fbpx

Daerah Belum Siap Tangani PBB-BPHTB

ANYER(SI)-Rencana pengalihan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di bawah kewenangan daerah terancam gagal. Dari 33 provinsi, baru 2 provinsi yang mengaku sudah siap.”Rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengalihkan penerimaan pajak dari PBB dan BPHTB ke daerah sudah seharusnya direalisasikan, namun saya khawatir daerah belum siap,” kata Pengamat Perpajakan Darussalam ketika dihubungi kemarin. Selama ini, kata Darussalam, PBB dan BPHTB di seluruh Indone-sia dipungut oleh pemerintah pusat. Namun, pada 2011 pajak dipungut olehpemerintahdaerah(pemda)di-mana bangunan dan tanah tersebut herada.Tujuannya untuk pemerataan pembangunan agar pajak bisa dinikmati di daerah-daerah.

Pengalihan pemungutan PBB dan BPHTB menurut Darussalam memang bukan langkah yang mudah dan bisa direalisasikan dengan cepat. Sebab, kemampuan masing-masing daerah untuk mengelola keuangan berbeda. “Untuk mempersiapkan pengalihan, seharusnya sum ber daya manusia (SDM) di daerah sudah dipersiapkan, jangan sampai dialihkan tapi mereka tidak mampu menangani,” tegasnya.

Dalam sebuah diskusi dengan media di Anyer, Banten, terungkap bahwa pengalihan pemungutan PBB perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dinilai tidak akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah pusat. Pengalihan pemungutan terjadi karena berlakunya Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan RetribusiD aerah (PDRD) yang berlaku sejak 1 Januari 2011.

“Pengalihan PBB dan BPHTB ke daerah tidak akan menganggu penerimaan pajak di pusat yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010,” kata Kasubdit Bidang Penilaian II Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Budi Hardjanto. Sumber : Harian Seputar Indonesia

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Membebaskan BPHTB Warisan

Pak Raden, saya aneh apa karena warisan diperoleh dengan cuma-cuma, maka wajar kena pajak? Kenapa penerapan UU ini memandang warisan itu hanya sebelah saja yaitu harta warisan, padahal ada juga warisan berupa hutang. Jadi kalau mau membahas warisan, pemerintah harusnya melihat keseluruhan harta dan hutang warisan. Jangan hanya hartanya saja.

Begitulah salah satu komentar yang masuk pada hari ini. Pertama saya mengira yang dimaksud pajak adalah PPh atau PPN. Padahal untuk masalah warisan sudah saya bahas di blog ini pada tanggal 7 September 2007. Kalau di cari dulu pasti ketemu. Kesimpulan pada posting itu adalah warisan bebas pajak.

Setelah saya teliti, ternyata komentar tersebut ada di posting BPHTB. Jadi yang dimaksud pajak disini adalah BPHTB. Saya kemudian mencari tahu alasan pengenaan BPHTB atas warisan ini. Memang alasan kenapa warisan dikenakan yang ada di Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000, yaitu di bagian penjelasan yang berbunyi :

Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak.

Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.

Sebagaimana kita ketahui bahwa BPHTB “semacam” Materai atas perolehan hak. BPHTB terutang saat ada proses alih nama Sertifikat Hak Milik [SHM] dari orang yang meninggal kepada ahli waris. Dan dibayar oleh ahli waris sebagai orang yang memperoleh hak. Jika warisan tersebut tidak dialihnamakan atau warisan tersebut tidak memiliki SHM dan ahli waris tidak berniat untuk mengalihnamakan warisan tersebut, sebenarnya warisan tersebut bebas pajak.

Ada dua tips supaya ahli waris bebas atau terhindar membayar BPHTB :
1. Untuk warisan yang sudah bersertifikat, yaitu warisan langsung dijual tanpa dialihnamakan ke ahli waris. Dengan demikian, alihnama secara formal dari orang yang meninggal ke pembeli. Ahli waris bebas bayar BPHTB.

2. Untuk warisan yang belum atau tidak bersertifikat, yaitu dengan tidak membuat sertifkat. Saya kira ini cocok di daerah pedesaan yang kurang memperhatikan formalitas bukti kepemilikan.

Walaupun demikian, sebenarnya BPHTB warisan sudah mendapat dua fasilitas :
Pertama : Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris (NPOPTKP) bisa sampai Rp 300.000.000,00. Ini adalah NPOPTKP tertinggi.

Kedua : diskon langsung 50% dari BPHTB terutang.

Tanah Bersertifikat vs Petok

Pertanyaan:
Ada kejadian wp mengajukan kelebihan BPHTB, tanah tersebut merupakan tanah warisan, apakah ada perbedaan pengenaan NPOPTKP atas tanah warisan yang sudah bersrtifikat dan yang belum bersertifikat (petok)? Diatur dimana? Mohon bantuannya…terima kasih.

Jawaban:
Coba ibu lihat UU BPHTB Tahun 2000 Pasal 2 ayat (2) a. Pemindahan hak dan b. Perolehan hak. dan lihat juga Pasal 2 ayat (3) hak-hak yang menjadi objek BPHTB. Untuk warisan yg sudah bersertifikat masuk ke klausul pemindahan hak karena cecara hukum telah ada hak yang dapat diwariskan sehingga BPHTB = (nilai Pasar atau NJOP – Rp.300jt) x 5% x 50% dan untuk warisan yng belum bersertifikat masuk ke klausul perolehan hak karena secara hukum belum ada hak yang menjadi objek BPHTB yang akan diwariskan. Perhitungannya: (nilai pasar atau NJOP – Rp.60jt) x 5% untuk wilayah DKI Jakarta. mungkin ada pendapat lain ? [Tritiyo Nugroho]

NPOPTKP atas tanah warisan sudah bersertifikat adalah ditetapkan maksimal 300 jt. Apabila tanah belum bersertifikat diwariskan dan didaftarkan ke BPN untuk dimohon sertifikatnya, maka atas perbuatan hukum tersebut dikenakan BPHTB karena pemberian hak baru sepanjang permohonan tersebut disetujui dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Baru (SKPHB) atas nama ahli warisnya dan terutang BPHTBnya sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya SK pemberian hak dan NPOPTKP ditetapkan maksimal Rp.60jt. [Didik Santoso]

Catatan saya:
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB

(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena :
1 . jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.

NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) diatur di Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB,

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

[sumber : Fordis BPHTB.net]

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Hibah Ayah ke Anak di luar kawin

Pertanyaan: Wajib Pajak mengajukan pengurangan BPHTB karena mendapat hibah dari ayahnya. Penerima hibah adalah anak di luar kawin. Sehingga dalam Akta Kelahirannya tidak disebutkan nama ayahnya tetapi hanya disebutkan anak luar kawin dari ibunya. Apakah bisa diberikan pengurangan sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah? Dengan apa dibuktikan bahwa penerima hibah adalah anak kandung pemberi hibah? Apakan cukup dengan kartu keluarga saja?

Jawaban:
Biasanya anak diluar nikah dipakai oleh orang-orang non pribumi karena pernikahan mereka jaman dahulu tidak dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil, sehingga pihak catatan sipil mengeluarkan akta kelahiran bagi orang non pribumi dikatakan anak diluar nikah. Yang pasti anak dilluar nikah adalah anak kandung, sehingga menurut saya karena di era sekarang tidak ada lagi ada diskriminasi. Karena itu, untuk kasus tersebut dapat diberikan pengurangan. [Tri Setiyo Nugroho]

[sumber: Fordis BPHTB.net]

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pengenaan BPHTB atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat

Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.

Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Contoh 1 [NJOPTKP lebih besar dari nilai pasar & NJOP]
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris (NPOPTKP) sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 250.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak N i h i l
BPHTB terutang N i h i l

Contoh 2 [Nilai pasar lebih besar dari NJOP & NJOPTKP]
Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai JuaI Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 500.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 200.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 200.000.000,00
= Rp I0.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 5.000.000,00

Contoh 3
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 800.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 500.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 500.000.000,00
= Rp 25.000.000,00
BPHTB terutang = 50% x Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00

Contoh 4
Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseorang sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 900.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 60.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 1.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 940.000.000,00
= Rp 47.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 47.000.000,00
= Rp 23.500.000,00

[Dikutip dari PP 111 Tahun 2000]

Catatan : Untuk mendapatkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berlaku bisa ditanyakan ke KPP Pratama di Seksi Ekstensifikasi (pelayanan PBB hanya ada di KPP Pratama atau KPPBB jika belum ada KPP Pratama).

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com