fbpx

Memaksimalkan Fasilitas PPN Tidak Dipungut atas Alat dan Jasa Angkutan Tertentu

Fasilitas PPN Tidak Dipungut atas Alat dan Jasa Angkutan Tertentu
gambar dari antaranews.com

Tahukah anda perbedaan PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut? Kedua istilah ini hampir sama. Kenyataannya sama-sama tidak memungut PPN walaupun PKP menerbitkan faktur pajak. Tetapi tidak memungutnya disebabkan oleh alasan yang berbeda. Bagi pengusaha, kebijakan yang paling menguntungkan adalah PPN tidak dipungut. Silakan dicermati! 

PPN dibebaskan itu artinya tidak ada pajak keluaran. Walaupun pengusaha menerbitkan faktur pajak, tetapi faktur pajak tersebut dibebaskan. Karena dibebaskan maka dianggap tidak ada. Ya, tidak ada PPN yang dipungut. 

Karena tidak ada faktur pajak keluaran, maka pengusaha yang menerbitkan faktur pajak “PPN Dibebaskan” tidak boleh mengkreditkan pajak masukan. Apa artinya? PPN yang dibayar pada saat perolehan barang atau jasa akan melekat ke harga pokok. Pengusaha akan menganggap pajak masukan sebagai biaya (PPN dibiayakan).

Sebaliknya, PPN tidak dipungut itu artinya ada pajak keluaran tetapi tidak dipungut. Pajak keluaran “dibiarkan” saja tidak dipungut oleh pengusaha. Praktisnya, pemerintah tidak mewajibkan memungut PPN tersebut. Pengusaha tetap menerbitkan faktur pajak.

Karena pajak keluaran ada, maka pada PPN tidak dipungut, pengusaha dapat mengkreditkan pajak masukan. Secara hitung-hitungan, PPN tidak dipungut akan berdampak seperti ekspor. Atas PPN yang sudah dibayar oleh pengusaha pada saat perolehan barang, pengusaha dapat meminta kembali kepada Negara melalui mekanisme restitusi.

PPN tidak dipungut boleh mengkreditkan pajak masukan secara tegas disebutkan di Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 2015.

Jadi keuntungan pengusaha kena pajak dengan PPN tidak dipungut adalah bahwa atas barang atau jasa yang diserahkan benar-benar bersih PPNseperti tidak dikenai pajak”. Dengan demikian, harga barang yang dibayar konsumen seharusnya akan lebih murah.

Untuk memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut, pengusaha harus mengajukan permohonan  Surat Keterangan Tidak Dipungut PPN (SKTD) ke kantor pajak dimana pengusaha terdaftar. SKTD ini ada dua jenis, yaitu: ada yang berlaku setiap kali transaksi, dan ada yang berlaku sampai dengan 31 Desember tahun diajukan permohonan. 

Secara lengkap syarat-syarat permohonan dan daftar BKP yang mendapat fasilitas ini dapat dilihat di bagian lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 193/PMK.03/2015

contoh permohonan Surat Keterangan Tidak Dipungut PPN (SKTD)



Peraturan Menteri Keuangan nomor 193/PMK.03/2015 memberikan fasilitas lebih banyak dibandingkan saat PPN dibebaskan. Pengusaha yang dapat memanfaatkan fasilitas PPN tidak dipungut juga lebih banyak. 

Pihak yang mengajukan SKTD adalah importir dan penerima barang atau jasa. Jadi bukan penerbit faktur pajak. Tetapi jika penerbit faktur pajak menerima SKTD dari pembeli maka atas faktur pajak tersebut diberi cap “PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015”

Tulisan “PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015” dicap di faktur pajak dan PIB dengan menuliskan nomor dan tanggal SKTD.

Untuk memperoleh SKTD ini:

  • Wajib Pajak,
  • Kementerian Pertahanan,
  • Tentara Nasional Indonesia, dan
  • Kepolisian Negara Republik Indonesia

harus mengajukan permohonan SKTD kepada Direktur Jenderal Pajak c. q. KPP terdaftar dengan melampirkan rincian alat angkutan tertentu yang akan diimpor atau diperoleh.

Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan SKTD:

  • Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa angkutan laut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia atau kapal asing atas dasar sewa untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, yang menggunakan kapal untuk kegiatan memuat dan mengangkut serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  • Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan Jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Perusahaan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa pelayaran angkutan sungai, danau, dan penyeberangan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum berupa kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian berupa jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.



Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Petunjuk Pelaksana Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

Manfaatkan penghapusan sanksi administrasi di tahun 2015

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-40/PJ/2015 lebih banyak ditujukan untuk internal DJP. Terutama terkait dengan bagaimana permohonan penghapusan sanksi yang diajukan oleh Wajib Pajak diselesaikan. Apakah permohonan diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 91/PMK.93/2015 atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 8/PMK.03/2013. Kedua peraturan mengatur pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. 

Setelah membaca  SE-40/PJ/2015 saya berkesimpulan bahwa poin utama pemanfaatan Peraturan Menteri Keuangan nomor 91/PMK.93/2015 adalah:

  • penyampaian SPT Tahunan yang belum dilaporkan (terlambat), atau
  • penyapaian SPT Tahunan Pembetulan

yang dilakukan pada tahun 2015. Kesimpulan ini berdasarkan bagian “E. Materi” SE-40/PJ/2015 Mungkin kesimpulan salah tapi baiknya saya tampilkan matriknya:

Matrik penyelesaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
untuk memperjelas, klik dibagian gambar

CONTOH-CONTOH
SE-40/PJ/2015 juga memberikan contoh-contoh bagaimana penyelesaian permohonan penghapusan sanksi administrasi. Contoh-contoh ini memberikan pemahaman tentang ruang lingkup Peraturan Menteri Keuangan nomor 91/PMK.93/2015.  

Berikut saya copas:

Contoh 1:
PT ABC menyampaikan SPT Tahunan Tahun Pajak 2013 pada tanggal 27 Februari 2015 dengan status NIHIL. Atas keterlambatan penyampaian SPT tersebut, diterbitkan STP Pasal 7 Undang-Undang KUP pada tanggal 27 Maret 2015. Wajib Pajak mengajukan permohonan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi. Apabila:

  • Wajib Pajak mengaju kan permohonan sebelum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 berlaku (30 April 2015) maka Kantor Wilayah menghimbau Wajib Pajak untuk mencabut pengajuan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi sekaligus mengaju kan kembali permohonan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015.
  • Wajib Pajak mengajukan permohonan setelah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 berlaku, maka sanksi administrasi alas denda lersebul dihapuskan seluruhnya (Rp 1.000.000)



Contoh 2:
Tanggal 14 April 2015, KPP menerbilkan STP atas sanksi adminislrasi berupa denda Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang KUP kepada Wajib Pajak Badan yang belum menyampaikan SPT Tahunan Badan Tahun Pajak 2013. Tanggal 7 Mei 2015, Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Badan Tahun Pajak 2013.
 

Penyelesaian permohonan:
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi atas STP tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 .


Contoh 3:
PT B membayar kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2014 pada tanggal 4 Mei 2015 sebesar Rp 10.000 .000 dan menyampaikan SPT nya pada tanggal 6 Mei 2015. KPP menerbitkan STP pada tangga l 23 Juli 2015. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi pada tanggal 6 Agustus 2015.

Penyelesaian Permohonan:
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015
a. Pasal 7 Undang-Undang KUP Rp 1.000.000 (Dihapuskan seluruhnya)
b. Bunga Pasal 9 ayat (2b) (1 x 2 % x Rp 10.000.000) Rp 200.000 (Dihapuskan seluruhnya)

Contoh 3a:
PT B membayar kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2013 pada tanggal 4 Desember 2014 sebesar Rp 10.000.000 dan menyampaikan SPT nya pada tanggal 6 Januari 2015. KPP menerbitkan STP pada tanggal 23 Juli 2015. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi pada tanggal 6 Agustus 2015.

Penyelesaian Permohonan:
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015
a. Pasal 7 Undang-Undang KUP Rp 1.000.000 (Dihapuskan seluruhnya)
b. Bunga Pasal 9 ayat (2b) (8 x 2 % x Rp 10.000.000) Rp 1.600.000 (Dihapuskan seluruhnya)

Contoh 3b:
PT B membayar kekuran gan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2014 pada tanggal 4 Desember 2015 sebesar Rp 10.000.000 dan menyampaikan SPT nya pada tanggal 6 Januari 2016. KPP menerbitkan STP pada tanggal 23 Juli 2016. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi pada tangga 16 Agustus 2016.

Penyelesaian Permohonan:
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi atas STP tersebut sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 , namun dapat mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013.




Contoh 4:
PT. ABC menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 pada tanggal 20 Mei 2015. Pada tanggal 10 Juni 2015, KPP menerbitkan STP atas sanksi administrasi total Rp 11.000.000 dengan rincian :
a. denda Pasal 7 Undang-Undang KUP : Rp 1.000.000
b. bunga Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP : Rp 10.000.000

Pada tanggal 24 Juni 2015, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi. Apabila :

1. Wajib Pajak belum membayar STP

Penyelesaian permohonan :
Sanksi administ rasi berupa denda Rp 1.000.000 dan bunga Rp 10.000.000 dihapuskan seluruhnya sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015

2. Pada tanggal 20 Juni 2015 , Sanksi administrasi (senilai Rp 7.000.000) dalam STP telah diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak (potongan SPM Rp 7.000.000)

Penyelesaian permohonan:
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015:
a. Sanksi administrasi berupa denda Rp. 1.000.000 dan bunga Rp. 10.000.000 dihapuskan seluruhnya;
b. Kelebihan pembayaran sebesar Rp 7.000.000 dikembalikan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1a) Undang-undang KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitun gan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

3. Pada tanggal 20 Juni 2015, WP membayar sebagian STP (senilai Rp 1.000.000)

Penyelesaian permohonan:
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, sanksi administrasi yang dapat dihapuskan (sebagian) adalah Rp. 10.000.000

4. Pada tanggal 20 Juni 2015, WP membayar seluruh STP (Rp 11.000.000)

Penyelesaian permohonan:
Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Wajib Pajak tidak dapat diberikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015. (tidak dapat dihapuskan karena sudah lunas).




Contoh 5:
Tanggal 3 Desember 2014, Wajib Pajak membetulkan SPT Masa PPN Masa Pajak September 2014, atas pembetulan tersebut KPP menerbitkan STP pada tanggal 5 Maret 2015, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi atas STP tersebut.

Penyelesaian permohonan:
Permohonan diselesaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013.


Contoh 5a:
Tanggal 3 Desember 2014, Wajib Pajak membetulkan SPT Masa PPN Masa Pajak September 2014, atas pembetulan tersebut KPP menerbitkan STP pada tanggal 4 Maret 2016, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi atas STP tersebut.

Penyelesaian permohonan:
Permohonan diselesaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013.




Contoh 5b:
Tanggal 3 Desember 2015, Wajib Pajak membetulkan SPT Masa PPN Masa Pajak September 2014, atas pembetulan tersebut KPP menerbitkan STP pada tanggal 3 Maret 2016, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan Sanksi Administrasi atas STP tersebut.

Penyelesaian permohonan:
Wajib Pajak dapat mengajukan Administrasi atas STP tersebut sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 91/PMK.03/2015.




Contoh 6:
SPT Masa PPN Masa Pajak September 2014 dilaporkan oleh Wajib Pajak pada tanggal 13 November 2014. Atas Keterlambatan penyampaian tersebut STP diterbitkan pada tanggal 5 Januari 2015. Kemudian Wajib Pajak menyampaikan SPT Pembetulan dan melunasi kekurangan bayar pada tanggal 25 Maret 2015, kurang bayar sebesar Rp 3.000.000 dan STP diterbitkan atas kurang bayar tersebut pada tanggal 20 Mei 2015, Wajib Pajak belum membayar kedua STP tersebut.

Penyelesaian Permohonan:
1. STP atas denda Rp 500.000 (Pasal 7 UU KUP) diselesaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013.
(ini STP atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN. SPT disampaikan tanggal 13 November 2014)
2. STP atas bunga (5 x 2% x Rp 3.000.000) = Rp Rp 300.000 diselesaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015.

(ini STP atas keterlambatan pembayaran. Wajib Pajak bayar tanggl 25 Maret 2015)


Nah, silakan membetulkan SPT Tahunan dan/atau SPT Masa di tahun 2015. Kemudian mengajukan penghapusan sanksi administrasi.  

Copy File permohonan penghapusan sanksi dan surat pernyataan, sila unduh bagi yang butuh.



Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 

Supaya Tidak Lebih Bayar

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013, banyak Wajib Pajak yang harus menghitung penghasilan hanya 1% saja.
Memang ada beberapa Wajib Pajak yang dirugikan dengan ketentuan ini disebabkan tarif flat.
Dalam kondisi usaha masih rugi, maka membayar PPh 1% dari omset tentu dianggap tidak adil karena seharusnya malah tidak bayar sama sekali. Masih rugi! Tetapi lebih banyak yang diuntungkan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 karena jika menggunakan ketentuan umum UU PPh, tarif efektif akan lebih besar.
Artinya Wajib Pajak ini dapat diskon. Hanya saja ada beberapa ketentuan Pemotongan dan Pemungutan yang tarifnya masih lebih tinggi dari  Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013. Akibatnya nanti bisa lebih bayar. Nah, bagaimana supaya tidak lebih bayar?

Tanggal 25 September 2013 telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan Dari Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertent. Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final 1% dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pemotongan PPh mana saja yang dapat dimintakan Surat Keterangan Bebas (SKB)? Permohonan SKB diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan menurut  PER – 32/PJ/2013 yaitu:
* Pajak Penghasilan Pasal 21,
* Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 22 impor, dan/atau
* Pajak Penghasilan Pasal 23.

Berikut sedikit uraian tarif dan cara menghitung masing-masing jenis PPh supaya ada gambaran kelebihan pajaknya dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.

Pajak Penghasilan Pasal 21
Ada beberapa Wajib Pajak Orang Pribadi yang bukan pegawai pada saat menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi penghasilan. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-31/PJ/2012 bahwa:
bukan pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada Bukan Pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan adalah imbalan kepada Bukan Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Atas penghasilan yang diterima bukan pegawai yang menerima imbalan berkesinambungan:
Penghasilan Kena Pajak (PKP) =  (50% x Penghasilan Bruto) – PTKP per bulan
PPh Pasal 21 Terutang = Jumlah kumulatif PKP x tarif Pasal 17

Atas penghasilan yang diterima bukan pegawai yang menerima imbalan TIDAK berkesinambungan:
PPh Pasal 21 Terutang = Penghasilan Bruto x 50%  x tarif Pasal 17

Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh Pasal 22 yang dipotong oleh Bendaharawan Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran, serta Badan Usaha Milik Negara berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
PPh Pasal 22 terutang = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN

PPh Pasal 22 yang dipotong oleh Wajib Pajak Badan atas penjualan barang sangat mewah. Menurt PMK-253/2008, barang yang tergolong sangat mewah yaitu:
a. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000,000.000,00 (dua puluh milyar rupiah);
b. kapal pesiar dan sejenisnya dengan- harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);
c. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus meter persegi);
d.apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/ atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat ratus meter persegi);
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor
Importir API (angka pengenal impor) sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;

Importir yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

Atas impor yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang

Pajak Penghasilan Pasal 23
Objejak PPh Pasal 23 dapat dibagi dua:
passive income, yaitu deviden, bunga, royalti, sewa, dan hadiah
active income, yaitu jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain

Penghasilan yang bersinggungan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 adalah yang penghasilan dari usaha alias active income. Ketentuan Pasal 23 UU PPh menentukan bahwa atas penghasilan tersebut dipotong sebesar 2% oleh pemberi penghasilan.Padahal bisa saja yang dipotong tersebut menghitung PPh terutangnya dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yaitu hanya 1% saja! Akibatnya pada akhir tahun akan lebih bayar. Supaya tidak lebih bayar maka saat menerima penghasilan, tidak perlu dipotong.

Jenis penghasilan yang dipotong 2% yang termasuk usahayaitu:
[1.] Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah  penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati ;

[2.] Jasa teknik adalah merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
c. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.

[3.] Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.

[4.] Jasa konsultan adalah pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.

[5.] Jasa Lain, yaitu:
[5.a.] Jasa penilai (appraisal);
[5.b.] Jasa aktuaris;
[5.c.] Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestasi laporan keuangan;
[5.d.] Jasa perancang (design);
[5.e.] Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
[5.f.] Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
[5.g.] Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
[5.h.] Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
[5.i.] Jasa penebangan hutan;
[5.j.] Jasa pengolahan limbah;
[5.k.] Jasa penyedia tenaga kerja outsourcing services;
[5.l.] Jasa perantara dan/atau keagenan;
[5.m.] Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
[5.n.] Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuai ayng dilakukan oleh KSEI;
[5.o.] Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
[5.p.] Jasa mixing film;
[5.q.] Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
[5.s.] Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
[5.t.] Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kable, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
[5.u.] Jasa maklon;
[5.v.] Jasa penyelidikan dan keamanan;
[5.w.] Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
[5.x.] Jasa pengepakan;
[5.y.] Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
[5.z.] Jasa pembasmian hama;
[5.aa.] Jasa kebersihan atau cleaning service;
[5.ab.] Jasa catering atau tata boga.

Surat Keterangan Bebas 
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas yang ditandatangani Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.

Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan  diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
[1.]  telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas;

[2.] menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;

[3.] menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya;

[4.] ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP

Permohonan  diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23. Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menentukan keputusan:
menerima, atau
menolak 
permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap. Jika lewat dari lima hari kerja belum juga ada keputusan permohonan maka permohonan dianggap diterima. Dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Keterangan Bebas.

Satu hal yang mungkin menggembirakan bagi Wajib Pajak dan para petugas di KPP adalah ketentuan bahwa Surat Keterangan Bebas berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Artinya tidak perlu mengajukan permohonan untuk setiap transaksi. Sekali terbit SKB di tahun yang bersangkutan maka berlaku sampai dengan 31 Desember.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

saat dimulainya berproduksi

Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A UU PPh 1984 dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan selamat 5 tahun sampai dengan 10 tahun terhitung sejak dimulainya produksi komersial. Saat dimulainya berproduksi secara komersial ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Tata Cara Penetapan Saat Dimulainya Berproduksi Secara Komersial diatur di Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-45/PJ/2011. Dibawah ini copas ketentuan dari perdirjen dimaksud.

Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dapat memanfaatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sepanjang memenuhi persyaratan:
[a.] telah merealisasikan seluruh rencana penanaman modal; dan
[b.] telah berproduksi secara komersial (saat seluruh penanaman modal direalisasikan, dan saat penjualan hasil produksi ke pasaran dilakukan).

Saat dimulainya berproduksi secara komersial diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan untuk tujuan lain atas permohonan tertulis Wajib Pajak. Permohonan tertulis diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan format seperti dibawah ini (untuk memperbesar silakan di klik di gambarnya):

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil,  kuasa,  atau pegawai dari Wajib Pajak. Apabila jangka waktu 2 bulan telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu tersebut berakhir.

Tax Holiday

Tax holiday adalah pembebasan pajak penghasilan badan untuk Wajib Pajak tertentu. Pengalaman Indonesia, Wajib Pajak yang masih mendapatkan fasilitas tax holiday selalu menunjukkan untung atau laba dan memberikan dividen bagi pemegang saham. Tetapi begitu fasilitas tax holiday sudah habis, maka Wajib Pajak tersebut berubah menjadi perusahaan yang merugi
Tentu saja tida semua Wajib Pajak seperti itu. Tetapi berdasarkan informasi dari lisan ke lisan, secara umum karakteristiknya seperti itu. Itulah salah satu alasan kenapa DJP sebelumnya menghindari memberikan fasilitas tax holiday. Tetapi karena desakan dari instansi lain dan persaingan dengan Negara lain, mulai 2011 Indonesia mengeluarkan kebijakan tax holiday yang diatur lebih detil di Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011.
Beleid tax holidayternyata langsung disambut oleh dunia industri. Sejak Desember 2011 setidaknya sudah tujuh perusahaan yang sudah mengajukan tax holiday. Menurut Kontan, tiga dari tujuh perusahaan yang sudah meminta fasilitas tax holiday tersebut itu:
1. PT Krakatau Posco
2. PT Indorama Synthetics Tbk
3. PT Chandra Asri Petrochemical Tbk
Kalau untuk perusahaan baru, seperti PT Krakatau Posco diatas, mungkin saja bisa mengubah-ubah laba perusahaan. Kalau pegawai atau konsultan pajak perusahaan tersebut canggih, bisa saja membuat yang laba menjadi rugi. Itulah pekerjaan tax planner, mereka dibayar mahal agar memberikan manfaat ekonomis bagi pemegang saham.
Tetapi jika perusahaan terbuka, maka ada kendala dengan aturan di pasar modal yang lebih ketat dan terbuka.  Jadi, sangat tidak logis jika tiba-tiba perusahaan terbuka menjadi rugi gara-gara fasilitas tax holiday habis.
Dan tentu saja teman-teman di lapangan juga tidak akan menerima begitu saja laporan kinerja keuangan Wajib Pajak yang mendapat tax holiday. Sekarang di KPP juga ada petugas account representative yang memonitas kinerja Wajib Pajak. Ditambah lagi, pemeriksa pajak sekarang relatif lebih banyak mendapatkan diklat, baik yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Pajak maupun internal DJP.
Jadi, sinyalemen di awal, atau pengalaman yang lama kemungkinan besar tidak akan terulang. Semoga.

Fasilitas Pembebasan Pajak

Ini tentu berita baik bagi para pebisnis besar. Bagi kalangan UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro) tidak termasuk.
Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan PPh Badan.
Ah, siapa pula yang menolak bebas bayar pajak?

Bermula dari Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Saya kutip dulu Pasal 29 PP 94/2010:

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Kemudian Menteri Keuangan memberikan pembebasan PPh Badan untuk jangka waktu paling lama sepuluh tahun dan paling singkat lima tahun, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial.

Tidak hanya itu, setelah fasilitas pembebasan PPh Badan berlalu, si industri pionir juga bisa memanfaatkan fasilitas pengurangan PPh Badan sebesar 50% selama dua tahun.

Artinya, 10 tahun pertama bebas PPh Badan dan 2 tahun kemudian dapat diskon 50% PPh Badan.

Wah ……. fasilitas ini seharusnya lebih menarik daripada fasilitas tax holiday yang sering diberikan cuma 10 tahun saja.

Siapa Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPh Badan dan diskon PPh Badan? Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011 menyebutkan:
[1]. merupakan Industri Pionir;

[2]. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);

[3]. menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan

[4]. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011 mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya PMK ini.

ditambah syarat:
[5]. telah merealisasikan seluruh penanaman modalnya dan
]6]. telah berproduksi secara komersial.

Siapa yang dimaksud industri pionir?
[a]. Industri logam dasar;
[b]. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
[c]. Industri permesinan;
[d]. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau
[e]. Industri peralatan komunikasi.

Para industri pionir yang meminta fasilitas pembebasan PPh Badan ini harus mengajukan permohonan dulu ke Kementrian Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Kementrian Perindustrian atau Kepala BKPM kemudian menyampaikan ke Menteri Keuangan dengan melampirkan fotokopi:
[1]. kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
[2]. surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan dilengkapi dengan rinciannya; dan
[3]. bukti penempatan dana di perbankan di Indonesia

ditambah uraian penelitian mengenai:
[4]. ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi;
[5]. penyerapan tenaga kerja domestik;
[6]. kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai Industri pionir;
[7]. rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret; dan
[8]. adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili.

Tax sparing adalah pengakuan pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan dari Indonesia dalam penghitungan Pajak Penghasilan di negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan.

Menteri Keuangan kemudian menugaskan Komite Ferivikasi untuk melakukan penelitian dan verifikasi dengan mempertimbangkan dampak strategis bagi perekonomian Indonesia.

Jika hasilnya positif, maka Menteri Keuangan kemudian akan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.

Berdasarkan KMK ini, maka para mitra bisnis industri pionir tidak boleh melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atau withholding taxes lainnya dengan syarat penghasilan tersebut terkait langsung KMK yang diterbitkan Menteri Keuangan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Fasilitas Pasal 31E

Fasilitas Pasal 31 E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan [UU PPh] bukan merupakan pilihan.
Inilah penegasan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 tanggal 24 Mei 2010. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31 E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan [SPT] Tahunan PPh Badan.
Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31 E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Peredaran bruto adalah penjualan atau penerimaan hasil usaha. Dalam Laporan Laba Rugi (income statement) sering dibedakan antara penghasilan yang berasal dari usaha dan non usaha.

Nah istilah peredaran bruto adalah penghasilan bruto (sebelum dikurangi harga pokok dan biaya) yang berasal dari usaha. Sehingga maksud peredaran bruto sebesar Rp50.000.000.000,00 jelas tidak termasuk penghasilan lain-lain yang berasal dari penghasilan non usaha.

Silakan perhatikan contoh menghitung PPh di SE-66/PJ/2010 berikut :


 

%d