Menentukan Metode Transfer Pricing Yang Tepat

Ketentuan perpajakan di Indonesia mengharuskan adanya harga wajar untuk setiap transaksi grup. Walaupun grup yang dimaksudnya seluruhnya berada di Indonesia. Dulu, pertama kali diatur bahwa kewajiban membuat Transfer Pricing Document itu hanya untuk perusahaan multinasional.

Pada dasarnya, harga yang diakui oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan ada dua, pertama harga sebenarnya. Harga sebenarnya digunakan untuk transaksi independen. Tidak ada hubungan istimewa dalam transaksi tersebut. Kedua, harga seharusnya. Penggunaan harga seharusnya digunakan untuk transaksi yang terjadi karena ada hubungan istimewa.

Podcast Transfer Pricing Dalam 25 Menit

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle)

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, atau yang lebih dikenal secara internasional sebagai Arm’s Length Principle (ALP), merupakan pilar utama dan standar konsensus global dalam penentuan harga atas transaksi lintas batas yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau disebut entitas berelasi.

Prinsip ini, sebagaimana diartikulasikan dalam Pedoman Transfer Pricing OECD lebih dikenal dengan OECD Transfer Pricing Guidelines, mengamanatkan bahwa kondisi, baik harga maupun laba, dalam sebuah transaksi afiliasi, atau transaksi terkontrol, harus sebanding dengan kondisi yang akan disepakati oleh pihak-pihak independen dalam transaksi yang sebanding, atau transaksi tidak terkontrol, di bawah keadaan yang sebanding.

Signifikansi ALP terletak pada dua tujuan utamanya:

Pertama, dari perspektif otoritas pajak, ALP berfungsi sebagai instrumen fundamental untuk melindungi basis pajak suatu negara.

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa laba kena pajak dari perusahaan multinasional (Multinational Enterprises – MNEs) tidak digeser secara artifisial dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah, sebuah praktik yang dikenal sebagai Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Dengan menerapkan ALP, otoritas pajak memastikan bahwa laba yang dilaporkan di negaranya benar-benar mencerminkan aktivitas ekonomi dan penciptaan nilai yang sesungguhnya terjadi di dalam yurisdiksi tersebut.

Kedua, dari perspektif Wajib Pajak, penerapan ALP yang konsisten dan dapat dipertahankan sangat krusial untuk memitigasi risiko pengenaan pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation).

Risiko ini muncul ketika dua negara yang berbeda melakukan koreksi atas transaksi afiliasi yang sama, sehingga laba yang sama dikenakan pajak dua kali di yurisdiksi yang berbeda.

Dengan mematuhi standar ALP yang diakui secara internasional, MNEs dapat mengurangi ketidakpastian dan membatasi potensi sengketa pajak yang mahal dan berkepanjangan.

Era Baru dengan PMK 172/2023

Regulasi transfer pricing di Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan. Dimulai dari pedoman awal seperti PER-43/2010 dan PER-32/2011, lanskap regulasi terus berkembang untuk mengadopsi standar internasional, terutama melalui PMK-213/PMK.03/2016 yang mengimplementasikan standar dokumentasi BEPS Action 13, dan PMK-22/PMK.03/2020 yang mengatur penerapan PKKU dan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement – APA). Namun, peraturan-peraturan ini tersebar dan terkadang menimbulkan kerumitan dalam implementasinya.

Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 menandai sebuah milestone dan era baru dalam regulasi transfer pricing di Indonesia.

PMK 172/2023 secara komprehensif mengkonsolidasikan, menyempurnakan, dan mengkodifikasi berbagai aturan yang sebelumnya tersebar ke dalam satu payung hukum yang utuh.

Peraturan ini mencakup seluruh siklus kepatuhan transfer pricing, mulai dari penerapan PKKU, kewajiban Dokumentasi TP (TP Doc), prosedur APA, hingga Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure – MAP).

Langkah konsolidasi ini membawa implikasi strategis yang mendalam. Sebelumnya, Wajib Pajak harus menavigasi beberapa peraturan terpisah, yang berpotensi menciptakan inkonsistensi dan area abu-abu.

Dengan adanya PMK 172/2023 sebagai satu sumber rujukan utama (single source of truth), DJP kini memiliki kerangka kerja yang lebih koheren dan kuat untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.

Wajib Pajak tidak lagi dapat memanfaatkan potensi celah atau ambiguitas antar peraturan. Kepatuhan transfer pricing kini harus dipandang sebagai sebuah siklus yang terintegrasi, mulai dari tahap perencanaan dan penetapan harga, dokumentasi yang cermat, hingga manajemen potensi sengketa melalui mekanisme APA atau MAP.

Lebih lanjut, PMK 172/2023 secara eksplisit menyelaraskan aturan domestik dengan pedoman global terkini, yaitu OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations edisi 2022, yang menegaskan komitmen Indonesia untuk menerapkan standar praktik terbaik internasional.

Evolusi dari PMK-22 ke PMK-172

Indonesia, sebagai anggota G20 dan negara yang aktif dalam kerangka kerja BEPS, telah secara tegas mengadopsi dan mengimplementasikan ALP ke dalam kerangka hukum perpajakan domestiknya. Perkembangan regulasi ini menunjukkan komitmen yang kuat untuk menyelaraskan praktik di dalam negeri dengan standar internasional.

Regulasi penting dalam beberapa tahun terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 (PMK-22).

Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement – APA), tetapi juga memberikan panduan yang sangat rinci mengenai penerapan ALP dan metodologi penentuan harga transfer.

Dikeluarkannya PMK-22 secara eksplisit bertujuan untuk menyelaraskan peraturan domestik Indonesia dengan standar minimum yang diamanatkan oleh Proyek OECD/G20 BEPS, khususnya Aksi 14 yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif.

Namun, dinamika perpajakan internasional dan domestik yang cepat mendorong adanya pembaruan lebih lanjut.

Pada tanggal 29 Desember 2023, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.

PMK-172 merupakan sebuah regulasi omnibus yang mencabut dan menggantikan beberapa peraturan sebelumnya, termasuk PMK-22/2020 (tentang APA), PMK-213/2016 (tentang Dokumentasi Transfer Pricing), dan PMK-49/2019 (tentang Prosedur Persetujuan Bersama/MAP), serta mengkonsolidasikan berbagai aspek transfer pricing ke dalam satu payung hukum yang komprehensif.

Evolusi yang cepat dari PMK-22 ke PMK-172 dalam kurun waktu kurang dari empat tahun ini bukanlah sekadar pembaruan rutin.

Hal ini menandakan adanya percepatan konvergensi regulasi dan komitmen kuat dari pemerintah Indonesia untuk tidak hanya mengadopsi standar OECD/BEPS, tetapi juga untuk secara aktif menyempurnakannya.

PMK-22, meskipun merupakan langkah maju yang signifikan, masih menyisakan beberapa area yang berpotensi menimbulkan multi-interpretasi. PMK-172 hadir untuk menutup celah-celah tersebut dengan memberikan panduan yang lebih spesifik dan detail, terutama untuk area-area transaksi yang kompleks seperti transaksi keuangan, restrukturisasi bisnis, dan mekanisme penyesuaian sekunder (secondary adjustment).

Hal ini merupakan sinyal jelas bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkatkan kapabilitasnya dan tidak lagi memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk berlindung di area abu-abu regulasi.

Lebih jauh, konsolidasi peraturan yang sebelumnya terpisah (TP Doc, APA, dan MAP) ke dalam satu PMK menyiratkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih terintegrasi dari sisi administrasi pajak.

Dengan adanya satu panduan tunggal yang menghubungkan kewajiban kepatuhan (TP Doc), mitigasi risiko di muka (APA), dan penyelesaian sengketa (MAP), DJP kini memiliki kerangka kerja yang lebih koheren.

Hal ini memungkinkan pemeriksa pajak untuk melihat gambaran kepatuhan transfer pricing Wajib Pajak secara holistik, meningkatkan konsistensi dan efektivitas proses pemeriksaan.

Konsep Harga Wajar dan Mekanisme Penyesuaian

Harga wajar berdasarkan ALP tidak selalu berupa satu angka tunggal (arm’s length point). Dalam praktiknya, analisis kesebandingan seringkali menghasilkan serangkaian hasil yang dapat diterima dari beberapa data pembanding.

Kumpulan hasil ini membentuk sebuah rentang kewajaran (arm’s length range). PMK 172/2023 memberikan panduan yang lebih jelas mengenai penggunaan rentang ini.

Jika terdapat dua data pembanding, rentang yang digunakan adalah rentang penuh (full range), yaitu dari nilai minimum hingga maksimum. Namun, jika terdapat lebih dari dua data pembanding, rentang yang digunakan adalah rentang interkuartil (dari kuartil pertama hingga kuartil ketiga) untuk meningkatkan keandalan statistik dengan menghilangkan nilai-nilai ekstrem. Transaksi afiliasi dianggap wajar jika hasilnya berada di dalam rentang tersebut.

Ketika DJP menemukan bahwa harga transfer Wajib Pajak berada di luar rentang kewajaran, DJP berwenang melakukan penyesuaian. Mekanisme penyesuaian ini memiliki beberapa lapisan:

Pertama Primary Adjustment.

Ini adalah koreksi awal dan utama yang dilakukan DJP terhadap penghasilan kena pajak Wajib Pajak untuk menyelaraskannya dengan PKKU. Misalnya, jika harga jual ke afiliasi terlalu rendah, DJP akan menaikkan laba Wajib Pajak sebesar selisih antara harga wajar dengan harga yang dilaporkan.

Kedua Secondary Adjustment

Ini adalah konsekuensi lanjutan dari primary adjustment. Selisih koreksi yang timbul dari primary adjustment diperlakukan sebagai pembagian laba secara tidak langsung atau dividen terselubung (constructive dividend) kepada pihak afiliasi, yang kemudian dikenai Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku.

PMK 172/2023 memperkenalkan sebuah mekanisme baru yang signifikan, di mana secondary adjustment ini dapat dibatalkan jika Wajib Pajak menyetujui koreksi primer yang dilakukan DJP dan melakukan pengembalian dana tunai atau setara kas dari pihak afiliasi sebesar nilai koreksi sebelum Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan.

Ketiga Corresponding Adjustment.

Ini adalah penyesuaian simetris yang dilakukan pada Wajib Pajak dalam negeri yang menjadi lawan transaksi untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda di tingkat domestik.

Jika laba satu Wajib Pajak dinaikkan, maka biaya atau harga pokok penjualan lawan transaksinya dapat disesuaikan. Ini merupakan sebuah kemajuan penting dalam PMK 172/2023 yang memberikan kepastian hukum lebih besar bagi Wajib Pajak domestik.

Penguatan kerangka penyesuaian ini, terutama dengan diperjelasnya kewenangan DJP untuk melakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas koreksi transfer pricing, menciptakan skenario risiko baru.

Jika DJP melakukan primary adjustment (koreksi PPh Badan), hal ini dapat memicu secondary adjustment (dianggap dividen, terutang PPh) dan juga penyesuaian PPN Keluaran.

Mengingat penyesuaian PPN ini tidak dapat dikreditkan oleh lawan transaksi, Wajib Pajak secara efektif menghadapi potensi “pajak tiga lapis” (triple taxation) atas satu koreksi ekonomi.

Situasi ini secara drastis meningkatkan taruhan finansial dalam sengketa transfer pricing dan menggarisbawahi pentingnya penyusunan dokumentasi yang sangat kuat dan dapat dipertahankan sejak awal.

Metode Perbandingan Harga antara Pihak Independen (Comparable Uncontrolled Price – CUP)

Metode CUP bekerja dengan membandingkan secara langsung harga yang dikenakan dalam transaksi afiliasi dengan harga yang dikenakan dalam transaksi independen yang sebanding dalam kondisi yang sebanding.

Karena perbandingannya langsung pada tingkat harga, metode ini dianggap sebagai metode yang paling langsung dan paling dapat diandalkan untuk menerapkan ALP, dengan asumsi data pembanding yang berkualitas tinggi dapat ditemukan.

Terdapat dua jenis CUP: Internal CUP, yang membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi yang dilakukan oleh salah satu pihak afiliasi dengan pihak ketiga yang independen; dan External CUP, yang membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi antara dua entitas yang sama sekali tidak terafiliasi.

Dalam praktik,Internal CUP lebih disukai karena data transaksi internal umumnya lebih lengkap, akurat, dan dapat diverifikasi.

Penerapan ideal untuk metode CUP adalah pada transaksi yang melibatkan produk komoditas yang memiliki harga pasar kuotasian (quoted price) yang tersedia untuk umum (misalnya, minyak mentah, bijih besi), transaksi finansial seperti pinjaman antar perusahaan di mana suku bunga pasar dapat dijadikan acuan, atau penjualan produk manufaktur yang identik atau sangat serupa.

Namun, tantangan terbesarnya terletak pada persyaratan kesebandingan yang sangat ketat. Sangat sulit untuk menemukan transaksi independen yang benar-benar sebanding dari segi karakteristik produk, ketentuan kontrak, kondisi ekonomi, dan faktor lainnya.

Sedikit saja perbedaan dapat berdampak material pada harga, dan melakukan penyesuaian yang akurat untuk mengeliminasi dampak perbedaan tersebut seringkali tidak mungkin dilakukan.

Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method – RPM)

Metode RPM menguji kewajaran harga transfer dari perspektif pembeli (distributor).

Pendekatannya dimulai dari “atas ke bawah”:

Pertama, identifikasi harga di mana produk yang dibeli dari pihak afiliasi dijual kembali kepada pihak independen. Kemudian, harga jual kembali ini dikurangi dengan margin laba kotor (gross margin) yang wajar.

Margin ini harus cukup untuk menutupi biaya penjualan, umum, dan administrasi (SG&A) distributor, serta memberikan laba yang sepadan dengan fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung.

Hasil pengurangan ini adalah harga transfer arm’s length yang seharusnya dibayarkan kepada pemasok afiliasi.

Formula sederhananya adalah:

Harga Transfer Wajar = Harga Jual Kembali × (1 – % Margin Laba Kotor Wajar).

Metode ini paling sesuai untuk aktivitas distribusi atau penjualan kembali di mana entitas penjual tidak menambahkan nilai yang signifikan pada produk.

Contohnya termasuk distributor yang hanya melakukan fungsi pemasaran dan penjualan tanpa melakukan perakitan, modifikasi, atau menempelkan merek dagang yang bernilai signifikan pada produk.

Fokus analisis dalam RPM adalah pada kesebandingan fungsi dan risiko yang ditanggung oleh distributor. Persyaratan kesebandingan produk di sini lebih longgar dibandingkan dengan metode CUP; produk tidak harus identik, asalkan fungsi yang dilakukan oleh distributor pembanding serupa.

Tantangan utama dalam penerapan RPM adalah potensi inkonsistensi dalam praktik akuntansi antar perusahaan.

Perbedaan dalam mengklasifikasikan biaya—misalnya, apakah biaya promosi atau garansi dimasukkan ke dalam Harga Pokok Penjualan (HPP) atau Biaya Operasional—dapat secara signifikan mendistorsi perbandingan margin laba kotor dan menghasilkan analisis yang tidak andal.

Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method – CPM)

Berbeda dengan RPM, metode CPM bekerja dari “bawah ke atas”. Metode ini dimulai dengan mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemasok barang atau penyedia jasa dalam transaksi afiliasi. Kemudian, mark-up laba kotor (gross mark-up) yang wajar ditambahkan di atas basis biaya tersebut untuk menghasilkan harga transfer yang wajar.

Formula dasarnya adalah:

Harga Transfer Wajar = Basis Biaya + (Basis Biaya × % Mark-up Wajar).

CPM umumnya digunakan untuk transaksi yang melibatkan produsen kontrak (contract manufacturer) yang beroperasi dengan risiko rendah, penyedia jasa rutin intra-grup (seperti layanan IT, SDM, akuntansi, atau legal), atau penjualan barang setengah jadi antar entitas afiliasi dalam satu rantai produksi. Kunci keberhasilan penerapan metode ini terletak pada dua hal: pertama, definisi basis biaya (cost base) yang konsisten, akurat, dan mencakup semua biaya relevan (baik langsung maupun tidak langsung); dan kedua, penentuan mark-up yang sebanding berdasarkan analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang cermat.

Tantangan yang sering muncul adalah alokasi biaya tidak langsung (overhead) yang bisa menjadi sangat kompleks dan subjektif, terutama jika fasilitas produksi atau tim penyedia jasa melayani beberapa lini produk atau entitas.

Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods)

Metode laba transaksional digunakan sebagai alternatif ketika metode transaksi tradisional tidak dapat diterapkan secara andal.

Hal ini biasanya terjadi karena kurangnya data pembanding yang berkualitas di tingkat harga atau laba kotor, atau karena transaksi terlalu kompleks untuk dianalisis dengan metode tradisional.

Metode ini mengalihkan fokus perbandingan dari harga atau margin kotor ke tingkat profitabilitas bersih.

Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method – TNMM)

NMM adalah metode yang membandingkan tingkat laba bersih operasional yang diperoleh Wajib Pajak dari transaksi afiliasi dengan tingkat laba bersih operasional yang diperoleh dalam transaksi independen yang sebanding.

Laba bersih ini diukur relatif terhadap basis yang sesuai (appropriate base), seperti penjualan, biaya, atau aset, yang menghasilkan sebuah Profit Level Indicator (PLI).

Dalam praktik, TNMM telah menjadi metode yang paling sering digunakan secara global, termasuk di Indonesia.

Popularitasnya didorong oleh fleksibilitasnya; persyaratan kesebandingan produk jauh lebih longgar, dan data keuangan yang diperlukan untuk menghitung PLI (seperti laba operasi dan penjualan) umumnya tersedia untuk umum melalui database komersial.

Metode ini sangat cocok untuk menguji kewajaran laba dari entitas yang menjalankan fungsi rutin dan menanggung risiko terbatas, seperti limited-risk distributor atau toll manufacturer.

Meskipun regulasi formal menyiratkan preferensi pada metode tradisional, kesulitan praktis dalam menemukan data yang andal untuk CUP, RPM, atau CPM seringkali mendorong Wajib Pajak dan konsultan untuk secara rutin beralih ke TNMM.

Ini menjadikan TNMM sebagai “metode default de facto” dalam praktik, bukan karena paling unggul secara teoritis, tetapi karena paling mungkin untuk diterapkan dengan data yang tersedia.

Akibatnya, sengketa transfer pricing di Indonesia seringkali tidak lagi berfokus pada “apakah TNMM adalah metode yang tepat?”, melainkan bergeser ke perdebatan teknis mengenai implementasinya, seperti:

“Apakah data pembanding yang digunakan dalam analisis TNMM sudah benar?”,

“Apakah penggunaan data tahun jamak dapat dibenarkan?”, atau

“Mengapa perusahaan yang merugi dikecualikan dari set pembanding?”.

Kelemahan utama TNMM adalah sifatnya sebagai metode satu sisi (one-sided method). Metode ini hanya menguji profitabilitas satu pihak dalam transaksi (biasanya pihak dengan fungsi yang lebih sederhana, atau tested party), sehingga berpotensi mengabaikan hasil laba yang tidak wajar (bisa sangat tinggi atau sangat rendah) di pihak lawan transaksi.

Selain itu, tingkat laba bersih dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor efisiensi operasional atau kondisi bisnis yang tidak terkait langsung dengan harga transfer.

Metode Pembagian Laba (Profit Split Method – PSM)

Berbeda dengan metode satu sisi, PSM adalah metode dua sisi yang menguji kewajaran transaksi dengan terlebih dahulu mengidentifikasi laba gabungan (combined profit) yang dihasilkan dari transaksi afiliasi yang saling terkait erat.

Laba gabungan ini kemudian dibagi di antara pihak-pihak yang terlibat berdasarkan kontribusi ekonomis relatif mereka yang dapat dipertanggungjawabkan.

PSM adalah metode pilihan untuk situasi yang sangat kompleks di mana:

Pertama, operasi bisnis kedua belah pihak sangat terintegrasi sehingga kontribusi mereka tidak dapat dianalisis secara terpisah; atau

Kedua, kedua belah pihak memberikan kontribusi unik dan bernilai (unique and valuable contributions), seperti kepemilikan bersama atau penggunaan Harta Tak Berwujud (HTB) yang signifikan (misalnya, pengembangan bersama teknologi baru atau merek global).

Penggunaan PSM dapat menjadi sinyal bagi otoritas pajak bahwa transaksi yang diuji memiliki kompleksitas tinggi dan melibatkan penciptaan nilai yang signifikan.

Hal ini secara otomatis dapat meningkatkan tingkat pengawasan.

Oleh karena itu, jika perusahaan memilih untuk menggunakan PSM, mereka harus siap dengan dokumentasi yang sangat mendalam dan justifikasi yang kuat untuk faktor-faktor pembagi laba (profit splitting factors) yang digunakan.

Argumen yang hanya didasarkan pada “negosiasi internal” tidak akan cukup; harus didukung oleh analisis ekonomi yang objektif dan terperinci.

Menyadari pentingnya metode ini untuk transaksi bernilai tinggi, PMK 172/2023 secara khusus menegaskan kembali aturan penerapan PSM agar sejalan dengan pedoman OECD 2022.

Terdapat dua varian utama PSM :

  • Contribution Profit Split: Laba gabungan dibagi secara langsung berdasarkan nilai relatif dari kontribusi (fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung) oleh masing-masing pihak.
  • Residual Profit Split: Ini adalah pendekatan dua langkah. Pertama, setiap pihak dialokasikan laba rutin yang wajar untuk fungsi-fungsi standar yang mereka lakukan (dihitung menggunakan metode lain seperti TNMM atau CPM). Kedua, sisa laba (residual profit), yang diasumsikan berasal dari kontribusi unik dan HTB, dibagi berdasarkan kontribusi relatif masing-masing pihak terhadap penciptaan laba sisa tersebut.

Keunggulan utama PSM adalah kemampuannya untuk menganalisis kedua sisi transaksi secara bersamaan, sehingga menghindari hasil yang tidak logis di mana satu pihak mendapatkan laba sangat tinggi sementara pihak lain menderita kerugian.

Namun, tantangan terbesarnya adalah kompleksitas dan subjektivitas dalam mengukur dan menilai kontribusi masing-masing pihak secara akurat.

Kerangka Kerja Pemilihan Metode Paling Sesuai (The Most Appropriate Method)

Pendekatan dalam memilih metode transfer pricing telah mengalami pergeseran paradigma yang fundamental. Pedoman OECD yang lebih lama, sebelum edisi 2010, secara eksplisit menerapkan hierarki metode yang kaku.

Hierarki ini menempatkan metode transaksi tradisional (dengan CUP di puncak) sebagai pilihan utama, sementara metode laba transaksional dianggap sebagai “metode pilihan terakhir” (last resort).

Namun, pedoman OECD modern dan kerangka regulasi di Indonesia saat ini—yang dimulai sejak PER-32/PJ/2011 dan ditegaskan kembali dalam PMK 172/2023—telah meninggalkan hierarki kaku tersebut.

Sebagai gantinya, diadopsi pendekatan the most appropriate method, atau metode yang paling sesuai dengan fakta dan kondisi transaksi.

Pergeseran ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi Wajib Pajak untuk memilih metode yang paling andal mencerminkan realitas ekonomi dari transaksi mereka.

Namun, fleksibilitas ini datang dengan tanggung jawab yang lebih besar: Wajib Pajak kini memikul beban pembuktian (burden of proof) untuk menganalisis secara komprehensif dan mendokumentasikan dengan kuat mengapa metode yang dipilih adalah yang paling tepat dan andal untuk situasi spesifik mereka.

Meskipun regulasi resmi telah beralih ke pendekatan “paling sesuai”, dalam praktik audit di Indonesia, seringkali masih terasa adanya “hierarki terselubung”.

Pemeriksa pajak mungkin secara naluriah akan menguji kemungkinan penerapan metode yang lebih langsung (seperti CUP atau RPM) terlebih dahulu.

Jika Wajib Pajak menggunakan TNMM, pemeriksa mungkin akan menantangnya dengan argumen bahwa terdapat data CUP yang dapat digunakan, meskipun kualitas data tersebut mungkin dapat diperdebatkan.

Sengketa transfer pricing seringkali berpusat pada perbedaan pandangan fundamental ini.

Implikasinya, Wajib Pajak harus bersikap proaktif dalam Dokumentasi TP mereka. Tidak cukup hanya menjelaskan mengapa metode yang dipilih itu sesuai; mereka juga harus secara preventif dan mendetail menjelaskan mengapa metode-metode lain yang secara teoritis lebih langsung (seperti CUP) tidak sesuai atau tidak dapat diterapkan secara andal dalam kasus mereka.

Faktor-Faktor Kunci dalam Pemilihan Metode

Pemilihan metode yang paling sesuai bukanlah proses yang arbitrer, melainkan sebuah analisis holistik yang harus mempertimbangkan beberapa faktor kunci secara bersamaan, sebagaimana diuraikan dalam pedoman OECD dan PMK 172/2023 :

Pertama, Kekuatan dan Kelemahan Masing-Masing Metode.

Wajib Pajak harus memahami karakteristik inheren dari setiap metode. Pemahaman ini penting untuk menimbang keandalan relatif dari setiap metode dalam konteks transaksi yang diuji.

Kedua, Kesesuaian Metode dengan Sifat Transaksi Afiliasi.

Ini adalah faktor yang paling fundamental. Pemilihan metode harus didasarkan pada hasil analisis fungsional (FAR) yang cermat.

Sifat transaksi secara langsung akan mengarahkan pada metode yang paling relevan.

Sebagai contoh, transaksi distribusi sederhana dengan fungsi dan risiko terbatas secara alami akan mengarah pada penggunaan RPM atau TNMM.

Sebaliknya, sebuah proyek pengembangan bersama Harta Tak Berwujud (HTB) di mana kedua pihak memberikan kontribusi intelektual yang signifikan akan lebih tepat dianalisis menggunakan PSM.

Ketiga, Ketersediaan Data Pembanding Independen yang Andal.

Faktor praktis ini seringkali menjadi penentu utama dalam dunia nyata.

Secara teori, CUP mungkin metode terbaik, tetapi jika tidak ada data harga pembanding yang andal, metode ini tidak dapat digunakan.

Ketersediaan data yang andal seringkali menjadi kendala signifikan, terutama untuk data harga (untuk CUP) atau data margin kotor (untuk RPM/CPM).

Sebaliknya, ketersediaan data keuangan perusahaan publik untuk analisis laba bersih (untuk TNMM) jauh lebih luas melalui database komersial, yang menjelaskan mengapa TNMM menjadi sangat populer dalam praktik.

Keempat, Tingkat Keakuratan Penyesuaian yang Dapat Dilakukan.

Jarang sekali ditemukan data pembanding yang identik secara sempurna dengan transaksi afiliasi.

Oleh karena itu, seringkali diperlukan penyesuaian kesebandingan (comparability adjustments) untuk mengeliminasi dampak dari perbedaan material.

Metode yang dipilih harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Jika perbedaan antara transaksi afiliasi dan data pembanding terlalu besar sehingga penyesuaian yang akurat tidak dapat dilakukan, maka data pembanding atau metode tersebut mungkin tidak sesuai.

Panduan Praktis dalam Mendokumentasikan Justifikasi

Penyusunan Dokumentasi TP yang kuat tidak hanya tentang menyajikan hasil akhir, tetapi juga tentang menceritakan narasi yang logis dan koheren mengenai proses pemilihan metode.

Wajib Pajak harus secara eksplisit mendokumentasikan proses pemikiran mereka.

Hal ini mencakup kewajiban untuk menjelaskan tidak hanya mengapa satu metode dipilih, tetapi juga mengapa metode-metode lainnya dipertimbangkan namun pada akhirnya ditolak.

Sebagai contoh, dalam Dokumentasi TP, Wajib Pajak dapat menyatakan: “Metode CUP dipertimbangkan sebagai metode yang paling langsung. Namun, metode ini ditolak karena produk yang ditransaksikan memiliki spesifikasi teknis dan merek dagang yang unik, dan setelah pencarian yang ekstensif, tidak ditemukan data transaksi independen yang melibatkan produk dengan karakteristik yang cukup sebanding.”

Kunci dari justifikasi yang kuat adalah menghubungkan secara langsung hasil analisis fungsional dengan pilihan metode.

Banyak perusahaan keliru memandang analisis fungsional hanya sebagai bagian deskriptif dari Dokumentasi TP.

Padahal, dalam kerangka “metode paling sesuai”, analisis fungsional adalah input paling kritis yang menentukan output berupa metode yang dipilih.

Kesalahan atau deskripsi yang tidak akurat dalam analisis fungsional—misalnya, mendeskripsikan sebuah entitas sebagai “distributor berisiko rendah” padahal entitas tersebut menanggung risiko inventaris dan piutang yang signifikan—akan meruntuhkan seluruh fondasi justifikasi pemilihan metode.

Titik lemah inilah yang paling sering dieksploitasi oleh auditor pajak untuk menantang analisis Wajib Pajak.

Oleh karena itu, investasi waktu dan sumber daya dalam melakukan analisis fungsional yang mendalam, akurat, dan sesuai dengan realitas operasional adalah strategi mitigasi risiko yang paling efektif.

Lima Faktor Kesebandingan OECD

Agar perbandingan antara transaksi afiliasi dan transaksi independen valid dan andal, keduanya harus “sebanding”.

Pedoman OECD, yang diadopsi dalam regulasi Indonesia, menetapkan lima faktor kesebandingan yang harus dianalisis untuk menilai tingkat kesebandingan :

Pertama, Karakteristik Produk Barang atau Jasa.

Faktor ini mencakup atribut fisik barang (misalnya, ukuran, kualitas), keandalan, ketersediaan, serta sifat dan tingkat layanan yang diberikan. Semakin mirip karakteristiknya, semakin tinggi tingkat kesebandingannya.

Kedua, Analisis Fungsional (Fungsi, Aset, dan Risiko – FAR).

Ini adalah jantung dari setiap analisis transfer pricing.

Analisis ini secara mendalam mengidentifikasi fungsi yang dilakukan (misalnya, riset dan pengembangan, manufaktur, perakitan, pemasaran, distribusi), aset yang digunakan (baik berwujud seperti pabrik dan peralatan, maupun tidak berwujud seperti paten dan merek dagang), dan risiko yang ditanggung (seperti risiko pasar, risiko kredit, risiko inventaris, risiko valuta asing) oleh setiap pihak yang terlibat dalam transaksi.

Entitas yang melakukan fungsi lebih kompleks, menggunakan aset lebih bernilai, dan menanggung risiko lebih besar diharapkan memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi.

Ketiga, Ketentuan Kontraktual:

Analisis ini memeriksa syarat dan ketentuan formal dari transaksi, seperti volume penjualan, jangka waktu kontrak, syarat pembayaran, kebijakan garansi, dan hak serta kewajiban masing-masing pihak.

Penting juga untuk memastikan bahwa perilaku aktual para pihak sesuai dengan ketentuan kontrak.

Keempat, Kondisi Ekonomi.

Faktor ini mempertimbangkan lingkungan ekonomi di mana transaksi terjadi. Ini termasuk lokasi geografis pasar, ukuran pasar, tingkat persaingan, daya beli konsumen, ketersediaan produk atau jasa substitusi, serta peraturan pemerintah yang relevan.

Kelima, Strategi Bisnis

Strategi yang dijalankan oleh perusahaan, seperti strategi penetrasi pasar (yang mungkin melibatkan harga jual lebih rendah untuk sementara waktu) atau strategi inovasi dan pengembangan produk, dapat memengaruhi harga dan profitabilitas secara signifikan dan harus dipertimbangkan dalam analisis.

Untuk memastikan analisis kesebandingan dilakukan secara sistematis, kuat, dan terdokumentasi dengan baik, pedoman OECD menguraikan proses sembilan langkah.

Proses ini, meskipun seringkali tidak linear dan mungkin memerlukan iterasi, menyediakan kerangka kerja yang andal bagi Wajib Pajak dan otoritas pajak.

Proses Sembilan Langkah Analisis Kesebandingan:

  1. Penentuan tahun yang dianalisis. Langkah ini bertujuan menetapkan periode waktu yang relevan untuk pengujian (misalnya, tahun pajak 2026).
  2. Analisis luas keadaan Wajib Pajak. Langkah ini bertujuan memahami industri, pasar, persaingan, dan faktor ekonomi yang memengaruhi bisnis Wajib Pajak.
  3. Pemahaman transaksi afiliasi yang diuji. Melakukan analisis FAR yang mendalam dan mengidentifikasi kelima faktor kesebandingan untuk transaksi afiliasi.
  4. Pencarian dan peninjauan data pembanding internal. Langkah ini bertujuan mengidentifikasi apakah ada transaksi sebanding yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak independen (Internal CUP/Comparable).
  5. Pencarian dan peninjauan data pembanding eksternal. Jika pembanding internal tidak ada, mencari data transaksi atau perusahaan independen dari sumber eksternal (misalnya, database komersial).
  6. Pemilihan metode TP yang paling sesuai. Berdasarkan langkah 1-5, menentukan dan membenarkan metode transfer pricing yang paling andal.
  7. Identifikasi data pembanding potensial. Langkah ketujuh ini bertujuan penyaringan (screening) kuantitatif dan kualitatif pada database untuk mendapatkan daftar pendek perusahaan pembanding.
  8. Melakukan penyesuaian kesebandingan. Jika ada perbedaan material, lakukan penyesuaian yang andal (misalnya, penyesuaian modal kerja) untuk meningkatkan kesebandingan.
  9. Interpretasi data dan penentuan rentang wajar. Menerapkan metode yang dipilih pada data pembanding final untuk menghitung rentang harga atau laba yang wajar.

Dengan aturan yang semakin detail dalam PMK 172/2023, fokus audit DJP kemungkinan besar akan bergeser.

Sebelumnya, sengketa mungkin lebih banyak berpusat pada “apa” metode yang digunakan.

Kini, dengan kerangka yang lebih jelas, sengketa akan semakin berfokus pada “bagaimana” analisis kesebandingan dilakukan.

Pemeriksa akan memeriksa secara rinci proses penyaringan database, justifikasi penolakan calon pembanding, dan validitas perhitungan penyesuaian.

Implikasinya, Dokumentasi TP tidak bisa lagi hanya menyajikan hasil akhir (rentang wajar); ia harus mendokumentasikan seluruh proses pencarian dan analisis dengan sangat transparan, seolah-olah menciptakan “jejak audit” yang dapat diikuti dan diverifikasi oleh pemeriksa.

Analisis Fungsional (Fungsi, Aset, dan Risiko – FAR)

Analisis Fungsional, atau Analisis FAR, merupakan langkah paling fundamental dan krusial dalam analisis kesebandingan.

Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan fungsi-fungsi yang signifikan secara ekonomi, aset-aset yang digunakan atau dikontribusikan, dan risiko-risiko relevan yang ditanggung oleh setiap pihak dalam transaksi afiliasi.

Panduan OECD pasca-BEPS dan penekanannya dalam regulasi terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa Analisis FAR telah berevolusi.

Analisis ini bukan lagi sekadar latihan deskriptif untuk menjabarkan apa yang dilakukan oleh setiap entitas. Sebaliknya, FAR telah menjadi alat analisis utama untuk membenarkan alokasi laba di dalam grup MNE.

Prinsip dasarnya adalah bahwa laba harus dialokasikan kepada entitas yang menjalankan fungsi-fungsi kunci, menggunakan aset-aset bernilai, dan secara aktif mengelola risiko-risiko signifikan yang mendorong penciptaan nilai. Dengan kata lain, remunerasi harus sepadan dengan kontribusi.

Fungsi (Functions):

Mengidentifikasi dan mendokumentasikan secara rinci aktivitas-aktivitas utama yang dilakukan oleh setiap pihak.

Contoh fungsi meliputi: penelitian dan pengembangan (R&D), desain dan rekayasa, manufaktur, perakitan, pembelian dan manajemen material, distribusi dan logistik, pemasaran dan penjualan, layanan purna jual, manajemen strategis, serta fungsi administratif dan keuangan.

Aset (Assets) :

Mengidentifikasi aset-aset yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Aset ini dapat dikategorikan menjadi:

  • Aset Berwujud (Tangible Assets): Seperti pabrik, mesin, peralatan, dan inventaris.
  • Aset Tidak Berwujud (Intangible Assets): Seperti paten, know-how, rahasia dagang, merek dagang, dan daftar pelanggan. Identifikasi siapa yang mengembangkan, meningkatkan, memelihara, melindungi, dan mengeksploitasi (DEMPE) aset tidak berwujud ini sangatlah penting.

Risiko (Risks):

Mengidentifikasi dan menganalisis bagaimana risiko-risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi dialokasikan di antara para pihak.

Contoh risiko meliputi risiko pasar (fluktuasi harga input dan output), risiko persediaan (kerusakan atau keusangan), risiko kredit (piutang tak tertagih), risiko valuta asing, risiko kapasitas produksi, dan risiko R&D.

Analisis ini harus membandingkan alokasi risiko berdasarkan kontrak dengan substansi ekonomi aktual, yaitu pihak mana yang secara faktual memiliki kapasitas untuk mengontrol dan mengelola risiko tersebut.

Pemilihan Pihak yang Diuji (Tested Party)

Dalam penerapan metode penentuan harga transfer berbasis laba (yaitu Resale Price Method, Cost Plus Method, dan Transactional Net Margin Method), analisis kesebandingan sering kali difokuskan pada salah satu pihak dalam transaksi afiliasi.

Pihak yang dipilih untuk diuji tingkat kewajaran labanya ini disebut sebagai tested party.

Aturan umum dalam memilih tested party, sebagaimana diakui secara internasional, adalah memilih pihak yang memiliki analisis fungsional yang paling sederhana dan di mana data pembanding yang paling andal dapat ditemukan.

Biasanya, pihak ini adalah entitas yang tidak memiliki aset tidak berwujud yang unik dan bernilai, tidak menjalankan fungsi yang kompleks, dan tidak menanggung risiko yang signifikan.

Contoh klasik dari tested party adalah distributor rutin yang hanya melakukan fungsi penjualan dan pemasaran dasar, atau produsen kontrak yang beroperasi berdasarkan spesifikasi dari prinsipalnya.

Dengan memilih pihak yang lebih sederhana, proses pencarian perusahaan pembanding yang andal menjadi lebih mudah dan hasil analisis menjadi lebih kuat.

Perubahan signifikan dalam PMK-172 yang akan memengaruhi proses ini adalah penekanan baru pada prioritas geografis dalam pencarian pembanding. Peraturan ini secara eksplisit menyatakan bahwa data pembanding dari yurisdiksi yang sama dengan tested party harus diprioritaskan.

Ini merupakan sebuah pergeseran penting dari praktik sebelumnya di mana banyak perusahaan di Indonesia menggunakan data pembanding dari tingkat regional (misalnya, Asia Pasifik) dengan alasan keterbatasan data lokal.

Aturan baru ini secara efektif meningkatkan beban pembuktian bagi Wajib Pajak.

Mereka kini harus terlebih dahulu melakukan pencarian yang komprehensif dan mendokumentasikan bahwa data pembanding domestik yang memadai dan andal memang tidak tersedia, sebelum dapat memperluas pencarian mereka ke yurisdiksi lain.

Hal ini berpotensi mengubah hasil studi pembanding, mungkin menghasilkan rentang laba yang lebih sempit atau lebih fluktuatif karena didasarkan pada set data yang lebih kecil dan lebih spesifik secara lokal.

Area Sengketa Pemeriksaan Transfer Pricing

DJP menggunakan pendekatan berbasis risiko untuk memilih Wajib Pajak yang akan diaudit transfer pricing-nya.

Terdapat empat red flags yang dapat meningkatkan probabilitas audit secara signifikan:

Pertama, Kinerja Keuangan Anomali.

Kerugian operasional yang dilaporkan secara konsisten selama beberapa tahun, atau penurunan profitabilitas yang drastis tanpa penjelasan bisnis yang kuat, adalah pemicu utama.

Kedua, Transaksi Berisiko Tinggi.

Transaksi dalam jumlah besar dengan afiliasi yang berlokasi di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau tax havens. Selain itu, pembayaran royalti, biaya jasa manajemen intra-grup, dan beban bunga kepada afiliasi juga mendapat pengawasan ketat.

Ketiga, Perubahan Struktural.

Adanya restrukturisasi bisnis, seperti pengalihan fungsi, aset, atau risiko ke entitas afiliasi lain, akan menarik perhatian auditor.

Keempat, Ketidakkonsistenan Dokumentasi.

Inkonsistensi data antara Dokumen TP, SPT Tahunan, laporan keuangan, dan dokumen pendukung lainnya seperti perjanjian kontrak.

Berdasarkan data putusan pengadilan pajak dan praktik di lapangan, area sengketa yang paling umum terjadi dalam audit transfer pricing di Indonesia meliputi:

Pertama, Pemilihan Metode.

Sengketa klasik antara Wajib Pajak yang seringkali menggunakan TNMM karena ketersediaan data, dengan DJP yang seringkali berargumen bahwa metode transaksi tradisional (seperti CUP) seharusnya dapat diterapkan.

Kedua, Analisis Kesebandingan.

Ini adalah area sengketa yang paling dominan. DJP sering menolak data pembanding yang digunakan Wajib Pajak dengan berbagai alasan, seperti perbedaan fungsi yang dianggap material, penggunaan perusahaan pembanding yang merugi, atau penggunaan data multi-tahun yang dianggap tidak dapat dibenarkan.

Ketiga, Substansi Transaksi (Substance over Form).

DJP sering menantang substansi ekonomi dari suatu transaksi, terutama untuk jasa intra-grup dan royalti.

Argumen yang umum adalah bahwa jasa tersebut tidak benar-benar diberikan (benefit test), tidak memberikan manfaat ekonomis bagi penerima, atau merupakan duplikasi dari aktivitas yang sudah dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.

Keempat, Pendekatan Ex-Ante vs. Ex-Post.

Terdapat ketegangan fundamental di mana regulasi mewajibkan Wajib Pajak menyusun Dokumentasi TP berdasarkan informasi yang tersedia saat transaksi dilakukan (ex-ante).

Namun, dalam praktiknya, auditor seringkali menguji kewajaran harga transfer dengan menggunakan data dan informasi yang tersedia pada saat audit dilakukan (ex-post), yang dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Author: Raden Agus Suparman

Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com atau 08888110017 Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.

One thought on “Menentukan Metode Transfer Pricing Yang Tepat”

Comments are closed.

Eksplorasi konten lain dari Konsultan Pajak di Botax Consulting Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca