Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.
Pemeriksaan Tujuan Lain
Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
Wajib Pajak mengajukan keberatan;
pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
pencocokan data dan/atau alat keterangan;
penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/ atau
memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan.
Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja.
Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas.
Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second opinion).
Raden Agus Suparman
Praktisi Pajak sejak 1995. Sekarang bergabung dengan Taxprime Academy
Kuasa Wajib Pajak memiliki kewenangan lebih luas dibandingkan konsultan pajak.
Kuasa Wajib Pajak adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebelumnya, kuasa wajib pajak hanya boleh dilakukan oleh konsultan pajak atau karyawan wajib pajak. Namun, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017, orang yang menjadi kuasa wajib pajak lebih meluas.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini kemudian diterapkan di Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP setelah direvisi dengan Undang-Undang HPP. Bunyi Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP sebagai berikut:
Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
Kuasa Menurut KUH Perdata
Peraturan yang pertama mengatur kuasa adalah Bugerlijk Wetboek (BW) dan diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. BW menjadi hukum positif di Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Dikutif dari hukumonline.com bahwa menurut Pasal 1792 KUH Perdata menyatakan, “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”
Berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata ini, jika Wajib Pajak memberikan kuasa kepada kuasa pajak, karena wajib pajak merasa tidak kompeten dalam perpajakan, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu telah berpindah dari Wajib Pajak kepada kuasa pajak. Sepanjang pemberian kuasa tersebut belum dicabut, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu tersebut masih melekat di penerima kuasa.
Lebih lanjut dalam Pasal 1793 KUH Perdata menjelaskan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
Surat Kuasa memiliki sifat “mewakili dan melakukan suatu tindakan untuk dan atas nama Pemberi Kuasa”
Menurut hukum96.com pemberian kuasa memiliki banyak jenis. Setidaknya ada tujuh jenis surat kuasa yaitu:
Pemberian Kuasa Akta umum : pemberian Kuasa Akta umum adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau akta notariel. Yang berarti bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di hadapan dan di muka Notaris. Oleh karena itu pemberian kuasa mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Surat di Bawah Tangan : Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang berarti bahwa pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh para pihak saja.
Pemberian kuasa secara Lisan : pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Diam – Diam : Pemberian kuasa secara diam – diam merupakan suatu kuasa yang dilakukan secara diam – diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Cuma – Cuma : Pemberuan kuasa secara Cuma – Cuma adalah suatu pemberia kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, Yang berarti bahwa penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi kuasa.
Pemberian Kuasa Khusus : Kuasa khusus ini merupakan suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, Yang berarti bahwa pemberian kuasa itu hanya mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa.
Pemberian Kuasa Umum : Kuasa Umum ini merupakan pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa yang berarti bahwa isi atau subtansi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.
Surat Kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud di Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP termasuk jenis pemberian kuasa khusus. Sehingga nama surat kuasanya disebuat “Surat Kuasa Khusus Perpajakan”. Lebih spesifik lagi, dalam surat kuasa juga harus disebutkan kekhususan yang diberikan, seperti khusus untuk menghadapi pemeriksaan tahun pajak 20×1. Bisa juga surat kuasa khusus untuk melaporkan kewajiban SPT.
Berdasarkan Pasal 1791 KUH Perdata, dalam hal Wajib Pajak memberikan kuasa khusus untuk menghadapi pemeriksaan di kantor pajak, maka yang maju menghadapi pemeriksaan adalah penerima kuasa. Wajib Pajak karena sudah memberikan kuasa, maka dia tidak lagi memiliki “kekuasaan”.
Ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak
Dikutif dari halaman 63 Putusan PUT-63/PUU-XV/2017
Pendapat IKHWPI tentang Kuasa WP
Beberapa hari yang lalu, beredar ringkasan eksekutif dari kegiatan kajian hukum mengenai kuasa wajib pajak yang diselenggarakan oleh Ikatan Kuasa Hukum Wajib Pajak Indonesia (IKHWPI). Berikut ini adalah salinan beberapa sub judul ringkasan eksekutif.
Kuasa Wajib Pajak (Kuasa WP)
Pada tahun 1983 sampai tahun 2000, UU KUP hanya mengatur tentang Kuasa WP tanpa lebih jauh memberikan delegasi wewenang membuat pengaturan mengenai persyaratan seseorang untuk dapat menjadi Kuasa WP kepada Peraturan Menteri Keuangan. Akibatnya, tidak terdapat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pembatasan kesempatan / hak Wajib Pajak untuk dapat menunjuk seseorang yang dianggapnya “memahami masalah perpajakan” (kompeten) sebagai Kuasanya. Dan pembatasan kesempatan / hak seseorang yang “memahami masalah perpajakan” (kompeten) untuk dapat menerima penunjukkan Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.
Mulai tahun 2000, melalu ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, diberlakukan ketentuan mengenai pemberian wewenang kepada Peraturan Menteri Keuangan untuk membuat peraturan mengenai persyaratan seseorang yang dapat menjadi Kuasa WP. Akibatnya, mulai tahun 2000 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pembatasan kesempatan / hak Wajib Pajak untuk dapat menunjuk seseorang yang dianggap “memahami masalah perpajakan” (kompeten) sebagai Kuasa, dan pembatasan kesempatan / hak seseorang yang “memahami masalah perpajakan” (kompeten) untu dapat menerima penunjukkan Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut pada awalnya benar-benar memberikan keleluasaaan kesempatan kepada setiap orang yang “memahami masalah perpajakan” untuk dapat menjadi Kuasa. Namun, perlahan-lahan Peraturan Menteri Keuangan mulai membatasi kesempatan / hak seseorang yang “bukan konsultan pajak” menjadi kuasa WP, dan terakhir hanya seorang konsultan pajak sajalah yang boleh menjadi seorang Kuasa WP, sehingga akibatnya seseorang yang “bukan konsultan pajak” tidak lagi diberi kesempatan / hak untuk menjadi Kuasa WP.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017 (Put MK-63/2017), Majelas Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP (sekarang Pasal 44E ayat (2) huruf e UU HPP) dinyatakan konsitusinal hanya apabila mengatur tentang materi pengatur yang bersifat teknis-administratif, bukan menatur tentang materi yang bersifat substantif (membatasi hak dan kewajiban Warga Negara, termasuk membatasi hak Wajib Pajak menunjuk seseorang sebagai Kuasanya, dan membatasi hak seseorang untuk menerima penunjukkan dari Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.
Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP) hendaknya mematuhi Amanah Put MK-63/2017 yaitu hanya memuat materi pengaturan yang bersifat teknis administrative, dan bukan membuat materi pengaturan yang bersifat substantif.
Cakupan Kuasa WP
Pasal 49 UU KUP mengatur bahwa ketentuan dalam UU KUP berlaku pula bagi “undang-undang perpajakan lainnya”. Kecuali apabila “undang-undang perpajakan lainnya” tersebut mengatur secara khusus mengenai hukum acara (tata cara) yang berbeda dengan ketentuan dalam UU KUP, maka ketentuan dalam “undang-undang perpajakan lainnya” tersebutlah yang berlaku (lex specialis derogate legi generalis).
Terkait dengan hal tersebut diatas, baik undang-undang mengenai Pengadilan Pajak, undang-undang mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak serta undang-undang mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara, mengatur bahwa Bea dan Cukai termasuk ke dalam definisi “perpajakan”, sehingga undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai termasuk pula ke dalam kelompok “undang-undang perpajakan lainnya”.
Kemudian, di dalam “undang-undang perpajakan lainnya”, termasuk undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang menenai Cukai tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang “Kuasa” sebagai mana halnya ketentuan mengenai “Kuasa Wajib Pajak” yang ada dalam UU KUP (terakhir diubah dengan UU HPP). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa “undang-undang perpajakan lainnya” tersebut tidak mengatur lain tentang “Kuasa Wajib Pajak”, sehingga ketentuan mengenai “Kuasa Wajib Pajak” yang ada di dalam UU KUP berlaku pula bagi “undang-undang perpajakan lainnya”, termasuk bagi undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai.
Dengan demikian, dalam Menyusun peraturan mengenai “Kuasa Wajib Pajak” yang terdapat di dalam UU KUP pembuat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang teknis administrative “Kuasa Wajib Pajak” hendaknya mempertimbangkan pula untuk memasukkan ketentuan yang mempertegas bahwa ketentuan mengenai “Kuasa Wajib Pajak” tersebut perlu pula bagi “undang-undang perpajakan lainnya”, termasuk bagi undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai.
Perbedaan antara Kuasa WP dan Konsultan Pajak
Perbedaan antara Kuasa WP dan Konsultan Pajak adalah sebagai berikut:
Cakupan hak dan kewajiban seorang Kuasa WP sangat luas, yaitu pelaksanaan seluruh hak dan pemenuhan seluruh kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang di dalamnya termasuk pula pemberian jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak.
Cakupan hak dan kewajiban seorang konsultan pajak lebih sempit daripada cakupan hak dan kewajiban seorang Kuasa WP, karena hanya sebatas kepada pemberian jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak.
Dengan demikian, dalam membuat ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak oleh seorang Kuasa WP, pemberian hak untuk menjadi seorang Kuasa WP hendaknya tidak dibatasi hanya kepada seorang konsultan pajak.
Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan penjelasannya yang secara jelas dan tega mengatur bahwa orang yang dapat menjadi Kuasa WP adalah setiap orang yang “memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakna”, yang dibuktikan oleh antara lain jenjang Pendidikan tertentu, sertifikasi, dan atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.
Hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang
berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purposeentities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain.
PERKEMBANGAN teknologi digital telah mengaburkan batas antaryuridiksi. Para pelaku bisnis dapat melakukan transaksi lintas batas negara dengan lebih mudah. Tentu saja peningkatan perdagangan internasional dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara yang berpartisipasi.
Namin demikian, dalam praktiknya, transaksi lintas yurisdiksi menciptakan interaksi peraturan perpajakan antarnegara. Kondisi ini memunculkan inefisiensi karena perbedaan pengaturan perpajakan di negara satu dan lainnya.
Perbedaan ini normal karena adanya kedaulatan masing-masing negara dalam menciptakan aturan domestik. Pada umumnya, salah satu perhatian dalam perdagangan internasional adalah penghindaran pajak berganda. Walhasil, ada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).
Ketidakpaduan aturan antaryurisdiksi tidak hanya menimbulkan risiko pajak berganda (double taxation), tetapi juga risiko tidak dikenakan pajak di negara manapun atau dikenakan pajak dengan tarif efektif yang sangat rendah (double non-taxation).
Risiko double non-taxation inilah yang dieksploitasi para penghindar pajak untuk meraih posisi terbaik dari kewajiban fiskalnya. Mereka memodifikasi transaksi dan/atau entitasnya sehingga menghasilkan tidak adanya pengenaan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang sangat rendah.
Salah satu cara yang paling umum untuk menghasilkan double non-taxation adalah dengan memodifikasi transaksi dan/atau entitas bisnis melalui pemanfaatan perbedaan perlakuan pajak. Transaksi dan/atau entitas yang telah dimodifikasi inilah yang dimaksud dengan hybrid mismatch arrangements.
Melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan, negara-negara G-20 bekerja sama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan 15 rencana aksi. Adapun 15 rencana aksi ini berupaya menyelaraskan ketidakpaduan peraturan perpajakan antarnegara untuk mengurangi celah penghindaran pajak internasional.
Adapun rencana aksi ke-2 secara khusus ditujukan untuk menetralkan perlakuan perpajakan akibat perbedaan pandangan antarnegara dalam melihat suatu entitas, instrumen, atau transaksi yang berakhir pada double non-taxation. Rencana aksi ini disebut Neutralizing the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements.
OECD memang tidak memberikan definisi khusus mengenai hybrid mismatch arrangements. Namun demikian, pada dasarnya, hybrid mismatch arrangements memiliki beberapa berikut:
Pertama, hybrid entities, yaitu entitas diperlakukan sebagai entitas transparan dari sisi perpajakan di satu negara, sekaligus entitas nontransparan di negara lainnya. Disebut transparan jika entitas tersebut bukan pemilik dari suatu penghasilan yang diperoleh entitas.
Dengan demikian, dalam konteks entitas transparan, subjek pajak atas penghasilan adalah pemilik modal. Sebaliknya, disebut nontransparan adalah apabila entitas tersebut diperlakukan sebagai subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya.
Kedua, hybrid instrument, yaitu instrumen keuangan yang diperlakukan berbeda oleh negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh, suatu instrumen diperlakukan sebagai utang di suatu negara, tetapi dianggap modal di negara lain.
Ketiga, hybrid transfer, yaitu perbedaan penafsiran pengalihan harta. Di satu negara dianggap sebagai pengalihan harta, tetapi tidak di negara lainnya. Keempat, dual resident entities, yaitu suatu entitas yang menjadi subjek pajak di dua negara yang berbeda.
Penyalahgunaan P3B
SALAH satu contoh risiko praktik penghindaran pajak melalui bentuk hybrid mismatch arrangements di Indonesia dapat ditinjau dari P3B Indonesia-Belanda. P3B ini mengatur dividen yang diterima residen Belanda dari Indonesia atas kepemilikan substansial dipotong pajak sebesar 5%.
Tarif tersebut termasuk tarif terendah dibandingkan dengan ketentuan dalam P3B lainnya yang dimiliki Indonesia. Tidak heran jika Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis mengungkapkan P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan dalam skema penghindaran pajak.
Belanda juga memiliki peraturan domestik mengenai suatu bentuk mutual fund yang dikategorikan sebagai entitas transparan. Mutual fund ini disebut dengan Closed Fonds voor Gemene Rekening atau Closed Fund for Mutual Account (CFMA).
Menurut Belanda, CFMA bukanlah suatu entitas korporasi. Dengan demikian, CFMA merupakan suatu entitas transparan yang tidak dikenakan pajak penghasilan di Belanda.
Melalui CFMA, pemilik modal bukan residen Belanda dapat membuat skema penghindaran pajak dengan memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda. Mereka bisa mendapatkan tarif pajak yang rendah dengan cara berinvestasi di Indonesia melalui CFMA Belanda.
Karena CFMA merupakan entitas transparan di Belanda, pemerintah Belanda tidak lagi memajaki penghasilan yang diterima CFMA. Pemajakan atas penghasilan yang diterima pemilik modal akan dipajaki pada level korporasi atau individu.
Dengan demikian, apabila pemilik modal berasal dari luar Belanda, pemerintah Belanda menyerahkan pemajakan atas penghasilan tersebut di negara asal pemilik modal. Namun, keberadaan CFMA menjadikan modal yang diinvestasikan di Indonesia seolah-olah seluruhnya berasal dari Belanda, sehingga pemilik modal tampak berhak memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda.
Apabila tidak jeli, pemerintah Indonesia dapat tanpa sengaja memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda kepada pemilik modal yang seharusnya tidak berhak.
Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019, Indonesia telah meratifikasi konvensi multilateral untuk menerapkan tindakan-tindakan terkait dengan P3B untuk mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba sesuai dengan multilateral instrument (MLI) OECD.
Salah satu poin ketentuan yang disepakati dalam MLI ini adalah penerapan principle purpose test (PPT). Dengan PPT, Indonesia dapat menolak memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda jika terdapat potensi penyalahgunaan P3B menggunakan mekanisme hybrid mismatch arrangements.
Adanya simplified limitation on benefits (SLOB) sebagai tambahan mekanisme antipenghindaran pajak juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam melawan hybrid mismatch arrangements. Namun, sampai dengan artikel ini ditulis, baik aturan teknis pelaksanaan PPT dan SLOB di Indonesia masih belum tersedia.
Aturan pelaksanaan sangat penting karena kedua alat antipenghindaraan pajak tersebut memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menolak hak wajib pajak. Aturan pelaksanaan keduanya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun pemerintah, yang dalam hal ini Ditjen Pajak.
Penulis:
Artikel ini ditulis oleh Naranggi Pramudya Soko dan telah dimuat di DDTC. Saya sudah mendapat ijin penulis untuk share.
Tindakan penagihan pajak adalah tindakan juru sita pajak untuk menagih pajak terutang. Tindakan penagihan pajak terdiri : Surat Teguran, Surat Pajak, Penyitaan, Lelang, Pencegahan, Penyanderaaan, dan / atau Penagihan Seketika dan Sekaligus. Tindakah penagihan dilakukan kepada penanggung pajak.
Tahapan Penagihan
Tahapan-tahapan penagihan pajak
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang KUP
Berdasarkan Undang-Undang KUP, dasar penagihan pajak yaitu: STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Walaupun demikian, Wajib Pajak harus memperhatikan STP dan SKPKB.
Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.
Tetapi jika Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Wajib Pajak tidak setuju, maka juru sita pajak akan menunggu proses keberatan. Permohonan keberatan harus diajukan paling lambat 3 bulan sejak STP dan SKPKB dikirim. Jika dalam 3 bulan tidak diajukan, maka proses penagihan dilanjutkan.
Walaupun demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020 Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPSS) dalam hal:
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
Badan akan dibubarkan oleh negara;
terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
7 hari setelah jatuh tempo, Juru Sita akan menerbitkan Surat Teguran. Biasanya surat teguran diantar langsung oleh Juru Sita.
Surat Teguran
Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020
Walaupun belum lunas, Surat Teguran tidak akan diterbitkan jika Wajib Pajak telah setuju untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Silakan mendatangi Juru Sita langsung di kantor pajak untuk meminta persetujuan penundaan atau berniat mengangsur.
Surat Paksa
Apabilan utang pajak belum lunas sampai dengan tanggal yang ditentukan, Juru Sita kemudian menerbitkan Surat Paksa dalam jangka wakut 21 hari sejak Surat Teguran.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan kepada:
Penanggung Pajak, atau
orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak dalam hal Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai Penanggung Pajak, atau
kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, atau
orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, atau
Penerima Kuasa Khusus dalam hal Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat
Pasal 10 aat (7) Undang-Undang PPSP
Pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan dengan cara membacakanisi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam berita acarapemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
Mengingat Surat Paksa mempunyaikekuatan eksekutorial dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Pajak dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara.
Karena harus dibacakan di depan penanggung pajak, biasanya kepala KPP memanggil penanggung pajak untuk menghadap Juru Sita. Saat pelaksanaan pembacaan, juru sita bisa juga didampingi pejabat lain seperti atasan Juru Sita.
Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat antara lain jumlah utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli.
Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Pajak diserahkan kepada wali atau pengampunya.
Di sinilah “kejamnya” hukum pajak. Bahwa urusan pajak belum selesai walaupun Wajib Pajak sudah meninggal dunia. Bandingkan dengan pidana umum, bahwa jika tersangka meninggal dunia, maka urusan pidana selesai!
Penyitaan
Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu dalam jangka waktu yang telah ditentukan, 48 jam setelah dibacakan Surat Paksa, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Undang-Undang mengatur bahwa penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
memperlihatkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; dan
memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan.
Selanjutnya, Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan. Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
Berita acara pelaksanaan sita tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat walaupun Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita. Dalam berita acara dicantumkan alasan penolakan dan ditanda tangani oleh Jurus Sita dan saksi.
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
Pasal 13 Undang-Undang PPSP.
Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Jurus Sita untuk melakukan penyitaan berupa:
barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
Menteri Keuangan kemudian merinci aset yang dapat disita, yaitu barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak yang dapat disita diantaranya:
uang tunai termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya;
logam mulia, perhiasan emas, permata, dan sejenisnya;
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan meliputi deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
harta kekayaan Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang memiliki nilai tunai;
surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
piutang; dan
penyertaan modal pada perusahaan lain.
Sedangkan barang tidak bergerak yang dapat disita oleh Juru Sita diantaranya:
tanah dan/atau bangunan; dan
kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.
Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. Jurusita Pajak akan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya.
Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang PPSP
Walaupun demikian, terdapat barang bergerak yang tidak boleh dilakukan penyitaan oleh Juru Sita. Hal ini diatur di Pasal 15 Undang-Undang PPSP. Pengecualian dimaksudnya supaya Penanggung Pajak masih dapat hidup layak.
Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:
pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada dasarnya, barang yang disita akan tetap disita sampai dengan utang pajak lunas. Walupun demikian, ada kondisi lain Juru Sita mencabut pencabutan. Berikut kondisi pencabutan sita menurut Menteri Keuangan:
Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak;
Barang sitaan musnah karena terbakar, huru-hara, gagal teknologi, dan bencana alam;
Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif telah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
Penanggung Pajak yang merupakan salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan, bagi harta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta peninggalan Wajib Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta peninggalan Wajib Pajak; atau harta peninggalan Wajib Pajak sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
Penanggung Pajak yang merupakan para ahli waris Wajib Pajak, bagi harta warisan yang telah dibagi, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta warisan sesuai dengan porsi yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta warisan; atau harta warisan sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
Penanggung Pajak yang merupakan wali bagi anak yang belum dewasa telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta anak yang belum dewasa; atau harta anak yang belum dewasa sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dan harta pribadi wali yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
Penanggung Pajak yang merupakan pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta orang yang berada dalam pengampuan; atau harta orang yang berada dalam pengampuannya sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dan harta pribadi pengampu yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah daluwarsa penagihan; dan/atau
Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang .
Pemblokiran
Pemblokiran rekening keuangan termasuk salah satu bentuk penyitaan. Pemblokiran rekening keuangan sering dilakukan oleh Juru Sita karena lebih mudah dan sangat efektif. Wajib Pajak akan kesulitan likuidasi jika rekening banknya diblokir pajak.
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 4, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu.
Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020
Alur pemblokiran rekening keuangan
Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat, yang dilampiri dengan:
cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak;
cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak; dan
surat permintaan pemindahbukuan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagai pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.
Pencegahan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang PPSP
Juru Sita mengajukan penyanderaan kepada Menteri Keuangan. Dan melaksanakan penyanderaan setelah ada ijin dari Menteri Keuangan.
Setelah mendapat ijin dari Menteri Keuangan, Juru Sita menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika. Lamanya Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan.
Menurut Pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020, pelaksanaan penyanderaan sebagai berikut:
Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan secara langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan.
Penyampaian surat perintah Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.
Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak.
Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah atau sedang dilakukan Pencegahan.
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 35 Undang-Undang PPSP
Tujuan penyanderaan supaya utang pajak lunas. Jika dalam 6 bulan belum ada pelunasan utang pajak, maka Juru Sita dapat memperpanjang penyanderaan. Hal ini diatur di Pasal 66 Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 36 Undang-Undang PPSP.
Perpanjangan Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir.
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPSP, Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau beniat untuk itu;
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Pengangsuran dan Penundaan
Pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur di Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014 berdasarkan kewenangan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang KUP.
Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada kantor pajak untuk mengangsur atau menunda utang pajak berupa: kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus dibayar.
Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
surat permohonan mencantumkan: jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
Selain itu, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.
Pengansuran dan penundaan pembayaran utang pajak menjadi urusan Juru Sita. Wajib Pajak dapat meminta penjelasan lebih lanjut dengan petugas Juru Sita. Permohonan pengangsuran dan penundaan menunjukkan itikad baik Wajib Pajak untuk melunasi utang pajak.
Gugatan Wajib Pajak
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Objek gugatan berupa:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian, satu-satunya pinta gugatan terhadap tindakan penagihan hanya ada di Pengadilan Pajak. Pengadilan lain seperti PTUN seharusnya menolak permohonan terkait tindakan penagihan karena spesialisasi undang-undang perpajakan. Hal ini diperkuat dengan aturan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP
Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP
Daluwarsa Penagihan Pajak
Utang pajak dapat ditagih walaupun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah meninggal. Tetapi kewenangan menagih ini dibatasi waktu, yaitu 5 tahun saja. Jadi tidak berarti selamanya dapat ditagih.
Setelah 5 tahun disebut daluwarsa penagihan pajak. Artinya, negara tidak memiliki kewenangan untuk menagih pajak lagi.
Bagaimana menghitung 5 tahun ini? Pasal 22 Undang-Undang KUP mengatur daluwarsa penagihan pajak. Berikut salinannya:
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP
Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
diterbitkan Surat Paksa;
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Keempat tindakan menjadikan argo penagihan pajak nol lagi. Dan daluwarsa penagihan bergeser menjadi 5 tahun ke depan setelah salah satu ke-empat tindakan di atas dilakukan.
Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan file pdf dengan nama file 101TaxGlossary. Karena saya tahu penulisnya, saya meminta ijin untuk share ulang. Di sini saya ubah judulnya dengan Istilah Pajak.
101 Tax Glossary ditulis oleh Erikson Wijaya dan Noris Andika Pane.
Tax Accountant Profesi akuntan yang mengkhususkan pada analisis aspek perpajakan di setiap pencatatan akuntansi entitas/unit/individu Wajib Pajak yang ditanganinya. Profesi ini memungkinkan Wajib Pajak dapat memenuhi setiap hak dan kewajiban perpajakannya, antara lain: pelaporan SPT Tahunan/ Masa, pengurusan restitusi pajak, penyelesaian banding dan keberatan, atau pengajuan permohonan administrasi rutin lainnya
Tax Administration Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan/ operasionalisasi pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak baik dari sisi Wajib Pajak maupun dari sisi petugas pajak. Rujukan pelaksanaan yang diambil sebagai pedoman dalam pelaksanaan tersebut adalah ketentuan perpajakan (Undang-Undang dan aturan pelaksanaan turunannya) yang disusun dan dilaksanakan oleh otoritas pajak di setiap negara masing-masing (Indonesia: Direktorat Jenderal Pajak- Kementerian Keuangan)
Tax Advantage Nilai ekonomi atau setara nilai uang yang dapat diperoleh atau berpotensi dapat diperoleh ketika Wajib Pajak menerapkan suatu ketentuan perpajakan tertentu secara sah dan tidak menyalahi aturan. Tax Advantage hanya dapat diperoleh jika Wajib Pajak memahami detil di setiap aspek transaksi. Setiap aspek tersebut mengandung ruang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak. Ruang tersebut memang secara sah terbentuk akibat ketentuan perpajakan yang berlaku
Tax Advisor Suatu profesi yang memberikan layanan berupa bantuan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengedepankan upaya penghematan beban pajak tanpa menyalahi aturan perpajakan yang dijalankan. Tax Advisor memiliki batasan dalam menjalankan profesinya yakni hanya terbatas memberikan nasihat profesional dan menjelaskan skema strategis yang dapat dijalankan Wajib Pajak. Tax Advisor tidak diperkenankan menjalankan tugas pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai perwakilan Wajib Pajak
Tax Allowance Sejumlah nilai uang yang dapat dikurangkan oleh Wajib Pajak dari penghasilan kotor untuk menghitung jumlah yang dapat dikenai pajak. Bagi pemberi kerja/ pemotong pajak, Tax Allowance berguna untuk menentukan dasar pengenaan pajak yang hendak dipotong/ dipungut. Dengan menerapkan Tax Allowance, Wajib Pajak atau Pemotong Pajak dapat menentukan dasar pengenaan pajak yang tepat.
Tax Amnesty Program pengampunan pajak yang diirilis penguasa/ pemerintah secara resmi dan terbatas waktu tertentu untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak agar mengakui ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa-masa yang telah lewat dengan cara diberikan penghapusan/pengurangan beban pajak yang seharusnya terutang baik pokok dan atau sanksi yang menyertainya dengan maksud untuk memperoleh tambahan penerimaan pajak, meningkatkan kualitas basis pajak, dan sebagai bagian dari agenda reformasi sistem perpajakan
Tax Arbitrage Tax Arbitrage adalah upaya/praktik untuk memaksimalkan laba atau keuntungan dengan cara mengidentifikasi dan mengeksploitasi kompleksitas ketentuan perpajakan. Tax Arbitrage dilakukan dengan cara menata kembali pola atau model transaksi yang dilakukan Wajib Pajak menjadi suatu bentuk yang lebih memberikan penghematan atau penghilangan beban pajak yang dapat dikandung suatu transaksi bisnis. Frase arbitrage dalam konteks Tax Arbitrage dapat diartikan sebagai jalan tengah yang legal untuk menghadapi berbagai ketentuan perpajakan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak.
Tax Arrears Tax Arrears adalah jumlah utang pajak yang dimiliki Wajib Pajak yang masih harus dibayar kepada negara/pemerintah namun oleh Wajib Pajak belum dilakukan pembayaran
Tax Aspect Tax Aspect adalah sebuah kondisi transaksi ekonomi/ keuangan yang dapat mengandung kewajiban/ konsekuensi perpajakan sehingga menjadi salah satu pertimbangan bagi pelaku untuk menerapkan pola transaksi tersebut. Semakin besar konsekuensi pajak yang harus ditanggung akibat Tax Aspect memuat kewajiban pajak dengan tarif yang lebih tinggi, maka makin besar kemungkinan transaksi trersebut dihindari.
Tax Assessment Tax Assessment merupakan sebuah praktik untuk menganalisis beragam aspek perpajakan dalam sebuah transaksi ekonomi/ non ekonomi. Tax Assessment biasa dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengukur seberapa besar konsekuensi beban pajak yang berpotensi ditanggung Wajib Pajak dalam melaksanakan sebuah rencana bisnis atau pribadi. Kemampuan mengurai konsekuensi perpajakan merupakan sebuah kemampuan dasar bagi siapapun yang bekerja di dunia Finance, Accountancy, dan Tax (biasa disingkat FAT).
Tax Auditing Tax Auditing merupakan salah satu cabang konsentrasi dalam administrasi atau pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan perpajakan dengan fokus berkaitan dengan pengujian kembali kualitas pemenuhan ketentuan perpajakan di dalam riwayat pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak dalam suatu kurun waktu tertentu
Tax Authorities Tax Authorities merujuk pada sebuah entitas (kantor/unit/lembaga/badan) kelengkapan negara yang bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang yang sah secara hukum negara tersebut dalam rangka menyelenggarakan operasional dan atau perumusan peratuan di bidang perpajakan.
Tax Autonomy Tax Autonomy adalah sebuah kebijakan administratif suatu negara untuk memberikan kebebasan secara otonom terhadap otoritas perpajakan di dalam aspek tertentu untuk menciptakan pola kerja yang lebih efisien, efektif, dan tepat sasaran. Penerapan Tax Autonomy dapat berupa pemisahan struktural otoritas pajak menjadi tidak lagi di bawah kendali Kementerian Keuangan melainkan langsung di bawah Presiden. Atau di beberapa negara, otoritas pajak tetap berada di bawah Kementerian Keuangan namun kuasa secara otonom diberikan untuk aspek tertentu seperti Sumber Daya Manusia, Keuangan, atau Penegakan Hukum
Tax Avoidance Tax Avoidance adalah istilah umum untuk menggambarkan praktik penghindaran pajak dengan menerapkan teknik-teknik yang legal dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Hal ini dimungkinkan bilamana Wajib Pajak memahami seluk beluk aturan perpajakan dan celah-celah yang dapat dimanfaatkan dengan maksud meminimalisir beban pajak yang harus dibayar.
Tax Barriers Tax Barriers adalah pajak yang dibebankan kepada produk-produk tertentu, biasanya produk impor sebelum masuk ke pasar dalam negeri sehingga harga produk tersebut menjadi lebih tinggi dengan maksud untuk melindungi kepentingan dalam negeri seperti produk industri lokal sejenis agar lebih bersaing.
Tax Base Tax Base adalah kumpulan objek pajak baik secara fisik atau melekat bersama subjek pajak dan atau wajib pajak yang memuat potensi pajak yang dapat dikenai pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dapat pula Tax Base didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan penghasilan, kekayaan, aset, konsumsi, transaksi, atau aktifitas ekonomi yang dapat dikenai pajak oleh negara.
Tax Benefit Tax Benefit secara umum merujuk pada istilah untuk menjelaskan nilai pajak yang dapat dihemat oleh Wajib Pajak. Adanya Tax Benefit dapat mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Hal ini dapat terjadi karena Tax Benefit kerap kali berupa insentif berupa pengurangan atau keringanan yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai bentuk apresiasi untuk telah mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku atau mendorong tumbuhnya perekonomian di sektor tertentu
Tax Bracket Tax Bracket merujuk pada rentang penghasilan yang dikenai pajak dengan besaran tertentu tergantung pada besaran nilai di dalam rentang penghasilan dimaksud. Istilah Tax Bracket biasanya mengaju pada penerapan pajak dengan sifat yang progresif sebab semakin tinggi penghasilan maka semakin besar beban pajak yang dikenakan.
Tax Breaks Tax Break merupakan sebuah kebijakan yang diberikan pemerintah untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar Wajib Pajak dengan cara memberikan fasilitas pembebanan biaya/ perluasan pengurangan penghasilan bruto atau pengecualian pengenaan pajak atas penghasilan yang dilaporkan. Tax Break biasanya berlaku sementara dengan maksud sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendorong iklim usaha di sektor tertentu.
Tax Buoyancy Tax Buoyancy adalah sebuah ukuran untuk menggambar tingkat perubahan atas pertumbuhan penerimaan pajak terhadap perubahan jumlah produk domestik bruto (pertumbuhan ekonomi). Dalam penerapannya, Tax Buoyancy dapat dihitung dengan cara membagi pertumbuhan penerimaan perpajakan (secara riil) dengan pertumbuhan ekonomi
Tax Burden Tax Burden adalah jumlah semua beban pajak atau dampak pajak terhadap total penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak. Tax Burden merupakan sebuah konsep umum untuk menggambarkan adanya akumulasi beban akibat pajak yang dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan Wajib Pajak.
Tax Capacity Tax Capacity adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah suatu negara untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari total seluruh potensi pajak yang dimiliki/ berhasil diidentifikasi. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi Tax Capacity sebuah negara yaitu: pertumbuhan ekonomi, kualitas infrastruktur, tingkat pendidikan warga negara, atau kondisi sektor penopang perekonomian negara tersebut.
Tax Capitalization Tax Capitalization adalah sebuah metode untuk menambahkan nilai suatu aset (atau penghasilan yang dapat dihasilkan sebuah aset) sejumlah selisih yang muncul akibat penurunan tarif pajak. Hal ini dapat dimungkinkan karena penurunan tarif pajak dapat meningkatkan penghasilan di masa mendatang. Akumulasi kenaikan tersebut dikapitalisasikan (ditambahkan sebagai nilai) ke dalam nilai aset
Tax Characteristics Tax Characteristics adalah sifat dasar pajak yang melekat secara umum. Konsep ini merujuk pada keberadaan aspek perpajakan dalam berbagai sudut pandang, terutama hukum dan bisnis
Tax Clearance Tax Clearance merupakan sebuah status yang menerangkan kualitas pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Lazimnya, status tersebut dilegalkan dalam bentuk dokumen sertifikat fisik yang diterbitkan oleh otoritas pajak sebuah negara. Di Indonesia, dokumen tersebut adalah Surat Keterangan Fiskal.
Tax Code Tax Code adalah kumpulan ketentuan hukum perpajakan suatu negara sebagai satu kesatuan yang wajib dipatuhi Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Tax Code disusun menurut topik-topik pembahasan yang dapat diacu Wajib Pajak sebagai dasar legal dalam memahami administrasi dan prosedur perpajakan yang berlaku
Tax Coefficient Tax Coefficient memiliki arti yang tidak berbeda jauh dengan tax rate. Cofficient atau koefisien dalam bahasa indonesia adalah suatu konstanta yang bernilai mutlak dan tetap dapat mempengaruhi nilai suatu variabel dalam menghitung total keseluruhan nilai dalam sebuah persamaan. Berkaitan dengan pajak, maka tax coefficient dapat bermakna konstanta tertentu yang dimasukkan sebagai unsur dalam menghitung besaran suatu variabel untuk menentukan nilai akhir pajak yang terutang, biasanya penggunaan koefisien dalam menghitung pajak terjadi pada pajak daerah.
Tax Collections Tax Collections berkaitan dengan kegiatan pengumpulan pajak melalui mekanisme penagihan utang pajak kepada Wajib Pajak oleh petugas pajak (biasanya memiliki jabatan Jurusita Pajak Negara). Tax collections adalah salah satu unsur penunjang capaian target penerimaan pajak
Tax Competitions Tax Competitions adalah suatu kondisi persaingan antara negara/ yurisdiksi untuk memperebutkan investasi atau perusahaan multinasional dengan menawarkan tarif pajak yang lebih rendah atau administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan mudah. Lazimnya, Tax Competitions berkenaan dengan Pajak Penghasilan badan dan Pajak Penghasilan atas karyawan/ tenaga kerja
Tax Compliance Tax Compliance adalah kondisi kualitas kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan mekanisme pemenuhannya, ada dua jenis kepatuhan pajak atau Tax Compliance, yakni kepatuhan yang dipaksakan (enforced compliance) dan kepatuhan sukarela (volutarily compliance). Sementara, menurut substansinya, ada dua jenis kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.
Tax Composition Tax Composition berkenaan dengan kontribusi masing-masing jenis pajak dalam menyusun jumlah penerimaan pajak suatu negara/ yurisdiksi dalam rentang waktu tertentu. Konsep Tax Composition bermanfaat untuk mendapatkan gambaran mengenai peran berbagai jenis pajak yang ada dalam menyumbang capaian penerimaan pajak.
Tax Computation Tax Computation adalah suatu mekanisme dalam menyajikan/ menunjukkan proses penyesuaian penghasilan menurut akuntansi untuk kepentingan perpajakan agar dapat memperoleh nilai penghasilan yang dapat dikenai pajak. Penyesuaian untuk kepentingan perpajakan tersebut mencakup penghitungan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan, penghasilan yang tidak dikenai pajak, pengurangan-pengurangan lainnya, dan tunjangan yang berkaitan dengan modal.
Tax Concesssions Tax Concession berkenaan dengan pengurangan atau pengecualian beban pajak yang harus dibayar sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang diberikan kepada wajib pajak baik badan maupun orang pribadi. Fasilitas pengurangan dalam Tax Concession diberikan pemerintah bagi Wajib Pajak yang memenuhi syarat yang ditetapkan, misalnya batas nilai peredaran usaha/ omset tidak melebihi nilai tertentu atau kelengkapan administrasi pembebanan biaya yang dapat dikurangkan.
Tax Consequences Tax Consequences merupakan sebuah konsep yang menjabarkan bagaimana proses munculnya kewajiban perpajakan yang harus dibayar akibat penerapan suatu mekanisme atau pola transaksi bisnis yang dijalankan Wajib Pajak dalam menjalankan kegiatan bisnisnya atau pribadinya.
Tax Cooperation Tax Cooperation merupakan sebuah praktik untuk menjalin kerjasama antara dua atau lebih otoritas perpajakan antar negara atau yurisdiksi dengan maksud untuk menyediakan kondisi/ iklim perpajakan yang efektif, akuntabel, dan transparan bagi Wajib Pajak suatu negara yang sedang menjalankan atau hendak menjalankan kegiatan bisnis atau investasi di satu atau lebih negara lainnya. Tax Cooperation juga dijalin dengan maksud untuk mengamankan potensi penerimaan pajak oleh negaranegara yang terlibat oleh Wajib Pajak dimaksud.
Tax Costs Tax Costs dapat juga disebut beban pajak. Di dalam laporan keuangan, beban pajak dibebankan sebagai biaya untuk menghitung penghasilan bersih suatu entitas. Beban pajak ini dihitung dengan mengalikan penghasilan bersih yang dikenai pajak dengan tarif pajak yang berlaku atas penghasilan tersebut.
Tax Court Tax Court atau Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga resmi yang dibentuk oleh negara dengan maksud untuk menyelenggarakan forum yudisial dimana Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding terhadap keputusan utang pajak yang harus dibayar yang telah ditetapkan oleh otoritas perpajakan suatu negara/ yurisdiksi. Di Amerika Serikat, Tax Court dibentuk di setiap jenjang administratif pemerintahan mulai dari tingkat lokal, negara bagian, sampai dengan tingkat supreme (utama).
Tax Crime Tax Crime adalah istilah untuk menyebut suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menyebabkan kerugian pada pendapatan negara. Ada banyak bentuk tax crime dan setiap negara atau yurisdiksi memiliki definisi yang berbeda-beda. OECD sendiri bahkan memberikan cakupan tax crime juga meliputi tindakan untuk menghindari pajak dengan skema tertentu yang diatur dengan sengaja mencakup penyampaian data dan informasi yang tidak benar.
Tax Culture Tax Culture merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan kualitas kesadaran pajak masyarakat dalam skala luas di suatu wilayah negara atau yurisdiksi. Budaya perpajakan, dalam pengertian umumnya, menunjukkan perilaku perpajakan dan norma perpajakan yang berlaku di negara tertentu. Sikap dan perilaku baik wajib pajak maupun pemungut pajak menjadi dasar yang mendasari budaya perpajakan.
Tax Cut Pemotongan pajak atau Tac Cut adalah pengurangan tarif pajak yang diberikan oleh pemerintah. Dampak langsung dari pemotongan pajak adalah penurunan pendapatan riil pemerintah dari penerimaan pajak dan peningkatan pendapatan riil bagi masyarakat atau pelaku bisnis/ usaha yang tarif pajaknya telah diturunkan.
Tax Debt Tax debt atau hutang pajak adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak kepada otoritas perpajakan negara tempat Wajib Pajak tinggal sebagai warga negara atau berdomisili setelah batas waktu pengajuan. Tidak masalah jika Wajib Pajak mengajukan pengembalian pajak sebelum batas waktu pengajuan dan membayar sebagian tagihan pajak. Sisa saldo masih akan dianggap sebagai hutang pajak.
Tax Declaration Pernyataan pendapatan, penjualan dan rincian lainnya dibuat oleh atau atas nama wajib pajak. Formulir sering kali disediakan oleh otoritas pajak untuk tujuan ini. Tax Declaration biasanya disampaikan dengan bentuk formulir Surat Pemberitahuan atau SPT
Tax Deductible Tax Deductible merupakan salah satu kelompok jenis biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan kotor/ laba kotor/ peredaran usaha dalam menghitung penghasilan bersih yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Tax Delinquent Istilah Tax Delinquent digunakan untuk menyebut Penunggak Pajak. Suatu utang pajak menjadi tunggakan jika telah terlampaui batas waktu pelunasan namun oleh Wajib Pajak belum dilakukan pelunasan.
Tax Default Tax Default merupakan istilah untuk menyebut pajak yang gagal dibayar oleh Wajib Pajak baik dalam skema cicilan atau pelunasan. Dengan kata lain, setelah terlampaui batas waktu, tidak ada aktifitas pembayaran yang dilakukan Wajib Pajak atas tunggakan pajak tersebut. Sehingga penggunaan istilah Tax Default tepat digunakan untuk menyebut pajak yang gagal dibayar penunggak pajak.
Tax Discrimination Tax Discrimination mengacu pada praktik penerapan pembedaan pengenaan pajak yang dianggap tidak adil oleh sebagian orang, karena tidak mempengaruhi semua orang secara setara. Ketidakadilan ini dipicu oleh munculnya platform baru dalam bisnis yang tidak mengikuti kebijakan perpajakan pada waktunya.
Tax Disincentives Tax Disincentives adalah pengaruh yang disebabkan oleh pengenaan pajak yang mengakibatkan melemahnya atau berkurangnya kapasitas bisnis, nominal laba bersih, atau skala kegiatan usaha yang dijalankan Wajib Pajak. Tax Disincentives dapat berupa pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, pengenaan pajak berganda, atau administrasi pemenuhan hak dan kewajiban pajak yang dianggap tidak sederhana dan memakan waktu serta biaya.
Tax Dispute Tax Dispute atau Sengketa Pajak berarti setiap perselisihan oleh otoritas Pajak dengan Wajib Pajak atau sebaliknya (termasuk melalui penerbitan penilaian atau substansi dalam surat menyurat yang resmi diterbitkan otoritas pajak) yang menyatakan bahwa kewajiban Pajak dapat timbul atau bahwa Keringanan Pajak mungkin tidak tersedia lagi untuk dibahas antara kedua belah pihak.
Tax Dodge Tax Dodge adalah suatu praktik ilegal atau bertentangan dengan hukum perpajakan yang berlaku untuk mengurangi jumlah beban pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam suatu kurun waktu tertentu.
Tax Effect Tax Effect merupakan istilah untuk menggambarkan konsekuensi berupa pajak yang harus dibayar akibat penerapan skenario atau metode tertentu untuk kepentingan menghitung utang pajak atau beban pajak yang harus dibayar. Tax Effect juga kerap digunakan untuk menggambarkan beban pajak yang muncul akibat pengenaan pajak atas seluruh penghasilan yang baru terdeteksi oleh otoritas dikurangi pajak atas penghasilan yang telah dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan pajak.
Tax Effort Tax Effort merupakan suatu angka untuk menunjukkan perbandingan antara nilai penerimaan pajak secara riil terhadap total potensi penerimaan pajak dalam satu periode yang sama di suatu negara atau yurisdiksi. Penggunaan angka dalam Tax Effort memungkinkan pengelompokkan negara menjadi berbagai kategori berikut: low tax collection, low tax effort; high tax collection, high tax effort; low tax collection, high tax effort; and high tax collection, low tax effort.
Tax Enforcement Tax Enforcement adalah tindakan untuk menerapkan hukum perpajakan yang diamanatkan di dalam ketentuan perpajakan suatu otoritas pajak sebuah negara atau yurisdiksi. Tujuan tax enforcement adalah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, meningkatkan penerimaan pajak, dan menciptakan budaya patuh pajak di masyarakat. Tax Enforcement dilakukan dengan penerapan pengenaan sanksi administrasi dan pidana secara tegas dan adil kepada Wajib Pajak yang melanggar ketentuan perpajakan.
Tax Environment Tax Environment merupakan kebijakan untuk mengenakan pajak atas aktifitas bisnis dan atau aktifitas keseharian masyarakat yang berpotensi mencemari lingkungan dengan berbagai bentuk.
Tax Equity Tax Equity adalah prinsipi keadilan dalam pengenaan pajak. Dengan maksud agar pembebanan pajak kepada Wajib Pajak/ masyarakat harus mengedepankan semangat persamaan beban dan pertimbangan kemampuan.
Tax Evasion Tax Evasion adalah suatu upaya untuk dengan sengaja melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku dengan maksud untuk tidak membayar pajak atau membayar dengan jumlah yang lebih rendah daripada yang seharusnya dibayar. Tax Evasion dipandang mengandung aspek tindak pidana di bidang perpajakan.
Tax Exemption Tax Exemption atau Pembebasan pajak adalah pengurangan atau penghapusan kewajiban untuk melakukan pembayaran wajib yang semula dikenakan oleh otoritas pajak kepada Wajib Pajak atas perolehan penghasilan oleh melalui orang, properti, pendapatan, atau transaksi.
Tax Exhaustion Tax Exhaustion merujuk pada batas maksimal kemampuan Wajib Pajak atau Orang Pribadi dalam memenuhi kemampuan membayar pajak. Batas maksimal sebagaimana dimaksud mencakup jumlah nominal uang yang paling banyak dibayarkan oleh Wajib Pajak.
Tax Exile Tax Exile merujuk pada status orang pribadi atau badan hukum yang memutuskan semua ikatan yang membuatnya menjadi penduduk fiskal di negara tertentu dan pindah ke yurisdiksi lain karena alasan pajak.
Tax Expenditure Tax Expenditure atau Belanja Pajak adalah ketentuan khusus dari peraturan pajak yang mengatur beberapa ketentuan seperti pengecualian, pemotongan, penangguhan, kredit, dan tarif pajak yang menguntungkan kegiatan atau kelompok pembayar pajak tertentu. Dengan demikian, pengeluaran pajak seringkali merupakan alternatif dari program atau peraturan pengeluaran langsung untuk mencapai tujuan yang sama
Tax Expense Tax Expense atau belanja untuk membayar pajak adalah akun tertentu di dalam laporan keuangan Wajib Pajak yang menunjukkan jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak dalam suatu periode tertentu. Dengan kata lain, Tax Expense didefinisikan dari sudut pandang Wajib Pajak.
Tax Firm Tax Firm merupakan sebuah bentuk usaha profesional di bidang perpajakan yang dijalankan oleh para profesional yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perpajakan untuk memberikan bantuan profesional kepada Wajib Pajak dan masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Keberadaan Tax Firm menjadi jembatan antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak sehingga ketika berjalan dengan baik, Tax Firm dapat membantu terwujudnya komunikasi yang baik antara otoritas pajak dengan Wajib Pajak.
Tax Free Tax Free adalah sebuah kondisi dimana sebuah transaksi bisnis yang dijalankan Wajib Pajak tidak dikenai pajak sama sekali dikarenakan transaksi bisnis tersebut menggunakan skema yang memang secara legal tidak dikenai pajak atau dapat pula karena penghasilan yang diperoleh memang tidak termasuk objek pajak yang dikenai pajak.
Tax Gap Tax Gap merupakan istilah untuk menggambarkan jumlah selisih pajak yang terkumpul tepat waktu sebagai penerimaan negara dengan jumlah pajak terutang. Tax Gap muncul sebagai istilah untuk menjelaskan jumlah persentase utang pajak yang belum kadaluarsa namun belum tertagih.
Tax Home Tax Home adalah sebuah istilah untuk menjelaskan kondisi tempat kerja atau jabatan rutin wajib pajak, di mana pun wajib pajak memiliki rumah keluarga.
Tax Haven Tax Haven atau Surga pajak dalam pengertian “klasik” mengacu pada negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak ada pajak, dan digunakan oleh perusahaan untuk menghindari pajak yang jika tidak, akan dibayarkan di negara asal dengan pajak tinggi. Menurut laporan OECD, tax havens memiliki karakteristik utama sebagai berikut; Tidak ada atau hanya pajak nominal; Kurangnya pertukaran informasi yang efektif; Kurangnya transparansi dalam pelaksanaan ketentuan legislatif, hukum atau administratif.
Tax Holiday Tax holiday adalah kebijakan hukum yang secara resmi dikeluarkan oleh otoritas pajak suatu negara/yurisdiksi yang menawarkan periode pembebasan pajak penghasilan untuk jenis usaha baru atau usaha tertentu guna mengembangkan atau mendiversifikasi industri dalam negeri.
Tax Hell Tax Hell atau Neraka Pajak merujuk pada negara/yurisdiksi dengan tarif pajak yang sangat tinggi. Dalam beberapa definisi, neraka pajak juga berarti birokrasi pajak yang menindas atau memberatkan. Di Amerika Serikat, negara bagian dengan tarif pajak yang sangat tinggi adalah Wisconsin, yang secara geografis berdekatan dengan Minnesota dan North Dakota.
Tax Incentives Tax Incentives atau Insentif Pajak adalah kebijakan yang secara resmi dirilis oleh otoritas pajak suatu negara/ yurisdiksi dalam bentuk pembebasan pajak, pengurangan tarif pajak, atau pajak ditanggung negara dengan maksud untuk membantu perkembangan bisnis, kelancaran likuiditas, atau meningkatkan kepatuhan pajak. Tax Incentives diberikan dalam jangka waktu tertentu, dengan kata lain, bukan merupakan sebuah kebijakan yang tetap
Tax Incidences Tax Incidences atau insiden pajak adalah istilah ekonomi untuk memahami pembagian beban pajak antara pemangku kepentingan, seperti pembeli dan penjual atau produsen dan konsumen. Insiden pajak juga dapat dikaitkan dengan elastisitas harga penawaran dan permintaan.
Tax Inclusives Tax Inclusives berarti pajak sudah menjadi bagian dari harga eceran produk, jadi tidak ada lagi pajak yang ditambahkan ke subtotal dari transaksi penjualan. Sedangkan Tax Exclusive artinya pajak diterapkan di atas harga satuan.
Tax Increment Tax Increment adalah istilah dalam keuangan publik. Tax Increment adalah sebuah metode untuk menjadikan pajak sebagai salah satu alat untuk mendukung proyek pengembangan kembali kegiatan perekonomian di suatu wilayah dengan menggunakan dana pajak yang diperkirakan dapat dikumpulkan dari properti atau objek pajak di wilayah tersebut sepanjang kurun waktu tertentu. Pembiayaan melalui kenaikan pajak/ Tax Increment dapat pula dimaknai sebagai metode pembiayaan publik yang dapat digunakan sebagai subsidi untuk pembangunan kembali, infrastruktur, dan proyek peningkatan masyarakat lainnya di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Tax Intelligence Tax Intelligence adalah sebuah istilah untuk mengoptimalkan semua sumber daya berupa informasi, teknologi, jejaring relasi, dan sumber daya manusia dalam melakukan pendalaman untuk kepentingan penelurusan kondisi subjektif dan objektif Wajib Pajak, pengujian kepatuhan pajak, penegakan hukum perpajakan, dan penyusunan profil Wajib Pajak. Di banyak otoritas pajak di berbagai negara/yurisdiksi, Tax Intelligence telah dilembagakan menjadi unit yang secara resmi menjalankan fungsi-fungsi intelijen.
Tax Investigations Tax Investigations adalah suatu mekanisme penegakan hukum pajak yang dilakukan oleh petugas pajak dengan jabatan tertentu dengan maksud untuk membuktikan unsur pidana dari tindak pidana perpajakan yang disangkakan kepada Wajib Pajak.
Tax Invoices Tax Invoices atau Faktur Pajak adalah dokumen tertulis yang diterbitkan dan dibuat oleh Wajib Pajak penjual kepada Wajib Pajak pembeli yang menunjukkan deskripsi, jumlah, nilai barang dan jasa serta pajak yang dibebankan. Faktur Pajak diterbitkan, lazimnya, jika barang dijual dengan maksud untuk dijual kembali oleh pembeli.
Tax Laws Tax Laws atau hukum pajak adalah seperangkat aturan dan ketentuan yang mengatur dan menetapkan perihal bagaimana, kapan, dan berapa banyak pajak yang harus dibayar ke otoritas pajak di setiap jenjang dan ketentuan yang berlaku.
Tax Loopholes Tax Loopholes adalah celah-celah yang dapat dimanfaatkan dalam undang-undang, pengaruh tax avoidance (penghindaran pajak) untuk meminimalkan beban pajak.
Tax Lien Tax Lien adalah notifikasi berupa klaim resmi yang disampaikan oleh pemerintah atas aset berupa properti yang dimiliki Wajib Pajak yang belum membayar Pajak Penghasilan setelah lampau jatuh tempo yang ditetapkan. Ketika notifikasi atau Tax Lien telah disampaikan atau ditetapkan pemerintah, maka Tax Lien dapat dihapus dengan cara Wajib Pajak membayar tagihan pajak yang terutang yang mana jika tidak dilakukan pembayaran maka atas aset yang telah diberi notifikasi Tax Lien dapat dilakukan penyitaan.
Tax Liability Tax Liability adalah jumlah uang yang menjadi utang pajak yang harus dibayar ke otoritas pajak/ pemerintah, Tax Liability mencerminkan jumlah pajak secara keseluruhan yang harus dilakukan pelunasan ke pemerintah oleh Wajib Pajak
Tax Liability Tax Litigation berarti setiap klaim, tindakan hukum, persidangan, gugatan, litigasi, penuntutan, penyelidikan, arbitrase atau proses penyelesaian sengketa lainnya, atau proses administratif atau pidana, atau tindakan otoritas pajak (atau penilaian, keputusan, perintah, perintah atau keputusan yang berkaitan dengan salah satu dari hal tersebut di atas) yang berkaitan dengan pajak.
Tax Multiplier Tax Multiplier menunjukkan ukuran sebuah perubahan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang dapat terjadi ketika pemerintah melakukan penyesuaian melalui kebijakan pajak. Kompleksitas Tax Multiplier ditentukan oleh lingkup perubahan yang dilakukan, apakah hanya berkaitan dengan konsumsi atau seluruh komponen PDB.
Tax Morale Tax Morale adalah ukuran yang menunjukkan persepsi dan sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban membayar pajak dan kecenderungan untuk menghindari pajak. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi Tax Morale antara lain usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah.
Tax Neutrality Tax Neutrality merujuk pada sebuah konsep/ sistem yang membuat pajak tidak menjadi unsur yang mempengaruhi keputusan individu atau korporasi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan bisnis, investasi, atau hal lainnya. Ide dasar dari konsep Tax Neutrality adalah sikap pemerintah untuk mendorong berjalannya kegiatan ekonomi oleh pelaku bisnis tanpa dibebani oleh sistem perpajakan yang dianggap dapat memberatkan.
Tax Nexus Istilah “nexus” dalam Tax Nexus digunakan dalam undang-undang perpajakan untuk menggambarkan situasi di mana bisnis dapat terdampak oleh pajak di negara atau yurisdiksi tertentu. Nexsus pada dasarnya adalah hubungan antara otoritas perpajakan dan entitas yang harus memungut atau membayar pajak.
Tax Ombudsman Tax Ombudsman merujuk pada lembaga khusus yang dibentuk otoritas pajak dengan maksud untuk menerima keluhan, kritik, dan saran, serta pengaduan dari Wajib Pajak terkait kualitas pelayanan dan pelaksanaan administrasi hak dan kewajiban perpajakan. Tax Ombudsman mengeluarkan rekomendasi yang bersifat tidak mengikat untuk dilaksanakan otoritas perpajakan.
Tax Penalty Tax Penalty atau denda pajak yang diberlakukan pada Wajib Pajak individu atau korporasi karena tidak membayar cukup atau tidak membayar secara keseluruhan dari perkiraan total pajak terutang atau pajak yang telah dilakukan pemotongan. Jika Wajib Pajak mengalami hal tersebut sehingga menimbulkan kurang bayar atau tidak membayar sama sekali dari total taksiran pajak, mereka mungkin diharuskan membayar denda.
Tax Potential Tax Potential atau potensi pajak adalah jumlah maksimum penerimaan pajak yang mungkin dapat diupayakan dan ditingkatkan pemerintah dalam satu rentang waktu sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang dapat diidentifikasi.
Tax Planning Tax Planning adalah proses menganalisis rencana keuangan atau situasi dari sudut pandang pajak dengan maksud untuk memastikan dapat dicapainya efisiensi beban pajak yang harus dibayar tanpa melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.
Tax Policy Tax Policy merupakan suatu pilihan (kebijakan) yang diambil pemerintah berkaitan dengan jenis pajak yang dikenakan, besaran tarif dan jumlah yang ditagihkan, dan subjek pajak yang dibebani kewajiban pajak dimaksud.
Tax Practice Tax Practice merupakan istilah untuk menyebutkan kegiatan yang berkenaan dengan administrasi perpajakan, lazimnya istilah ini merujuk pada kegiatan penyediaan jasa praktik pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan oleh profesional di bidang perpajakan, khususnya konsultan pajak
Tax Preparer Tax Preparer adalah profesional yang berkualifikasi untuk menghitung, menyampaikan/ melaporkan, dan menandatangani Surat Pemberitahuan (SPT) atas nama Wajib Pajak individu/ orang pribadi atau korporasi/ bisnis.
Tax Provision Tax Provision adalah proses menyusun estimasi jumlah yang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada tahun pajak yang bersangkutan. Proses tersebut mencakup penghitungan nilai pajak yang harus dibayar dan yang ditangguhkan (aset dan kewajiban pajak tangguhan).
Tax Principles Tax Principles merupakan panduan yang menjadi petunjuk otoritas pajak dalam merumuskan kebijakan perpajakan. Tax Principles tersebut dirumuskan oleh pakar di bidang perpajakan yang biasanya masih dianggap relevan sampai dengan kurun waktu tertentu.
Tax Progressivity Tax Progressivity adalah sebuah mekanisme penerapan tarif pajak yang meningkat seiring dengan kenaikan penghasilan Wajib Pajak. Lawan dari mekanisme ini adalah Tax Regressivity dimana pajak dikenakan dengan tarif yang sama meskipun penghasilan Wajib Pajak bertambah.
Tax Proposal Tax Proposal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tax Reform, dimana otoritas pajak, setelah menimbang berbagai rekomendasi dan evaluasi, mengajukan suatu proposal kebijakan perpajakan yang dianggap mampu memberikan solusi atas sejumlah permasalahan yang dialami pada periode sebelumnya.
Tax Ratio Tax Ratio atau tax-to-GDP ratio adalah sebuah ukuran yang menunjukkan dalam perbandingan antara jumlah total penerimaan pajak suatu negara yang dapat dikumpulkan dalam satu tahun pajak terhadap ukuran total kegiatan perekonomiannya yang dinyatakan dalam Produk Domestik Bruto atau PDB
Tax Rebellion Tax Rebellion merupakan tindakan untuk secara terbuka menentang kebijakan perpajakan dengan menunjukkan perlawanan dengan tidak memenuhi kewajiban untuk mematuhi ketentuan perpajakan baik formal maupun material. Di Amerika Serikat, Tax Rebellion secara simbolik ditandai dengan peristiwa Boston Tea Party, yakni sebuah peristiwa yang terjadi tanggal 16 Desember 1773, di mana kolonialis Amerika yang melakukan protes karena mereka harus membeli teh dari Britania Raya dan harus membayar pajak. Mereka lalu membuang teh-teh itu ke Pelabuhan Boston di Boston Harbor, Boston, Massachusetts, USA.
Tax Reform Tax Reform adalah proses untuk mengubah kebijakan berkenaan dengan mekanisme pengenaan dan pemungutan pajak oleh pemerintah dan lazimnya dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan atau untuk mendorong aktifitas sosial dan ekonomi menjadi lebih baik.
Tax Regimes Tax Regimes merujuk pada sebuah corak, ciri khas, atau karakteristik kebijakan perpajakan suatu negara/ yursdiksi ketika di bawah rezim pemerintah/ penguasa dalam rentang waktu tertentu. Setiap masa pemerintahan dapat menjalankan kebijakan perpajakan yang berbeda-beda, tergentung keputusan yang ditetapkan pemerintah yang berkuasa saat itu.
Tax Research Tax Research, dalam dunia profesional para konsultan pajak, digunakan untuk menunjukkan aktivitas menemukan dasar hukum dalam membangun sikap untuk menanggapi suatu kebijakan perpajakan. Dalam dunia ilmiah, Tax Research merupakan aktifitas untuk melakukan penelitan isu tertentu dengan metode yang baku dengan maksud untuk membuktikan hipotesis yang dibangun dengan dugaan atau asumsi.
Tax Resistence Tax Resistence merujuk pada sikap yang mencirikan keengganan dalam mematuhi kewajiban perpajakan, sikap tersebut tercermin dalam bentuk perlawanan baik pasif maupun aktif. Tax Rebellion adalah salah satu bentuk Tax Resistence berupa perlawanan aktif.
Penulis:
Erikson Wijaya Telah berkarir sebagai pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu sejak tahun 2006, dan saat ini tengah berstatus sebagai Pegawai Tugas Belajar di University of Minnesota, USA untuk program Master of Business Taxation (MBT)
Noris Andika Pane Telah berkarir sebagai pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu selama 15 tahun, dan saat ini tengah berstatus sebagai Account Representative (AR) di KPP Pratama Kisaran yang merupakan KPP di lingkungan Kanwil DJP Sumatera Utara II
Istilah Pajak Dalam Bahas Inggris
Seringkali kita mencari padanan istilah pajak dalam bahasa Inggris. Ya, karena kita belajarnya di Indonesia sehingga saat mau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kita mencari istilah baku.
Menteri Keuangan telah menetapkan istilah-istilah baku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Istilah-istilah dimaksud ada dalam lampiran Keputusan Menteri Keuangan nomor nomor 914/KMK.01/2016 tentang Standar Terminologi/Istilah dalam Bahasa Inggris di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Dalam beleid ini terdapat 1295 istilah yang biasa digunakan di lingkungan Kementerian Keuangan. Termasuk istilah-istilah baku perpajakan.
Pemerintah dan DPR sudah sepakat mengganti Undang-Undang Bea Meterai nomor 13 tahun 1985 menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai. Undang-Undang Bea Meterai baru ini berlaku mulai 1 Januari 2021. Hanya ada satu tarif Bea Meterai yaitu Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Undang-Undang No 10 tahun 2020 merupakan Undang-Undang ketiga tentang Bea Meterai. Undang-Undang pertama dibuat pada zaman kolonial Belanda yaitu Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921). Kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Terakhir Undang-Undang No 10 tahun 2020.
Tujuan Undang-Undang Bea Meterai yang baru yaitu:
Memberikan kesetaraan antara dokumen kertas dan elektronik;
Keberpihakan kepada masyarakat luas dan pelaku UMKM dengan tarif yang relatif rendah dan terjangkau, serta kenaikan batas nominal nilai uang dalam dokumen dari lebih dari Rp1 juta menjadi lebih dari Rp5 juta;
Meningkatkan kesederhanaan dan efektivitas melalui tarif tunggal dan penerapan meterai elektronik.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Selama ini, dokumen yang dimaksud adalah dokumen kertas. Sejak Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 maka ada perluasan definisi dokumen, yaitu kertas dan elektronik.
Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
Mulai 2021, dokumen transaksi e-commerce atau toko online akan dikenai Bea Meterai. Pengenaan terhadap transaksi online atau digital merupakan bentuk kesetaraan, atas dokumen kertas dan elektronik.
Objek Bea Meterai
Secara umum, objek Bea Meterai ada dua: Pertama, dokumen bersifat perdata yang dipergunakan untuk menerangkan mengenai suatu kejadian. Kedua, dokumen yang digunakan sebagai alat buktidi pengadilan.
Dokumen yang bersifat perdata yang menjadi objek Bea Meterai terdiri dari:
surat Perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
akta notaris beserta grosse, Salinan, dan kutipanya;
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
surat berharga dengan nama dan bentuk apapun;
Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan bentuk apa pun;
Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang: menyebutkan penerimaan uang; dan berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
Tarif dan Cara Pelunasan
Bea Meterai sejak 2021 berlaku 1 tarif yaitu Rp10.000,00 untuk setiap dokumen. Artinya, jika sebuah dokumen hanya menyatakan jumlah uang nominal sebesar Rp5.000.000,00 maka atas dokumen tersebut tidak bayar Bea Meterai. Tetapi jika menyatakan uang sebesar Rp5.000.001,00 maka terutang Bea Meterai.
Cara bayar Bea Meterai ada tiga, yaitu:
Meterai Tempel,
Meterai Elektronik, dan
Meterai Dalam Bentuk Lain.
Meterai Tempel adalah Meterai yang ditempelkan atau direkatkan di dokumen kertas. Kalau dokumen elektronik tidak bisa pakai Meterai Tempel.
Meterai Elektronik adalah meterai yang memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.
Meterai Dalam Bentuk Lain adalah meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai Digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.
Saat Terutang
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Seperti jenis pajak lainnya, ada saat terutang kapan pajak ini wajib dilunasi.
Saat terutang Bea Meterai pada dasarnya ada lima:
Dokumen dibubuhi Tanda Tangan,
Dokumen selesai dibuat,
Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat,
Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dan
Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen yang dibuat di luar negeri.
Dokumen yang terutang Bea Meterai saat dibubuhi Tanda Tangan, yaitu:
surat perjanjian beserta rangkapnya
akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya
Dokumen yang terutang Bea Meterai saat selesai dibuat, yaitu:
surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun
Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Dokumen yang terutang Bea Meterai saat Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibua, yaitu:
surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya
Dokumen lelang
Dokumen yang menyatakan jumlah uang lebih dari Rp5.000.000,-
Bukan Objek Bea Meterai
Tidak semua dokumen perdata terutang Bea Meterai. Seperti sebelumnya, ada beberapa jenis dokumen yang dikecualikan sebagai objek. Atau tidak terutang Bea Meterai.
Sebenarnya pengecualian ini masih mirip-mirip dengan Undang-Undang sebelumnya, kecuali terkait dokumen kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, dan surat gadai. Di Undang-Undang sebelumnya, surat gadai yang dikecualikan adalah surat gadai yang diberikan oleh Perjan Pegadaian. Sekarang berlaku untuk semua surat gadai.
Berikut dokumen yang dikecualikan sebagai objek Bea Meterai:
surat penyimpanan barang
konosemen
surat angkutan penumpang dan barang
bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5
segala bentuk ijazah;
tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
surat gadai;
Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.
Fasilitas Pembebasan Bea Meterai
Selain pengecualian objek Bea Meterai, Undang-Undang baru juga memberikan fasilitas Bea Meterai berupa pembebasan.
Istilah pembebasan di pajak sering diartikan bahkan objek tersebut menurut ketentuan terutang pajak atau objek pajak, tetapi dibebaskan. Tidak dibayar. Semacam digratiskan.
Berikut dokumen yang mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Meterai:
Dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam
Dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial tidak bersifat komersial
Dokumen dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan; dan/atau
Dokumen yang terkait pelaksanaan perjanjian internasional yang telah mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik.
Undang-Undang No 10 Tahun 2020
Salindia Sosialisasi Bea Meterai 2021
Pembayaran dan Pematerian Kemudian
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 4/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum, dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemateraian Kemudian
Pembayaran Bea Meterai
Pembayaran Bea Meterai pada dasarnya ada 2 cara, yaitu beli meterai dan bayar dengan SSP (surat setoran pajak). Meterai tempel secara resmi didistribusikan oleh Kantor Pos. Bukan oleh kantor pajak. Kantor pemerintah tidak jual meterai.
Meterai terdiri dari: meterai tempel, meterai teraan, meterai komputerisasi, dan meterai percetakan. Meterai teraan dan Meterai komputerisasi hanya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang yang telah memperoleh izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Meterai teraan.
Pelunasan Bea Meterai dengan meterai teraan dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan meterai digital pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai komputerisasi dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan sistem komputerisasi pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
Dalam hal satu dokumen lebih dari satu lembar, maka teraan dilakukan pada lembar pertama.
Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai percetakan dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan teknologi percetakan pada Dokumen yang terutang Bea Meterai. Pembubuhan Meterai yang dibuat dengan menggunakan teknologi percetakan hanya dilakukan dalam rangka pemungutan Bea Meterai atas Dokumen berupa efek dan bilyet giro.
Pembayaran Bea Meterai dengan Menggunakan SSP anya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang dalam hal:
pembayaran Bea Meterai atas Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dengan jumlah lebih dari 50 (lima puluh) Dokumen; atau
pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai tempel yang tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Meterai tempel tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Pemateraian Kemudian
Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:
Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya; dan/atau
Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebesar:
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya dan terutang Bea Meterai sejak tanggal 1 Januari 2021;
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya dan terutang Bea Meterai sebelum tanggal 1 Januari 2021; dan
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Pemeteraian Kemudian.
Berikut tutorial SPT 1771 untuk UMKM yang menggunakan PP 23
Tutorial Pengisian SPT Tahunan Untuk Wajib Pajak Badan melalui eForm
Perbedaan terpenting cara pengisian SPT 1771 untuk yang menggunakan PP 23 dengan pembukuan pada umumnya adalah di Lampiran 1771 IV dan Lampiran 1771 I.
Untuk PP 23, di Lampiran 1771 IV harus isikan penghasilan final lainnya dengan omset setahun. Selanjutnya, nilai penghasilan kena pajak di Lampiran 1771 I harus nihil karena dikoreksi fiskal.
Sedangkan SPT 1771 dengan pembukuan dan menggunakan tarif Pasal 17 juncto Pasal 31E Undang-Undang PPh tidak mengisi omset di Lampiran 1771 IV. Selanjutnya, di Lampiran 1771 I pasti ada penghasilan kena pajak baik positif maupun negatif. Negatif artinya rugi fiskal.
Penghasilan Final dan Penghasilan Bukan Objek
Undang-Undang PPh membagi 3 jenis penghasilan yaitu:
Penghasilan umum yang dikenai tarif Pasal 17
Penghasilan final yang pengenaannya berdasarkan peraturan pemerintah
Penghasilan bukan objek yang jenis penghasilannya ditentukan di Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.
SPT Tahunan Wajib Pajak orang pribadi ada 3 jenis, yaitu :
SPT 1770 untuk pengusaha atau yang tidak memiliki bukti potong dari pekerjaan,
SPT 1770S untuk Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki bukti potong dari pekerjaan. Atau mereka sebagai pegawai, baik satu perusahaan atau lebih dari satu perusahaan.
SPT 1770SS untuk Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan di bawah Rp60.000.000,00
Di bawah ini merupakan video dari Ditjen Pajak RI yang sudah dipublikasi di channel Youtube
Tutorial SPT Tahunan untuk UMKM
Berikut ini merupakan tutorial pengisian SPT 1770 untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan fasilitas PP 23.
Sama dengan tutorial SPT 1771 diatas, perbedaan SPT 1770 untuk PP 23 dengan SPT 1770 untuk wajib pajak yang menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terdapat di Lampiran 1770 III dan Lampiran 1770 I.
Untuk PP 23, diharusnya mengisi omset perbulan yang merupakan cicilan PPh. PPh tersebut seharusnya sudah dibayar sebelum mengisi SPT 1770. Perhatikan tutorial saat menjelaskan Lampiran 1770 III. Selanjutnya, nilai penghasilan kena pajak di Lampiran 1770 I harus nihil karena dikoreksi fiskal.
Perbedaan pengisian omset PP 23 antara SPT 1771 dengan SPT 1770 ada di rincian omset per bulan. Wajib Pajak orang pribadi diasumsikan menggunakan pencatatan sehingga di Lampiran 1770 III harus merinci omset per bulan.
Tutorial pengisian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha menggunakan eForm
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan harus memperhatikan 3 artikel ini:
Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menggunakan pembukuan dan tidak dapat memanfaatkan fasilitas PP 23 berarti wajib menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dengan menghitung penghasilan neto menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Berikut ini adalah tutorial mengisi SPT Tahunan 1770S menggunakan eForm.
Hal terpenting sebelum mengisi SPT adalah mengumpulkan bukti potong, jika bukti potong ada beberapa. Jika kita hanya bekerja di satu perusahaan biasanya hanya satu, yaitu bukti potong 1721 A1 untuk swasta dan PNS 1721 A2.
Untuk PNS, siapkan bukti potong lainnya yang sudah dikenakan final. Selain gaji dan tunjangan kinerja, penghasilan PNS yang berasal dari APBN atau APBD dikenakan final.
Tutorial pengisian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan status pegawai
Zahir Online adalah software akuntansi modern dengan teknologi cloud computing berbasis web untuk memudahkan Anda dalam mengelola bisnis dari mana saja dan kapan saja secara real time.
Dokter bisa memiliki penghasilan dari berbagai sumber
Cara menghitung pajak penghasilan itu berbeda-beda bergantung kepada jenis pajak yang diperoleh dokter. Sebenarnya bukan hanya untuk dokter, tapi berlaku untuk semua Wajib Pajak. Bahwa menghitung pajak penghasilan itu bergantung kepada jenis penghasilan yang diterima.
Pada umumnya, profesi dokter memiliki tiga jenis penghasilan yaitu:
Penghasilan dari Pegawai Negeri Sipil ,atau pegawai tetap lainnya;
Penghasilan dari praktek dokter di rumah sakit;
Penghasilan dari praktek dokter di klinik sendiri.
Atau, bisa juga memiliki penghasilan dari pekerjaan sebagai pengajar (dosen), seminar, pemilik apotek, dan bisnis lainnya.
Pajak penghasilan dari masing-masing sumber penghasilan diatas harus dihitung berdasarkan jenis penghasilanya.
Berikut ini adalah salindia simulasi penghitungan PPh yang diterima dokter. Salindia ini dibuat oleh P2Humas DJP dan dapat diunduh di pajak.go.id dengan kode file PJ.091/PL/S/010/2020-00
Pemberian insentif pajak dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia
Dalam rangka mendukung ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan alat pendukung lainnya untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pemerintah memberikan fasilitas perpajakan untuk mendukung penanganan dampak virus dimaksud.
Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Insentif ini diberikan dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 28/PMK.03/2020. Berikut rangkumannya.
Pihak Tertentu yang mendapat insentif
Pihak Tertentu yang mendapat insentif yaitu:
Badan/Instansi Pemerintah
Rumah Sakit; atau
Pihak Lain yaitu pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Bentuk insentif pajak berupa PPN tidak dipungut, dan PPN ditanggung pemerintah.
Pasal 2 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan No 28/PMK.03/2020
Impor Barang Kena Pajak oleh Pihak Tertentu, tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu, ditanggung pemerintah.
Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu ditanggung pemerintah.
Impor BKP tidak dipungut. Pemanfaatan JKP dari luar negeri, ditanggung pemerintah. Begitu juga Penyerahan BKP dan/atau JKP di Indonesia.
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat insentif PPN ditanggung pemerintah, termasuk juga penyerahan berupa pemberian cuma-cuma.
BKP dan JKP Yang Mendapat Insentif
Barang Kena Pajak (BKP) yang mendapat insentif adalah BKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yaitu:
obat-obatan;
vaksin;
peralatan laboratorium;
peralatan pendeteksi;
peralatan pelindung diri;
peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau
peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat insentif adalah JKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yaitu:
jasa konstruksi;
jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;
jasa persewaan; dan/atau
jasa pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Dalam hal Pihak Tertentu melakukan impor BKP yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, impor BKP tersebut tidak dikenai PPN sepanjang Pihak Tertentu dimaksud memiliki SKJLN sebelum melakukan impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
SKJLN adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Pembuatan Faktur Pajak Yang Mendapat Insentif Covid-19
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Faktur Pajak tersebut harus memuat keterangan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 28/PMK.03/2020”.
Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 28/PMK.03/2020
Pengusaha Kena Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 28/PMK.03/2020” dan harus membuat Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
Contoh Format Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
Kode Billing dan Laporan seperti diatas berlaku juga untuk Pihak Tertentu yang melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah dibuat untuk periode:
Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020
Dan disampaikan ke KPP tempat Pengusaha Kena Pajak paling lama:
tanggal 20 Juli 2020, untuk periode Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
tanggal 20 Oktober 2020, untuk periode Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020
Insentif PPh
Pihak Tertentu yang melakukan impor dan/atau pembelian barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan/atau PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tanpaSurat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.
Pihak Ketiga yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) kepada Pihak Tertentu diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu atas jasa sebagaimana yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 23.
Contoh format permohonan SKB PPh Pasal 22 dan atau PPh Pasal 23
Di bawah ini merupakan slide power point Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 dan file pdf Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020
Berikut ringkasan fasilitas Barang Dan Jasa dalam rangka penanganan pandemi covid19