fbpx

PPh Pasal 26 Atas Pembayaran Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model.

Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber.

Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model.

Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Indonesia memiliki hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) terhadap Bentuk Usaha Tetap. Walaupun status Bentuk Usaha Tetap merupakan Wajib Pajak luar negeri tetap kewajiban perpajakan Bentuk Usaha Tetap disamakan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri lainnya, yaitu wajib melaporkan seluruh penghasilannya dari usaha atau kegiatannya di Indonesia. Wajib Pajak luar negeri yang lain tidak ada kewajiban melaporkan penghasilan usahanya seperti Bentuk Usaha Tetap.

Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :

  1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu ke OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.

Sekilas Ketentuan Pajak Penghasilan

Salah satu ciri khas pajak adalah tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Mungkin saja pelayanan negara kepada pembayar pajak dengan penyelundup pajak sama saja. Jadi, apa bedanya membayar pajak dengan tidak membayar pajak?

Hampir semua orang tidak akan membayar pajak dengan senang hati. Jika mungkin, setiap orang dapat menikmati hasil usahanya tanpa berkurang karena pajak. Supaya pajak dapat tetap dibayar oleh Wajib Pajak maka pajak harus memiliki kekuatan memaksa agar Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya.

Dalam negara hukum, sifat memaksa hanya dapat dibenarkan jika berdasarkan undang-undang. Sesuai dengan konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, pajak yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang.

Bagian Ketentuan Pajak Penghasilan, penulis akan menguraikan yurisdiksi pengenaan pajak, siapa dan apa yang kenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan domestik, mengapa perlu membuat tax treaty dengan negara lain, dan bagaimana kewenangan Indonesia memungut pajak atas premi asuransi berdasarkan tax treaty yang ada.

Yurisdiksi Pengenaan Pajak

Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.”

Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation . Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, seperti yang berlaku sekarang, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh).

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif .

Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”

Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri .

Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh dan diterima secara global , yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak).

Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Subjek Pajak

Subjek pajak itu adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek pajak itu pada umumnya subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak, yang kemudian diatur dalam undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai subjek pajak.

Subjek pajak diatur oleh Pasal 2 UU PPh. Menurut Pasal 2 ayat (1), subjek pajak adalah (a) 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; (b) badan; (c) bentuk usaha tetap. Selanjutnya, menurut Pasal 2 ayat (2), subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Pembagian subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri mengacu kepada domisili subjek pajak tersebut seperti yang diuraikan diatas.

Sedangkan perlakuan perpajakannya terdapat perbedaan yang mendasar. Subjek pajak luar negeri hanya dikenakan PPh di Indonesia atas penghasilan yang bersumber di Indonesia. Sebaliknya subjek pajak dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilannya, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (world wide income).

Objek Pajak

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan (seperti: memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak gerak, menempati rumah tertentu), perbuatan (seperti: melakukan penyerahan barang karena perjanjian), maupun peristiwa (seperti: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak) .

Tetapi objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang lengkapnya berbunyi, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,…

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

tambahan kemampuan ekonomis
Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud “tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.

baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh.

yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

dengan nama dan dalam bentuk apapun
Bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Pedoman yang harus dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.

Prinsip Netralitas

Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal.

Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang “netral” yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.

Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.

Doernberg, sebagaimana dikutif oleh Gunadi, menyebut tiga unsur netralitas:

netralitas ekspor modal (capital-export neutrality)
Sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik. Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002.

netralitas impor modal (capital-impor neutrality)
Netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality). Maksud netralitas ini adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.

netralitas nasional (national neutrality).
Netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.

Sementara Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.

International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.

Terjadinya Pajak Ganda

Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.

Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis . Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.

Contoh pajak ganda ini adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.

Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system. Sistem ini didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain.

Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar. Penerapan sistem ini menimbulkan efek pengenaan pajak berganda dan tidak mencerminkan asas keadilan dan pemerataan.

Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari Full integration system, deviden deduction system, split rate system, devidend examption system  dan imputation system. Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan  devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.

Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi. Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.

Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir. Contohnya devidend deduction system, yaitu integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan.

Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen. Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.

Sistem lainnya yaitu split rate system pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan. Terakhir, imputation system yaitu dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.

Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) karena ada dual residence; (2) konflik antara asas domisili dengan asas sumber; (3) perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).

Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan misalnya ia diperlakukan masing-masing sebagai penduduk Indonesia dan Singapura . Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Kriteria dimaksud adalah (i) tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence; (ii) pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada; (iii) kebiasaan berdiam (habitual abode); (iv) status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak; (v) prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Konflik antara asas domisili dengan asas sumber merupakan jenis pajak ganda yuridis yang kedua. Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut.

Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.

Metode Penghindaran Pajak Berganda

Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu metode pembebasan dan metode kredit.

Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber. Metode pembebasan meliputi:

Pembebasan subjek
Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa. Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 UU PPh.

Pembebasan objek
Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) diabaikan sama sekali.

Pembebasan pajak
Metode ini dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif.

Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.

Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Metode ini yang paling lazim dipakai dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memakai varian metode ini.

Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili. Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit. Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.

Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.

Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:

Overall limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Per country limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 UU PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Tax sparing
Metode ini disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday. Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber. Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.

Underlying tax credit
Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba. Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.

Matching credit
Matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty). Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.

Tax Treaty

Tujuan dari pembebasan dan kredit pajak adalah untuk menghindari pajak berganda. Undang-undang domestik biasanya telah mengatur secara unilateral pencegahan pajak ganda internasional. Pasal 3 dan Pasal 24 UU PPh merupakan ketentuan domestik mengenai pencegahan pajak berganda. Tetapi pengaturan unilateral pencegahan pajak berganda tersebut sering kurang memadai untuk menghilangkan sama sekali pengenaan pajak berganda. Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan ketentuan unilateral tidak efektif , yaitu:

Satu, apabila Wajib Pajak dalam negeri suatu negara menerima penghasilan dari negara lain yang telah mengenakan pajak sebagai negara sumber, negara domisili tersebut dapat saja secara unilateral membebaskan pengenaan pajak di negara domisili tersebut dengan tujuan mencegah pajak ganda dengan memakai metode pembebasan, namun tidak ada jaminan negara lain tersebut juga akan melakukan pencegahan pajak ganda yang sama. Jika di negara sumber dan di negara domisili tidak timbal balik (reciprocal) maka akan tetap ada pajak ganda.

Dua, suatu sistem pajak atas penghasilan di suatu negara itu unik, sehingga kemungkinan pengenaan pajak ganda atas penghasilan dari transaksi antara dua negara adalah sangat besar, apabila pencegahan pajak ganda hanya diserahkan kepada pengaturan kententuan pencegahan pajak ganda unilateral dari undang-undang domestik. Misalnya dalam hal ketentuan tentang negara sumber dari penghasilan tertentu yang berkenaan dengan source rule. Masing-masing negara mendefinisikan sendiri sehingga di dua negara atau lebih berbeda. Perbedaan definisi source rule merupakan penyebab pajak berganda seperti diuraikan diatas.

Tiga, ketentuan undang-undang domestik biasanya kaku dan tidak lentur. Biasanya interpretasi atas undang-undang domestik tidak memungkinkan memberi akomodasi untuk mencegah pajak ganda, sebab ketentuan undang-undang domestik itu ditujukan guna memasukkan sejumlah penerimaan pajak dan bukan untuk mencegah pajak ganda internasional.

Karena itu, untuk mencegah pajak ganda internasional dibuat ketentuan bilateral antara dua negara yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. Agar benar-benar tidak terjadi pajak berganda, biasanya dalam tax treaty dibuat aturan yang berlapis-lapis. Setidaknya ada tiga lapis aturan untuk menghindari pajak ganda.

Lapis pertama adalah ketentuan untuk mencegah dual residence. Dalam OECD model dan UN model, ketentuan tentang penduduk diatur dalam Pasal 4 tax treaty. Penyelesaian masalah dual residence ini biasanya dilakukan berdasarkan a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan. Jika kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah maka digunakan kriteria kedua, dan seterusnya. Kriteria yang dimaksud adalah permanent home, centre of vital interest, habitual abode, nationality dan mutual agreement. Dengan ditiadakannya kemungkinan dual residence maka pajak ganda yang disebabkan oleh hal ini dengan sendirinya tercegah.

Lapis kedua aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu: pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili. Pada dasarnya suatu tax treaty adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
    • penghasilan immovable propertypenghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treatypenghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises)penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain
    • imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.

Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan. Contoh jenis penghasilan ini adalah bunga, dividen dan royalti.

Ketiga, Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
    • capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property, pensiunan, business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
    • penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
  • penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif,  (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii)  balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.  

Lapis ketiga aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu mutual agreement procedure (MAP). MAP merupakan suatu upaya yang diberikan kepada setiap subjek pajak yang masih mengalami pemajakan ganda untuk meminta pejabat pajak yang berwenang dari negara domisili untuk melakukan mutual agreement dengan pejabat pajak yang berwenang dari negara sumber, sehingga tercapai kesepakatan untuk menghilangkan adanya pajak ganda yang dikenakan kepada subjek pajak tersebut.

Bentuk Usaha Tetap

Seperti diuraikan diatas, dalam tax treaty biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentu Usaha Tetap (BUT). Ketentuan tentang hal ini dalam OECD model dan UN model diatur dalam Pasal 7 ayat (1).

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat:

Satu, adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam.

Dua, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan

Tiga, kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Selanjutnya, yang akan dibahas disini pembatasan Bentuk Usaha Tetap untuk bidang usaha asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5).

Pasal 5 ayat (1) mensyaratkan adanya a fixed place. Seperti diuraikan diatas, Pasal 5 ayat (1) memerlukan tiga syarat, yaitu : adanya tempat usaha, bersifat tetap, dan dilakukan melalui tempat tetap tersebut. Sedangkan Pasal 5 ayat (5) mengatur bahwa orang / badan dapat ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal:

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi. UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Bentuk Usaha Tetap apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).

Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Batasan Bentuk Usaha Tetap Perusahaan Asuransi

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa terdapat dua model pengenaan premi asuransi ke luar negeri. Model pertama disarankan oleh OECD model. Commentary Pasal 5 ayat (5) menyebutkan, “according to the definition of the term “permanen establishment” an insurance company of one State may be taxed in the other State on its insurance business, if it has a fixed place of business within the meaning of paragrap 1 or if it carries on business through a person within the meaning of paragraph 5”.

Model kedua disarankan oleh UN model. Commentary Pasal 5 ayat (6) menyebutkan, “.. the Group agreed that the case of representation through independent agents should be left to bilateral negotiations, which could take account of the methods used to sell insurance ….

Australia

Tax treaty dengan Australia bernama “Agreement between the goverment of The Republic of Indonesia and the goverment of Australia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 22 April 1992, dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 62 tahun 1992 tanggal 10 Nopember 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Austria

Tax Treaty dengan negara Austria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Austria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect of taxes on income and on capital”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Vienna pada tanggal 24 Juli 1986 dan telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 8 tahun 1987 tanggal 20 April 1987.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Belgia

Tax Treaty dengan negara Belgia terdapat dua periode, yang pertama didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital” yang ditandatangani oleh kedua negara di Brussels pada tanggal 13 Nopember 1973 kemudian diratifikasi Keputusan Presiden No. 50 tahun 1974 tanggal 13 September 1974. Tax Treaty ini berlaku dari tanggal 1 Januari 1975 sampai dengan 31 Desember 1998.

Periode kedua didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income” yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 16 September 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 149 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. Tax treaty yang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999 sampai sekarang.

Pada periode pertama, tax treaty mengatur secara khusus batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (5). Tetapi pada periode kedua, batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi dihilangkan. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1999 Bentuk Usaha Tetap diuji dengan dependensi agen asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5).

Brunei Darussalam

Tax treaty dengan negara Brunei Darussalam bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Brunei Darussalam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandantangani oleh kedua negara di Bandar Seri Begawan pada tanggal 27 Februari 2000 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 2000 tanggal 20 April 2000.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Bulgaria

Tax treaty dengan negara Bulgaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Bulgaria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Sofia pada tanggal 11 Januari 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1991 tanggal 18 Juli 1991.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Kanada

Tax treaty dengan negara Kanada bernama “Convention between The Republic of Indonesia and Canada for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1979 tanggal 3 Desember 1979.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Tax treaty dengan Kanada telah diamandemen pada tanggal 1 April 1998 tetapi Pasal 5 ayat (5) tidak mengalami perubahan (tidak diamandemen).

Sri Lanka

Tax treaty dengan negara Sri Lanka bernama “Agreement between Republic of Indonesia and The Democratic Socialist Republic of Sri Lanka for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect ot taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Kolombo pada tangga 3 Februari 1993 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Taiwan

Tax treaty dengan negara Taiwan bernama “Agreement between The Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and The Taipei Economic and Trade Office for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”Tax treaty ini telah ditandatangani di Taipei pada tanggal 1 Maret 1995 dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 507/KMK.04/1995 tanggal 7 Nopember 1995.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Ceko

Tax treaty dengan negara Ceko bernama “Agreement between the govenment of Republic of Indonesia and the government of The Czech Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1994 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1995 tanggal 6 Desember 1995.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Denmark

Tax Treaty dengan negara Denmark bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Denmark for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”.  Tax treaty ini ditandatangani  di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1985 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 15 tahun 1986 pada tanggal 21 April 1986.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Finlandia

Tax Treaty dengan negara Finlandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Finland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 49 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perancis

Tax Treaty dengan negara Perancis bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The French Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jerman

Tax treaty  dengan negara Jerman bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Federal Republic of Germany for the avoidance of double taxation with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bonn pada tanggal 30 Oktober 1990 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Hungaria

Tax treaty dengan negara Hungaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hungarian People’s Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1989 tanggal 9 Desember 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

India

Tax treaty dengan negara India bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of India for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1987 tanggal 8 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Italia

Tax treaty dengan negara Italia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the gorvernment of The Italian Republic of for the avoidance of double taxation with respet to taxes on income and the prevention of fiscal evasion”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1990 tanggal 9 Oktober 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jepang

Tax treaty dengan negara Jepang bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and Japan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Tokyo pada tanggal 3 Maret 1982 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1982 tanggal 27 Oktober 1982.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Yordania

Tax treaty dengan negara Yordania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hashemite Kingdom of Jordan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Amman pada tanggal 12 Nopember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 151 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. 

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Korea

Tax treaty dengan negara Korea Selatan bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Nopember 1988 dan diratifikasi pada dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1989 tanggal 8 Maret 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Kuwait

Tax treaty dengan negara Kuwait bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The State of Kuwait for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuwait pada tanggal 23 April 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 152 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Luxembourg

Tax treaty dengan negara Luxembourg bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Grand Duchy of Luxembourg for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Luxembourg pada tanggal 14 Januari 1993 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Malaysia

Tax treaty dengan negara Malaysia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Malaysia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 12 September 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1992 tanggal 26 Juni 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mauritius

Tax treaty dengan negara Mauritius bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Mauritius for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Desember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1998 tanggal 12 Januari 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mongolia

Tax treaty dengan negara Mongolia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Mongolia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Ulan Bator pada tanggal 2 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 157 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung risiko di negara lain.

Belanda

Sampai saat ini, terdapat dua tax treaty dengan negara Belanda yang telah diratifikasi. Tax treaty yang pertama bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of The Netherlands for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty  ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1973 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1974 tanggal 14 Januari 1974. Kemudian, tahun 1993 tax treaty ini diamandemen dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1994 tanggal 24 Januari 1994.

Kedua tax treaty dengan Belanda mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5) dalam tax treaty tahun 1973 dan Pasal 5 ayat (6) dalam tax treaty tahun 1994. Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Selandia Baru

Tax treaty dengan negara Selandia Baru bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of New Zealand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Wellington pada tanggal 23 Maret 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Norwegia

Tax treaty dengan negara Norwegia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 45 tahun 1988 tanggal 8 Nopember 1988.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Pakistan

Tax treaty dengan negara Pakistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Islamic Republic of Pakistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Islamabad pada tanggal 7 Oktober 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 tahun 1991 tanggal 23 Januari 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Filipina

Tax treaty dengan negara Filipina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Philippines for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Manila pada tanggal 18 Juni 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1981 tanggal 28 Oktober 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Polandia

Tax treaty dengan negara Polandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Poland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Warsawa pada tanggal 16 Oktober 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 1993 tanggal 4 Agustus 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Rumania

Tax treaty dengan negara Rumania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Romania for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 147 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Singapura

Tax treaty dengan negara Singapura bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Singapura pada tanggal 8 Mei 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1990 tanggal 20 Desember 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Vietnam

Tax treaty dengan negara Vietnam bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Socialist Republic of Vietnam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Hanoi pada tanggal 22 Desember 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 177 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Afrika Selatan

Tax treaty dengan negara Afrika Selatan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of South Africa for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Juli 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 148 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Spanyol

Tax treaty dengan negara Spanyol bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Spain for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Mei 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Sudan

Tax treaty dengan negara Sudan bernama “Agreement between the government of the Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Sudan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Khartoum pada tanggal 10 Februari 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 150 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swedia

Tax treaty dengan negara Swedia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Sweden for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 28 Februari 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1989 tanggal 30 April 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swis

Tax treaty dengan negara Swis bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Swiss Confederation for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Bern pada tanggal 29 Agustus 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1989 tanggal 31 Agustus 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Siria

Tax treaty dengan negara Siria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Syria Arab Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Juni 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 176 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Thailand

Tax treaty dengan negara Thailand bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Thailand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bangkok pada tanggal 25 Maret 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1981 tanggal 7 Juli 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (4). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uni Emirat Arab

Tax treaty dengan negara Uni Emirat Arab bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the governement of The United Arab Emirates for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 156 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Tunisia

Tax treaty dengan negara Tunisia bernama “Agreement between the Republic of Indonesia and The Republic of Tunisia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Denpasar tanggal 13 Maret 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1993 tanggal 24 Februari 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Turki

Tax treaty dengan negara Turki bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The Republic of Turkey for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 160 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Ukraina

Tax treaty dengan negara Ukraina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Ukraine for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 April 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 155 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mesir

Tax treaty dengan negara Mesir bernama “Agreement the government of The Republic of Indonesia and The Arab Republic of Egypt for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kairo pada tanggal 13 Mei 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 153 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Inggris

Tax treaty dengan negara Inggris bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1974 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1975 tanggal 13 September 1975. Kemudian pada tanggal 5 April 1993 di Jakarta ditandatangani tax treaty yang kedua yang merupakan renegosiasi tax treaty yang pertama. Tax treaty yang kedua diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 118 tahun 1993 tanggal 8 Desember 1993.

Kedua tax treaty dengan Inggris mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Amerika Serikat

Tax treaty dengan negara Amerika Serikat bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of United States of Amerika for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1988 tanggal 31 Oktober 1988.

Kemudian pada tanggal 24 Juli 1996 di Jakarta ditandatangani protokol amandemen tax treaty  yang pertama. Amandemen ini telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 88 tahun 1996 tanggal 20 Nopember 1996.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7), dan tahun 1996 Pasal 5 ini tidak diamandemen. Sehingga setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uzbekistan

Tax treaty dengan negara Uzbekistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Uzbekistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income (profits)”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 161 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Venezuela

Tax treaty dengan negara Venezuela bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Venezuela for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 158 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perantara Asuransi

Pada bagian ini, penulis membahas ketentuan perantara asuransi yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian.

Pengertian Asuransi

Terdapat beberapa definisi asuransi atau pertanggungan yang dapat menjelaskan pertanyaan ‘apa itu asuransi’. Baik definisi yang ditulis oleh pakar tentang asuransi maupun definisi menurut undang-undang. Di bawah ini dua definisi asuransi berdasarkan definisi undang-undang :

Menurut Pasal 246 KUHD:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Jika diperhatikan, kedua definisi hukum tersebut tidak ada pertentangan. Tetapi definisi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian) lebih luas. Definisi UU Perasuransian mencakup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan definisi KUHD hanya mencakup asuransi kerugian.

Jika dilihat dari sudut tertanggung asuransi merupakan kemauan untuk menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti untuk sebagai pengganti (substitusi) kerugian besar yang belum pasti. Tertanggung bersedia membayar premi dimasa sekarang agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Manfaat Asuransi

Banyak menfaat yang dapat dipetik oleh individu atau perusahaan dari kegiatan perasuransian, seperti perasaan aman yang diperoleh tertanggung ketika resiko-resiko yang mungkin timbul dimasa yang akan datang. Dibawah ini beberapa manfaat asuransi menurut pandangan Riegel dan Miller, sebagaimana dikutif oleh Abbas Salim :

  1. Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-perusahaan berada dalam keadaan aman. Dengan membeli asuransi, para pengusaha akan menjadi tenang.
  2. Dengan asuransi efesiensi perusahaan dapat dipertahankan. Guna menjaga kelancaran perusahaan, maka dengan asuransi resiko dapat dikurangi.
  3. Penarikan biaya akan dilakukan seadil mungkin (the equitable assestment of cost). Ongkos-ongkos asuransi harus adil menurut besar kecilnya resiko yang dipertanggungkan.
  4. Asuransi sebagai dasar pemberian kredit.
  5. Asuransi merupakan alat penabung, umpamanya dalam asuransi jiwa.
  6. Asuransi dapat dipandang sebagai suatu sumber pendapatan (earning power). Sumber pendapatan ini didasarkan kepada financing the business.

Perantara Asuransi

Hubungan antara penanggung dan tertanggung harus dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut polis. Hubungan tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip asuransi yang berlaku umum. Ada lima prinsip asuransi dan satu prinsip tambahan untuk reasuransi yang disebut Follow the fortunes of the ceding company . Berikut ini keenam prinsip asuransi tersebut :

Prinsip itikad baik
Penanggung dan tertanggung wajib melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undang-undang. Tertanggung tidak diperkenankan menyembunyikan segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung. Sebaliknya, penanggung tidak boleh menolak atau melakukan penundaan penyelesaian klaim yang menjadi tanggung jawabnya dengan berbagai dalih.

Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan
Pihak tertanggung wajib membuktikan diri bahwa dialah yang mempunyai kepentingan atas objek yang dipertanggungkan pada saat terjadinya kerugian.

Prinsip Ganti Rugi (Indemnitas)
Penggantian dan/atau pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung hanya terbatas pada kerugian sebenarnya yang dibayarkan oleh tertanggung sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku serta sah menurut hukum.

Prinsip Subrograsi
Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti kerugian yang sah kepada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak tertangggung untuk memperoleh pemulihan dan/atau menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.

Prinsip saling menanggung
Prinsip saling menanggung (kontribusi) merupakan dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada pihak yang bersangkutan, termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung bersama sesuai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi, dan reasuransi.

Prinsip follow the fortune of the ceding company
Prinsip ini juga diartikan dengan prinsip “mengikuti suka dukanya penanggung pertama”, dalam arti sebagai berikut:
1). Bila penanggung pertama mengalami kerugian karena besarnya klaim yang harus dibayar, secara seimbang pihak reasuransi juga akan mengikuti hasil yang tidak menguntungkan.
2). Bila penanggung pertama mengalami keuntungan, pihak reasuransi juga akan menikmati keuntungan.

Bila penanggung pertama berhasil memperoleh hasil pemulihan (recoveries) dari pihak ketiga, reasuransi juga berhak memperoleh sebagian hasil pemulihan tersebut, seimbang dengan saham kepesertaan mereka dalam kontrak reasuransi.

Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya . Pada prakteknya, seringkali hubungan penanggung dan tertanggung tidak langsung tetapi melalui satu perantara asuransi.

Kepentingan dan harapan tertanggung dipertemukan dengan penanggung oleh perantara sehingga perusahaan asuransi yang dipilih benar-benar penanggung yang dapat memenuhi kepentingan dan harapan tertanggung. Sering kali tertanggung sangat buta terhadap informasi asuransi dan sangat awam tentang peraturan perasuransian. Karena itu, sangat diperlukan suatu perantara yang menjembatani tertanggung dan penanggung.

Secara ilmu tatalaksana, menurut Abbas Salim, terdapat tiga bagian organisasi asuransi , yaitu kantor pusat, sistem keagenan dan sistem cabang. Sistem keagenan dan sistem cabang adalah kepanjangan tangan kantor pusat di daerah (selain kantor pusat). Perbedaan antara sistem agen dan sistem cabang adalah :

  1. pada sistem agen, agen kepala bekerja atas dasar kontrak yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap kantor-kantor cabang. Sedangkan pada sistem cabang, kepala cabang bekerja sebagai karyawan dan diberi gaji serta harus bertanggung jawab penuh kepada kantor pusat.
  2. Untuk menjalankan tugas penjualan asuransi, agen kepala berhak mengangkat sub agen dan agen-agen lainnya. Mereka bekerja tidak diberi upah/gaji seperti cabang.
  3. Dalam melakukan penjualan asuransi agen kepala ikut aktif, sedangkan pada sistem cabang kepala cabang hanya bekerja mengawasi administrasi dan penjualan asuransi tersebut.
  4. Agen kepala penghasilannya tergantung kepada komisi, oleh sebab itu ia harus bekerja lebih giat agar penghasilannya bertambah.

Menurut Purwosutjipto, dalam bidang hukum pertanggungan terdapat empat jenis perantara :

Pertama, Agen pertanggungan, yakni ada tiga bentuk:

  1. Agen pertanggungan bentuk pertama yaitu agen pertanggungan yang bertugas mencari langganan bagi perusahaannya. Tetapi agen ini juga bertindak untuk kepentingan calon tertanggung dan menerima amanatnya.
  2. Agen pertanggungan bentuk kedua yaitu agen pertanggungan yang dibayar oleh perusahaan dan semacam “pekerja keliling”. Agen pertanggungan memiliki surat kuasa yang mengikat majikannya.
  3. Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Kedua, Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Ketiga, Makelar pertanggungan. Makelar pertanggungan adalah perantara yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan tetap dengan satu atau beberapa perusahaan pertanggungan tertentu. Sebelum melaksanakan tugasnya, makelar pertanggungan harus mengangkat sumpah dulu dimuka hakim pengadilan negeri.

Keempat, Assurantiebezorger, yaitu perantara pertanggungan yang bertindak sebagai pemegang kuasa calon tertanggung dan mewakili perusahaan pertanggungan (di bursa Amsterdam) yang atas namanya turut menandatangani polis. Kedudukan ini di Indonesia tidak ada. Di Indonesia perantara pertanggungan ini tidak ada.

Wirjono Prodjodikoro, membedakan antara agen asuransi dan makelar asuransi. Agen asuransi yaitu seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi dan yang mengadakan pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu. Sedangkan makelar asuransi yaitu orang yang menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, termasuk perantara dalam hal mengadakan asuransi yang diatur dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD.

Sedangkan UU Perasuransian membedakan usaha perasuransian menjadi dua, yaitu usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi. Menurut Pasal 3 hurub b UU Perasuransian, usaha penunjang asuransi terdiri dari:

  1. usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
  2. usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
  3. usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
  4. usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.
  5. usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Broker Asuransi

Terdapat tiga istilah yang sering dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu broker, makelar atau pialang. Istilah broker berasal dari bahasa Inggris tetapi sangat sering dipergunakan sehari-hari. Istilah makelar adalah istilah yang dipakai di Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Sedangkan dalam UU Perasuransian memakai istilah pialang. Karena itu, dalam tesis ini ketiga istilah tersebut digunakan dengan maksud yang sama.

KUHD mengatur makelar umum dalam Pasal 62 sampai dengan 73 KUHD, sedangkan khusus mengenai makelar pertanggungan laut diatur dalam Pasal 681 sampai dengan Pasal 685 KUHD.

Untuk menjadi makelar, orang harus diangkat oleh pemerintah dan sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya, ia harus bersumpah dimuka Pengadilan Negeri, Pasal 62 KUHD.

Kemudian, Pasal 64 KUHD menyebutkan bahwa pekerjaan makelar adalah melakukan penjualan dan pembelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan dan lainnya, kapal-kapal, andil-andil dalam dana umum dan efek-efek lainnya, obligasi-obligasi, surat wesel, surat order dan surat-surat dagang lainnya, pula untuk menyelenggarakan perdiscontoan, pertanggungan, perutangan dengan jaminan kapal dan pencarteran kapal, perutangan uang atau lainnya.

Pasal 66 KUHD mewajibkan para makelar membuat catatan dalam suatu buku tentang segala perbuatan sebagai makelar dan setiap hari semua itu ditulis dalam suatu buku harian secara teliti.

Khusus makelar asuransi laut, Pasal 681 KUHD mewajibkan :

  1. Membuat nota penghabisan (sluitnota) selaku hasil dari perundingan dengan seorang asurador untuk pihak yang dijamin. Dalam nota ini disebutkan wujud barang yang dijamin, jumlah uang asuransi, berapa preminya dan berbagai perjanjian.
  2. Mengisi polis sesuai dengan undang-undang dan dengan keinginan kedua belah pihak.
  3. Mengadakan daftar polis-polis.
  4. Memasukkan dalam daftar itu segala catatan-catatan, surat-surat pemberitahuan-pemberitahuan tentang apa saja yang bersangkutan dengan asuransi-asuransi yang diadakan dengan perantaraan makelar itu.
  5. Apabila terjadi suatu kerugian yang harus diganti, makelar harus memberikan kepada pihak yang menjamin segala bahan-bahan untuk melaksanakan persetujuan asuransi.
  6. Atas permintaan kedua belah pihak, memberikan turunan dari polis dan lain-lain surat kepada merekan.

Undang-Undang Perasuransian membagi perusahaan pialang menjadi dua yaitu: perusahaan pialan asuransi dan perusahaan pialang reasuransi.

Pasal 5 UU Perasuransian mengatur kegiatan usaha masing-masing sebagai berikut:

  1. Perusahaan pialang asuransi menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
  2. Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi kontrak asuransi.

Jika dilihat dari badan usahanya, usaha pialang asuransi merupakan usaha yang mandiri, artinya pialang asuransi merupakan badan hukum terpisah dari perusahaan asuransi, walaupun mungkin saja pialang asuransi tersebut merupakan anak perusahaan dari perusahaan asuransi.

Pasal 7 ayat (1) UU Perasuransian mengatur bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :

  1. Perusahaan Perseroan (Persero);
  2. Koperasi;
  3. Perseroan Terbatas;
  4. Usaha Bersama (Mutual).

Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengharuskan memiliki susunan organisasi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya ada fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan.

Modal disetor perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000,00. Jika perusahaan tersebut terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00.

Ketentuan tentang modal disetor ini terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992. Tetapi dalam Peraturan Pemerinah No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no. 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha asuransi, tidak diatur lagi jumlah modal disetor kecuali bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan reasuransi dapat membentuk modal disetor sesuai dengan kebutuhan. Menurut memori penjelasannya, penghilangan batas minimum modal disetor bagi perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi dikarenakan pialang merupakan sebuah profesi, karena itu yang lebih diutamakan adalah profesionalisme dari perusahaan pialang.

Sebagai sebuah profesi, perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi membentuk asosiasi yang bernama Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia atau disingkat ABAI. Asosiasi ini didirikan pada tanggal 11 Maret 1978 dan menyelenggarakan program akreditasi yang disebut CIIB atau Certified Indonesian Insurance and Reinsurance Brokers.

Seorang broker yang memiliki CIIB, dapat mengusulkan dan merencanakan seluruh program asuransi serta memberikan pilihan program asuransi yang terbaik untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembeli dan penempatan resikonya pada penanggung asuransi dan mengurus klaim dengan baik.

Berbeda dengan agen asuransi yang hanya mementingkan keuntungan penanggung, broker asuransi akan membela kepentingan tertanggung melalui konsultasi ahli dan berperan sebagai “bagian asuransi” perusahaan tertanggung.

Broker asuransi berfungsi memilih penanggung yang aman bagi tertanggung, memilih jenis pertanggungan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung, melakukan negosiasi tingkat premi dengan penanggung, dan jika terjadi klaim maka mereka juga berfungsi memberikan pelayanan dan administrasi penyelesaian klaim.

Berdasar uraian diatas, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan usaha yang berdiri sendiri dalam arti badan hukum tersendiri dan tidak ada usaha lain selain usaha pialang.

Pialang asuransi dan pialang reasuransi juga merupakan suatu profesi yang lebih mengutamakan profesionalisme daripada modal perusahaan. Selain itu, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan perantara antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan tertanggung, calon tertanggung atau pihak lain yang memerlukan jasa asuransi dan jasa reasuransi.

Agen Asuransi

Agen asuransi merupakan bagian dari pemasaran bagi perusahaan asuransi sebagaimana broker asuransi. Keduanya sama-sama mencari calon tertanggung dan merupakan perantara antara penanggung dan tertanggung.

Perbedaan hakiki antara agen asuransi adalah agen asuransi bekerja untuk dan atas nama penanggung sedangkan broker asuransi bekerja untuk tertanggung. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari definisi agen asuransi dan pialang asuransi menurut UU Perasuransian.

Pasal 1 angka 8 UU Perasuransian, “Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertangung.”

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Definisi tersebut dengan tegas membedakan antara pialang asuransi dengan agen asuransi. Pialang asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan tertanggung sedangkan agen asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan penanggung.

Agen asuransi karena bekerja untuk dan atas nama penanggung maka agen asuransi tidak beda dengan kepanjangan tangan dari penanggung. Semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung.

Agen asuransi terdapat dua macam, yaitu agen asuransi yang menjadi karyawan penanggung dan agen asuransi yang independen, dalam arti bukan karyawan penanggung.

Bagi perusahaan asuransi jiwa, agen asuransi yang independen lebih disukai karena tidak terikat dengan peraturan ketenaga-kerjaan . Tetapi keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk membentuk product image. Untuk itu, perusahaan asuransi biasanya memberikan training kepada agen agar menjadi tenaga pemasar yang unggul.

Seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992, bahwa semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni. Walaupun agen asuransi merupakan agen yang independen, tetapi agen asuransi tetap merupakan kepanjangan tangan perusahaan asuransi karena semua tindakan agen tersebut merupakan atau mengatasnamakan tindakan perusahaan asuransi yang diageni.

Kententuan lain yang mengikat agen asuransi dengan perusahaan asuransi adalah Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perijinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. Untuk mendapatkan ijin usaha agen asuransi, usaha agen asuransi harus memiliki bukti perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi yang diageni.

PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pada bagian ini, penulis membagi menjadi 3 bagian, yaitu : (a) withholding tax yang menguraikan alasan dan keuntungan metode withholding disamping kerugiannya; (b) PPh Pasal 26 dan tax treaty yang membahas kewenangan memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri; (c) PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang membahas kewajiban memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri.

Withholding Tax

Withholding merupakan metode pengumpulan pajak penghasilan pada saat pembayaran penghasilan oleh pihak lain kepada Wajib Pajak. Sebelum penghasilan diterima oleh Wajib Pajak maka penghasilan tersebut dipotong terlebih dahulu sebesar pajak yang terutang.

Pembayar penghasilan merupakan pemotong pajak. Tujuan dari withholding tax adalah memajaki (memotong pajak) penghasilan ketika penghasilan tersebut diterima. Karena itu, kadang-kadang metode ini juga dikenal dengan pay as you earn (PAYE).

Withholding merupakan bagian dari tax settlement. Ada dua pendekatan tax settlement yaitu : (a) self payment atau pembayaran angsuran bulanan oleh Wajib Pajak sendiri, dan (b) withholding system atau pelunasan pajak oleh pihak ketiga.

Dasar penghitungan self payment adalah prestasi kinerja tahun pajak yang lalu sedangkan dasar penghitungan withholding system adalah besarnya transaksi penerimaan atau perolehan penghasilan.

Pendekatan withholding tax terdapat dua macam. Pertama, pajak yang telah dipotong merupakan kredit pajak bagi pajak yang terutang pada tahun yang sama. Dengan kata lain, withholding tax merupakan pembayaran pajak dimuka yang akan dikreditkan pada akhir tahun saat penghitungan pajak terutang atas semua penghasilan yang diterima Wajib Pajak.

Pendekatan kedua, pajak yang dipotong merupakan pajak yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang lainnya.

Khusus bagi negara berkembang, withholding tax sangat penting. Administrator pajak mereka akan lebih baik menegakkan hukum pajak dan merupakan solusi bagi masalah pengumpulan pajak.

Keuntungan lain dari sistem pemotongan adalah :

  1. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak karena pihak yang dibayar diwajibkan melaporkan penghasilan atas pajak yang telah dipotong oleh pemotong.
  2. pajak yang terutang otomatis akan terkumpul oleh pemotong dan akan dilaporkan oleh pemotong sehingga akan teridenfikasi dari laporan pemotong.
  3. meningkatkan keadilan pajak karena walaupun Wajib Pajak tidak melaporkan penghasilannya atau hanya sebagian penghasilan yang dilaporkan, tetapi semua pajak terutangnya telah dibayar.
  4. mengurangi beban / membantu tugas kantor pajak untuk mengumpulkan pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
  5. metode ini biasanya “meringankan” beban Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang karena Wajib Pajak membayar pajak saat penghasilan diterima.

Sedangkan kelemahan dari metode ini, dapat memberikan beban bagi Wajib Pajak karena kelebihan pemotongan. Bagi Wajib Pajak yang mengalami kerugian, pemotongan pajak merupakan beban tambahan karena seharusnya Wajib Pajak tersebut tidak membayar pajak penghasilan.

Walaupun kelebihan pajak penghasilan tersebut dapat dikembalikan, tetapi Wajib Pajak mengalami opportunity cost. Metode withholding juga akan menambah beban bagi pemotong yang seharusnya menjadi beban kantor pajak.

Selain itu, khusus pemotongan yang bersifat final akan menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak tetap akan dipotong pajak oleh pemotong walaupun “seharusnya” Wajib Pajak tersebut tidak wajib membayar pajak.

Sistem perpajakan di Indonesia juga mengenal withholding tax. Ketentuan tentang withholding tax diatur dalam :

  1. Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Untuk pemotongan PPh atas : penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur oleh peraturan pemerintah.
  2. Pasal 21 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan.
  3. Pasal 22 UU PPh. Yaitu pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah.
  4. Pasal 23 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah dan penghargaan.
  5. Pasal 24 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri.
  6. Pasal 26 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.

PPh Pasal 26 dan tax treaty

Ada dua perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yaitu :

  1. penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Wajib Pajak luar negeri ini diperlakukan seperti Wajib Pajak dalam negeri, yaitu pemenuhan sendiri (self assessment) kewajiban perpajakannya
  2. Wajib Pajak luar negeri lainnya. Atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap yang bersumber dari Indonesia dipotong oleh pemberi penghasilan.

Pasal 26 UU PPh mengatur pemotongan PPh oleh pemberi penghasilan bagi Wajib Pajak (penerima penghasilan) yang berstatus Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Withholding tax PPh Pasal 26 bersifat final sehingga tidak dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, kecuali :

  1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan penghasilan yang diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud;
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.

Salah satu penghasilan yang menjadi objek pajak PPh Pasal 26 adalah premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Besarnya perkiraan penghasilan neto kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut, besarnya perkiraan penghasilan neto sebagai berikut :

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995. Siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Ketentuan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 diatas merupakan ketentuan domestik. Sebagai negera berdaulat, Indonesia dapat mengatur dan merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Khusus untuk subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan (objek pajak) berupa premi asuransi dari Indonesia diatur dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Tetapi otoritas negara / domestik untuk mengatur perpajakan mungkin akan dibatasi oleh treaty dan agreement internasional, yaitu

  1. bilateral tax conventions;
  2. multilateral treaties establishing free trade areas;
  3. agreements WTO
  4. the Article of Agreement of the IMF

Bilateral tax conventions lebih populer dengan nama tax treaty, yaitu perjanjian atau kesepakatan dibidang perpajakan antara dua pemerintah yang berdaulat yang bersifat resiprokal untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda.

Menurut Kees Van Raad , walaupun hierarki antara treaty dengan undang-undang domestik tidak sama setiap negara, tetapi menurut hukum sipil di kebanyakan negara, treaty memiliki status superior daripada undang-undang domestik.

Ketentuan dalam treaty mungkin saja dikesampingkan oleh undang-undang khusus seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Ketentuan hukum nasional dapat membatalkan ketentuan treaty yang sudah ada hanya jika Kongres Amerika Serikat secara tegas mengeluarkan ketentuan yang secara khusus mengesampingkan ketentuan treaty yang sudah ada tersebut.

Timbulnya kewenangan untuk memungut pajak oleh pemerintah berasal dari undang-undang domestik bukan berasal dari tax treaty. Undang-undang domestik mengatur siapa-siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, berapa tarif pajaknya dan bagaimana prosedur pembayaran pajak tersebut. Tax treaty justru membatasi hak pemerintah untuk mengenakan pajak tertentu.

Dalam beberapa peraturan pemerintah dan keputusan menteri keuangan secara tegas disebutkan bahwa ketentuan PPh Pasal 26, khususnya tentang tarif, dikesampingkan dan berlaku ketentuan dalam tax treaty. Contoh peraturan yang secara tegas menyebutkan berlakunya tax treaty daripada ketentuan PPh Pasal 26 adalah :

  1. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.
  2. Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 juga menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.

Dari uraian diatas terbukti bahwa ketentuan dalam undang-undang domestik “dikalahkan” oleh ketentuan tax treaty.

Tarif dalam tax treaty selalu lebih rendah daripada tarif dalam UU PPh atau ketentuan domestik. Hal ini terkait dengan fungsi suatu tax treaty yaitu membatasi kewenangan masing-masing negara yang bersepakat. Dengan tax treaty ditentukan hak pemajakan masing-masing treaty partner.

Kedudukan tax treaty lebih superior daripada ketentuan domestik karena tax treaty lebih spesialis (lex specialis derogat lex generalis).

Walaupun demikian, tax treaty tidak menciptakan ketentuan pajak yang baru karena kewenangan / hak pemajakan sebagaimana diatur dalam tax treaty hanya akan berlaku jika ketentuan domestik mengatur.

Maksud dari tax treaty biasanya dapat dilihat dari pembukaannya, yaitu “menghindari pemajakan berganda dan mencegah penghindaran pajak”.

Bahkan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, terdapat maksud lain yang tidak tertulis tetapi sebenarnya lebih penting daripada maksud yang tertulis, yaitu:

Pertama, merupakan pembagian penerimaan pajak dari penghasilan kedua negara treaty partner.

Kalau arus investasi dan bisnis seimbang antara kedua negara yang membuat tax treaty, biasanya bukan masalah besar jika masing-masing negara membatasi pemajakan di negara sumber dan menyerahkan pemajakan kepada negara domisili.

Sebaliknya, kalau arus investasi dan bisnis tidak seimbang akan berakibat pemindahan pendapatan pajak dari satu negara kepada negara lain. Biasanya keadaan tidak seimbang tersebut antara negara berkembang sebagai importir modal dan negara maju sebagai eksportir modal. Negara berkembang akan memperjuangkan hak pemajakan atas sumber penghasilan dari negaranya.

Kedua, negara-negara berkembang sekarang umumnya berusaha meningkatkan modal masuk dari negara-negara pengekspor modal.

Tax treaty dapat memfasilitasi maksud tersebut. Pembuatan tax treaty mengharuskan penerapan kaidah-kaidah internasional terutama tentang nondiscrimination, sehingga para investor yang menanamkan modalnya di negara lain akan terlindungi dengan tax treaty.

Menurut John Hutagaol, tax treaty memberikan banyak manfaat bagi Indonesia diantaranya :

  1. kemudahan informasi melalui pertukaran informasi,
  2. pemberian insentif pajak, dan
  3. kepastian hukum bagi investor asing.

Berdasarkan uraian diatas, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh hanya dapat diterapkan terhadap Wajib Pajak luar negeri yang berdomisili di negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia.

Jika Wajib Pajak luar negeri berdomisili di negara yang telah memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam tax treaty.

PPh Pasal 26 atas premi asuransi

PPh Pasal 26 atas premi asuransi diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh yang berbunyi,”Atas penghasilan dari … premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.”

Memori penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa ketentuan tersebut mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia. Atas penghasilan dari premi asuransi, premi reasuransi, dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Pasal 15 UU PPh memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk menentukan norma penghitungan khusus. Dasar pemberian wewenang tersebut adalah kepraktisan atau kelaziman.

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan norma penghitungan khusus. Hanya Wajib Pajak tertentu yang mengalami kesulitan untuk menghitung penghasilan neto sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) UU PPh atau Pasal 16 ayat (3) UU PPh.

Pasal 26 ayat (3) UU PPh juga memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menentukan perkiraan penghasilan neto. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kedudukan keduanya?

Menurut penulis, keduanya mengatur sesuatu yang berbeda walaupun sama mengatur tentang penghasilan neto. Pasal 15 UU PPh mengatur tentang penghasilan neto bagi Wajib Pajak tertentu.

Penghasilan neto yang dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh adalah “tambahan kemampuan ekonomis” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Karena itu, Pasal 15 termasuk dalam Bab III tentang objek pajak.

Sedangkan Pasal 26 UU PPh termasuk dalam Bab IV yang mengatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang salah satu cara pelunasan pajak yaitu withholding tax. Jadi Pasal 26 ayat (3) UU PPh merupakan kewenangan yang diberikan kepada menteri keuangan dalam rangka withholding tax.

Berdasarkan kuasa Pasal 26 ayat (3) UU PPh, menteri keuangan kemudian menetapkan besarnya penghasilan neto yaitu dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Besarnya perkiraan penghasilan neto berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut:

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995.

Dengan demikian, siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Tetapi, pada tanggal 05 Desember 1995 direktur jenderal pajak mengeluarkan surat No. S-428/PJ.432/1995 (Surat Dirjen) yang membebaskan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di :

Darimana kewenangan direktur jenderal pajak tersebut?

Seharusnya, direktur jenderal pajak tidak berwenang menentukan negara-negara mana saja yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 mengingat UU PPh tidak memberikan kuasa kepada direktur jenderal pajak.

Satu-satunya kewenangan yang didelegasikan oleh Pasal 26 UU PPh adalah besarnya perkiraan penghasilan neto dan diberikan kepada menteri keuangan.

Kewenangan pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri hanya mungkin “dikalahkan” oleh suatu tax treaty. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 hanya dapat dikecualikan oleh tax treaty yang telah dibuat oleh Indonesia dengan negara mitra (treaty partner). Sebagaimana dikemukakan oleh Kees Van Raad bahwa tax treaty memiliki kedudukan lebih superior daripada undang-undang domestik.

Pendapat senada dikemukakan oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H. bahwa Indonesia mengakui “primat hukum antar negara”, sehingga hukum antar negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum nasional.

Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri RI Moh. Hatta dalam pidatonya pada tanggal 11 Agustus 1950 di Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapat ini juga berdasarkan asas hukum modern yang termuat dalam dalil “persetujuan mematahkan undang-undang”.

Suatu tax treaty merupakan perjanjian antara dua negara yang merdeka dibidang perpajakan. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara lain termasuk dalam bidang perpajakan.

Sampai tahun 2000, terdapat 50 tax treaty yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dari 50 tax treaty tersebut satu tax treaty tidak paripurna yaitu tax treaty dengan negara Arab Saudi sedangkan sisanya, 49 tax treaty, merupakan tax treaty paripurna.

Khusus tentang pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber, tax treaty yang disepakati oleh Indonesia terdapat dua macam, yaitu yang mengacu kepada OECD model dan UN model.

Tax treaty yang mengacu kepada OECD model adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tax treaty dengan negara-negara tersebut tidak memuat aturan khusus tentang usaha asuransi. Hak pemajakan terhadap usaha asuransi disamakan dengan usaha yang lainnya, khususnya tentang usaha jasa.

Negara sumber memiliki hak pemajakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap di negara tersebut. Syarat adanya Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 5 ayat (1) tax treaty adalah adanya fixed place of business.

Rachmanto Surahmat menguraikan lebih lanjut bahwa definisi Pasal 5 ayat (1) mengandung tiga syarat, yaitu :

  1. adanya tempat usaha berupa prasarana;
  2. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
  3. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

“Tempat usaha tetap” tetap tersebut contohnya adalah tempat pemasaran di Indonesia yang disewa oleh perusahaan asuransi di luar negeri untuk memasarkan produknya di Indonesia.

Tempat pemasaran bisa berupa bangunan kantor atau hanya ruangan tertentu di suatu pusat perdagangan sekalipun. Server komputer juga menurut sebagian ahli perpajakan dapat disamakan seperti halnya suatu gedung yang salah satu ruanggannya disewa untuk dipakai sebagai tempat penjualan barang-barang perusahaan luar negeri .

Jika ada perusahaan asuransi luar negeri menempatkan servernya di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Selain itu, perusahaan asuransi luar negeri juga dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika memiliki agen tidak bebas di Indonesia.

Menurut OECD model (khususnya commentary on article 5 ), perusahaan asuransi dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain jika memiliki a fixed place of business sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau memiliki agen tidak bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).

Bunyi lengkap Pasal 5 ayat (5) tersebut sebagai berikut, “Notwithstanding the provisions of paragraphs 1 and 2, where a person – other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 applies – is acting on behalf of an enterprise and has, and habitually exercises, in a Contracting State an authority to conclude contracs in the name of the enterprise, that enterprise shall be deemed to have a permanent establishment in that State in respect of any activities which that person undertakes for the enterprise, unless the activities of such person are limited to those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixed place of business, would not make this fixed place of business a permanent establishment under the provisions of that paragraph.”

Menurut Yari Yuhariprasetya , bahwa ayat ini mensyaratkan dua hal secara kumulatif, yaitu

  1. adanya orang atau badan yang bertindak atas nama perusahaan asuransi di luar negeri; dan
  2. adanya otorisasi dari perusahaan asuransi di luar negeri kepada orang atau badan untuk menandatangani kontrak.

Khusus tentang agen asuransi di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Selain itu, Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 menyebutkan, ” Semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni.”

Artinya, agen asuransi selalu bertindak atas nama perusahaan asuransi yang diageninya dan semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung atau perusahaan asuransi.

Wawancara dengan fihak Direktorat Asuransi juga lebih menegaskan bahwa semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan perusahaan asuransi. Dengan demikian, syarat pertama telah terpenuhi.

Syarat kedua mengharuskan adanya otorisasi untuk menandatangani kontrak oleh agen. Tetapi bisa saja kontrak sudah ditandatangani oleh kantor pusat tetapi klien atau nasabah dicari oleh agen.

Hal ini juga berarti agen tersebut memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Menurut Rachmanto Surahmat , “apabila bentuk maupun format kontrak itu sudah dibuat standar dan ditandatangani oleh salah seorang dari kantor pusat, agen tersebut dapat dianggap mempunyai wewenang menandatangani kontrak, sebab ia mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.”

Apakah polis asuransi sudah dibuat standar? A. Hasymi Ali menyebutkan bahwa Polis Standar Kebakaran New York 1943 yang terdiri dari 165 baris menjadi pola semua proteksi asuransi.

Begitu juga Abdulkadir Muhammad, menyebutkan,”..untuk mencegah persaingan yang tidak sehat (unfair competition) sesama perusahaan asuransi, maka diupayakan penyeragaman syarat-syarat khusus dalam polis dengan cara menciptakan polis standar, baik secara nasional maupun secara internasional.. ada tiga jenis polis yang terkenal yaitu polis maskapai, polis bursa dan polis Lloyd.

Di bagian lain, Abdulkadir Muhammad, menyebutkan, “Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu.

Kemudian polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya. Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung.

Tetapi apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave it.

Berdasarkan uraian diatas dan pengalaman penulis memeriksa terhadap perusahaan asuransi, penulis berkesimpulan bahwa polis asuransi adalah kontrak yang sudah distandarkan.

Oleh karena itu, perusahaan asuransi di luar negeri yang memperoleh penghasilan premi asuransi dari Indonesia melalui agen asuransi di Indonesia, maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia karena telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Berikut ini adalah tax treaty yang dibuat oleh Indonesia dengan treaty partner yang mengacu kepada OECD model :

Sedangkan tax treaty yang mengacu kepada UN model khusus untuk bentuk usaha tetap perusahaan asuransi adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tidak seperti OECD model yang syarat bentuk usaha tetapnya disamakan dengan perusahaan jasa lainnya, UN model memiliki syarat khusus yang dimuat di Pasal 5 ayat (6) UN model yaitu :

  1. pengumpulan atau penerimaan premi dalam wilayah negara lain; atau
  2. menanggung resiko yang terletak di negara lain.

Pasal 5 ayat (6) UN model bunyi lengkapnya sebagai berikut, “Notwithstanding the preceding provisions of this article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except regard to re-insurance, be deemed to have permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 applies”.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (6) UN model tersebut, perlakuan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi dari Indonesia atau memiliki objek asuransi yang ditanggung di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu :

  1. Perusahaan asuransi (baik perusahaan asuransi umum maupun perusahaan reasuransi) di luar negeri yang menerima premi reasuransi dari Indonesia. Perusahaan ini dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika menerima premi reasuransi dari Indonesia melalui agen tidak bebas atau memiliki a fixed place of business di Indonesia. Ketentuan adanya Bentuk Usaha Tetap bagi reasuransi disamakan dengan perusahaan jasa lainnya.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi asuransi dari Indonesia atau menanggung resiko yang terletak di Indonesia, baik melalui agen asuransi maupun tidak, kecuali melalui broker asuransi. Selama bukan mengenai reasuransi dan penerimaan premi asuransi tersebut tidak melalui broker asuransi, maka perusahaan asuransi di luar negeri dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
  3. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi (baik premi asuransi umum maupun reasuransi) dari Indonesia melalui broker asuransi. Perusahaan asuransi seperti ini tidak dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena broker asuransi merupakan usaha yang independen (bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 5 ayat (6) OECD model dan Pasal 5 ayat (7) UN model.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terhadap pembayaran premi asuransi yang diterima oleh perusahaan asuransi di luar negeri yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak pembayar premi di Indonesia?

Hasil wawancara dengan fihak Direktorat Peraturan Perpajakan berpendapat bahwa tax treaty tidak memberikan hak withholding bagi perusahaan asuransi.

Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi disamakan dengan perusahaan jasa lain dan pemajakannya diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Tetapi jika memang harus dipotong maka pemotongan tersebut menjadi kredit pajak bagi Bentuk Usaha Tetap tersebut dan diperhitungkan diakhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) huruf b UU PPh.

Penulis juga sependapat bahwa pemajakan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi luar negeri disamakan dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.

Kewajiban pemotongan terhadap pengahasilan premi asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh tidak dapat dilaksanakan berdasarkan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) yaitu, “Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).”

Berdasarkan uraian diatas, terhadap pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak di dalam negeri kepada perusahaan asuransi terdapat tiga perlakuan Pajak Penghasilan yang berbeda, yaitu :

  1. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di dalam negeri. Pembayaran premi ini tidak dipotong (tidak ada withholding).
  2. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang bukan merupakan treaty partner. Pembayaran premi ini dipotong PPh Pasal 26 dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994.
  3. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang merupakan treaty partner. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka pembayaran premi tidak dipotong PPh Pasal 26.

Catatan:

Tulisan ini disalin dari tesis saya dengan beberapa perubahan, pengurangan, dan penyesuaian. Tesis dibuat pertengahan 2002 dan mendapat persetujuan tanggal 5 Nopember 2002.

Ringkasan tesis sudah di muat di laman Universitas Indonesia dengan link berikut: Pengenaan PPh pasal 26 atas premi asuransi (ui.ac.id)

Karena dibuat tahun 2002, maka beberapa ketentuan sudah berubah. Pembaca harap mengecek lagi ketentuan yang berlaku.

Terima kasih.

Agus Pajak di Youtube

Belajar pajak sambil nonton video

Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.

Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.

Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.

Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.

Playlist PPh

Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh

Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan

Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak

Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 4 Definisi Penghasilan

Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen

Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?

Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?

Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan

Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri

Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura

Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial

Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT

Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty

Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan

Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.

Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax

Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan

Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues

Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang

Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?

Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak

Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak

Cara Menghitung Kompensasi Kerugian

Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan

Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan

Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan

Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?

Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?

Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee

Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN

Norma Khusus Pasal 15

Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak

Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri

Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)

Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)

Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran

Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final

PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan

PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan

PPh final Jasa Konstruksi

PPh final Bunga Simpanan Koperasi

PPh Final Hadiah Undian

PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan

PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

PPh Final atas Penjualan Aset Kripto

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan

PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA

Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa

Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55

Revaluasi Aset Perusahaan

Pemotongan Pajak Tahun Berjalan

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 Final

Pajak Penghasilan Pasal 22

Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23

Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri

Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan

Objek dan Tarif PPh Pasal 26

Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan

Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan

Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%

Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian

Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?

Playlist KUP

Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak

Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan

Lebih Dalam Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan

Withholding taxes biasanya kewajiban bagi pemberi penghasilan

Pemotongan Pajak Penghasilan lebih dikenal sebagai Potput atau withholding taxes. Ketika membicarakan Potput, maka posisikan kita sebagai pemberi penghasilan atau yang memberikan uang. Tulisan ini membahas lebih tuntas dan lebih dalam tentang Potput atau withholding taxes.

Continue reading “Lebih Dalam Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan”

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium
gambar dari LewatMana.com

Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita “cirikan” karakteristik konsorsium:

  1. kumpulan dua badan atau lebih,
  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

  • kewajiban PPh Badan, dan
  • kewajiban PPh Potput.  

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:

  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:

  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:

  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO
  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO
  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki “manajemen” dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 
  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.


KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

  • memberikan gaji ke buruh,
  • menyewa alat berat atau aktiva lain,
  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:

Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

 

Pembayaran Jasa ke Luar Negeri

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Sistama Indonesia melakukan pembayaran kepada System International Co. atas jasa manajemen senilai Rp500.000.000,00. System International Co. berkedudukan di Inggris yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD). Penyerahan jasa oleh System International Co. tersebut dilakukan langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
JAWAB:

Inggris adalah salah satu negara mitra P3B Indonesia, sehingga perlakuan PPh bagi Wajib Pajak luar negeri (resident) Inggris harus memperhatikan ketentuan dalam P3B.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh System International Co. untuk dapat menggunakan P3B dalam rangka pemotongan PPh adalah Surat Keterangan Domisili.

Jenis penghasilan yang dibayarkan oleh PT Sistama Indonesia kepada System International Co. adalah penghasilan dari jasa.

Dalam kasus ini, berdasarkan P3B Indonesia-Inggris maka penghasilan dari jasa hanya dapat dikenai pajak di Inggris karena System International Co. tidak mempunyai BUT di Indonesia.


Catatan:
Bunyi tax treaty Indonesia dan Inggris terkait permanent establishment sebagai berikut:

The term “permanent establishment” likewise includes:
(a)     a building site, a construction, assembly or installation project or supervisory activities in connection therewith, but only where such site, project or activities continue for a period of more than 183 days;
(b)     the furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise through employees or other personnel engaged by the enterprise for such purpose, but only where activities of that nature continue (for the same or connected project) within the Contracting State for a period or periods aggregating more than 91 days within any continuous period of twelve months.

Menurut saya, pada kasus diatas sebenarnya ada syarat time test yaitu 91 hari. Jika melewat 91 berarti Indonesia memiliki hak pemajakan.

Jika jawabannya seperti diatas, maka diasumsikan bahwa System International Co tidak pernah menempatkan perwakilannya di PT Sistama Indonesia. Atau pernah menempatkan tetapi dalam setahun kurang dari 91 hari.

Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com



Contoh Pemotongan PPh Atas Penjualan Saham yang Dimiliki Wajib Pajak Luar Negeri

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: Wow Way Co. (perusahaan di Cina) adalah salah satu pemegang saham PT Indonat. Wow Way Co. di bulan Januari 2013 menjual saham yang dimilikinya di PT Indonat kepada PT Holdindo (perusahaan di Indonesia) senilai Rp5.000.000.000,00 dan kepada Tematek Co. (perusahaan di Malaysia) senilai Rp20.000.000.000,00.
 
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
JAWAB:
Penghasilan dari penjualan saham Perseroan Terbatas dalam negeri yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar  20 % x 25 % atau 5 % (lima persen) dari harga jual.
Perseroan Terbatas dalam negeri tersebut adalah Perseroan Terbatas yang:
  • sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham yang berstatus Wajib Pajak luar negeri; dan
  • tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik.
Pemotong PPh Pasal 26 ini adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan.
Bagi pemegang saham Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada di Indonesia.
Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 26 PT Holdindo adalah:
  • PT Holdindo memotong PPh Pasal 26 sebesar Rp250.000.000,00 (20% x 25% x Rp5.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayarkan kepada Wow Way Co;
  • menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pengalihan saham tersebut paling lambat tanggal 11 Februari 2013;
  • melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Januari 2013 paling lambat tanggal 20 Februari 2013.
Kewajiban Pemungutan PPh Pasal 26 oleh PT Indonat adalah sebagai berikut:
  1. PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 (20% x 25% x Rp20.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayar oleh Tematek Co. kepada Wow Way Co;
  2. menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipungut atas pengalihan saham tersebut paling lambat tanggal 11 Februari 2013;
  3. melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Januari 2013 paling lambat tanggal 20 Februari 2013.
Catatan:
PT Holdindo merupakan pembeli saham. Ia membeli saham dari Wow Way Co yang merupakan subjek pajak luar negeri.
Dari produk hukum Indonesia tidak dapat mengikat subjek pajak luar negeri, maka kewajiban perpajakannya dibebankan kepada subjek pajak dalam negeri. Dalam hal ini adalah PT Holdindo yang diwajibkan memotong PPh Pasal 26.
 
Sedangkan PT Indonat sebenarnya tidak terlibat dalam transaksi ini. PT Indonat sebagai asset yang dimiliki oleh subjek pajak luar negeri.
Kepemilikan asset ini diperjualbelikan antara subjek pajak luar neger (Wow Way Co) dengan pembeli subjek pajak luar negeri (Tematek Co). 
 
Karena penjual dan pembeli sama-sama subjek pajak luar negeri, maka peraturan di Indonesia mewajibkan kepada si “asset” untuk memungut PPh. PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 atas penjualan saham yang dibayar oleh Tematek Co. kepada Wow Way Co.
 


Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

Contoh Pemotongan PPh Atas Pembayaran Dividen ke Luar Indonesia

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Flip Light Indonesia sebuah perusahaan penanaman modal asing, pada tanggal 10 Mei 2013 mengumumkan pembagian dividen dari keuntungannya di tahun 2012, antara lain kepada:
Mr. Sneijder, Subjek Pajak Luar Negeri yang berdomisili di Belanda (dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili sesuai dengan format yang telah ditentukan yang diserahkan kepada PT Flip Light Indonesia), sebesar Rp300.000.000,00;
perusahaan Spurs Vehicle Co., perusahaan yang berkedudukan di Mauritius, sebesar Rp5.000.000.000,00.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
JAWAB:
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi merupakan objek PPh.
Apabila penerima dividen tersebut adalah:
  • Wajib Pajak badan dalam negeri (kecuali Wajib Pajak badan tertentu sebagaimana dijelaskan dalam halaman 49) dan Bentuk Usaha Tetap maka dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto dividen;
  • Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri maka dipotong PPh bersifat final sebesar 10% dari jumlah bruto dividen;
  • Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap maka dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai dengan tarif dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait.
Untuk dapat dipotong PPh Pasal 26 menggunakan tarif sesuai dengan P3B maka Wajib Pajak luar negeri penerima penghasilan harus dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) sesuai dengan format yang telah ditentukan kepada pemotong PPh.
Kewajiban PT Flip Light Indonesia sebagai pemotong PPh Pasal 26 adalah:
  • PT Flip Light Indonesia memotong PPh Pasal 26 sebesar:

10% x Rp300.000.000,00 = Rp30.000.000,00 atas pembayaran dividen kepada Mr. Sneijder. Berdasarkan P3B Indonesia Belanda atas dividen tersebut dapat dikenakan pajak di Indonesia dengan tarif tidak lebih dari 10%;
 20% x Rp5.000.000.000,00 = Rp1.000.000.000,00 atas pembayaran dividen kepada Spurs Vehicle Co. Tarif yang digunakan sesuai dengan  Pasal 26 yaitu 20% karena tidak ada P3B antara Indonesia-Mauritius;

  • menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pembayaran dividen tersebut paling lambat tanggal 10 Juni 2013;
  • melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Mei 2013 paling lambat tanggal 20 Juni 2013.
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

 

Contoh Pemotongan Penghasilan Pegawai Ekspatriat yang Berada di Indonesia Kurang dari Time Test

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: Pada tanggal 1 Maret 2013, Mr. Francois Dugarry (seorang warga negara Perancis dan belum mempunyai NPWP), ditunjuk sebagai presiden direktur PT MNX, Tbk. (sebuah perusahaan multi nasional di Indonesia yang bergerak di bidang consumer goods) dengan gaji sebesar US$7,000.00 per bulan.
Mr. Francois Dugarry masih menjabat sebagai anggota direksi di perusahaan induk yang ada di Perancis, sehingga tidak menetap di Indonesia dan hanya datang ke Indonesia untuk supervisi maupun rapat dengan jajaran direksi lainnya.
Berdasarkan data dari kantor imigrasi, selama tahun 2013 Mr. Francois Dugarry berada di Indonesia selama 84 hari. Gaji Mr. Francois Dugarry dibayarkan setiap tanggal 1 bulan berikutnya dengan nilai kurs dollar mengacu pada kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku.
Bagaimana kewajiban pemotongan PPh yang harus dilakukan PT MNX, Tbk. atas gaji bulan Maret 2013 yang dibayarkan pada tanggal 1 April 2013?
JAWAB:
Mr. Francois Dugarry merupakan subjek pajak luar negeri karena berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari selama tahun 2013. Ketentuan Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Menurut ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh, atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan yang diterima subjek pajak dalam negeri dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto.
Dalam hal antara Indonesia dengan negara lain mempunyai tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka ketentuan perpajakan yang terkait dengan subjek pajak luar negeri harus merujuk pada ketentuan dalam P3B sebagai lex specialis. Mengingat Indonesia dan Perancis mempunyai P3B, maka ketentuan pemajakan atas Mr. Francois Dugarry tersebut mengacu pada P3B tersebut.
Dalam P3B antara Indonesia dan Perancis terdapat ketentuan yang mengatur bahwa pendapatan selaku pengurus atau komisaris serta pembayaran-pembayaran sejenis yang diperoleh penduduk salah satu Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai anggota pengurus atau anggota dewan komisaris atau bentuk pengurusan yang serupa dari suatu badan yang berkedudukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
Dari ketentuan yang tertuang dalam P3B Indonesia-Perancis tersebut dapat disimpulkan bahwa gaji direktur sehubungan dengan pekerjaan yang diterima dari perusahaan yang ada di Indonesia dikenai pajak di Indonesia.
Sehingga atas gaji yang dibayarkan oleh PT MNX, Tbk. kepada Mr. Francois Dugarry sebagai subjek pajak luar negeri dikenai pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20%dari jumlah bruto dan bersifat final.
Nilai kurs dollar terhadap rupiah sebagai dasar pelunasan PPh  yang berlaku untuk tanggal 27 Maret 2013 sampai dengan 2 April 2013 sesuai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/KM.11/2013 adalah Rp9.748,00.
Penghitungan PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayar kepada Mr. Francois Dugarry:
20% x US$7.000 x Rp9.748,00= Rp13.647.200,00
Kewajiban PT MNX, Tbk. sebagai Pemotong PPh Pasal 26 adalah:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar Rp13.647.200,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 kepada Mr. Francois Dugarry;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 26 tersebut paling lambat tanggal 10 Mei 2013;
  3. melaporkan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran gaji tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 masa pajak April 2013 paling lambat tanggal 20 Mei 2013.
 
Catatan:
Kurs Keputusan Menteri Keuangan adalah kurs yang digunakan untuk membayar pajak. Pada kasus ini adalah kurs yang digunakan pada saat pemotongan pajak penghasilan.
Gaji Mr. Francois dibayar setiap tanggal 1, artinya kurs yang digunakan adalah kurs yang berlaku tanggal 1 April 2013. Dipotong oleh pemberi penghasilan sudah dalam bentuk rupiah. Kemudian dibayarkan ke Kas Negara.
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Pemotngan Penghasilan atas Sewa Kapal yang Bersandar Dianjungan Lepas Pantai (drilling rig)

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Global Sea Transport adalah perusahaan pelayaran dalam negeri dengan SIUPAL nomor BXXX-120/AL.57 tanggal 25 Januari 2002 yang melakukan usaha jasa pelayaran termasuk jasa penyewaan kapal. PT Global Sea Transport melakukan kontrak persewaan kapal dengan PT Tanjung Scorpa Tanker berupa persewaan kapal penyimpanan minyak mentah sementara yang bersandar dianjungan lepas pantai (drilling rig) untuk menyimpan batubara sesuai jangka waktu dalam kontrak. Harga sewa yang disepakati 150.000.000,00 yang dibayarkan tanggal 14 Februari 2013.
Bagaimana perlakuan PPh atas transaksi di atas?
JAWAB:
Penghasilan yang diterima atau diperoleh PT Global Sea Transport dari PT Tanjung Scorpa Tanker dari penyewaan kapal yang difungsikan sebagai kapal untuk penyimpanan minyak mentah dalam jangka waktu tertentu dan bersandar di rig tidak termasuk sebagai penghasilan dari penyewaan kapal yang dilakukan dari:
  • pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainya di Indonesia;
  • pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
  • pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan  di Indonesia; dan
  • pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
Dengan demikian atas penghasilan tersebut termasuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto, PPh yang terutang dipotong PT Tanjung Scorpa Tanker, sehingga perhitungannya sebagai berikut:   
2% X Rp150.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
Kewajiban PT Tanjung Scorpa Tanker adalah:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebesar Rp3.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada PT Global Sea Transport;
  2. menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 11 Maret 2013;
  3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Februari 2013 paling lama tanggal 20 Maret 2013.  
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

Contoh Pemotongan Penghasilan atas Sewa Kapal Tanpa Awak Kepada Selain BUT

Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
SOAL: PT Bahtera Indah Nusantara adalah perusahaan pelayaran dalam negeri yang mengadakan perjanjian sewa kapal tanpa awak (bareboat charter) sebesar Rp600.000.000,00 dengan perusahaan pelayaran luar negeri yaitu Ocean Link Ship Pte. Ltd. yang berdomisili di Singapura yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD).
 
Pada tanggal 27 Mei 2013 PT Bahtera Indah Nusantara telah membayar biaya sewa kepada Ocean Link Ship Pte. Ltd.
 
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?
 
JAWAB:
Berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura, atas penghasilan dari persewaan kapal tanpa awak (bareboat charter) tersebut termasuk dalam pengertian royalty sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto, PPh yang terutang dipotong PT Bahtera Indah Nusantara, sehingga perhitungannya sebagai berikut:    
15% x Rp600.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
 
Kewajiban PT Bahtera Indah Nusantara adalah:
 
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas royalty sebesar Rp90.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada Ocean Link Ship Pte. Ltd.;
  2. menyetorkan PPh Pasal 26 yang telah dipotong ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 Juni 2013;
  3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Mei 2013 paling lama tanggal 20 Juni 2013. 
Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

 

boat on sea under the blue sky
Photo by Ahmed Mulla on Pexels.com