fbpx

Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan

Secara umum, Pasal 9 Undang-Undang PPN mengatur tata cara pengkreditan pajak masukan. Pasal 9 mengatur persyaratan faktur pajak yang dapat dikreditkan dan kondisi faktur pajak yang menyebabkan tidak dapat dikreditkan.

Continue reading “Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan”

Pengenaan PPN Atas Barang Hasil Pertanian Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan

Pengenaan PPPN Atas Barang Hasil Pertanian Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan

Setelah keputusan Mahkaman Agung nomor 70P/HUM/2013 banyak pengusaha yang terkaget-kaget dengan implikasi putusan tersebut. Sebelumpun produk pertanian termasuk Barang Kena Pajak (BKP) strategis yang di bebaskan. Dengan dibebaskannya produk pertanian, maka pengusaha tidak ada kewajiban untuk memungut PPN. 

 
Dasar pembebasan produk pertanian adalah Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini mengatur:

Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah :

  • barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang;
  • makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan;
  • barang hasil pertanian;
  • bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran atau perikanan;
  • air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;
  • listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan
  • Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI).
Frasa “barang hasil pertanian” kemudian digugat oleh Kadin. KADIN sebagai pemohon diwakili oleh Suryo B. Sulistio dan Hariyadi Sukamdani. Secara khusus, KADIN meminta Mahkamah Agung untuk mencoret frase “barang hasil pertanian” sebagai BKP strategis.
 
Konon kabarnya, pihak yang mendorong gugatan ini adalah para pengusaha kelapa sawit. Sebelumnya, pajak masukan untuk kebun tidak dapat dikreditkan. Perlakuan perpajakan ini berdasarkan asas equal treatment antara pengusaha yang HANYA memiliki kebun dengan pengusaha yang memiliki kebun dan pabrik.
 
Para pemilik kebun tidak dapat mengkreditkan pajak masukan. Kenapa? Karena produk dari kebun TBS merupakan BKP strategis. Karena TBS merupakan BKP strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007, maka supaya bisa dikreditkan para pengusaha menggugat peraturan. Tujuannya agara pajak masukan atas pembelian pupuk dan peralatan perkebunan sawit bisa dikreditkan.
 
Argumen yang disodorkan adalah daya saing. KADIN berargumen bahwa penetapan “barang hasil pertanian” sebagai BKP strategis melemahkan daya saing karena tidak dapat mengkreditkan pajak masukan. 
 
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007, barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan.  Dengan dikabulkannya barang hasil pertanian sebagai BUKAN BKP strategis, maka semua barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan menjadi BKP.
 
Apakah beras dan sayuran menjadi BKP? Menurut Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak bukan BKP atau sering disebut non-BKP.
 
Bagian penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN merinci barang bukan BKP:
  • beras;
  • gabah;
  • jagung;
  • sagu;
  • kedelai;
  • garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  • daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  • telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  • susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  • buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  • sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.  
Selain yang disebutkan diatas, maka produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan merupakan BKP.
 
Secara lengkap dapat dilihat di bagian lampiran SE-24/PJ/2014. Untuk mendapatkan slide SE-24/PJ/2014 yang sudah dikonversi ke pdf dapat diunduh di drive saya. 
 
Putusan Mahkamah Agung ini seharusnya diikuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintah yang baru yang mencabut Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007. Tetapi karena kendala waktu untuk membuat peraturan pemerintah (konon kabarnya begitu) maka Direktorat Jenderal Pajak memilih diam. 
 
Apa konsekuensi pilihan tersebut? Putusan tersebut berlaku 90 hari kemudian setelah dikirim oleh Mahkamah Agung. 
 
Dasarnya Pasal 8 ayat 2 Peraturan MA Nomor 01 Tahun 2011:

Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Jadi, sejak 22 Juli 2014 Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007 menjadi tidak berlaku. Putusan ini tidak berlaku surut. Artinya, terhadap transaksi tanggal 21 Juli 2014 dan sebelumnya barang hasil pertanian tetap merupakan BKP Strategis.
 
Share:
Putusan Mahkamah Agung
SE-24/PJ/2014
Slide SE-24/PJ/2014

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan

Industri Sawit Penyumbang PAJAK

Kabar baik yang saya posting di bulan April 2014 rupanya sejak 18 Juni 2014 sudah berubah. Aturan pajak memang dinamis. Aturan pajak masukan yang berlaku 30 Juni 2014 sudah berubah lagi sejak 18 Juni 2014. Hanya berumur sekitar empat bulan saja.

Perbedaan yang paling terlihat dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 135/PMK.011/2014 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 21/PMK.011/2014 adalah di perusahaan sawit. Contoh pengertian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan  Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak berkurang satu. Asalnya lima contoh sekarang empat saja. Dan yang dikeluarkan adalah contoh sawit.

Paragrap inilah yang saya maksud hilang:
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan dan/ atau memanfaatkan kegiatan usaha terpadu (integrated), misalnya Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit (TBS kelapa sawit merupakan Barang Kena Pajak strategis), dan juga mempunyai pabrik minyak kelapa sawit (CPO), yang seluruh TBS kelapa sawit yang dihasilkannya diolah lebih lanjut menjadi minyak kelapa sawit/CPO (minyak kelapa sawit/CPO merupakan Barang Kena Pajak).

Begitu juga dengan contoh-contoh perhitungan pajak masukan yang mencontohkan perusahaan sawit. Secara tidak langsung, pencoretan ini bisa dimaknai bahwa sebaliknya. Jika sebelumnya pajak masukan atas kebun boleh dikreditkan, maka sekarang menjadi tidak boleh.

Kenapa dicoret? Mungkin saja pertimbangan penerimaan. Maksud saya, bahwa dengan memperbolehkan pengkreditan pajak masukan, maka PPN yang dibayar ke kas negara tentu berkurang. Sekarang dengan dicoretnya aturan yang memperbolehkan, bisa dibaca menjadi tidak boleh. Artinya pajak masukan atas kebun sawit tidak boleh dikreditkan. Dengan demikian, maka PPN yang disetor ke kas negara menjadi lebih besar. Ini cuma kalkulasi kasar saja.

Bagaimanapun sektor kelapa sawit, salah satu penyumbang penerimaan pajak terbesar. Sawit dan turunannya seperti CPO masih menjadi andalan penerimaan pajak.

Tapi benarkah tujuannya seperti itu? Mengamankan penerimaan pajak?

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pemungut PPN

Dalam sistem perpajakan kita, dikenal dua istilah withholding taxes yaitu pemotongan dan pemungutan. Walaupun ada yang bilang bahwa pemungutan bukan withholding tax tetapi “khusus” di Indonesia tetap saya anggap withholding tax.
Pemotongan dilakukan terhadap penghasilan yang sudah diterjadi atau saat subjek pajak menerima penghasilan, contohnya PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Sedangkan pemungutan dilakukan terhadap transaksi yang belum jadi penghasilan tetapi masih cost. Contoh pemungutan pajak adalah PPh Pasal 22 Impor dan PPN.

Bukankah PPN dipungut saat terjadi jual beli? Benar. Tetapi sistem PPN yang berlaku di Indonesia, setiap penjual mungut PPN pembeli. Jadi yang dipungut adalah PPN saat terjadi pembelian, cost. Dan PPN yang telah dipungut tersebut tidak peduli apakah atas barang yang dibeli tersebut dijual (artinya jadi penghasilan) atau  “dibuang” (misalnya tidak laku-laku).

Secara umum, penjual memang ditetapkan sebagai pemungut PPN. Tetapi ada kondisi tertentu yang menjadikan pembeli justru yang mungut dari penjual (mestinya motong dong ya?). Kebalikan dari keumuman sistem pemungutan PPN. Pembeli yang memungut PPN biasa disebut “Pemungut”. Akibatnya, rekanan / suplier Pemungut PPN selalu kelebihan PPN dan selalu meminta restitusi.

Contoh, PT A adalah rekanan bendahara Satker X. Saat beli barang di pasar, PT A telah dipungut PPN oleh penjual. Kemudian barang yang dibeli tersebut dijual ke bendahara Satker X (sebagai penyedia barang). Atas transaksi penjualan ke bendahara Satker X, PT A tidak memungut PPN tetapi justru dipungut oleh bendahara Satker X. Sehingga atas barang yang sama telah terjadi dua kali pemungutan PPN (dua kali dibayar oleh PT A), yaitu saat beli dan saat jual. Karena itu, laporan PT A pasti menyatakan lebih bayar PPN dan dapat meminta restitusi ke KPP terdaftar.

Sekarang, siapa saja Pemungut PPN? Sampai dengan Juli 2012 ini terdapat 3 Pemungut PPN, yaitu:

[a.] Bendahara Pemerintah
Penetapan bendaharawan pemerintah sebagai Pemungut PPN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003.

Prakteknya, bendaharawan pemerintah di Satuan Kerja (Satker) tertentu akan langsung meminta membuat SSP dari rekanan atau penyedia barang dan jasa. SSP dibuat oleh penyedia barang dan jasa saat (bersamaan) dengan pembuatan faktur tagihan ke bendaharawan. Nanti atas PPN tersebut disetorkan oleh bendaharawan melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPPN).

Tetapi ada beberapa transaksi yang dikecualikan bendaharawan, yaitu:
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
[2.] pembayaran untuk pembebasan tanah;
[3.] pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
[4.] pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (PERSERO) PERTAMINA;
[5.] pembayaran atas rekening telepon;
[6.] pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; atau
[7.] pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

[b.] KKS Migas, dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa / Pemegang Ijin Usaha Panas Bumi
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKS Migas) dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi sebagai Pemungut PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2010. Sama seperti bendaharawan, KKS Migas juga melakukan pemungutan atas setiap transaksi pembelian atau pemakaian jasa. Pengecualian atas transaksi diatas juga berlaku bagi KKS Migas atau Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, kecuali pembebasan lahan. Artinya, kalau KKS Migas membeli lahan (tanah) dari pihak lain maka tetap dipungut PPN.

[c.] BUMN
Penjunjukkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Pemungut PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2012.

Pengecualian atas pemungutan mirip dengan transaksi yang sudah disebutkan diatas. Hanya ada “variasi” di nilai minimal pembayaran. Secara lengkap saya kutip dari Pasal 5 (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2012, yaitu PPN tidak dipungut oleh BUMN dalam hal:

[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
[2.] pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
[3.] pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
[4.] pembayaran atas rekening telepon;
[5.] pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
[6.] pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak wajib dibuat oleh rekanan BUMN / KKS Migas / Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi pada saat:

[1.] penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
[2.] penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
[3.] penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

PM atas Kebun Kelapa Sawit

CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO dari Indonesia untuk tahun 2011 sekitar 180 trilyun rupiah. Menurut Kementrian Pertanian, pertumbuhan permintaan CPO dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. 
 
Artinya, tahun depan, bisa jadi ekspor CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas unggulan nasional.

 

 
Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah. Termasuk dari DJP sebagai regulator dan administrator perpajakan.
 
Salah satu perhatiannya adalah Surat Edaran No. SE-90/PJ/2011 yang secara khusus menafsirkan pengkreditkan pajak masukan perusahaan kelapa sawit.
 
Tentu saja surat edaran ini hanya berlaku untuk perusahaan kelapa sawit. 
 
Sebenarnya yang paling berkepentingan dengan keseragaman penafsiran adalah Wajib Pajak.
 
Karena peraturan yang ada tidak jelas, sangat mungkin setiap pemeriksa yang akan menghitung pajak terutang menafsirkan berbeda.
 
Padahal kondisinya sama. Salah satunya pendapat tentang pajak masukan untuk kebun kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik (CPO). Ada yang bilang boleh dan sebagian lagi tidak boleh.
 
Pendapat pertama: pajak masukan atas kebun kelapa sawit BOLEH dikreditkan. Saya termasuk yang berpendapat bahwa atas pajak masukan atas kebun kelapat sawit boleh dikreditkan asal kebun dan pabrik terintegrasi.
 
Pengertian terintegrasi mengacu kepada “ban berjalan” di pabrik, yaitu produk satu bagian akan menjadi bahan baku produk lain.
 
Produk kebun kelapa sawit akan menjadi bahan baku pabrik kelapa sawit. 
 
Contoh yang dulu sering diajarkan para widyaiswara adalah industri tekstil. Bisa jadi satu pabrik hanya menghasilkan benang.
 
Pabrik lain menghasilkan kain gray setengah jadi. Pabrik lain menghasilan kain baik dengan pesanan maupun tidak.
 
Pabrik lain justru memotong-motong kain untuk dijadikan pakaian jadi.
 
Jika pabrik tersebut dimiliki oleh Wajib Pajak terpisah maka “perpindahan” produk dari pabrik ke pabrik merupakan penyerahan atau penjualan.
 
Tetapi jika mulai pabrik benang sampai pabrik pakaian jadi milik satu Wajib Pajak, maka “perpindahan” produk dari pabrik ke pabrik lainnya bukan penyerahan.
 
Pengertian yang sama kemudian “diterapkan” untuk memahami Peraturan Menteri Keuangan No. 78/PMK.03/2010 bahwa perpindahan TBS ke pabrik bukan penyerahan kecuali jika pemilik TBS berbeda dengan pemilik pabrik.
 
Tentu saja karena berbeda Wajib Pajak, apapun yang diserahkan menjadi penjualan.   Sehingga untuk yang terintegrasi, maka penyerahannya adalah CPO. Dan CPO adalah BKP yang atas penyerahannya terutang PPN.
 
Kenapa harus dari kacamata penyerahan?
 
Surat Edaran No. SE-95/PJ/2010 tentang BKP strategis yang diekspor, memberikan penegasan bahwa yang dibebaskan itu penyerahan.
 
Bukan produk BKP-nya. Produk BKP strategis memang diatur di Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2001 dan perubahannya. Berikut saya kutip bunyi angka 3 di SE-93/PJ/2010:

Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf f dan angka 2, terbatas untuk penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu atau Jasa Kena Pajak Tertentu, impor Barang Kena Pajak Tertentu, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Tertentu dan Jasa Kena Pajak Tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan tidak mencakupekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau ekspor Jasa Kena Pajak

Saya berpendapat, jika “berkacamata” SE-95/PJ/2010 maka kita bicara penyerahan.
 
Membaca pasal 2 dan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2007 juga cukup jelas “atas impor” dan atas “penyerahan”.
 
Jadi impor dan penyerahan merupakan syarat pembebasan. Bukan barangnya.  
 
Pendapat kedua, pajak masukan atas kebun kelapa sawit TIDAK BOLEH dikreditkan.
 
Inilah pendapat resmi DJP yang dituangkan dalam Surat Edaran No. SE-90/PJ/2011!
 
Dasar pemikirannya adalah equal treatment yaitu perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama.
 
Pajak masukan atas kebun kelapa sawit yang dimiliki para petani tidak boleh dikreditkan.
 
Kenapa? Karena penyerahan TBS dibebaskan.
 
Perlakuan yang sama harus diterapkan kepada kebun kelapa sawit milik Wajib Pajak yang memiliki pabrik.
 
Petani orang pribadi dan perseroan terbatas yang sama-sama memiliki kebun kelapa sawit harus mendapat perlakuan yang sama.
 
Perusahaan yang memiliki kebun dan pabrik pengolahan CPO dengan perusahaan yang hanya memiliki kebun harus mendapat perlakuan yang sama.
 
SE-90/PJ/2011 tidak bicara penyerahan! Apapun pajak masukannya, jika pajak masukan tersebut diperuntukkan BKP strategis yang dibebaskan, maka tidak boleh dikreditkan.
 
Tidak relevan apakah ada penyerahan atau tidak.
 
Dengan demikian pajak masukan dari pupuk, peralatan perkebunan, dan semua pajak masukan yang digunakan oleh kebun kelapa sawit tidak boleh dikreditkan.
 
Sampai dengan tulisan ini selesai dibuat, saya masih berpendapat bahwa cara pandang SE-95/PJ/2010 dan SE-90/PJ/2011 berbeda dan bertolak belakang. Semoga kedepan saya akan mendapat pencerahan lagi 🙂
 
 
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
 
 
 
 
 
  
cottage near sea shore
Photo by Vincent Gerbouin on Pexels.com

Kompensasi Kelebihan PPN Bulan Lalu

Pajak Pertambahan Nilai [PPN] adalah pajak yang dihitung per masa. Jika satu masa pajak sama dengan satu bulan [ini yang paling banyak dipakai] maka perhitungan PPN dibuat setiap bulan. SPT Masa PPN akan dibuat setiap bulan oleh Wajib Pajak.

Tentu saja setiap masa, Wajib Pajak melaporkan pajak keluaran dan pajak masukan.

Pajak keluaran adalah jumlah PPN yang telah dipungut oleh Wajib Pajak. Sedangkan pajak masukan adalah jumlah PPN yang sudah dibayar pada saat beli barang.

Pajak masukan disebut juga kredit pajak. Selain faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN, maka kredit pajak juga termasuk SSP yang sudah disetor.

Baik faktur pajak masukan maupun SSP setiap bulan dikreditkan atau diperhitungkan dengan pajak keluaran.

Jika pajak keluaran lebih banyak daripada pajak masukan, maka kekurangannya akan dibayar oleh Wajib Pajak ke bank persepsi.

Tetapi jika pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran maka kelebihan bayar tersebut bisa dikompensasi ke masa pajak atau bulan berikutnya.

Biasanya, format SPT selalu ada bagian “kompensasi kelebihan PPN bulan lalu” dan “PPN Lebih Bayar yang diminta untuk : dikompensasikan ke bulan berikutnya”.

Kompensasi kelebihan PPN bulan lalu adalah kredit pajak yang dibawa (carry-over) dari masa pajak sebelumnya. Misalnya, SPT Masa Nopember kelebihan bayar sebesar Rp125juta.

Atas kelebihan bayar tersebut kemudian dikompensasi ke bulan berikutnya atau bulan Desember.

Maka di SPT Masa Desember akan ada kompensasi kelebihan PPN bulan lalu sebesar Rp.125 juta.

Kompensasi kelebihan PPN bulan lalu tidak boleh dikoreksi. Seandainya pemeriksa pajak berpendapat bahwa kompensasi PPN bulan lalu tersebut salah, maka yang dikoreksi bukan di SPT Masa Desember tapi di bulan dimana kesalahan tersebut terjadi.

Hal ini didasarkan pada SE-32/PJ.3/1988 atau seri PPN-124 bahwa :

Jika dalam penerapan S.K. Menteri Keuangan Nomor : 465/KMK.01/1987 telah diterbitkan SKP untuk beberapa Masa Pajak dan diantara Masa Pajak tersebut dalam SKP terdapat kelebihan yang seharusnya tidak dikompensasikan maka atas kelebihan pajak tersebut tidak dikenakan sanksi kenaikan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.

Tetapi kelebihan pajak yang terjadi dalam Masa Pajak terakhir dari Masa Pajak tersebut dalam SKP maka atas kelebihan pajak yang tidak seharusnya dikompensasikan tersebut dikenakan sanksi Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.

Surat Dirjen Pajak No. S – 3317/PJ.54/1996 lebih mempertegas ketentuan tersebut.

Saya kutip poin penting yang terkaitan dengan larangan melakukan koreksi atas kompensasi SPT tersebut :

Mengingat untuk Masa Pajak Januari 1995 sampai dengan Juli 1995 telah diterbitkan SKPKB, sedangkan dalam kredit pajak yang diperhitungkan termasuk PPN yang berasal dari kompensasi Pajak Masukan Masa Desember 1994, maka sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-32/PJ.3/1988 tanggal 28 Juli 1988 (Seri PPN-124), jumlah PPN (pada SPT Masa Januari 1995) yang berasal dari kompensasi PPN masa Pajak Desember 1994 tersebut dianggap telah benar. Oleh karena itu apabila menurut penelitian Saudara diantara PPN yang lebih dibayar pada asa Pajak Desember 1994, terdapat yang perlu dikoreksi, maka untuk Masa Pajak Desember 1994 tersebut Saudara dapat menerbitkan SKPKB/SKPKBT, bilamana menurut penelitian tersebut jumlah PPN yang lebih dibayar untuk Masa Pajak Desember 1994 lebih kecil dari jumlah PPN yang sudah dikompensasikan dalam Masa Pajak Januari 1995, dengan disertai denda Pasal 13 ayat (3) sebesar 100% dari PPN yang tidak seharusnya dikompensasikan.

SE-32/PJ.3/1988 sampai dengan sekarang belum dicabut. Di tahun 2003, masih ada pertanyaan yang berkaitan perhitungan koreksi PPN yang mengacu ke SE-32/PJ.3/1988. Setidaknya menurut “catatan” MyTax Professional.

Beberapa hari yang lalu juga saya menerima tembusan surat dari Komwas Perpajakan yang berkaitan dengan kompensasi ini.

Komwas Perpajakan berpendapat bahwa kompensasi kelebihan PPN bulan lalu tidak bisa dikoreksi.

Seandainya ada kesalahan kompensasi, maka koreksi bisa dilakukan dibulan sebelum kompensasi tersebut.

Saya berkesimpulan bahwa pemeriksa pajak hanya diperkenankan melakukan koreksi atas faktur pajak yang dikreditkan oleh Wajib Pajak.

Koreksi hanya dilakukan untuk faktur per faktur dengan alasan berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN.

Kompensasi yang ditulis oleh Wajib Pajak di SPT Masa PPN tidak boleh dikoreksi.

Sanksi Pasal 13 (3) UU KUP berupa kenaikan sebesar 100% dari kurang bayar berfungsi sebagai koreksi atas kredit pajak yang telanjur dikompensasikan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

PM atas BKP yang dibebaskan

Kemarin seorang teman pemeriksa menanyakan masalah pengkreditan pajak masukan [PM] atas ekspor barang kena pajak (BKP) yang dibebaskan. BKP tersebut menurut peraturan dibebaskan dari PPN.
Menurutnya, sebagian teman-temannya berpendapat bahwa atas PM BKP yang dibebaskan boleh dikreditkan asal penyerahannya ekspor. Tetapi jika penjualannya lokal, maka atas PM BKP tersebut tidak boleh dikreditkan.

Saya berpendapat bahwa perlakuan tersebut salah. Seharusnya, PM atas BKP yang dibebaskan tidak boleh dikreditkan baik untuk tujuan ekspor maupun penjualan lokal. Jika dibebaskan maka PPN tidak terutang.

PPN terutang itu tarifnya bisa 10% atau 0%. Jangan terpengaruh pada tarif 0% seolang-olah tidak terutang.

Selain itu, bahwa jika BKP tersebut dibebaskan maka sebenarnya atas penjualan BKP tersebut masih terdapat PPN. Sedangkan ekspor bertujuan “melucuti” PPN yang terkandung di BKP.

Kemudian saya cek ke UU PPN. Ternyata di Pasal 16B UU PPN dengan jelas bahwa atas penyerahan BKP yang dibebaskan, tidak boleh ada pengkreditan pajak. Berbeda dengan istilah PPN tidak dipungut.

PPN yang tidak dipungut masih tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Dengan demikian, PM-nya boleh dikreditkan.

Berikut kutipan Pasal 16B UU PPN:
Pasal 16B

(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

b.penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;

c.impor Barang Kena Pajak tertentu;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabeandiatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

(3)Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

Pasal 16B ayat (3) diatas sengaja saya tebalkan untuk memperlihatkan bahwa atas “penyerahannya dibebaskan”. Penyerahan tersebut tidak dibatasi hanya untuk penyerahan lokal atau dalam negeri saja. Artinya bisa penyerahan lokal atau penyerahan ekspor.

Demikian pendapat saya

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Retur dan Pembatalan

Retur adalah pengembalian Barang Kena Pajak (BKP) baik sebagian maupun seluruhnya oleh pembeli.
Dalam dunia perdagangan, retur merupakan hal biasa karena memang manusia tidak ada yang sempurna.
Selalu ada kekurangan. Salah satunya barang cacat atau tidak sesuai standar yang ditetapkan.
Tentu sebagai pembeli, tidak mau dong beli barang cacat?
Retur hanya bisa dilakukan oleh pembeli. Pengakuan adanya retur bisa di pembeli bisa di penjual.
Tentu jika di pihak penjual maka disebut retur penjualan. Dan jika di pihak pembeli disebut retur pembelian. Perlakuan retur menurut akuntansi adalah mengurangi.
Jika retur penjualan maka akan mengurangi penjualan. Dan jika retur pembelian maka akan mengurangi pembelian.
Sekali lagi, adanya retur hanya bisa dilakukan oleh pembeli dengan menerbitkan Nota Retur.
Nah untuk keperluan Pajak Pertambahan Nilai, menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 65/PMK.03/2010 Nota Retur paling sedikit harus mencantumkan :
a. nomor urut nota retur;
b. nomor, kode seri, dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan;
c. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli;
d. nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak Penjual;
e. jenis barang, jumlah harga jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan;
f. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikembalikan;
g. tanggal pembuatan nota retur; dan
h. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur.
Jika produk kita berupa jasa, tentu tidak ada istilah retur. Bagaimana mengembalikan jasa? Untuk produk yang berbentuk jasa, biasanya disebut pembatalan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.03/2010 pembatalan adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Sama dengan retur, Nota Pembatalah harus dibuat oleh pengguna jasa. Nota pembatalan paling sedikit harus mencantumkan :
a. nomor nota pembatalan;
b. nomor, kode seri dan tanggal Faktur Pajak dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
c. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Penerima Jasa;
d. nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak;
e. jenis jasa dan jumlah penggantian Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
f. Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
g. tanggal pembuatan nota pembatalan; dan
h. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
%d