fbpx

Penetapan Pajak

Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) jika ditemukan data bahwa Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Kewenangan menerbitkan SKPKB ini dibatasi 5 tahun ke belakang dihitung tanggal penerbitan.
Misalnya tahun 2012 ini, berarti atas tahun pajak 2007 masih bisa diterbitkan SKPKB. Syaratnya hanya satu, yaitu jika punya bukti. Ketentuan ini diatur di Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP dan dipertegas lagi di Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Bagian penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP mengatakan:

Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.

Sedangkan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam jangka waktu 5 tahun tahun tersebut bisa diterbitkan SKPKB sebelum punya NPWP/PKP atau sesudah dicabut NPWP/PKP. Berikut bunyi lengkapnya:

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

Apakah penerbitan NPWP/PKP tersebut dengan permohonan sendiri atau secara jabatan? Bisa kedua-keduanya karena tidak dibatasi atas permohonan sendiri atau secara jabatan. Setidaknya inilah “oleh-oleh” sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011. Memang masalah ini termasuk yang dipertanyakan oleh peserta. Tetapi narasumber sepakat bisa dua-duanya.

Slide-nya yang ditampilkan pada saat sosialisasi 🙂

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Surat Setoran Elektronik

Banyak Wajib Pajak yang mengeluh saat akan membayar pajak. Antrian di bank cukup panjang. Jam buka loket hanya bisa pagi. Sudah antri, jaringan tiba-tiba offline. Atau ada kesalahan penulisan di SSP yang sudah dibuat oleh Wajib Pajak sehingga harus dibuat ulang karena pihak bank tidak mau menerima. Belum lagi ditambah macet jika di kota besar. Intinya, bayar pajak ko susah? Keluhan seperti ini mungkin tahun depan sudah tidak lagi. Semoga. Kenapa?

Tidak banyak yang tahu bahwa Kementrian Keuangan sebenarnya sejak tahun 2011 yang lalu sudah melakukan uji coba pembayaran sistem elektronik, disebut billing system. Uji coba ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.05/2011.

Jika melihat kode nomenklaturnya, 05, maka dugaan saya konsep peraturan ini disiapkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Walaupun demikian, server yang digunakan sebagai portal tetap punya DJP dan menggunakan alamat http://www.sse.pajak.go.id

Selain dari pihak Wajib Pajak dan bank persepsi, billing system juga melibatkan 3 instansi di Kementerian Keuangan, yaitu Ditjen Pajak, Ditjen Perbendaharaan, dan Pusintek.  Masing-masing memiliki peran:

Direktorat Jenderal Pajak:
1). menyiapkan infrastruktur server billing pada unit kerja Direktorat Jenderal Pajak;
2). menyediakan layanan pendaftaran peserta billing;
3). menyediakan layanan pembuatan kode billing;
4). menyediakan help desk uji coba penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system);
5). membandingkan data pembayaran berdasarkan kode  billing dengan data kode billing yang diterbitkan;
6). melaksanakan tugas sebagai operator sistem dan pemeliharaan infrastruktur MPN.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan:
1). menunjuk Bank/Pos Persepsi yang menjadi peserta uji coba;
2). melakukan pengawasan terhadap Bank/Pos Persepsi;
3). menyediakan data billing yang telah dibayar.

Pusintek:
1). menyediakan jaringan dan infrastruktur back up data MPN;
2). memelihara jaringan dan infrastruktur back up data MPN.

Bank/Pos Persepsi:
1). dapat menyediakan jasa layanan pendaftaran peserta  billing bagi Wajib Pajak;
2). dapat menyediakan jasa layanan pembuatan kode billing bagi Wajib Pajak;
3). menerima pembayaran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system);
4). melaporkan pembayaran pajak yang dilakukan dengan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system).

Wajib Pajak:
1). melakukan pendaftaran peserta billing satu kali untuk pertama kali;
2). melakukan pengisian data setoran pajak dalam rangka memperoleh kode billing; dan
3). melakukan pembayaran berdasarkan kode billing.

Dengan billing system ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi antri di depan teller untuk membayar pajak. Dan tidak perlu bawa uang tunai yang bisa beresiko di jalan. Cukup duduk manis di kantor, atau sambil ngopi di lobby atau kafe, dan bayar pajak melalui internet banking.

Istilah yang digunakan oleh Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 untuk billing system diatas adalah sarana administrasi lain. Bukan SSP tetapi disamakan.  Berikut saya copy paste bunyi Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 :

Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

Ini “penampakan” slide sosialisasi:.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Antara gabung NPWP dengan pisah NPWP

Masih banyak yang bingung bagaimana suami istri yang sama-sama memiliki penghasilan melaporkan penghasilannya. Apakah NPWP suami harus sama dengan NPWP istri? Apakah istri boleh memiliki NPWP yang berbeda dengan NPWP suami? Nah dibahwa ini saya copy paste dari Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011. Bagian yang dikutif [agak ke tengah] merupakan copy paste dari batang tubuhnya sedangkan lainnya saya copy paste dari bagian penjelasan.

(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

(2) Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

(3) Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan:
a. tidak hidup terpisah; atau
b. tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis,
hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.

(4) Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.

(5) Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pada dasarnya kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan “persyaratan subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Yang dimaksud dengan “persyaratan objektif” adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.


Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib PajakDengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga. Dalam hal ini wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.


Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha


Contoh :
Suami istri berdomisili di Salatiga. Karena suami bekerja di Pekanbaru, yang bersangkutan bertempat tinggal di Pekanbaru sedangkan istri bertempat tinggal di Salatiga.


Demikian halnya terhadap “anak yang belum dewasa” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya, yaitu yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah, kewajiban perpajakan anak yang belum dewasa tersebut digabung dengan orang tuanya.


Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama suaminya. Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.


Contoh : 
Bapak Bagus yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib  Pajak. Ibu Ayu  memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan diberi Nomor Pokok Wajib Pajak baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000.


Apabila wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, maka Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.


Contoh :
Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah  dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak 56.789.012.3-XYZ.000 dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. 



















imbalan bunga

Dulu ada yang berpendapat, kalau Wajib Pajak yang diperiksa memilki uang untuk membayar hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak yakin bahwa di tingkat banding bisa menang, maka lebih baik bayar 100% hasil pemeriksaan. Kemudian keberatan, dan banding ke Pengadilan Pajak.
Anggap saja pembayaran tersebut investasi karena setelah banding akan keluar restitusi sejumlah uang yang kita investasikan ditambah imbalan bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan. Artinya, setahun dapat imbalan bunga 24%! Adakah bank yang bisa memberikan bunga deposito sebesar itu? Apakah benar begitu perhitungannya?

Kita baca dulu ketentuan mengenai imbalan bunga yang diatur di Pasal 27A ayat (1) UU KUP:

Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Wah, kalimat diatas menurut saya susah dipahami maksudnya. Lebih baik kita langsung ke bagian penjelasan saja. Apa sih maksud imbalan bunga?

Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.

Dari bagian penjelasan, cukup jelas bahwa imbalan bunga diberikan karena kelebihan pembayaran pajak. Awalnya dari surat ketetapan pajak. Kemudian Wajib Pajak keberatan atas surat ketetapan pajak dan keluar SK Keberatan yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Atau Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan dan mengajukan banding, kemudian keluar Putusan Banding yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Atau tidak puas dengan hasil banding sehingga mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung, kemudian terbit Putusan PK yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Nah restitusi tersebut ditambah dengan imbalan bunga maksimal 48%.

Menurut Pasal 27A ayat (1) UU KUP, imbalan bunga tersebut dihitung:
[a.] sejak tanggal SSP atas pembayaran pajak dalam hal surat ketetapan pajak berupa SKPKB, dan SKPKBT, sampai keputusan yang menyatakan restitusi.
[b.] sejak tanggal surat ketetapan pajak dalam hal SKPN dan SKPLB sampai dengan keputusan yang menyatakan restitusi.

Sejak amandemen 2007, ada tambahan aturan yaitu Pasal 27A ayat (1a) UU KUP yang menambah pemberi putusan. Jika di ayat (1) pemberi putusan lembaga peradilan, yaitu proses keberatan, proses banding, dan proses PK maka di ayat (1a) pemberi putusan adalah administratif DJP yang berupa:
[a.] Surat Keputusan Pembetulan,
[b.] Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau
[c.] Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

Selain yang berasal dari surat ketetapan pajak, Pasal 27A ayat (2) UU KUP juga mengatur bahwa yang berasal dari Surat Tagihan Pajak (STP) juga bisa mendapatkan imbalan bunga. STP yang dimaksud adalah STP karena tidak membuat faktur pajak atau membuat tapi terlambat yang diatur di Pasal 14 ayat (4) UU KUP. Dan STP yang diterbitkan karena bunga penagihan yang diatur di Pasal 19 ayat (1) UU KUP. Berikut bagian penjelasan Pasal 27A (2) UU KUP:

Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.

Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Tetapi, ternyata tidak semua SKPKB atau SKPKBT dapat menghasilkan imbalan bunga. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur bahwa imbalan bunga tidak diberikan dalam hal:
[a.] Wajib Pajak setuju hasil pemeriksaan tetapi bayar sebelum proses keberatan.
[b.] Wajib Pajak tidak setuju hasil pemeriksaan tetapi bayar sebelum proses keberatan.

Maksud setuju adalah Wajib Pajak setuju pada saat proses Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi (istilah baru sejak PP 74). Logikanya, jika setuju maka tidak akan mengajukan keberatan karena tidak ada sengketa. Tetapi UU KUP tidak menutup hak tersebut. Artinya, proses keberatan boleh dilakukan baik Wajib Pajak setuju atau tidak.

Konsekuensi dari setuju atas hasil pemeriksaan memang SKPKB atau SKPKBT menjadi terutang dan DJP dapat melaksanakan tindakan penagihan. Sebenarnya atas ketetapan tersebut sudah pasti. Tetapi menjadi tidak pasti. Ketidakpastian tersebut dikarenakan Wajib Pajak mengajukan proses banding.

Kondisi kedua, Wajib Pajak tidak setuju tetapi bayar. Jika Wajib Pajak menyatakan tidak setuju pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, sebenarnya utang pajak tertangguh sampai ada keputusan keberatan, atau banding, atau peninjauan kembali. Lagi-lagi Wajib Pajak ternyata bayar!

Dua kondisi tersebut diatas menjadikan bahwa Wajib Pajak dapat “berinvestasi” dengan mengharapkan imbalan bunga. Kemudian dengan Pasal 43 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011  kemungkinan tersebut ditutup. Jadi seharusnya jika Wajib Pajak setuju, maka tidak boleh keberatan. Kalaupun keberatan dan dikabulkan maka yang kembali sebatas pokok saja (restitusi). Tidak ada imbalan bunga. Sebaliknya, jika Wajib Pajak tidak setuju, maka tidak boleh bayar dulu. Nanti dibayar jika Wajib Pajak setuju atas SK Keberatan atau Putusan Banding.

Dengan demikian, sekarang imbalan bunga yang berasal dari surat ketetapan pajak hanya diberikan jika Wajib Pajak mengklaim kelebihan pajak dengan menyampaikan SPT Lebih Bayar. Bukan yang berasal dari setoran pajak sebelum proses keberatan. Imbalan bunga diberikan atas selisih surat ketetapan pajak dengan putusan peradilan yang menyebabkan kelebihan pajak. Sehingga sekarang tidak bisa lagi “investasi” dengan mengharapkan imbalan bunga setelah proses pemeriksaan atau verifikasi.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pembetulan SPT

Pada dasarnya, Pembetulan SPT hanya dapat dilakukan sebelum ada pemeriksaan. Contoh, SPT tahun pajak 2010 masih dapat dilakukan Pembetulan SPT sebelum ada pemeriksaan atas tahun pajak 2010. SPT yang disampaikan pada saat pemeriksaan dan pemeriksaan Bukti Permulaan disebut Pengungkapan Ketidakbenaran. Bukan Pembetulan SPT. Tetapi, bisa jadi Pembetulan SPT justru setelah ada surat ketetapan pajak.

Pasal 3 ayat (7) UU KUP berbunyi:

Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; ataud. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

Ternyata, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur lebih lanjut bahwa pembetulan SPT bukan hanya sebelum pemeriksaan tetapi ditambah dengan sebelum ada verifikasi dan pemeriksaan bukti permulaan. Ketentuan ini diatur di Pasal 5 PP 74 tahun 2011.

Di pasal berikutnya, Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur bahwa kompensasi kerugian tidak harus urut. Bisa saja kerugian tahun pajak 2009 dikompensasi ke tahun pajak 2011. Yang penting, jangka waktu kompensasi masih dalam jangka waktu 5 tahun. Jadi kerugian tahun pajak 2009 maksimal dapat dikompensasi ke tahun pajak 2014. Tetapi alokasinya tidak harus urut dari 2010. Bisa loncat ke tahun pajak 2011 atau langsung 2012. di bagian penjelasan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 diberikan contoh. Saya copas contoh dimaksud:

Perlakuan terhadap rugi fiskal berdasarkan surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2009 yang belum dikompensasikan sebesar Rp 30.000.000,00 (Rp 230.000.000,00 – Rp 200.000.000,00) dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak 2011 mengingat berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya rugi fiskal dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun.

Pasal 6 peraturan pemerintah ini mengatur masalah Pembetulan SPT yang terkait dengan kompensasi kerugian. Misalkan tadinya kompensasi kerugian hanya Rp.200juta tetapi setelah diperiksa, kemudian keberatan dan putusan banding menyatakan bahwa kompensasi kerugian malah menjadi Rp.230juta. Maka kompensasi yang Rp.30juta tersebut tidak harus dikompensasi ke tahun pajak 2010 tetapi dapat ke tahun pajak 2011 seperti contoh di bagian penjelasan peraturan pemerintah ini.

Menurut saya, contoh ini juga bisa dijadikan acuan bahwa masalah kompensasi kerugian di SPT Tahunan PPh tidak harus urut kacang. Bisa loncat-loncat tahun pajak. Yang penting periode kompensasi kerugian dalam jangka waktu 5 tahun.

Jika tahun pajak 2010 sedang diperiksa, dan terdapat surat ketetapan pajak tahun pajak 2009, apakah hasil pemeriksaan yang tertuang dalam surat ketetapan pajak dapat dikompensasi ke tahun 2010? Bisa! Bukan hanya proses pemeriksaan, bahwa tahun proses keberatan dan banding pun kompensasi tersebut dapat diakui.

Tentu saja karena tahun pajak berikutnya sedang diperiksa atau proses keberatan maka pengakuan kompensasi kerugian tersebut tidak dengan melakukan Pembetulan SPT. Tetapi secara jabatan oleh pejabat DJP. Berikut kondisi pengakuan kompensasi kerugian yang dapat diakui oleh pejabat DJP:

%d