Dalam rangka meningkatkan volume penjualan, penjual sering memberikan imbalan kepada pembeli. Pembeli maksud di sini adalah pihak yang membeli produk dari Penjual untuk dijual kembali termasuk distributor, agen, dan retailer. Nah, berikut perlakuan perpajakan imbalan tersebut menurut SE-24/PJ/2018.
Penghindaran pajak (mungkin) sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Banyak cara menghindari pajak, salah satunya dengan biaya bunga. Karena itu perlu ketentuan yang membatasi biaya bunga dengan cara membatasi nisbah utang terhadap modal (debt to equity ratio). Berikut ketentuan debt to equity ratio (DER) menurut pajak.
Saat Pemeriksa Pajak Menghitung Penghasilan Secara Jabatan
Pada kebanyakan Wajib Pajak, mereka hanya memikirkan penghasilan. Bagaimana mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya. Penghasilan yang dimaksud adalah penghasilan bruto atau penghasilan kotor.
Tidak mudah membangun usaha. Pengalaman saya mendengarkan Wajib Pajak yang sudah sukses, mereka pada awalnya membangun usaha dari kecil. Dimulai dari usaha kecil, UKM.
Setelah melampaui berbagai perjuangan, para pebisnis menemukan “urat nadi usaha” sehingga dia fokus dengan usaha tersebut. Dan menemukan tingkat kesuksesan berusaha.
Setelah mereka besar, datang petugas pajak menagih pajak đ
Bertahun-tahun belajar bisnis, kemudian diminta pembukuan oleh kantor pajak. Banyak yang tidak siap karena tidak tahu bagaimana menyelenggarakan pembukuan. Mereka harus mempekerjakan pegawai yang bisa menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi. Atau menyewa jasa akuntansi!
Jadi, diantara alasan kenapa Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan:
Tidak mengetahui adanya kewajiban menyelenggarakan pembukuan.
Tidak faham, bagaimana menyelenggarakan pembukuan.
Tidak menemukan pegawai yang mau dipekerjakan sebagai tenaga pembukuan.
Tidak mau menyewa jasa akuntansi.
Penghasilan Neto Dalam Pemeriksaan Pajak
Penghasilan neto adalah dasar pengenaan pajak penghasilan. Untuk menghitung penghasilan neto, pemeriksa pajak dapat menempuh dua jalur:
Berdasarkan pembukuan dan dokumen pendukung yang ada, atau
Dihitung secara jabatan.
Sepanjang pemeriksa pajak meyakini bahwa pembukuan dan dokumen yang diserahkan oleh Wajib Pajak “cukup” untuk menghitung penghasilan neto, maka pemeriksa pajak wajib menghitung penghasilan neto berdasarkan pembukuan.
Ukuran cukup atau tidak kembali kepada standar auditing. Atau kelaziman dalam pembukuan. Dan pemeriksa pajak dapat menggunakan teknik dan metode pemeriksaan pajak yang memadai.
Tetapi jika pemeriksa pajak berpendapat bahwa tidak cukup lengkap untuk menghitung penghasilan neto berdasarkan pembukuan yang diberikan, maka pemeriksa pajak dapat menghitung penghasilan neto secara jabatan.
Penghitungan Penghasilan Neto Secara Jabatan
Kewenangan pemeriksa pajak menghitung penghasilan neto secara jabatan diatur atau berdasarkan Pasal 14 ayat (5) Undang-undang PPh.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (5) Undang-undang PPh, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan nomor 15/PMK.03/2018 tentang cara lain untuk menghitung peredaran bruto.
Bagian pertimbangan peraturan ini menyebutkan untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti pendukungnya, perlu diatur cara lain untuk menghitung peredaran brutonya dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Menurut pertimbangan diatas, ada 3 kondisi dimana pemeriksa pajak dapat menggunakan âsenjataâ Peraturan Menteri Keuangan nomor 15/PMK.03/2018, yaitu:
Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan,
Wajib Pajak tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
Wajib Pajak tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti pendukung.
Dua alasan pertama disebabkan keadaan dan fakta wajib pajak. Walaupun demikian, frasa âtidak sepenuhnya menyelenggarakanâ merupakan pendapat pemeriksa. Artinya, pemeriksa berkesimpulan bahwa laporan peredaran usaha di SPT Tahunan tidak didukung dengan dokumen yang âcukupâ.
Sedangkan alasan ketiga mungkin disebabkan oleh keengganan Wajib Pajak memperlihatkan dokumen. Dokumen tersebut ada tetapi tidak diberikan kepada pemeriksa pajak. Dan dokumen tersebut penting untuk menghitung peredaran usaha (omzet).
Peraturan Menteri Keuangan nomor 15/PMK.03/2018 merupakan dasar hukum untuk menghitung peredaran usaha secara jabatan. Sedangkan untuk menghitung penghasilan neto secara jabatan menggunakan Peraturan direktur jenderal pajak tentang norma penghasilan neto nomor PER-17/PJ/2015.
Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Kemudian Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ./2015 memberikan persyaratan penggunaan norma penghitungan penghasilan bruto bagi pemeriksa pajak yaitu: menghitung penghasilan neto dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang diperiksa:
tidak menyelenggarakan pembukuan, atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau
tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, atau
tidak memperlihatkan pencatatan, atau
tidak memperlihatkan bukti-bukti pendukungnya.
Para pemeriksa pajak tentu sudah tidak asing lagi cara menggunakannya. Karena ini sama saja dengan norma penghitungan penghasilan neto menurut Wajib Pajak. Cara menghitungnya sama. Yang beda hanya di tarif normanya.
Berikut daftar norma penghitungan penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang diperiksa:
Dasar hukum norma penghitungan penghasilan neto adalah Pasal 14 Undang-undang PPh
Bagi kebanyakan orang, menghitung penghasilan neto itu susah. Rumit. Aturannya berubah-ubah. Tidak sempat ingat, sudah lupa. Menepis kerumitan ini, sebenarnya Undang-undang Pajak Penghasilan sudah memberikan fasilitas berupa norma yang fungsinya untuk menghitung penghasilan neto.
Penyusutan fiskal adalah penyusutan berdasarkan ketentuan Undang-undang PPh. Perusahaan bisa saja menghitung penyusutan berdasarkan standar akuntansi komersial. Tetapi saat akan lapor SPT Tahunan, maka penyusutan fiskal wajib hukumnya dibuat. Dan jika ada selisih antara jumlah penyusutan fiskal dengan penyusutan komersial, maka dilakukan koreksi fiskal.
Penggolongan Biaya Untuk Memudahkan Koreksi Fiskal
Tidak semua biaya terkait sumber daya manusia (SDM) dapat dibiayakan. Ada gaji atau upah yang menurut Undang-undang PPh harus dipotong dan ada yang tidak. Untuk memudahkan koreksi fiskal biaya SDM, perlu dibuat “peta” pengeluaran tersebut.
Biaya promosi yang boleh dibiayakan adalah biaya promosi yang dibuatkan Daftar Nominatif dan dilaporkan di SPT Tahunan sebagai lampiran. Selain itu, pengisian Daftar Nominatif juga harus sesuai ketentuan. Jika tidak ada Daftar Nominatif atau ada Daftar nominatif tapi tidak sesuai ketentuan maka tidak boleh dibiayakan.