fbpx

Contoh Kasus Jasa Konstruksi oleh BUT

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: Bangun Internasional, Ltd. sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha Tetap (BUT) mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2013 menerima pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT Pembangunan Sejahtera mengingat telah memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar 50% pada tanggal 8 Oktober 2013 sebesar Rp25.000.000.000,00.
 
Bangun Internasional, Ltd. tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
 
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan PT Pembangunan Sejahtera terkait dengan transaksi tersebut?
 
JAWAB:
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran bagain nilai kontrak jasa konstruksi.
 
Mengingat PT Bangun Internasional tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi maka besarnya pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi adalah sebesar:
4% x Rp25.000.000.000,00 = Rp1.000.000.000,00
 
Kewajiban PT Pembangunan Sejahtera sebagai pengguna jasa adalah:
 
  1. melakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp.1.000.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada Bangun Internasional, Ltd.;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut paling lambat tanggal 11 November 2013;
  3. melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2013paling lambat tanggal 20 November 2013.

Catatan:
BUT diartikan sebagai bentuk usaha tetap. Mungkin pada bagian soal terdapat kesalahan tulis, bukan badan usaha tetap tetapi bentuk usaha tetap seperti lazimnya istilah BUT di perpajakan.

BUT adalah “kendaraan” penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri. Jika BUT sudah didaftarkan di Badora dan memiliki NPWP maka kewajiban perpajakannya “seperti” subjek pajak dalam negeri. Inilah alasan kenapa tidak dipotong PPh Pasal 26.
 
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

abstract architecture black and white boardwalk
Photo by Pixabay on Pexels.com

Contoh Pemotongan PPh Atas Jasa Instalasi Listrik oleh Pengusaha Konstruksi yang Bersertifikasi

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013

SOAL: PT Jaya Teknik merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha perdagangan perlengkapan instalasi listrik beserta jasa pemasangannya. Pada tahun 2013 PT Jaya Teknik mendapatkan order pembelian perlengkapan listrik dari PT Gajah Makmur beserta pemasangannya untuk mengganti instalasi listrik di gedung kantor pusat PT Gajah Makmur di Jalan Gajah Mada Jakarta Barat.

Nilai kontrak pembelian material dan jasa instalasi listrik sebesar Rp2.000.000.000,00 tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan dibayarkan pada tanggal 13 November 2013. PT Jaya Teknik mempunyai sertifikasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi sebagai Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi bidang elektrikal sub bidang instalasi listrik gedung dan pabrik dengan kualifikasi besar gred 7.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh PT Gajah Makmur terkait pembayaran kontrak kepada PT Jaya Teknik?

JAWAB:
Pekerjaan instalasi listrik selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi termasuk dalam jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008. Oleh karena PT Jaya Teknik mempunyai sertifikasi dari LPJK sebagai Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi dan pekerjaan instalasi listrik gedung termasuk dalam lingkup pekerjaan pelaksanaan konstruksi dalam Peraturan LPJK yaitu bidang elektrikal sub bidang instalasi listrik gedung dan pabrik maka atas penghasilan dari pekerjaan instalasi listrik gedung yang diterima oleh PT Jaya Teknik tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 tetapi dikenakan pemotongan PPh final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi dengan tarif 3%.

PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi: 
3% x Rp2.000.000.000,00 = Rp60.000.000,00.

Kewajiban PT Gajah Makmur sebagai pengguna jasa adalah:

  1. melakukan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp60.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada PT Jaya Teknik;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut paling lambat tanggal 10 Desember 2013;
  3. melaporkan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak November 2013 paling lambat tanggal 20 Desember 2013.
 
Catatan:
Pada kasus ini, kata kuncinya adalah penerima jasa. Bukan pekerjaan. Jika dilihat pekerjaannya, maka pekerjaan bisa masuk PPh 23 jenis penghasilan lainnya atau bisa juga PPh final Pasal 4 ayat (2) jenis penghasilan jasa konstruksi.
Karena penerima jasa sudah memiliki sertifikat sebagai perusahaan jasa konstruksi maka perlakukan perpajakan ikut pada sertifikat tersebut.
 
Dalam kasus lain, perlakuan perpajakan dilihat jenis penghasilan atau pekerjaan. Cek di contoh kapal laut.

Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Penyetoran Kekurangan Pembayaran PPh yang Bersifat Final atas Usaha Jasa Konstruksi

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013

SOAL: PT Tanjungsari Konstruksi sebagai Konsultan Pengawas pekerjaan pembangunan unit kesehatan ibu dan anak Rumah Sakit Siti Khodijah yang dimiliki oleh CV Lukulo, dengan nilai kontrak Rp500.000.000,00. 

PT Tanjungsari Konstruksi merupakan perusahaan yang mempunyai Sertifikat Badan Usaha Jasa Pengawasan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai Badan Usaha Jasa Pengawasan Konstruksi Layanan Jasa Inspeksi Teknis Sub-layanan Jasa Enjiniring Fase Konstruksi dan Instalasi Bangunan dengan kualifikasi besar gred 4.  

Atas pembayaran nilai kontrak sebesar Rp500.000.000,00 yang dilakukan pada tanggal 16 September 2013, CV Lukulo  hanya memotong PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp19.000.000,00 yang seharusnya sebesar Rp20.000.000,00.

Atas kekurangan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp1.000.000,00 siapakah yang wajib melunasinya?

JAWAB:
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima dari pengguna jasa sebagai pemotong pajak dipotong PPh yang bersifat final oleh pengguna jasa dengan tarif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal terdapat selisih kekurangan PPh atas penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan PPh yang telah dipotong berdasarkan pembayaran yang telah dipotong, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

Dengan demikian kekurangan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa kontruksi sebesar Rp1.000.000,00 harus dilunasi oleh PT Tanjungsari Konstruksi.

Tarif PPh atas penghasilan dari jasa pengawasan konstruksi:

  • memiliki kualifikasi usaha 4% (empat persen)
  • tidak memiliki kualifikasi usaha 6% (enam persen)


Pembayaran kontrak pengawasan jasa kontruksi sebesar Rp500.000.000,00.
PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi (4% x Rp500.000.000,00) = Rp20.000.000,00

PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi yang dipotong = Rp19.000.000,00

Kekurangan PPh atas penghasilan dari jasa konstruksi = Rp1.000.000,00

Kewajiban PT Tanjungsari Konstruksi sebagai penyedia jasa konstruksi adalah:

  1. melakukan penyetoran kekurangan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi sebesar Rp1.000.000,00 dengan SSP atas nama PT Tanjungsari Konstruksi paling lambat tanggal 16 Oktober 2013;
  2. melaporkan penyetoran PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak September 2013 paling lambat tanggal 21 Oktober 2013.

Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Usaha Jasa Konstruksi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013

SOAL: Tuan Samidi Karsoutomo merupakan pengusaha yang bergerak dalam bidang konstruksi. Tuan Samidi Karsoutomo memiliki sertifikasi yang diterbitkan oleh LPJK sebagai pengusaha jasa pelaksanaan konstuksi gred 1

Tuan Samidi Karsoutomo pada tahun 2013 mendapat pekerjaan untuk membangun pos satpam di pintu depan dan pintu belakang perumahan Ceger Permai senilai Rp50.000.000,00. Pembangunan pos satpam dimulai pada tanggal 15 Maret 2013 dan selesai pada tanggal 16 April 2013. 

Pembayaran atas pekerjaan pembangunan pos satpam tersebut dilakukan oleh PT Jurangmangu Jaya selaku pengembang perumahan Ceger Permai pada tanggal 17 April 2013.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh PT Jurangmangu Jaya terkait pembayaran pekerjaan pembangunan dua pos satpam kepada Tuan Samidi Karsoutomo?

JAWAB:
Tuan Samidi Karsoutomo merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang menyerahkan jasa kepada PT Jurangmangu Jaya. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari penyerahan jasa merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21.

Namun demikian, dalam hal penghasilan dari pemberian jasa tersebut termasuk dalam objek PPh yang bersifat final yang diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah, maka atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 tetapi dikenai PPh yang bersifat final sesuai dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah yang mendasarinya.

Mengingat jasa yang dilakukan oleh Tuan Samidi Karsoutomo kepada PT Jurangmangu Jaya merupakan jasa konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh Tuan Samidi dikenai pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, bukan PPh Pasal 21.

Dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, pengusaha jasa pelaksanaan kontruksi orang pribadi (gred 1) dikelompokan sebagai pengusaha yang memiliki kualifikasi usaha kecil. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima oleh Tuan Samidi Karsoutomo dari pekerjaan pembangunan dua pos satpam di perumahan Ceger Permai dikenai pemotongan dengan tarif sebesar 2%.

PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi:
2% x Rp50.000.000,00 = Rp1.000.000,00.

Kewajiban PT Jurangmangu Jaya sebagai pengguna jasa adalah:

  1. melakukan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp1.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada Tuan Samidi Karsoutomo;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi tersebut paling lambat tanggal 10 Mei 2013;
  3. melaporkan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak April 2013 paling lambat tanggal 20 Mei 2013.
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Pemotongan PPh Atas Jasa Konstruksi yang Dilakukan oleh Badan Usaha

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013

SOAL: PT Bumen Jaya Sentosa merupakan perusahaan yang mempunyai Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi Bidang Sipil Sub Bidang Bangunan-bangunan non perumahan lainnya dengan kualifikasi besar gred 6. 

PT Bumen Jaya Sentosa pada tahun 2013 ditunjuk oleh CV Lukulo selaku pemilik Rumah Sakit Siti Khodijah untuk membangun gedung baru yang akan digunakan sebagai unit kesehatan ibu dan anak dengan nilai kontrak sebesar Rp25.000.000.000,00 tidak termasuk PPN. 

PT Bumen Jaya Sentosa menerima uang muka kontrak pada saat dimulai pembangunan yaitu pada tanggal 15 Juli 2013 sebesar Rp5.000.000.000,00. 

Termin pembayaran akan dilakukan sesuai dengan tingkat penyelesaian, yaitu:

  • Termin pertama sebesar Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 25%;
  • Termin kedua sebesar Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 50%;
  • Termin ketiga sebesar Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 75%;


Sisa Rp5.000.000.000,00 akan dibayarkan setelah pekerjaan dan masa pemeliharaan selesai.

Pembangunan rumah sakit tersebut harus diselesaikan oleh PT Bumen Jaya Sentosa paling lama tanggal 31 Desember 2015 dengan masa pemeliharaan selama 6 bulan.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh yang dilakukan oleh CV Lukulo terkait pembayaran:

  • uang muka kontrak; dan
  • termin pertama apabila dilakukan pada tanggal 31 Desember 2013?


JAWAB:
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran bagian nilai kontrak jasa konstruksi.

Tarif PPh atas penghasilan dari pelaksanaan konstruksi:

  1. kualifikasi usaha kecil 2%
  2. kualifikasi usaha menengah dan besar 3%
  3. Tidak memiliki kualifikasi usaha 4%


Pembayaran uang muka kontrak:
Besarnya pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi adalah sebesar:
3% x Rp5.000.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.

Kewajiban CV Lukulo sebagai pengguna jasa adalah:

  1. melakukan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp150.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada PT Bumen Jaya;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut paling lambat tanggal 12 Agustus 2013;
  3. melaporkan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Juli 2013 paling lambat tanggal 20 Agustus 2013.


Pembayaran termin pertama:
Besarnya pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa kontruksi adalah sebesar:
3% x Rp5.000.000.000,00 = Rp150.000.000,00.

Kewajiban CV Lukulo sebagai pengguna jasa adalah:

  1. melakukan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp150.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada PT Bumen Jaya;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi tersebut paling lambat tanggal 10 Januari 2014;
  3. melaporkan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Desember 2013 paling lambat tanggal 20 Januari 2014.
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Jasa Konstruksi vs Jasa Pemeliharaan Bangunan

Banyak yang bingung membedakan “jasa konstruksi” dengan “jasa pemeliharaan bangunan”. Kedua harus dibedakan karena memang perlakuan perpajakan yang beda.
 
Yang pertama, jasa konstruksi dikenakan tarif final. Dilihat dari sisi penerima jasa alias pemberi penghasilan maka dia pada saat membayar tagihan maka si pemberi penghasilan wajib potong PPh.
 
Hanya saja, apakah si pemberi penghasilan memotong PPh Final atas jasa konstruksi atau PPh Pasal 23 atas jasa pemeliharaan bangunan?

 

Saya pernah mem-tweet lewat twitter, kalo dilihat dari sisi pemberi penghasilan atau pemotong sangat sederhana.

Tanya saja ke penerima penghasilan, apakah dia di SPT PPh Tahunannya melaporkan PPh Final atau bukan.

Jika si penerima penghasilan melaporkan PPh dengan tarif umum, bukan tarif final jasa konstruksi, maka si pemberi penghasilan tinggal memotong PPh Pasal 23. Begitu juga sebaliknya.

Bisa terjadi ketidaksinkronan antara Bukti Potong dengan dengan SPT Tahunan jika si pemberi penghasilan tidak tanya dulu.

Kalau tidak sinkron, bisa jadi Bukti Potong tersebut tidak bisa dikreditkan jika petugas KPP tegas pada bukti formal.

Jika pemberi penghasilan berpegang pada bukti formal, yaitu sertifikat sebagai pengusaha jasa konstruksi yang dikeluarkan oleh LPJK, maka hanya pemilik sertifikat saja yang dikenakan tarif final penghasilan jasa konstruksi.

Kalau tidak punya sertifikat sebagai pengusaha jasa konstruksi maka dianggap sebagai jasa pemeliharaan bangunan.

Memang di PMK-244/2008 disebutkan bahwa jasa pemeliharan bangunan “.. selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya dibidang konstruksi dan mempunyai izin atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi”.

Artinya jika si penerima penghasilan memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi maka PMK-244/2008 tidak digunakan, dan wajib baginya menghitung PPh secara Final dan dipotong oleh pemberi penghasilan sebagai PPh Pasal 4 (2) Final.

Untuk hal ini saya pikir sudah jelas.

Hanya saja di Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008 ada tarif untuk pengusaha jasa konstruksi yang tidak punya sertifikat. Lebih jelasnya saya kutip lagi postingan bulan Agustus 2008 :

Tarif PPh Final usaha jasa kontruksi sejak Januari 2008 sebagai berikut :

[a.] 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

[b.] 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

[c.] 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

[d.] 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha; dan

[e.] 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

“Tidak memiliki kulifikasi” berarti si pemberi jasa atau si pengusaha tidak memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh LPJK dan asosiasi-nya.

Karena tidak memiliki sertifikat maka bukan jasa konstruksi dong? Terus bagaimana membedakan dengan jasa pemeliharaan bangunan sebagaimana diatur di PMK-244/2008?

Untuk membedakannya, saya mengacu ke definisi pekerjaan konstruksi yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008:

Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Saya sengaja menebalkan kata “untuk mewujudkan suatu bangunan”. Bangunan tersebut benar-benar baru.

Artinya pekerjaan tersebut bukan merenovasi, atau memperbaiki yang sudah ada tapi membuat bangunan yang baru.

Inilah jasa konstruksi bagi pengusaha yang tidak memiliki kualifikasi dari LPJK. Sesuai dengan namanya, jasa “pemeliharaan” bangunan tentu bukan pekerjaan membuat bangunan baru.

Tetapi hanya membercantik, seperti : mengecat ulang, memperbaiki yang retak atau sudah lapuk, menambah “casing” supaya terlihat lebih modern, merenovasi, atau bisa juga menambah yang sudah ada tetapi menyatu dengan bangunan lama.

Inilah pekerjaa jasa pemeliharaan bangunan.

 
long exposure photography white dome building interior
Photo by gdtography on Pexels.com

Penerapan tarif PPh Jasa Konstruksi

Beberapa pertanyaan masih dikirimkan di saya berkaitan dengan penerapan PPh atas Jasa Konstruksi, terutama tentang apa dokumen yang menunjukkan kualifikasi penyedia jasa konstruksi dan penerapannya dengan tarif. Uraian dibawah ini merupakan jawaban saya yang lebih lengkap.

PEMBAGIAN JASA KONSTRUKSI
Jasa Konstruksi dibagi tiga, yaitu Jasa Pelaksana Konstruksi, Jasa Perencanaan Konstruksi, dan Jasa Pengawasan Konstruksi. Pasal 4 No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan :

(1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.

(2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

(3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

(4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksimulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasilkonstruksi.

PEMBAGIAN KUALIFIKASI JASA KONSTRUKSI
Pasal 8 ayat (3) PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi menyebutkan :

Kualifikasi usaha jasa konstruksi didasarkan pada tingkat/ kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, dan dapat digolongkan dalam:
a. kualifikasi usaha besar;
b. kualifikasi usaha menengah;
c. kualifikasi usaha kecil termasuk usaha orang perseorangan.

Pengertitan kualifikasi menurut PP 28 tahun 2000 adalah

bagian kegiatan registrasi untuk menetapkan penggolongan usaha di bidang jasa konstruksi menurut tingkat / kedalaman kompetensi dan kemampuan usaha, atau penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut tingkat / kedalaman kompetensi dan kemampuan profesi dan keahlian.

Pasal 10 ayat (1) Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menyebutkan :

Penggolongan kualifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 didasarkan pada kriteria tingkat/kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, yang selanjutnya dibagi menurut kemampuan melaksanakan pekerjaan berdasarkan kriteria risiko, dan/atau kriteria penggunaan teknologi, dan/atau kriteria besaran biaya, dapat dibagi jenjang kompetensinya dalam Gred sebagai berikut :
a. kualifikasi usaha besar, berupa : Gred 7, Gred 6
b. kualifikasi usaha menengah, berupa : Gred 5
c. kualifikasi usaha kecil, berupa : Gred 4, Gred 3, Gred 2, Gred 1 (usaha orang perseorangan)

Sedangkan menurut Pasal 10 ayat (2) Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 12a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Perencana Konstruksi dan Jasa Pengawas Konstruksi menyebutkan :

Penggolongan kualifikasi usaha jasa perencana konstruksi dan jasa pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jenjang kompetensinya dalam Gred, dapat dibagi dalam golongan :
a. kualifikasi usaha besar, berupa : Gred 4
b. kualifikasi usaha menengah, berupa : Gred 3
c. kualifikasi usaha kecil, berupa : Gred 2, Gred 1 (usaha orang perseorangan)

Intinya, kualifikasi penyedia jasa konstruksi ada tiga, yaitu : besar, menengah, dan kecil.

SIAPA YANG MENENTUKAN KUALIFIKASI?
Untuk mendapatkan kualifikasi, penyedia jasa konstruksi harus melakukan sertifikasi. Pengertian sertifikasi menurut menurut PP 28 tahun 2000 adalah:

a. proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha; atau
b. proses penilaian kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja seseorang di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu.

Hasil dari sertifikasi adalah sertifikat, yaitu

a. tanda bukti pengakuan dalam penetapan klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi baik yang berbentuk orang perseorangan atau badan usaha; atau
b. tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu.

Dan, siapa yang meyelenggarakan sertifkasi?

Menurut Pasal 39 Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menyebutkan :

(1) LPJK Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan sertifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi secara nasional.

(2) Penyelenggaraan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup kegiatan menetapkan pengakuan tingkat kompetensi dan kemampuan usaha, klasifikasi, dan kualifikasi jasa konstruksi, yang diwujudkan dalam bentuk Sertifikat.

(3) Penyelenggaraan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh :
a. LPJK Nasional/LPJK Daerah untuk Badan Usaha yang baru-berdiri yang belum menjadi anggota asosiasi dan Badan Usaha anggota asosiasi belum terakreditasi.
b. Asosiasi terakreditasi untuk Badan Usaha anggota asosiasinya.

Redaksi senada juga terdapat di Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 12a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Perencana Konstruksi dan Jasa Pengawas Konstruksi. Dengan demikian, sertifikat penyedia jasa konstruksi dikeluarkan oleh LPJK dan asosiasi yang telah mendapat akreditasi.

PPh JASA KONSTRUKSI
Dengan uraian diatas saya pikir pembaca dapat menerapkan PP No. 51 tahun 2008 terutama tentang tarif. Berikut ketentuan tarif PPh Jasa Konstruksi :
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tarif 2% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat Gred 4, Gred 3, Gred 2, dan Gred 1.

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tariff 4% ini adalah mereka yang TIDAK memiliki sertifikat. Pengguna jasa harus memotong 4% jika penyedia jasa tidak menunjukkan sertifikat!

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tarif 3% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat Gred 5, Gred 6, dan Gred 7. Penjelasan PP 51 tahun 2008 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Penyedia Jasa selain Penyedia Yang dimaksud dengan” Penyedia Jasa selain Penyedia antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar.

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan olehPenyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha;
Penyedia jasa perencana konstruksi dan pengawas konstruksi yang menggunakan tariff 4% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat, baik Gred 4, Gred 3, Gred 2, maupun Gred 1.

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Penyedia jasa perencana konstruksi dan pengawas konstruksi yang menggunakan tarif 6% ini adalah mereka yang TIDAK memiliki sertifikat!

Dengan uraian ini semoga pembaca jadi lebih jelas.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Cash Basis di PPh Konstruksi

Berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008. Seperti yang telah disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 menyiratkan cash basis.

Ternyata, di Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008 lebih jelas. Berikut kutipannya :

5. Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada butir 1:
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran,
dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

6. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada butir 5 adalah:
a. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2; atau
b. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

Selain itu, diaturan peralihan yaitu kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2008 tetapi pembayarannya pada tahun 2008 atau setelahnya diatur sebagai berikut :
Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan langgal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Alas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konslruksi; [artinya ketentuan baru tidak berlaku].

Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah langgal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi [artinya berlaku ketentuan baru].

Sekedar mengulang, tarif Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi adalah :
[1]. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

[2]. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

[3]. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam angka [1] dan angka [2]

[4]. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha;

[5]. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Dan semuanya bersifat FINAL! Karena itu, jika ada kerugian dari usaha Jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasi sampai dengan Tahun Pajak 2008 saja.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Tarif baru jasa konstruksi

Pemerintah pada tanggal 23 Juli 2008 telah mengundankan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008 [lembaran negara tahun 2008 nomor  109] tentang Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi.  Peraturan ini berlaku surut sejak Januari 2008. Dengan PP 51/2008 ini usaha jasa konstruksi menjadi  FINAL.
Semua PPh yang bersifat final akan mengacu ke Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Ini tersurat di unsur menimbang yaitu, “… dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) …”. Karena itu, PPh yang bersifat final bukan jenis PPh Pasal 23. Masih banyak yang menganggap PPh final itu termasuk PPh Pasal 23!
Tarif PPh Final usaha jasa kontruksi sejak Januari 2008 sebagai berikut :
[a.]  2% (dua persen) untuk  Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
[b.]  4% (empat  persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
[c.]  3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
[d.]  4% (empat  persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha; dan
[e.]  6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Peraturan pemerintah ini juga mengatur bahwa selisih kurs yang berasal dari jasa konstruksi tetap bersifat final. Berapapun selisihnya, dalam hitungan rupiah tetap kena tarif diatas dan bersifat final. Contoh : kontrak $50.000, pada saat pengakuan kursnya Rp.9000 sehingga menjadi Rp.450juta tetap saat pembayaran kurs menjadi Rp.9500 sehingga menjadi Rp.475juta. Berarti ada selisih kurs Rp.25juta. Maka yang Rp.25juta tersebut tinggal dikalikan dengan tarif diatas.
Uniknya, PPh jasa konstruksi terutang saat dibayar! Hal ini tersirat di Pasal 6 yang mengatur:
(1) Jika telah dipotong tetapi masih kurang berdasarkan tarif diatas, maka kekurangan tersebut dibayar sendiri;
(2) Jika tidak dibayar tidak terutang dengan syarat yang tidak dibayar masuk piutang tidak dapat ditagih;
     Syarat piutang tidak dapat ditagih menurut UU PPh 1984 : [1] telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, [2] telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, [3] telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, dan [4] Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
(3) Jika piutang tidak dapat ditagih tersebut dibayar, maka atas pembayaran tersebut tetap terutang PPh Final!
 
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
%d