fbpx

Lembaga Sumbangan Keagamaan

 Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 254/PMK.03/2010 bahwa zakat atau sumbangan keagamaan dapat dibiayakan, atau dapat dikurangkan dari penghasilan bruo. Tetapi tidak semua sumbangan keagaam dapat dibiayakan. Peraturan Menteri Keuangan No. 254/PMK.03/2010 memberikan syarat sumbangan keagamaan dapat dibiayakan:
[1.] zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;

[2.] sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;

[3.] Badan amil zakat atau lembaga amil zakat adalah badan atau lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan zakat  dan perubahannya;

[4.] Zakat atau sumbangan keagamaan berupa uang atau yang disetarakan dengan uang. Yang disetarakan dengan uang adalah zakat atau sumbangan keagamaan yang diberikan dalam bentuk selain uang yang dinilai dengan harga pasar pada saat dibayarkan.

[5.] Zakat atau sumbangan keagamaan harus didukung oleh bukti-bukti yang sah yang diterbitkan oleh lembaga yang disahkan oleh Pemerintah. Jika dikeluarkan oleh lembaga yang belum disahkan, maka tidak boleh dibiayakan.

Kemudian banyak pertanyaan, siapa saja lembaga yang disahkan oleh Pemerintah? Nah, Peraturan Dirjen Pajak No. 33/PJ/2011 kemudian menetapkan lembaga-lembaga keagamaan yang dapat menerima sumbangan atau zakat dan atas sumbangan tersebut dapat dibiayakan secara fiskal. Beriktu daftar lembaga keagamaan sesuai lampiran PER-33/PJ/2011:

Bidang Usaha Berbasis Syariah

Berdasarkan kuasa Pasal 31D UU PPh amandemen 2008, yang mengatur bahwa ketentuan perpajakan dibidang usaha berbasis syariah diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah, keluar Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2009. Peraturan pemerintah ini mengatur:

[a.] Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah.
Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain: transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna; transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh.

[b.] Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah.
Hak pihak ketiga atas bagi hasil yang dibayarkan merupakan biaya yang dapat dikurangkan.

Bagi hasil ini berbeda dengan dividen yang dibagikan, terkait dengan status dana yang digunakan.

Dividen diberikan atas modal yang ditanamkan pada usaha yang menunjukkan kepemilikan usaha.

Sedangkan bagi hasil dibayarkan atas dana pihak ketiga yang digunakan untuk jangka waktu tertentu yang tidak menunjukkan kepemilikan usaha.
Kerugian yang timbul dari transaksi bagi hasil merupakan biaya yang dapat dikurangkan.

Kerugian yang timbul harus diteliti lebih lanjut, apabila kerugian tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pengelola dana.

Sedangkan apabila setelah diteliti diketahui bahwa kerugian tersebut timbul dan terjadi bukan karena kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut dibebankan kepada pemilik modal sesuai dengan akad/perjanjian.

[c.] Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syaria.

Hak pihak ketiga atas bagi hasil, bonus, margin, dan hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis merupakan penghasilan yang dibayarkan berkenaan dengan penggunaan dana pihak ketiga yang terkait dengan kepemilikan usaha, contoh :

  1. deposito mudharabah menggunakan akad mudharabah. Terhadap para deposan diberikan bagi hasil atas pemanfaatan dana yang disimpan pada bank syariah;
  2. giro pada bank syariah menggunakan akad wadiah (titipan), karena dana yang disimpan dapat ditarik setiap saat. Terhadap pemegang giro, bank syariah tidak menjanjikan hasil yang diberikan, tetapi dapat memberikan bonus yang tidak ditentukan besarnya; dan
  3. pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan.

PERBANKAN SYARIAH
Kemudian dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.03/2011 diatur pengenaan PPh untuk kegiatan usaha perbankan syariah. Peraturan menteri keuangan ini mengatur:

a. Penghasilan Perbankan Syariah
Penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan perbankan syariah adalah semua penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah dari kegiatan/transaksi Nasabah Penerima Fasilitas. Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan diperlakukan seperti bunga di perbankan konvensional. 

b. Penghasilan yang diterima Nasabah
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan lainnya diperlakukan seperti penghasilan bunga di perbankan konvensional.

Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk Simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan nasabah yang bersangkutan.

c. Biaya Perbankan Syariah
Biaya yang diperbolehkan di perbankan syariah berlaku berlaku ketentuan:
>> Berlaku Pasal 6 UU PPh termasuk bonus, bagi hasil, dan imbalan lainnya yang dibayarkan atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada Nasabah Penyimpan dan Nasabah Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik;
>> Jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah, dan
>> Berlaku Pasal 9 UU PPh, yaitu biaya yang tidak boleh dikurangkan secara fiskal.

d. Pengalihan harta atau sewa harta
>> Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
>> Dalam hal terjadi pengalihan harta maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.

PEMBIAYAAN SYARIAH
Kemudian dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.03/2011 diatur pengenaan PPh untuk kegiatan usaha pembiayaan syariah. Peraturan menteri keuangan ini mengatur:

a. Ruang Lingkup Pembiayaan Syariah
Ketentuan usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
[1.] Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarahatau Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Ijarah setara dengan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), karena itu aturan perpajakan terkait ijarah diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).

Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesia masa sewa. Ijarah Muntahiyah Bittamlik setara dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease), karena itu aturan perpajakan terkait Ijarah Muntahiyah Bittamlik diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease).

[2.] Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).

[3.] Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah, Salam, atau Istishna’. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak. Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahni’) dan penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.

[4.] Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
[5.] Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.

b. Perlakuan Perpajakan Pembiayaan Syariah
** Ijarah —> PPh atas operating lease
** Ijarah Muntahiyah Bittamlik –> PPh atas financial lease
** Wakalah bil Ujrah –> PPh atas bunga 
** Murabahah, Salam, atau Istishna’ –> PPh atas bunga 
** Kartu Kredit Syariah –> PPh atas fee atau imbalan
** Usaha Pembiayaan Syariah Lainnya –> PPh atas fee atau imbalan
** Mudharabah  –> PPh atas bunga 
** Mudharabah Musytarakah –> PPh atas bunga
** Musyarakah –> PPh atas bunga

Mudharabah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana (shahibul maal) membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahaan (Mudharabah Mutlaqah) atau untuk proyek yang ditentukan Perusahaan (Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.

Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana (shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.

Musyarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain untuk suaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.

c. Biaya Pembiayaan Syariah
Perusahaan dapat membebankan biaya sesuai:
[1.] Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk keuntungan dan/atau bagi hasil yang dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang dana (shohibul maal); dan
[2.] Jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.

d. Pengalihan Harta atau Sewa Harta terkait Pembiayaan Syariah
[1.] Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah dalam rangka kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
[2.] Dalam hal terjadi pengalihan harta, maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Perusahaan, yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Syarat Sumbangan

Pada prinsipnya, sumbangan tidak dapat dibiayakan atau tidak dapat mengurangi penghasilan bruto.
Tetapi UU PPh 1984 amandemen 2008 mengeculikan 5 jenis sumbangan yang dapat dibiayakan. Kelima sumbangan dimaksud :
1. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana.

2. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan.

3. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan.

4. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga.

5. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.03/2011 kemudian mengatur lebih rinci syarat-syarat pengeluaran sumbangan yang dapat dibiayakan.

Berikut catatan saya :
[1.] Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya.

[2.] pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan.

[3.] didukung oleh bukti yang sah.

[4.] lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

[5.] Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.

[6.] Pemberi dan penerima tidak memiliki hubungan istimewa.

Selain persyaratan diatas, Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.03/2011 juga mengatur nilai sumbangan, tata cara pencatatan dan pelaporan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Bukti pembayaran zakat

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh 1984 (nama resminya memang “UU PPh 1984”) bahwa pembayaran zakat bisa dibiayakan atau mengurangi penghasilan kena pajak.
Tetapi ada syarat-syarat tertentu supaya bukti pembayaran zakat bisa mengurangi penghasilan kena pajak. Syarat-syarat tersebut :
[a.] Zakat dibayarkan kepada amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah,
[b.] Bukti pembayaran zakat paling sedikit memuat informasi :
[b.1.] Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
[b.2.] Jumlah pembayaran;
[b.3.] Tanggal pembayaran;
[b.4.] Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
[b.5.] Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
[b.6.] Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.

Syarat dari [b.1.] sampai dengan [b.4] kumulatif. Artinya keempat syarat tersebut harus terpenuhi di bukti pembayaran pajak yang kita lampirkan di SPT Tahunan.

Ditambah validasi petugas bank jika pembayaran melalui transfer bank atau tanda tangan petugas badan amil zakat jika pembayaran secara langsung. Ketentuan lebih lanjut bisa dilihat di PER-6/PJ/2011.

Pengalaman di PKPU, walaupun pembayaran melalui transfer via ATM, tetapi pihak PKPU juga memberikan tanda terima yang ditandatangani oleh petugas. Mulai sekarang, tanda terima tersebut sebaiknya disesuai dengan dengan syarat-syarat di PER-6/PJ/2011 diatas supaya bisa dibebankan sebagai pengurang penghasilan.

Oh ya, zakat ini belum diperhitungkan dalam perhitungan PPh Pasal 21.

Tata cara perhitungan PPh Pasal 21 yang dikeluarkan oleh DJP sampai sekarang tidak memperhitungkan adanya zakat.

Dengan demikian, jika zakat akan diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan, untuk Wajib Pajak pekerja nanti akan menjadi lebih bayar.

Saya sendiri sebagai PNS tidak memperhitungkan zakat. Kalau PNS ada dua alasan :
[a.] PPh untuk PNS ditanggung (dibayar) oleh negara. Diperhitungan PPh Pasal 21 untuk PNS (form A2) selalu ada tunjangan PPh Pasal 21 sebesar PPh Pasal 21 yang terutang.

[b.] Kalau zakat turut diperhitungkan di SPT Tahunan, maka akan terjadi lebih bayar. Sudah dibayarin negara, masih minta kembalian lagi …..

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Biaya Fiskal untuk Migas

Sekarang perusahaan kontrak bagi hasil migas atau Kontraktor tidak bisa seenaknya saja membebankan biaya.
Kalau dulu, ada yang bilang, ” .. mereka pesta pun dimintakan kembali …” Seolah-olah, apapun pengeluaran yang dilakukan Kontraktor maka dapat dimintakan pengembalian dari pemerintah dan dapat dibiayakan dalam penghitungan Pajak Penghasilan.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan, maka ada beberapa pengeluaran Kontraktor yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan.

Pasal 13 PP 79 tahun 2010 berbunyi :
Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan meliputi :

a. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan / atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang participating interest, dan pemegang saham;

b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;

c. harta yang dihibahkan;

d. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;

e. biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;

f. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan /atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;

g. biaya tenaga asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenga asing (IKTA);

h. biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama;

i. biaya konsultan pajak;

j. biaya pemasaran minyak dan / atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;

k. biaya represesentasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;

l. biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi;

m. biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;

n. biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan participating interest;

o. biaya bunga atas pinjaman;

p. pajak penghasila karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang ditanggung kontraktor atau di-gross-up;

q. pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;

r. surplus material yang berlebihan akibat kesalahn perencaan dan pembelian;

s. nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor;

t. transaksi yang :
1. merugikan negera;
2. tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu; atau;
3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

u. bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;

v. biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;

w. insentif interest recovery; dan

x biaya audit komersial.

Harus banyak belajar lagi nih ….

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak

Pembayaran zakat bisa mengurangi penghasilan kena pajak. Tetapi tidak semua pembayaran zakat bisa mengurangi penghasilan kena pajak.
Hanya pembayaran zakat ke lembaga amil zakat yang dapat diperhitungkan.
Berikut ini adalah kutipan dari SE-80/PJ/2010 tanggal 23 Juli 2010 :

a. zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri pemeluk agama lslam dan/atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama lslam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena
Pajak;

b. apabila zakat tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah maka zakat tersebut tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak;

c. Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atas Penghasilan Kena Pajak, wajib melampirkan foto kopi bukti pembayaran zakal dari badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagai penerima zakat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.

salaam

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Biaya Promosi

Sejak tanggal 1 Januari 2010 berlaku ketentuan baru tentang Biaya Promosi. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 2/PMK.03/2010 bahwa:

Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah:
a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/ atau media lainnya;
b. biaya pameran produk;
c. biaya pengenalan produk baru; dan/atau
d. biaya spansorship yang berkaitan dengan promosi produk.
 
Tidak termasuk Biaya Promosi adaIah:
a. Pemberian imbaIan berupa uang dan/atau fasilitas dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
 
b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final .
 
Perubahan ketentuan tentang Biaya Promosi dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memberikan kesamaan perlakuan bagi Wajib Pajak. Begitulah menurut bagian “Menimbang” peraturan menteri keuangan ini. Tapi saya kira alasan terakhir yang lebih mendekati kenyataan hehehe.
 
Peraturan Menteri Keuangan No. 2/PMK.03/2010 ini mengatur pos-pos Biaya Promosi dan mengatur pengeluaran yang tidak termasuk Biaya Promosi. Bagaimana jika ada pengeluaran perusahaan yang menurut kita termasuk Biaya Promosi tapi tidak termasuk di pos biaya diatas? Kalau menurut saya, selama tidak masuk ke “tidak termasuk” maka termasuk Biaya Promosi.
 
Sebenarnya pengeluaran untuk :
[1] mendapatkan penghasilan yang bukan objek PPh, atau
[2] mendapatkan penghasilan yang PPh-nya bersifat final,
tidak dapat dapat dibiayakan secara fiskal, apapun nama atau pos biaya tersebut!
 
Oh ya, Biaya Promosi menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 2/PMK.03/2010 :
Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Penghapusan Piutang

Sudah menjadi kelaziman dalam dunia bisnis jika ada sebagian kecil dari piutang yang tidak bisa ditagih.
Karena atas piutang tersebut telah tercatat sebagai pendapatan, maka untuk mengoreksi pendapatan tersebut tentu dengan menjadikan biaya dari piutang tersebut.
Ya, penghapusan piutang adalah biaya atau pengurang penghasilan bruto.

Hanya saja, dilihat dari sisi fiskal penghapusan piutang harus memiliki syarat sebagaimana yang diatur di Pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh 1984.

Ternyata ada sedikit perbedaan antara aturan di UU dengan turunannya di Peraturan Menteri Keuangan No. 105/PMK.03/2009. Ibu Triyani telah membuat catatan tentang perbedaan ini. Dan saya setuju dengan beliau 😀

..bagaimana caranya kreditur membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur. Apakah kreditur wajib meminta laporan keuangan debitur? Atau dengan cara lain? Bagaimana jika debitur adalah WP orang pribadi yang tidak melakukan pembukuan?

Posting ini sebenarnya usaha saya menjawab pertanyaan Ibu Triyani diatas.

Di Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan No. 105/PMK.03/2009 tertulis:

.. atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, …

Saya kira perjanjian antara kreditur dan debitur semacam itu sudah cukup membuktikan bahwa dari sisi kreditur diakui sebagai biaya sedangkan dari sisi debitur harus diakui sebagai penghasilan.

Bagaimana jika si debitur ternyata tidak membukukan sebagai penghasilan di Laporan Keuangan?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita tahu bahwa si debitur tidak membukukan penghasilan?

Saya kira, ini mirip dengan “menerabas” lampu merah. Selama tidak ada polisi dan aman-aman saja, ya tidak apa-apa.

Tapi jika ketahuan oleh petugas polisi lalu lintas, ya …… sidanglah urusan selanjutnya 😀

Artinya, jika memang diketahui oleh petugas pajak bahwa si debitur tidak membukukan penghasilan padahal ada perjanjian bahwa hutang dia dihapuskan oleh kreditus, maka secara otomatis petugas pajak akan mengoreksi positif.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah

Kegiatan ekonomi berbasis syariah memiliki karakteristik tersendiri. Waktu kuliah di Jurangmangu, seorang dosen malah berkomentar waktu pendirian Bank Muamalat, “Bank kok jualan barang.”
 
Karena itu, tidak sedikit pejabat DJP juga berpendapat jika atas pembiayaan yang berasal dari bank syariah terutang PPN.
 
Hal ini karena dia melihat bahwa nasabah bank syariah ternyata membeli barang ke bank syariah bukan kepada penjual barang.

 

Khusus untuk Pajak Penghasilan, UU PPh 1984 amandemen 2008 telah menyiratkan di Pasal 31D UU PPh 1984 bahwa harus ada kesetaraan antara kegiatan ekonomi berbasis syariah dan konvensional.

Berikut bunyi Pasal 31D UU PPh 1984:

Ketentuan perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelum amandemen 2008, tidak ada pasal 31D. Ini benar-benar pasal baru! Salah satu alasan penambahan pasal ini adalah memberikan perlakuan yang sama dengan kegiatan usaha konvensional.

Perbedaan perlakuan antara transaksi konvensional dan transaksi berbasis syariah juga disebutkan di penjelasan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut Pasal 31D khusus bidang usaha berbasis syariah yaitu Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2009.

Penjelasan dari Peraturan Pemerintah ini diantaranya menyebutkan :

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi.

Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional.

Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional.

Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

Dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2009, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama. Semoga!

Berikut ini adalah kutipan dari PP ini yang saya anggap perlu :

Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya.

Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi:
a. penghasilan;
b. biaya; dan
c. pemotongan pajak atau pemungutan pajak.

Biaya dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah termasuk:
a . hak pihak ketiga atas bagi hasil;
b. margin; dan
c. kerugian dari transaksi bagi hasil.

Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah
dilakukan juga terhadap :
a. hak pihak ketiga atas bagi hasil;
b. bonus;
c. margin; dan
d. hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.

Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana.

Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli. Maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan.

Jika peraturan perpajakan merupakan satu kesatuan, tidak dilihat secara parsial, maka Pertaturan Pemerintah ini menegaskan bahwa pembiayaan bukan jual beli sehingga atas transaksi pembiyaan murabahah tidak terutang PPN [bukan objek PPN].

Disini, bank tidak ditempatkan sebagai penjual atau pembeli, tapi dianggap sebagai lembaga keuangan!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 
set of black opened envelope and cash dollars
Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

Penyusutan, Amortisasi, dan Alokasi Biaya

Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Contoh : pada bulan April 2007 wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk jangka waktu lima tahun sebesar Rp.60 juta. Maka biaya sewa tahun 2007 hanya sebesar Rp.60 juta x (9/60) atau sebesar Rp.9 juta saja.

Walaupun demikian, tidak ada larangan jika wajib pajak melakukan amortisasi atas biaya sewa tersebut. Larangan hanya untuk pembebanan sekaligus. Metode untuk penyusutan dan amortisasi untuk keperluan pajak sebagai berikut :
a). Garis Lurus (GL), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

b). Saldo Menurun (SM), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Berikut tarif yang berlaku untuk penyusutan :
Garis Lurus : [1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 25%; [2] kelompok 2 untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 12,5%; [3] kelompok 3 untuk aktiva dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 6,25%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan masa manfaat 20 tahun, tarifnya 5%.

Saldo Menurun : [1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 50%; [2] kelompok 2 untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 25%; [3] kelompok 3 untuk aktiva dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 12,5%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan masa manfaat 20 tahun, tarifnya 10%.

Jadi tarif penyusutan SM dua kali tarif penyusutan GL. Harap diingat, untuk keperluan pajak, penyusutan dihitung per bulan. Seandainya kita beli aktiva tanggal 30 pun maka pada bulan tersebut sudah boleh disusutkan.

Selain itu, tarif diatas tidak berlaku untuk bangunan. Bangunan hanya boleh dihitung dengan GL dan tarifnya 5%, kecuali jika bukan bangunan permanen maka tarifnya 10% saja.

Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa, seperti kebakaran atau banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai buku yang ada langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika dijua maka harga jual merupakan penghasilan, jika mendapat penggantian asuransi kerugian maka penggantian asuransi tersebut merupakan penghasilan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
%d blogger menyukai ini: