fbpx

Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

raden agus suparman : tata cara penerapan P3B
Kewenangan otoritas pajak Indonesia memungut pajak dari orang asing atau Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) adalah Pasal 26 Undang-Undang PPh. Pasal ini mewajibkan kepada semua pemberi penghasilan di Indonesia untuk memotong penghasilan sesorang sebelum penghasilan tersebut diterima oleh orang luar (SPLN). Tarif yang berlaku di Pasal 26 adalah 20%. Tetapi dasar pengenaaan Pasal 26 ada dua yaitu, bruto yang seharusnya diterima dan perkiraan penghasilan neto.
 
Tetapi, ada beberapa pengecualian. Pemberi penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan Pasal 26 Undang-Undang PPh, tetapi menggunakan tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Direktur Jenderal Pajak telah mengatur tata cara penerapan P3B dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017.
 
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017 mengatur syarat-syarat SPLN dapat memanfaatkan P3B. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dalam hal:

  1. terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan ketentuan yang diatur dalam P3B;
  2. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  3. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  4. WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya;
  5. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  6. enerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Membuat Bukti Potong

Setiap Wajib Pajak yang memotong Pajak Penghasilan wajib hukumnya membuat bukti potong. Ketentuan ini berlaku baik penerima penghasilan berstatus Wajib Pajak dalam negeri atau Wajib Pajak luar negeri. 

Jika penerima penghasilan Wajib Pajak luar negeri maka bukti potong disebut bukti potong PPh Pasal 26. Sedangkan, jika penerima penghasilan merupakan Wajib Pajak dalam negeri maka bukti potong dapat berupa PPh Pasal 21 form 1721-A1, bukti potong PPh Pasal 23, atau bukti potong PPh Pasal 4 (2). Ini salah satu prinsip equal treatment yaitu perlakuanyang sama bagi bagi Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar ngeri, semuanya dikenai withholding taxes..

Bukti potong setidaknya dibuat dua: satu untuk penerima penghasilan yang penghasilannya dipotong PPh. Kedua, untuk dilaporkan dalam SPT Masa PPh. 
Adapun tarif yang digunakan menyesuaikan dengan dasar pengenaan. Jika dasar pengenaan Pasal 26 tanpa memanfaatkan P3B, maka tarif 20%. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan P3B maka tarif yang digunakan adalah tarif P3B.

Tarif Pasal 26 sebesar 20% dengan dasar pengenaan bruto yaitu semua penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN berupa:
  1. Deviden;
  2. Bunga termasuk Premium,Diskonto dan Imbalan jaminan pengembalian hutang;
  3. Royalty;
  4. Sewa;
  5. Penghasilan penggunaan harta
  6. Imbalan sehubungan dengan jasa pekerjaan dan kegiatan;
  7. Hadiah & penghargaan;
  8. Pensiun & pembayaran berkala lainnya;
  9. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/ atau
  10. keuntungan karena pembebasan utang.
PPh Pasal 26 yang sudah dipotong wajib disetorkan ke kas negara. Pemotong wajib membuat kode biling dulu di sse3.pajak.go.id. Berdasarkan kode biling, PPh Pasal 26 baru dapat disetorkan ke kas negara. Adapun kode pajak untuk PPh Pasal 26 adalah Penyetoran menggunakan kode 411127 dan : 
  • kode bayar 101 untuk deviden, 
  • kode bayar 102 untuk bunga, 
  • kode bayar 103 untuk royalti, 
  • kode bayar 104 untuk jasa, dan 
  • kode bayar 100 untuk selain deviden, bunga, royalti.
 
Penjualan atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yang diperoleh WP Luar Negeri dikenai tarif 20% dan penghasilan neto 25% berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2009. Artinya tarif efektif sebesar 5% dari harga jual. Tarif efektif 5% berasal dari tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dikalikan dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 25%.
Penjualan harta yang dimaksud dapat berupa penjualan : perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Tarif efektif sebesar 5% juga berlaku bagi penjualan saham dari perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dan dimiliki oleh SPLN. Ketentuan ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 434/KMK.04/1999.

Contoh: Mr. Sing, seorang warga negera Malaysia dan tinggal di Malaysia,memiliki saham PT Pasti Untung. Setelah sukses membesarkan perusahaan, dia menjual saham PT Pasti Untung ke Tn. Agus, seorang warga negara Indonesia dan tinggal di Indonesia. Atas transaksi ini maka Tn Agus wajib memotong PPh Pasal 26 dan wajib menyetorkan ke kas negara dengan kode pajak 411127-100.


Tetapi jika Mr. Sing menjual ke orang asing lagi, misal Mr Lay yang tinggal di Malaysia, maka yang berkewajiban menyetor PPh Pasal 26 adalah PT Pasti Untung.

Dalam hal penghasilan yang dibayarkan ke Wajib Pajak luar negeri berupa premi asuransi, maka tarif efektif sebagai berikut :

  • tarif efektif 10% dari premi yang dibayarkan oleh pihak yang tertanggung kepada perusahaan asuransi LN. Pemotong pajak adalah tertanggung.
  • tarif efektif 2% dari premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi LN. Pemotong Pajak adalah perusahaan asuransi di Indonesia. 
  • tarif efektif 1% dari premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di LN. Pemotong pajak adalah perusahaan reasuransi di Indonesia.

Ketentuan tarif efektif PPh Pasal 26 bagi penghasilan berupa premi asuransi diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994.


Perbedaan Antara Ketentuan Yang Diatur Dalam Undang-Undang PPh Dan Ketentuan Yang Diatur Dalam P3B
Konon kabarnya, sejarah P3B adalah semangat masing-masing negara untuk memungut pajak sebesarnya, termasuk ke wajib pajak yang berkedudukan di luar negeri. Akibatnya, SPLN mengalami pajak berganda, yaitu pemajakan di negara sumber (asal penghasilan) dan pemajakan di negera domisili (tempat kedudukan). 


Untuk menghilangkan pajak berganda tersebut, dibuatlah tax treaty (P3B). Sehingga dapat dimengerti jika fungsi P3B adalah menghilangkan hak pemajakan negara sumber, atau menurunkan tarif sesuai kesepakatan. Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. SPLN dapat memanfaatkan tarif P3B jika yang bersangkutan memperlihatkan Surat Keterangan Domisili atau Certificate of Residence.

Berikut contoh tarif P3B antara Indonesia dengan mitra perjanjian :
NO
NEGARA
BRANCH PROFIT TAX
DIVIDEN
BUNGA & ROYALTI
Tarif BPT
Pengecualian untuk perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH)
DIVIDEN
BUNGA
ROYALTI
PORTFOLIO
PENYERTAAN LANGSUNG
Umum
Khusus
Umum
Khusus
1
Algeria
10%
Tidak ada
15%
15%
15%
15%
2
Australia
15%
Ya
15%
15%
10%
15%
10%40
3
Austria
12%
Ya
15%
10%10
10%
10%
4
Bangladesh
10%
Ya
15%
10%10
10%
10%
5
Belgium
15%
Tidak
15%
15%
10%
10%
6
Brunei Darussalam
10%
Ya
15%
15%
15%
15%
7
Bulgaria
15%
Ya
15%
15%
10%
10%
8
Canada
15%
Ya
15%
15%
15%
15%
9
Czech
12,50%
Ya
15%
10%13
12,50%
12,50%
10
China
10%
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
11
Denmark
15%
Ya
20%
10%14
10%
15%
12
Egypt
15%
Ya
15%
15%
15%
15%
13
Finland
15%
Ya
15%
10%15
10%
15%
10%41
14
France
10%
Tidak
15%
10%16
15%
10%42
10%
15
Germany
10%
Tidak
15%
10%17
10%
15%
10%43
16
Hongkong
5%
ya
10%
5%
10%
5%
17
Hungary
Tidak ada
Tidak ada
15%
15%
15%
15%
18
India
10%
Ya
15%
10%18
10%
15%
19
Italy
12%
Ya
15%
10%19
10%
15%
10%44
20
Iran
7%
Tidak ada
7%
7%
10%
12%
21
Japan
10%
Ya
15%
10%20
10%
10%
22
Jordan
Tidak ada
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
23
Korea Selatan (Korea, Republic of)
10%
Ya
15%
10%21
10%
15%
24
Korea Utara (Korea, Democratic People’s Republic of)
10%
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
25
Kroasia
10%
ya
10%
10%
10%
10%
26
Kuwait
10%
Ya
10%
10%
5%
20%
27
Luxembourg23
10%
Ya
15%
10%22
10%
12,50%
28
Malaysia
12.5%
Ya
10%
10%
10%
10%
29
Maroko
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
30
Mexico
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
31
Mongolia
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
32
Netherlands
9%
Tidak
15%
10%
10%
20%
-Renegosiasi
9%
Tidak
15%
10%24
10%
10%
-Renegosiasi II [2]
10%
Tidak Ada
33
New Zealand
Tidak ada
Tidak ada
15%
15%
10%
15%
34
Norway
15%
Ya
15%
15%
10%
15%
10%45
35
Pakistan
10%
Tidak ada
15%
10%25
15%
15%
36
Philippines, The
20%
Tidak ada
20%
15%26
15%
10%53
15%
37
Poland
10%
Ya
15%
10%27
10%
15%
38
Portugal
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
39
Qatar
10%
Ya
10%
10%10
10%
5%
40
Romania
12,50%
Tidak ada
15%
12,5%28
12,50%
12,50%
15%46
41
Russia
12,50%
Ya
15%
15%
15%
15%
42
Saudi Arabia8
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
n/a
n/a
n/a
n/a
43
Seychelles
Tidak ada
Tidak ada
10%
10%
10%
10%
44
Singapore
15%
Ya
15%
10%29
10%
15%
45
Slovak
10%
Ya
10%
10%
10%
15%
10%47
46
South Africa
10%
Ya
15%
10%30
10%
10%
47
Spain
10%
Ya
15%
10%31
10%
10%
48
Sri Lanka
sesuai UU domestik
Tidak ada
15%
15%
15%
15%
49
Sudan
10%
Ya
10%
10%
15%
10%
50
Sweden
15%
Ya
15%
10%32
10%
15%
10%48
51
Switzerland
10%
Ya
15%
10%33
10%
10%
52
Syria
10%
Ya
10%
10%
10%
20%
15%49
53
Taiwan
5%
Ya
10%
10%
10%
10%
54
Thailand34
sesuai UU
Tidak ada
(RI)15%
(RI)    15%
(RI)  15%
10%
10%
15%50
domestik
(Thai)25%
(Thai) 15%
(Thai)25%
55
Tunisia
12%
Ya
12%
12%
12%
15%
56
Turkey
15%
Ya
15%
10%35
10%
10%
57
U.A.E
5%
Tidak
10%
10%
5%
5%
58
Ukraine
10%
Ya
15%
10%36
10%
10%
59
United Kingdom
10%
Tidak
15%
10%
10%
15%
15%
-Renegosiasi
10%
Ya
15%
10%37
10%
15%
10%51
60
United States
15%
Ya
15%
15%
15%
15%
10%
-Renegosiasi
10%
Ya
15%
10%38
10%
10%
61
Uzbekistan
10%
Ya
10%
10%
10%
10%
62
Venezuela
10%
Ya
15%
10%39
10%
20%
10%52
63
Vietnam
10%
Ya
15%
15%
15%
15%
 
Penerima Penghasilan Bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia
Ini adalah syarat kedua sesuai Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017. Hal ini dapat dimengerti karena Pasal 26 mengatur penerima penghasilan SPLN. Dalam hal penerima penghasilan subjek pajak dalam negeri, maka dipotong PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat (2).

Syarat berikutnya adalah penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Artinya tidak mungkin SPLN dari negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia memanfaatkan P3B. Petugas pajak pasti nanya, “P3B mana yang dipakai?”


WPLN Menyampaikan SKD WPLN Yang Telah Memenuhi Persyaratan Administratif Dan Persyaratan Tertentu Lainnya

Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah bukti kependudukan bagi perpajakan. Seseorang mengaku dari Negara A hanya dapat dibuktikan oleh SKD, bukan passport. SKD ini merupakan bukti formal kedudukan seseorang.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017 mengatur bahwa SKD WPLN memenuhi persyaratan administratif dalam hal :
  1. menggunakan Form DGT-1 atau Form DGT-2
  2. diisi dengan benar, lengkap dan jelas
  3. ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
  4. disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
  5. digunakan untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN; dan
  6. disampaikan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak bersamaan dengan penyampaian SPT Masa, paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
Penandasahan (lihat nomor 4 diatas) oleh Pejabat yang Berwenang dapat digantikan dengan Certificate of Residence yang harus memenuhi ketentuan: 
  • menggunakan bahasa Inggris;
  • berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  • paling sedikit mencantumkan informasi mengenai nama WPLN, tanggal penerbitan, dan tahun pajak berlakunya Certificate of Residence; dan
  • mencantumkan nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
Certificate of Residence tidak menggantikan Form DGT-1 atau Form DGT-2. Dalam hal WPLN menggunakan Certificate of Residence, WPLN tetap wajib mengisi Form DGT-1 selain Part III atau Form DGT-2 selain Part III.
Form DGT-2 digunakan oleh:
  • WPLN bank,
  • WPLN berbentuk dana pensiun, atau
  • WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen.

Sedangkan Form DGT-1 digunakan oleh WPLN selain WPLN yang menggunakan Form DGT-2.

Penyalahgunaan P3B
Salah satu syarat pemanfaatan P3B adalah tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Penyalahgunaan P3B terjadi dalam hal tujuan utama atau salah satu tujuan utama pengaturan transaksi adalah untuk mendapatkan Manfaat P3B serta bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B. 
Penyalahgunaan P3B tidak terjadi dalam hal WPLN memiliki:
  1. substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
  2. bentuk hukum (legal form) yang sama dengan substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
  3. kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi;
  4. aset tetap dan aset tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
  5. pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
  6. kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
Keenam syarat tersebut adalah batasan agar P3B dipergunakan sebagaimana seharusnya. Bisa juga dipandang sebagai syarat memanfaatkan P3B. Jika keenam syarat tersebut tidak terpenuhi maka terjadi penyalahgunaan dan tidak dapat memanfaatkan P3B. Jika tidak dapat memanfaatkan P3B maka kembali ke aturan domestik, menggunakan Pasal 26 Undang-undang PPh.
Kegiatan atau usaha aktif adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN sesuai keadaan yang sebenarnya yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk kegiatan signifikan yang dilakukan WPLN untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
Dalam hal terdapat perbedaan antara bentuk hukum (legal form) suatu struktur/skema transaksi dengan substansi ekonomisnya (economic substance), perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form). Ini adalah aturan yang tertulis pada Pasal 9 ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2017. Ini juga salah satu bukti bahwa aturan pajak selalu menganut prinsip substance over form.
Penerima Penghasilan Merupakan Beneficial Owner
Syarat terakhir agar dapat memanfaatkan P3B adalah penerima penghasilan di Luar Negeri merupakan beneficial owner, atau penerima penghasilan sesungguhnya.
Beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut (SE-03/PJ.03/2008). Apabila penerima penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner, maka sesuai dengan ketentuan P3B, negara tempat penghasilan bersumber dapat mengenakan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.
Menurut PER-10/PJ/2017, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner jika memenuhi persyaratan:
  • bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
  • bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit
Persyaratan WPLN badan yang tidak bertindak sebagai agen, nominee, atau conduit (dianggap sebagai beneficial owner) adalah:
  1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
  2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
  3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan (4) tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Yang dimaksud dengan penghasilan badan yaitu seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan nonkonsolidasi WPLN.
Untuk menentukan nilai 50% penghasilan yang digunakan memenuhi kewajiban tidak termasuk:
  • pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan;
  • biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya; dan
  • pembagian keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.
Definisi Menurut PER-10/PJ/2017
  • Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
  • Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara sumber.
  • Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap atau tanpa melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  • Pemotong dan/atau Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN.
  • Surat Keterangan Domisili WPLN yang selanjutnya disingkat SKD WPLN adalah surat keterangan berupa formulir yang terdiri dari Form DGT-1 atau Form DGT-2 yang diisi oleh WPLN dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  • Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  • Pejabat yang Berwenang Mengesahkan SKD WPLN atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
  • Kustodian adalah lembaga yang telah mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang di Indonesia untuk memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
  • Agen adalah orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
  • Nominee adalah orang pribadi atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan/atau penghasilan (legal owner) untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
  • Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh Manfaat P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Indonesia, sementara manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang pribadi atau badan di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B jika penghasilan tersebut diterima langsung.
Beberapa ketentuan bagi Pemotong dan/atau Pemungut PPh Pasal 26 dan Kustodian (Lampiran PER-10/PJ/2017)
  1. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
  2. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku dan wajib disampaikan kepada WPLN.
  3. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tetap harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak walaupun tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut dengan mencantumkan besarnya penghasilan bruto dan mencantumkan “NIHIL” pada kolom jumlah PPh yang dipotong dan/atau dipungut. Bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak dimaksud tidak wajib disampaikan kepada WPLN.
  4. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib menyampaikan SPT Masa dengan dilampiri fotokopi SKD WPLN yang telah dilegalisir dan bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak ke Kantor Pelayanan Pajak.
  5. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus memastikan bahwa WPLN telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini untuk dapat menerapkan ketentuan dalam P3B. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak memastikan pemenuhan persyaratan tersebut dengan melakukan penelitian atas SKD WPLN yang telah disampaikan oleh WPLN.
  6. Penelitian atas SKD WPLN (Form DGT-1 atau Form DGT-2) untuk memastikan bahwa penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia harus dilakukan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak. Dalam hal penerima penghasilan adalah Subjek Pajak dalam negeri, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib memotong dan/atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh, Keberadaan Subjek Pajak Dalam Negeri untuk Form DGT-1 ditentukan: dalam Part V butir 3 tercantum alamat WPLN di Indonesia; atau dalam Part V butir 6 tercantum bahwa WPLN mempunyai tempat tinggal tetap di Indonesia; atau dalam Part V butir 7 tercantum tempat kediaman WPLN di Indonesia; atau dalam Part VI butir 1, 2, atau 3 mencantumkan tempat pendirian, tempat kedudukan, atau alamat kantor pusat WPLN di Indonesia.
  7. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus melakukan penelitian apakah tujuan utama atau salah satu tujuan utama transaksi atau pengaturan skema transaksi (arrangement) adalah untuk mendapatkan manfaat P3B serta bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B dengan memastikan apakah SKD WPLN Form DGT-1 mencantumkan jawaban: “Yes” dalam Part V Butir 4; atau “Yes” dalam Part VI Butir 5. P3B tidak diterapkan dalam hal salah satu jawaban WPLN penerima penghasilan menyatakan “Yes.
  8. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus melakukan penelitian terjadi atau tidaknya penyalahgunaan P3B dengan memastikan apakah SKD WPLN mencantumkan jawaban “No” untuk salah satu atau seluruh pertanyaan dalam Butir 7 sampai dengan Butir 10 pada Part VI. P3B tidak diterapkan dalam hal salah satu atau seluruh jawaban WPLN penerima penghasilan adalah “No.
  9. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus melakukan penelitian apakah WPLN merupakan beneficial owner yang dipersyaratkan dalam P3B dengan memastikan apakah SKD WPLN Form DGT-1 mencantumkan jawaban : “Yes” dalam Part V Butir 5; atau “Yes” dalam Part VII Butir 1; atau “No” untuk salah satu atau seluruh pertanyaan dalam Part VII Butir 2 sampai dengan Butir 4; atau “Yes” dalam Part VII Butir 5. P3B tidak diterapkan dalam hal salah satu jawaban WPLN penerima penghasilan tidak sesuai.
  10. Dalam hal WPLN penerima penghasilan adalah pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh otoritas pajak Indonesia dan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus memastikan bahwa lembaga tersebut benar-benar merupakan lembaga yang dimaksud dalam P3B dengan melakukan penelitian terhadap SKD WPLN dan/atau Certifícate of Residence dan/atau surat keterangan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal ini.
Untuk pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di bursa efek di Indonesia, selain bunga dan dividen yang diterima atau diperoleh WPLN melalui Kustodian:
  • Form DGT-2 harus diisi secara lengkap dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, serta disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  • Form DGT-2 asli diserahkan kepada Kustodian oleh WPLN penerima penghasilan;
  • Kustodian wajib menyerahkan Form DGT-2 asli yang masih berlaku yang diterima dari WPLN kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak;
  • Dalam hal WPLN penerima penghasilan menerima penghasilan dari beberapa sumber, Kustodian dapat membuat fotokopi lembar ke-1 dari Form DGT-2 dan meminta legalisasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Kustodian terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  • Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang melegalisasi fotokopi lembar ke-1 dari Form DGT-2 wajib menatausahakan 1 (satu) lembar legalisasi tersebut di KPP, dan Form DGT-2 asli dikembalikan kepada Kustodian;
  • Dalam hal diperlukan untuk pelaksanaan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, keberatan, pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, atau pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar; Kustodian harus menyampaikan Form DGT-2 asli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang berlaku;
  • Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B berdasarkan Form DGT-2 yang masih berlaku atau fotokopi Form DGT-2 yang telah dilegalisasi yang disampaikan oleh Kustodian dan menyimpan fotokopi Form DGT-2;
  • Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib membuat tanda bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta wajib menyerahkannya kepada WPLN melalui Kustodian.
Untuk pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN bank dan dana pensiun:
  • Form DGT-2 harus diisi secara lengkap dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman, di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, serta disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B; dan
  • Form DGT-2 asli diserahkan oleh WPLN kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat dipenuhi oleh WPLN, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib memotong dan/atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
SKD WPLN dan Certificate of Residence wajib disimpan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang berlaku.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Pemotongan PPh Atas Jasa Pelayaran oleh Perusahaan Pelayaran Luar Negeri yang Memiliki BUT di Indonesia

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Kayu Alami adalah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan mebel. Dalam rangka pengangkutan ekspor mebel dari Indonesia ke Italia sejak tahun 2010 PT Kayu Alami membuat kontrak kerja sama transportasi sebesar Rp400.000.000,00 per sekali angkut dengan perusahaan pelayaran luar negeri yaitu Dewys Lines Ltd. yang berdomisili di Swiss yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD).
 
Pada bulan Juli 2013 dilakukan 1 (satu) kali pengangkutan dan telah dibayar pada tanggal 25 Juli 2013. Dewys Lines Ltd. sendiri memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yaitu BUT Dewys Lines (BUT DL).
 
Bagaimana kewajiban PPh Pasal 15 dari penghasilan yang diperoleh BUT Dewys Lines  tersebut?
 
JAWAB:
Kapal Dewys Lines Ltd.-Swiss yang disewa oleh PT Kayu Alami beroperasi dalam lalu lintas internasional (international traffic) sebagaimana dimaksud dalam P3B Indonesia-Swiss, sehingga atas penghasilan dari persewaan kapal tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia namun tidak melebihi 50 persen dari pajak yang dikenakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan PPh.
 
Mengingat Dewys Lines Ltd. melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia maka atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang dalam lalu lintas internasional tersebut dipotong PPh yang bersifat final sebesar 50% x 2,64% dari peredaran bruto, yang dipotong oleh PT Kayu Alami sebagai pihak yang mencarter.
 
Adapun penghitungan PPh-nya adalah sebagai berikut:
50% x 2,64% x Rp400.000.000,00 = Rp5.280.000,00.
 
Kewajiban PT Kayu Alami sebagai pemotong PPh Pasal 15 atas penghasilan dari BUT Dewys Lines adalah:
 
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa penyewaan kapal untuk pengangkutan alat-alat mebel tersebut sebesar Rp5.280.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada BUT Dewys Lines;
  2. menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 12 Agustus 2013;
  3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Juli 2013 paling lama tanggal 20 Agustus 2013.
 
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com
 

 

white yacht on running on blue body of water during daytime
Photo by Pixabay on Pexels.com

Beneficial Owner

Apa itu Beneficial Owner (BO)? Beriktu ini catatan saya dari salah satu salinan putusan pengadilan pajak.

 

Istilah BO di tax treaty mempunyai makna yang tidak berlandaskan kepada pengertian hukum atau formal, melainkan mengandung makna ekonomis.

Atau melihat kepada substansi. Hal ini sejalan dengan prinsip “substance over-form” atau asas material.

OECD menggunakan pengertian negatif yang menjelaskan karakter BO yaitu :
[1.] bukan agent
[2.] bukan nominee
[3.] bukan mere fiduciary
[4.] bukan administrator
[5.] bukan conduit company

Pengertian ini mirip dengan pengertian di PER-25/PJ/2010 bahwa  pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (BO) adalah penerima penghasilan yang :
a. bertindak tidak sebagai Agen;
b. bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan Perusahaan Conduit.

Sedangkan menurut Klaus Vogel bahwa BO orang yang bebas memutuskan tentang suatu modal dan harta dan atau hasil dari harta atau modal tersebut.

Conduit company meskipun merupakan pemilik penghasilan secara formal tetapi bukan merupakan BO jika didalam praktek ia mempunyai kekuasaan yang sempit atas penghasilan tesebut, seperti hanya sebagai orang yang diberi kepercayaan belaka atau sebagai pengadministrasi yang bertindak untuk pihak yang berkepentingan.

Mengapa BO penting?
Ternyata tidak cukup dengan SKD (surat keterangan domisili) untuk memanfaatkan penurunan tarif sesuai tax treaty.

Memang, untuk menggunakan tax treaty harus ada SKD. Menurut Pasal 3 ayat (2) PER-25/PJ/2010 bahwa kriteria beneficial owner  hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner.

Artinya, tidak semua pasal di tax treaty memerlukan persyaratan BO.

Saya ambil contoh Pasal 1 Tax Treaty yang biasanya berbunyi :

This Convention is applicable to persons who are residents of one or both of the Contracting States.

Bukti seorang person sebagai resident suatu negara adalah SKD atau CoD.

Bukti formal berupa SKD perlu untuk memanfaatkan tax treaty.

Jika pemberi penghasilan (WPDN) dari Indonesia tidak bisa mendapatkan SKD dari mitra bisnis dari Luar Negeri maka WPDN wajib memotong PPh berdasarkan Pasal 26 UU PPh.

Tetapi SKD saja belum cukup. Penurunan tarif PPh ternyata diberikan hanya kepada BO, bukan resident

Walaupun sudah ada SKD, tetapi jika bukan BO, maka tetap tidak bisa memanfaatkan tarif tax treaty. Besaran tarif yang digunakan kembali ke Pasal 26 UU PPh.

Sebagai contoh berikut saya kutif ketentuan tax treaty Indonesia dengan USA terkait BO :

Pasal 11

However, if the beneficial owner of the dividends is a resident of the other Contracting State, the tax charged by the first-mentioned State may not exceed:

Pasal 12

The rate of tax imposed by one of the Contracting States on interest derived from sources within that Contracting State and beneficially owned by a resident of the other Contracting State shall not exceed 10 percent of the gross amount of such interest.

Pasal 13

The rate of tax imposed by a Contracting State on royalties derived from sources within that Contracting State and beneficially owned by a resident of the other Contracting State shall not exceed 10 percent of the gross amount of royalties described in paragraph 3.

Menentukan BO
Salah satu cara menentukan seorang resident merupakan BO atau bukan BO adalah dengan menentukan kegiatan ekonomis.

Kegiatan ekonomis bisa terlihat dari Laporan Keuangan. Setidaknya ada dua indikasi yang perlu “dipotret” :
1. aktivitas resident di luar negeri
2. biaya yang terjadi di negara sesuai SKD.

Tetapi untuk melihat secara lengkap, apakah kita bisa menggunakan ketentuan tax treaty atau tidak, bisa mengacu ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-25/PJ.2010.

Saya kutip beberapa yang dianggap penting :
a. Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;

b. lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B;

c. WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;

d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
 

e. dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B;

f. bank; atau
 

g. perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
 

[1.] bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu : pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;

[2.] bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu :


[2.a.] pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan


[2.b.] kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan


[2.c.] perusahaan mempunyai pegawai; dan


[2.d.] mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan


[2.e.] penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan


[2.f.] tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.

 

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 

 

man working at desk with computers in office
Photo by RODNAE Productions on Pexels.com

Gaji untuk Keluarga

Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 ini cukup membingungkan. Saya sampai mengulang-ulang bacaan pasal demi pasal.
Tetapi setelah saya cari file sosialisasi perubahan UU PPh, baru mengerti. Coba baca kalimat-kalimatnya :

Pasal 2
(1) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut.

(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.

(3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.

Pasal 3
(1) Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.

(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.

(3) Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.

(4) Atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(5) Dalam rangka menentukan kembali besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan asing.

Dan bandingkan dengan gambar dibawah ini:

Intinya adalah hubungan istimewa perusahaan PT X di dalam negeri dan X co di luar negeri. Katakan Mr Hanakawa bekerja di PT AHM sebagai direktur.

Dan PT AHM ternyata memiliki hubungan istimewa dengan Honda Co di Jepang. Mr. Hanakawa di Indonesia mendapat gaji US$2000, tetapi Honda Co di Jepang memberikan pembayaran ke istri Hanakawa sebesar US$3000.

Maka total penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 di PT AHM sebesar $2000 + $3000 = $5000

Kira-kira begitulah ilustrasinya.
Salaam

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

140/PMK.03/2010

Bagi para tax planner, salah satu cara untuk menghindari pembayaran pajak adalah dengan melakukan treaty shopping.
Menurut Prof Gunadi,, treaty shopping biasanya dilakukan dengan mendirikan suatu badan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) di salah satu negara mitra P3B, atau dengan berbagai cara lainnya sebagai suatu saluran (conduit) atas penghasilan yang diperoleh di negara mitra lainnya.

Pada tanggal 11 Agustus 2010 telah keluar Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK.03/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau Badan Yang Dibentu Untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.

Hemm, judulnya cukup panjang. Tapi maksud PMK ini adalah penetapan WP yang sebenarnya melakukan transaksi.

Memang, untuk keperluan penghindaran pajak, kadang sebuah transaksi diputer dulu. Seolah-olah pembeli suatu aktiva tersebut adalah WP negara tertentu. Atau pemegang saham perusahaan tersebut adalah perusahaan di negara tertentu.

Supaya lebih jelas, saya kutip lengkap bunyi Pasal 2 PMK ini :

(1)Pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian dimaksud sepanjang:
a. Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan
b. Terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.

(2)Saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
b. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.

(3)Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan antara lain untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

SKD

Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B di 1 (satu) negara mitra P3B [PER-35/PJ/2010].
Secara umum, SKD itu seperti KTP dalam kependudukan di kita. Boleh dibilang SKD adalah KTP untuk administrasi perpajakan.

Karena itu, SKD itu bisa untuk subjek pajak dalam negeri seperti yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-35/PJ/2010 atau untuk subjek pajak luar negeri seperti yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-61/PJ/2009.

Manfaat SKD
Pada umumnya, SKD diperlukan agar subjek pajak tertentu bisa menggunakan tax treaty yang sudah dibuat oleh negaranya.

Misalnya SKD yang dibuat oleh subjek pajak dalam negeri, maka kita membuat SKD jika kita memiliki transaksi dengan subjek pajak luar negeri (pelanggan di Luar Negeri).

SKD tersebut akan diberikan kepada pelanggan kita di LN agar kita dan pelanggan kita bisa menggunakan ketentuan tax treaty yang dibuat Indonesia.

Biasanya, SKD diminta oleh pihak yang memberikan penghasilan. Kita sebagai penerima penghasilan akan membuat SKD jika diminta oleh pelanggan kita di LN.

Begitu juga mitra kita di LN akan membuat SKD jika diminta oleh kita.

Biasanya, pembuatan SKD itu sesuai ketentuan domestik dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar.

Misalkan, Wajib Pajak Jepang tentu akan membuat SKD sesuai ketentuan domestik di negara Jepang.

Nah, PER-35/PJ/2010 adalah ketentuan domestik jika WP LN meminta SKD kepada kita.

Yang unik justru di Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 yaitu Indonesia mengatur WP LN untuk membuat SKD sesuai kehendak Indonesia dengan membuat Form DGT 1 atau Form DGT 2.

Seorang Wajib Pajak pernah cerita kepada saya, “Klien saya bingung bikin form DGT 1 karena di negaranya tidak ada prosedur seperti itu sehingga pihak berwenang menolak menandatangani form DGT 1.”

Nah lu …….

Mudah-mudahan saja Competent Authority atau authorized tax office negara lain tidak mempermasalahkan. Semoga!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Penyalahgunaan P3B

Tax Treaty diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia [resminya] Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda [P3B].
Kenapa? Karena pada umumnya, tujuan utama dan isi tax treaty untuk menghindari pajak berganda antara Indonesia dengan negara mitra.
Walaupun mengatur hal lain, seperti pertukaran informasi, tetapi tidak signifikan.

Nah, bagi tax planner, ada celah-celah dalam tax treaty yang sering digunakan untuk menghindari pembayaran pajak.
Transaksi diputar-putar supaya pajak terutang nihil. Mulai 1 Januari 2009, Indonesia memiliki peraturan yang mengatur bahwa tidak semua Subjek Pajak Luar Negeri [SPLN] yang memiliki SKD atau CoD atau CoR dapat serta merta menggunakan tax treaty.
DJP bisa mengabaikan SKD tersebut sehingga yang berlaku adalah ketentuan domestik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU PPh 1984.
 
Wajib Pajak Luar Negeri [WPLN] yang bagaimana yang tidak dapat memanfaatkan fasilitas tax treaty? Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-62/PJ/2009 bahwa “penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan” [gampangnya sebut saja “perantara”] merupakan penyalahgunaan P3B.
Perantara yang saya maksud adalah WPLN yang berbentuk :
[1]. Agen, yaitu orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain;
 
[2]. Nominee, yaitu orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan;
 
[3]. Perusahaan conduit, yaitu suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.
 
Selain itu, ada dua transaksi yang merupakan penyalahgunaan tax treaty, yaitu :
[a]. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
[b]. transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
 
Selain itu, peraturan ini juga menegaskan bahwa substansi mengalahkan formalitas atau yang lebih dikenal substance over form. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (2) PER-62/PJ/2009 :

Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Syarat Administratif P3B

Wajib Pajak yang memberikan penghasilan kepada orang asing atau subjek pajak luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26.
Tarif dan ketentuan pemotongan mengacu ke Pasal 26 UU PPh 1984. Pengecualian tarif dan ketentuan tersebut “hanya jika” subjek pajak luar negeri tersebut merupakan penduduk Negeri yang telah memiliki perjanjian pajak dengan Indonesia atau tax treaty.
Sebagai contoh : rekan bisnis kita adalah perusahaan yang berada di Singapur. Pada saat kita akan membayar jasa tertentu yang diatur di Pasal 26 UU PPh 1984 maka kita wajib memotong PPh Pasal 26.
Tetapi karena Singapur telah memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan Pasal 26 UU PPh 1984 direduksi oleh tax treaty.
Apa bukti bahwa rekan bisnis kita merupakan penduduk Singapur?
Satu-satunya bukti bahwa rekan bisnis kita negara tertentu adalah Surat Keterangan Domisili [SKD] atau Certificate of domicile (COD) atau Certificate of Residency (COR).
SKD harus diterbitkan dan ditandatangan oleh pejabat yang berwenang atau Competent Authority.
Karena dikeluarkan oleh negara asal, maka SKD sering kali tidak dimengerti oleh pegawai DJP.
Contoh, SKD yang diterbitkan oleh negara Jepang atau Korea yang menggunakan tulisan mereka. Tetapi sejak 1 Januari 2010, masalah tersebut akan hilang karena SKD adalah formulir yang ditentukan oleh DJP dan ditanda tangan oleh Competent Authority negara asal
Hal ini sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009.
Untuk “menggunakan” tax treaty, kita sebagai pemotong harus menyerahkan form GDT-1 ke rekanan bisnis.
Sebaiknya diserahkan jauh hari sebelum pembayaran. Inilah formulir yang dimaksud :
Tetapi jika kita kustodian atau penerima merupakan Wajib Pajak Luar Negeri [WPLN] bank, maka yang digunakan adalah form GDT-2.
SKD ini harus diisi dan ditanda tangan oleh WPLN dan Competent Authority. Selain itu, SKD ini juga wajib dilampirkan dalam SPT Masa PPh Pasal 26 walaupun SPT Masa tersebut isinya atau pajak terutangnya NIHIL.
Salaam

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Permanent Establishment

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan Internasional karena berkaitan dengan
[a.] taxing right atau hak pemajakan.
[b.] source rules yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan apa syarat-syaratnya bagi suatu jenis penghasilanagar negara tempat diterimanya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan.
[c.] threshold atau ambang batas yaitu kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber untuk memajaki penghasilan usaha antar negara.

Hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap [BUT].

Sebelum lebih jauh, tulisan ini berkaitan dengan BUT di tax treaty. Karena itu dibawah disebut OECD model dan UN model.

OECD model dibuat oleh negara-negara maju, sedangkan UN model dibuat oleh para ahli perpajakan PBB tetapi dasarnya tetap OECD model. Boleh dibilang UN model adalah modifikasi OECD model.

Keduanya adalah contoh yang menjadi acuan negara-negara dalam negosiasi tax treaty. Karena masih “model” maka dalam tax treaty yang disepakati, mungkin saja tidak sama dengan modelnya.

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh BUT maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights).

Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak.

OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Menurut Pak Rachmanto Surahmat [dalam buku yang berjudul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda – sebuah pengantar], fixed place sebagaimana diatur di Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat :
a. adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam;

b. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan

c. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Pada dasarnya, BUT dikelompokkan ke dalam empat tipe :
[1.] Tipe aset
BUT tipe aset ini disebutkan di Pasal 5 ayat (1). Tipe Aset memiliki tiga ciri atau karakteristik atau pengujian [test], yaitu :

[1.a.] place of business, yaitu tempat baik satu ruangan kecil atau kantor yang lebih luas. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa yang penting perusahaan luar negeri memiliki hak untuk menggunakan tempat tersebut. Karena itu, pada era digital ini isu server komputer menjadi topik hangat. Salah satu tulisan di blog yang berkaitan dengan e-commerce ditulis oleh Pak Rusdi Yanis.

[1.b.] fixed, yaitu derajat kepermanenan baik secara geografis (dimensi ruang) maupun berkelanjutan (dimensi waktu). Ini menurut Pak Gunadi [dalam buku yang berjudul Pajak Internasional].

Perlu ada hubungan antara komersial dan geografis [commercial and geographic coherence] secara nature of the business.

Tetapi menurut Pak Rachmanto Surahmat, “tetap” berkaitan antara tempat tersebut dan titik geografis.

Keberadaan suatu peralatan di satu lokasi sudah cukup untuk dianggap berada di satu tempat tetap.

[1.c.] doing business through that fixed place.

[2.] Tipe aktivitas
BUT tipe aktivitas ada dua:
[2.a.] proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja.

[2.b.] kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan.

Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b.

Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas.

Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test.

Berbeda dengan [2.a.] diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan.

Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

[3.] Tipe agen
Tidak semua agen merupakan BUT. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas.

Nah, agen yang manjadi BUT adalah agen tidak bebas. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai BUT jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas.

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal :
[3.a.] Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.

[3.b.] Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut.

Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.

[3.c.] Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

[4.] Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan BUT asuransi.

OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas.

Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai BUT apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).

Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model.

Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Biasanya ada pengecualian di tax treaty yang biasanya disebutkan di Pasal 5 ayat (4). Sebagai contoh, berikut ini Pasal 5 ayat (4) tax treaty Indonesia – China :

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah “bentuk usaha tetap” dianggap tidak mencakup:
a). penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

b). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

c). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

d) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;

e) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan atau penyediaan informasi;

f) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang, bagi keperluan perusahaan

g) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat a) sampai dengan sub ayat e), sepanjang kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap yang merupakan hasil penggabungan tadi bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: