fbpx

Pajak Menurut Pendapat 4 Mazhab Fiqih

Dalam rangka memperingati hari pajak 14 Juli 2019, DKM Masjid Salahuddin Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan serangkaian kajian terkait pajak dilihat dari perspektif fiqih.

Salah satu narasumber yang mengisi kajian tersebut adalah Rikza Maulan, Lc. M.Ag

Beliau menyampaikan kajian pada Kamis, 11 Juli 2019 ba’da solat dhuhur dengan judul “Pajak Dalam Pandangan Empat Imam Madzhab”. Selain pendapat ulama dari kalangan 4 mazhab, beliau juga menyampaikan pendapat ulama kontemporer tentang pajak.

Kajian ini menurut saya cukup lengkap. Selaian menyampaikan pendapat yang pro terhadap pajak, juga disampaikan pendapat yang kontra. Pendapat yang membolehkan dan pendapat yang mengharamkan pajak.

Berikut tayangan slide beliau yang saya rubah formatnya menjadi jpg. Tujuan perubahan format supaya menjaga keaslian isi slide.

ini file rekaman beliau:
https://drive.google.com/open?id=1M0HNGNShNdiov_ha-Jx3eRNWDhuYECKj

Sehari sebelumnya, Rabu 10 Juli 2019 diadakan juga kajian dengan narasumber Ust Muhammad Yusuf Helmy (Karim Bisnis Consulting). Beliau diminta menyampaikan kajian dengan tema “Prinsip-prinsip Islam dalam Pemungutan Pajak Negara kepada Rakyatnya”

Ceramah Ust Muhammad Yusuf Helmy cukup menarik karena menyampaikan tentang adanya literatur perpajakan diantaranya membahas:

  • canons of taxation yang kemudian dipakai Adam Smith
  • fixed tax
  • proporsional tax

Berikut file rekaman beliau:
https://drive.google.com/open?id=1twUcGkH9ndSAR7H4GVB-hU9yQA9wsLxT

Setidaknya ada 7 ulama zaman dulu yang membahas terkait perpajakan. Berikut ulama tersebut dan judul kitabnya:

    • Kitab Al-Kharāj karya : Imam Abu Yusuf, Yahya ibn Adam, Qudamah ibn Ja’far
    • Kitab al-Amwāl karya : Abu Ubayd, Abu Humaid ibn Zanjawaih, Abu Ja’far ibn Nashr al-Dawudi
  • Al-Aḥkam al-Sulthaniyyah karya : Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 1058), Abu Ya’la al-Farra (w. 1065) 


 

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

Pajak-Pajak Yang Dikenakan di Kerajaan Saudi Arabia

Otoritas Zakat dan Pajak Saudi Arabia

Gusfahmi menebutkan bahwa istilah pajak dalam islam yang tepat adalah dharibah yang artinya beban. Mengutif pendapat Yusuf Qardhowi bahwa pajak merupakan kewajiban tambahan (tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah Zakat, sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat. Dan Kerajaan Arab Saudi juga menggunakan istilah dharibah untuk pajak. Kerajaan Arab Saudi menerjemahkan tax sebagai dharibah. Hal ini bisa di cek di laman otoritas zakat dan pajak Kerajaan Arab Saudi gazt.gov.sa


Setelah saya terjemahkan menggunakan google translate, Kerajaan Arab Saudi menggunakan istilah dharibah sebagai pajak dan digunakan dalam:

  1. Pajak Pengahasilan (PPh);
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan
  3. Pajak Komoditas Selektif (cukai).
Menurut laman https://www.gazt.gov.sa/ar bahwa PPh adalah ketentuan sistem pajak penghasilan berlaku bagi perusahaan dana penduduk untuk saham mitra non-Saudi, baik yang bersifat alami atau legal, penduduk atau bukan penduduk. Berlaku untuk bukan penduduk. Artinya, PPh dikenakan atas penghasilan perusahaan atau badan.
 
PPh badan sudah dikenakan terhadap perusahaan di Kerajaan Arab Saudi. Bahkan Indonesia sudah mempunya perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) dengan Kerajaan Saudi Arab sejak 1991. 
 
PPN merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas semua barang dan jasa yang dibeli dan dijual oleh perusahaan, dengan beberapa pengecualian.
 
Kerajaan Arab Saudi baru pertama kali mengenakan PPN pada tahun 2018. Kerajaan Arab Saudi memberlakukan PPN untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah kondisi harga minyak dunia yang rendah.

Contoh Penerapan PPN di salah satu toko di Jeddah, Arab Saudi
 
Pajak Komoditas Selektif dikenakan pada barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat, lingkungan atau barang mewah dalam berbagai proporsi, yaitu minuman ringan, minuman energi, tembakau dan turunannya. Pajak ini juga baru dikenakan tahun 2017
 
Namun ada yang tidak umum dengan istilah tax pada otoritas pajak. Biasanya otoritas pajak menggunakan istilah revenue yaitu penerimaan negara, seperti IRS, dan IRAS.
 
Revenue memang mirip artinya dengan income. Kerajaan Arab Saudi menggunakan income tax dengan dharibah addukhul. Dan otoritas penerimaan juga menggunakan istilah ad-dukhul dan diterjemahkan sebagai tax (General Authority Of Zakat and Tax).
 

Antara Maks Versus Pajak

Istilah mukus atau maks bukan pajak tapi palak. Kesimpulan maks sebagai palak sesuai dengan pendapat Ustadz Ahmad Sarwat yang sudah diupload di Youtube.

 
Ustadz Adi Hidayat menterjemahkan maks dengan pungutan liar (pungli). Beliau mengutip pendapat Imam Nawawi tentang maksud istilah maks. Imam Nawawi menjelaskan maks dengan “setiap pungutan liar dari masyarakat“.

Baik palak maupun pungli di masyarakat Indonesia memang ada. Istilah palak digunakan jika pelaku seorang preman atau bukan aparat. 

Sedangkan pungli digunakan untuk pungutan yang dilakukan oleh aparat tetapi sebenarnya aparat tersebut tidak memiliki kewenangan, atau atas pungutan tersebut tidak ada dasar hukumnya.

Sedangkan pajak memiliki dasar hukum. Bahkan Undang-undang Dasar 1945 sudah mencantumkan. Jadi sebelum Indonesia merdeka, para pendiri NKRI sudah berpikir dasar hukum pembiayaan negara melalui pajak.

Walaupun Undang-undang Dasar 1945 mengalami beberapa amandemen, pajak tetap dicantumkan. Terakhir tentang pajak tercantumdi Pasal 23A.

Kewajiban membayar pajak diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yaitu: 

pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. 

Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

 

 

 
 
%d blogger menyukai ini: