fbpx

Lebih Dalam Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan

Withholding taxes biasanya kewajiban bagi pemberi penghasilan

Pemotongan Pajak Penghasilan lebih dikenal sebagai Potput atau withholding taxes. Ketika membicarakan Potput, maka posisikan kita sebagai pemberi penghasilan atau yang memberikan uang. Tulisan ini membahas lebih tuntas dan lebih dalam tentang Potput atau withholding taxes.

Continue reading “Lebih Dalam Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan”

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium
gambar dari LewatMana.com

Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita “cirikan” karakteristik konsorsium:

  1. kumpulan dua badan atau lebih,
  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

  • kewajiban PPh Badan, dan
  • kewajiban PPh Potput.  

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:

  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:

  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:

  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO
  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO
  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki “manajemen” dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 
  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.


KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

  • memberikan gaji ke buruh,
  • menyewa alat berat atau aktiva lain,
  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:

Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

 

Pembayaran Jasa ke Luar Negeri

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Sistama Indonesia melakukan pembayaran kepada System International Co. atas jasa manajemen senilai Rp500.000.000,00. System International Co. berkedudukan di Inggris yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD). Penyerahan jasa oleh System International Co. tersebut dilakukan langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
JAWAB:

Inggris adalah salah satu negara mitra P3B Indonesia, sehingga perlakuan PPh bagi Wajib Pajak luar negeri (resident) Inggris harus memperhatikan ketentuan dalam P3B.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh System International Co. untuk dapat menggunakan P3B dalam rangka pemotongan PPh adalah Surat Keterangan Domisili.

Jenis penghasilan yang dibayarkan oleh PT Sistama Indonesia kepada System International Co. adalah penghasilan dari jasa.

Dalam kasus ini, berdasarkan P3B Indonesia-Inggris maka penghasilan dari jasa hanya dapat dikenai pajak di Inggris karena System International Co. tidak mempunyai BUT di Indonesia.


Catatan:
Bunyi tax treaty Indonesia dan Inggris terkait permanent establishment sebagai berikut:

The term “permanent establishment” likewise includes:
(a)     a building site, a construction, assembly or installation project or supervisory activities in connection therewith, but only where such site, project or activities continue for a period of more than 183 days;
(b)     the furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise through employees or other personnel engaged by the enterprise for such purpose, but only where activities of that nature continue (for the same or connected project) within the Contracting State for a period or periods aggregating more than 91 days within any continuous period of twelve months.

Menurut saya, pada kasus diatas sebenarnya ada syarat time test yaitu 91 hari. Jika melewat 91 berarti Indonesia memiliki hak pemajakan.

Jika jawabannya seperti diatas, maka diasumsikan bahwa System International Co tidak pernah menempatkan perwakilannya di PT Sistama Indonesia. Atau pernah menempatkan tetapi dalam setahun kurang dari 91 hari.

Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com



Contoh Pemotongan PPh Atas Penjualan Saham yang Dimiliki Wajib Pajak Luar Negeri

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: Wow Way Co. (perusahaan di Cina) adalah salah satu pemegang saham PT Indonat. Wow Way Co. di bulan Januari 2013 menjual saham yang dimilikinya di PT Indonat kepada PT Holdindo (perusahaan di Indonesia) senilai Rp5.000.000.000,00 dan kepada Tematek Co. (perusahaan di Malaysia) senilai Rp20.000.000.000,00.
 
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
JAWAB:
Penghasilan dari penjualan saham Perseroan Terbatas dalam negeri yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar  20 % x 25 % atau 5 % (lima persen) dari harga jual.
Perseroan Terbatas dalam negeri tersebut adalah Perseroan Terbatas yang:
  • sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham yang berstatus Wajib Pajak luar negeri; dan
  • tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik.
Pemotong PPh Pasal 26 ini adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan.
Bagi pemegang saham Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada di Indonesia.
Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 26 PT Holdindo adalah:
  • PT Holdindo memotong PPh Pasal 26 sebesar Rp250.000.000,00 (20% x 25% x Rp5.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayarkan kepada Wow Way Co;
  • menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pengalihan saham tersebut paling lambat tanggal 11 Februari 2013;
  • melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Januari 2013 paling lambat tanggal 20 Februari 2013.
Kewajiban Pemungutan PPh Pasal 26 oleh PT Indonat adalah sebagai berikut:
  1. PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 (20% x 25% x Rp20.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayar oleh Tematek Co. kepada Wow Way Co;
  2. menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipungut atas pengalihan saham tersebut paling lambat tanggal 11 Februari 2013;
  3. melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Januari 2013 paling lambat tanggal 20 Februari 2013.
Catatan:
PT Holdindo merupakan pembeli saham. Ia membeli saham dari Wow Way Co yang merupakan subjek pajak luar negeri.
Dari produk hukum Indonesia tidak dapat mengikat subjek pajak luar negeri, maka kewajiban perpajakannya dibebankan kepada subjek pajak dalam negeri. Dalam hal ini adalah PT Holdindo yang diwajibkan memotong PPh Pasal 26.
 
Sedangkan PT Indonat sebenarnya tidak terlibat dalam transaksi ini. PT Indonat sebagai asset yang dimiliki oleh subjek pajak luar negeri.
Kepemilikan asset ini diperjualbelikan antara subjek pajak luar neger (Wow Way Co) dengan pembeli subjek pajak luar negeri (Tematek Co). 
 
Karena penjual dan pembeli sama-sama subjek pajak luar negeri, maka peraturan di Indonesia mewajibkan kepada si “asset” untuk memungut PPh. PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 atas penjualan saham yang dibayar oleh Tematek Co. kepada Wow Way Co.
 


Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

Contoh Pemotongan PPh Atas Pembayaran Dividen ke Luar Indonesia

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Flip Light Indonesia sebuah perusahaan penanaman modal asing, pada tanggal 10 Mei 2013 mengumumkan pembagian dividen dari keuntungannya di tahun 2012, antara lain kepada:
Mr. Sneijder, Subjek Pajak Luar Negeri yang berdomisili di Belanda (dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili sesuai dengan format yang telah ditentukan yang diserahkan kepada PT Flip Light Indonesia), sebesar Rp300.000.000,00;
perusahaan Spurs Vehicle Co., perusahaan yang berkedudukan di Mauritius, sebesar Rp5.000.000.000,00.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
JAWAB:
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi merupakan objek PPh.
Apabila penerima dividen tersebut adalah:
  • Wajib Pajak badan dalam negeri (kecuali Wajib Pajak badan tertentu sebagaimana dijelaskan dalam halaman 49) dan Bentuk Usaha Tetap maka dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto dividen;
  • Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri maka dipotong PPh bersifat final sebesar 10% dari jumlah bruto dividen;
  • Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap maka dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai dengan tarif dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait.
Untuk dapat dipotong PPh Pasal 26 menggunakan tarif sesuai dengan P3B maka Wajib Pajak luar negeri penerima penghasilan harus dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) sesuai dengan format yang telah ditentukan kepada pemotong PPh.
Kewajiban PT Flip Light Indonesia sebagai pemotong PPh Pasal 26 adalah:
  • PT Flip Light Indonesia memotong PPh Pasal 26 sebesar:

10% x Rp300.000.000,00 = Rp30.000.000,00 atas pembayaran dividen kepada Mr. Sneijder. Berdasarkan P3B Indonesia Belanda atas dividen tersebut dapat dikenakan pajak di Indonesia dengan tarif tidak lebih dari 10%;
 20% x Rp5.000.000.000,00 = Rp1.000.000.000,00 atas pembayaran dividen kepada Spurs Vehicle Co. Tarif yang digunakan sesuai dengan  Pasal 26 yaitu 20% karena tidak ada P3B antara Indonesia-Mauritius;

  • menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pembayaran dividen tersebut paling lambat tanggal 10 Juni 2013;
  • melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Mei 2013 paling lambat tanggal 20 Juni 2013.
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

 

Contoh Pemotongan Penghasilan Pegawai Ekspatriat yang Berada di Indonesia Kurang dari Time Test

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: Pada tanggal 1 Maret 2013, Mr. Francois Dugarry (seorang warga negara Perancis dan belum mempunyai NPWP), ditunjuk sebagai presiden direktur PT MNX, Tbk. (sebuah perusahaan multi nasional di Indonesia yang bergerak di bidang consumer goods) dengan gaji sebesar US$7,000.00 per bulan.
Mr. Francois Dugarry masih menjabat sebagai anggota direksi di perusahaan induk yang ada di Perancis, sehingga tidak menetap di Indonesia dan hanya datang ke Indonesia untuk supervisi maupun rapat dengan jajaran direksi lainnya.
Berdasarkan data dari kantor imigrasi, selama tahun 2013 Mr. Francois Dugarry berada di Indonesia selama 84 hari. Gaji Mr. Francois Dugarry dibayarkan setiap tanggal 1 bulan berikutnya dengan nilai kurs dollar mengacu pada kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku.
Bagaimana kewajiban pemotongan PPh yang harus dilakukan PT MNX, Tbk. atas gaji bulan Maret 2013 yang dibayarkan pada tanggal 1 April 2013?
JAWAB:
Mr. Francois Dugarry merupakan subjek pajak luar negeri karena berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari selama tahun 2013. Ketentuan Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Menurut ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan yang diterima subjek pajak dalam negeri dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto.
Dalam hal antara Indonesia dengan negara lain mempunyai tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka ketentuan perpajakan yang terkait dengan subjek pajak luar negeri harus merujuk pada ketentuan dalam P3B sebagai lex specialis. Mengingat Indonesia dan Perancis mempunyai P3B, maka ketentuan pemajakan atas Mr. Francois Dugarry tersebut mengacu pada P3B tersebut.
Dalam P3B antara Indonesia dan Perancis terdapat ketentuan yang mengatur bahwa pendapatan selaku pengurus atau komisaris serta pembayaran-pembayaran sejenis yang diperoleh penduduk salah satu Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai anggota pengurus atau anggota dewan komisaris atau bentuk pengurusan yang serupa dari suatu badan yang berkedudukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
Dari ketentuan yang tertuang dalam P3B Indonesia-Perancis tersebut dapat disimpulkan bahwa gaji direktur sehubungan dengan pekerjaan yang diterima dari perusahaan yang ada di Indonesia dikenai pajak di Indonesia.
Sehingga atas gaji yang dibayarkan oleh PT MNX, Tbk. kepada Mr. Francois Dugarry sebagai subjek pajak luar negeri dikenai pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20%dari jumlah bruto dan bersifat final.
Nilai kurs dollar terhadap rupiah sebagai dasar pelunasan PPh  yang berlaku untuk tanggal 27 Maret 2013 sampai dengan 2 April 2013 sesuai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/KM.11/2013 adalah Rp9.748,00.
Penghitungan PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayar kepada Mr. Francois Dugarry:
20% x US$7.000 x Rp9.748,00= Rp13.647.200,00
Kewajiban PT MNX, Tbk. sebagai Pemotong PPh Pasal 26 adalah:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar Rp13.647.200,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 kepada Mr. Francois Dugarry;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 26 tersebut paling lambat tanggal 10 Mei 2013;
  3. melaporkan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran gaji tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 masa pajak April 2013 paling lambat tanggal 20 Mei 2013.
 
Catatan:
Kurs Keputusan Menteri Keuangan adalah kurs yang digunakan untuk membayar pajak. Pada kasus ini adalah kurs yang digunakan pada saat pemotongan pajak penghasilan.
Gaji Mr. Francois dibayar setiap tanggal 1, artinya kurs yang digunakan adalah kurs yang berlaku tanggal 1 April 2013. Dipotong oleh pemberi penghasilan sudah dalam bentuk rupiah. Kemudian dibayarkan ke Kas Negara.
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Pemotngan Penghasilan atas Sewa Kapal yang Bersandar Dianjungan Lepas Pantai (drilling rig)

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Global Sea Transport adalah perusahaan pelayaran dalam negeri dengan SIUPAL nomor BXXX-120/AL.57 tanggal 25 Januari 2002 yang melakukan usaha jasa pelayaran termasuk jasa penyewaan kapal. PT Global Sea Transport melakukan kontrak persewaan kapal dengan PT Tanjung Scorpa Tanker berupa persewaan kapal penyimpanan minyak mentah sementara yang bersandar dianjungan lepas pantai (drilling rig) untuk menyimpan batubara sesuai jangka waktu dalam kontrak. Harga sewa yang disepakati 150.000.000,00 yang dibayarkan tanggal 14 Februari 2013.
Bagaimana perlakuan PPh atas transaksi di atas?
JAWAB:
Penghasilan yang diterima atau diperoleh PT Global Sea Transport dari PT Tanjung Scorpa Tanker dari penyewaan kapal yang difungsikan sebagai kapal untuk penyimpanan minyak mentah dalam jangka waktu tertentu dan bersandar di rig tidak termasuk sebagai penghasilan dari penyewaan kapal yang dilakukan dari:
  • pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainya di Indonesia;
  • pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
  • pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan  di Indonesia; dan
  • pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
Dengan demikian atas penghasilan tersebut termasuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto, PPh yang terutang dipotong PT Tanjung Scorpa Tanker, sehingga perhitungannya sebagai berikut:   
2% X Rp150.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
Kewajiban PT Tanjung Scorpa Tanker adalah:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebesar Rp3.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada PT Global Sea Transport;
  2. menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 11 Maret 2013;
  3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Februari 2013 paling lama tanggal 20 Maret 2013.  
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Pemotongan Penghasilan atas Sewa Kapal Tanpa Awak Kepada Selain BUT

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Bahtera Indah Nusantara adalah perusahaan pelayaran dalam negeri yang mengadakan perjanjian sewa kapal tanpa awak (bareboat charter) sebesar Rp600.000.000,00 dengan perusahaan pelayaran luar negeri yaitu Ocean Link Ship Pte. Ltd. yang berdomisili di Singapura yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD).
 
Pada tanggal 27 Mei 2013 PT Bahtera Indah Nusantara telah membayar biaya sewa kepada Ocean Link Ship Pte. Ltd.
 
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?
 
JAWAB:
Berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura, atas penghasilan dari persewaan kapal tanpa awak (bareboat charter) tersebut termasuk dalam pengertian royalty sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto, PPh yang terutang dipotong PT Bahtera Indah Nusantara, sehingga perhitungannya sebagai berikut:    
15% x Rp600.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
 
Kewajiban PT Bahtera Indah Nusantara adalah:
 
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas royalty sebesar Rp90.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada Ocean Link Ship Pte. Ltd.;
  2. menyetorkan PPh Pasal 26 yang telah dipotong ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 Juni 2013;
  3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Mei 2013 paling lama tanggal 20 Juni 2013. 
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

boat on sea under the blue sky
Photo by Ahmed Mulla on Pexels.com

Film Impor

Saya kira ini merupakan kabar baik bagi para importir film. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukkan Film Impor menegaskan aturan royalti film impor.

Inti dari SE-3/PJ/2011 kira-kira seperti ini :

Apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian film impor :
1. selusuh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau

2. diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya,

maka atas penghasilan yang dibayar ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26.

Dengan kata lain, jika dua syarat tersebut dipenuhi maka atas pembelian film impor tidak termasuk pembayaran royalti sehingga tidak terutang PPh Pasal 26.

Sebaliknya, jika dua syarat tersebut TIDAK TERPENUHI maka atas pembelian atau pembayaran yang terkait dengan film impor akan terutang PPh Pasal 26 karena dianggap terdapat royalti atas pembayaran tersebut.

Wajib Pajak yang melakukan pembayaran wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 26.

Jika tidak dilakukan pemotongan maka akan menjadi beban Wajib Pajak tersebut.

Terkait dengan PPN, atas pemasukan film impor tersebut terutang PPN karena merupakan pemenfaatan barang kena pajak tidak berwujud, baik film tersebut disimpan dalam media roll atau “media lain”.

Dasar pengenaan PPN-nya adalah nilai impor atau nilai yang seharusnya dibayar. Termasuk objek PPN adalah royalti sebagai hasil peredaran film dengan DPP PPN sejumlah “yang seharusnya dibayar”.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Saat Terutang Potput

Di penghujung tahun 2010 kemarin, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Salah satu pasalnya mengatur tentang saat terutang bagi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

Saat terutang atau saat dipotong oleh pemotong sebenarnya sudah diatur di UU PPh.

Mungkin peraturan pemerintah ini lebih mempertegas lagi. Secara lengkap saya salin Pasal 15 PP No. 94 Tahun 2010

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.

(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-­Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Yang dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan”

a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date).

Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23/26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Bagi yang belum paham pasal-pasal diatas, saya mengingatkan kembali :

PPh Pasal 21 adalah cicilan pajak penghasila terutang yang dipotong oleh pemberi penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi baik yang berstatus karyawan maupun bukan.

Cicilan ini pada akhir tahun akan dikreditkan atau diperhitungkan kembali oleh penerima penghasilan di SPT Tahunan PPh OP.

PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipotong oleh bendaharawan pemerintah dan Wajib Pajak usaha tertentu.

Besaran tarif terbaru PPh Pasal 22 diatur di PMK-154/2010.

PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dipotong oleh pemberi penghasilan atas kegiatan jasa tertentu.

Daftar jasa-jasa yang merupakan objek PPh Pasal 23 yang saya posting bulan Januari 2009 masih berlaku sampai sekarang.

PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dipotong oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri.

Baik PPh Pasal 22 maupun PPh Pasal 23 merupakan cicilan pajak penghasilan bagi penerima penghasilan.

Sehingga, pada saat pemotongan, penerima penghasilan WAJIB meminta SSP atau Bukti Potong. Bukti Potong ini akan diperhitungkan kembali pada akhir tahun di SPT Tahunan PPh Badan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: