Panduan Lengkap PPh Pasal 21: Simplifikasi dan Tarif Efektif

Panduan Lengkap Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 di Akhir 2025

1.0 Pendahuluan: Transformasi Penghitungan PPh Pasal 21 di Indonesia

Sistem pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 di Indonesia telah memasuki era baru dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 (PP 58/2023) dan peraturan pelaksananya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023).

Regulasi ini memperkenalkan perubahan fundamental dalam mekanisme penghitungan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, yang sebelumnya dikenal memiliki kompleksitas tinggi dan skema yang bervariasi.

Tujuan utama dari simplifikasi ini adalah memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak (WP) pemotong pajak (pemberi kerja), menekan kemungkinan kesalahan hitung, dan mendorong terciptanya kepatuhan sukarela.

Bagi penerima penghasilan (pegawai), skema baru ini menciptakan mekanisme check and balance yang lebih mudah untuk memvalidasi kebenaran pemotongan pajak atas penghasilan mereka.

Penting untuk digarisbawahi, penerapan kebijakan ini dirancang untuk menyederhanakan administrasi tanpa memberikan beban pajak baru, karena penghitungan PPh terutang setahun penuh tetap menggunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh yang berlaku sebelumnya.

Tulisan ini akan mengupas tuntas mekanisme baru tersebut, mulai dari konsep inti Tarif Efektif Rata-Rata (TER), perlakuan PPh atas natura dan kenikmatan berdasarkan PMK 66/2023, studi kasus penghitungan untuk berbagai jenis pegawai, hingga panduan administratif praktis menggunakan aplikasi Coretax.

Penguasaan atas materi ini menjadi krusial bagi setiap pemberi kerja untuk memastikan kepatuhan perpajakan yang akurat dan efisien di masa mendatang.

2.0 Memahami Konsep Inti Tarif Efektif Rata-Rata (TER)

Tarif Efektif Rata-Rata (TER) adalah pilar utama dari simplifikasi penghitungan PPh Pasal 21.

Konsep ini dirancang untuk menggantikan skema penghitungan bulanan yang rumit, di mana pemberi kerja harus melakukan proses setahunkan penghasilan dan menguranginya dengan berbagai komponen setiap bulan.

Kini, proses pemotongan pajak menjadi lebih sederhana dan langsung.

Terdapat dua jenis tarif utama yang berlaku dalam sistem baru ini:

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh yang digunakan untuk penghitungan tahunan, dan Tarif Efektif (TER) yang digunakan untuk penghitungan bulanan.

2.1 Skema Dua Fase: Penghitungan Masa Pajak Januari-November dan Masa Pajak Terakhir

Untuk pegawai tetap, penghitungan PPh Pasal 21 kini dibagi menjadi dua fase yang berbeda:

  • Fase 1 (Masa Pajak Januari s.d. November): Pada periode ini, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Pemberi kerja cukup mengalikan penghasilan bruto bulanan dengan tarif efektif bulanan (TER Bulanan) yang sesuai. Tidak ada lagi kebutuhan untuk menghitung biaya jabatan, iuran pensiun, atau PTKP setiap bulannya. Skema ini sengaja dirancang sebagai sebuah estimasi untuk kemudahan administrasi.

Poin Kunci Konsultan: Skema dua fase ini memindahkan kompleksitas penghitungan dari setiap bulan ke satu kali di akhir tahun.

Ini menuntut akurasi data kumulatif yang sempurna untuk penghitungan di Masa Pajak Terakhir.

2.2 Kategori dan Struktur Tarif Efektif (TER)

TER dirancang untuk mengakomodasi status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berbeda-beda bagi setiap pegawai.

Tarif ini terbagi menjadi TER Bulanan dan TER Harian.

TER Bulanan dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan status PTKP pegawai pada awal tahun pajak:

  • TER A: Berlaku untuk Wajib Pajak dengan PTKP sebesar Rp 54.000.000 (status Tidak Kawin tanpa tanggungan/TK/0), Rp 58.500.000 (Tidak Kawin dengan 1 tanggungan/TK/1), dan Rp 58.500.000 (Kawin tanpa tanggungan/K/0).
  • TER B: Berlaku untuk Wajib Pajak dengan PTKP sebesar Rp 63.000.000 (Tidak Kawin dengan 2 tanggungan/TK/2 dan Kawin dengan 1 tanggungan/K/1) dan Rp 67.500.000 (Tidak Kawin dengan 3 tanggungan/TK/3 dan Kawin dengan 2 tanggungan/K/2).
  • TER C: Berlaku untuk Wajib Pajak dengan PTKP sebesar Rp 72.000.000 (Kawin dengan 3 tanggungan/K/3).

Sementara itu, TER Harian digunakan untuk pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, dengan struktur sebagai berikut:

  • 0% untuk penghasilan bruto harian sampai dengan Rp450.000.
  • 0,5% untuk penghasilan bruto harian di atas Rp450.000 hingga Rp2.500.000.

Bagian selanjutnya akan mendemonstrasikan bagaimana tarif-tarif ini diaplikasikan dalam berbagai skenario penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap.

3.0 Aplikasi PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap

Pegawai tetap merupakan subjek PPh Pasal 21 yang paling umum dan mengalami perubahan metode penghitungan paling signifikan.

Pemberi kerja harus memahami mekanisme penghitungan, baik untuk masa berjalan (Januari-November) maupun masa pajak terakhir (Desember), untuk memastikan pemotongan pajak yang akurat.

Berikut adalah beberapa studi kasus yang mengilustrasikan penerapan aturan baru ini.

3.1 Penghitungan Standar Pegawai Tetap (Masa Kerja Setahun Penuh)

Studi kasus Tuan A dari PMK 168/2023 memberikan ilustrasi yang jelas mengenai proses penghitungan PPh 21 dari awal hingga akhir tahun. Tuan A berstatus menikah tanpa tanggungan (K/0), sehingga menggunakan tarif efektif kategori A.

Contoh A1 Dari dummy coretax

Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Januari s.d. Desember 2024

Tabel berikut merangkum penghasilan dan pemotongan PPh 21 Tuan A setiap bulan menggunakan TER Bulanan Kategori A.

BulanGaji (Rp)Tunjangan (Rp)THR (Rp)Bonus (Rp)Uang Lembur (Rp)Premi JKK & JKM (Rp)Penghasilan Bruto (Rp)Tarif EfektifPPh Pasal 21 Terpotong (Rp)
Januari10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
Februari10.000.00020.000.0005.000.00080.00035.080.00014%4.911.200
Maret10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
April10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
Mei10.000.00020.000.0005.000.00080.00035.080.00014%4.911.200
Juni10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
Juli10.000.00020.000.00020.000.00080.00050.080.00018%9.014.400
Agustus10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
September10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
Oktober10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
November10.000.00020.000.00080.00030.080.00013%3.910.400
Total Jan-Nov50.120.000
Desember10.000.00020.000.00060.000.00080.00090.080.000Dihitung Ulang

Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang pada Bulan Desember 2024

Pada bulan Desember, dilakukan penghitungan ulang PPh terutang untuk setahun penuh sebagai berikut:

  1. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) Setahun:
    • Penghasilan Bruto Setahun: Rp 450.960.000
    • Pengurangan:
      • Biaya Jabatan Setahun (maksimal): (Rp 6.000.000)
      • Iuran Pensiun (12 x Rp100.000): (Rp 1.200.000)
      • Zakat (12 x Rp200.000): (Rp 2.400.000)
    • Total Pengurangan: (Rp 9.600.000)
    • Penghasilan Neto Setahun: Rp 441.360.000
    • PTKP (K/0): (Rp 58.500.000)
    • PKP Setahun: Rp 382.860.000
  2. Menghitung PPh Pasal 21 Terutang Setahun (Tarif Pasal 17 UU PPh):
    • 5% x Rp 60.000.000 = Rp 3.000.000
    • 15% x Rp 190.000.000 = Rp 28.500.000
    • 25% x Rp 132.860.000 = Rp 33.215.000
    • Total PPh Terutang Setahun: Rp 64.715.000
  3. Menghitung PPh Pasal 21 yang Dipotong pada Desember:
    • Total PPh Terutang Setahun: Rp 64.715.000
    • PPh yang Telah Dipotong (Jan-Nov): (Rp 50.120.000)
    • PPh yang Harus Dipotong pada Desember: Rp 14.595.000

3.2 Skenario Khusus Pegawai Tetap

Pemberi kerja harus memahami perlakuan spesifik untuk kondisi-kondisi khusus, seperti pegawai yang baru mulai bekerja, berhenti bekerja, pindah cabang, atau merupakan Warga Negara Asing (WNA) yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri.

3.2.1 Pegawai Baru Mulai Bekerja di Pertengahan Tahun

Studi kasus Tuan B (TK/0) yang mulai bekerja pada 1 September 2024 mengilustrasikan skenario ini. Penghasilan bruto bulanannya adalah Rp15.500.000.

BulanPenghasilan Bruto (Rp)Tarif Efektif Kategori APPh Pasal 21 Terpotong (Rp)
September15.500.0007%1.085.000
Oktober15.500.0007%1.085.000
November15.500.0007%1.085.000
Total3.255.000

Pada masa pajak terakhir (Desember), penghitungan PPh setahun Tuan B menunjukkan PPh terutang hanya Rp280.000. Karena total PPh yang telah dipotong hingga November (Rp3.255.000) lebih besar, terjadi status lebih dipotong sebesar (Rp2.975.000). Kelebihan potong ini harus dikembalikan oleh pemberi kerja kepada Tuan B.

3.2.2 Pegawai Berhenti Bekerja di Pertengahan Tahun

Studi kasus Tuan D (TK/0) yang berhenti bekerja pada 1 September 2024 menunjukkan perlakuan PPh untuk pegawai resign. Penghasilan bruto bulanannya adalah Rp17.500.000.

PPh Pasal 21 dipotong setiap bulan dari Januari hingga Juli menggunakan TER Bulanan Kategori A (8% x Rp17.500.000 = Rp1.400.000 per bulan), dengan total potongan sebesar Rp9.800.000.

Pada masa pajak terakhirnya, yaitu Agustus 2024, dilakukan penghitungan ulang PPh untuk periode Januari-Agustus. Hasilnya, PPh terutang untuk periode tersebut adalah Rp6.180.000.

Karena total yang telah dipotong (Rp9.800.000) lebih besar dari yang seharusnya terutang, terjadi lebih bayar sebesar (Rp3.620.000). Pemberi kerja (Cabang Lama) wajib mengembalikan kelebihan pemotongan ini kepada Tuan D.

3.2.3 Pegawai Pindah Cabang

Secara administratif, pegawai yang pindah cabang diperlakukan sama dengan pegawai yang berhenti bekerja di cabang lama dan mulai bekerja sebagai pegawai baru di cabang baru.

Mari kita lanjutkan kasus Tuan D. Prinsip dasarnya adalah memastikan total penghasilan tahunan pegawai dikenakan tarif progresif secara akurat satu kali dalam setahun, terlepas dari siapa pemberi kerjanya.

  • Di Cabang Lama: Penghitungan di Cabang Lama mengikuti skenario pada sub-bagian 3.2.2. Cabang Lama menghitung PPh hingga masa terakhir (Agustus), menemukan adanya lebih bayar sebesar (Rp3.620.000) yang harus dikembalikan, dan kemudian menerbitkan Bukti Potong A1 yang mencerminkan penghasilan neto (Rp135.200.000) dan PPh terpotong (Rp6.180.000) selama Tuan D bekerja di sana.
  • Di Cabang Baru: Tuan D mulai bekerja di Cabang Baru pada September dengan gaji Rp22.500.000 per bulan. Pemotongan PPh dari September hingga November dilakukan menggunakan TER Bulanan (Kategori A, 9% x Rp22.500.000 = Rp2.025.000 per bulan). Pada masa pajak Desember, penghitungan PPh setahun di Cabang Baru harus menggabungkan penghasilan dari Cabang Lama.
    • Penghasilan Neto Cabang Baru (Sep-Des): Rp 87.600.000
    • Penghasilan Neto Cabang Lama (Jan-Ags): Rp 135.200.000
    • Total Penghasilan Neto Setahun: Rp 222.800.000
    • PKP Setahun (setelah dikurangi PTKP TK/0): Rp 168.800.000
    • PPh Terutang Setahun: Rp 19.320.000
    • PPh Terpotong di Cabang Lama: (Rp 6.180.000)
    • PPh Terpotong di Cabang Baru (Sep-Nov): (Rp 6.075.000)
    • PPh yang Wajib Dipotong pada Desember: Rp 7.065.000

3.2.4 Pegawai Asing (Ekspatriat)

Studi kasus Tuan C (WNA Australia, TK/0) yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) mulai 1 September 2024 mengilustrasikan perlakuan untuk ekspatriat. Penghasilan bruto bulanannya Rp15.500.000.

Penghitungan bulanan (September-November) menggunakan TER Bulanan Kategori A. Pada masa pajak terakhir (Desember), penghitungan PPh setahun menggunakan metode penghasilan neto disetahunkan.

  • Penghasilan Neto (Sep-Des): Rp 56.900.000
  • Penghasilan Neto Disetahunkan (12/4 x Rp56.900.000): Rp 170.700.000
  • PKP Setahun (setelah dikurangi PTKP): Rp 116.700.000
  • PPh Terutang Setahun (disetahunkan): Rp 11.505.000
  • PPh Terutang Proporsional 2024 (4/12 x Rp11.505.000): Rp 3.835.000
  • PPh Telah Dipotong (Sep-Nov): (Rp 3.255.000)
  • PPh yang Harus Dipotong pada Desember: Rp 580.000

Setelah membahas berbagai skenario untuk pegawai tetap, selanjutnya kita akan beralih ke kategori penerima penghasilan lainnya.

4.0 PPh Pasal 21 untuk Selain Pegawai Tetap

PMK 168/2023 tidak hanya mengubah skema untuk pegawai tetap, tetapi juga menyederhanakan penghitungan PPh Pasal 21 untuk berbagai kategori penerima penghasilan lain, seperti anggota dewan komisaris, pegawai tidak tetap, dan tenaga ahli (bukan pegawai).

4.1 Anggota Dewan Komisaris (Penghasilan Tidak Teratur)

Penghitungan PPh 21 untuk dewan komisaris atau pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap dan menerima penghasilan tidak teratur kini menggunakan TER Bulanan. Metode ini menggantikan skema kumulatif yang lebih rumit.

Sebagai ilustrasi, David (TK/0) adalah seorang komisaris yang menerima honorarium sebesar Rp80.000.000 pada bulan November 2024.

KeteranganPenghitungan Sebelum PMK 168/2023Penghitungan Setelah PMK 168/2023
Dasar PengenaanPenghasilan Bruto (dihitung kumulatif)Penghasilan Bruto
TarifTarif Pasal 17 (Progresif)TER Bulanan Kategori A
PPh Terutang5% x Rp60jt = Rp3.000.000 <br> 15% x Rp20jt = Rp3.000.000 <br> Total: Rp6.000.00023% x Rp80.000.000 = Rp18.400.000

4.2 Pegawai Tidak Tetap (Harian dan Bulanan)

Perlakuan PPh 21 untuk pegawai tidak tetap dibedakan berdasarkan skema pembayarannya.

  • Dibayar Harian (Tidak Bulanan):
    • Untuk Tuan L yang menerima upah harian sebesar Rp450.000, PPh terutang adalah Rp0 (0% x Rp450.000).
    • Untuk Tuan M yang menerima upah harian sebesar Rp3.000.000 (di atas Rp2.500.000), PPh terutang dihitung menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh atas 50% dari penghasilan bruto: 5% x (50% x Rp3.000.000) = Rp75.000.
  • Dibayar Bulanan:
    • Untuk Tuan N, seorang pemetik teh (TK/0) yang upahnya dibayarkan bulanan namun jumlahnya fluktuatif, penghitungan PPh 21 setiap bulan menggunakan TER Bulanan Kategori A. Misalnya, pada bulan Februari dengan penghasilan Rp7.000.000, PPh terutangnya adalah 1,25% x Rp7.000.000 = Rp87.500.

4.3 Bukan Pegawai (Tenaga Ahli)

Skema penghitungan PPh 21 untuk Bukan Pegawai, seperti pengacara, dokter, atau konsultan, telah disederhanakan secara signifikan. Aturan baru tidak lagi membedakan antara imbalan yang bersifat berkesinambungan dan tidak berkesinambungan. Rumus yang digunakan adalah:

PPh 21 = Tarif Pasal 17 UU PPh x (50% x Penghasilan Bruto)

  • Studi Kasus Tuan U (Pengacara): Menerima imbalan jasa sebesar Rp400.000.000.
    • Dasar Pengenaan Pajak: 50% x Rp400.000.000 = Rp200.000.000
    • PPh Terutang: (5% x Rp60jt) + (15% x Rp140jt) = Rp24.000.000
  • Studi Kasus Tuan R (Dokter): Menerima jasa dokter dari rumah sakit setiap bulan. Dasar pengenaan pajaknya adalah 50% dari total jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien. Jika pada bulan Januari jasa dokter yang dibayar pasien adalah Rp45.000.000, maka:
    • Dasar Pengenaan Pajak: 50% x Rp45.000.000 = Rp22.500.000
    • PPh Terutang: 5% x Rp22.500.000 = Rp1.125.000

4.4 Penerima Penghasilan Lainnya

Berikut adalah ringkasan skema penghitungan untuk kategori penerima penghasilan lainnya:

  • Mantan Pegawai (bonus/tantiem): PPh terutang dihitung dengan rumus Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh.
  • Peserta Kegiatan (hadiah/penghargaan): PPh terutang dihitung dengan rumus Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh.
  • Peserta Program Pensiun (penarikan dana saat masih berstatus pegawai): PPh terutang dihitung dengan rumus Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh.

Setelah memahami berbagai skema pemotongan PPh 21, topik krusial berikutnya adalah perlakuan pajak atas imbalan non-tunai atau natura.

5.0 Perlakuan PPh Pasal 21 atas Natura dan/atau Kenikmatan (PMK 66/2023)

Pemberlakuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan aturan turunannya, PMK 66/2023, mengubah paradigma perlakuan pajak atas imbalan non-tunai (natura dan/atau kenikmatan).

Sebelumnya, natura/kenikmatan umumnya bukan objek pajak bagi penerima dan bukan biaya yang dapat dikurangkan (non-deductible) bagi pemberi kerja.

Kini, natura/kenikmatan menjadi objek PPh 21 bagi penerima dan menjadi biaya yang dapat dikurangkan (deductible) bagi pemberi kerja, selama biaya tersebut terkait dengan kegiatan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan).

Namun, terdapat beberapa jenis natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh dengan batasan nilai tertentu.

Poin Kunci Konsultan: Perubahan PPh atas natura adalah pergeseran fundamental. Biaya yang sebelumnya non-deductible kini dapat dibiayakan, namun menuntut administrasi dan pelaporan yang cermat atas setiap fasilitas yang diberikan kepada pegawai.

5.1 Penentuan Nilai dan Objek PPh atas Natura/Kenikmatan

Berikut adalah beberapa contoh untuk mengilustrasikan cara penentuan nilai natura/kenikmatan yang menjadi objek PPh:

  • Diskon Khusus Pegawai: Kenikmatan timbul jika harga tebus yang dibayar pegawai lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) pemberi kerja.
    • Kasus Tuan X: Membeli jas seharga Rp15.000.000, padahal HPP-nya adalah Rp18.000.000. Maka, Tuan X menerima kenikmatan yang menjadi objek PPh sebesar selisihnya, yaitu Rp3.000.000.
    • Kasus Nona Y: Membeli gaun seharga Rp25.000.000, di mana HPP-nya adalah Rp20.000.000. Karena harga tebus lebih tinggi dari HPP, tidak ada kenikmatan yang menjadi objek PPh bagi Nona Y.
  • Pinjaman Bunga Rendah: Kenikmatan dihitung dari selisih antara bunga yang dibayar pegawai dengan biaya bunga yang ditanggung pemberi kerja kepada pihak ketiga untuk menyediakan dana pinjaman tersebut.
    • Kasus Nona P: Membayar bunga pinjaman Rp10.000.000, sementara biaya bunga yang ditanggung pemberi kerja (bank) adalah Rp11.000.000. Maka, Nona P menerima kenikmatan sebesar selisihnya, yaitu Rp1.000.000.
    • Kasus Nyonya K: Membayar bunga Rp16.250.000, sementara biaya bunga pemberi kerja adalah Rp13.750.000. Karena bunga yang dibayar lebih tinggi dari biaya pemberi kerja, tidak ada kenikmatan yang menjadi objek PPh.
  • Opsi Saham (ESOP): Kenikmatan muncul pada saat opsi saham dieksekusi (exercise), bukan saat diberikan. Nilainya adalah selisih antara biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menyediakan saham tersebut dengan harga yang dibayar oleh pegawai.
    • Kasus Tuan Alfa: Membayar Rp200.000.000 untuk menebus saham, sementara biaya perusahaan untuk membeli kembali saham tersebut dari pasar adalah Rp240.000.000. Maka, Tuan Alfa menerima kenikmatan sebesar Rp40.000.000.
    • Kasus Nyonya Charlie: Membayar Rp105.000.000, sementara biaya perusahaan untuk menerbitkan saham baru adalah Rp110.000.000 (nilai nominal + biaya penerbitan). Maka, Nyonya Charlie menerima kenikmatan sebesar Rp5.000.000.

5.2 Natura dan/atau Kenikmatan yang Dikecualikan dari Objek PPh

PMK 66/2023 menetapkan beberapa jenis natura/kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh, dengan batasan tertentu:

  • Makanan/minuman yang disediakan bagi seluruh pegawai di tempat kerja.
  • Fasilitas olahraga (selain golf, pacuan kuda, balap perahu bermotor, terbang layang, dan/atau olahraga otomotif) dengan batasan nilai tidak lebih dari Rp1.500.000 per pegawai per tahun.
  • Fasilitas tempat tinggal komunal (yang dimanfaatkan bersama-sama) seperti mes, asrama, atau pondokan.
  • Fasilitas tempat tinggal individual (yang hak pemanfaatannya dipegang perseorangan) seperti apartemen atau rumah, dengan batasan nilai tidak lebih dari Rp2.000.000 per pegawai per bulan.
  • Bingkisan hari raya keagamaan (Idulfitri, Natal, Nyepi, Waisak, dan Imlek) dengan batasan akumulasi nilai tidak lebih dari Rp3.000.000 per pegawai per tahun.

5.3 Administrasi: Pengisian Daftar Nominatif

Pemberi kerja wajib melaporkan biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan dalam SPT Tahunan PPh Badan melalui lampiran daftar nominatif.

Berikut adalah format Daftar Nominatif tersebut:

Sebagai contoh, Tuan Z menerima fasilitas rumah dinas yang disewa perusahaan senilai Rp150.000.000 per bulan. Berdasarkan aturan, nilai fasilitas yang dikecualikan adalah Rp2.000.000 per bulan, sehingga yang menjadi objek PPh adalah Rp148.000.000 per bulan. Dalam daftar nominatif tahunan, PT ABC akan melaporkan fasilitas ini dalam dua baris terpisah:

No.NamaNPWPAlamatTanggalBentuk dan Jenis BiayaJumlah (Rp)KeteranganJumlah PPh (Rp)Nomor Bukti Potong
1Z3309…Boyolali31/12/2024natura dan/atau kenikmatan1.776.000.000Kenikmatan Fasilitas Rumah – Biaya Sewa – Objek657.000.000123
2Z3309…Boyolali31/12/2024natura dan/atau kenikmatan24.000.000Kenikmatan Fasilitas Rumah – Biaya Sewa – Nonobjek

Setelah memahami perhitungan dan pelaporan natura, langkah selanjutnya adalah memastikan kepatuhan secara menyeluruh melalui teknik rekonsiliasi.

6.0 Teknik Kepatuhan Lanjutan dan Mitigasi Risiko

Kepatuhan PPh Pasal 21 tidak hanya berhenti pada penghitungan dan pelaporan bulanan. Pemberi kerja perlu menerapkan teknik rekonsiliasi dan manajemen risiko untuk memastikan akurasi data secara keseluruhan, selaras dengan pelaporan pajak lainnya, dan mengantisipasi potensi sanksi di kemudian hari.

6.1 Ekualisasi Objek PPh Pasal 21 dengan Biaya pada PPh Badan

Ekualisasi Pajak adalah suatu proses untuk mengecek dan memastikan kesesuaian antara satu jenis pajak dengan jenis pajak lain yang saling berhubungan.

Dalam konteks ini, ekualisasi dilakukan antara objek PPh Pasal 21 dengan biaya yang relevan dalam laporan laba/rugi yang menjadi dasar penghitungan PPh Badan.

Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa seluruh biaya gaji, upah, bonus, tunjangan, dan imbalan kerja lainnya yang dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto di SPT Tahunan PPh Badan telah dilaporkan secara benar sebagai objek pemotongan PPh Pasal 21.

Jika Laporan Laba/Rugi mencatat Biaya Gaji sebesar Rp 5 Miliar, namun total penghasilan bruto di SPT Masa PPh 21 hanya Rp 4,8 Miliar, selisih Rp 200 Juta ini akan menjadi pertanyaan utama bagi pemeriksa pajak. Ekualisasi bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan selisih tersebut sebelum pemeriksaan terjadi.

6.2 Mitigasi Risiko Lebih Bayar

Kondisi lebih bayar PPh 21 dapat terjadi, terutama pada kasus pegawai yang berhenti bekerja di pertengahan tahun (seperti kasus Tuan D) di mana pemotongan PPh bulanan dengan TER ternyata lebih besar dari PPh terutang yang sebenarnya untuk periode kerja tersebut.

PMK 168/2023 mempertegas mekanisme penanganan kondisi ini.

Apabila terjadi kelebihan bayar yang timbul akibat pembetulan SPT Masa PPh 21, kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.

Aturan baru ini memberikan fleksibilitas, di mana kompensasi tidak harus dilakukan ke masa pajak yang berurutan.

Opsi lain yang secara umum tersedia untuk restitusi adalah melalui pemindahbukuan (Pbk) atau pengajuan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

7.0 Panduan Praktis Pelaporan PPh Pasal 21/26 Menggunakan Coretax

Pemahaman konseptual mengenai aturan PPh 21 harus didukung oleh kemampuan teknis dalam melakukan administrasi perpajakan melalui sistem yang berlaku.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengimplementasikan sistem coretax (CTAS) yang menjadi platform utama untuk pelaporan pajak, termasuk PPh Pasal 21/26.

7.1 Administrasi Pembuatan Bukti Potong (e-Bupot)

Langkah awal sebelum melaporkan SPT Masa PPh 21/26 adalah pembuatan bukti potong elektronik (e-Bupot).

Terdapat dua jenis bukti potong utama di Coretax:

Pertama:

  • BPA1 (Bukti Pemotongan Pegawai Tetap): Formulir ini dibuat pada Masa Pajak Desember atau pada saat pegawai tetap berhenti bekerja. Pengisian Formulir BPA1 di Coretax memerlukan detail yang komprehensif, mencakup:
    • Identitas Penerima: NIK/NPWP, nama, alamat.
    • Status PTKP: Status kawin dan jumlah tanggungan per awal tahun pajak.
    • Rincian Penghasilan: Gaji, tunjangan, THR, bonus, dan natura.
    • Penghitungan PPh Pasal 21: Rincian perhitungan PPh setahun berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh.

Kedua:

  • BP 21 (Bukti Pemotongan Selain Pegawai Tetap): Bukti potong ini digunakan untuk seluruh penerima penghasilan selain pegawai tetap, seperti tenaga ahli, komisaris, atau peserta kegiatan. Pembuatannya dilakukan sesuai dengan instruksi dan menu yang tersedia di aplikasi Coretax.

7.2 Praktik Pengisian dan Pelaporan SPT Masa PPh 21/26

Setelah seluruh bukti potong dibuat dan diterbitkan, langkah selanjutnya adalah melaporkan SPT Masa PPh 21/26 melalui aplikasi Coretax.

Berikut adalah panduan langkah demi langkahnya:

  1. Login ke Aplikasi Coretax (CTAS): Masuk ke sistem menggunakan akun Person in Charge (PIC) yang terdaftar.
  2. Navigasi ke Menu Surat Pemberitahuan (SPT): Pada dasbor utama, pilih menu “Surat Pemberitahuan (SPT)”.
  3. Buat Konsep SPT: Klik tombol “Buat Konsep SPT”, lalu pilih jenis SPT “PPh Pasal 21/26”.
  4. Pilih Periode dan Tahun Pajak: Tentukan masa pajak (bulan) dan tahun pajak yang akan dilaporkan.
  5. Tentukan Model SPT: Pilih model SPT yang akan dibuat, yaitu “Normal” untuk pelaporan pertama kali.
  6. Lengkapi Data SPT: Formulir SPT akan muncul. Sistem akan menarik data dari e-Bupot yang telah dibuat. Pastikan seluruh data sudah terisi dengan akurat dan lengkap.
  7. Bayar dan Lapor: Setelah semua data terverifikasi, klik tombol “Bayar dan Lapor”. Sistem akan secara otomatis membuat kode billing. Lakukan pembayaran sesuai kode billing yang diberikan.
  8. Konfirmasi Pelaporan: Setelah pembayaran berhasil, SPT PPh 21/26 akan otomatis terlapor di sistem DJP. Simpan bukti pembayaran dan bukti penerimaan elektronik (BPE) sebagai arsip.

7.3 Teknik Pembetulan SPT Masa PPh 21/26

Jika ditemukan kesalahan dalam SPT yang telah dilaporkan, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan. Prosesnya mirip dengan pelaporan SPT Normal.

Saat membuat konsep SPT baru di Coretax, pada langkah ke-5, pilih model SPT “Pembetulan” untuk memulai proses koreksi data.

8.0 Kesimpulan

Implementasi Tarif Efektif Rata-Rata (TER) melalui PMK 168/2023 secara fundamental telah mengubah administrasi PPh Pasal 21, menjadikannya lebih sederhana dan efisien untuk masa berjalan (Januari-November).

Meskipun demikian, prinsip penghitungan PPh terutang setahun penuh tetap dipertahankan menggunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh, sehingga tidak ada beban pajak baru yang ditambahkan.

Di sisi lain, pemahaman atas perlakuan PPh untuk natura dan/atau kenikmatan sesuai PMK 66/2023 menjadi area kepatuhan baru yang krusial.

Perubahan ini menuntut pemberi kerja untuk lebih cermat dalam mengidentifikasi, menilai, dan melaporkan imbalan non-tunai yang diberikan kepada pegawai.

Pada akhirnya, penguasaan atas konsep-konsep baru ini, yang diimbangi dengan keterampilan teknis dalam menggunakan sistem pelaporan Coretax, merupakan kunci utama bagi setiap pemberi kerja di Indonesia untuk memastikan kepatuhan PPh Pasal 21 yang akurat, efisien, dan terhindar dari risiko sanksi di masa depan.