Progres BEPS dan Pajak Global 2025

Mengintip Masa Depan Aturan Pajak Global

Di tengah era globalisasi, ekonomi digital, dan tren kerja jarak jauh (remote work), aturan pajak internasional yang ada seringkali terasa rumit dan ketinggalan zaman.

Banyak negara dan perusahaan berjuang untuk menavigasi lanskap yang terus berubah ini.

Menjawab tantangan tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) baru saja merilis laporan pentingnya, OECD Secretary-General Tax Report to G20, yang memberikan gambaran jelas tentang bagaimana dunia berupaya memodernisasi sistem perpajakan.

Perang Melawan Penghindaran Pajak Ternyata Berhasil (dan Skalanya Masif)

Selama bertahun-tahun, banyak pihak skeptis terhadap upaya global melawan penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.

Namun, laporan OECD menunjukkan bahwa Proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting)—sebuah inisiatif untuk mencegah perusahaan mengalihkan keuntungan ke negara berpajak rendah—telah mencapai keberhasilan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Data dari laporan tersebut menunjukkan tingkat kerja sama yang luar biasa:

  • Pertukaran Informasi Aturan Pajak (Tax Rulings): Hingga Desember 2024, lebih dari 58.000 pertukaran informasi mengenai tax rulings telah terjadi. Angka ini sangat signifikan, mengingat sebelumnya pertukaran semacam ini hampir tidak ada sama sekali.
  • Pembaruan Perjanjian Pajak: Sebuah instrumen multilateral (BEPS MLI) telah secara efektif memodifikasi lebih dari 1.500 perjanjian pajak bilateral untuk menutup celah-celah yang sering disalahgunakan.
  • Transparansi Perusahaan Multinasional: Lebih dari 120 negara anggota Inclusive Framework telah memberlakukan legislasi yang mewajibkan perusahaan besar untuk menyampaikan pelaporan per negara (Country-by-Country Reporting), memberikan otoritas pajak gambaran yang lebih jelas tentang operasi global mereka.

Pajak Minimum Global Menjadi Kenyataan

Salah satu pilar utama reformasi pajak global adalah penerapan Pajak Minimum Global, yang bertujuan memastikan perusahaan multinasional besar membayar tarif pajak minimum di setiap negara tempat mereka beroperasi.

Laporan ini mengonfirmasi bahwa inisiatif ini bergerak dengan kecepatan tinggi, dengan lebih dari 65 yurisdiksi telah menerapkan atau mengambil langkah konkret untuk mengimplementasikan aturan tersebut.

Namun, aspek yang paling mengejutkan datang dari Amerika Serikat. Ironisnya, AS, yang aturan pajak minimum domestiknya (GILTI) menjadi pendorong awal bagi ide pajak minimum global OECD, kini menyuarakan kekhawatiran.

Masalahnya adalah potensi “pajak dan kewajiban kepatuhan yang tidak perlu dan duplikatif” bagi perusahaannya yang harus mematuhi sistem domestik dan global secara bersamaan.

Laporan tersebut menyoroti bahwa diskusi teknis sedang berlangsung untuk menemukan solusi, seperti usulan “side-by-side arrangement” dari G7, yang menunjukkan bahwa implementasi reformasi sebesar ini di dunia nyata penuh dengan negosiasi rumit, bahkan di antara para penggagasnya.

Setelah Aset Kripto, Kini Gilirannya Properti Jadi Target Transparansi Pajak Berikutnya

Upaya transparansi pajak global terus bergerak maju. Setelah berhasil membangun sistem pertukaran informasi otomatis untuk rekening bank (melalui Common Reporting Standard) dan yang terbaru untuk aset kripto, OECD kini mengalihkan fokusnya ke sektor lain yang sering digunakan untuk menyembunyikan kekayaan: properti (real estate).

Laporan tersebut mengumumkan terobosan baru: pengenalan kerangka kerja internasional untuk pertukaran informasi otomatis yang diwujudkan dalam Multilateral Competent Authority Agreement on the Exchange of Readily Available Information on Immovable Property (IPI MCAA).

Kerangka kerja ini dirancang agar fleksibel dan dapat diakses oleh banyak negara.

Kerangka kerja ini menggunakan pendekatan modular: modul pertama berfokus pada kepemilikan dan akuisisi, sementara modul kedua meningkatkan transparansi atas pendapatan dari properti.

Langkah ini sangat penting karena bertujuan menutup salah satu celah terbesar yang tersisa dalam sistem pajak global. Yang lebih mengejutkan adalah desainnya yang praktis: karena pertukaran di bawah IPI MCAA bergantung pada informasi yang sudah tersedia bagi otoritas pajak, kerangka kerja ini tidak memerlukan pengenalan kewajiban pelaporan domestik yang baru.

Ini membuatnya lebih mudah dan hemat biaya untuk diadopsi secara luas.

Era Kerja Jarak Jauh (Remote Work) Memaksa Dunia Merombak Aturan Pajak

Fenomena bekerja dari mana saja atau lintas negara bukan lagi hal baru, terutama setelah pandemi.

Namun, aturan pajak yang mengaturnya sebagian besar masih berasal dari abad ke-20 dan tidak dirancang untuk dunia kerja yang fleksibel saat ini.

Laporan OECD mengonfirmasi bahwa para pembuat kebijakan global akhirnya mulai menangani masalah ini secara serius.

Inclusive Framework telah memulai pekerjaan baru yang berfokus pada “mobilitas global individu.”

Tujuannya, menurut laporan tersebut, adalah untuk “memastikan bahwa aturan pajak tidak menjadi penghalang bagi peluang yang dihadirkan oleh perubahan ini sambil juga menilai kemungkinan risiko terhadap basis pajak negara-negara.

Ini adalah pengakuan di tingkat global bahwa cara kita bekerja telah berubah secara fundamental, dan sistem pajak internasional harus segera beradaptasi dengan menangani isu-isu teknis yang kompleks seperti aplikasi perjanjian pajak dan pedoman transfer pricing untuk memberikan kepastian bagi pekerja dan negara.

Negara Berkembang Bukan Lagi Sekadar Penerima Aturan, Tapi Pemain Aktif

Ada asumsi umum bahwa inisiatif pajak global sebagian besar dirancang oleh dan untuk negara-negara kaya.

Namun, laporan OECD terbaru dengan tegas menyanggah narasi ini. Bukti nyatanya sangat kuat: sejak 2009, langkah-langkah transparansi pajak telah membantu negara-negara Afrika mengidentifikasi setidaknya EUR 4,2 miliar pendapatan tambahan.

Laporan ini menunjukkan bagaimana negara-negara berkembang kini menjadi pemain aktif dalam membentuk masa depan perpajakan global.

Beberapa contoh konkret dari laporan tersebut meliputi:

  • Program Tax Inspectors Without Borders (TIWB): Inisiatif “TIWB 2.0” diperkenalkan sebagai visi baru yang menempatkan “negara-negara berkembang memainkan peran sentral dalam membentuk dan berbagi keahlian,” mengubah dinamika dari sekadar penerima bantuan menjadi mitra setara.
  • Sektor Pertambangan: Adanya program BEPS in Mining yang secara spesifik membantu negara-negara berkembang mengatasi tantangan penghindaran pajak yang kompleks di sektor ekstraktif, yang merupakan sumber pendapatan vital bagi banyak dari mereka.
  • Akses Data: Laporan ini menyoroti bahwa “30 negara berkembang sekarang memiliki pelaporan CbC yang berfungsi penuh,” termasuk 19 negara di luar OECD dan G20. Ini memberikan mereka akses ke data penting untuk melakukan audit pajak terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah mereka.

Pemberdayaan ini adalah kunci untuk menciptakan sistem pajak global yang tidak hanya efektif, tetapi juga benar-benar inklusif dan adil bagi semua negara.

Apa Langkah Selanjutnya dalam Dunia Perpajakan Global?

Laporan OECD ini melukiskan gambaran dunia yang bergerak menuju sistem pajak yang lebih terkoordinasi, transparan, dan adaptif.

Tren utamanya jelas: peningkatan kerja sama global untuk melawan penghindaran pajak, adaptasi cepat terhadap digitalisasi dan mobilitas kerja, serta upaya tulus untuk menciptakan inklusivitas yang lebih besar bagi negara-negara berkembang.

Perubahan ini tidak lagi bersifat teoretis; mereka sedang terjadi sekarang dan akan memengaruhi cara bisnis beroperasi dan pemerintah memungut pendapatan.

Sumber tulisan:

Penyalahgunaan P3B Melalui Mekanisme Hybrid Mismatch Arrangements

Hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang
berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purposeentities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain.

PERKEMBANGAN teknologi digital telah mengaburkan batas antaryuridiksi. Para pelaku bisnis dapat melakukan transaksi lintas batas negara dengan lebih mudah. Tentu saja peningkatan perdagangan internasional dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara yang berpartisipasi.

Namin demikian, dalam praktiknya, transaksi lintas yurisdiksi menciptakan interaksi peraturan perpajakan antarnegara. Kondisi ini memunculkan inefisiensi karena perbedaan pengaturan perpajakan di negara satu dan lainnya.

Perbedaan ini normal karena adanya kedaulatan masing-masing negara dalam menciptakan aturan domestik. Pada umumnya, salah satu perhatian dalam perdagangan internasional adalah penghindaran pajak berganda. Walhasil, ada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

Ketidakpaduan aturan antaryurisdiksi tidak hanya menimbulkan risiko pajak berganda (double taxation), tetapi juga risiko tidak dikenakan pajak di negara manapun atau dikenakan pajak dengan tarif efektif yang sangat rendah (double non-taxation).

Risiko double non-taxation inilah yang dieksploitasi para penghindar pajak untuk meraih posisi terbaik dari kewajiban fiskalnya. Mereka memodifikasi transaksi dan/atau entitasnya sehingga menghasilkan tidak adanya pengenaan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang sangat rendah.

Salah satu cara yang paling umum untuk menghasilkan double non-taxation adalah dengan memodifikasi transaksi dan/atau entitas bisnis melalui pemanfaatan perbedaan perlakuan pajak. Transaksi dan/atau entitas yang telah dimodifikasi inilah yang dimaksud dengan hybrid mismatch arrangements.

Melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan, negara-negara G-20 bekerja sama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan 15 rencana aksi. Adapun 15 rencana aksi ini berupaya menyelaraskan ketidakpaduan peraturan perpajakan antarnegara untuk mengurangi celah penghindaran pajak internasional.

Adapun rencana aksi ke-2 secara khusus ditujukan untuk menetralkan perlakuan perpajakan akibat perbedaan pandangan antarnegara dalam melihat suatu entitas, instrumen, atau transaksi yang berakhir pada double non-taxation. Rencana aksi ini disebut Neutralizing the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements.

OECD memang tidak memberikan definisi khusus mengenai hybrid mismatch arrangements. Namun demikian, pada dasarnya, hybrid mismatch arrangements memiliki beberapa berikut:

Pertama, hybrid entities, yaitu entitas diperlakukan sebagai entitas transparan dari sisi perpajakan di satu negara, sekaligus entitas nontransparan di negara lainnya. Disebut transparan jika entitas tersebut bukan pemilik dari suatu penghasilan yang diperoleh entitas.

Dengan demikian, dalam konteks entitas transparan, subjek pajak atas penghasilan adalah pemilik modal. Sebaliknya, disebut nontransparan adalah apabila entitas tersebut diperlakukan sebagai subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya.

Kedua, hybrid instrument, yaitu instrumen keuangan yang diperlakukan berbeda oleh negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh, suatu instrumen diperlakukan sebagai utang di suatu negara, tetapi dianggap modal di negara lain.

Ketiga, hybrid transfer, yaitu perbedaan penafsiran pengalihan harta. Di satu negara dianggap sebagai pengalihan harta, tetapi tidak di negara lainnya. Keempat, dual resident entities, yaitu suatu entitas yang menjadi subjek pajak di dua negara yang berbeda.

Penyalahgunaan P3B

SALAH satu contoh risiko praktik penghindaran pajak melalui bentuk hybrid mismatch arrangements di Indonesia dapat ditinjau dari P3B Indonesia-Belanda. P3B ini mengatur dividen yang diterima residen Belanda dari Indonesia atas kepemilikan substansial dipotong pajak sebesar 5%.

Tarif tersebut termasuk tarif terendah dibandingkan dengan ketentuan dalam P3B lainnya yang dimiliki Indonesia. Tidak heran jika Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis mengungkapkan P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan dalam skema penghindaran pajak.

Belanda juga memiliki peraturan domestik mengenai suatu bentuk mutual fund yang dikategorikan sebagai entitas transparan. Mutual fund ini disebut dengan Closed Fonds voor Gemene Rekening atau Closed Fund for Mutual Account (CFMA).

Menurut Belanda, CFMA bukanlah suatu entitas korporasi. Dengan demikian, CFMA merupakan suatu entitas transparan yang tidak dikenakan pajak penghasilan di Belanda.

Melalui CFMA, pemilik modal bukan residen Belanda dapat membuat skema penghindaran pajak dengan memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda. Mereka bisa mendapatkan tarif pajak yang rendah dengan cara berinvestasi di Indonesia melalui CFMA Belanda.

Karena CFMA merupakan entitas transparan di Belanda, pemerintah Belanda tidak lagi memajaki penghasilan yang diterima CFMA. Pemajakan atas penghasilan yang diterima pemilik modal akan dipajaki pada level korporasi atau individu.

Dengan demikian, apabila pemilik modal berasal dari luar Belanda, pemerintah Belanda menyerahkan pemajakan atas penghasilan tersebut di negara asal pemilik modal. Namun, keberadaan CFMA menjadikan modal yang diinvestasikan di Indonesia seolah-olah seluruhnya berasal dari Belanda, sehingga pemilik modal tampak berhak memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda.

Apabila tidak jeli, pemerintah Indonesia dapat tanpa sengaja memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda kepada pemilik modal yang seharusnya tidak berhak.

Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019, Indonesia telah meratifikasi konvensi multilateral untuk menerapkan tindakan-tindakan terkait dengan P3B untuk mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba sesuai dengan multilateral instrument (MLI) OECD.

Salah satu poin ketentuan yang disepakati dalam MLI ini adalah penerapan principle purpose test (PPT). Dengan PPT, Indonesia dapat menolak memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda jika terdapat potensi penyalahgunaan P3B menggunakan mekanisme hybrid mismatch arrangements.

Adanya simplified limitation on benefits (SLOB) sebagai tambahan mekanisme antipenghindaran pajak juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam melawan hybrid mismatch arrangements. Namun, sampai dengan artikel ini ditulis, baik aturan teknis pelaksanaan PPT dan SLOB di Indonesia masih belum tersedia.

Aturan pelaksanaan sangat penting karena kedua alat antipenghindaraan pajak tersebut memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menolak hak wajib pajak. Aturan pelaksanaan keduanya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun pemerintah, yang dalam hal ini Ditjen Pajak.

Penulis:

Artikel ini ditulis oleh Naranggi Pramudya Soko dan telah dimuat di DDTC. Saya sudah mendapat ijin penulis untuk share.