fbpx

PPh Dengan Norma Perhitungan Khusus

Dasar hukum PPh ini adalah Pasal 15 Undang-undang PPh

Pasal 15 Undang-undang PPh memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan Norma Penghitungan Khusus menghitung penghasilan neto. Tujuan dari penggunaan norma penghitungan khusus adalah menghindari kesukaran, pertimbangan praktis, atau kelaziman usaha di sektor usaha tersebut.

Sebenarnya norma penghitungan khusus ini mirip dengan PPh Final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh. Perbedaannya, norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 15 Undang-undang PPh:

Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.

Sedangkan PPh final langsung menghitung PPh terutang. Penghasilan bruto dikalikan dengan tarif menghasilkan PPh terutang yang wajib disetorkan ke kas negara.

Dalam prakteknya, Pasal 15 juga terdapat “tarif efektif” yang penerapannya sama seperti PPh Final. Selain itu, ada juga Pasal 15 yang sudah “difinalkan“.

Istilah tarif efektif merupakan tarif dari beberapa perkalian. Di Pasal 15, perkalian dimaksud yaitu tarif penghasilan neto dikalikan dengan tarif PPh menghasilkan tarif efektif.

Daftar Isi Artikel

Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri

photo-3582201548175778854871575.jpeg

Norma penghitungan neto untuk perusahaan pelayaran dan penerbangan luar negeri diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 417/KMK.04/1996. Ini termasuk ketentuan perpajakan yang sangat lawas dan belum pernah direvisi.

Tarif yang ditentukan:

  • Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.
  • Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto.

Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Karena sudah ditentukan tarif PPh terutang maka dalam prakteknya yang perlu diingat adalah tarif 2,64% saja. Sedangkan tarif 6% sekedar untuk diketahui 😀

Karena sudah ada tarif PPh terutang, maka Menteri Keuangan menetapkan bahwa tarif PPh ini bersifat Final.

Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Dalam Negeri

photo-7990915946637856785832964.jpeg

Untuk perusahaan dalam negeri, ketentuan pelayaran dan penerbangan diatur terpisah dan tarifnya beda.

Norma Penghasilan Neto bagi perusahaan pelayaran dalam negeri diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 416/KMK.04/1996. Ketentuan ini mengatur:

  • Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4% (empat Persen) dari peredaran bruto.
  • Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto.

Karena sudah ada tarif PPh terutang, maka Menteri Keuangan menetapkan bahwa tarif PPh 1,2% bersifat Final.

Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.

Terhadap penggunaan tarif ini, Wajib Pajak sering keliru. Karena itu perlu saya kutip pengertian pelayaran di SE-29/PJ.4/1996.

Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:

  • pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
  • pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
  • pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
  • pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

Jadi, tarif PPh final diatas adalah tarif untuk jenis penghasilan pelayaran. SE-29/PJ.4/1996 mengartikan pelayaran sebagai port to port (dari pelabuhan ke pelabuhan).

Jika kapal disewa tetapi dipergunakan untuk selain tujuan diatas, maka diperlakukan PPh umum. Contoh: sewa kapal untuk menampung minyak, sewa kapal untuk menarik kapal, sewa kapal untuk “alas” crane.

216408_s6382447063495762617.jpg

Norma Penghasilan Neto bagi perusahaan penerbangan dalam negeri diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 475/KMK.04/1996. Ketentuan ini mengatur:

  • Penghasilan neto bagi Wajib Pajak ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.
  • Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak adalah sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) dari peredaran bruto.

Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Walaupun di Keputusan Menteri Keuangan tidak disebutkan bahwa tarif PPh 1,8% sebagai PPh final, tetapi metode penghitungannya sudah final. Artinya, Wajib Pajak tidak perlu mencari penghasilan neto sebagai dasar pengenaan pajak. Cukup peredaran bruto dikalikan dengan tarif 1,8%.

Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia

906722_s5890414089334932279.jpg

Dasar penghitungan penghasilan neto untuk Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (KPDI) adalah Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994.

Keputusan Menteri Keuangan ini mengatur:

  • Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.
  • Pajak Penghasilan adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.

Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Walaupun dasar pengenaannya disebut nilai ekspor bruto, tetapi maksudnya bukan ekspor dalam pengertian penjualan barang dari Indonesia ke luar negeri. Maksud ekspor bruto disini dari sisi Wajib Pajak luar negeri, yaitu penjualan di Indonesia.

Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah atau Build Operate And Transfer (BOT)

greg-tockner-751062-unsplash8100532487454258213.jpg

Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer) adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.

Ketentuan PPh BOT diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 248/KMK.04/1995.

Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah.

Atas penghasilan diatas, terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan.

Pembayaran Pajak Penghasilan:

  • bagi orang pribadi bersifat final
  • bagi Wajib Pajak badan merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Perhatikan disini bedanya final dan tidak final. Bagi orang pribadi, atas penghasilan berupa bangunan yang diterima dari investor dikenakan PPh Final sebesar 5%. Atas penghasilan ini tetap dilaporkan di SPT Tahunan tetapi pelaporannya terpisah dari PPh umum.

Sedangkan bagi Wajib Pajak badan, PPh sebesar 5% tersebut dianggap sebagai PPh Pasal 25, yaitu cicilan PPh tahun berjalan. Atas penghasilan berupa bangunan yang diterima dari investor (nominal dengan nilai pasar) harus digungungkan atau digabungkan dengan penghasilan lainnya di SPT Tahunan. Setelah digabungkan, dicari penghasilan neto, baru kemudian dikenakan tarif Pasal 17 Undang-undang PPh.

Jenis Penghasilan Lainnya Yang Difinalkan

Selain yang diatur di Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 15 Undang-undang PPh, terdapat pasal lain yang secara tegas undang-undang menyebutnya sebagai final. Dan ada juga yang secara tersirat “dianggap” final.

Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang PPh

Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang PPh menyebut:

Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

Undang-undang PPh menganut classical system sehingga dividen merupakan objek pajak. Namun, Undang-undang PPh memandang perlu memberikan insentif berupa tarif PPh yang rendah atas dividen. Tujuannya:

  • agar beban pajak yang ditanggung pemegang saham orang pribadi dapat dikurangi;
  • untuk mendorong perusahaan agar mendistribusikan penghasilannya kepada para pemegang saham;
  • karena investasi dalam bentuk penyertaan modal mengandung risiko yang lebih besar daripada investasi dalam bentuk deposito dan obligasi.

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang PPh

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang PPh menyebutkan:

Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun- tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Penghasilan istri yang didapat dari:

  • semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21, dan
  • pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya,

dianggap sebagai penghasilan final. Dan dilaporkan di SPT Tahunan sebagai bagian dari penghasilan final.

penghasilan istri
Form 1770 S – II SPT Tahunan bagi karyawan

 

Author: Raden Agus Suparman

Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com atau klik https://aguspajak.com/konsultasi/ atau melalui aplikasi chatting yang tersedia. Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.

%d blogger menyukai ini: