fbpx

Restitusi Pengembalian Pendahuluan

Ada satu lagi fasilitas perpajakan yang diberikan oleh DJP yang berlaku sejak 1 Januari 2014. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 bahwa persyaratan tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan dipermudah.
Dengan kelonggaran persyaratan ini, DJP berharap akan mengurangi pemeriksaan rutin yang dapat menyita sekitar 70% tenaga fungsional pemeriksa. Sejak 2014 diharapkan DJP akan lebih banyak melakukan pemeriksaan khusus kepada Wajib Pajak yang jarang atau belum pernah dilakukan pemeriksaan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, Dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Ada perbedaan mendasar antara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 dibandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007. Diantaranya bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007dan turunannya memberikan pilihan kepada Wajib Pajak untuk restitusi melalui Pasal 17B UU KUP atau pengembalian pendahuluan sesuai ketentuan Pasal 17D UU KUP.

Sebelumnya, DJP seperti “tidak ikhlas” atau terkesan setengah-setengah memberikan fasilitas pengembalian pendahukuan.

Faktanya banyak pemeriksaan restitusi yang dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak yang disebabkan SPT Wajib Pajak lebih bayar dengan nominal kecil.

Dari fungsional pemeriksa pajak banyak yang usulkan agar pemeriksaan yang lebih bayar kecil-kecil tidak perlu dipemeriksa karena ongkos pemeriksaan tentu akan lebih besar.

Ongkos pemeriksaan yang dimaksud selain biaya perjalanan untuk ke Wajib Pajak yang ditanggung negara, juga waktu yang dipergunakan oleh pemeriksa.

Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak meliputi:

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
  3. Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
  4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Tetapi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 ternyata menghendaki ada saringan lanjutan selain “treshhold” diatas. yaitu analisis risiko.

Pada intinya analisis risiko bertujuan bahwa tidak semua Wajib Pajak memiliki risiko yang sama. Ada Wajib Pajak yang memang “nakal” dan sengaja mencari celah hukum.

Kemudian memanfaatkan celah tersebut. Tetapi tentu saja pada kebanyakan Wajib Pajak termasuk golongan Wajib Pajak biasa-biasa saja yang walaupun tidak patuh tetapi ketidakpatuhan tersebut terjadi karena faktor ketidaktahuan.

Analisis risiko yang dimaksud di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 akan lebih enak jika kita menggunakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang diteken tanggal 14 Maret 2014. Berikut analisis risiko yang dimaksud:

Analisis Risiko terhadap Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terkait SPT Tahunan Pajak Penghasilan

Analisis risiko terhadap Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi persyaratan tertentu yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar berupa:
[1.] kepatuhan penyampaian SPT;
[2.] kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
[3.] kebenaran SPT untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelumnya.

Kepatuhan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada [1.]  diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 1 (satu) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Tahun Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Kepatuhan dalam melunasi utang pajak sebagaimana dimaksud pada [2.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak atau Wajib Pajak memiliki utang pajak namun terhadap utang pajak tersebut belum diterbitkan Surat Paksa. Utang pajak dimaksud hanya terbatas pada utang pajak yang diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Kebenaran SPT untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelumnya sebagaimana dimaksud pada [3.] diatas merupakan kebenaran formal dan terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dan lampiran-lampirannya, untuk 1 (satu) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Tahun Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang dibuktikan dengan telah diterbitkannya tanda terima SPT.

Saya tambahkan terkait “kebenaran SPT”. Pada saat diskusi masalah konsep analisis risiko (maksudnya rapat pembahasan konsep surat edaran) mengemuka bahwa sebenarnya jika kita “berkacamata” UU KUP maka semua SPT yang diterima oleh KPP harus dianggap benar! SPT yang diterima oleh KPP tetap dianggap benar sampai:
a. Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (7) UU KUP dan diberitahukan kepada Wajib Pajak, atau
b. diterbitkan surat ketetapan pajak yang didalamnya dilakukan koreksi fiskal.

Analisis Risiko terhadap Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terkait SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai

Analisis risiko terhadap Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar berupa:
[a.] kepatuhan penyampaian SPT;
[b.] kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
[c.] kebenaran SPT untuk Masa Pajak sebelum-sebelumnya.

Kepatuhan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada [a.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Kepatuhan dalam melunasi utang pajak sebagaimana dimaksud pada [b.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak atau Wajib Pajak memiliki utang pajak namun terhadap utang pajak tersebut belum diterbitkan Surat Paksa. Utang pajak sebagaimana dimaksud [b.] diatas terbatas pada utang pajak yang diadministrasikan pada KPP tempat Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Kebenaran SPT untuk Masa Pajak sebelum-sebelumnya sebagaimana dimaksud pada [c.] diatas merupakan kebenaran formal dan terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dan lampiran-lampirannya untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang dibuktikan dengan telah diterbitkannya Bukti Penerimaan Surat (BPS).

Selain itu, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 mengingatkan kita agar memperhatikan ketentuan lain yang menyebabkan tidak boleh restitusi dengan mekanisme 17D. Dikecualikan dari permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu terhadap:
>> SPT lebih bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP;

>> SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang disampaikan oleh PKP selain PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) Undang-Undang PPN;

>> SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar yang disampaikan oleh PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN;

>> SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang disampaikan oleh Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat dan perubahannya.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Restitusi PPh bukan objek

Saat membaca Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-5/PJ/2011, awalnya saya “berkerut dahi”.
Salah satu pajak yang seharusnya tidak terutang adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek PPh yang terutang.
Bukan objek pajak, kenapa Wajib Pajak bayar PPh? Itu salah satu kebingungan saya.

Di pasal berikutnya diatur bahwa PPh yang telah dibayar karena kesalahan pembayaran  yang dilakukan oleh Wajib Pajak atas:

[a.] penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan; atau
[b.] transaksi yang dibatalkan.

Huruf [a.] tetap masih membingungkan karena yang namanya “dibayar oleh Wajib Pajak” artinya si Wajib Pajak memang sengaja membayar PPh bukan dipotong oleh orang lain.

Mungkin sebagai aturan sekedar menampung segala kemungkinan. Misalnya, Wajib Pajak ingin “taat” pajak sehingga saat dapat warisan, dia bayar PPh 🙂

PPh yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri diatur di Pasal 25 dan Pasal 29 UU PPh.

Pasal 25 merupakan pembayaran cicilan setiap bulan berdasarkan perkiraan tertentu sehingga diharapkan pada akhir tahun cicilan PPh yang dibayar mendekati PPh terutang.

Jika PPh yang terutang masih lebih besar, maka kekurangannya akan dilunasi dan disebut PPh Pasal 29.

Tetapi jika PPh terutang ternyata lebih kecil maka kelebihan bayar tersebut akan direstitusi.

Tetapi “transaksi yang dibatalkan” memang sering ditemukan.

Biasanya ini terjadi saat ada akta perikatan jual beli tanah. Si penjual mengikat si pembeli di depan notaris untuk meyakinkan  (supaya tidak dijual ke pihak lain).

Menurut Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 1994 bahwa si notaris sebelum menandatangani akta harus meyakinkan bahwa si penjual membayar PPh Final sebesar 5%.

Akad jual beli belum terjadi. Mungkin si pembeli sedang mengumpulkan uangnya atau ada alasan lain.

Nah, karena jual beli sebenarnya belum jadi, maka bisa jadi perikatan tersebut bubar.

Artinya pembeli tidak jadi beli tanah tersebut. Inilah kondisi “transaksi yang dibatalkan”. PPh Final yang telah dibayar tadi oleh pembayar PPh bisa diresitusi.

Untuk meminta kembali PPh yang telanjur dibayar, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-5/PJ/2011 memberi petunjuk bahwa Wajib Pajak dapat mengirim permohonan ke KPP terdaftar dengan menggunakan format beriktut :

Selain karena kesalahan sendiri, telanjur bayar, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-5/PJ/2011 juga mengatur karena kesalahan orang lain, yaitu kesalahan pemotongan atau pemungutan :

[a.] yang diterima oleh bukan subjek pajak;
[b.] yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
[b.] yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut; atau
[c.] karena kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut.
[d.] bukan merupakan objek Pajak Penghasilan

Hanya saja, jika salah pemotongan atau pemungutan maka pelaksanaan restitusi harus dilakukan oleh pihak yang memotong atau memungut (pemberi penghasilan).

Tetapi jika pihak pemotong atau pemungut ternyata sudah dibubarkan maka restitusi boleh dilakukan oleh pihak penerima penghasilan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Kelebihan Pembayaran PBB

Walaupun banyak pihak yang menengarai bahwa restitusi pajak merupakan salah satu celah korupsi, sebenarny [seharusnya bahkan] restitusi merupakan hak Wajib Pajak karena kelebihan pembayaran pajak.
Misalkan perusahaan Dana Pensiun menyimpan uang di deposito bank.
Kemudian karena tidak ada surat keterangan bebas [SKB], maka bank langsung memotong PPh Final atas bunga deposito.
Padahal, badi Dana Pensiun, bung deposito tersebut bukan penghasilan sehingga tidak seharusnya di terutang PPh.
Banyak kondisi kenapa restitusi terjadi. Berikut saya salin dari Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/2011 kelebihan pembayaran PPh, PPN, PPnBM, dan PBB :
[1]. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam SKPLB sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) UU KUP;
[2]. pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 (2) UU KUP;
[3]. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tersentum dalam SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP;
[4]. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP;
[5]. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tersecntum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D U KUP;
[6]. pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibaywa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17E UU KUP dan Pasal 16E UU PPN;
[7] pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (4c) UU PPN;
[8]. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembalia oleh Mahkamah Agung;
[9]. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP;
[10]. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (1) huruf a UU KUP;
[11]. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkat Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (1) huruf b UU KUP;
[12]. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (1) huruf c UU KUP;
[13]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan SKKP PBB;
[14]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
[15]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasl 19 UU PBB;
[16]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU PBB;
[17]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal  16 UU KUP;
[18]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (1) huruf a UU KUP;
[19]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkat Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (1) huruf b UU KUP;
[20]. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (1) huruf c UU KUP;
Ternyata, banyak juga pintu resitusi. Restitusi atai kelebihan pembayaran pajak diatas akan dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah dikurangkan dengan utang pajak.
Misalkan saya dapat SKPLB Rp.15 milyar, tetapi saya punya utang pajak di DJP sebesar Rp. 13 milyar maka yang saya terima hanya Rp.2 milyar saja.
Kelebihan yang Rp.2 milyar tersebut paling lambat satu bulan harus sudah saya terima.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Faktur Pajak Palsu

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Begitulah definisi Faktur Pajak menurut UU PPN 1984. Di “dunia” pemeriksaan pajak, ada istilah Faktur Pajak yang tidak ditemukan di UU PPN 1984 yaitu : Faktur Pajak palsu, Faktur Pajak fiktif, atau Faktur Pajak bermasalah. Tetapi di Pasal 39A UU KUP disebutkan :

Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Karena itu, sekarang DJP sering menggunakan istilah Faktur Pajak bermasalah. Hal ini berkaitan dengan pengertian hukum. Disebut Faktur Pajak palsu, katanya harus ada yang asli.
Disebut Faktur Pajak fiktif, padahal jelas-jelas ada (tidak fiktif).
Jika disebut Faktur Pajak bermasalah maka sesuai maksud Pasal 39A diatas adalah Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
Tapi saya tetap menggunakan istilah awam, yaitu Faktur Pajak palsu.
Seharusnya Faktur Pajak diterbitkan oleh penjual sebagai bukti pemungutan PPN.
Untuk membuktikan adanya penjualan tersebut tentu harus ada :
[a.] dokumen-dokumen yang menunjukkan penjualan;
[b.] barang atau jasa yang diserahkan;
[c.] uang untuk pembayaran barang atau jasa.
Sebenarnya banyak modus dalam Faktur Pajak bermasalah. Tetapi yang paling gampang adalah dengan “memalsukan” Faktur Pajak.
Disebut memalsukan karena pembuat Faktur Pajak sebenarnya tidak menjual apa-apa kecuali Faktur Pajak itu sendiri.
Misalnya satu lembar Faktur Pajak dijual 5%. Artinya, jika Faktur Pajak tersebut PPN-nya senilai Rp.500.000.000,- maka dia menjual selembar Faktur Pajak tersebut Rp.25.000.000,-
Bayangkan jika total Faktur Pajak yang dia buat puluhan milyar rupiah!
Seperti hukum ekonomi, ada penawaran karena ada permintaan. Faktur Pajak palsu dibuat karena memang ada yang membutuhkan.
Siapa mereka? Sebenarnya semua Wajib Pajak yang memiliki niat tidak baik membutuhkan Faktur Pajak palsu.
Tetapi biar lebih gampang, kita persempit bahwa permintaan Faktur Pajak palsu itu adalah para pedagang impor selundupan!
Kenapa penyelundup membutuhkan Faktur Pajak palsu? Kemungkinannya :
[a.] mengurangi setoran PPN ke bank persepsi; atau
[b.] mengambil uang dari kas negara.
Supaya lebih jelas kita gunakan angka-angka contoh:
Mr. Raju adalah seorang pedagang kain Pasar Tanah Abang. Kain yang dia jual adalah kain impor dari India. Supaya harga beli murah, maka kain dia selundupkan.
Artinya dia tidak membayar bea masuk, PPh Pasal 22 impor, dan PPN impor. Untuk PPh dan PPN saja Mr. Raju harus bayar 12,5% jika menggunakan jalur resmi, yaitu 2,5% untuk PPh Pasal 22 Impor ditambah 10% untuk PPN Impor.
Artinya, dengan menyelundupkan kain, Mr. Raju menghemat pembelian 12,5%!
Walaupun kain yang dia jual merupakan kain selundupan, tetapi Mr. Raju menjual kain secara terbuka.
Sama dengan pedagang lain. Hanya saja ada konsekuensinya, yaitu dia harus memungut PPN atas setiap kain yang dia jual sebesar 10%.
Setiap bulan dia wajib membuat dan melaporkan SPT Masa PPN. Misalkan penjualan satu bulan sebesar Rp.770.000.000,- maka PPN yang dia pungut dari pembeli sebesar Rp.70.000.000,- PPN ini disebut Pajak Keluaran atau PK.
Karena pada saat membeli kain Mr. Raju tidak membayar PPN, maka Pajak Masukan atau PM-nya nihil. Dengan kata lain, Mr. Raju belum pernah bayar PPN. Dengan kondisi seperti itu, maka Mr. Raju harus setor ke bank persepsi sebesar Rp.70.000.000,-
Untuk memperkecil PPN yang harus dibayar ke bank persepsi tersebut, Mr. Raju kemudian membeli Faktur Pajak palsu.
Katakanlah senilai Rp.60.000.000,- tetapi dia cukup bayar ke pembuat Faktur Pajak palsu sebesar Rp.3.000.000,- sajah. Faktur Pajak palsu ini disebut Pajak Masukan. Di SPT Masa PPN kemudian diperhitungkan atau dikreditkan.
Dengan Faktur Pajak palsu tersebut, Mr. Raju cukup bayar ke bank persepsi sebesar :
Rp.70.000.000,- dikurangi Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,- sajah!
Total jenderal, dia menghemat Rp.57.000.000,- yaitu yang seharusnya bayar Rp.70 juta tapi dia cukup bayar ke pembuat Faktur Pajak palsu Rp. 3 juta ditambah bayar ke bank persepsi Rp. 10 juta.
Kata “menghemat” sengaja saya kasih warna merah karena karena sebenarnya Mr. Raju bukan menghemat tapi mengambil pajak yang merupakan hak negara! Memang jika dilihat dari segi dagang, cost-nya jadi lebih kecil.
Tetapi yang sebenarnya adalah dia mengambil PPN dari pembeli (atau seharusnya mengambil) tetapi PPN tersebut tidak disetor ke bank persepsi.
Prakteknya, Faktur Pajak palsu banyak variasi dan lika-likunya baik dari segi modus maupun jumlah nominal PPN.
Karena itu tidak semua Faktur Pajak bermasalah bisa dideteksi oleh pemeriksa pajak. Tidak semua SPT Masa PPN diperiksa.
Bahkan untuk SPT seperti contoh diatas, SPT kurang bayar namanya, menjadi prioritas terakhir untuk diperiksa. Sehingga kemungkinan besar tidak diperiksa.
Bahkan bisa jadi Mr. Raju tergoda untuk melakukan restitusi PPN. Jika total Faktur Pajak palsu yang dia beli nominalnya lebih besar dari Pajak Keluaran maka Mr. Raju bisa meminta restitusi.
Memang setiap permintaan restitusi akan dilakukan pemeriksaan. Ini prioritas utama bagi pemeriksa pajak. Walaupun begitu sangat mungkin banyak Faktur Pajak bermasalah seperti diatas lolos dari pemeriksaan pajak.
DJP memang tidak tinggal diam. Sudah banyak yang disidik dan dihukum dengan vonis penjara oleh pengadilan.
Tetapi biasanya penjahat selalu berusaha lebih maju dalam perbuatan jahatnya.
Jadi …….. siapa yang nakal????

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Restitusi PPN Turis

Inilah ciri khas Pajak Pertambahan Nilai [PPN]! PPN adalah pajak atas barang atau jasa yang dikonsumsi di Indonesia.
Walaupun ada pengecualian “sedikit” barang dan jasa, semua barang adalah objek PPN. PPN tidak melihat atau memperdulikan siapa dan sumber penghasilan sebagaimana dalam Pajak Penghasilan [PPh].

Seorang turis asing, sebut saja Mr Ming, melakukan perjalanan wisata di Indonesia.

Jika dilihat dari “kacamata PPh”, Mr Ming adalah subjek pajak luar negeri dan tidak memiliki penghasilan dari Indonesia. Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari Mr Ming.

Tapi tidak berlaku bagi PPN!

Saat melakukan perjalanan wisata di Indonesia, tentu Mr Ming belanja. Nah, pada saat belanja tersebut sebenarnya Mr Ming telah membayar pajak [PPN] karena barang yang dia beli sudah melekat PPN di dalamnya.

PPN tersebut dipungut oleh penjual dan disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos oleh penjual.

Artinya Indonesia tetap bisa memungut PPN dari orang asing. Tetapi, orang asing bisa meminta kembali PPN tersebut jika barang yang dibeli tidak dikonsumsi di Indonesia tapi dikonsumsi di Luar Negeri.

Atas pajak yang telah dia bayar, bisa dimintakan restitusi.

Dasar hukum restitusi barang bawaan turis asing ada di Pasal 16 E UU PPh 1984 amandemen 2009 yang berbunyi :

(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.

(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

Menurut kabar dari Kontan Online, mulai 1 April 2010 terdapat delapan toko yang dapat melakukan restitusi PPN, yaitu :
1. Pasaraya cabang Blok M Jakarta
2. Sarinah cabang Thamrin Jakarta
3. Metro cabang Pondok Indah Jakarta.
4. Metro cabang Plaza Senayan
5. Keris Galery cabang terminal 2D Bandara Soekarno Hatta
6. Batik Keris Discovery Shopping Mall Bali
7. UC Silver Batubulan Gianyar Bali
8. Mayang Bali cabang Kuta Square Bali

Ini tentu baru proses pengujian. Akan ada toko lain yang ikut dalam program restitusi PPN bagi turis. Tanda suatu toko masuk dalam program restitusi PPn adalah logo bertuliskan VAT REFUND FOR TOURIST.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Restitusi pendahuluan

Informasi yang saya dengar dari teman-teman fungsional pemeriksa pajak di KPP Pratama, bahwa saat ini KPP Pratama sangat jarang melakukan pemeriksaan khusus.
Sebagian besar pekerjaannya hanya untuk memeriksa restitusi. Ini sebenarnya salah satu kelemahan dari UU KUP kita, yaitu Pasal 17 ayat (1) UU KUP :

Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Ketentuan ini menyamaratakan Wajib Pajak. Tidak ada klasifikasi Wajib Pajak baik dan Wajib Pajak jahat. Setiap Wajib Pajak yang meminta kelebihan bayar pajak [restitusi] maka menurut ketentuan ini wajib diperiksa dulu.

Jika hasil pemeriksaan menyatakan benar telah terjadi kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak ini diberikan kepada Wajib Pajak.

Sebenarnya tidak seharusnya semua Wajib Pajak diperiksa. Bagaimanapun, mesti ada yang baik dan ada yang jahat.

Alangkah baiknya jika negara “berpikiran positif” terhadap Wajib Pajak. Siapapun yang meminta restitusi, langsung dikabulkan.

Nah, tugas para pemeriksa pajak lah untuk mencari mana Wajib Pajak yang tidak jujur.

Pemeriksaan dilakukan jika ada indikasi-indikasi tertentu [secara teori auditing berpotensi kecurangan]. Saya kira, cara ini akan lebih efektif.

Tapi dengan UU No. 42 Tahun 2009, sudah ada kemajuan. Setidaknya ada dua catatan saya :

Pertama, restitusi dilakukan hanya pada akhir tahun buku, Pasal 9 ayat (4a). Jika akhir tahun buku Wajib Pajak bulan Desember, maka restitusi hanya bisa dilakukan pada bulan Desember.

Kelebihan pajak pada bulan-bulan sebelumnya hanya bisa dilakukan kompensasi, Pasal 9 ayat (4).

Pengecualian atau restitusi bisa dilakukan tiap bulan atau tiap masa pajak hanya untuk :
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;

c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;

d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.

Kedua, untuk Wajib Pajak yang memiliki resiko rendah, maka dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, Pasal 9 ayat (4c). Mungkin ini yang dimaksud di berita tanggal 7 September 2009.

Tetapi, pengembalian pendahuluan tetap mengacu ke Pasal 17C ayat (1) UU KUP [perhatikan penyebutan UU KUP di ayat (4c) ini, cukup dengan “.. dan perubahannya”].

Coba kita kutif Pasal 17C ayat (1) UU KUP amandemen 2007 :

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.

Apakah “kriteria resiko rendah” sebagaimana dimaksud di Pasal 9 ayat (4c) UU No. 42 Tahun 2009 menggantikan “kriteria tertentu” sebagaimana dimaksud Pasal 17C ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007???

Kitu tunggu saja peraturan menteri keuangan yang akan mengatur hal ini!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Restitusi

mo tanya soal retur pajak yg lebih bayar donk,prosesnya rumit ato tidak? apa saja yg perlu di siapkan perusahaan?
t3ddy@yahoo.com

Jawaban Saya:
Mungkin maksud Pa T3ddy adalah prosedur restitusi pajak yang lebih bayar, bukan retur pajak. Jika benar anggapan saya, maka dibawah ini saya kutip dari PER-122/PJ./2006 tentang dokumen apa saja yang diperlukan untuk pengajuan restitusi PPN.

Secara umum, dokumen yang wajib dipersiapkan adalah :
[a]. Faktur Pajak
[b]. Faktur penjualan/faktur pembelian (jika ada invoice komersial)
[c]. Bukti pengiriman/penerimaan barang
[d]. Bukti penerimaan/pembayaran uang (yang berkaitan dengan pembelian/penjualan)

Selain itu, untuk Wajib Pajak importir [atau berkaitan dengan impor] ada tambahan sebagai berikut :
[1]. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak
[2]. Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS), jika ada
[3]. Surat kuasa kepada atau dokumen lain dari Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk pengurusan barang impor, jika ada.

Untuk Wajib Pajak Eksportir [atau berkaitan dengan ekspor] :
[1]. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
[2]. Instruksi pengangkutan (melalui darat, udara atau laut), ocean B/L atau Master B/L atau Airway Bill, dan packing list;
[3]. Fotokopi wesel ekspor atau bukti penerimaan uang lainnya dari bank, yang telah dilegalisasi oleh bank yang bersangkutan atau fotokopi L/C yang telah dilegalisasi oleh bank koresponden jika ekspor menggunakan L/C;
[4]. Asli atau fotokopi yang telah dilegalisasi polis asuransi, jika diasuransikan.

Jika lebih bayar dikarenakan penyerahan kepada Badan Pemungut maka dokumen yang wajib dilampirkan pada waktu pengajuan restitusi adalah :
[1] Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat pesanan atau dokumen sejenis lainnya; dan
[2] Surat Setoran Pajak.

Pada waktu kita mengajukan restitusi, dokumen-dokumen tersebut harus lengkap. Jika belum lengkap, maka KPP dalam waktu satu bulan sejak surat masuk akan memberitahukan kekurangan dokumen apa saja yang wajib disusulkan. Jika Wajib Pajak tidak memberikan dokumen yang diminta, dalam waktu satu bulan tersebut, maka dokumen yang disampaikan dianggap “lengkap”. Maksud lengkap [dalam tanda kutip] adalah dokumen itulah yang akan dijadikan dasar pemeriksaan materi oleh pemeriksa pajak.

Jangka waktu restitusi PPN sebagai berikut :
[1]. 1 (satu) bulan untuk PKP dengan kriteria tertentu. Namun dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak Kepala KPP setelah melakukan penelitian wajib menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPPKP) paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima (baik dengan surat permohonan tersendiri maupun dengan SPT).
[2]. 2 (dua) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk permohonan yang diajukan oleh PKP yang melakukan kegiatan tertentu yang memiliki risiko rendah.
[3]. 4 (empat) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PKP yang melakukan kegiatan tertentu selain yang memiliki risiko rendah.
[4]. 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PKP selain PKP Kriteria Tertentu dan PKP yang melakukan kegiatan tertentu [selain no satu sampai tiga diatas].

Secara umum, proses restitusi wajib dijawab oleh DJP [maksudnya dikabulkan atau tidak] setelah jangka waktu 12 bulan dilewati. Hal ini diatur di Pasal 17B ayat (1) UU KUP. Jika dalam waktu 12 bulan tersebut belum ada keputusan menolak, maka permohonan restitusi wajib dikabulkan.

Di UU No. 28 tahun 2007 [perubahan UU KUP] disebutkan istilah “Wajib Pajak dengan kriteria tertentu” dan “Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu”. Untuk kedua Wajib Pajak tersebut DJP wajib menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga bulan) untuk PPh, dan 1 (satu) bulan untuk PPN.

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah [Pasal 17C UU KUP] :
[a]. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
[b]. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
[c]. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
[d]. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Syarat atau kriteria diatas adalah syarat kumulatif. Keempat syarat tersebut wajib terpenuhi. Selain itu, Wajib Pajak dengan kriteria tertentu “ditetapkan” oleh DJP.

Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah [Pasal 17D UU KUP] :
[a]. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
[b]. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
[c]. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
[d]. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.

Syarat diatas bukan kumulatif. Artinya, salah satu syarat terpenuhi maka Wajib Pajak tersebut dapat disebut “Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu”. Tetapi batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun, sampai dengan Desember 2007 ini, saya belum membaca Peraturan Menteri Keuangan dimaksud. Kemungkinan besar, peraturan pelaksakan UU No. 28 tahun 2007 ini belum diterbitkan.

Terakhir, jangan ragu meminta kelebihan pembayaran pajak kepada negara. Restitusi adalah hak Wajib Pajak. Surat permohonan restitusi boleh “hanya” dengan mencentang poin restitusi si SPT Masa PPN, atau dengan surat terpisah. Tetapi untuk restitusi PPh harus dengan surat terpisah dari SPT karena tidak ada form untuk permintaan restitusi.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: