Begini Cara Menentukan Status Subjek Pajak

Kehadiran Fisik Itu Mutlak. Hitungan 183 hari bersifat akumulatif, dan setiap kehadiran fisik di Indonesia dihitung.

Status SPDN dan WPLN digambar

Direktur Jenderal Pajak telah menentukan petunjuk teknis cara menentukan status subjek pajak dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2025.

Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-25/PJ/2025 mengatur bagaimana menentukan subjek pajak dalam negeri, atau wajib pajak luar negeri.

Rumusannya utamanya sudah diatur di Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terakhir diubah dengan Undang-Undang HPP.

Pada prinsipnya, UU PPh dari dulu hingga sekarang sebenarnya menganut asas domisili. Siapapun, baik WNI maupun WNA yang berdomisili di Indonesia lebih dari 183 hari, maka menjadi subjek pajak dalam negeri.

Sebaliknya, jika kurang dari 183 hari di Indonesia maka dia berstatus Wajib Pajak luar negeri. Asas domisili ini kemudian dibuktikan dengan bukti-bukti yang menunjukkan secara substansi keberadaannya di suatu negara.

Adapan yang diatur di Pasal 6 ayat (1) huruf c PER-25/PJ/2025 itu berlaku untuk subjek pajak pengusaha bebas yang keberadaannya di berbagai negara.

Bisa jadi Wajib Pajak OP tertentu selalu keliling berbagai negara, baik untuk kepentingan bisnis maupun keperluan lainnya. Untuk kasus yang seperti ini, sulit menghitung 183 hari atau lebih di negara tertentu.

Karena itu dilakukan pengujian tie breaker rules secara berjenjang. Jika memenuhi syarat diatasnya, maka cukup. Tapi jika belum memenuhi, maka lanjut ke pengujian berikutnya. Karena itu di Pasal 6 ayat (1) huruf c menggunakan kata hubung “data/atau”.

Tujuan tie breaker rules sebenarnya untuk memberikan kepastian, di negara mana orang pribadi tersebut dianggap Wajib Pajak Dalam Negeri.

Pengujian ini efektif untuk negara-negara yang menganut asas domisili seperti Indonesia. Namun jika negara menganut citizenship maka tidak efektif. Contoh USA menganut prinsip citizenship. Sehingga Warga Negara Amerika Serikat akan tetap dikenai pajak oleh USA di mana pun tempat tinggalnya. Ada kemungkinan menjadi double WPDN.

Contoh jika tinggal di Infonesia, maka warga negara Amerika Serikat akan dianggap Wajib Pajak dalam negeri baik oleh IRS maupun DJP.

Kriteria PembedaSubjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)
Orang Pribadi: WaktuBerada di Indonesia > 183 hari (dalam 12 bulan)Berada di Indonesia ≤ 183 hari (dalam 12 bulan)
Orang Pribadi: TempatBertempat tinggal atau punya niat tinggal di IndonesiaTidak bertempat tinggal di Indonesia
Badan: LegalitasDidirikan atau bertempat kedudukan di IndonesiaTidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia
Kewajiban PajakAtas penghasilan dari Indonesia dan luar Indonesia (prinsip world-wide income)Atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja

Studi Kasus Sederhana

Mari kita lihat dua contoh sederhana untuk membuat konsep ini menjadi lebih nyata.

Kasus 1: Perhitungan 183 Hari (Seperti Tuan A)

Studi Kasus: Kapan Seorang WNA Menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri?

  • Skenario: Tuan A, seorang WNA, mengunjungi Indonesia untuk keperluan bisnis. Kunjungan pertamanya berlangsung selama 150 hari. Beberapa bulan kemudian dalam periode 12 bulan yang sama, ia kembali lagi selama 34 hari.
  • Analisis: Total waktu Tuan A berada di Indonesia adalah 150 hari + 34 hari = 184 hari.
  • Kesimpulan: Tuan A Subjek Pajak Dalam Negeri.

Kasus 2: WNI yang Bekerja di Luar Negeri (Seperti Tuan D)

Studi Kasus: Apakah WNI yang Bekerja di Luar Negeri Otomatis Menjadi SPLN?

  • Skenario: Tuan D adalah seorang WNI yang bekerja dan menyewa apartemen di negara X. Namun, ia masih memiliki rumah pribadi, keluarga (anak dan orang tua), serta bisnis rental mobil di Indonesia. Dalam setahun, ia menghabiskan 337 hari di negara X dan hanya 28 hari di Indonesia.
  • Analisis: Kasus ini menunjukkan pentingnya analisis berjenjang (tiered test) yang diatur dalam peraturan.
    1. Kriteria Tempat Tinggal: Tuan D memiliki tempat tinggal permanen di Indonesia (rumah pribadi) dan di negara X (apartemen sewa). Karena kriteria ini terpenuhi di kedua negara, kita belum bisa menentukan statusnya dan harus melanjutkan ke jenjang berikutnya.
    2. Kriteria Pusat Kegiatan Utama: Tuan D juga memiliki pusat kegiatan utama di kedua negara (keluarga dan bisnis di Indonesia, pekerjaan utama di negara X). Kriteria ini juga tidak bisa menjadi penentu tunggal.
    3. Kriteria Kebiasaan/Kegiatan Sehari-hari: Karena dua kriteria sebelumnya tidak memberikan jawaban pasti, penentuan akhir didasarkan pada di mana ia lebih banyak menjalankan kebiasaannya. Data menunjukkan Tuan D menghabiskan 337 hari di negara X, jauh lebih lama dari 28 hari di Indonesia.
  • Kesimpulan: Tuan D Wajib Pajak Luar Negeri

Aturan Kunci: Hitungan 183 Hari

Aturan paling mendasar untuk menentukan status pajak orang pribadi adalah dengan menghitung lama kehadirannya di Indonesia. Mari kita lihat kasus Tuan A, seorang pengusaha Warga Negara Asing (WNA) yang beberapa kali mengunjungi Indonesia untuk ekspansi bisnis.

Berikut adalah rekapitulasi jadwal perjalanan Tuan A:

Periode KunjunganDurasi di IndonesiaKeterangan
1 Februari 2023 – 30 Juni 2023150 hariTiba di Jakarta untuk mempelajari pasar dan persiapan pembukaan gerai.
29 Desember 2023 – 31 Januari 202434 hariKembali ke Indonesia untuk meninjau beberapa lokasi gerai baru.
Total184 hariTotal kehadiran dalam jangka waktu 12 bulan.

Dari tabel di atas, total kehadiran Tuan A di Indonesia adalah 184 hari (150 hari + 34 hari) dalam rentang waktu kurang dari 12 bulan. Karena jumlah ini melebihi batas 183 hari, Tuan A memenuhi kriteria sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).

Wawasan Kunci: Aturan 183 hari dihitung secara kumulatif dalam periode 12 bulan, tidak harus berurutan secara terus-menerus.

Setiap Hari Dihitung: Konsep “Hadir” vs. “Berada”

Peraturan menegaskan bahwa setiap kehadiran fisik di wilayah Indonesia, sekecil apa pun, akan dihitung. Aturan ini berlaku baik untuk kunjungan sangat singkat (“hadir”) maupun penugasan jangka panjang (“berada”).

Skenario 1: Kunjungan Singkat (Contoh “Hadir”)

Tuan B adalah seorang konsultan internasional yang beberapa kali datang ke Indonesia untuk keperluan berbeda.

  • Kunjungan Pertama: Memberikan pelatihan di Jakarta selama 5 hari.
  • Kunjungan Kedua: Menghadiri konferensi bisnis selama 10 hari.
  • Kunjungan Ketiga: Transit di bandara Indonesia selama 6 jam sebelum melanjutkan penerbangan ke negara lain.

Meskipun kunjungan ketiga hanya berupa transit singkat, aturan menyatakan bahwa “bagian dari hari dihitung penuh sebagai 1 (satu) hari”. Dengan demikian, total kehadiran Tuan B dihitung sebagai 16 hari (5 hari + 10 hari + 1 hari).

Skenario 2: Penugasan Jangka Panjang (Contoh “Berada”)

Tuan M adalah warga negara S yang ditugaskan sebagai pimpinan di kantor cabang Jakarta selama satu tahun. Ia memiliki kontrak kerja selama 12 bulan, menyewa apartemen di Jakarta, dan membawa sebagian barang pribadinya, yang semuanya menunjukkan niat untuk tinggal. Selama penugasannya, ia bekerja di beberapa lokasi: penugasan di Pulau Sumatera selama 40 hari dan di Pulau Kalimantan selama 150 hari. Total kehadiran fisiknya di Indonesia adalah 190 hari. Jumlah ini membuatnya memenuhi syarat sebagai SPDN. Penting untuk dicatat bahwa meskipun Tuan M bekerja dari luar negeri selama 20 hari, periode tersebut tidak mengurangi total hari kehadiran fisiknya di Indonesia. Aturan ini menekankan bahwa yang dihitung adalah keberadaan fisik di wilayah Indonesia, bukan di mana pekerjaan untuk perusahaan Indonesia dilakukan.

Wawasan Kunci: Yang menjadi dasar perhitungan adalah kehadiran fisik di wilayah Indonesia, baik untuk tujuan transit, kunjungan singkat untuk konferensi, maupun penugasan kerja yang berpindah-pindah lokasi.

Penentuan status menjadi lebih rumit ketika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) justru lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Kasus seperti ini memerlukan analisis yang lebih mendalam.

Studi Kasus WNI di Luar Negeri: Menimbang Keterikatan Seseorang

Bagian ini membahas kasus yang lebih kompleks, yaitu bagaimana menentukan status pajak Warga Negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri.

Tarik-Menarik Antara Dua Negara (Studi Kasus Tuan D)

Tuan D adalah seorang WNI yang bekerja di Negara X. Ia menghadapi dilema karena memiliki ikatan yang kuat di kedua negara: keluarga dan bisnis di Indonesia, tetapi pekerjaan dan istri di Negara X. Untuk menentukan status pajaknya, otoritas akan melakukan analisis “pemenuhan persyaratan secara berjenjang”.

Berikut perbandingan keterikatan Tuan D:

Kategori KeterikatanDi IndonesiaDi Negara X
Tempat TinggalMemiliki rumah pribadi yang dikuasai.Menyewa apartemen bersama istri.
Pusat Kegiatan UtamaKeluarga (anak & orang tua) dan bisnis rental mobil.Pekerjaan utama dan tempat tinggal istri.
Kebiasaan/Kegiatan Sehari-hariMenghabiskan waktu 28 hari dalam setahun.Menghabiskan waktu 337 hari dalam setahun.

Logika Penentuan Status:

  1. Tahap 1: Analisis Tempat Tinggal: Tuan D memiliki tempat tinggal permanen di kedua negara, sehingga kriteria ini tidak bisa menjadi penentu tunggal.
  2. Tahap 2: Analisis Pusat Kegiatan Utama: Ia juga memiliki pusat kegiatan utama (pribadi, sosial, ekonomi) di kedua negara. Kriteria ini juga seimbang.
  3. Tahap 3: Analisis Kebiasaan Sehari-hari: Karena dua kriteria sebelumnya seimbang, penentu utamanya adalah di mana ia lebih banyak menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-harinya.

Wawasan Kunci: Tuan D ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) karena, setelah melalui analisis berjenjang, ia terbukti lebih banyak menghabiskan waktu dan menjalankan kebiasaannya di Negara X (337 hari vs 28 hari).

Sama seperti individu, perusahaan juga memiliki “tempat tinggal” pajaknya sendiri, yang tidak selalu sama dengan alamat kantor pusatnya.

Di Mana Pusat Kendali Sebenarnya?

Bagian ini menjelaskan bagaimana status pajak suatu badan usaha ditentukan, bukan hanya dari tempat didirikan, tetapi dari lokasi pengambilan keputusan strategisnya.

Lokasi Rapat Menentukan Status (Studi Kasus A Co.)

A Co. adalah perusahaan pengembang aplikasi yang secara hukum didirikan di Negara A. Namun, para pendiri yang juga menjabat sebagai direktur sering mengadakan rapat dewan direksi di Indonesia. Pada tahun 2022, separuh dari total rapat direksi (6 dari 12) diadakan di Indonesia.

Selama rapat-rapat di Indonesia tersebut, A Co. membuat 3 keputusan strategis yang sangat penting:

  1. Pengalihan Saham ke Investor Baru: Negosiasi dan keputusan akhir untuk menjual sebagian saham kepada investor baru dilakukan di Indonesia.
  2. Pengalihan Aset Strategis: Persetujuan untuk mengalihkan hak atas algoritma inti PQRapp, yang merupakan aset paling vital perusahaan, diputuskan dalam rapat di Indonesia.
  3. Penunjukan Pejabat Kunci: Chief Operating Officer (COO) baru untuk wilayah Asia ditunjuk secara langsung dalam pertemuan di Indonesia.

Meskipun A Co. secara legal didirikan di Negara A, fakta bahwa separuh dari rapat direksi dan beberapa keputusan paling krusialnya dibuat di Indonesia pada tahun 2022 menyebabkan “pusat manajemen dan pengendalian”-nya dianggap berada di Indonesia. Oleh karena itu, A Co. menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) pada tahun tersebut.

Wawasan Kunci: Prinsip

substance over form berlaku di sini. Status pajak sebuah badan tidak ditentukan oleh alamat registrasi legalnya (form), melainkan di mana kendali dan keputusan strategis sesungguhnya dijalankan (substance). Dalam kasus A Co., pusat kendalinya secara substantif berada di Indonesia.

Selain penentuan status berdasarkan kondisi faktual, ada juga persyaratan administratif yang penting untuk dipenuhi, seperti membuktikan status domisili pajak di negara lain.

Batas Waktu Surat Keterangan Domisili (SKD)

Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas pajak negara lain untuk membuktikan bahwa seseorang adalah subjek pajak di negara tersebut. Bagi WNI yang ingin diakui sebagai SPLN, pengajuan permohonan ke Direktorat Jenderal Pajak harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu setelah SKD berakhir.

Berikut adalah tiga skenario terkait batas waktu pengajuan:

  • Kasus Tuan E
    • Situasi: SKD dari Negara Z memiliki masa berlaku yang jelas, yaitu 1 Januari 2024 s.d. 31 Desember 2024.
    • Tanggal Kunci: 31 Desember 2024 (tanggal berakhirnya SKD).
    • Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelah Tanggal Kunci, yaitu pada 30 Juni 2025.
  • Kasus Tuan F
    • Situasi: SKD dari Negara R memiliki masa berlaku 1 Januari 2024 s.d. 14 April 2024.
    • Tanggal Kunci: 14 April 2024.
    • Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelahnya, yaitu pada 14 Oktober 2024.
  • Kasus Tuan G
    • Situasi: SKD dari Negara M diterbitkan pada 15 September 2024, namun tidak mencantumkan masa berlaku.
    • Tanggal Kunci: 15 September 2024 (tanggal penerbitan dianggap sebagai tanggal berlaku).
    • Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelahnya, yaitu pada 15 Maret 2025.

Sangat penting untuk memperhatikan masa berlaku (atau tanggal penerbitan) SKD untuk memastikan permohonan penetapan status sebagai SPLN dapat diajukan tepat waktu sesuai aturan 6 bulan.

Sumber:

Author: Raden Agus Suparman

Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com atau 08888110017 Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Eksplorasi konten lain dari Konsultan Pajak di Botax Consulting Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca