fbpx

Pidana Pajak

Sebenarnya saya menduga bahwa Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan peraturan yang mendefinisikan pidana pajak. Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-47/PJ/2009 semula saya kira akan memberikan garis pemisah, perbuatan mana saja yang mengharuskan disidik dan tidak. Jika tidak perlu disidik, berarti pemeriksa Bukti Permulaan cukup mengirim risalah temuan kepada KPP terkait.

Dalam prakteknya, banyak PPNS di DJP yang masih belum bisa memisahkan mana pelanggaran administrasi perpajakan dan mana pelanggaran tindak pidana dibidang perpajakan. Hal ini berkaitan dengan sanksi yang harus diterapkan. Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran administrasi perpajakan tentu hanya akan diberi sanksi berupa bunga maksimal 48% dan kepada Wajib Pajak diberikan surat ketetapan pajak [skp]. Sedangkan Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran tindak pidana dibidang perpajakan akan diberikan sanksi penjara dan denda empat kali dari kerugian pada pendapatan negara.

Ternyata setelah saya pelajari, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-47/PJ/2009 tidak memberikan harapan semula. Karena itu saya coba cari : apa yang dimaksud tindak pidana dibidang perpajakan?

Saya mulai dari penjelasan Pasal 38 UU KUP:

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.


Penjelasan berikutnya berbunyi :

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.


Kalimat yang sama tidak ditemukan di penjelasan Pasal 39. Padahal Pasal 38 dan Pasal 39 menyebutkan perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana dibidang perpajakan. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan tersebut masih abstrak. Kecuali yang dimaksud di Pasal 39A UU KUP. Saya berikan contoh perbuatan menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap :

Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP :

Setiap orang yang dengan sengaja: menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Apa yang dimaksud “isinya tidak benar”? Apakah kesalahan menghitung penyusutan termasuk maksud “isinya tidak benar”? Apakah penerbitan skp oleh KPP merupakan bukti SPT yang disampaikan WP tidak benar dan menimbulkan kerugian negara? Padahal banyak skp yang diterbitkan nilainya puluhan milyar rupiah!

Saya sendiri sudah “memilah” bahwa yang termasuk tindak pidana dibidang perpajakan adalah Wajib Pajak yang memotong atau memungut pajak tapi tidak disetor ke Kas Negara, dan Wajib Pajak yang menyembunyikan omset. Akan tetapi tidak serta merta “koreksi omset” akan disidik karena banyak skp yang kurang bayar karena koreksi omset.

Annual Position Papers yang dibuat oleh Kadin meyakini bahwa pernyataan suatu tindak pidana pajak adalah berdasarkan kewenangan pengadilan (pengadilan negeri) bukan Ditjen Pajak. Menurutnya, Ditjen Pajak tidak boleh menggunakan Pasal 13A untuk menerbitkan suatu surat ketetapan pajak kecuali apabila pengadilan telah terlebih dahulu menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak pidana pajak (kelalaian) untuk pertama kalinya.

“Definisi” yang lebih jelas saya kira justru ada di penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU Penanaman Modal. Berikut kutipan lengkapnya :

Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.


Penjelasan ini saya kira lebih mengerucut tentang tindak pidana perpajakan, yaitu Wajib Pajak telah memotong atau memungut pajak orang lain tapi tidak disetorkan kepada Kas Negara.

Prakteknya, terdapat oknum-oknum tertentu [bisa pegawai DJP atau bukan] yang menerima pembayaran pajak dari Wajib Pajak [nitip] tetapi titipan tersebut tidak disetorkan ke Kas Negara. Untuk menipu Wajib Pajak, si oknum kemudian membuat SSP atau SSB palsu. Saya kira perbuatan seperti ini perlu dicantumkan di UU KUP karena bukan perbuatan “memotong atau memungut pajak”. Selama ini, perbuatan seperti ini hanya bisa disidik oleh pihak kepolisian karena ranah pidana pemalsuan. Padahal disini ada unsur “kerugian pada pendapatan negara” yang merupakan ciri pidana pajak.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pengungkapan Ketidakbenaran

Istilah “Pengungkapan Ketidakbenaran” muncul di tingkat peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak. Pengungkapan ketidakbenaran mengacu ke Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU KUP.
Judul Pasal 8 UU KUP sendiri “Pembetulan SPT”. Tetapi pembetulan sendiri hanya diatur di ayat (1), sedangkan ayat (3) dan (4) mengatur pembetulan. Mari kita bandingkan kata-kata yang saya garis bawahi:

Pasal 8 ayat (1) UU KUP

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Pasal 8 ayat (3) UU KUP

Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Pasal 8 ayat (4) UU KUP

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya …

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur lebih lanjut ketentuan pengungkapan ketidakbenaran, yaitu di Bagian Ketiga, Pasal 7 dan Pasal 8 dan diberi judul “Pengungkapan Ketidakbenaran”.

Walapun Pasal 8 UU KUP diberijudul “Pembetulan SPT” tetapi ayat (3) dan (4) bukan Pembetulan SPT tetapi Pengungkapan Ketidakbenaran.

Di UU KUP hanya disebutkan “pemeriksaan” untuk Pasal 8 (3) dan Pasal 8 (4) UU KUP.

Tetapi di Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 sudah ada pemisahan yang jelas bahwa Pasal 9 (3) UU KUP dimaksudkan untuk pemeriksaan Bukti Permulaan.

Saya kutif Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011:

Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Di bagian penjelasan Pasal 7 (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 menyebutkan :

meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan.

Dari dua kutifan tersebut semakin jelas bahwa Pasal 8 (3) UU KUP dilakukan pada saat sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Kemudian setelah dilakukan pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) UU KUP maka pemeriksaan bukti permulaan telah dilanjutkan untuk membuktikan kebenaran.

Jika benar maka pemeriksa bukti permulaan menerima. Dan kepada Wajib Pajak harus diberitahu bahwa tidak akan dilanjutkan ke proses penyidikan.

Keharusan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis di atur di Pasal 6 ayat (7) huruf b Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Tetapi jika pengungkatan tersebut menurut pemeriksa tidak benar, maka proses pemeriksaan bukti permulaan dilanjutkan dan ditingkatkan di proses penyidikan. Ini diatur di Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Selain memperjelas posisi antara pemeriksaan dan pemeriksaan bukti permulaan, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 juga memperluas “pemaknaan”.

Perluasan yang saya maksud tertulis di bagian penjelasan  Pasal 7 (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang secara lengkap saya kutif dibawah.

Bagian yang saya maksud perluasan digarisbawahi.

Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan  melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu :

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, Direktur Jenderal Pajak akan melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan.

Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak.

Dari 2 kalimat yang digarisbawahi, kita bisa memaknai bahwa pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) UU KUP dapat dilakukan untuk perbuatan [1.] tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau [2.] menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.

Kedua perbuatan tersebut dilakukan dengan alpa dan sengaja! Konon kabarnya, “pemaknaan” ini berdasarkan prinsip equal treatment dengan Pasal 44B UU KUP.

Perbedaannya, Pasal 8 (3) UU KUP untuk menghentikan proses pemeriksaan bukti permulaan dan supaya tidak ditingkatkan di proses penyidikan.

Sedangkan Pasal 44B untuk menghentikan penyidikan dan supaya tidak dilanjutkan ke proses penuntutan.

Sedangkan pengungkatan ketidakbenaran Pasal 8 (4) UU KUP digunakan:
[1.] proses pemeriksaan
[2.] sanksi 50%
[3.] berlaku Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Tiga hal diatas yang menurut saya pembeda antara pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) dan Pasal 8 (4) UU KUP.

Yang satu proses pemeriksaan bukti permulaan, satu lagi proses pemeriksaan. Sanksi di proses pemeriksaan bukti permulaan 150% tetapi sanksi di proses pemeriksaan cukup 50%.

Di proses pemeriksaan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Sedangkan di proses pemeriksaan bukti permulaan tidak diatur. Artinya terhadap Pajak Masukan yang belum dilaporkan dapat diakui atau ditolak.

Secara lengkap saya kutif ketentuan pelaksanaan Pasal 8 (4) UU KUP yang diatur di Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011:

(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang, sepanjang pemeriksaan pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan.
(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:

  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
  2. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
  3. Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen).
(3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut.
(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
(7) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Analisis IDLP

Dulu …. waktu masih kuliah di Jurangmangu diajarkan bahwa data dan informasi itu dua sisi yang berbeda.
Intinya, informasi adalah data yang sudah diproses atau diolah. Data itu bahan baku dan informasi itu barang jadi. Kira-kira begitu kalau di manufaktur.

Tetapi dalam perpajakan, data dan informasi itu bisa dalam posisi yang sama, sebagai bahan baku.

Pengertiannya pun berbeda dengan pengertian informasi diatas. Sikan perhatikan pengertian IDLP yang dicantumkan di peraturan menteri keuangan berikut :

informasi adalah keterangan baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.

data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang menjadi dasar pelaporan yang belum dianalisis.

laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang atau institusi karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.

pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan di bidang perpajakan.

Informasi, data, laporan, dan pengaduan disingkat IDLP. Kesemuanya akan menjadi bahan yang akan diolah oleh analis IDLP. Petugas analis IDLP ini merupakan spesialisasi baru di DJP. Disebut spesialisasi karena untuk menjadi analis IDLP, seorang pegawai DJP harus didiklat dulu, khusus Diklat Analisis IDLP.

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-38/PJ/2010 bahwa IDLP akan diterima dan dianalisis oleh analis IDLP. Produk dari analisis IDLP ada tiga tipe / kelompok :
Kelompok A adalah IDLP dengan indikasi kuat terjadinya tindak pidana perpajakan, ditindaklanjuti dengan usul Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Kelompok B adalah IDLP dengan indikasi lemah terjadinya tindak pidana perpajakan, ditindaklanjuti dengan rekomendasi Pemeriksaan Khusus.
Kelompok C adalah IDLP tidak menunjukkan adanya indikasi tindak pidana perpajakan, ditindaklanjuti dengan mengarsipkan sementara dan akan diproses kembali apabila di kemudian hari terdapat IDLP baru yang berhubungan atau mengirimkan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau seharusnya terdaftar untuk dapat dimanfaatkan.

Sebelum sampai pada kesimpulan, analis IDLP akan menguraikan fakta-fakta IDLP, antara lain:
1. identitas pelapor/sumber IDLP;
2. identitas terlapor;
3. indikasi tindak pidana perpajakan;
4. dokumen yang dilampirkan; dan
5. kronologis penanganan yang telah dilakukan;

Kemudian analis IDLP juga bisa mengembangkan IDLP dengan cara :
1. membandingkan IDLP dengan data internal dan eksternal;
2. mengidentifikasi ada tidaknya tindak pidana perpajakan;
3. mengidentifikasi modus operandi yang dilakukan;
4. memperkirakan kerugian negara yang ditimbulkan; dan
5. mengidentifikasi calon tersangka dan calon saksi;

Terakhir baru pada kesimpulan IDLP, yaitu berupa :
1. kesimpulan
2. usul tindak lanjut

Masih dalam proses pengembangan, jika analis IDLP merasa bahwa “bahan-bahan” untuk pengembangan dan analisis IDLP belum cukup, maka analis IDLP juga bisa meminta “bahan-bahan” tambahan lebih lanjut dengan pengamatan dan kegiatan intelijen perpajakan.

Pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pengamat untuk mencocokkan data, informasi, laporan, dan/atau pengaduan dengan fakta, dan membahas serta mengembangkan data, informasi, laporan, dan/atau pengaduan tersebut untuk memperoleh petunjuk adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Kegiatan intelijen perpajakan adalah serangkaian kegiatan dalam siklus intelijen yang dilakukan oleh petugas intelijen perpajakan yang meliputi perencanaan, pengumpulan, pengolahan dan penyajian sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang berisi data dan/atau informasi terkait Wajib Pajak sehubungan dengan terjadinya suatu transaksi, peristiwa, dan/atau keadaan yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan/atau indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-3/PJ/2011 pengamatan dilakukan oleh :
1. Pengamat di Direktorat Intelijen dan Penyidikan
2. Pengamat di Kanwil DJP
yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Pengamatan.

Berbeda dengan pengamatan, kegiatan intelijen perpajakan hanya dilakukan oleh petugas intelijen perpajakan.

PER-3/PJ/2011 tidak menyebutkan apakah kegiatan intelijen perpajakan bekerja berdasaran surat perintah intelijen atau surat apa.

Tetapi hasil kegiatan intelijen perpajakan berupa Laporan Hasil Intelijen Perpajakan yang secara administrasi disampaikan oleh Kepala Sub Direktorat (kasubdit) Intelijen Perpajakan.

Laporan Pengamatan dan Laporan Hasil Intelijen Perpajakan kemudian dimanfaatkan oleh analis IDLP sebagai bahan “olahan” IDLP.

Dengan lengkapnya “bahan-bahan” untuk dioleh oleh analis IDLP, diharapkan analis IDLP lebih akurat untuk membuat kesimpulan analisis IDLP.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Untuk Pemain Faktur Pajak

DJP “menengarai” ada Wajib Pajak tertentu yang memang dengan sengan memanfaatkan kelemahan dari sistem PPN. Walaupun bentuknya selembar kertas yang ditandatangani oleh bagian accounting, sebenarnya faktur pajak sama dengan uang kertas!
Faktur pajak bisa mengurani PPN terutang. Bahkan bisa “menarik” uang negara melalui mekanisme restitusi.

Benar bahwa setiap permohonan restitusi wajib diperiksa oleh DJP. Tetapi yang melakukan pemeriksaan adalah [sebagian besar] pemeriksa pajak yang selalu berpikir positif.

Pemeriksa pajak lebih sering berada pada tataran formalitas. Artinya, jika formalitas sudah dipenuhi maka restitusi disetujui untuk dikeluarkan.

Permasalahan muncul jika formalitas berbeda dengan substansi. Formalitasnya ada jual beli, tetapi pada kenyataannya tidak ada penyerahan barang. Dulu DJP menyebut faktur pajak fiktif.

Kemudian karena dipermasalahkan di pengadilan, maka disebut faktur pajak bermasalah.

Tetapi istilah sekarang adalah “faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya” sebagaimana disebutkan di Pasal 39A UU KUP.

Pembuat faktur pajak fiktif tersebut sering disebut pemain. Ya, mereka memang “bermain-main” dengan membuat dokumen faktur pajak.

Pekerjaan pemain ini HANYA membuat faktur pajak dan menjual kepada yang membutuhkan atau pengguna. Karena itu, pihak yang paling diburu oleh DJP adalah pemain ini.

Surat Edara Direktur Jenderal Pajak No. SE-132/PJ/2010 mengatur langkah-langkah yang akan dilakukan oleh DJP baik di tingkat pusat, kanwil maupun KPP.

Pada intinya, KPP akan melakukan penelitian atas Wajib Pajak yang terdapat indikasi penerbit atau pengguna faktur pajak tidak sah [ini istilah yang digunakan di SE-132/PJ/2010].

Pada tahap ini, KPP hanya menghimbau kepada Wajib Pajak jika memang indikasi tersebut benar.

Nah, Wajib Pajak yang mendapat himbauan dari KPP sebaiknya ditanggapi. Jika menolak berikan alasan yang sebenarnya.

Jika himbauan tersebut tidak ditanggapi justru bukan menyelesaikan masalah tetapi akan menambah berat masalah karena akan dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan.

Dari SE-132/PJ/2010 menyebutkan bahwa DJP akan mengeluarkan surat edaran suspect list.

Sesuai namanya, surat edaran ini merinci Wajib Pajak mana saja yang diindikasikan sebagai penerbit atau pengguna.

Nah, walaupun sudah dibuatkan surat edaran dan ditandatangani oleh direktur jenderal, tetapi Wajib Pajak bisa dikeluarkan dari suspect list jika melakukan sanggahan.

Wajib Pajak diberi waktu untuk melakukan sanggahan atas SE suspect list tersebut dalam jangka waktu 6 bulan saja.

SE-132/PJ/2010 salah satu cara bagaimana membuat basis data untuk informasi awal tentang faktur pajak tidak sah.

Maksudnya untuk pencegahan jika salah satu pemain masuk ke sistem komputer maka komputer akan memberitahukan pengguna.

Karena itu di surat edaran ini juga mengatur langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Risalah Temuan

Bagi fungsional pemeriksa pajak yang ditempatkan di Kanwil DJP, salah satu peraturan yang sudah lama ditunggu-tunggu adalah peraturan Dirjen Pajak tentang pemeriksaan Bukti Permulaan.
Konon kabarnya, peraturan ini sudah disiapkan sejak perumusan Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007.

Konsep pertama, hasil pemeriksaan Bukti Permulaan cuma ada dua, yaitu penyidikan atau case closed.

Ternyata, UU KUP 2007 “memperkenalkan” Pasal 13A. Karena itu, kemudian ditambahkan bahwa hasil pemeriksaan Bukti Permulaan bisa skp Pasal 13A.

Selain itu, ada “titipan” dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan bahwa terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP supaya bisa dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan.

Inilah satu-satunya alasan pemeriksaan bukti permulaan bisa mengeluarkan skp berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Maksud saya, produk pemeriksaan Bukti Permulaan dengan alasan ini sama dengan produk Pemeriksaan Pajak di KPP.

Maka ditetapkanlah hasil pemeriksaan Bukti Permulaan [Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007] :

Pasal 12
Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan tindakan Penyidikan atau tindakan lainnya.

Pasal 13
Tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat berupa:
1. penerbitan surat ketetapan pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan terhadap :

1) Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP atas kealpaan yang pertama kali diketahui oleh Direktur Jenderal Pajak.

2) Wajib Pajak badan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP, tetapi tidak ditemukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

2. pembuatan laporan kepada pihak lain yang berwenang apabila ditemukan bukti permulaan yang mengandung adanya unsur tindak pidana selain di bidang perpajakan;

3. pembuatan laporan sumir apabila Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;

4. pembuatan laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan, Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau

5. mengirimkan risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam hal terdapat pajak yang terutang.

Dari Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 [PMK] ini kemudian memunculkan sesuatu yang baru yaitu risalah temuan?

Apa dan bagaimana risalah temuan, tidak dijelaskan di PMK. Karena masih belum jelas, maka dijadikan alasan bahwa PMK ini belum sepenuhnya berlaku dan pemeriksa Bukti Permulaan masih mengacu ke Keputusan Dirjen Pajak No. KEP – 272/PJ/2002.

Sejak 1 September 2009 kemarin peraturan yang ditunggu-tunggu itu sudah keluar yaitu Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009 tentang Petunjuk Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan Terhadap Wajib Pajak Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Dibidang Perpajakan. Bagaimana sih risalah temuan?

Menurut Pasal 15 ayat (8) Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009 bahwa risalah temuan merupakan keterangan lain sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007.

Berikut kutipan lengkapnya Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007 :

Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk :

a. risalah mengenai data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang- Undang dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

b. risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan;

c. risalah mengenai temuan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal penyidikan dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang;

d. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Risalah temuan yang dikirim oleh unit pelaksana pemeriksaan Bukti Permulaan kemudian harus melampirkan [sesuai lampiran 45 Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009] :
1. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
2. Daftar Temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
3. Perhitungan Pajak Terhutang;
4. Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan yang terkait;
5. Penjelasan Lainnya jika dipandang perlu.

Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009 tentu saja tidak “menghilangkan” Nota Penghitungan. Akan tetapi nota penghitungan yang dihasilkan dari pemeriksaan Bukti Permulaan untuk :
[1] Pasal 13A, atau
[2] Wajib Pajak yang di-buper karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP.

Kalau dilihat dari segi praktisnya, pemeriksa Bukti Permulaan masih bisa mengeluarkan surat ketetapan pajak [skp] karena tiga alasan :

[1] Terbukti ada tindak pidana berupa alpa tetapi “ditemukan” untuk pertama kali;
Hasilnya berupa skp Pasal 13A dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 200% dari pajak terutang atau pajak kurang dibayar. Pemeriksa Bukti Permulaan akan mengirim Nota Penghitungan kepada KPP terkait.

[2] Pemeriksaan Bukti Permulaan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP.

Hasilnya berupa skp dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Untuk menerbitkan skp ini, pemeriksa Bukti Permulaan akan mengirim Nota Penghitungan kepada KPP terkait.

[3] Tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana dibidang perpajakan, namun terdapat pajak yang terutang.

Hasilnya berupa skp dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Tetapi untuk menerbitkan skp ini, pemeriksa Bukti Permulaan tidak membuat Nota Penghitungan melainkan mengirim risalah temuan.

Sebenarnya, yang kedua dan yang ketiga bagi Wajib Pajak, menurut saya, sama saja. Bagaimana menurut pembaca?

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pasal 8 ayat (3)

Dilihat dari redaksional, antara Pasal 8 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2007 tidak banyak perbedaan.
 
Mungkin perbedaan yang paling jelas adakan sanksi yang turun 50% yaitu dari 200% di UU No. 16 Tahun 2000 menjadi 150% di UU No. 28 Tahun 2007.
 
Supaya lebih jelas, saya kutip saja secara berurutan :

 

Pasal 8 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2000 [KUP 2000]:

Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

Pasal 8 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007 [KUP 2007]:

Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Tetapi penggunaan Pasal 8 ayat (3) ada perbedaan antara KUP 2000 dengan KUP 2007. Untuk Wajib Pajak yang diperiksa [Pemeriksaan Bukti Permulaan] tahun pajak 2001 – 2007 bisa langsung melakukan Pembetulan SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (3).

Tetapi untuk tahun pajak 2008 dan seterusnya, Pembetulan SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (3) hanya bisa dilakukan jika Wajib Pajak tersebut [yang diperiksa Pemeriksaan Bukti Permulaan] telah di tetapkan SKP Pasal 13A.

Pasal 8 ayat (3) adalah pengakuan kesalahan Wajib Pajak. Seorang Wajib Pajak yang sedang diperiksa Pemeriksaan Bukti Permulaan dan “terbukti” telah melanggar Pasal 38 maka atas kesalahan tersebut Wajib Pajak “cukup” dikenakan sanksi administrasi.

Karena Wajib Pajak sudah mengakui kesalahannya dan sudah membayar sanksinya, maka sanksi pidana tidak diperlukan lagi.

Inilah bedanya sanksi pidana umum dan sanksi pidana perpajakan!

Dilihat dari FUNGSI, maka Pasal 8 ayat (3) adalah semacam “benteng” supaya tidak dilakukan penyidikan atas Wajib Pajak tersebut. Kapan Wajib Pajak tahu akan dilakukan penyidikan?

Semua Wajib Pajak yang diperiksa Pemeriksaan Bukti Permulaan ada kemungkinan akan diteruskan dengan proses penyidikan jika bukti-bukti tindak pidana cukup.

Pada saat inilah Wajib Pajak bisa “membentengi diri” dengan Pembetulan SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (3).

Di KUP 2007 [tahun pajak 2008 dan seterusnya] penyidikan dengan sangkaan Pasal 38 hanya bisa dilakukan jika atas Wajib Pajak tersebut telah dikeluarkan SKP Pasal 13A atau alpa untuk kedua kalinya.

Karena berfungsi sebagai tameng supaya tidak disidik, jika proses pemeriksaan sudah memasuki proses penyidikan, maka tidak perlu lagi ada Pembetulan SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (3).

Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Pasal 8 ayat (3) yang berbunyi :

Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
st peters square vatican city
Photo by Elena Semёnova on Pexels.com

Pasal 13A

Sekitar pertengahan tahun 2007, ada sosialisasi kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan. Walaupun secara DJP dua jenis pekerjaan tersebut tidak asing lagi, tetapi sejak modernisasi DJP maka ada perubahan paradigma.

 

Sebagai contoh : kabarnya [saya sendiri tidak mengalami] kalau di kantor pusat DJP, khususnya Direktorat P4 waktu itu, bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan itu adalah pemeriksaan yang usulnya berasal dari Subdit Penyidikan.

Kalau dari Subdit Pemeriksaan, ya bentuknya pemeriksaan khusus. Selain itu, praktek dilapangan, Pemeriksaan Bukti Permulaan itu seringkali dijadikan “macan ompong” untuk menakut-nakuti Wajib Pajak supaya lebih “takut”.

Bahkan tidak sedikit jika Pemeriksaan Bukti Permulaan berasal dari pemeriksaan biasa, tapi karena Wajib Pajak tidak ditemukan, maka ditingkatkan di Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Hasil dari Pemeriksaan Bukti Permulaan pada waktu itu ya …. sama saja dengan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan kriteria seleksi, yaitu surat ketetapan pajak [skp].

Nah, pada waktu sosialisasi dari Direktur Intelijen dan Penyidikan pada waktu itu ditegaskan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan hanya untuk mencari bukti-bukti awal tindak pidana perpajakan.

Jika bukti-bukti awal tidak ditemukan pada saat Pemeriksaan Bukti Permulaan maka harus “case closed” [istilah Pak Direktur waktu itu].

Tidak ada skp! Hasil dari Pemeriksaan Bukti Permulaan itu adalah penyidikan atau “case closed“.

Kabarnya, ini memang konsep awal di RUU KUP.

Tetapi kemudian pada waktu pembahasan di DPR berkembang wacana bahwa perlua ada suatu sanksi bagi Wajib Pajak yang berfungsi sebagai “warning” supaya Wajib Pajak tidak main-main dengan Surat Pemberitahuan.

Kalau sebatas “lampu kuning” maka sanksi yang dijatuhkan bukan sanksi penjara tapi berupa kenaikan.

Kabarnya, semula akan ada Pasal 38A. Seperti yang kita ketahui, sanksi Pasal 38 dan Pasal 39 adalah kewenangan hakim.

Sanksi itu ditetapkan dengan vonis hakim. Untuk menjatuhkan sanksi kenaikan 200%, seorang Wajib Pajak harus diperiksa dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, dan persidangan di Pengadilan Negeri.

Kemudian hakim menjatuhkan vonis dengan kenaikan 200% dari kerugian pada pendapatan negara. Ini tentu terlalu “melelahkan” tetapi hasilnya tidak akan maksimal.

Karena itu kemudian pasal itu ditarik ke “kawasan” surat ketetapan pajak yaitu di Pasal 13.

Artinya, walaupun Wajib Pajak sudah terbukti melakukan perbuatan pidana pajak tetapi karena perbuatan tersebut baru yang pertama kali maka sanksi yang diberikan cukup dengan sanksi kenaikan 200% oleh DJP sendiri.

Tidak perlu sampai penyidikan dan persidangan di Pengadilan Negeri.

Maka jadilah Pasal 13A UU KUP.

Inilah bunyi lengkapnya :

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Kalau kita cermati kata-kata “alpa” dan “kerugian pada pendapatan negera” merupakan bahasa hukum.

Perhatikan kata-kata yang digunakan di Pasal 13 UU KUP yang menggunakan istilah “tidak atau kurang bayar” bukan “kerugian pada pendapatan negara”!

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
man wearing black officer uniform
Photo by Rosemary Ketchum on Pexels.com

Alpa Pertama Kali

Ada pepatah, seekor keledai tidak akan jatuh pada lubang yang sama. Saya kira pada pepatah ini, keledai dicitrakan seekor binatang yang bodoh atau dungu.
Dan jatuh disini tentu saja bukan jatuh yang disengaja. Seekor binatang yang dungu sekalipun tidak akan pernah berbuat kesalahan [yang sama] dua kali yang tidak disengaja. Kira-kira begitu pengertiannya.

Alpa adalah sesuatu yang tidak disengaja. Dalam bahan UU KUP kata alpa artinya bertolak belakang dengan sengaja.

Silakan perhatikan Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP [khususnya amandemen 2007]. Supaya lebih jelas, saya kutip kedua pasal tersebut :

Pasal 38 UU KUP :

Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 39 ayat (1) UU KUP :

Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Perhatikan kalimat di Pasal 38 diatas, “perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A”!

Supaya lebih jelas, saya kutip Pasal 13A terlebih dahulu.

Pasal 13A UU KUP :

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Nah kalau di Pasal 13A ini kalimat yang perlu diperhatikan adalah, “kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak”!

Artinya, di UU KUP kita dikenal alpa pertama, kedua, dan seterusnya. Hal ini juga menjadi pegangan bagi hakim di Pengadilan Negeri untuk memutuskan vonis bahwa Pasal 38 UU KUP hanya bisa diterapkan [khusunya untuk tahun pajak 2008 dan seterusnya] jika seorang Wajib Pajak sudah dikenakan sanksi Pasal 13A UU KUP.

Lantas bagaimana menentukan perbuatan alpa pertama kali? Perbuatan alpa pertama kali ditentukan oleh Pemeriksaan Bukti Permulaan yang kemudian ditetapkan surat ketetapan pajak [skp] dengan sanksi Pasal 13A oleh Pemeriksa Bukti Permulaan.

Contoh 1:
Seorang Wajib Pajak pada bulan Agustus 2009 diperiksa Bukti Permulaan untuk tahun pajak 2008. Hasil pemeriksaan menetapkan skp Pasal 13A. Inilah alpa pertama kali!

Contoh 2:
Seorang Wajib Pajak pada bulan Agustus 2011 diperiksa Bukti Permulaan untuk tahun pajak 2010. Hasil pemeriksaan menetapkan skp Pasal 13A. Tetapi pada Desember 2011 diperiksa Bukti Permulaan lagi untuk tahun pajak 2009.

Maka untuk tahun pajak 2009 ini bukan alpa pertama kali karena alpa pertama kali sudah ditetapkan untuk tahun pajak 2010 (pelaksaan pemeriksaannya lebih dulu) walaupun tahun pajaknya justru mundur.

Contoh 3:
Seorang Wajib Pajak pada bulan Agustus 2011 diperiksa Bukti Permulaan untuk tahun pajak 2008, 2009, dan 2010.

Karena pemeriksaan Bukti Permulaan untuk tiga tahun tersebut berbarengan waktunya, maka hasil pemeriksaan Bukti Permulaan untuk tiga tahun tersebut bisa menggunakan Pasal 13A dan disebut sebagai alpa yang pertama kali.

Dengan demikian, alpa pertama kali bukan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tetapi ditentukan oleh Pemeriksaan Bukti Permulaan yang hasilnya menetapkan skp Pasal 13A!

Wajib Pajak bisa melakukan perbuatan tidak disengaja berkali-kali bahkan untuk tahun pajak yang sama! Contoh lagi, seorang Wajib Pajak diperiksa Bukti Permulaan tahun 2009 untuk tahun pajak 2008.

Pada pemeriksaan tahun 2009 objek yang diperiksa adalah PPh Badan. Tetapi pada tahun 2010 diperiksa Bukti Permulaan lagi dengan objek pemeriksaan pemungutan PPN. Tuh kan!

Walaupun demikian, jangan dihubungkan antara Wajib Pajak dengan keledai! Karena memang tidak ada hubungannya sama sekali he… he … he …

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pemeriksaan Bukti Permulaan

Bagi sebagian besar Wajib Pajak, saya kira masih asing dengan istilah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Memang sebelum modernisasi DJP, jenis pemeriksaan ini lebih banyak dihindari. Pemeriksa pajak pra-modernisasi DJP sendiri cenderung menghindar.
Karena itu, tidak heran jika pada awal pembentukan Direktorat IP dan Kanwil modern, saldo Pemeriksaan Bukti Permulaan yang belum diselesaikan sangat banyak.

Sejak modernisasi di kantor pusat DJP dan Kanwil, sudah ada pemeriksa pajak yang “spesialis” pemeriksa Bukti Permulaan. Sampai saat ini, hampir semua petugas fungsional pemeriksa pajak yang ditempatkan di Kanwil DJP merupakan pemeriksa Bukti Permulaan.

Ya, karena Kanwil DJP sekarang hanya melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan penyidikan.

Bagaimana Wajib Pajak diperiksa oleh pemeriksa Bukti Permulaan? “Bahan baku” Pemeriksaan Bukti Permulaan sebenarnya berasal dari usulan Kantor Pelayanan Pajak dan pengaduan masyarakat. Setidaknya inilah praktek yang terjadi saat ini.

Tetapi tidak semua usulan dari Kantor Pelayanan Pajak diterima dan langsung diperiksa oleh Kanwil DJP. Ada juga yang ditolak karena dianggap tidak layak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Kalau di Bandung dan beberapa Kanwil, setiap pengusul harus melakukan pemaparan dihadapan tim pemeriksa Kanwil.

Setelah itu, diputuskan diterima, atau ditunda dulu, atau ditolak.

Sumber lain bahan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pengaduan masyarakat.

Pengaduan ini beragam, diantaranya :
[1.] Surat yang ditujukan kepada DJP baik KPP, Kanwil, maupun kantor pusat. Bahkan ada juga pengaduan yang dialamatkan langsung ke Departemen Keuangan.
[2.] Surat elektronik yang dikirim ke pengaduan@pajak.go.id
[3.] Pengaduan melalui call centre 021.500200 yang diteruskan ke Direktorat IP

Kalau di Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 hal ini diatur di Pasal 2, yaitu :

(1) Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak baik secara langsung maupun tidak langsung dikembangkan dan dianalisis untuk ditentukan tindak lanjutnya.
(4) Tindak lanjut atas pengembangan dan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat berupa Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak dalam hal memenuhi kriteria yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Kemudian Direktorat IP mengembangkan “analis IDLP”, yaitu petugas yang melakukan analisa atas IDLP yang diterima.

Sebelumnya, tidak ada petugas analis IDLP. Petugas ini berada di kantor pusat DJP dan Kanwil DJP.

Bisa jadi pengaduan yang diterima hanya sampai petugas analis IDLP. Walaupun pengaduan tersebut hanya sampai “X file” tetapi bukan tidak mungkin suatu saat akan berguna.

Misalkan ada berkas X1, .. X5. Saya kira jika sudah seperti itu petugas analis IDLP akan mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Tentu saja surat pengaduan tidak harus menunggu X5. Selain itu, surat pengaduan juga tidak mewajibkan identitas pengadu.

Saya sendiri beberapa kali menerima perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang berasal dari surat anonim atau Mr. X.

Poin penting dari surat pengaduan [menurut saya sendiri] adalah isi dari surat tersebut.

Surat tersebut bukan karangan tapi berdasarkan fakta sebenarnya. Semakin banyak data yang dipaparkan dalam surat pengaduan tersebut akan lebih baik. Selain itu, prinsip materialitas juga perlu diperhatikan.

Maksud saya, pengadu bisa memperkirakan bahwa orang yang diadukan telah melakukan “penggelapan” pajak yang cukup besar!

Bagaimana Wajib Pajak tahu bahwa dia sedang diperiksa dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan?

Tentu saja setelah diberi tahu oleh pemeriksa Bukti Permulaan. Seperti pemeriksaan biasa, tim pemeriksa Bukti Permulaan akan memperkenalkan diri kepada Wajib Pajak yang diperiksa.

Pada saat memperkenalkan tim pemeriksa tersebut Wajib Pajak akan menerima pemberitahuan resmi bahwa dirinya sedang diperiksa dengan lampiran Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Inilah kewajiban dan kewenangan pemeriksa Bukti Permulaan yang saya kutip dari Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 :

Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan berkewajiban:

a. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak;

b.memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;

c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak;

d.memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Bukti Permulaan;

e. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

f. memberitahukan temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak;

g. melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak;

h. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan;

i.merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan;

j.mengamankan bahan bukti yang ditemukan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan;

k. membuat berita acara permintaan keterangan para calon Tersangka, calon Saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang berkaitan; dan

l. membuat Laporan Kejadian, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan.

Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang, antara lain:

a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

d. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan yang antara lain berupa:

1)menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

2)memberi kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

3)menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.

e. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

f. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;

g. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan

h. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan kepada para calon Tersangka, calon Saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang berkaitan yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan.

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Rekening Khusus

Tadi pagi, saya sedikit ngobrol dengan pegawai Wajib Pajak yang baru saja diperiksa oleh Kanwil. Sejak masa modernisasi, Kanwil DJP hanya melakukan pemeriksaan Bukti Permulaan.
 
Karena itu, sekarang semua Wajib Pajak yang diperiksa oleh Kanwil DJP adalah pemeriksaan Bukti Permulaan.

 

Wajib Pajak ini diperiksa atas usulan dari Kantor Pelayanan Pajak. Informasi awal yang diperoleh bahwa Wajib Pajak patut diduga telah menyembunyikan rekening koran khusus.

Tentu saja rekening koran ini tidak pernah diberitahukan kepada petugas pajak sebelumnya. Rekening khusus tersebut sudah ada sejak empat tahun sebelumnya.

Saya bertanya, bagaimana petugas Kantor Pelayanan Pajak memperoleh rekening koran yang “dirahasiakan”.

Memang pada waktu itu Wajib Pajak tersebut sedang diperiksa oleh Kantor Pelayanan Pajak. Tetapi kepada pemeriksa pajak Wajib Pajak tidak akan memberitahukan adanya rekening tersebut. D

isamping itu, ada kecenderungan [secara umum] bahwa pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan Pajak lebih “lembek”.

Sekali lagi, sejak modernisasi DJP, semua petugas pajak di Kantor Pelayanan Pajak, termasuk pemeriksa pajak, lebih mengutamakan pelayanan.

Setidaknya ada perubahan paradigma bahwa petugas pajak sebagai pelayan Wajib Pajak.

Dengan paradigma pelayaan prima, saya kira agak sulit jika pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan Pajak melakukan tindakan yang lebih “galak” seperti penggeledahan atau penyegelan.

Ini tentu berbeda dengan pemeriksa pajak di Kanwil. Karena pemeriksaan di Kanwil khusus pemeriksaan Bukti Permulaan dan diarahkan untuk penyidikan, maka sejak awal turun ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak [setidaknya ini yang dilakukan di Bandung] selalu melakukan penggeledahan setiap ruangan. Termasuk ruangan pemilik atau direktur!

Nah, pada hari pertama pemeriksaan terhadap Wajib Pajak ini, kami memang “menyisir” ruangan pemilik usaha.

Dari ruangan tersebut didapat rekening khusus tersebut. Artinya, rekening khusus tersebut memang disimpan ditempat khusus dan patut diduga memang disembunyikan kepada pihak lain.

Kembali kepada petugas Wajib Pajak.

Saya bertanya, bagaimana petugas Kantor Pelayanan Pajak memperoleh rekening koran yang dirahasiakan tersebut?

Ternyata pada saat pemeriksaan oleh Kantor Pelayana Pajak, dia mengaku ada seseorang yang mengaku akan melakukan pembelian produk Wajib Pajak tersebut.

Agak anehnya, si calon konsumen tersebut memaksa untuk membeli tanpa faktur. Calon konsumen tersebut “menggiring” Wajib Pajak untuk melakukan transaksi yang tidak akan dilaporkan kepada pihak lain.

Dan ternyata Wajib Pajak tersebut kemudian memberikan nomor rekening khusus tersebut. Atas transaksi tersebut, Wajib Pajak minta ditransfer ke rekening tersebut.

Transaksi tersebut tidak pernah terjadi karena calon konsumen tersebut benar-benar calon.

Artinya, setelah Wajib Pajak memberikan nomor rekening khusus, calon konsumen tersebut tidak pernah nongol atau mengontak.

Menghilang begitu saja. Karena itu, petugas Wajib Pajak yang saya tanya tadi pagi menyebut istilah intel pajak.

Apakah benar yang datang intel pajak?

Saya sendiri ragu karena yang saya tahu, secara prosedur Kantor Pelayanan Pajak tidak memiliki kewenangan melakukan intelijen perpajakan.

Tetapi jika jika “seseorang” melakukan kegiatan intelijen, ya… boleh-boleh saja. Tetapi bukan atas nama institusi.

Artinya dia bekerja TIDAK berdasarkan Surat Perintah Melakukan Kegiatan Intelijen yang dikeluarkan oleh DJP.

Salaam

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
 
computer motherboard in close up view
Photo by Sergei Starostin on Pexels.com
%d blogger menyukai ini: