1.0 Pendahuluan: Pajak sebagai Benang Merah Sejarah Politik dan Ekonomi Nusantara
Pajak, dalam berbagai bentuknya, merupakan instrumen fundamental yang menopang keberlangsungan negara sepanjang sejarah.
Dari upeti sederhana yang dipersembahkan kepada raja hingga sistem administrasi modern yang kompleks, mekanisme penghimpunan dana dari rakyat telah menjadi benang merah yang menghubungkan episode-episode perubahan politik, ekonomi, dan sosial.
Laporan ini akan menelusuri evolusi sistem dan praktik perpajakan di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, memetakan transformasinya dari model pungutan kerajaan klasik hingga sistem administrasi yang diperkenalkan pada masa kolonial dan diadaptasi pada era awal kemerdekaan.
Argumen utama laporan ini adalah bahwa perubahan dalam struktur perpajakan secara konsisten mencerminkan pergeseran kekuasaan politik, model ekonomi yang dianut, dan struktur sosial masyarakat di Nusantara.
Sebagaimana negara tidak dapat dibicarakan tanpa membahas usahanya menghimpun dana, begitu pula sejarah Nusantara tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa menilik bagaimana para penguasa—dari datu, sultan, gubernur jenderal, hingga presiden—membiayai pemerintahan mereka.
Perubahan dari upeti berupa hasil bumi menjadi pajak dalam bentuk uang, dari pungutan feodal menjadi sistem sewa tanah, dan dari eksploitasi kolonial menjadi iuran untuk pembangunan nasional, semuanya adalah cerminan dari dinamika kekuasaan yang lebih besar.
Laporan ini akan mengkaji periode-periode krusial dalam sejarah perpajakan Indonesia.
Pembahasan akan dimulai dari fondasi sistem pungutan pada masa kerajaan Hindu-Buddha, yang terbagi antara model maritim Sriwijaya dan model agraris Mataram Kuno.

Selanjutnya, analisis akan berlanjut ke era kesultanan Islam, di mana adaptasi dan inovasi sistem pajak menopang kejayaan pusat-pusat perdagangan pesisir dan kekuatan agraris Mataram Islam.
Laporan ini kemudian akan mengupas bagaimana era kolonialisme secara fundamental mengubah tujuan pajak menjadi alat eksploitasi, mulai dari praktik monopoli VOC, reformasi administratif Daendels dan Raffles, eksploitasi sistematis melalui Tanam Paksa, hingga pengenalan pajak modern di era liberal.
Pembahasan juga akan mencakup periode singkat pendudukan Jepang yang berorientasi pada ekonomi perang, sebelum akhirnya ditutup dengan analisis tantangan pembangunan sistem perpajakan nasional di era awal kemerdekaan.
Dengan menelusuri jejak panjang ini, kita akan memulai perjalanan untuk memahami bagaimana sistem pungutan yang paling awal pada masa kerajaan-kerajaan maritim dan agraris di Nusantara meletakkan dasar bagi evolusi perpajakan yang kompleks di kemudian hari.
2.0 Fondasi Perpajakan di Era Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha awal seperti Sriwijaya dan Mataram Kuno merupakan peletak dasar sistem pungutan di Nusantara, meskipun dengan model yang sangat berbeda.
Perbedaan fundamental ini lahir dari orientasi ekonomi masing-masing kerajaan.
Di satu sisi, kerajaan maritim seperti Sriwijaya membangun kekayaannya dari kontrol atas jalur-jalur niaga dan memungut pajak dari aktivitas perdagangan internasional.
Di sisi lain, kerajaan agraris seperti Mataram Kuno mendasarkan pendapatannya pada penguasaan tanah yang subur dan tenaga kerja rakyatnya, dengan pungutan utama berupa hasil bumi.
2.1 Model Maritim: Pajak Perdagangan di Kedatuan Sriwijaya
Sebagai penguasa jalur perdagangan maritim utama pada masanya, sumber pendapatan utama Kedatuan Sriwijaya berpusat pada kemampuannya menarik keuntungan dari lalu lintas kapal asing.
Raja memiliki hak pungutan yang dikenal sebagai drawya, yang menjadi dasar legalitas penarikan berbagai jenis pajak dan upeti.
Pemasukan utama Sriwijaya berasal dari serangkaian pungutan maritim yang komprehensif, termasuk bea masuk atas barang dagangan, bea kapal berlabuh, upeti wajib dari para pedagang dan raja-raja taklukan, serta keuntungan langsung dari aktivitas niaga yang dilakukan oleh kerajaan itu sendiri.
Kebijakan pajak ini merupakan alat strategis yang vital. Pada masa kejayaannya, keamanan yang dijamin oleh armada laut Sriwijaya membuat para pedagang bersedia membayar pajak demi kelancaran aktivitas niaga mereka.
Namun, kebijakan fiskal ini mengandung kerentanan strategis. Ketergantungan pada bea yang tinggi akhirnya memicu konflik dengan kekuatan eksternal.
Penetapan bea yang terlalu tinggi terhadap para saudagar, seperti yang dialami oleh saudagar Tamil, memicu ketidakpuasan dan perlawanan.
Akibatnya, Kerajaan Cola dari India Selatan, yang bertindak sebagai pelindung para saudagar tersebut, melancarkan serangan besar pada tahun 1025 M.
Serangan ini secara signifikan melemahkan monopoli perdagangan Sriwijaya di Selat Malaka dan menjadi salah satu faktor utama kemundurannya.
2.2 Model Agraris: Pajak Tanah dan Tenaga di Mataram Kuno dan Kahuripan
Berbeda dengan Sriwijaya, kerajaan agraris seperti Mataram Kuno dan Kahuripan mendasarkan pendapatannya pada kontrol atas sumber daya agraria: tanah dan tenaga kerja.
Pajak tidak hanya dipungut dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk kerja sukarela sebagai pelayan istana, atau yang dikenal sebagai katik.
Informasi dari berbagai prasasti menunjukkan bagaimana hasil pajak digunakan untuk membiayai proyek-proyek publik yang krusial, seperti pembangunan dan pemeliharaan bendungan (contoh: Waringin Sapta), pendirian bangunan suci, serta penyelenggaraan berbagai kegiatan keagamaan.
Berbagai jenis pajak yang berlaku pada era Mataram Kuno dan Kahuripan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Pajak Tanah dan Hasil Bumi:
- Pangguhan: Pajak atas hasil sawah yang menjadi pungutan utama.
- Pembayaran pajak dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari emas, perak, hingga penyerahan tenaga kerja (katik).
- Pajak Usaha dan Profesi:
- Pajak dikenakan pada berbagai profesi dan kegiatan usaha, contohnya termasuk pajak untuk aringgit (seniman), matapukan (penari topeng), dan vaniyaga (pedagang)—menunjukkan bahwa, baik di kerajaan maritim maupun agraris, para pedagang secara konsisten menjadi subjek pajak yang penting, menandakan peran sentral perdagangan dalam ekonomi Nusantara bahkan di kerajaan yang bertumpu pada hasil bumi.
- Pajak Lainnya:
- Kiteran: Pajak yang dikenakan khusus untuk orang asing yang menetap di wilayah kerajaan.
- Pajak Sumber Daya Kelautan: Pungutan yang dikenakan pada aktivitas eksplorasi hasil laut, yang sekaligus berfungsi untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Struktur birokrasi pemungutan pajak pada masa ini sudah cukup terorganisir. Terdapat kelompok pejabat khusus pemungut pajak yang disebut sang manilala drawya haji.
Mekanisme penyetorannya bersifat hierarkis; pungutan dari tingkat desa dikumpulkan oleh para rama (kepala desa) dan diserahkan kepada pejabat di tingkat yang lebih tinggi (watek), sebelum akhirnya sampai ke kas kerajaan.
Salah satu inovasi kebijakan yang penting pada era ini adalah konsep sima, yaitu penetapan suatu wilayah menjadi daerah bebas pajak.
Anugerah sima diberikan oleh raja sebagai imbalan atas jasa atau untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Raja Airlangga, Desa Kamalagyan dijadikan sima dengan tugas bagi warganya untuk menjaga dan memelihara Bendungan Waringin Sapta.
Meskipun bebas dari kewajiban pajak ke kerajaan, masyarakat di wilayah sima justru mengelola pendapatannya untuk membiayai pemeliharaan bangunan suci atau infrastruktur yang menjadi alasan penetapannya.
Model-model perpajakan agraris dan maritim yang diletakkan pada era Hindu-Buddha ini tidak hilang, melainkan terus diadaptasi dan dikembangkan lebih lanjut seiring dengan munculnya kekuatan politik baru pada masa kesultanan Islam.
3.0 Adaptasi dan Inovasi pada Masa Kesultanan Islam
Periode kesultanan Islam menandai sebuah era dinamis di mana sistem perpajakan dari masa Hindu-Buddha diadaptasi dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara bercorak maritim dan agraris yang baru.
Di kesultanan-kesultanan pesisir yang menjadi pusat perdagangan global, peran syahbandar sebagai kepala pelabuhan dan pemungut bea cukai menjadi sangat krusial, sementara di pedalaman, sistem pajak agraris semakin diformalkan dan terstruktur.
3.1 Pajak di Pusat Perdagangan Pesisir
Kebijakan bea cukai dan pajak pelabuhan di kesultanan-kesultanan maritim menjadi instrumen vital untuk mengelola perdagangan dan mengisi kas negara. Setiap kesultanan mengembangkan kebijakannya sendiri untuk menarik pedagang atau mengontrol arus komoditas.
| Kesultanan | Pejabat Kunci | Jenis Pajak Utama | Catatan Kebijakan Khusus |
| Samudera Pasai | Syahbandar | Pajak impor 6% untuk kapal dari barat, pajak ekspor. | Sudah menggunakan mata uang emas (drama) dalam transaksi dan pembayaran pajak. |
| Aceh | Syahbandar, Hariya (pengurus pasar) | Bea cukai impor-ekspor, pajak lada (wase lada), pajak pasar. | Tarif pajak lebih murah untuk menarik pedagang pasca-jatuhnya Malaka. Ada perbedaan tarif antara pedagang Muslim dan non-Muslim. |
| Banten | Syahbandar (seringkali dari etnis Tionghoa) | Pajak ekspor lada, bea berlabuh, pajak pasar. | Syahbandar bertugas menaksir nilai barang dan menentukan jumlah pajak. Pajak dinaikkan secara strategis untuk mengusir VOC. |
| Gowa-Tallo | Sabannara (Syahbandar), Jannang Pasukan Pasara (pejabat pajak pasar) | Bea cukai, pajak pasar, susung romang (hak raja atas hasil hutan 5-10%). | Menerapkan prinsip perdagangan bebas untuk semua bangsa. Raja tidak mencampuri kewenangan syahbandar dalam penarikan pajak. |
Kebijakan-kebijakan ini berfungsi sebagai instrumen geopolitik ekonomi yang tajam.
Di Aceh, tarif pajak yang awalnya lebih murah berhasil menarik para pedagang Muslim yang menghindari Portugis di Malaka, sehingga mempercepat kebangkitan Aceh sebagai pusat perdagangan baru.
Sebaliknya, di Banten, kenaikan pajak dan bea cukai yang drastis di bawah Pangeran Ranamenggala merupakan langkah politik yang disengaja untuk mendorong VOC hengkang dari pelabuhannya dan pindah ke Jayakarta.
3.2 Pajak Agraris dan Birokrasi di Mataram Islam
Kesultanan Mataram Islam, sebagai kekuatan agraris dominan di Jawa, melanjutkan dan memformalkan sistem pajak berbasis tanah dari era sebelumnya.
Pada periode inilah istilah pajeg mulai digunakan secara luas, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia modern menjadi “pajak”.
Struktur administrasi Mataram sangat hierarkis, dengan pembagian wilayah menjadi kutharaja (pusat keraton), negaragung, mancanegara, dan pesisir.
Para pejabat keraton diberi imbalan berupa tanah lungguh (apanage), di mana mereka berhak memungut pajak dari petani yang menggarapnya.
Di tingkat desa, pemungutan dilakukan oleh seorang bekel. Sistem ini rawan eksploitasi karena bekel tidak hanya menarik pajak, tetapi juga mengerahkan kerja bakti (kerigaji) untuk kepentingan pejabat pemegang lungguh.
Kompleksitas sistem ini tercermin dari puluhan jenis pajak yang ada, seperti pajak bumi (pajeg), pajak pintu rumah (pacumpleng atau pajeg omah), kerja wajib (kerigaji), dan upeti (bulu bekti).
Sebagai contoh evolusi administrasi pajak, studi kasus Praja Mangkunegaran pada abad ke-19 dan awal ke-20 menunjukkan adanya upaya modernisasi yang signifikan.
Di bawah Mangkunegara VI dan VII, reformasi kunci dilakukan, antara lain:
- Pemisahan Kas Praja: Keuangan pribadi raja dipisahkan dari anggaran negara untuk mencegah pemborosan.
- Penghapusan Sistem Apanage: Sistem lungguh dihapus dan pegawai kerajaan digaji dengan uang, memungkinkan kontrol pajak yang lebih terpusat.
- Pembentukan Dinas Perpajakan Modern: Sebuah dinas perpajakan yang lebih terstruktur dibentuk untuk mengelola berbagai jenis pajak modern, seperti pajak penghasilan, pajak tanah dalam kota, pajak kendaraan, pajak tontonan, dan pajak lainnya.
Modernisasi di Mangkunegaran ini menjadi jembatan antara sistem feodal tradisional dan administrasi modern.
Namun, sistem-sistem yang telah mapan di seluruh Nusantara ini kemudian harus berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan administrasi baru yang dibawa oleh bangsa Eropa, yang memiliki tujuan dan metode yang sama sekali berbeda.
4.0 Era Kolonialisme: Pajak sebagai Alat Eksploitasi dan Kontrol
Kedatangan bangsa Eropa secara fundamental mengubah tujuan dan metode perpajakan di Nusantara.
Pajak tidak lagi berfungsi utama untuk membiayai kerajaan lokal dan menyejahterakan rakyatnya, tetapi bertransformasi menjadi instrumen eksploitasi ekonomi yang sistematis untuk kepentingan negara induk dan korporasi dagang.
Tujuan utamanya adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan, dengan rakyat pribumi sebagai objek pemajakan yang menanggung beban terberat.
4.1 Monopoli Perdagangan dan Pungutan Awal: Portugis dan VOC
Portugis, saat menguasai Malaka, menerapkan sistem bea cukai yang tinggi. Namun, kebijakan pajak yang tidak menguntungkan bagi para pedagang Asia, ditambah dengan praktik korupsi yang merajalela di kalangan pejabatnya, menjadi salah satu faktor yang melemahkan cengkeraman mereka dan mendorong para pedagang untuk beralih ke pelabuhan-pelabuhan lain seperti Aceh.
Pendekatan VOC pada awalnya lebih berfokus pada monopoli perdagangan komoditas bernilai tinggi seperti rempah-rempah.
Namun, seiring meluasnya kekuasaan teritorial mereka, VOC beralih ke sistem pungutan wajib yang lebih sistematis, yaitu:
- Contingenten: Pajak wajib berupa penyerahan sebagian hasil bumi (seperti beras atau kopi) yang harus disetorkan oleh penguasa-penguasa lokal yang berada di bawah pengaruh VOC.
- Leverantie: Kewajiban penyerahan paksa hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC, yang seringkali jauh di bawah harga pasar.
Untuk memungut pajak-pajak ini, VOC secara efektif memanfaatkan struktur kekuasaan lokal yang sudah ada.
Para bupati dan penguasa pribumi lainnya dijadikan sebagai agen pemungut pajak, di mana mereka diwajibkan menyetor sejumlah tertentu kepada VOC, seringkali dengan imbalan pengakuan atas kekuasaan mereka.
Di Batavia, pusat kekuasaan VOC, sistem pajak menargetkan kelompok etnis tertentu secara spesifik.
Komunitas Tionghoa menjadi target utama dengan berbagai jenis pajak seperti pajak kepala, pajak usaha, pajak rumah judi, hingga pajak kuncir.
Ketergantungan VOC pada pajak dari komunitas ini terbukti fatal ketika Tragedi Angke 1740, sebuah pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa, menyebabkan anjloknya pendapatan pajak VOC secara drastis.
4.2 Reformasi Administratif dan Eksploitasi Sistematis: Daendels, Raffles, dan Tanam Paksa
Di bawah pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811), fondasi negara modern mulai diletakkan dengan sentralisasi administrasi keuangan.
Kebijakan utamanya adalah pengenalan konsep landrente (pajak tanah), di mana pajak tidak lagi diserahkan dalam bentuk hasil bumi, melainkan harus dibayar dengan uang.
Untuk mengisi kas negara yang kosong, Daendels juga menjual tanah-tanah negara secara luas kepada pihak swasta, yang dikenal sebagai particuliere landen.
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) melanjutkan dan mereformasi sistem landrent. Tujuan idealnya adalah menghapus unsur paksaan feodal, memberikan kepastian hukum kepada petani dengan menjadikan mereka penyewa tanah langsung dari pemerintah, dan mengubah peran bupati dari pemungut upeti menjadi pegawai pemerintah yang digaji.
Namun, implementasi landrent di bawah Raffles mengalami kegagalan besar. Kendala utamanya adalah kurangnya data yang akurat mengenai kepemilikan dan kesuburan tanah, ketergesa-gesaan dalam penerapan, serta ketidaksiapan aparat pemerintah dan masyarakat yang belum terbiasa dengan ekonomi uang.
Kegagalan fiskal dari sistem landrent Raffles menciptakan krisis pendapatan bagi pemerintah kolonial, yang mendorong Johannes van den Bosch untuk merancang solusi eksploitatif yang lebih radikal: Cultuurstelsel (Tanam Paksa), yang diperkenalkan pada tahun 1830.
Sistem ini secara efektif mengubah kewajiban pembayaran pajak tanah menjadi kerja paksa. Petani diwajibkan menggunakan sebagian tanahnya (seringkali yang paling subur) untuk menanam komoditas ekspor yang laku di pasar Eropa (seperti kopi, tebu, dan nila) dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial.
Sistem ini berhasil menghasilkan keuntungan luar biasa bagi Kerajaan Belanda, namun menyebabkan penderitaan hebat, kelaparan, dan kemiskinan yang meluas di kalangan rakyat Jawa.
4.3 Era Liberal dan Pajak Modern
Penghapusan Tanam Paksa secara bertahap setelah tahun 1870 memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi liberal.
Era ini ditandai dengan pengenalan berbagai jenis pajak modern yang menyasar individu dan kegiatan ekonomi.
- Pajak Kepala: Diperkenalkan sebagai pengganti kerja wajib (heerendiensten) yang dihapuskan. Setiap kepala keluarga pribumi diwajibkan membayar sejumlah uang tunai setiap tahun.
- Pajak Personal: Menyasar properti dan barang-barang mewah yang dimiliki oleh orang Eropa dan golongan Timur Asing, seperti mebel, kereta, dan kuda.
- Pajak Penghasilan: Diperkenalkan untuk menggantikan pajak bisnis sebelumnya, menyasar keuntungan dari berbagai kegiatan usaha, profesi, dan perdagangan.
Meskipun lebih modern, praktik dan beban pajak pada era ini tetap menjadi sumber penderitaan dan perlawanan.
Salah satu pemicu utama keresahan sosial adalah praktik penyewaan hak pemungutan pajak (pacht) kepada pihak swasta, terutama pengusaha Tionghoa.
Praktik ini terjadi pada pajak gerbang tol, candu, dan pasar. Para penyewa ini—yang telah membayar mahal untuk mendapatkan hak pemungutan—memeras rakyat secara berlebihan untuk memaksimalkan keuntungan, menciptakan sistem penindasan di mana petani bisa ditahan berjam-jam, barang bawaannya dirampas, dan bahkan hewan ternaknya disita jika merumput di tanah bandar tol.
Praktik eksploitatif inilah yang menjadi salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) dan berbagai pemberontakan petani lainnya, seperti yang terjadi di Desa Patik (Ponorogo) pada tahun 1885, di mana para pemilik tanah memberontak karena beban pajak yang dianggap terlalu tinggi.
5.0 Pajak di Bawah Ekonomi Perang: Masa Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang yang singkat (1942-1945) secara drastis mengubah orientasi sistem perpajakan di Indonesia.
Seluruh kebijakan ekonomi, termasuk pajak, diarahkan sepenuhnya untuk menopang mesin perang Jepang dalam Perang Pasifik.
Pemerintah militer Jepang pada dasarnya meneruskan sistem pajak tanah peninggalan Belanda, yang mereka sebut sebagai Land Tax atau pajak bumi (chiso).
Namun, mereka melakukan penyesuaian pada struktur birokrasi dengan menggunakan istilah-istilah Jepang.
Departemen Keuangan diubah menjadi Zaimubu, dan residen sebagai penanggung jawab pemungutan di daerah disebut Syucokan.
Dinas yang menangani pajak tanah ditempatkan di bawah Zaimubu Shuzeika (Kantor Besar Urusan Pajak).
Bentuk pajak yang paling memberatkan bagi rakyat selama periode ini adalah kebijakan wajib serah padi.
Petani diharuskan menjual sebagian besar hasil panen mereka kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak dan sangat rendah.
Padi yang terkumpul kemudian digiling dan didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pangan tentara Jepang dan aparat birokrasi.
Kebijakan ini menyebabkan kelangkaan pangan yang parah dan kelaparan di banyak daerah.
Selain wajib serah padi, pemerintah pendudukan Jepang juga melanjutkan atau memperkenalkan berbagai jenis pajak lain untuk memaksimalkan semua potensi pendapatan.
Ini termasuk pajak jual beli atas berbagai komoditas, pajak atas kepemilikan hewan seperti pajak anjing, dan pajak atas kepemilikan kendaraan, yang paling umum adalah pajak sepeda.
Warisan dari sistem perpajakan kolonial yang eksploitatif, yang kemudian diperparah oleh tekanan ekonomi perang di bawah Jepang, menjadi titik awal yang sangat sulit bagi Republik Indonesia yang baru merdeka.
6.0 Membangun Sistem Perpajakan Nasional di Era Awal Kemerdekaan
Negara Republik Indonesia yang baru lahir di tengah gejolak revolusi menghadapi tantangan luar biasa dalam membangun sistem perpajakan nasional yang berdaulat.
Di tengah instabilitas politik, agresi militer Belanda, dan keterbatasan sumber daya, pemerintah harus mencari cara untuk membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjalankan roda pemerintahan yang masih sangat rapuh.
Landasan hukum perpajakan diletakkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23, yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.”
Struktur organisasi pajak pertama kali dibentuk di bawah Kementerian Keuangan, namun dalam praktiknya, banyak peraturan dan ordonansi peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang terpaksa masih digunakan karena belum adanya perangkat hukum nasional yang memadai.
Pemerintah awal Republik Indonesia melancarkan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.
Salah satu langkah penting adalah “Kampanye Pembayaran Pajak 1946” yang bertujuan menanamkan kesadaran bahwa membayar pajak adalah kewajiban warga negara untuk membiayai negara merdeka.
Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan jenis pajak baru yang relevan, seperti Pajak Radio yang dipungut dari para pemilik pesawat penerima radio.
Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya sumber daya manusia yang terdidik di bidang perpajakan.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengirim beberapa pegawai untuk belajar di akademi pajak di Belanda (Rijksbelasting Academie) dan menyelenggarakan kursus-kursus kontrolir pajak di dalam negeri.
Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, beberapa kebijakan penting dirumuskan sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi dan membiayai revolusi. Di antaranya adalah:
- Pembentukan Panitia Peninjauan Pajak (1951): Dibentuk untuk mengkaji dan merombak sistem pajak warisan kolonial.
- Pengenalan Pajak Peredaran (1950): Sebagai cikal bakal Pajak Penjualan (PPn), pajak ini dikenakan pada peredaran barang.
- Peraturan Pengampunan Pajak (1964): Dikeluarkan melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 5 Tahun 1964 untuk menarik modal guna membiayai program pembangunan dan konfrontasi.
Upaya-upaya ini menandai langkah-langkah awal yang krusial dalam transformasi sistem pajak dari alat kolonial menjadi pilar kedaulatan dan pembangunan nasional.
7.0 Kesimpulan: Refleksi Jejak Pajak dalam Sejarah Bangsa
Evolusi sistem perpajakan di Indonesia, dari pungutan sederhana di masa kerajaan hingga administrasi modern di era kemerdekaan, merupakan cerminan yang jelas dari struktur kekuasaan, model ekonomi, dan cita-cita yang diusung oleh para penguasa di setiap zaman.
Jejak panjang ini menunjukkan bahwa pajak bukanlah sekadar instrumen teknis penghimpun dana, melainkan sebuah arena di mana hubungan antara negara dan rakyat dinegosiasikan, diperebutkan, dan didefinisikan ulang.
Perjalanan historis ini dapat dirangkum dalam tiga transformasi fundamental peran pajak:
- Pajak sebagai Upeti dan Simbol Kekuasaan: Di masa kerajaan Hindu-Buddha dan kesultanan Islam, pajak dalam bentuk upeti, hasil bumi, atau tenaga kerja merupakan manifestasi dari kekuasaan raja atas tanah dan rakyatnya. Pungutan ini membiayai kemegahan istana, proyek-proyek publik, dan kampanye militer.
- Pajak sebagai Alat Eksploitasi dan Kontrol: Era kolonialisme secara drastis mengubah fungsi pajak menjadi instrumen eksploitasi ekonomi. Dari penyerahan paksa VOC, landrent yang memberatkan, hingga Tanam Paksa yang brutal, pajak digunakan untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya demi kepentingan negara induk.
- Pajak sebagai Pilar Kedaulatan dan Pembangunan: Dengan proklamasi kemerdekaan, peran pajak bertransformasi menjadi pilar utama untuk menegakkan kedaulatan dan membiayai pembangunan negara. Pemerintah berupaya membangun sistem perpajakan nasional yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, bukan lagi melayani kepentingan asing.
Sejarah ini membuktikan bahwa legitimasi sistem perpajakan di Indonesia tidak pernah hanya soal efisiensi administrasi, tetapi selalu terikat pada persepsi keadilan dan tujuan penguasa.
Dari penolakan upeti yang mencekik hingga pemberontakan melawan cukai kolonial, resistensi rakyat menjadi kekuatan pendorong perubahan.