Peluncuran sistem Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bukan sekadar pembaruan teknologi, melainkan sebuah pergeseran paradigma dalam ekosistem perpajakan digital di Indonesia.
Alur kerja yang didesain ulang menuntut Wajib Pajak dan praktisi untuk memahami filosofi baru di baliknya.
Artikel ini akan menyoroti lima perubahan paling fundamental dan cerdas dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Badan, memberikan gambaran strategis mengenai logika baru yang membentuk masa depan kepatuhan pajak.

Semua Dimulai dari Formulir Induk
Perubahan paling fundamental dalam Coretax adalah alur kerja yang bersifat “Induk-Sentris” (Induk-Centric).
Berbeda dengan metode lama di mana Wajib Pajak mengisi berbagai lampiran terlebih dahulu, alur kerja baru ini dimulai dari pengisian Formulir Induk SPT.
Pendekatan ini sangat signifikan, di mana hanya Lampiran L2 (Daftar Kepemilikan) dan L-11B (Perhitungan Biaya Pinjaman) yang muncul secara otomatis, sementara lampiran lainnya diaktifkan secara dinamis.
- Formulir Induk SPT kini berfungsi seperti kuesioner cerdas. Sistem bertindak layaknya digital wizard yang akan membangun SPT Anda secara dinamis berdasarkan jawaban atas serangkaian pertanyaan kunci mengenai profil transaksi perusahaan.
- Jawaban Anda mengaktifkan lampiran yang relevan. Jawaban “Ya” pada pertanyaan seperti “Apakah memperoleh penghasilan Final?” atau “Apakah membebankan biaya penyusutan?” akan secara otomatis memunculkan lampiran-lampiran spesifik yang harus diisi.
- Proses menjadi lebih terarah dan relevan. Wajib Pajak hanya disajikan lampiran yang benar-benar dibutuhkan, menghilangkan kebingungan dan meminimalkan risiko kesalahan pengisian (errors of omission).
Dari perspektif DJP, pendekatan ini menstandardisasi proses penerimaan data, memastikan mereka menerima paket data yang lengkap dan konsisten secara logis untuk dianalisis secara otomatis.
Bagi Wajib Pajak, ini mengurangi beban kognitif karena sistem memandu setiap langkah, membuat proses pelaporan lebih efisien dan intuitif.
12 Jenis Lampiran Keuangan Sesuai Sektor Usaha
Sistem Coretax meninggalkan pendekatan “satu untuk semua” dalam pelaporan keuangan.
Kini, Lampiran 1 (Laporan Laba Rugi dan Neraca) hadir dalam 12 format berbeda yang dirancang khusus untuk setiap sektor usaha, memastikan akun yang disajikan lebih relevan dengan karakteristik masing-masing industri.
Beberapa contoh sektor usaha yang kini memiliki format lampiran keuangan khusus antara lain:
- Umum (L1-A)
- Pabrikan / Manufaktur (L1-B)
- Perdagangan (L1-C)
- Jasa (L1-D)
- Bank Konvensional (L1-E)
- Properti (L1-H)
- Infrastruktur (L1-J)
- Sekuritas (L1-K)
Langkah ini menandai pergeseran strategis DJP untuk menangkap data keuangan yang jauh lebih terstruktur dan relevan.
Ini memungkinkan DJP untuk melakukan pembandingan (benchmarking) dan analisis ekonomi berbasis industri dengan akurasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengubah data keuangan generik menjadi intelijen bisnis yang terstruktur.
Bagi Wajib Pajak, ini menyederhanakan pengisian karena akun yang tersedia sudah sesuai dengan kelaziman industrinya.
Koreksi Fiskal Langsung di Laporan Laba Rugi
Salah satu perubahan teknis paling berdampak adalah cara melakukan koreksi fiskal.
Di Coretax, Wajib Pajak kini mengisi nilai koreksi fiskal (baik positif maupun negatif) langsung pada setiap baris akun di dalam Laporan Laba Rugi (Lampiran 1).
Sistem juga memberikan fleksibilitas di mana Wajib Pajak dapat memasukkan lebih dari satu kode koreksi fiskal pada satu akun yang sama jika diperlukan.
Fitur ini secara efektif menjadikan kertas kerja rekonsiliasi fiskal berbasis spreadsheet yang rumit dan rentan kesalahan sebagai peninggalan masa lalu (a relic of the past).
Dengan mengintegrasikan proses akuntansi komersial dan pelaporan fiskal secara lebih erat, prosesnya menjadi jauh lebih transparan dan mengurangi potensi kesalahan karena rekonsiliasi terjadi langsung di dalam sistem
Setengah Jalan Dikerjakan Sistem Coretax
Untuk mempercepat pelaporan, Coretax secara otomatis mengisi beberapa data (prepopulated) yang diambil dari berbagai sumber di ekosistem DJP, seperti data bukti potong/pungut PPh (e-Bupot) dan data registrasi perusahaan.
Proses ini diinisiasi saat Wajib Pajak menekan tombol “Posting SPT” di awal pengisian, yang kemudian menarik data relevan ke dalam draf SPT.
Yang terpenting, kontrol penuh tetap berada di tangan Wajib Pajak.
Semua data yang terisi otomatis tetap dapat diubah atau diedit (editable).
Fitur ini adalah langkah krusial menuju pembentukan “Single Source of Truth” di dalam sistem DJP.
Dengan tidak hanya meringankan beban Wajib Pajak tetapi juga menegakkan konsistensi data, DJP secara signifikan mengurangi risiko kesalahan transkripsi di seluruh sistemnya.
Contoh nyata adalah data daftar pemegang saham di Lampiran 2 dan daftar bukti potong di Lampiran 3.
Tahapan Pembuatan SPT Tahunan Coretax
1. Siapkan dokumen utama
Siapkan laporan keuangan perusahaan (neraca dan laba-rugi tahunan) beserta bukti-bukti pemotongan/pungutan pajak tahun berjalan (misal bukti potong PPh 21/23 dari karyawan/penyedia jasa, serta bukti potong PPh 4(2) atas sewa).
Dokumen lain yang mungkin perlu dilampirkan adalah arsip SPT Masa (PPH Pasal 25/29/PPN) dan catatan pembukuan (termasuk persediaan).
Dokumen laporan keuangan (neraca dan laporan laba/rugi) dalam bentuk pdf, dan bukti potong/pungut dari transaksi pihak ketiga harus disiapkan sebelum mengisi SPT.
Sebaiknya hitung dulu secara manual di aplikasi MS Excel atau aplikasi perusahaan, berapa penghasilan neto, penghasilan kena pajak, dan PPh terutang.
2. Aktivasi akun dan login Coretax
Buka situs coretaxdjp.pajak.go.id, lalu login dengan akun penanggung jawab (NIK 16 digit) dan kata sandi.
Setelah masuk, lakukan impersonate ke NPWP Badan yang akan dilaporkan. Ingat, yang login harus menggunakan NIK yang merupakan PIC perusahaan.
Pastikan sudah memiliki Sertifikat Elektronik/Kode Otorisasi DJP sesuai ketentuan.
3. Buat konsep SPT dan isi formulir induk
Dari menu “Surat Pemberitahuan (SPT)” pilih “Buat Konsep SPT”.
Kemudian pilih jenis SPT Pajak Badan dan periode pajak yang benar.
Isi Bagian A–J formulir induk SPT (identitas, status pembukuan, jenis usaha, dsb).
Di bagian identitas, cek data pre-fill; di bagian laporan keuangan, pilih “sektor usaha” yang sesuai sehingga Coretax mengaktifkan lampiran keuangan sektor tersebut.
Contoh: pilih “Perdagangan” untuk perusahaan dagang, “Jasa” untuk perusahaan jasa, “Manufaktur” untuk pabrik/industri, “Perbankan” untuk bank konvensional, atau “UMKM” jika usaha kecil dengan PPh Final 0,5%.
Jika laporan diaudit oleh Akuntan Publik, cantumkan opini auditor dan data KAP. Dan siapkan laporan KAP untuk diunggah di induk bagian bawah.
4. Jawab pertanyaan dan isi lampiran SPT
Coretax akan menampilkan lampiran-lampiran yang diperlukan berdasarkan jawaban di induk:
- Lampiran L2 (Daftar Kepemilikan) dan L-11B (Debt-to-Equity) muncul otomatis untuk semua WP Badan.
- Lampiran L1 sektor: tergantung sektor usaha (misalnya L1-C untuk Perdagangan, L1-D untuk Jasa, L1-B Manufaktur, L1-E Bank konv., L1-Umum untuk UMKM). Isilah data keuangan sesuai format L1 yang aktif (misal, penjualan & biaya untuk dagang/manufaktur; aset & kewajiban untuk bank, dll).
- Pendapatan Final/Non-Objek: Jawab pertanyaan apakah perusahaan menerima pendapatan PPh Final atau bukan objek (seperti penghasilan sewa/bunga final, dividen dikecualikan). Jika “Ya”, isi Lampiran 4A (PPh Final) dan 4B (Non-objek) sesuai petunjuk.
- Fasilitas pajak (Pasal 31E): Jika omzet tahunan ≤ Rp50 miliar (tahun buku smp Juli 2025 sesuai PP 7/2021), WP bisa memilih fasilitas penurunan tarif PPh Pasal 17 jo. 31E. Tandai pilihan “Tarif Fasilitas 31E(1)” bila memenuhi.
Lampiran lain: Isilah Lampiran 3 untuk kredit pajak (jika ada PPh Pasal 23/26 terutang dan dibayar/dipotong pihak lain), Lampiran 6 untuk angsuran PPh Pasal 25 yang telah dibayar, Lampiran 8 jika menggunakan fasilitas 31E, Lampiran 9 untuk daftar penyusutan aset tetap, dll., sesuai kebutuhan masing-masing.
5. Unggah dokumen pendukung
Di akhir pengisian, unggah salinan laporan keuangan (file audit) dan dokumen pendukung lain yang diperlukan (maks. 15MB).
Centang pernyataan kebenaran data, simpan konsep SPT, lalu lanjutkan ke proses pembayaran.
6. Bayar dan lapor.
Jika terdapat PPh terutang (kurang bayar), buatlah Kode Billing dan setor pajak melalui bank atau saluran resmi.
Setelah pembayaran, sistem akan menerbitkan bukti penerimaan elektronik (BPE).
Jika SPT lebih bayar, pilih cara pengembalian (restitusi).
Sekilas Pemilihan Jenis Usaha dan Lampiran L1
Sektor Jasa
Perusahaan jasa (misal konsultasi perpajakan, jasa akuntansi, jasa cleaning service, jasa transportasi) mengisi laporan laba-rugi jasa.
Siapkan Neraca dan Laba rugi yang meliputi pendapatan utama jasa serta pendapatan usaha (contoh: sewa gedung kantor, dan gaji pegawai).
Pendapatan final seperti sewa/PPh 4(2) atau dividen harus dijawab di induk dan dibawa ke Lampiran, jika ada.
Jika laporan diaudit, isi opini auditor. Fasilitas 31E berlaku bila omzet sampai dengan 50 miliar, atau kurang.
Sektor Perdagangan
Untuk perusahaan dagang, laporan laba-rugi berfokus pada penjualan barang dan Harga Pokok Penjualan. Siapkan data pembelian, dan persediaan awal/akhir.
Perusahaan dagang dengan omzet sampai dengan Rp50 miliar dan diatas Rp4,8 miliar, bisa memakai tarif 31E.

Akhirnya SPT-nya tercatat Kurang Bayar.
Sektor Manufaktur
Pabrikan/industri melaporkan produksi dan penjualan barang jadi.
Lapor persediaan bahan baku, beban penyusutan mesin, dan biaya produksi lain di Laporan Laba Rugi.
Dokumen pendukung serupa (siapkan Neraca, Laporan Laba-Rugi, dan bukti potong).
Fasilitas 31E juga bisa didapat jika omzet sampai dengan Rp50 miliar dan diatas Rp4,8 miliar.
Misalnya, perusahaan manufaktur kecil biasanya berstatus Kurang Bayar sama seperti sektor dagang karena ada pajak yang masih kurang bayar.
Sektor Bank Konvensional, Termasuk BPR
Bank wajib memasukkan laporan keuangan bank (neraca perbankan).
Pendapatan utamanya dari kegiatan perbankan (bunga, fee, jasa keuangan) dan penghasilan non-utama (misal sewa gedung).
Contoh simulasi DJP: sumber pendapatan “Kegiatan Utama (Perbankan)” plus sewa aset dan dividen, dengan bukti potong PPh 23 atas penyewaan deposit box.
Bank tidak menggunakan tarif 31E (karena skala besar), tetapi mungkin saja memiliki banyak kredit pajak (PPh 23/26) dari kegiatan jasa keuangan.
SPT bank biasa berstatus Lebih Bayar atau Kurang Bayar tergantung perhitungan akhir, namun langkah pelaporan Coretax-nya sama.
Sektor UMKM (PPh Final 0,5%)
Usaha kecil menengah dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun menggunakan PPh Final 0,5% (PP 23/2018 jo. PP 55/2022).
Meski Wajib Pajak badan, pelaporan SPT Badan tetap dilakukan (Coretax), tetapi lebih sederhana.
Lampiran L1 yang dipakai adalah “Umum”.
WP UMKM hanya mengisi rekap omzet bruto di formulir induk (dan pendapatan final lainnya seperti sewa tanah jika ada).
Laporan keuangan tidak harus diaudit, bisa berupa neraca/laba-rugi sederhana.
Karena pajaknya bersifat final, SPT Tahunan UMKM biasanya berstatus Nihil (tidak kurang/bayar pajak tambahan) – pajak telah dipungut tiap bulan melalui final 0,5%.
