Tambahan Kekayaan Neto

tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
gambar dari emas24karang.com

 

 

 

 

 

Objek PPh sesuai namanya adalah penghasilan. Secara umum, definisi penghasilan diatur di Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Salah satu kriteria penghasilan adalah menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Secara teori, ini merupakan metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

Hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi, merupakan penghasilan. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan, dimana y sebagai penghasilan, c sebagai konsumsi, dan s sebagai tabungan.

Dalam praktek, menghitung PPh terutang dibatasi oleh tahun pajak. Ketetapan pajak yang diterbitkan oleh kantor pajak hanya bisa per tahun pajak. Satu surat ketetapan pajak tidak mungkin untuk dua tahun pajak atau lebih.

Sedangkan kriteria “menambah kekayaan Wajib Pajak” merupakan sisa yang ditabung menjadi kekayaan. Artinya kumulatif dari kekayaan yang ada per tanggal tertentu. Atau sisa kekayaan yang ada pada akhir tahun tertentu.

Kenapa akhir tahun? Karena daftar kekayaan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ke kantor pajak pada umumnya per 31 Desember dan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

semua penghasilan akan “mengendap” menjadi kekayaan Wajib Pajak



Menghitung tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak dilakukan dengan menjumlahkan total kekayaan, kemudian dikurangi dengan “penghasilan neto” yang sudah dikenai pajak. Sisanya tentu yang belum dikenai pajak.

Penghasilan neto dalam hal ini merupakan penghasilan bruto dalam satu tahun dikurangi biaya hidup dalam tahun tersebut. Biaya hidup disini adalah semua pengeluran baik untuk konsumsi maupun pajak-pajak selain PPh. 

contoh daftar pengeluran versi LHKPN


Karena “menambah kekayaan Wajib Pajak” merupakan restan, sisa, atau saldo atas penghasilan-penghasilan masa lalu, maka objek PPh dari kriteria ini tidak ada tahun pajak. Kan yang dihitung juga restan kekayaan tahun yang diperiksa!

Secara matematis, jika semua penghasilan yang menjadi restan kekayaan sudah dikenai pajak penghasilan tentu saja penghitungan “hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak” hasilnya akan nihil. Walaupun penghitungannya berulang-ulang setiap tahun.

Tetapi, jika penghitungan tersebut hasilnya terdapat “hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak” maka itu merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh.

 



Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com



gold bars
Photo by Michael Steinberg on Pexels.com

Ruko dan Rukan termasuk objek PPh Pasal 22 atau tidak?

contoh iklan jual rumah seharga 100 milyar rupiah di Jakarta Selatan

Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015 mengatur kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, diantaranya “apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Peraturan ini tidak merinci “dan sejenisnya” yang menjadi objek PPh Pasal 22.

Karena itu timbul pertanyaan, apakah rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), kondominium hotel (kondotel) termasuk “dan sejenisnya”?


Untuk menjawab pertanyaan ini saya baca latar belakang peraturan ini. Latar belakang yang saya maksud ada di bagian menimbang. Ini kutipannya:

pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak atas penghasilan yang digunakan untuk konsumsi barang yang tergolong sangat mewah

Dari bagian menimbang itu saya menemukan kata “konsumsi”. Istilah konsumsi saya baca di wiki:

Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung 

Dari pengertian diatas, saya memiliki dua kriteria:

  • memenuhi kebutuhan, dan
  • memenuhi kepuasan.

Kebutuhan untuk barang orang kaya tentu bukan kebutuhan pokok. Barang yang dimaksud tergolong sangat mewah. Jadi, menurut saya kebutuhan dalam hal ini adalah “tempat tinggal” dan kendaraan.

Untuk jenis “tempat tinggal” bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

  • rumah
  • apartemen
  • kondominium

    Sedangkan jenis kendaraan bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

    • pesawat terbang pribadi, 
    • helikopter pribadi,
    • kapal pesiar, 
    • yacht,
    • sedan, 
    • jeep, 
    • sport utility vehicle (suv), 
    • multi purpose vehicle (mpv), 
    • minibus,
    • kendaraan bermotor roda dua dan tiga

    Sedangkan kriteria kedua adalah kriteria kepuasan. Pemuasan pribadi pembeli supaya tempat tinggal dan kendaraan yang dimiliki “sekelas” dengan penghasilannya. Pamer!

    Maksudnya, bahwa tempat tinggal dan kendaraan mereka kelasnya sudah sangat mewah. Nah sangat mewah inilah yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015.

    KESIMPULAN
    Kembali ke pertanyaan, apakah rumah toko dan rumah kantor termasuk objek PPh Pasal 22 yang dimaksud Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015?

    Menurut saya bukan. Alasannya:
    • tujuan pembuatan rumah toko dan rumah kantor adalah untuk usaha sehingga tidak termasuk pengertian “rumah tinggal” walaupun bisa saja dia tinggal di ruko atau rukan.  
    Bagaimana jika rumah atau apartemen digunakan untuk usaha? Misalnya disewakan? Atau rumah yang dijadikan kantor? Atau rumah yang bagian depannya ada toko? Tetap menjadi objek karena pada dasarnya rumah dan apartemen dimaksud untuk tempat tinggal. Hanya saja penggunaannya yang “menyimpang”.


    DEFINISI:
    Ruko (singkatan dari rumah toko) adalah sebutan bagi bangunan-bangunan di Indonesia yang umumnya bertingkat antara dua hingga lima lantai, di mana lantai-lantai bawahnya digunakan sebagai tempat berusaha ataupun semacam kantor sementara lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.

    FUNGI:
    fungsi utama dari kantor dan rumah sangatlah bertolak belakang sehingga Anda harus mengatur dan mendesainnya sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara satu dan lainnya. 

    Rumah, ibaratnya istana. Kehangatan, keakraban, kepedulian, kebersamaan, dan kebutuhan untuk istirahat sangat dominan di rumah. Sedangkan kantor penuh dengan deadline, pusat dari segala produktivitas yang Anda miliki juga merupakan icon dari profesionalisme Anda sebagai pekerja.


    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog





    Tax Collection Cost

    Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merekomendasikan masyarakat agar tidak membayar pajak karena penerimaan pajak banyak dikorupsi oknum pegawai Pajak. ICW membaca rekomendasi ini sebagai tamparan kepada pemerintah. DJP kemudian menjawab bahwa membayar pajak sebagai upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27ayat (3) UUD 1945. Seberapa banyakkah yang dikorupsi?

    Secara umum, dua bisa disebut banyak. Artinya, sedikit itu hanya satu. Berapa banyakkah yang dikorupsi? Persisnya tidak ada yang tahu! Apalagi jika akan menggunakan pendapat Pak Dirjen Pajak sekarang bahwa pihak yang korupsi uang pajak itu ada dua:
    a. pegawai pajak yang bersedia disuap oleh Wajib Pajak;
    b. Wajib Pajak yang tidak membayar pajak.

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah lama melakukan evaluasi administrasi perpajakan di tubuh DJP. Bulan September 2012 KPK telah menerbitkan Kajian Penerapan Kode Etik dalam Reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak kemudian menyambut baik terhadap hasil riset ini. DJP berharap agar masyarakat juga mengetahui bahwa DJP memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi dan pencegahan segala bentuk penyalahgunaan wewenang oleh oknum pegawainya.

    Hal terpenting yang harus diperhatikan oleh masyarakat Wajib Pajak, selain isyu korupsi, adalah tax collection cost. Gampangnya, tax collection cost adalah sejumlah uang yang dihabiskan oleh administrator perpajakan untuk mengumpulkan pajak. Untuk memudahkan membacanya biasanya menggunakan perbandingan. Jadi cost yang digunakan administratior perpajakan dibandingan dengan pajak yang berhasil dikumpulkan.

    Berapa tax collection cost DJP tahun 2012? Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan,
    Anggaran kita hanya 5 triliun, dibandingkan dengan realisasi 880 triliun, artinya cost of collection kita hanya 0,5 %. Di negara lain sampai 3 %,” demikian diungkapkan Dirjen Pajak Fuad Rahmany dalam pengarahan mental pegawai di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi (Sumbarja) hari Rabu, 12 September 2012.

    Artinya, biaya perpajakan oleh DJP cukup murah. 🙂
    Walaupun sebagian masyarakat menganggap bahwa gaji pegawai pajak sudah tinggi. Tetapi justru tax collection cost dari tahun 2009 menurun. Berikut catatannya:

     2009 penerimaan Rp577 triliun, belanjanya Rp5,3 triliiun, sehingga tax collection cost hanya 0,6 persen, di bawah satu persen. 2010 penerimaan Rp661 triliun, belanjanya Rp5,148 triliun turun lagi. Jadi hanya 0,78 persen, bahkan 2013 menjadi 0,55 persen.

    salam

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Reformasi Pengadilan Pajak

    Salah satu agenda yang harus dijalankan adalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Kalimat tersebut saya kutip dari penjelasan UU No. 35 Tahun 1999.
    Di paragrap selanjutnya disebutkan, “pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan.”
    Sayang sekali, agenda reformasi dibidang hukum tadi belum menyentuh pengadilan pajak.

    Pengadilan pajak saat ini masih dibawah kementrian keuangan. Menurut Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 bahwa pembinaan teknis  pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementrian Keuangan.

    Padahal, bentuk reformasi di bidang hukum adalah memindahkan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen (sekarang kementrian) yang bersangkutan menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

    Artinya, saat ini struktur pengadilan pajak belum reformis.

    Bagaimana jika pengadilan pajak dikembalikan kepada semangat reformasi di bidang hukum?

    Serahkan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung.

    Mungkin bisa dimasukkan sebagai pengadilan khusus di peradilan tata usaha negara.

    Selama ini putusan pengadilan pajak dianggap putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.

    Hal ini ditegaskan di Pasal 27 ayat (2) UU KUP. Putusannya memang sudah dimasukkan sebagai peradilan tata usaha negara, tetapi masalah keuangan, administrasi, dan organisasi masih menginduk ke Kementrian Keuangan.

    Ini ibarat kepala ada di Mahkamah Agung tapi leher kebawah berada di Kementrian Keuangan.

    Adakah kemauan Kementrian Keuangan untuk mereformasi pengadilan pajak? Ini pertanyaan sentral.

    Kemauan ini harus berada di tingkat kementrian karena melibatkan dua institusi, yaitu pengadilan pajak dan DJP.

    Proses pengadilan sengketa pajak dimulai dari proses keberatan di DJP. Kemudian banding di pengadilan pajak.

    Saya merasa, jika pihak kementrian sudah mengintruksikan pencabutan “pengadilan semu” sengketa pajak ke peradilan tata usaha negara maka DJP tidak bisa menolak.

    Secara strukturan, DJP harus tunduk pada kebijakan yang dikeluarkan pihak kementrian.

    Walaupun demikian, pemindahan pengadilan semu sengketa pajak ke peradilan tata usaha negara akan lebih baik bagi DJP.

    Sekurang-kurangnya ada tiga keuntungan yang akan diraih DJP jika melepas kewenangan proses keberatan :
    [1.] Memperlihatkan bahwa DJP mau mereformasi diri.
    Fungsi utama DJP sebenarnya sebagai administrator pajak. Menteri Keuangan sudah memutuskan untuk memberikan fungsi kebijakan fiskal 100% ke BKF, sehingga kebijakan perpajakan juga diserahkan ke BKF.

    Fungsi pengadilan semu juga harus dikeluarkan. Fungsi yang tersisa tinggal DJP sebagai administrator penerimaan pajak semata. Wajib Pajak pun tidak akan lagi menuduh DJP terlalu kuat!

    [2.] Memberikan kesetaraan bagi Wajib Pajak.
    Sebenarnya DJP memiliki kewenangan terlalu besar. DJP menetapkan pajak terutang.

    DJP juga memutus sengketa atas pajak terutang, walaupun di tingkat keberatan.

    Pada saat menghitung pajak, pemeriksa berlandaskan “demi penerimaan”. Pada saat memutuskan sengketa, penelaah keberatan juga berlandaskan “demi penerimaan”.

    Akibatnya, Wajib Pajak diperlakukan tidak proporsional karena semua berlandaskan “demi penerimaan”.

    Jika proses keberatan diserahkan pada PTUN, PT TUN dan MA maka Wajib Pajak dan DJP memiliki posisi setara memperjuangkan hak dan kewenangannya. Ada pihak yang independen dan merdeka memutuskan sengketa tersebut.

    [3.] Meningkatkan profesional pemeriksa pajak.
    Pejabat fungsional pemeriksa pajak tentu akan berpikir ulang jika mereka menghitung pajak berdasarkan “kehendaknya semata”.

    Jika proses keberatan dan banding diserahkan pada peradilan tata usaha negara maka pemeriksa tentu akan selalu berpikir, “Bagaimana mempertahankan argumentasi saya di peradilan tata usaha negara?”.

    Kondisi ini akan menghapus arogansi pemeriksa pajak karena sangat rentan ketetapannya dibatalkan oleh PTUN.

    Maksud arogansi pemeriksa pajak adalah penafsiran peraturan secara sepihak! Efeknya tentu menghilangkan citra buruk bagi DJP.

    Wajib Pajak akan merasa setara dengan pemeriksa pada saat pemeriksaan.

    Semoga ada perubahan!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Tax Ratio Indonesia

    Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa tax ratio kita pernah sampai 18,54%. Pemberitaan selama ini, tax ratio Indonesia sekitar 12%.
    Tahun ini pemerintah dan DPR menetapkan tax ratio sebesar 12,5%. Tetapi tax ratio ini tidak termasuk pajak daerah. Jadi kalau dimasukkan pajak daerah berapa?

    Tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB).

    Tax ratio seringkali menjadi ukuran kinerja sektor perpajakan. Hanya saja, menurut saya, seringkali sektor perpajakan yang dimaksud selalu mengacu ke DJP. Hal ini yang harus diluruskan.

    Sebelum lebih lanjut, saya perjelas dulu definisi pajak. Pengertian pajak secara resmi diatur di Pasal 1 angka 1 UU KUP.

    Pajak  adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Sedangkan menurut wikipedia, pajak adalah  iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

    Ada juga ahli ekonomi yang memberi definisi bahwa pajak adalah pendapatan yang berasal dari sektor privat yang dipindahkan ke sektor publik.

    Dari pengertian diatas, saya mengambil pengertian yang sederhana bahwa pajak adalah pendapatan negara.

    Di struktur APBN kita, pendapatan negara terdiri dari tiga : pendapatan perpajakan, pendapatan bukan pajak, dan hibah.

    Untuk yang terakhir, saya setuju bahwa hibah tidak termasuk pajak. Tetapi penerimaan bukan perpajakan yang dimaksud di APBN jika dikembalikan pada pengertian pajak, maka substansinya pajak juga walaupun secara istilah bukan pajak.

    Dengan pemahaman seperti itu (semua pendapatan negara kecuali hibah merupakan pajak) maka tax ratio menurut APBN 2011 sebesar 15,69%. K

    apan tax ratio mencapai 18,54%? Silakan perhatikan tabel dibawah!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Kehadiran WP dalam Closing Conference

    “Closing Conference” adalah istilah lain yang sering dipergunakan dalam pemeriksaan pajak untuk Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
    Penggunaan judul “Closing Conference” semata-mata supaya lebih singkat saja! Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
    Ini definisi resmi menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007.

    Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh pemeriksa pajak.

    Bahkan jika pemeriksaan pajak dilakukan TANPA Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan maka produk dari pemeriksaan tersebut dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP.

    Setidaknya ada dua poin yang harus diperhatikan dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

    Pertama, sesuai dengan definisi bahwa Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.

    Namanya juga “pembahasan”. Jika hanya satu pihak, apa yang harus dibahas? Pada prakteknya, walaupun pemeriksa pajak terdiri minimal 3 orang [dalam satu tim] tetapi mereka tidak ada perpedaan pendapat.

    Terutama jika Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan [SPHP] sudah dikirim ke Wajib Pajak.

    Walaupun ada perbedaan pendapat, maka mereka akan berunding sebelum SPHP terbit dan diterima oleh Wajib Pajak.

    Jadi poin pertama adalah Wajib Pajak disatu pihak dan pemeriksa pajak dipihak lawan. Keduanya tidak sepakat.

    Ketidaksepakatan tersebut kemudian dibahas dalam forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan [closing conference].

    Jika salah satu tidak ada, maka tidak ada forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan! Jadi keberadaan forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan WAJIB ada jika Wajib Pajak tidak setuju atas SPHP! Baik tidak setuju seluruhnya maupun sebagian.

    Kedua, kalimat di Pasal 36 ayat (1) huruf d angka 2 UU KUP, yaitu “pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.”

    Saya tekankan pada kata-kata “dengan Wajib Pajak”! Menurut saya, kata-kata tersebut meWAJIBkan kehadiran Wajib Pajak pada forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

    Tanpa kehadiran Wajib Pajak maka tidak ada closing conference. Tanpa closing conference maka hasil pemeriksaan dapat dibatalkan!

    Walaupun kehadiran Wajib Pajak dalam closing conference begitu penting, tetapi Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 hanya menyebut “hak hadir” bagi Wajib Pajak.

    [1] Pada Pasal 11 ayat (1) 199/PMK.03/2007 menyebutkan, “Pemeriksa Pajak wajib memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.”

    [2] Pada Pasal 13 ayat (1) 199/PMK.03/2007 menyebutkan, “Wajib Pajak berhak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang ditentukan.”

    WAJIB PAJAK TIDAK SETUJU “SPHP”
    Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) 199/PMK.03/2007 bahwa Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.

    Penggunaan kata “wajib” artinya jika tidak dilakukan atau tidak memberikan tanggapan secara tertulis maka Wajib Pajak dianggap setuju atas hasil pemeriksaan [lihat Pasal 21 PER-19/PJ/2008]

    Prakteknya, bisa jadi Wajib Pajak memberikan tanggapan tertulis atas SPHP. Misalkan Wajib Pajak tidak setuju atas SPHP.

    Tetapi pada saat pembahasan, Wajib Pajak tidak hadir.

    Apakah ketidakhadiran Wajib Pajak dalam forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan berarti tidak ada Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan?

    Memang dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 bahwa pemeriksa pajak tetap dapat membuat risalah Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan membuat Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak.

    Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak justru menegaskan bahwa TIDAK ADA Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan!

    Dibahas dengan siapa? Bukankah kehadiran Wajib Pajak merupakan hak? Bisa datang, bisa tidak? Tidak ada konsekuensi hukum seperti WAJIB!

    Sebaliknya, jika tidak ada Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak maka produk hukum hasil pemeriksaan tersebut dapat dibatalkan.

    Proses pembatalan tersebut bisa secara jabatan oleh kantor pajak sendiri atau atas permohonan Wajib Pajak.

    Menurut saya, “celah” ini akan jadi bumerang bagi pemeriksa pajak!

    PENDAPAT
    Seharusnya kehadiran Wajib Pajak dalam closing conference bersifat WAJIB. Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan SPHP.

    Jika tidak memberikan tanggapan maka dianggap setuju. Begitu juga jika Wajib Pajak tidak hadir dalam closing conference maka ketidakhadiran tersebut dianggap persetujuan atas hasil pemeriksaan.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PM atas BKP yang dibebaskan

    Kemarin seorang teman pemeriksa menanyakan masalah pengkreditan pajak masukan [PM] atas ekspor barang kena pajak (BKP) yang dibebaskan. BKP tersebut menurut peraturan dibebaskan dari PPN.
    Menurutnya, sebagian teman-temannya berpendapat bahwa atas PM BKP yang dibebaskan boleh dikreditkan asal penyerahannya ekspor. Tetapi jika penjualannya lokal, maka atas PM BKP tersebut tidak boleh dikreditkan.

    Saya berpendapat bahwa perlakuan tersebut salah. Seharusnya, PM atas BKP yang dibebaskan tidak boleh dikreditkan baik untuk tujuan ekspor maupun penjualan lokal. Jika dibebaskan maka PPN tidak terutang.

    PPN terutang itu tarifnya bisa 10% atau 0%. Jangan terpengaruh pada tarif 0% seolang-olah tidak terutang.

    Selain itu, bahwa jika BKP tersebut dibebaskan maka sebenarnya atas penjualan BKP tersebut masih terdapat PPN. Sedangkan ekspor bertujuan “melucuti” PPN yang terkandung di BKP.

    Kemudian saya cek ke UU PPN. Ternyata di Pasal 16B UU PPN dengan jelas bahwa atas penyerahan BKP yang dibebaskan, tidak boleh ada pengkreditan pajak. Berbeda dengan istilah PPN tidak dipungut.

    PPN yang tidak dipungut masih tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Dengan demikian, PM-nya boleh dikreditkan.

    Berikut kutipan Pasal 16B UU PPN:
    Pasal 16B

    (1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
    a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

    b.penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;

    c.impor Barang Kena Pajak tertentu;

    d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

    e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabeandiatur dengan Peraturan Pemerintah.

    (2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

    (3)Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

    Pasal 16B ayat (3) diatas sengaja saya tebalkan untuk memperlihatkan bahwa atas “penyerahannya dibebaskan”. Penyerahan tersebut tidak dibatasi hanya untuk penyerahan lokal atau dalam negeri saja. Artinya bisa penyerahan lokal atau penyerahan ekspor.

    Demikian pendapat saya

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Jangka Waktu Pemeriksaan

    Apakah jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana administratif atau untuk kepastian hukum? Saya berusaha untuk menjawab dua sisi jangka waktu pemeriksaan.

    UU KUP tidak mengatur berapa lama pemeriksaan harus diselesaikan. Pembatasan 12 bulan hanya khusus digunakan untuk pemeriksaan SPT Lebih Bayar.

    Pasal 17B ayat (1) UU KUP berbunyi :

    Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

    Jadi pembatasan 12 bulan sebenarnya untuk kepastian hukum, apakah permintaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak diterim atau ditolak.

    Kalau SPT Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar tetapi Wajib Pajak tidak meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak, apakah tetap diperiksa?

    Prakteknya, semua SPT Lebih Bayar tetap diperiksa baik meminta pengembalian atau tidak.

    Walaupun UU KUP tidak menyebutkan secara pasti berapa lama jangka waktu pemeriksaan pajak, tetapi dengan jelas mendelegasikan pengaturan jangka waktu pemeriksaan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

    Berikut bunyi Pasal 31 ayat (2) UU KUP berbunyi :

    Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

    Sebagai tindak lanjut dari Pasal 31 UU KUP kemudian terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007.

    Menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 bahwa jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan adalah :
    [1] paling lama 6 bulan untuk pemeriksaan kantor;
    [2] paling lama 8 bulan untuk pemeriksaan lapangan; dan
    [3] paling lama 2 tahun jika terindikasi transfer pricing;

    Kembali ke pertanyaan awal, apakah jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana administratif atau untuk kepastian hukum?

    Sebagian besar (saya kira) fungsional pemeriksa tidak beranggapan bahwa jangka waktu pemeriksaan merupakan bagian dari kepastian hukum.

    Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jangka waktu pemeriksaan yang lewat dari 8 bulan. Apakah pemeriksaan tersebut kemudian menjadi batal?

    Ternyata pada prakteknya tetap saja pemeriksaan berlanjut dan berujung di skp [surat ketetapan pajak].

    Dari pihak Wajib Pajak, jangka waktu 8 bulan bisa jadi terlalu lama. Dia harus menunggu ketidakpastian selama 8 bulan.

    Bahkan sebagian Wajib Pajak sebanarnya ingin mengatakan, “Hey fiskus, kalau kamu tidak bisa membuktikan SPT saya salah dalam jangka waktu 8 bulan, tetapkan saja nihil!”

    Sebaliknya dari sisi pemeriksa pajak, bisa jadi waktu 8 bulan tersebut masih kurang.

    Mungkin si pemeriksa tidak hanya memeriksa satu Wajib Pajak pada waktu bersamaan.

    Ada beberapa Wajib Pajak yang sedang diperiksa sehingga perhatian untuk satu Wajib Pajak tidak setiap hari. Pada akhirnya, jangka waktu 8 bulan pemeriksaan dilewati.

    Apakah penerbitan skp hasil pemeriksaan yang lewat 8 bulan bisa dibatalkan? Menurut Pasal 36 ayat (1) UU KUP hasil pemeriksaan yang bisa dibatalkan hanya dua kondisi, yaitu :
    [1] SPHP tidak disampaikan, atau
    [2] tidak ada pembahasan akhir dengan Wajib Pajak.

    Dengan demikian, hasil pemeriksaan yang lewat 8 bulan tidak bisa dibatalkan karena tidak diatur oleh UU KUP.

    Karena tidak diatur lebih lanjut, maka pemeriksaan yang lewat jangka waktu sebagai mana diatur Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tidak bisa digugat oleh Wajib Pajak.

    Saya lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa pengaturan jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana internal administrasi pemeriksaan.

    Salaam

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Bank Persepsi

    Apakah selama ini anda mengira bahwa kantor pajak adalah tempat menerima setoran pajak? Jika jawaban anda ya, maka anda salah besar!
    Direktorat Jenderal Pajak [DJP] atau kantor pajak dibawahnya sebenarnya merupakan kantor administrasi perpajakan pusat. Kita bedakan pajak pusat versus pajak daerah karena memang ada pajak daerah.
    Pajak pusat untuk mengisi Pendapatan di APBN. Sedangkan pajak daerah untuk mengisi Pendapatan APBD. Walaupun sebagian APBD ada juga yang berasal dari APBN.
    Tempat setoran pajak sebenarnya bank atau pos persepsi. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara.
    Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Pemberian nama “persepsi” menunjukkan bahwa tidak semua kantor bank menerima setoran pajak.
    Begitu juga dengan kantor pos, tidak semua kantor pos menerima setoran pajak.
    Tapi saya kira, sebagian besar kantor bank saat ini bisa menerima setoran pajak.
    Media setoran pajak di bank persepsi dan pos persepsi adalah Surat Setoran Pajak [SSP]. Beginilah format SSP menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 38/PJ/2009 :
    Setelah kita isi, biasanya SSP diisi dikantor masing-masing Wajib Pajak, SSP diserahkan ke teller bank.
    Kemudian komputer bank persepsi akan online dengan komputer Kementrian Keuangan melalui aplikasi yang disebut Modul Penerimaan Negara [MPN].
    Jika terhubung maka MPN akan memberikan Nomor Transaksi Penerimaan Negara [NTPN].
    Selain itu, komputer bank persepsi juga akan memberikan Nomor Transaksi Bank [NTB]. Baik NTPN maupun NTB akan tercetak di SSP, khususnya bagian validasi.
    Instansi pemerintah yang terlibat dalam penerimaan negara ada dua, yaitu DJP sebagai administrasi perpajakan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan [DJPb].
    Semua SSP kemudian direkonsiliasi antara DJP dan DJPb. Jika sudah tercatat di DJPb maka setoran pajak tersebut kemudian disebut penerimaan negara.
    Data penerimaan negara inilah yang sering diumumkan kepada publik setiap akhir tahun apakah target pajak tercapai atau tidak.
    Jadi tidak mungkin DJP mengumumkan adanya penerimaan sekian trilyun rupiah jika belum ada rekonsiliasi dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    SKPN Tambahan?

    KONON kabarnya ada Wajib Pajak yang mengajukan SKB ke salah satu kantor pajak. Salah satu lampiran untuk mendapatkan SKB tersebut, si Wajib Pajak melampirkan Laporan Keuangan yang sudah di audit (audited).

     

    Kebetulan Wajib Pajak tersebut sudah diperiksa dan telah diterbitkan SKPN dengan rugi [misalnya] 100 milyar rupiah.

    Tetapi pada Laporan Keuangan yang telah diaudit ternyata Wajib Pajak tersebut mengalami kerugian HANYA [misalnya] 20 milyar rupiah saja.

    Kemudian kantor pajak tersebut merasa mendapat DATA BARU.

    Berdasarkan data baru [novum] tersebut, kemudian kantor pajak mengusulkan pemeriksaan ulang ke Dirjen Pajak.

    Untuk melakukan pemeriksaan ulang memang harus ada novum dan persetujuan Dirjen Pajak.

    Kemudian timbul pertanyaan :
    [1] Apa produk hasil pemeriksaan ulang?


    [2] Berdasarkan novum, bahwa Wajib Pajak tetap mengalami kerugian walaupun ruginya jauh lebih kecil.

    Ada koreksi positif 80 milyar, tapi Wajib Pajak tetap rugi fiskal. Artinya tidak ada PPh terutang atau PPh kurang bayar.

    Hasil pemeriksaan ulang tetap tidak kurang bayar. Jika demikian, produk hukum harus SKPN. Adakah produk hukum berupa SKP Nihil Tambahan?

    Jawabannya tetap SKPN

     
    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
     

     

    people playing flutes
    Photo by Kamil Kalkan on Pexels.com

    Tax Amnesty dan Korupsi

    Pada waktu pelatihan Fraud Auditing beberapa waktu yang lalu, seorang trainer sempat melontarkan sebuah gagasan.
    Sebenarnya gagasan tersebut merupakan gagasan awal pembentukan KPK. Tetapi dalam perkembangannya, tidak terlaksana.
    Gagasan yang dimaksud adalah pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK adalah korupsi yang dilakukan setelah berdirinya KPK.

    Bagaimana dengan korupsi-korupsi sebelum KPK berdiri? Menurutnya, lupakan saja. Kalau begitu enak pejabat zaman dulu dong? Dengan bergurau dijawab, “Salah siapa terlambat jadi pejabat?”

    Menurut saya, pemerintah bisa membuat titik batas (maksudnya cut off) pemberantasan korupsi. Caranya dengan mengadakan tax amnesty.

    Pengampunan pajak atau tax amnesty bisa tidak sekedar “mengampuni” kewajiban atau sanksi perpajakan.

    Tetapi pengampunan yang lebih luas, yaitu memberikan pengampunan sanksi pidana (salah satunya pidana korupsi).

    Contohnya : Seseorang yang melakukan korupsi dengan memperkaya dirinya sendiri sebesar seratus milyar rupiah.

    Dan pemerintah menyetujui UU Pengampunan Pajak. Kemudian orang tersebut membayar pajak (sekali lagi ini “misal“) 40% atau empat puluh milyar rupiah. Maka orang tersebut akan bebas dari ancaman sanksi pidana korupsi.

    Dengan Pengampunan Pajak tersebut, sekarang kita memiliki cut off. Undang-undang Pengampunan Pajak yang akan dipersiapkan oleh DPR bisa saja mengatur dua hal utama :
    [1]. Periode perolehan penghasilan
    [2]. Jenis-jenis Pengampunan
    Periode perolehan penghasilan tentu sangat penting untuk menentukan penghasilan mana yang masuk program Pengampunan Pajak.
    Artinya, bisa jadi lima tahun atau sepuluh tahun ke belakang sejak berlakukan UU tersebut.
    Jenis-jenis Pengampunan juga perlu diperluas bukan hanya pengampunan sanksi perpajakan seperti sanksi bunga atau denda kenaikan.
    Penghapusan sanksi juga harus berlaku bagi pidana perpajakan dan pidana korupsi atau bahkan pidana umum lainnya.
    Hal ini tentu untuk memberikan “bonus” bagi orang yang mengambil program ini.
    Konon kabarnya, tanpa bonus yang lebih luas, program tax amnesty di beberapa negara terbukti tidak berhasil alias tidak diminati oleh Wajib Pajak.
    Selain itu, di kita juga sebenarnya sudah dilakukan soft tax amnesty berupa kebijakan pra benam (sunset policy).
    Sehingga perlu ada “iming-iming” yang lebih besar bagi Wajib Pajak.
    Jika program tax amnesty ini berhasil maka pemerintah setidaknya memiliki dua keuntungan :
    [1]. Fokus pada pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan;
    [2]. Asset Recovery lebih mudah karena tidak perlu melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses hukum lainnya untuk mengambil asset para koruptor. Kabarnya, selama ini prosentase asset recovery cukup kecil. Prosentase asset recovery bisa dijadikan acuan penentuan tarif tax amnesty.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Pajak & Zakat

    Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pajak dan zakat adalah sama. Tapi saya tidak sependapat karena dua hal. Pertama, zakat itu hubungan Allah subhanahu wa ta’ala dengan mahluk.
    Pada Hari Perhitungan kelak, setiap insan akan mempertanggungjawabkan kewajibannya termasuk kewajiban pembayaran zakat.
    Seorang muslim belum sempurna keislamannya jika belum melaksanakan kewajiban zakat karena zakat salah satu dari lima rukun islam.

    Kedua, penerima zakat sudah ditentukan ada delapan golongan. Saya tidak melihat satu alasan jika uang zakat boleh dibayarkan untuk membayar pertahanan suatu negara atau membiayai penyelenggaraan negara.

    Apalagi jika negara tersebut didirikan bukan untuk menegakkan Islam. Sebagai contoh NKRI tercinta ini, konstitusi kita tidak menyebut penegakkan syariah dan al-qura’an bukan sumber hukum.

    Artinya, zakat tidak bisa menjadi andalan penerimaan APBN.

    Walaupun begitu, saya sebenarnya tidak setuju dengan konstruksi UU PPh sekarang. Sudah dua kali amandemen UU PPh tetapi keduanya hanya menempatkan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto.

    Seharusnya zakat ditempatkan sebagai kredit Pajak Penghasilan.

    Prakteknya, banyak pengusaha pribumi yang awam perpajakan lebih memilih bayar zakat daripada bayar pajak.

    Apalagi jika pengusaha tersebut tidak menyadari kontribusi negara seperti keamanan dan infrastruktur.

    Selamat idul fitri. Mohon maaf lahir batin. Sebelum shalat id, pastikan zakat fitra sudah lunas 😀

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Politik Kebijakan Perpajakan

    Musim kampanye sudah usai. Para calon anggota legislatif hampir semua sudah terpilih (ada beberapa daerah yang pemilu ulang).
    Sedangkan para capres saat ini sedang menikmati puncak tekanan psikologi. Walaupun masing-masing capres selalu mengadakan polling, tetapi tentu saja yang menentukan bukan polling.
    Pemilihan presiden secara langsung adalah penentunya. Karena itu, saat ini pasti mereka sedang deg-deg-an 😀

    Kalau kita perhatikan, kebanyakan kampanye para calon presiden dan calon wakil presiden selalu pada sisi pengeluaran.

    Sebagai contoh, pendidikan gratis sampai SMA, Bantuan Langsung Tunai, bantuan permodalan, pembangunan infrastruktur, peningkatan anggaran “x” sekian persen, dan seterusnya.

    Kalau dilihat dari sisi APBN tentu akan ada penerimaan dan pengeluaran. Nah, sebelum mencanangkan program “peningkatan” pengeluaran anggaran tentu saja seharusnya para calon pemimpin merancang bagaimana meningkatkan penerimaan negara tanpa berhutang.

    Bisa saja untuk menutup kekurangan penerimaan, negara mengeluarkan surat utang. Tetapi bagaimanapun hutang itu ada batasnya.

    Walaupun namanya negara, jika terlalu banyak berhutang baik berhutang kepada rakyatnya (dalam bentuk Surat Utang) maupun berutang kepada lembaga internasional, tentu tidak sehat. Apalagi jika hutangnya kepada negara lain.

    Menurut saya, jika kita meminta hutang kepada negara lain (mungkin disebut G to G) maka secara tidak langsung negara kita menempatkan martabat lebih rendah dari negara donor. Bagaimanapun kreditur kedudukan selalu lebih tinggi daripada debitur.

    Saya khawatir, jika pengeluaran terus digenjot untuk menggolkan janji kampanye, dan untuk menutupi pengeluaran tersebut kemudian pemerintah menggenjot hutang.

    Mungkin pada pemilihan calon presiden tahun 2014, diantara tim sukses calon presiden perlu diajak para pakar kebijakan perpajakan.

    Gunanya tentu saja membuat program peningkatan penerimaan perpajakan secara radikal sehingga terjadi peningkatan anggaran secara radikal pula.

    Tujuannya tentu saja supaya kesejahteraan rakyat bisa dinikmati secara signifikan. Selama ini pergantian pemimpin yang dipilih oleh rakyat, terasa datar-datar saja karena keterbatasan anggaran.

    Banyak pemimpin daerah yang memiliki ide sangat bagus tapi tidak bisa dijalankan karena terbentur anggaran. Dan tidak ada terobosan untuk mengatasi kekurangan tersebut.

    Apa untungnya memiliki program yang revolusioner tapi tidak bisa dijalankan? Sebaliknya jika punya program yang datar-datar saja, kenapa dipilih?

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    SPT Tahunan PPh Pasal 21

    Banyak yang bertanya, baik Wajib Pajak maupun pegawai pajak [termasuk saya] sendiri, apakah tahun pajak 2008 tidak ada SPT Tahunan PPh Pasal 21? Jika ada yang bertanya ke saya pertama-tama saya jawab tidak ada. Karena di UU KUP terbaru memang tidak mengatur tentang SPT Tahunan PPh Pasal 21.

    Kita kutif Pasal 3 ayat (3) UU KUP:

    Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
    a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;

    b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau

    c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

    Huruf a menyebutkan SPT Masa, huruf b menyebutkan SPT Tahunan PPh OP, sedangkan huruf c menyebutkan SPT Tahunan PPh WP Badan. Kalau ada SPT Tahunan PPh Pasal 21 akan timbul pertanyaan, “Kapan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21?” Undang-undang formal tidak mengatur!

    Bagi Wajib Pajak sendiri, SPT Tahunan PPh Pasal 21 bisa dijadikan alat untuk “menggeser” pembayaran pajak. Karena SPT Tahunan PPh Pasal 21 merupakan akumulasi pelaporan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja atau pemberi penghasilan maka fakta dilapangan sering ditemukan Wajib Pajak benar-benar menghitung PPh Pasal 21 saat bikin SPT Tahunan. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 dibuat “daripada tidak bikin”.

    Saya pikir hal itu ‘kesalahan’ yang pantas dimaafkan. Pada waktu pemeriksaan, si pemeriksa pajak jarang memeriksa tanggal berapa objek PPh Pasal 21 dibayarkan dan harus dilaporkan di SPT Masa kapan? Berbeda dengan pembuatan faktur pajak standar dan pelaporan di SPT Masa PPN. Selain karena pengaturan di PPN lebih rinci tentang kapan harus dilaporkan juga berkaitan dengan cut-off omset. Karena itu PPN lebih mendapat perhatian.

    Praktek yang sering saya temukan [juga biasa saya lakukan] untuk menguji kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 adalah equalisasi biaya-biaya dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Jika jumlah objeknya sudah sama, maka tidak ada koreksi objek. Jika ada koreksi objek maka sanksi bunga juga dihitung sejak bulan setelah tahun pajak berakhir [Januari tahun berikutnya]. Bukan sejak bulan setelah biaya tersebut dibayarkan!

    Kembali ke SPT Tahunan PPh Pasal 21 di tahun 2008, ternyata untuk tahun pajak 2008 masih ada. Dengan diterbitkan PER-39/PJ/2008 maka khusus tahun 2008, para majikan bisa “menyelesaikan” kewajiban PPh Pasal 21 dengan SPT Tahunan ini.

    Trik yang sering saya jumpai di lapangan untuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 antara lain :
    [1] Mencantumkan jumlah objek pajak dengan kira-kira saja. Kepada siapa dibayarkan, itu mah urusan nanti. Yang penting jumlah objek pajak mendekati biaya.

    [2] Menggeser penghasilan dari atasan kepada bawahan supaya ada ‘pemerataan’ sehingga terhindar tarif tertinggi.

    [3] Penghitungan dan pembayaran PPh Pasal 21 di SPT Masa mah asal ada saja, karena penghitungan yang benar ada di SPT Tahunan. Toh di SPT Masa tidak ada perincian penghitungan seperti form 1721-A1.

    Tapi perkiraan saya sih PER-39/PJ/2008 ini untuk menjembatani “kebiasaan” membuat SPT Tahunan dengan tidak membuat. Mungkin akan ada peraturan lain yang berkaitan dengan tahun pajak 2009. Sebelum PER-39/PJ/2008 muncul ada surat Direktur .. yang memberitahukan draf SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan kemungkinan pengaturan lebih lanjut tentang SPT Tahunan Pasal 21. Kita tunggu saja.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Jasa perhotelan

    Diantara yang sering dipertanyakan berkaitan dengan objek persewaan bangunan adalah persewaan ruangan oleh hotel kepada pihak lain. Apakah persewaan seperti ini termasuk objek PPh Pasal 4 ayat (2) Final yang mengacu ke Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 atau bukan. Sebelumnya, saya selalu berpatokan bahwa yang dikecualikan dari persewaan ruangan di hotel adalah sewa kamar untuk menginap karena termasuk wilayah Pajak Hotel. Tetapi pendapat itu sekarang dikoreksi karena ternyata ada yang namanya Jasa Perhotelan atau Jasa dibidang perhotelan. Berikut catatannya:

    Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 menyebutkan :

    Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

    Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 sebagai pelaksana dari PP No. 29 Tahun 1996 diatas memperluas pengertian persewaan bangunan dengan “atau pertemuan termasuk bagiannya”, berikut bunyi lengkap Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996:

    Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

    Walaupun Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 ini telah dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 120/KMK.03/2002 tetapi perubahan hanya untuk Pasal 2. Artinya pengertian persewaan tanah dan/atau bangunan tidak berubah.

    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-22/PJ.4/1996 mempertegas pengertian sewa yang dimaksud dengan PP No. 29 Tahun 1996. Berikut bunyi lengkapnya :

    ..atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Dalam Pengertian bagian dari gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk areal baik di dalam gedung maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut.

    Karena itu sangat wajar jika sebelumnya saya berpendapat bahwa sewa ruangan untuk acara [ contoh ] : seminar, training management, dan acara rapat termasuk dalam pengertian sewa bangunan yang harus dipotong PPh Pasal 4 (2) Final sebagaimana dimaksud di PP NO. 29 Tahun 1996. Ruangan bagian hotel yang disewakan ke konsumen untuk acara seminar atau acara rapat [meeting] termasuk “pertemuan”.

    Pendapat itu kemudian berubah setelah ada email yang menanyakan surat Sekretaris Ditjen Pajak tentang pemotongan PPh atas kegiatan di Hotel. Inti surat S-3285/PJ.013/2007 adalah jawaban kenapa Ditjen Pajak tidak memotong PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 untuk acara Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak yang dilakukan di hotel, padahal instansi lain memungut PPh dimaksud untuk acara yang sejenis [diselenggarakan di hotel]. Tentu saja saya tidak memiliki kapasitas “melawan” surat tersebut. Karena itu, sebelum menjawab, saya pelajari pelan-pelan surat yang disertakan di email tersebut. Ternyata, pendapat saya yang pertama salah.

    Inti kesalahan pendapat pertama adalah adanya istilah “jasa perhotelan”. Sebenarnya lebih tepat disebut “Jasa dibidang perhotelan”. Kita urutkan, kenapa harus ada definisi jasa perhotelan. Bermula dari Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984 bahwa jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai didasarkan atas kelompok-kelompok jasa, “ .. jasa di bidang perhotelan; …

    Kemudian berdasarkan kuasa Pasal 4A UU PPN 1984 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :
    Jenis jasa di bidang perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf k meliputi :

    a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
    b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

    Berdasarkan pengertian ini, bahwa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel merupakan Jasa Perhotelan! Artinya, jasa perhotelan memiliki pengertian khusus. Pengertian khusus ini mengalahkan pengertian umum tentang “sewa bangunan”. Kita perhatikan bahwa Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 menyebutkan kata “pertemuan” sebagai bagian dari sewa bangunan. Begitu juga di Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan kata “pertemuan di hotel”. Sama-sama pertemuan!

    Catatan saya bahwa persewaan ruangan selain untuk kegiatan acara atau pertemuan [seperti disewakan untuk kios, untuk kantor, untuk usaha lain] masih tetap merupakan sewa rungan yang mengacu kepada PP No. 29 Tahun 1996 walaupun dilakukan oleh hotel karena tidak sesuai dengan pengertian jasa perhotelan sebagaimana dimaksud di PP No. 144 Tahun 2000.

    Jasa perhotelan merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN [bukan objek PPN]. Selain itu, jasa perhotelah bukan objek PPh Pasal 23 karena tidak disebutkan di PER-70/PJ/2007. Apakah objek PPh Pasal 22? Bukan juga karena objek PPh Pasal 22 merupakan pembelian atau belanja barang.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PPh Pasal 21 Tenaga Ahli

    Bagaimana cara menghitung pph 21 tenaga ahli suatu pekerjaan swakelola antara lembaga PTN dan salah satu dinas pemda. Pekerjaan tersebut dikerjakan selama 2 bulan dengan komposisi tenaga ahli 3 PNS dan 2 Non PNS. Bagaimana ya cara menghitung pph21 dari honor mereka?

    Atas jawabanya sy ucapkan terima kasih.

    tony

    Jawaban saya
    Email dari Pak Tony diatas masuk ke Spam. Saya tidak tahu, kenapa masuk spam padahal dari sesama Gmail. Kebetulan ada teman yang ngirim email tapi tidak masuk ke surat masuk. Setelah diteliti masuk ke spam.

    Sering kali saya langsung menghapus spam tanpa meneliti pengirimnya. Karena itu, mungkin saja beberapa email masuk yang bermaksud menanyakan perpajakan langsung dihapus. Karena itu, jika dalam dua minggu email belum dijawab, tidak ada salahnya mengirim email lagi. Kecuali tanya-nya iseng 🙂

    PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli sebesar 7,5%. Dari mana angka tersebut? Berikut kutipannya.

    Pasal 9 ayat (7) PER-15/PJ/2006

    (7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
    (8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

    Tarif PPh Pasal 21 diatur di Pasal 12. Karena PER-15/PJ/2006 merupakan perubahan dari KEP-545/PJ/2000 dan Pasal 12 tidak dirubah maka ketentuan tarif masih menggunakan KEP-545/PJ/2000. Inilah bunyi lengkapnya.

    Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8)

    Artinya, atas penghasilan tenaga ahli : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dipotong PPh Pasal 21 sebesar 50% x 15% atau tarif efektif 7,5%.

    Sekali lagi, tenaga ahli yang dimaksud di PPh Pasal 21 terbatas hanya pada profesi diatas. Selain itu, berarti masuk ke PPh Pasal 23.

    Salaam.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Proyek dengan Dana Hibah Luar Negeri

    Saya ada baca blog anda menyangkut pajak. Sedikit pertanyaan, kebetulan kantor kami adalah kantor dengan dana hibah yang menurut PP 42 tahun 95 proyek pemerintah yang dibiayai oleh dana hibah UN. Begitu juga dengan SK Menkeu no. 574/KMK.04/2000 kegiatan berbasis hibah adalah bebas pajak.

    Kebetulan saat ini kami akan berlangganan mesin fotocopi yang dikenakan pajak dan kami telah mengirimkan surat pembebasan pajak disertai dokumen-dokumen pendukung (nomor hibah dari menkeu). Perlukah adanya NPWP bagi proyek mengingat kami bukanlah Wajib Pajak?

    Perusahaan persewaan mesin fotocopi itu, dalam hal ini pt astragraphia menanyakan NPWP proyek kami, terus terang kami agak bingung dengan hal tersebut. Bisakah bapak membantu? terimakasih sebelumnya.

    Regards,
    Ailsa Amila

    Wajib Pajak
    Pertama, NPWP adalah identitas menurut kantor administrasi pajak [DJP]. Seharusnya, tanpa identitas [tanpa NPWP], kantor pajak tidak mengenal siapa pun. Berikut adalah pengertian NPWP:

    Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

    Perhatikan kata-kata : sarana dalam administrasi dan pengenal diri.

    Kedua tentang proyek. Berikut adalah pengertian badan menurut UU KUP:

    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

    Perhatikan kata-kata berikut, ” sekumpulan orang .. yang tidak melakukan usaha .. dan bentuk badan lain …” Pendapat saya, proyek termasuk dalam pengertian badan dalam UU KUP.

    Ketiga, proyek di dijalankan oleh orang pribadi. Ada upah untuk orang pribadi tersebut sebagai imbalan [apapun namanya] atas aktivitas tersebut. Jika mengacu ke peraturan perpajakan, setiap orang [proyek juga bisa disebut orang secara hukum] yang memberikan penghasilan kepada orang lain wajib memotong PPh jika melebihi PTKP. Berikut adalah kata-kata yang ada di Pasal 21 ayat (1) UU PPh 1984 :

    Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh :
    a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

    Dalam hal ini pemberi kerja berarti proyek. Proyek memiliki kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    Keempat, pengertian Wajib Pajak :

    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    Berkaitan dengan proyek, Wajib Pajak adalah “badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”

    Kesimpulannya, proyek juga Wajib Pajak. Pengecualian sebagai Wajib Pajak hanya bisa dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 3 huruf c UU PPh 1984.

    Perlukah adanya NPWP bagi proyek mengingat kami bukanlah Wajib Pajak?
    Kalau pendapat saya perlu. Proyek apapun namanya, walaupun bersifat nirlaba, akan lebih diterima oleh kantor pajak jika berNPWP. Jika proyek tersebut bubar, beritahu kantor pajak bahwa proyek tersebut SELESAI sehingga nanti NPWP dihapus.

    Pengecualian Subjek Pajak
    Pasal 3 UU PPh 1984 memberikan pengecualian beberapa “orang” sebagai subjek Pajak, yaitu :

    a. badan perwakilan Negara asing,
    b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik,
    c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
    d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

    Jika proyek ibu termasuk Subjek Pajak yang dikecualikan oleh Menteri Keuangan, disebutkan secara khusus, berarti proyek ibu bukan Wajib Pajak. Di Keputusan Menteri Keuangan No. 574/KMK.04/2000 saya tidak menemukan SSPDA.

    Hibah atau Pinjaman Luar Negeri
    Apakah proyek yang dibiayai oleh APBN dibebaskan dari kewajiban perpajakan? Tidak. Salah satu alasannya adalah asas keadilan. Contoh : PT A mengerjakan bangunan milik pemerintah. PT B mengerjakan bangunan milik non-pemerintah. Masing-masing proyek sama memiliki dan spesifikasi sama. Jika PT A dibebaskan dari kewajiban perpajakan maka tentunya tidak adil “dong” karena penghasilan bersih (setelah Pajak) yang diterima PT A akan lebih besar daripada yang diterima PT B padahal nilai proyeknya sama.

    Secara teori harus adil. Undang-undang perpajakan juga menghendaki demikian. Tetapi, khusus proyek yang dibiayai dengan hibah atau pinjaman Luar Negeri ada perlakuan khusus. Kabar / gosip yang saya tahu sih karena keinginan pemberi hibah dan kreditor. Kasarnya sih begini, “Aku bersedia memberi hibah asal tidak dipotong Pajak.” Karena syaratnya bebas pajak padahal undang-undang perpajakan tidak mengatur, maka pemerintah menanggung semua beban pajak. Walaupun dana proyek sama-sama berasal dari APBN, tetapi ada perbedaan perlakuan perpajakan antara proyek dengan dana hibah atau proyek dengan dana pinjaman Luar Negeri dengan proyek yang dibiayai dari pajak 🙂

    Pajak Pertambahan Nilai sebenarya terutang tetapi tidak dipungut. Pajak Penghasilan sebenarnya terutang tetapi ditanggung oleh Pemerintah. Prakteknya, memang bebas pajak. Tetapi beda pengertian “bebas pajak” dengan “ditanggung oleh Pemerintah”.

    SSPDA
    Ibu Amila bilang, “kantor kami adalah kantor dengan dana hibah”. Walaupun SSPDA merupakan Wajib Pajak dan memiliki NPWP tetapi karena merupakan proyek yang dibiayai oleh hibah atau pinjaman luar negeri maka atas Pajak Penghasilan yang terutang ditanggung oleh Pemerintah, atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, tidak dipungut. Dan, dibebaskan dari Mea Masuk dan Bea Masuk Tambahan.

    Khusus tentang Pajak Penghasilan, tidak semua pemasok proyek PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Saya kutip Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1995 :

    Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah

    Perhatikan kata “utama”. Kata utama maksudnya kontraktor, konsultan, dan pemasok lapisan pertama. Biasanya lapisan pertama adalah pemenang tender atau yang ditunjuk langsung oleh proyek. Sedangkan lapisan kedua ditunjuk oleh lapisan pertama. Pemasok, konsultan, dan kontraktor lapisan kedua kewajiban PPh-nya dikembalikan kepada UU PPh pada umumnya.

    Artinya, tidak semua pemasok yang PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Jika bukan pemasok utama tentu SSPDA wajib memotong PPh Pasal 23 karena PPh yang diterima oleh pemasuk tidak ditanggung oleh Pemerintah.

    Nah, sekarang kita posisikan bahwa semua pemasok [termasuk pemasok mesin fotokopi] adalah pemasok utama proyek. Berarti PPh si pemasok ditanggung oleh Pemerintah. Penghasilan atas sewa yang didapatkan dari proyek, PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Karena perlakuannya “ditanggung oleh Pemerintah” maka tentunya harus ada pemisahan penghasilan. Tidak boleh digabung dengan penghasilan sewa lain. Ini dilihat dari sisi pemasok.

    Apakah proyek memotong PPh Pasal 23 atas sewa tersebut? Pendapat saya, tidak perlu! Karena PPh pemasok ditanggung oleh Pemerintah berarti tidak ada PPh yang wajib dipotong oleh proyek. Jika proyek memotong PPh Pasal 23 atas sewa, maka pemasok akan “kelebihan” PPh. Pertama, PPh yang ditanggung oleh Pemerintah. Kedua, PPh yang dipotong oleh proyek. Jika ini terjadi, maka PPh yang dipotong oleh proyek dapat diminta kembali atau direstitusi.

    Supaya tidak dipotong, apakah pemasok [atau proyek] harus membuat SKB? Terus terang, saya sendiri tidak tahu. Seminggu kemarin, saya cari-cari SOP yang berkaitan dengan PP No. 42 tahun 1995. Hasilnya Nihil. Karena itu, saya berkesimpulan tidak perlu dibuatkan SKB [surat keterangan bebas].

    Keterangan atau dokumen lain yang menunjukkan bahwa proyek tertentu dibiayai oleh hibah atau pinjaman Luar Neger bisa dijadikan rujukan bahwa atas
    [1]. Mea Masuk dan Bea Masuk Tambahan yang terutang, dibebaskan.
    [2]. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, tidak dipungut.
    [3]. Pajak Penghasilan yang terutang ditanggung oleh Pemerintah.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Cicilan Pajak

    Saya mau tanya : apabila dalam perusahaan saya menerima penghasilan lain2 yg telah dikenakan PPH ps 23 atas Jasa Manajemen, Jasa Perantara dan bunga Obligasi, bunga bank dan Komisi yg sudah dikenakan PPN.
    Apakah atas penghasilan tsb turut diperhitungkan sebagai pendapatan dalam menghitung PPH 25 (Badan) atau dikoreksi negatif karena telah dipotong pajak PPh ps 23 ?
    Kalau diperhitungkan sebagai pendapatan kembali (dalam SPT Tahunan – Badan) berarti kena pajaknya 2 kali dong : PPh 23 dan PPh 25 (tarif progresif) ?

    Terima kasih sebelumnya atas waktu dan jawabannya yg akan sangat membantu.

    Salam,
    Augustinus

    Jawaban saya:
    Mohon dibedakan PPh Pasal 25 dengan PPh Badan. PPh Pasal 25 adalah cicilan atas PPh Badan yang disetor setiap bulan berdasarkan pajak terutang tahun lalu. PPh Pasal 25 pada akhir tahun akan menjadi kredit pajak.

    PPh Badan terutang dikurangi kredit pajak akan menjadi kurang atau lebih bayar. Jika kurang bayar, maka kekurangannya disebut PPh Pasal 29 yang harus disetor paling lambat tanggal 25 Maret sebelum SPT disampaikan. Jika lebih bayar, maka SPT akan menunjukkan lebih bayar dan biasa disebut SPT LB. Atas lebih bayar ini bisa direstitusi.
    Ini bunya Pasal 29 UU PPh 1984.

    Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

    PPh Pasal 23 adalah cicilan atas PPh Badan. Sama dengan PPh Pasal 25. Bedanya dengan PPh Pasal 25 adalah rutinitas bayar. PPh Pasal 25 dibayar setiap bulan. Bahkan jika tidak dibayar, petugas KPP bisa menagih ditambah sanksi bunga yang disebut STP. Sedangkan PPh Pasal 23 dibayar / dipotong oleh pihak ketiga ketika kita mendapatkan penghasilan. Pajak dibayar saat mendapatkan penghasilan. Inilah PPh Pasal 23.

    Kredit Pajak terdiri dari : PPh Pasal 21 [dikreditkan oleh karyawan di PPh OP], PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26 [dikreditkan oleh WP OP yang semula WPLN berubah menjadi WPDN].

    Berbeda dengan yang sering disebut PPh Final. PPh “jenis” ini bukan cicilan atas PPh Badan atau PPh OP. Karena itu, dalam pembuatan SPT PPh Badan / OP, penghasilan yang PPh-nya final, pelaporannya dipisahkan. PPh Final “disatukeranjangkan” dengan bukan objek, sehingga tidak terkena PPh Badan / OP. PPh Final biasanya diatur tersendiri dan didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Karena itu, seringkali disebut PPh Pasal 4 (2) Final. Inilah bunya Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984

    Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Perhatikan kata “serta penghasilan tertentu lainnya” Kata-kata ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan jenis-jenis penghasilan mana saja yang dijadikan final seperti bung deposito.

    Final, seperti dalam pertandingan olah raga 🙂 bahwa pertandingan final adalah pertandingan terakhir. Demikian pula di PPh Final. Final maksudnya bahwa kewajiban pembayaran pajaknya selesai pada saat dipotong oleh orang lain. Penerima penghasilan hanya memiliki kewajiban melaporkan penghasilan tersebut di SPT Tahunan. Asal penghasilan brutonya jelas, maka jumlah pajak yang disetor pasti benar karena jelas tarif efektifnya.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Fasilitas Perpajakan Bagi Restrukturisasi Perusahaan

    Salam Kenal Pak Raden.
    Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan mengenai PPh dan PPN berkaitan dengan konsolidasi bank. Apa dasar pengenaan PPh dan PPN bagi bank yang melakukan merger, konsolidasi dan akuisisi? Dalam surat kabar banyak diberitakan mengenai insentif pajak berkenaan dengan hal tersebut, mungkinkah pajak2 tersebut diberikan insentif? Apa dasarnya? Benarkah Dirjen pajak pernah memberikan insentip pajak untuk bank yang melakukan konsolidasi (kalo tidak salah ketika konsolidasi bank mandiri)?
    Mohon penjelasan bapak, atas bantuan dan perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
    iwan ismail

     

    Jawaban saya:
    Terus terang saya agak bingung juga jawabnya. Tetapi saya coba jawab secara umum saja bahwa merger seperti Bank Mandiri dimungkinkan mendapatkan fasilitas bebas PPh dan PPN. PPh yang dibebaskan adalah PPh atas pengalihan tanah dan bangunan sebesar 5% dari total nilai pasar aktiva tanah dan bangunan yang dialihkan. Seharusnya PPh ini dipungut dan dibayar oleh “pembeli aktiva” atau acquiring company.

    Dan, PPN yang dibebaskan adalah PPN Pasal 16D, yaitu PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

    Memang wajarnya, transferor company harus membayar PPN ini sebesar 10% dari nilai pasar aktiva yang diserahkan. Aktiva yang menjadi objek PPN Pasal 16D adalah aktiva yang pada saat perolehannya pajak masukannya dapat dikreditkan.

    Bukan hanya itu, BPHTB pun bisa mendapat pengurangan sebesar 100% alias gratis bayar BPHTB. Semestinya, BPHTB ini wajib dibayar oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan atau aquiring company sebesar 5% dari total nilai pasar atau NJOP tanah dan bangunan setelah dikurangi NPOPTKP.

    Khusus merger Bank Mandiri, pengurangan BPHTB ini diatur secara khusus (Bank Mandiri disebutkan) di Keputusan Menteri Keuangan No. 181/KMK.04/1999, No. 87/KMK.03/2002, 561/KMK.03/2004, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.01/2005, dan No. 91/PMK.03/2006.

    Bagaimana mendapatkan fasilitas tersebut? Mudah saja! Aquiring Company dalam kurun waktu kurang dari 6 (enam) bulan sejak tanggal merger harus mengajukan permohonan persetujuan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat.

    Satu bulan sejak permohonan diterima, Kanwil wajib mengeluarkan persetujuan atau penolakan. Jika permohonan diterima maka dapatlah fasilitas diatas. Jika ditolak maka melayanglah fasilitas diatas.

    Panduan lebih lanjut tentang restrukturisasi perusahaan silakan unduh disini saja. Ada syarat-syarat lebih teknis yang tidak disebutkan diposting ini.

     

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

     

    Sewa Tanah

    Bagaimana kewajiban pajaknya dan kapan harus dibayar ketika kita mendapatkan penghasilan atas sewa tanah yang belum ada kontraknya tp udah ada faktur pjk.

    Jawaban saya:
    Penghasilan atas sewa tanah! Berarti kita sebagai pemilik tanah, kemudian menyewakan kepada orang lain. Atas transaksi ini terutang PPh atas sewa tanah dan atau bangunan sebesar 10%.

    Pasal 3 PP No. 29 tahun 1996 yang dirubah dengan PP No. 5 tahun 2002 menyebutkan :

    Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.

    Kewajiban ini terutang pada saat diterima atau diperoleh, mana yang lebih dulu. Jika pembayaran atas sewa lebih dahulu maka PPh terutang pada saat pembayaran tersebut walaupun formalitasnya dilaksanakan beberapa waktu kemudian. Jika penyewa merupakan pemotong PPh maka atas PPh diatas dipotong oleh pemotong. Tetapi jika bukan pemotong maka kewajiban tersebut dibayar sendiri oleh pemilik bangunan dan atau tanah.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Jasa-jasa Telekomunikasi

    Pada tanggal 19 September 2007 (tanggal surat) Direktur Peraturan Perpajakan menjawab surat yang dilayangkan oleh Sdr Ucu Sulaksana (PT Aplikanusa Lintasarta) yang menanyakan PPh Pasal 23 atas jasa telekomunikasi. Surat dengan nomor S-813/PJ.032/2007 tersebut dapat dijadikan acuan bahwa jasa telekomunikasi bukan objek PPh Pasal 23. Berikut kesimpulan surat(angka 3 surat tersebut) :

    “Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 jasa-jasa telekomunikasi tidak tercantum sebagai jenis jasa yang atas penghasilannnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, oleh karena itu atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) di atas.”

    Bunyi kalimat di butir 2 huruf b angka 3) sebagaiberikut:

    “Pasal 4, besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peratuaran Direktur Jenderal Pajak ini.”

    Perhatikan kalimat sebelum koma berikut, “.. jasa-jasa telekomunikasi tidak tercantum sebagai jenis jasa yang atas penghasilannnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, ..” Kalimat ini merupakan penegasan bahwa jasa-jasa telekomunikasi bukan objek PPh Pasal 23. Kenapa bukan objek PPh Pasal 23? Karena tidak tercantum dalam lampiran PER-70/PJ/2007. Sedangkan lampiran PER-70/PJ/2007 menyebutkan jenis-jenis apa saja yang dikenakan atau merupakan objek PPh Pasal 23.

    Penafsiran Berbeda
    Kalimat terakhir kesimpulan surat tersebut jika tidak dibaca lengkap akan berbeda arti dan bertolak belakang dari maksud surat tersebut. Kalimat yang dimaksud, “atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa”. Jika kalimat ini saja yang dibaca, maka semua sewa adalah objek PPh Pasal 23, dan semua imbalan jasa adalah objek PPh Pasal 23. Semua pembayaran yang mengandung unsur sewa dan imbalan jasa merupakan objek PPh Pasal 23. Seandainya semua imbalan jasa merupakan objek PPh Pasal 23, lantas kenapa Direktur Jenderal Pajak harus repot-repot menyebutkan jasa-jasa mana saja yang merupakan objek PPh Pasal 23?

    Kalimat yang lengkap adalah, “.. atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) di atas.” Kalimat ini bisa diartikan sebagai berikut : atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana diatur di lampiran PER-70/PJ/2007. Atau lebih singkat lagi : tidak dipotong PPh Pasal 23 jika tidak ada sewa atau imbalan jasa seperti yang disebutkan di lampiran PER-70/PJ/2007.

    Positive List vs Negative List
    Banyak yang belum menyadari bahwa PPh Pasal 23 mengandung kaidah positive list, bukan negative list. Positive list maksudnya bahwa hanya jasa-jasa yang telah disebutkan saja yang merupakan objek PPh Pasal 23. Sebaliknya negative list menyebutkan jasa-jasa yang bukan objek PPh Pasal 23. Artinya, jasa-jasa yang tidak disebutkan merupakan objek PPh Pasal 23.

    Apa dasar positive list? Dasarnya adalah Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984, yaitu

    “Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”

    Sedangkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 berbunyi sebagai berikut:

    “c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas :
    1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.”

    Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 jasa-jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 yaitu :
    [1] sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
    [2] imbalan jasa teknik,
    [3] imbalan jasa manajemen,
    [4] imbalan jasa konstruksi,
    [5] imbalan jasa konsultan, dan
    [6] imbalan jasa lain

    Apa itu jasa lain? UU PPh 1984 kemudian memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menyebutkan jenis-jenis jasa apa saja yang merupakan objek PPh Pasal 23. Tidak ada penafsiran lain bahwa Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984 mengharuskan Direktur Jenderal Pajak untuk “menetapkan” jenis-jenis jasa yang merupakan objek PPh Pasal 23. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak adalah menambah jenis jasa-jasa ke enam dan seterusnya. Inilah yang disebut positive list.

    Cag!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Perusahaan Belum Beroperasi

    Pak Raden yth, mohon penjelasannya tentang kewajiban pelaporan pajak bagi perusahaan yg baru berdiri.
    Perusahaan saya berbentuk PT, belum berjalan dan belum ada karyawan. Laporan apa saja yg harus saya sampaikan setiap bulannya? Kemana dan Bagaimana caranya saya menyampaikan laporannya? (Berbentuk ssp?)
    multekutama@yahoo.com

    Jawaban Saya:

    Kewajiban yang harus dilaksanakan setelah memperoleh NPWP oleh Wajib Pajak:
    [a.] Kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh)
    [a.1.] SPT Masa, yaitu pelaporan pelaksanaan withholding tax, yaitu: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 15, dan PPh Pasal 4 ayat (2). Ada dua pendapat tentang pelaporlan withholding tax ini, pertama : ada atau tidak ada objek, wajib membuat SPT. Pendapat kedua, dilaporkan jika ada objek saja. Silakan pilih mana yang lebih nyaman.
    [a.2.] SPT Tahunan, yaitu pelaporan pelaksaan kewajiban perpajakan selama satu tahun penuh, yaitu PPh badan atau PPh Orang Pribadi, dan PPh Pasal 21.

    Khusus untuk perusahaan yang belum berjalan, SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Pasal 21 diisi “NIHIL”, ditandatangani, dan dibuatkan “Surat Penyataan” bahwa perusahaan belum berjalan atau belum beroperasi. Saya pikir, perusahaan yang belum beroperasi tidak memiliki kewajiban menyampaikan SPT Masa.

    [b.] Kewajiban sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM), yaitu SPT Masa PPN.

    Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu. Umumnya satu masa sama dengan satu bulan kalender.

    SPT wajib disampaikan ke KPP terdaftar :
    [1] Untuk SPT Masa, 20 hari setelah akhir masa pajak. Jika masa pajak sama dengan satu bulan kalender, maka SPT Masa disampaikan setiap tanggal 20, bulan berikutnya. Contoh : SPT Masa Januari disampaikan paling lambat tanggal 20 Februari.

    [2] Untuk SPT Tahunan PPh OP, tiga bulan setelah akhir tahun pajak.

    [3] Untuk SPT Tahunan PPh Badan, 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. Tetapi ketentuan ini mulai berlaku untuk tahun pajak 2008 dan selanjutnya. Untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya, masih menggunakan ketentuan lama, yaitu tiga bulan setelah akhir tahun pajak.

    Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Prakteknya, SSP merupakan lampiran SPT jika ada pembayaran.

    [c.] Pembukuan/Pencatatan.

    Syarat-syarat penyelenggaraan pembukuan/pencatatan:
    [a.] Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
    [b.] Sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur keadaan kas dan bank, daftar utang piutang, daftar persediaan barang, dan membuat neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak;
    [c.] Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;
    [d.] Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak harus disimpan selama sepuluh tahun.
    [e.] Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia.
    • Wajib Pajak Orang Pribadi, di tempat kegiatan atau di tempat tinggal
    • Wajib Pajak Badan, di tempat kedudukan

    Pembukuan adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data
    dan informasi tentang:
    • keadaan harta
    • kewajiban atau utang
    • modal
    • Penghasilan dan biaya
    • harga perolehan dan penyerahan barang/jasa yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang tidak terutang, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% dan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Yang ditutup dengan menyusun Laporan Keuangan berupa Neraca dan Perhitungan Laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    NPWP

    Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Ini pengertian resmi yang diberikan oleh undang-undang. Lebih ringkasnya, menurut saya, NPWP adalah identitas Wajib Pajak. NPWP harus dibuat unik, tidak ada yang sama untuk subjek pajak (orang) yang berbeda. Nama boleh sama, dan memang banyak yang sama, tetapi memiliki NPWP yang berbeda-beda.

    Banyak yang mempertanyakan fungsi dan manfaat NPWP. Berikut ini adalah fungsi NPWP, setidaknya dilihat dari sisi administrasi pajak :

    1. Untuk mengetahui identitas Wajib Pajak;
    2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan;
    3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan;
    4. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP;
    5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal: Dokumen Impor (PPUD, PIUD).

    Jika mau diringkas, sebenarnya fungsi dari NPWP ada dua, yaitu : identitas Wajib Pajak dan media pengawasan kewajiban perpajakan. Kecuali nomor 2, nomor 1 sampai dengan nomor 5 diatas lebih dekat ke fungsi identitas. Contoh, kita membuat laporan perpajakan (SPT), maka NPWP akan mempertegas siapa pembuat SPT. Saat kita bayar pajak (SSP), akan jelas siapa pembayar pajak tersebut. Kita bayar PPh Pasal 22 impor dan PPN impor, atas nama siapa pajak tersebut, akan diakui sesuai dengan NPWP yang dicantumkan. Begitu juga ketika kita pergi ke luar negeri dan bayar Fiskal Luar Negeri, maka Fiskal Luar Negeri tersebut hanya dapat dikreditkan oleh orang yang sama NPWP-nya.

    Sedangkan fungsi pengawasan bisa dilihat dua sisi. Sisi pertama, pengawasan dari Wajib Pajak, pembayar pajak. Jika kita telah membayar pajak, maka kita mesti tahu berapa pajak yang telah dibayar ke Kas Negara. Berapa kontribusi kita kepada negara.

    Jika kita karyawan, NPWP ini akan sangat berguna. Dengan memiliki NPWP, kita memiliki kewajiban menyampaikan SPT. Disatu sisi, memang memberatkan, merepotkan bagi Wajib Pajak. Apalagi bagi Wajib Pajak awam terhadap perpajakan. Tetapi, sisi positifnya, Wajib Pajak bisa mengawasi pajak penghasilan (PPh) yang telah dipotong oleh pemberi kerja (majikan). Kita harus meminta bukti potong, berapa PPh yang telah dipotong dalam satu tahun. Kemudian kita, cocokkan kebenarannya.

    Prakteknya, saya sering menemukan laporan SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang dipegang oleh majikan dibuat “RAHASIA”. SPT tersebut hanya dipegang oleh boss dan karyawan (walaupun petugas yang disuruh) dilarang membaca. Naluri pemeriksa langsung mempertanyakan kebenaran besarnya gaji dan potongan PPh yang ada di SPT dan sebenarnya yang diterima oleh karyawan.

    Salah satu trik untuk memperkecil atau menghindari kewajiban memotong PPh Pasal 21 adalah dengan “menyebarkan” penghasilan kepada karyawan kecil. Contohnya: direktur yang memiliki penghasilan Rp.100 juta dipangkas hanya menjadi Rp.40 juta saja. Kemana yang Rp.60 juta? Bisa disebar ke beberapa karyawan, misalnya dibagi rata ke 6 orang karyawan, masing-masing Rp.10 juta. Tetapi, karena karyawan tersebut memiliki penghasilan kecil, misalnya Rp 10 juta saja, maka ketika ditambahkan Rp 10 juta lagi, maka akan terkena tarif kecil. Artinya, trik ini dimaksudkan untuk menghindari tarif tinggi, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong kecil.

    Majikan akan berpikir ulang untuk mengulang praktek seperti diatas jika karyawan meminta bukti potong (form 1721 – A1) untuk mengisi SPT Orang Pribadi karena memiliki NPWP. Bukti potong yang diminta oleh karyawan harus sama dengan yang dilaporkan ke KPP di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Artinya, karyawan dapat mengawasi berapa penghasilan dan PPh Pasal 21 yang dilaporkan ke KPP dan yang benar-benar yang diterima.

    Manfaat NPWP
    Manfaat memiliki NPWP yang sering dirasakan oleh Wajib Pajak adalah syarat kredit bank. Biasanya, jika kita meminjam uang Rp. 50 juta keatas, bank mencantumkan persyaratan NPWP. Nasabah wajib memiliki NPWP jika kreditnya mau cair.

    Bagi negara-negara maju, isu perpajakan sering muncul di perpolitikan, terutama pada saat kampanye. Hal ini karena, “rasa kebanggaan” membayar pajak sudah lama ditumbuhkan. Para pembayar pajak besar sering menuntut beberapa fasilitas lebih dari negara karena kontribusi mereka terhadap pendapatan negara. Dan kontribusi kita hanya bisa dihitung pada saat membuat SPT dan melaporkannya pada kantor pajak.

    Karena banyak pajak yang dipotong melalui fihak lain (withholding tax) maka Wajib Pajak sering tidak menyadari, berapa pajak yang sudah dibayar. Berbeda dengan pajak yang dibayar langsung setiap bulan, PPh Pasal 25, withholding tax sering terlupakan karena tidak terasa berat. Pada saat membuat SPT, semua pajak yang telah dibayar, baik melalui fihak lain (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23) maupun dibayar sendiri (PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29) akan dihitung, dan dijumlahkan sehingga jelas berapa pajak yang sebenarnya telah kita bayar.

    Seharusnya, membayar pajak merupakan kebanggaan warga negara karena merupakan kontribusi kita kepada negara. Undang-undang dengan jelas menyebutkan [Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007], “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini semacam pengakuan resmi dari negara.

    Mungkin jika istilah Wajib Pajak diganti dengan istilah “kontributor keperluan negara” nuansanya akan beda dan akan menumbuhkan rasa kebanggaan!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Komisi Luar Negeri

    Pak Raden, apabila kita menagih komisi kepada WP Luar Negeri Apakah dikenakan PPN dan apakah dipotong PPH Pasal 23

    satri_nursatria@yahoo.com

    Jawaban Saya:
    Komisi dari luar negeri berarti Wajib Pajak Dalam Negeri memberikan jasa kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Perlakuan perpajakan atas penghasilan lintas batas seperti itu pada dasarnya diatur pada dua asas : yaitu asas sumber dan asas domisili.

    Asas sumber, artinya negara pemberi penghasilan, berhak mengenakan / memotong Pajak Penghasilan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku di negara sumber. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka penghasilan yang bersumber dari Wajib Pajak yang terdaftar di Inggris tersebut akan dipotong Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak Luar Negeri jika menurut undang-undang perpajakan di Inggris diharuskan dipotong.

    Kedua, asas domisili, yaitu negara tempat domisili penerima penghasilan akan mengenakan pajak berdasarkan undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan. Jika kita mendapat penghasilan dari Inggris, maka atas penghasilan tersebut harus dilaporkan di SPT Tahunan kita. Darimana pun asal penghasilan tersebut, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri harus dilaporkan. Total penghasilan tersebut kemudian dihitung berapa pajak terutang menurut UU PPh 1984.

    Karena satu objek akan dikenakan pajak di dua negara yang berbeda, maka pasti terjadi perpajakan ganda (double taxation). Untuk menghindari pajak ganda, maka dibuatlah perjanjian perpajakan (tax treaty). Tetapi jika posisi kita sebagai penerima penghasilan (asas domisili) maka kita tidak perlu pusing membaca tax treaty. Kita cukup membaca ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU PPh 1984 dan peraturan dibawahnya.

    Isu yang penting bagi penerima penghasilan hanya berkaitan dengan kredit pajak. Apakah pajak yang sudah dibayar (jika sudah dipotong pajak di luar negeri) dapat dikreditkan? Berapa kredit pajak yang dapat diperhitungkan menurut peraturan perpajakan di Indonesia?

    Karena itu, atas komisi yang diterima dari luar negeri tidak ada PPh Pasal 23 (atau withholding tax lain) yang terutang.

    Apakah dikenakan PPN?
    Permasalahannya adalah : apakah jasa yang kita berikan dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia atau di luar negeri? Jika jasa tersebut dinikmati atau dimanfaatkan di Indonesia maka menjadi objek PPN (prinsip destinasi). Artinya, atas jasa tersebut wajib dipungut PPN oleh pemberi jasa, dalam hal ini Wajib Pajak Dalam Negeri, sebesar 10%. Jika Wajib Pajak Luar Negeri tidak mau dipungut PPN maka kewajiban memungut PPN “tetap” dibebankan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Penjual menanggung pajak karena pembeli tidak mau membayar pajak!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Capital Lease

    Dari beben : knp lessee tidak memotong pph pasal 23 atas leasing

    Jawaban saya :
    Leasing ada dua macam yaitu leasing (sewa guna usaha, SGU) dengan hak opsi dan leasing tanpa hak opsi. Bagi lessee : leasing dengan hak opsi bukan objek PPh Pasal 23 tetapi jika leasing tanpa hak opsi maka objek PPh Pasal 23.

    Kenapa leasing dengan hak opsi bukan objek PPh Pasal 23? Sebenarnya leasing dengan hak opsi merupakan objek PPh Pasal 23 tetapi tidak dipotong. Menurut Pasal 16 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 bahwa lessee “tidak memotong”. Istilahnya, tidak memotong. Bahasa awamnya tidak memotong sama dengan bukan objek, karena bukan objek berarti tidak memotong.

    Saya pikir landasan ketentuan keputusan menteri keuangan tersebut adalah Pasal 23 ayat (4) huruf b UU PPh 1984, yaitu “Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas … sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;” Artinya, semua pembayaran sewa sebenarnya objek PPh Pasal 23 tetapi jika sewa tersebut merupakan sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi maka atas objek tersebut tidak dilakukan atau tidak dipotong.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Buku Kas

    Dari enzu : maaf ya Mas raden supratman, zu mau tanya klo kita mskan pajak ke buku kas apakah saldo akhirnya itu sdh termasuk pajak..?Mksh byk sblm dan sesdahnya.

    Jawaban saya :
    Betul, bahwa pajak yang kita masukkan ke buku kas berarti saldo akhir buku kas tersebut termasuk pajak sepanjang belum dikelaurkan, he .. he .. he … Sebenarnya, di buku kas mencatat uang masuk dan keluar. Tetapi tidak perlu ada pemisahan adanya uang pajak. Saldo kas berarti sejumlah uang yang kita pegang. Harus ada buku lain, seperti buku piutang, hutang, penghasilan, dan biaya.

    Tetapi jika kita menggunakan norma, dan memakai pembukuan basis kas maka tidak perlu buku penghasilan dan biaya. Semua uang masuk masuk dikurangi uang dari hutang maka dianggap total penghasilan. Uang pajak seperti potongan PPh Pasal 21 dan 23 termasuk hutang, yaitu hutang kepada Negara. Sepanjang belum dibayar ke Kas Negara (bank atau kantor Pos) maka tetap jadi hutang. Selain itu, uang masuk yang berasal dari setoran modal juga bukan penghasilan.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PPN Membangun Sendiri

    Dari thio sunaryo : pak saya minta informasi tentang PPN membangun sendiri, apa dan bagaimana hal itu terjadi. salam thio

    Jawaban saya :
    PPN membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN 1984, yaitu, “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.” Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002 bahwa yang dimaksud bangun adalah bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah 200m2 tidak terutang PPN.

    Cara menghitung PPN terutang adalah 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Setiap bulan, pemilik bangunan wajib membayar PPN sebesar 4% dari total pengeluaran pada saat pembangunan. PPN ini harus dibayar langsung ke Kas Negara dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Jika pengguna bangunan bukan pemilik bangunan maka pengguna wajib memperlihatkan bukti setoran PPN membangun sendiri. Jika tidak dapat memperlihatkan bukti setoran, maka pengguna memiliki tanggung jawab renteng.

    Seringkali pemilik bangunan mencampuradukkan dengan jasa konstruksi. Jasa pelaksana konstruksi adalah objek PPh Pasal 23. Artinya, saat kita membangun, kita memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dan tidak membayar PPN membangunan sendiri. Artinya, hemat 2% bukan?

    Harus ditekankan bahwa perbedaan antara membangun sendiri dengan jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan perusahaan kontruksi. Kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka dianggap “membangun sendiri”.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Angka Pengenal Impor

    Dari wahyuning : bagaimana penghitungan API pada PPh Pasal 22

    Jawaban saya :

    Angka Pengenal Importir disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir yang harus dimiliki setiap perusahaan yang melakukan perdagangan impor. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/7/2007 bahwa impor hanya dapat dilakukan oleh oleh perusahaan dagang, perusahaan industri, Kontraktor KKS atau perusahaan penanaman modal yang telah memiliki API, kecuali :
    [a.] impor tidak dilakukan secara terus menerus dan yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau yang tidak dimaksudkan untuk dipindahtangankan; dan

    [b.] barang yang diimpor adalah barang untuk keperluan lainnya yang berupa alat penunjang kelancaran produksi atau alat pembangunan infrastruktur.

    Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 bahwa tariff PPh Pasal 22 sebagai berikut:
    [a.] yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;

    [b.] yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

    [c.] yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

    Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor. Artinya, dasar pengenaan pajak PPh Pasal 22 adalah nilai impor yang dibayar tidak termasuk PPN dan PPnBM, jika ada.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Dari diermien : Pak kalau ada bukti potong pajak dari Luar Negeri apakah berlaku bukti potong tersebut di Indonesia (mis Pemotng dari Ghana)

    Jawaban saya:
    Kredit pajak dari Luar Negeri diatur di Pasal 24 UU PPh 1984. Bunyinya sebagai berikut :
    (1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

    (2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

    (3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :

    a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;

    b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

    c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;

    d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;

    e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

    (4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.

    (5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

    (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

    Keputusan Menteri Keuangan sebagai pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud di Pasal 24 ayat (6) UU PPh 1984 adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Diantaranya diatur bahwa:
    [a] agar kredit pajak luar negeri dapat diakui, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT. Permohonan dimaksud disertai dengan :
    [aa.] Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
    [ab.] Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
    [ac.] Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

    [b] jika kredit pajak dari luar negeri terdiri dari beberapa negara, maka dihitung tiap (masing-masing) negara dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. Contoh penghitungan teknisnya lebih baik lihat langsung ke lampiran Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002.

    [c] jika rugi maka kerugian tidak dapat digabungkan. Jadi yang harus digabungkan hanya penghasilan saja. Selain itu, kelebihan kredit pajak luar negeri tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Wajib Pajak Baru

    Saya awam banget nich soal Pajak, nah pas lagi cari2 info di google ketemu blog anda dan tulisannya tentang PTKP sangat informatif sekali cuma saya masih bingung nih, mudah2an Mas Raden ada waktu untuk menjawab email saya.

    Bermula dari kewajiban di kantor saya supaya semua karyawannya mengumpulkan KTP untuk dibuatkan NPWP dan setelah NPWP jadi kemudian dibagikan ternyata karyawati yang berstatus istri tidak mendapatkan NPWP karena tanggungan Suami dan pihak kantor menyarankan untuk mengurus NPWP sendiri

    Nah saya agak bingung nih karena Suami saya penghasilannya tidak tetap dan biasanya penghasilannya habis untuk operasional saja dan kami punya 4 orang anak. Pekerjaan suami saya di bidang pengobatan alternatif (terapi pijat/akupresur/shiatsu, konsultan spiritual, prediksi tarot,dll) dan saya sendiri sebagai marketing di perusahaan swasta

    Yang jadi pertanyaan : * NPWP dibuat atas nama Suami saya atau saya ? Kalo atas nama suami saya, ketika saya apply NPWP melalui e-reg, apa yang harus diisi : Status Usaha –> tunggal atau orang pribadi tertentu (saya bingung nich bedanya) Jenis usahanya ditulis apa ? Alamat usahanya bagaimana ? karena pindah2 –> kalo ada uang ngontrak, kalo tidak buka di rumah / terima panggilan Terus suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan karena menyangkut lampiran untuk NPWP tsb, apa cukup KTP saja atau plus Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha –> maksudnya apa sih, semacam domisili ? kan bukan perusahaan ?

    Kutipan dari blog Mas Raden: Karena maksud dari PTKP untuk kebutuhan minimum, penghasilan untuk kebutuhan minimum, maka jika WP OP memiliki istri dan tanggungan maka PTKP juga bertambah. Maaf, UU PPh 1984 memandang bahwa pencari rejeki (penghasilan) adalah suami. Sehingga jika seorang istri pekerja dan suaminya pengangguran maka untuk mendapatkan PTKP tanggungan suami, si istri tersebut harus mendapatkan keterangan dari kantor kecamatan! –> Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya ?

    Berikut adalah jumlah PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan neto WP OP yang berstatus kawin, istri punya penghasilan dan penghasilan tersebut digabung dengan penghasilan suami di SPT PPh : 1. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 27,600,000 2. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 28,800,000 3. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 30,000,000 4. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 31,200,000 –> kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?

    Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa ? apa dampaknya ? menyalahi aturankah ? Trus seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya ?
    Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ? harus buat pembukuan ?, seperti apa ?, ada contohnya gak ? laporannya bagaimana? bingung nich walaupun sudah baca informasinya di pajak.go.id
    Nindy

    Jawaban saya :

    Terus terang, saya sendiri belum pernah menggunakan e-registration. Saya dapat NPWP dengan prosedur biasa, mengisi form pendaftaran kemudian diserahkan ke KPP tempat kita akan daftar. Daftarnya juga kolektif, karena ada keharusan pegawai DJP punya NPWP. Jadi yang berkaitan dengan e-registration saya tidak bisa jawab lebih lanjut.

    Berkaitan dengan Status Usaha, Jenis usaha, Alamat usaha, jawab dengan kenyataan atau yang “mendekati”. Misalnya, status usaha dijawab orang pribadi tertentu saja bila tidak ada pilihan. Jenis usaha jika masih bingung isikan aja “lain-lain” atau salah satu yang paling banyak mendapatkan penghasilan. Misalnya ibu lebih banyak penghasilan dari agen marketing, tulis saja itu. Dan, alamat usaha pilih yang sesuai dengan jenis usaha. Jadi alamat usaha bisa alamat kantor tempat ibu bekerja. Atau, jika punya tempat praktek, bisa alamat usaha tempat praktek suami ibu.

    Ingat, data-data yang dimasukkan adalah data yang berlaku pada saat pendaftaran. Jika setelah pendaftaran ternyata usaha dan alamat usaha Wajib Pajak berubah, maka data tersebut harus di up-date ke KPP. Biasanya setiap SPT yang dikirim selalu ada form untuk perubahan data. Nah, saat menyampaikan SPT Tahunan, sekalian up-date data.

    “Suami saya termasuk WP Orang pribadi non usahawan atau WP Orang Pribadi Usahawan?” WP OP non usahawan maksudnya tidak punya usaha sendiri, bukan wirausahawan. Mungkin yang lebih tepat pilihan itu untuk pekerja yang punya majikan atau karyawan. Jadi untuk suami ibu lebih baik WPOP usahawan karena dari pekerjaan suami ibu [selain tidak punyak majikan juga (?)] punya penghasilan.

    Izin Usaha/Keterangan tempat Usaha. Beragam orang mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Karena itu, formulir yang disediakan atau data yang dimintan tentu untuk semua orang. Banyak usaha yang mengharuskan memiliki ijin dari Pemda setempat seperti dari Dinas Perdagangan atau Dinas Perindustrian. Jika pada saat daftar kita sudah punyak ijin, maka isikan nomor ijin dari Pemda tersebut. Jika kita belum punya, jangan dipaksakan dengan mengisi nomor palsu :-).

    “Surat keterangan apa yang harus dibuat / apa nama suratnya?” Mungkin judulnya “Surat Keterangan” yang isinya menerangkan bahwa suami ibu pengangguran atau tidak memiliki penghasilan. Redaksi surat keterangan tersebut tentu tergantung masing-masing penerbit. Bentuknya tidak ada yang baku. Yang penting kan substansi surat tersebut. Kewajiban mengharuskan memiliki surat keterangan ini selalu disebutkan dalam peraturan petunjuk pelaksana pemotongan PPh Pasal 21 seperti KEP-545/PJ./2000.

    “Kalo anak saya 4 berapa jumlah PTKP nya ?” Banyaknya tanggungan yang boleh ditanggung oleh Wajib Pajak paling banyak hanya 3 orang. Selebihnya tidak ditanggung. Ini kebijakan administrator pajak di Indonesia. Artinya, Wajib Pajak yang memiliki anak 12 orang [seperti saudara sepupu istriku :-)] tetap hanya bisa memiliki tanggungan 3 orang saja. Mungkin ini berkaitan dengan program KB [keluarga berencana].

    “Kalo NPWP atas nama saya, apakah bisa?” Berdasarkan UU KUP yang berlaku tahun 2007 dan sebelumnya bahwa NPWP harus atas nama suami. Istri yang memiliki NPWP tersendiri adalah istri yang memiliki perjanjian pisah harta yang dibuktikan dengan akta notaris perjanjian harta. Atau bisa juga dengan keputusan hakim. Tetapi, prakteknya banyak juga yang memiliki NPWP, yaitu NPWP suami dan istri memiliki “NPWP cabang” [kode nomor sama] dengan menambahkan kode “001” setelah kode KPP.

    Di Penjelasan Pasal 2 (1) UU No. 28 tahun 2007, berlaku mulai sejak 1 Januari 2008, disebutkan “Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan menuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.” Artinya, sejak 2008 boleh memiliki NPWP terpisan [nomor-nya beda] dari suami. Tetapi petunjuk lebih lanjut ketentuan ini belum ada.

    “Seandainya usaha suami saya menjadi besar dan ingin membuat klinik alternatif bagaimana dengan NPWP saya?” NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi berlaku seumur hidup. Artinya, bisa berlaku sampai kapan pun dan hanya bisa dirubah datanya, seperti : alamat domisili dan kode KPP terdaftar. Jika ibu tidak memiliki akta pisah harta, lebih baik memiliki NPWP gabungan atas nama suami. Tidak masalah, apakah yang memiliki penghasilan istri atau suami. Toh, pelaporan penghasilannya akan digabung dalam satu SPT. Jika ibu memiliki penghasilan yang sudah dipotong oleh pemberi kerja, maka potongan tersebut akan dikreditkan di SPT suami ibu. Potongan pajak tersebut tidak hilang. Penghasilan yang dilaporkan digabungkan dan pajak-pajak yang sudah dibayar juga digabungkan.

    “Dan hal yang paling penting, kalo sudah punya NPWP musti bagaimana ?” Setiap orang yang memiliki NPWP memiliki kewajiban melaporkan penghasilannya ke KPP terdaftar. Berdasarkan Pasal 3 UU KUP bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT. Sebenarnya, kewajiban ini tidak berlaku hanya untuk mereka yang punya NPWP. Setiap subjek pajak yang mendapatkan penghasilan secara otomatis berarti Wajib Pajak! Kabarnya, kedepan akan ada perbedaan tarif pajak untuk menghitung pajak orang yang punya NPWP dengan yang belum punya NPWP tapi ketahuan punya penghasilan [jika DPR setuju].

    “harus buat pembukuan?” UU KUP membedakan antara pembukuan dan pencatatan. Pencatatan boleh disebut “pembukuan sederhana”. Syarat pencatatan berdasarkan Pasal 28 ayat (9) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) adalah catatan penerimaan kotor. Lebih detilnya: Wajib Pajak harus punya buku penerimaan penghasilan. Setiap memperoleh penghasilan dicatat di buku tersebut. Kemudian setiap bulan dijumlahkan untuk memudahkan penghitungan dalam satu tahun. Setiap tutup tahun, misalnya 31 Desember, dijumlah total penghasilan dalam satu tahun. Catatan ini akan jadi dasar pelaporan SPT.

    Wajib Pajak yang dapat menggunakan pencatatan adalah mereka yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp.1.800.000.000,- (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dan memberitahukan ke KPP terdaftar 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007. Tetapi, jika terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

    Dengan menggunakan catatan maka Wajib Pajak memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan netto. Norma ini adalah persentase tertentu untuk menghitung penghasilan neto sebagai dasar menghitung pajak. Contoh : 32% x Rp.200 juta = Rp.64 juta. 32% adalah besarnya Norma. Rp.200 juta adalah total penghasilan dalam satu tahun. Rp.64 juta adalah penghasilan neto yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dari angka Rp.64 juta ini kemudian dikalikan dengan tarif pajak sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh 1984.
    Ketentuan yang mengatur norma penghitungan penghasilan netto sampai saat ini adalah KEP-536/PJ./2000. Wajib Pajak dapat meminta daftar norma ini ke pejabat AR di masing-masing KPP Pratama. Menurut saya, untuk profesi suami ibu sekarang ini masuk ke nomor urut 161 kode 97000 yaitu Jasa Perorangan dan Rumah Tangga dengan norma untuk wilayah Jakarta 32%.

    Bagaimana menerapkan norma jika usahanya banyak? Pertama, penghasilan harus digabungkan sesuai jenis penghasilan atau jenis pekerjaan. Kemudian, masing-masing jenis pekerjaan tersebut dicari tarif normanya. Mungkin tarifnya berbeda-beda. Masing-masing jenis penghasilan dihitung penghasilan neto, kemudian digabung dan dikalikan tarif pajak.

    Nah, mudah-mudahan sekarang lebih jelas.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

     

    PPN Pasal 16D

    Pada kesempatan ini saya ingin menanyakan hal mengenai PPN atas penyerahan aktiva oleh PKP yg menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yg disebut kan dlm pasal UU PPN & PPN BM 18 TAHUN 2000 pasal 16 D. Kebetulan saya sebagai PKP ingin menjual mobil kepada seorang yg buka PKP, apakah saya harus membuat faktur pajak sederhana…?
    Karena saya tidak mengetahui apakah PPN yg dibayar pada saat perolehan aktiva (mobil) tsb dapat dikreditkan atau tidak, mengingat data nya uda gak ada, uda dibeli 15 tahun yang lalu. Bagaimana supaya amannya…?
    Apakah dibuat faktur pajak sederhana atau tidak ?
    Dan apakah pada saat pelaporan SPT tahunan PPH OP, hasil penjualan harus diperinci…?
    maksudnya dipisahkan hasil dari penjualan brg dagangan dgn penjualan mobil tsb…?
    Mohon pencerahannya…Terimakasih.

    Salam,

    Tji Beng

    Jawaban Saya:
    Pasal 16D UU PPN 1984 berbunyi, “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

    Pasal 16D ini pengenaan PPN atas aktiva yang digunakan oleh perusahaan. Pada umumnya, aktiva yang kita gunakan untuk operasional perusahaan terdapat PPN-nya. Nah, pada saat kita beli, PPN yang telah kita beli tersebut bisa kita kreditkan atau biayakan. Jika dikreditkan disebut pajak masukan. Dikreditkan atau tidak bukan semata-mata karena tidak boleh dikreditkan. Bisa saja, menurut peraturan suatu pajak masukan dapat dikreditkan tetapi tidak kita kreditkan malah kita biayakan saja.

    Walaupun tidak dikreditkan, tetapi karena menurut peraturan perpajakan pajak masukan tersebut boleh atau “dapat” dikreditkan, maka pada saat aktiva tersebut dijual kembali, akan terutang PPN Pasal 16D! Karena itu, saya biasa membacanya seperti ini : “semua penjualan aktiva perusahaan objek PPN kecuali pajak masukannya tidak dapat dikreditkan”.

    Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur di Pasal 9 ayat 8 UU PPN 1984, yaitu :
    Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
    a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
    b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidakmempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
    c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, stationwagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
    d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
    e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
    f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
    g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
    h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
    i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

    Berkaitan dengan pertanyaan diatas, maka jika kendaraan bekas aktiva yang djual berupa sedan, jeep, stationwagon, van, dan kombi maka bisa dipastikan bukan objek PPN karena untuk kendaraan jenis tersebut pada saat perolehannya, pajak masukannya, tidak dapat dikreditkan.

    Jika objek PPN maka WP harus membuat faktur pajak atas penjualan aktiva tersebut. Dasar pengenaan pajaknya sebesar harga jual. Pasal 16D termasuk jenis transaksi penyerahan dalam negeri dengan faktur pajak dan dilaporkan di SPT PPN form 1107A romawi II.

    Penjualan aktiva biasanya merupakan penghasilan lain-lain. Karena itu, pelaporan di SPT Tahunan PPh, penjualan aktiva pasti bukan pos peredaran usaha, karena pos ini untuk kegiatan usaha pokok (kalau di akuntansi sering dimasukkan ke pos sales). Cara pelaporan penjualan aktiva gampang ko : hasil penjualan dilaporkan sebagai penghasilan lain-lain, dan jika masih ada nilai buku, maka nilai buku tersebut disusutkan sekaligus.

    Tapi untuk kendaraan yang sudah 15 tahun seperti pertanyaan diatas, saya yakin nilai bukunya sudah nihil he .. he ..

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Keadilan PPh Final

    Ass, nama saya ris. begini mas saya ingin tahu mengapa Pengenaan PPh final dari beberapa referensi yang saya baca, banyak menimbulkan ketidakadilan, tolong tunjukan dalam contoh perhitungannya apabila memang merugikan wajib pajak.
    selanjutnya mengapa terdapat perbedaan tarif PPh final (misal untuk bunga deposito, jasa konstruksi, undian, dll ), maupun masih dalam satu jenis usaha (mis dalam konsturksi ada yang 4% maupun 2%), apa pertimbangan Dirjen Pajak dalam hal ini. trimakasih sebelumnya.

    Jawaban saya:
    Betul bahwa PPh final itu “mengandung” ketidakadilan. Mari identifikasi ciri-ciri PPh final.
    [1] semua usaha dianggap memiliki laba;
    [2] besaran laba kotor atau marjin laba sudah ditentukan;
    [3] tidak menggunakan tarif progressif.

    Pada kenyataannya tidak semua usaha menghasilkan keuntungan. Pengalaman saya sendiri, beberapa usaha kecil yang saya “rintis” bukan hanya menghasilkan kerugian tetapi ditutup karena tidak sanggup menanggung kerugian.

    Setiap usaha pasti memiliki potensi untung dan sebaliknya memiliki potensi rugi. Nah, PPh final selalu “distel” bahwa usaha pasti menghasilkan laba. Ciri anggapan ini dilihat dari basis pajak PPh final adalah penghasilan bruto.

    Untuk menghasilkan suatu angka tertentu sebagai tarif PPh final, sebenarnya administrator perpajakan (DJP) telah memperhitungkan besaran marjin laba. Besaran ini bisa didapat dari survey, atau langsung mengambil dari database perpajakan, atau bahkan perkiraan para pembuat keputusan saja dengan berpatokan kepada kewajaran usaha.

    Tarif yang dipakai untuk mendapatkan tarif efektif di PPh final adalah tarif tunggal. Bagi sebagian para ahli, tarif tunggal tidak mencerminkan keadilan vertikal. Seharusnya menggunakan tarif progressif seperti : 5%, 10%, 15%, 25%, dan 35% sebagaimana diatur di UU No. 17 tahun 2000 untuk wajib pajak orang pribadi.

    Artinya, wajib pajak “kecil” membayar pajak lebih kecil karena tarifnya juga lebih kecil. Sebaliknya, wajib pajak “besar” akan membayar lebih besar karena tarifnya juga lebih besar. Semakin besar penghasilan, besaran tarif semakin besar pula. Inilah yang dimaksud keadilan vertikal.

    Walaupun demikian, PPh final memiliki keuntungan:
    [1] sederhana;
    [2] sama-sama bayar pajak.

    Banyak wajib pajak tidak mau membayar pajak karena faktor “jlimet”. Mau bayar pajak saja rumitnya minta ampun. Belum lagi peraturannya yang berubah-ubah, padahal sebagian besar wajib pajak tidak selalu memonitor kebijakan perpajakan. Bagaimana mereka tahu cara menghitung pajak? Kalau tidak tahu cara menghitungnya, bagaimana membayar pajak?

    Bagi administrasi perpajakan, keadilan selalu bertolak belakang dengan kesederhanaan. Maksudnya, jika kita mau seadil-adilnya maka peraturan perpajakan harus dibuat kompleks, komprehensif, dan rumit karena harus mengakomodir wajib pajak yang sangat variatif. Sebaliknya, jika dibuat sederhana, pasti banyak fihak yang tidak terakomodasi.

    Walaupun tidak adil, tetapi masih ada sisi keadilan (he.. he .. tidak adil tapi adil). Ada yang disebut keadilan horisontal. Tarif pajak tunggal yang didasarkan pada persentase tertentu akan menghasilkan keadilan horisontal. Wajib pajak membayar pajak secara proporsional.

    Jadi, PPh final hanya memiliki keadilan horisontal tetapi tidak memiliki keadilan vertikal. Karena itu, sebagian orang bilang bahwa PPh final itu second best policy.

    Cag!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Ketentuan Leasing Menurut Pajak

    Saya mau tanya antara pembelian dengan leasing Pesawat udara unsur pajak apa-apa saja yang perlu dibayar/diperhatikan. bagaimana pembayaran pesawat via produsen dengan via bank di luar negeri, apakah ada pajak lagi.

    metra nickson

    Jawaban saya

    Kabarnya, ketentuan leasing menurut pajak adalah produk dari para tax planner. Jika perusahaan kita memiliki penghasilan yang besar sehingga bayar pajaknya juga besar, maka leasing adalah pilihan tepat. Atau, menurut perhitungan teknis kita bisa bayar cicilan leasing, tidak mengganggu pada cash flow lain (cicilan leasing teorinya lebih tinggi daripada cicilan bank), maka leasing juga pilihan tepat karena akan memperkecil pajak penghasilan. Leasing disini maksudnya capital lease.

    Ketentuan tentang leasing diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991. Sampai sekarang, KMK ini belum mengalami perubahan. Untuk lebih jelasnya, saya kutif pasal-pasal yang berkaitan dengan perpajakan.

    Pasal 14Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
    a. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
    b. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;
    c. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;
    d. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
    e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
    f. dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.

    Pasal 15Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
    Pasal 16(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
    a. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;

    b. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
    c. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan ini;
    d. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-usaha.

    (2) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
    Bagi pembeli (lessee), hal yang perlu diingat ada dua macam yaitu : [1] selama belum lunas cicilan, barang leasing milik orang lain karena itu tidak boleh disusutkan, [2] cicilan leasing adalah biaya fiskal sehingga pokok dan bunga langsung dibiayakan pada periode terutang. Inilah kekhasan leasing, yaitu pokok dan bunga langsung dibiayakan pada saat dibayar. Bandingkan dengan pinjaman bank untuk beli aktiva, hanya bunga yang boleh dibiayakan langsung.

    Tetapi untuk operating lease atau hak guna usaha tanpa hak opsi maka perlakuan perpajakannya sama dengan sewa biasa. Penyewa wajib memotong PPN sedangkan pihak yang menyewakan (lessor) wajib memotong PPh Pasal 23 atas sewa.

    Lessor di Luar Negeri
    Peraturan diatas hanya berlaku bagi Wajib Pajak Dalam Negeri atau lessor yang berkedudukan di Dalam Negeri. Jika lessor berkedudukan di Luar Negeri maka berlaku Pasal 26 UU PPh 1984.

    Jika lessor di Luar Negeri tidak menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang dikeluarkan oleh Competent Authority di negara asal maka dikenakan PPh Pasal 26. Tarif yang digunakan adalah 20% dari total bunga yang dibayar. Ketentuan Pasal 26 UU PPh 1984 ini juga berlaku jika yang meminjamkan dana adalah bank yang berkedudukan di Luar Negeri.

    Tetapi jika lessor yang berkedudukan di Luar Negeri dapat menyerahkan SKD maka ketentuan yang berlaku adalah tax treaty antara Indonesia dengan dengan dimana lessor berkedudukan. Negara mana yang mengeluarkan SKD, maka tax treaty itulah yang dipakai.

    Objek pajak yang wajib dipotong oleh Wajib Pajak Dalam Negeri adalah bunga yang dibayarkan. Pada umumnya, tarif yang diberlakukan dalam tax treaty untuk bunga sebesar 10%.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

     

    ORI (Obligasi Negara Ritel)

    Dengan hormat,
    Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, nama saya Melinda Grace Yosefina Sitorus, mahasiswa tingkat akhir Program Studi S1 Ekstensi Administrasi Fiskal.
    Sekarang saya juga bekerja sebagai staf pajak di koperasi Telkomsel.
    Saya melihat blog Bapak saat saya browse mengenai masalah – masalah pajak, seperti faktur gabungan, dll.
    Untuk itu saya memohon kesediaan Bapak untuk memberikan saran & informasi – informasi terkait untuk masalah – masalah mengenai pajak.
    Adapun , saya akan menyusun skripsi, namun mengalami kesulitan untuk menentukan topik yang akan saya buat.
    Menurut Bapak, topik apa yang sebaiknya saya kembangkan, apakah mengenai pajak atas SHU pada koperasi Telkomsel atau ORI?
    Dalam hal ORI, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:
    1. Saat saya membaca beberapa artikel mengenai ORI, dijelaskan bahwa ORI dikenakan tarif progresif. Padahal pada umumnya, atas obligasi dikenakan tarif final sebesar 20%. Apakah alasannya ORI dikenakan tarif progresif?
    2. ORI baru dipasarkan untuk dibeli masyarakat secara bebas, apakah yang menyebabkan negara memutuskan untuk menjual ORI kepada masyarakat? Apakah ada faktor politik yang terkait?
    Maaf, bila saya merepotkan. Terimakasih

    Salam sejahtera,
    Melinda

    Jawaban sayaORI adalah surat utang “baru” di Indonesia. Sekitar enam tahun ke belakang, salah seorang dosen yang kebetulan menjadi ketua “desk” Manajemen Utang Negara (belum diformalkan) masih bercerita tentang Obligasi Negara di negara lain dan Indonesia akan (berencana) menerbitkan obligasi juga. Waktu itu yang lebih populer adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan surat utang BI lainnya. Karena itu, untuk pembuatan skripsi (bahkan tesis) dengan tema ORI, saya pikir akan lebih menarik. Dan ORI adalah “produk” terbaru dari pemerintah RI. Mungkin, bisa jadi, mahasiswa dan dosen sama-sama belajar ORI.

    Kenapa negara harus berutang? Salah satu alasannya karena penerimaan dari pajak tidak cukup. Dilihat dari sisi ilmu moneter (setidaknya dosen moneter yang pertama bilang ke saya) bahwa utang negara adalah penerimaan pajak yang dipercepat. Pada akhirnya, utang tersebut akan dibayar oleh negara dari penerimaan pajak dikemudian hari.

    Tetapi dosen pertama (pengajar obligasi negara) telah menemukan fakta bahwa prakteknya utang dibayar dengan utang. Di negara-negara maju seperti USA dan Jepang, obligasi yang telah jatuh tempo dibayar dengan penerbitan obligasi yang lain. Bahkan dia sedikit bergurau, “Utang negara hanya bisa lunas jika dunia kiamat.”

    PPh FinalPengenaan pajak penghasilan atas penghasilan bunga dari obligasi biasanya diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah (PP). Cantelan atau dasar dari peraturan pemerintah tersebut selalu merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang berbunyi, “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Karena itu disebut pula PPh Pasal 4 (2) dan karena selalu bersifat final maka disebut pula PPh Final atau sering juga digabungkan menyebutnya menjadi PPh Pasal 4 (2) Final.

    Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan Surat Utang Negara (SUN) adalah :
    [1] PP No. 6 tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek. Pasal 1 PP No. 6/2002 menyebutkan bahwa yang dimaksud obligasi adalah obligasi korporasi, dan obligasi pemerintah atau SUN diatas dua belas bulan. Di PP ini hanya ada satu tarif yaitu 20% dan bersifat final!

    [2] PP No. 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah SUN dengan jatuh tempo 12 bulan atau kurang. Di PP ini hanya ada satu tarif, yaitu 20% dari diskonto SPN dan bersifat final.

    Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.08/2007, “Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual.” Karena itu, perbedaan obligasi negara dengan ORI adalah segmentasi pemberi utang. Mungkin bahasa politiknya : ORI adalah bentuk partisipasi warga negara terhadap kekurangan pembiayaan pemerintah he .. he .. he ..

    Karena itu, jika ada artikel yang menyebutkan bahwa ORI dikenakan tarif progresif, tanya saja dasar hukumnya. PP No. 6 tahun 2002 setahu saya belum dirubah. Jadi masih berlaku.

    Kenapa Pilih ORI?
    Kabarnya ORI adalah utang negara yang paling “aman” dilihat dari sisi pemerintah. Masih ingat bagaimana “berkuasanya” IMF pada masa krisis moneter. Sampai-sampai foto penandatanganan LOI antara RI – IMF di Cendana itu jadi perdebatan di media. Kesannya, RI jadi budak IMF, wah gawat. .

    Begitu juga dengan utang luar negeri lainnya yang dapatnya dari pemerintah. Mungkin istilahnya G to G, pemerintah RI meminta utang dari pemerintah negara lain. Ini akan beresiko bagi kesetaraan antar dua negara. Bagaimanapun antara kreditur dan debitur tidak setara. Kreditur biasanya lebih tinggi, lebih berkuasa. Ini karena faktur uang. Kreditur tidak mau uang yang dipinjamkan ke orang lain akan lenyap begitu saja.

    Itulah sebabnya, ORI lebih aman. Karena krediturnya sangat banyak, dipecah-pecah dan warga negaranya sendiri, maka penerbitan ORI tidak ada resiko seperti pemerintah meminta dana dari IMF. Dan memang kondisi masyarakat juga memungkinkan untuk membli ORI.

    Dilihat dari sisi kreditur, ORI lebih aman daripada deposito atau simpanan di bank lainnya. Bank bisa saja bangkrut dan bubar tetapi pemerintah sangat sulit untuk bubar. Dalam keadaan mendesak, pemerintah tinggal mencetak uang untuk membayar ORI yang jatuh tempo, sedangkan bank yang bangkrut? Karena itu, ORI lebih aman atau lebih kecil resiko wan prestasi.

    Selain itu, ORI bisa jadi benchmark atau ukuran suku bunga bagi obligasi perusahaan. Perusahaan terbuka sekarang dapat menerbitkan obligasi dengan bunga sekitar ORI. Sama-sama obligasi. Dahulu, perusahaan yang akan mengeluarkan obligasi mungkin berpatokan pada bunga bank. Padahal pinjaman bank sebenarnya untuk jangka pendek, karena itu bunganya pantas lebih tinggi, walaupun prakteknya dana dari bank juga sering untuk pinjaman jangka panjang.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Pengusaha Kecil

    Saya meneruskan usaha orang tua yang bergerak dibidang home industry. Pada pertengahan tahun lalu saya buat PT karena untuk visi kedepannya. Karena tidak mengerti kaitan PT dengan pajak-pajaknya. Awalnya saya membayar konsultan lepas ternyata mengecewakan dia buat double book yang terakhir saya ketahui double book tersebut “aneh” – ada pos-pos pada laporannya tidak nyambung. Saya aja bukan orang pajak aneh apalagi pada saat diperiksa oleh orang pajak pasti saya kena. Yang saya ingin tanyakan:

    1. Apakah mungkin menarik laporan yang salah di kantor pajak?
    2. Karena saya penghasilan dibawah 50 jt / bulan apakah saya wajib bayar PPN ? sedangkan saya jualannya ke pasar tradisional tanpa ada pajak masukan dari mereka
    3. Apakah mungkin saya mengajukan permohonan pembatalan PKP? dan nantinya hanya menjalankan kewajiban PPH 21 & 25? apakah ada contoh suratnya??

    Terima kasih sebelumnya,

    Susanti

    JAWABAN SAYA[1] Apakah mungkin menarik laporan yang salah di kantor Pajak?
    Ibu tidak perlu menarik laporan (istilah pajak sebenarnya surat pemberitahuan dan disingkat SPT). Jika memang SPT dianggap tidak benar oleh Wajib Pajak sendiri, silakan mengajukan SPT Pembetulan.

    Ketentuan tentang SPT Pembetulan diatur dalam Pasal 8 UU KUP. Di UU No. 16 tahun 2000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2007, kesempatan untuk membetulkan SPT dengan kemauan sendiri (ini istilah UU) hanya diberikan selama dua tahun sejak berakhirnya masa pajak atau tahun pajak.

    Artinya, SPT tahun pajak 2005, dan tahun pajak 2006 masih bisa dibetulkan oleh Wajib Pajak sendiri. Tetapi, jika tahun pajak 2004 dan sebelumnya, sekarang sudah terlambat.

    Ketentuan dua tahun juga masih ada syaratnya, yaitu selama belum dilakukan pemeriksaan. Jika memang telah dilakukan pemeriksaan, yaitu sejak tanggal diserahkannya SP3 (surat perintah pemeriksaan pajak) maka tidak perlu ada SPT Pembetulan. Bukankan hasil dari pemeriksaan tersebut keluarnya skp? Dan, substansinya skp itu “SPT” versi fiskus.

    Tetapi di UU No. 28 tahun 2007 yang berlaku sejak 1 Januari 2008, batas pembetulan sendiri itu dua tahun sebelum daluarsa penetapan. Kapan daluarsa penetapan? Lima tahun setelah saat terutang pajak atau berakhirnya masa pajak.

    Artinya, kesempatan pembetulan SPT hanya bergeser satu tahun saja, dari dua tahun menjadi tiga tahun. Contoh SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2008 hanya boleh dibetulkan oleh Wajib Pajak sampai dengan tahun 2011. Setelah itu, tidak bisa lagi.

    [2] Apakah saya wajib bayar PPN?Sayang ibu tidak menyebutkan secara spesifik jenis produk yang diproduksi. Karena disebut sebagai home industry maka saya anggap barang tersebut adalah barang kena pajak (BKP).

    BKP itu adalah semua barang baik berwujud maupun tidak berwujud “kecuali yang dikecualikan”. Jadi, barang yang bukan objek PPN itu secara spesifik ditentukan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP).

    Tidak ada batasan penjualan, apakah suatu penjualan dikenakan PPN atau tidak. Artinya, penjualan Rp.1000 dan penjualan Rp.1.000.000.000 sama saja dikenakan PPN jika memang menurut UU PPN wajib dikenakan PPN. Hanya saja, administrasi PPN kita mengenal klasifikasi “pengusaha kecil”.

    Apa itu pengusaha kecil? “Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

    Pasal 1 KMK No. 571/KMK.03/2003. Perhatikan kata-kata “dan atau”, itu artinya bisa BKP saja, atau jasa kena pajak (JKP) saja, atau BKP dan JKP kumulatif (gabungan) sebesar Rp.600.000.000,00.

    Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 menyebutkan “Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.” Catatan: KMK No. 571/2003 adalah perubahan KMK No. 522/2000 tetapi yang dirubah hanya Pasal 1 dan Pasal 4.

    Tetapi jika ibu sudah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) maka ketentuan di Pasal 2 diatas tidak berlaku.

    Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak.” Ketentuan ini bisa dibaca : siapapun yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maka wajib memungut PPN.

    [3] Apakah mungkin saya mengajukan permohonan pembatalan PKP?
    Bisa bu karena omset ibu dalam setahun kurang dari Rp.600.000.000,00.. Silakan meminta permohonan pencabutan PKP ke KPP secepatnya, selambat-lambatnya satu bulan sejak berakhirnya tahun buku. Secepat-cepatnya ya sekarang, Okotber 2007 dan selambat-lambatnya akhir Januari 2008. Hal ini berdasarkan Pasal 5.

    Keputusan diterima atau ditolak permohonan ibu itu paling lambat dua bulan sejak surat permohonan diterima (buktinya yang warna kuning itu bu) oleh KPP. Jika sudah dua bulan belum juga ada keputusan, maka permohonan ibu dianggap diterima.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PEMBUKUAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA dan MATA UANG ASING

    saya mau tanya tentang syarat san tata cara pembukuan sengan mata uang asing,berdasar kep men keu terbaru,thank you” [shoutbox]

    Ketika membaca permintaan diatas, sepintas saya heran. Pertama, karena penanya tahu ada keputusan menteri keuangan yang baru (tahun 2007, sebenarnya yang baru bukan keputusan tapi peraturan menteri keuangan) tentang tata cara pembukuan dengan mata uang asing. Artinya, dia punya peraturan menteri keuangan tersebut atau setidaknya pernah baca. Kedua, di PMK (peraturan menteri keuangan) tersebut sangat jelas dan detil tentang syarat-syarat untuk menggunakan pembukuan bahasa asing, terutama di Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2007

    Walaupun demikian, permintaan pembaca blog merupakan perhatian dari pembaca blog itu sendiri. Artinya, suatu saat akan kembali lagi nengok blog saya untuk mencari jawaban. Mudah-mudahan. Karena itu, saya berusaha untuk memenuhi permintaan tersebut.

    BAHASA ASING

    Ngomong-ngomong masalah bahasa asing, sebenarnya di pembukuan Wajib Pajak, saya sering menemukan istilah-istilah bahasa asing, maksudnya account names. Contohnya : Cash, Account Receivable, Fixed Asset, Current Liabilities, dan lain-lain.

    Dan nama-nama akun dalam bentuk bahasa asing tersebut sudah sangat-sangat biasa digunakan oleh mahasiswa jurusan akuntansi (setidaknya yang aku alami di STAN). Kemudian, ketika terjun di dunia nyata dan mendesain sebuah sistem akuntansi, nama-nama akun dalam Bahasa Asing tersebut digunakan. Dan beberapa temen alumni STAN juga begitu.

    Permasalahannya ada di Pasal 28 ayat (4) UU KUP, “Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.”

    Di undang-undang perpajakan kita jelas-jelas disebutkan bahwa pembukuan wajib menggunakan bahas Indonesia. Termasuk nama-nama perkiraannya!

    Boleh menggunakan bahasa Inggris, tetapi harus ada izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan berdasarkan peraturan menteri keuangan, tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa asing.

    Mereka yang dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris adalah :
    [a.] Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
    [b.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan;
    [c.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Bagi Hasil, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan minyak dan gas bumi;
    [d.] Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
    [e.] Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk diluar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri dalam hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang-Undang Pajak Penghasilan;
    [f.] Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

    Jika selain dari perusahaan tersebut, sebaiknya jangan menggunakan istilah akun dalam bahasa asing. Pake bahasa Indonesia aja.

    Kalau pembukuannya sudah “otomatis” dengan menggunakan komputer, sebaiknya suruh programmer mengganti nama-nama akun ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa nasional! Mengapa?

    Pembukuan dalam bahasa asing tanpa izin dari Menteri Keuangan berarti tidak memenuhi syarat pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UU KUP.

    Jika tidak memenuhi syarat, berarti dianggap tidak memiliki atau tidak menyelenggarakan pembukuan. Dan akibatnya bisa fatal!

    Salah seorang kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Enam (waktu itu boss-ku :)) beberapa kali “mengintruksikan” kepada pemeriksa untuk menanyakan Surat Izin penggunaan bahasa asing jika menemukan nama-nama akun dalam bahasa asing.

    Dia bilang, jika memang tidak memiliki izin, “TOLAK”! Ini beneran (cuma pemeriksanya yang sering kurang berani he .. he .. he ..).

    MATA UANG ASINGPenggunaan mata uanga asing memang jarang (lebih sedikit) dibandingkan dengan bahasa asing. Kebanyakan yah, menggunakan nama akun bahasa Inggris tetapi menggunakan mata uang rupiah. Nasionalismenya sepotong-sepotong he .. he .. he …

    Wajib Pajak yang boleh menggunakan mata uang asing, diwajibkan mengajukan izin tiga bulan setelah pendirian atau 3 bulan sebelum awal tahun buku. Kecuali untuk WP Kontrak Karya dan WP Kontrak Bagi Hasil, cukup pemberitahuan saja sebelum awal tahun buku.

    Permohonan untuk meminta izin wajib disampaikan tiga bulan sebelum awal tahun buku dan jika memenuhi syarat serta dokumen yang disampaikan lengkap, maka 25 hari setelah surat permohonan disampaikan, akan keluar Surat Izin.

    Kalo belum keluar juga, anggap aja disetujui [Pasal 2 ayat (5) PMK 49 tahun 2007]. Ini adalah suatu kemajuan dibanding dengan aturan sebelumnya yang memberikan tempo 30 hari kepada DJP untuk menerbitkan Surat Izin.

    Bagi WP yang beru berdiri, saya pikir tidak akan ada masalah konversi dari rupiah ke US dollar karena memang sejak awal akan dicatat dalam mata uang US dollar.

    Tetapi, bagi WP yang sebelumnya menggunakan rupiah, konversi dari rupiah ke US dollar akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan berbagai tafsiran atau pendapat ketika terjadi pemeriksaan pajak.

    Contohnya untuk WP KIK (Kontrak Investasi Kolektif). Sebelumnya WP yang boleh menggunakan pembukuan bahasa dan mata uang asing hanya lima kelompok, yaitu : PMA, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, BUT, dan subsidiary company. Sejak 2007, WP KIK diperbolehkan.

    Dengan demikian, WP KIK yang sejak dahulu berkeinginan memakai mata uang dollar, sekarang sudah bisa.

    KONVERSI RUPIAH ke US DOLLAR
    Titik tolak, atau pertama kali angka-angka yang dikonversi adalah angka-angka yang ada di Neraca terakhir tahun buku sebelumnya. Diatas diterangkan jika Surat Izin harus disampaikan dalam kurun waktu tiga bulan sebelum awal tahun buku.

    Artinya, jika awal tahun buku bulan Januari 2008, maka surat permohonan wajib disampaikan selambat-lambatnya pada bulan Oktober 2007. Bulan sebelum awal tahun buku adalah : Oktober 2007, Nopember 2007, dan Desember 2007.

    Awal tahun buku adalah Januari 2008. Neraca yang dikonversi dari rupiah ke US dollar adalah neraca per 31 Desember 2007. Angka-angka yang ada di Neraca per 31 Desember 2007 tersebut dikonversi ke US dollar dengan menggunakan kurs (Pasal 4 PMP No.49/PMK.03/2007) sebagai beriku:
    [a.] untuk harga perolehan harta berwujud dan atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

    [b.] untuk akumulasi penyusutan dan atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

    [c.] untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

    [d.] apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

    [e.] untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

    [f.] untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;

    [g.] dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari mata uang Rupiah ke mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a. huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

    Jadi kurs yang dipakai ada dua, yaitu : pertama, kurs historis atau kurs yang berlaku pada saat terjadi transaksi atau saat perolehan.

    Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta berwujud dan akumulasi penyusutannya, atau harta tidak berwujud dan amortisasinya; revaluasi aktiva tetap; dan modal saham.

    Kedua, kurs neraca terakhir dalam rupiah atau dalam contoh diatas adalah kurs pada tanggal 31 Desember 2007. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta lainnya (selain yang sudah disebutkan seperti Kas, Bank, Piutang, dan Persediaan); kewajiban; laba ditahan atau akumulasi / sisa rugi.

    Jika terjadi selisih laba atau rugi akibat konversi tersebut, maka dimasukkan ke akun laba ditahan.

    SPT dan PAJAK
    Kurs yang dipakai untuk konversi adalah kurs tengah BI. Ini tentu saja sesuai dengan kelaziman pembukuan atau standar akuntansi di Indonesia. Tetapi untuk masalah bayar pajak maka konversi wajib menggunakan kurs Keputusan Menteri Keuangan yang setiap minggu ditetapkan.

    Kurs KMK ini berlaku untuk saat bayar pajak dengan rupiah. Pajak disini adalah semua jenis pajak seperti : pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) bahkan bea masuk (BM) dan cukai.

    Kurs KMK tanggal yang dipakai adalah kurs KMK pada saat dibayar. Contoh : WP membuat bukti potong PPh Pasal 23 tanggal 5 Maret 2008 tetapi PPh tersebut baru dibayar pada tanggal 15 Maret 2008, maka kurs KMK yang dipakai adalah kurs KMK untuk tanggal 15 Maret 2008.

    Tetapi dari sisi “yang dipotong” sering kali WP tidak tahu, kapan PPh yang dipotong tersebut disetor ke Kas Negara. Dan memang bukan kewajiban WP tersebut mengklarifikasi tanggal setor.

    Kewajiban ada difihak pemotong dengan segala akibatnya (karena itu jika belum dipotong akan dikenakan sanksi saat pemeriksaan). Untuk kasus diatas, kurs yang dipakai adalah kurs KMK yang berlaku pada tanggal bukti potong atau tanggal 5 Maret 2008.

    Walaupun sudah mengantongi izin untuk menggunakan bahasa asing dan mata uang asing tetapi SPT wajib menggunakan bahasa Indonesia dengan mata uang rupiah, kecuali lampiran SPT berupa income statement.

    Akibatnya, dalam pembuatan SPT akan ada dua kurs yang dipakai, yaitu kurs tengah BI dan kurs KMK. Kurs tengah BI adalah kurs yang dipakai dalam income statement (setidaknya untuk sebagian akun biaya). Angka-angka dalam laporkan keuangan dengan mata uang US Dollar tinggal dipindahkan ke SPT. Plek sama.

    Tetapi pada saat akan menghitung pajak terutang, tarif Pasal 17 UU PPh 1984 hanya bisa diterapkan untuk mata uang rupiah. Karena itu, penghasilan kena pajak sebagai dasar pengenaan PPh dikonversi ke rupiah dengan menggunakan kurs KMK.

    Teknisnya, di SPT $ ada dua kolom, yaitu kolom dengan mata uang US dollar dan kolom dengan mata uang rupiah. Selain SPT induk, semua masih menggunakan mata uang US dollar.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Tanggung Renteng

    Pak Suparman, terima kasih atas bantuannya informasinya . Saya sangat-sangat merasa terbantu.Kalo boleh saya mau Tanya lagi nih. Maaf kalau jadi merepotkan ☺.Beberapa agen layanan jasa yang kami gunakan tidak memiliki NPWP dan tidak dapat mengeluarkan faktur Pajak.1. Apakah kami bertanggung jawab untuk membayarkan PPN nya ?2. Apakah kami harus memotong PPh 23 ? Bukti Potongnya ditujukan kepada siapa ?3. Selama ini, untuk kasus tersebut, kami tidak melakukan pemotongan PPh 23, dan tidak melaporkan nya ke KPP. Apakah hal tersebut akan menjadi masalah saat pemeriksaan pajak ?
    Salam hormat,
    Agustinus

    Jawaban saya:
    Kewajiban perpajakan baik untuk PPN maupun PPh tetap harus dilakukan walaupun penerima penghasilan yang kita potong itu tidak memiliki NPWP karena kewajiban pemotongan berada di kita sebagai pembayar. Perhatikan kalimat di Pasal 23 ayat (1) UU PPh 1984 berikut :

    Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :

    Kewajiban memotong PPh berada difihak yang membayarkan atau pemberi penghasilan. Karena itu jika belum dipotong PPh Pasal 23 dan ditemukan pada saat pemeriksaan maka kewajiban tersebut akan “diluruskan” dalam bentuk koreksi positif dan akan dikeluarkan skp (surat ketetapan pajak) kurang bayar.

    Adapun berkaitan dengan PPN, karena penjual jasa / barang tidak memiliki NPWP maka otomatis tidak dapat memungut PPN. Artinya pada saat kita bayar, kita tidak bayar PPN. Tetapi kewajiban membayar PPN tetap ada dipihak pembeli karena pada prinsipnya PPN itu adalah pajak atas konsumsi yang dibayar oleh konsumen akhir.

    Hal ini diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Berikut bunyinya :
    “Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.”

    Tetapi terus terang saja, untuk PPN Dalam Negeri praktek kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 33 KUP hanya dipraktekkan pada saat pemeriksaan 🙂

    Hanya saja, jika dibayar setelah pemeriksaan (setelah dikeluarkan SKPKB) maka PPN yang telah kita bayar tidak dapat dikreditkan. Berbeda jika PPN kita bayar pada saat beli, maka PPN yang kita bayar bisa dikreditkan.

    Silakan pilih yang mana?

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Klinik Kesehatan

    Melalui email ini saya ingin bertanya mengenai perpajakan apa saja yang akan timbul sehubungan dengan kegiatan usaha ” Klinik Gigi “. Sejauh yg saya tau merupakan jasa kesehatan yg tidak dikenakan PPN.

    Adapun transaksi yg akan terjadi, sbb :
    1. Pembagian hasil kepada Rekanan
    2. Pembagian hasil / komisi kepada Dokter
    3. Perolehan pendapatan dari pelanggan
    4. Pembelian alat2 pendukung seperti : Kapas, Alkohol, obat, peralatan gigi
    5. Pembayaran gaji kepada karyawan : Admin, satpam, dll
    6. Sewa tempat praktek

    apakah dari kegiatan tsb diatas ada yang dikenakan PPN atau PPh ? jika ada yg dikenakan pajak,mohon penjelasan dasar peraturannya.
    Atas waktu dan perhatiannya, saya ucapkan terima kasih

    Salam,
    Agustinus

    Jawaban saya :
    [1] Pembagian hasil kepada rekanan
    Mohon maaf saya tidak memahami maksud rekanan disini. Apakah rekanan maksudnya suplier alat-alat klinik? Jika ini yang dimaksud maka pemilik klinik hanya berkewajiban membayar PPN atas alat-alat yang dibeli. PPN ini tidak akan menjadi pajak masukan (tidak dapat dikreditkan) karena berdasarkan Pasal 6 huruf f PP No. 144 tahun 2000 bahwa “klinik kesehatan” termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

    [2] Pembagian hasil / komisi kepada dokter.
    Untuk menjawab pertanyaan ini saya salinkan jawaban saya yang pernah saya kirimkan ke Pa Johannes berikut :

    Dasar hukum norma 50% diatur di Pasal 9 ayat (8) KEP-545/PJ./2000 sebagaimana telah diubah dengan PER-15/PJ./2006. Perhatikan kalimatnya, “Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.” Kata-kata yang saya bold adalah DPP (dasar penghitungan pajak). Rumus memotong tenaga ahli kan : DPP x 50% x 15% atau DPP x 7,5%.

    JIka kita dudukkan dalam bisnis, selalu ada konsumen dan pedagang, atau klien dan tenaga ahli. Dan penghasilan bruto adalah semua ongkos / harga yang dibayar oleh konsumen / klien atas jasa / barang yang telah dia terima. Ini pengertian yang umum dan telah diterima sebagai suatu kelaziman. Dalam hal dokter sebagai tenaga ahli maka siapa yang menjadi klien? Jawabnya adalah pasien. Bukan rumah sakit! Karena itu DPP untuk jasa dokter adalah harga yang dibayar oleh pasien, walaupun pembayaran diterima oleh rumah sakit. Karena itu, PPh yang dipotong atas 7,5% dari total pembayaran konsumen.

    Adapun pembagian penghasilan antara dokter dengan klinik adalah hal yang berbeda. Dibeberapa rumah sakit atau klinik yang pernah saya periksa juga telah mempraktekkan hal ini.

    [3] Perolehan pendapatan dari pelanggan
    Mungkin maksudnya berkaitan dengan pertanyaan no. [2] diatas. Karena itu, jawaban saya sama. Jadi formulanya, penghasilan yang diterima dari pelanggan dipotong dulu untuk PPh Pasal 21 atas jasa tenaga ahli (dokter) kemudian neto setelah dipotong PPh dibagi dua, yaitu untuk klinik dan untuk dokter.

    Untuk dokter akan dihitung kembali di SPT Tahunan OP dokter masing-masing dan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh klinik akan dikreditkan oleh dokter. Jika masih ada yang kurang bayar maka akan dibayar sendiri oleh dokter (PPh Pasal 29). Sedangkan penghasilan klinik akan diperhitungkan kembali di SPT PPh Tahunan Badan.

    [4] Pembelian alat2 pendukung
    Jawaban saya sama seperti pertanyaan no. [1] diatas. Peralatan pendukung klinik merupakan barang kena pajak karena itu, pada saat beli wajib bayar PPN dan PPN yang telah dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan karena usaha klinik termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

    [5] Pembayaran gaji kepada karyawan
    Klinik wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang melebihi PTKP. Besaran PTKP untuk tahun 2007 sama dengan tahun 2006 yaitu :
    1. WP tidak Kawin dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 13,200,000
    2. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 14,400,000
    3. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 15,600,000
    4. WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 16,800,000
    5. WP Kawin, dan tidak memiliki Tanggungan, Rp 14,400,000
    6. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 1 Orang, Rp 15,600,000
    7. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 2 Orang, Rp 16,800,000
    8. WP Kawin, dan memiliki Tanggungan 3 Orang, Rp 18,000,000

    [6] Sewa tempat praktek
    Klinik wajib memotong PPh sebesar 10% dari total biaya sewa baik sewa itu diterima oleh WPOP maupun diterima oleh WP Badan. Hal ini berdasarkan PP No. 5 tahun 2002.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PPh Pasal 25

    Selamat Pagi…Iva mau tanya lagi mengenai SPT Tahunan, Poin F.ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALANa. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, bagi Wajib Pajak pada umumnya, adalah berdasarkan penghasilan teratur menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu; Bagaimana penghasilan yang menjadi dasar perhitungan angsuran pd SPT Tahunan th 2006, Jika perusahaan tersebut baru berdiri pd Oktober th 2006 ?
    Terima kasih…
    iva_maniest@yahoo.com

    Jawaban saya :Secara umum, rumusan penghitungan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu : Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan kredit pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24. Hasilnya dibagi 12 (dua belas).

    Tetapi rumusan tersebut tidak dapat diterapkan untuk Wajib Pajak dengan “hal-hal tertentu” sebagaimana diatur Pasal 25 ayat (6) UU PPh 1984 :
    [1] Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
    [2] Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
    [3] Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
    [4] Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
    [5] Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
    [6] Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

    Pertanyaan diatas tidak berkaitan dengan hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud diatas. Selain hal-hal tertentu, ada juga pengaturan PPh Pasal 25 atas Wajib Pajak tertentu, yaitu : Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, BUMD, dan OP pengusaha tertentu, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.

    Jika berkaitan dengan Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, dan BUMD maka bisa dilihat di postingan saya terdahulu. Tetapi kasus yang ditanyakan adalah PPh Pasal 25 tahun 2007.

    Ini bukan Wajib Pajak baru karena Wajib Pajak tersebut sudah membuat SPT Tahunan tahun 2006 sementara Wajib Pajak baru maksudnya adalah Wajib Pajak yang baru berdiri pada tahun berjalan dan belum membuat SPT Tahunan. Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru dengan menghitung penghasilan neto sebulan yang disetahunkan hanya cocok untuk PPh Pasal 25 tahun 2006, yaitu PPh Pasal 25 untuk bulan Nopember dan Desember 2006 sampai dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan tahun 2006 (asumsi SPT paling lambat disampaikan bulan Maret 2007).

    Dan di SPT Tahunan tahun 2006 ada perhitungan PPh Pasal 25 untuk PPh Pasal 25 tahun 2007. Penghitungan ini akan jadi acuan untuk penghitungan PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Cara perhitungan inilah yang dipertanyakan. Mungkin karena pada tahun 2006, penghasilan yang dilaporkan di SPT hanya 3 (tiga) bulan saja.

    Jawaban saya ada dua : pertama, jika WP tersebut orang pribadi dengan usaha toko/gerai, dan kedua WP badan atau WP orang pribadi selain yang pertama. Berikut ini uraian lebih lanjut jawaban saya.

    Pasal 1 KEP-547/PJ./2000, “Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai tempat usaha termasuk cabang yang tersebar di beberapa tempat baik dalam satu maupun beberapa wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.”

    Kemudian, Pasal 1 ini dirubah dengan KEP-171/PJ./2002, hingga berbunyi, “Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.” Menurut Keputusan Dirjen Pajak yang terakhir ini, PPh Pasal 25 untuk setiap setiap gerai adalah 2% dari total omset (peredaran usaha bruto). Inilah jawaban pertama!

    Jawaban pertama diatas tidak bisa diterapkan untuk Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi dengan usaha lain. Karena kasus yang ditanyakan bukan hal-hal tertentu dan bukan Wajib Pajak tertentu, maka berlaku ketentuan umum sebagai diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984. Inilah jawaban kedua! Untuk lebih jelas, saya berikan contoh dengan angka-angka.

    PT “X” berdiri dan memulai usaha sebagai jasa konsultasi pada bulan Oktober 2006. Pada bulan Oktober 2006 ini tentu saja tidak ada kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 karena pembayaran PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 dibayar pada bulan Nopember 2006. Berikut penghasilan kena pajak yang dibukukan PT “X” setiap bulan : Oktober 2006 sebesar Rp.1.000.000, Nopember 2006 Rp. 1.500.000, dan Desember 2006 sebesar Rp.2.500.000,-

    Penghitungan PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.000.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.100.000,-
    Penghitungan PPh Pasal 25 Nopember 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.150.000,-
    Penghitungan PPh Pasal 25 Desember 2006 sebagai berikut: ((Rp.2.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.250.000,-

    Penghitungan PPh Pasal 25 tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000. Rumusannya diatur di Pasal 2 ayat (1), “Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).”

    Penghasilan neto yang dikalikan dengan tarif umum adalah penghasilan neto menurut pembukuan “setiap bulan” berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf a Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.

    Dengan pembayaran PPh Pasal 25 seperti diatas, maka SPT Tahunan tahun 2006 akan menjadi SPT Nihil. Perhitungannya sebagai berikut:
    Penghasilan kena pajak selama 3 bulan sebesar Rp. 5.000.000,- dikalikan tarif umum 10%, maka PPh terutang Rp.500.000,- Perhitungan PPh terutang ini sama persis dengan kredit pajak PPh Pasal 25 diatas.

    Besarnya PPh Pasal 25 bulan Januari 2007 sampai dengan Maret 2007 sama dengan pembayaran PPh Pasal 25 bulan Desember 2006 yaitu sebesar Rp.250.000,- Hal ini berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU PPh 1984, “Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.”

    Kemudian, berdasarkan PPh terutang tahun pajak 2006, PPh Pasal 25 tahun berjalan sebesar Rp.41.667,- yaitu PPh terutang tahun pajak 2006 sebesar Rp.500.000,- dibagi 12 (dua belas). Hal ini sesuai dengan rumusan di Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984.

    PPh Pasal 25 sebesar Rp.41.667,- adalah PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Penurunan PPh Pasal 25 tersebut adalah konsekuensi dari Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu “menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu” padahal SPT tahun lalu itu hanya 3 (bulan) bulan. Berbeda dengan rumusan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru, yaitu “disetahunkan”. SPT Tahunan menghitung pajak yang benar-benar diperoleh (sebenarnya). Sedangkan penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru menghitung pajak dengan “norma” atau “deem”. Disebut norma karena penghasilan kena pajak yang jadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak yang disetahunkan, bukan yang benar-benar terjadi 🙂 (mudah-mudahan tidak bingung).

    Demikian dan mudah-mudahan jadi lebih jelas.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Pajak Bahan Bakar Kendaraan

    Dear Pak Raden Suparman, Salam kenal pak.
    Terima kasih atas blognya yang sangat membantu pekerjaan saya. ada sedikit pertanyaan mengenai perpajakan pak, dan saya sangat berterima kasih sekali bila bapak berkenan membantu saya. rencananya perusahaan kami (PMA) ingin membuat perusahaan niaga terbatas bahan bakar minyak (salah satu kegiatan usaha hilir migas). dengan cara mengimpor minyak bakar (minyak solar dan minyak bakar) dan langsung menjualnya untuk industri dan end user di Indonesia. yang saya ingin tanyakan adalah pajak apa saja yang terkait dengan kegiatan tersebut.
    1. Di dalam kegiatan import (PPH, PPN, Bea Masuk, dll)
    2. Penjualan kepada industri dan end user (PPN, PPH, pajak untuk pemerintah daerah, dll)
    3. di dalam Pengecualian Pemungutan PPH pasal 22 disebutkan di dalam salah satu butirnya: “Pembayaran untuk pembelian bahan bakar, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos”. apa maksud dari kalimat ini? apakah untuk pembelian bahan bakar tidak di kenakan PPH pasal 22?
    4. di dalam blog bapak disebutkan tarif final untuk industri migas SPBU swasta sebesar 0.3%, bagaimana perlakuannya jika kita tidak menjualnya melalui SPBU? apakah tetap dikenakan tarif 0.3%?
    terima kasih atas tanggapan bapak.

    Best Regards,
    Soliandou Romdhoni ===========================================================

    Salam kenal Pa Romdhoni,
    Terima kasih telah berkunjung ke blog saya. Blog ini saya maksudkan untuk membantu Wajib Pajak mendapatkan informasi kewajiban dan pelayanan perpajakan khususnya pajak yang dikelola oleh DJP. Walaupun begitu, banyak tulisan di blog ini sebenarnya penafsiran pribadi tentang peraturan perpajakan.

    Jawaban saya atas pertanyaan diatas, saya yakin, tidak memuaskan, terutama tentang Bea Masuk, dan pajak untuk pemerintah daerah. Tetapi saya harap dapat membantu.

    PPh Pasal 22
    Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf e Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 (dirubah dengan 236/KMK.03/2003) bahwa pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. Bahkan pembebasan tersebut dilakukan secara otomatis, tidak perlu ada SKB (surat keterangan bebas) dari kantor pajak. Pembebasan ini tentunya berlaku baik untuk impor atau pembelian dalam negeri karena keputusan menteri keuangan ini mengatur PPh Pasal 22 baik untuk pembelian barang impor maupun pembelian barang di dalam negeri.

    Petunjuk pelaksana KMK ini adalah Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-417/PJ./2001 dan ketentuan diatas tetap dicantumkan. Tetapi di KEP ini ada ketentuan Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas.

    Apa maksud Pasal 3 ayat (1) huruf e Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001, terutama dihubungkan kewajiban pemungutan PPh Pasal 22? Satu sisi membebaskan memungut atas pembelian, tetapi satu sisi mewajibkan memungut atas penjualan? Padahal kalau ada pembelian, dilawan transaksi pasti merupakan penjualan? Itulah pertanyaan yang saya tangkap dari email Pa Romdhoni. Dan, jawaban saya sebagai berikut:

    Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 adalah peraturan pelaksana dari Pasal 22 UU PPh 1984. Keputusan menteri keuangan ini menentukan siapa-siapa yang menjadi pemungut PPh Pasal 22. Tidak semua Wajib Pajak ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Pasal 22 ayat (1) UU PPh 1984 “menugaskan” kepada bendaharawan pemerintah dan badan-badan tertentu untuk memungut PPh ini. Badan-badan tertentu ini diatur di Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 dan 236/KMK.03/2003 , yaitu :
    1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
    2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
    3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4.
    4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PTKrakatau Steel, Pertamina, dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN.
    5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
    6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.
    7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

    PPh Pasal 22 pada intinya memungutan PPh pada saat pembelian. Dan, pada awalnya, PPh Pasal 22 dipungut atas setiap “belanja” oleh bendaharawan untuk dana yang berasal dari APBN/APBD, dan atas setiap impor oleh Ditjen Bea dan Cukai. Tetapi tidak setiap belanja oleh bendaharawan harus dipungut PPh Pasal 22. Belanja mana saja yang dikecuali dari pemungutan PPh Pasal 22? Jawabannya ada di Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001.

    Artinya, jika ada bendaharawan pemerintah yang “belanja” bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos, maka bendaharawan tersebut tidak boleh memungut PPh Pasal 22. Dan pengecualian tersebut berlaku juga bagi belanja yang dilakukan oleh BUMN dan BUMD baik dananya dari APBN/APBD maupun dana non-APBN/APBD. Dan, tentunya belanja disini dimaksudkan untuk konsumsi, bukan untuk dijual kembali.

    Jadi, jawaban atas pertanyaan Pa Romdhoni nomor tiga diatas adalah pembelian bahan bakar minyak untuk konsumsi, bukan pembelian bahan bakar minyak untuk dijual kembali.

    Kenapa pengecualian dibatasi hanya untuk konsumsi? Karena khusus untuk bahan bakar minyak PPh Pasal 22 dipungut oleh Pertamina “dan badan lain” yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak, pada saat penjualan. Setiap penjualan bahan bahar minyak yang dilakukan oleh Pertamina, maka Pertamina langsung memungut PPh Pasal 22.

    Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan ditingkat Pertamina. Mata rantai setelah Pertamina tidak wajib memungut PPh Pasal 22. Bagaimana jika bahan bakar minyak tersebut bukan berasal dari Pertamina? PPh Pasal 22 tersebut dipungut oleh produsen dan atau importir pada saat penjualan. Nah, perusahaan Pa Romdhoni nampaknya masuk katagori terakhir.

    Importir memungut PPh Pasal 22 atas setiap penjualan yang dia lakukan. Penjualan bahan bakar minyak tentu tidak harus lewat SPBU. Bisa langsung ke konsumen industri. Tetapi PPh Pasal 22 tetap dilakukan pemungutan dengan tarif 0,3% dari total penjualan.

    Hanya saja, ada perbedaan “status” PPh Pasal 22 tersebut. Jika “konsumen” (maksudnya pembeli) tersebut merupakan penyalur/agen, maka PPh Pasal 22 tersebut bersifat FINAL. Tetapi jika bukan penyalur/agen, maka PPh Pasal 22 tidak final dan dapat dikreditkan di PPh Badan “konsumen” tersebut. Pendapat ini sesuai surat S-54/PJ.43/2006.

    PPNBerdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 144 tahun 2000 bahwa minyak mentah (crude oil) termasuk barang yang tidak dikenakan PPN. Selain minyak mentah berarti termasuk objek PPN dan dikenakan PPN dengan tarif 10% (tarif tunggal).

    Saya tidak menemukan pengaturan yang khusus untuk bahan bakar minyak ini. Jadi saya berkesimpulan bahwa pengenaan PPN atas bahan bakar minyak sama seperti BKP lainnya melalui mekanisme PK-PM. Sekarang, Pemungut PPN hanya dibatasi untuk bendaharawan pemerintan dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).

    Bea Masuk
    Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 07/PMK.010/2005 tentang penurunan tarif Bea Masuk bahan bakar minyak tertentu bahwa tarif Bea Masuk atas impor bahan bakar motor sebesar 0%. Jenis bahan bakar-nya antara lain : Bahan bakar motor, premium bertimbal; Bahan bakar motor, premium tanpa timbal; Bahan bakar motor, reguler bertimbal; Bahan bakar motor, reguler tanpa timbal; Bahan bakar motor lainnya, bertimbal; Bahan bakar motor lainnya, tanpa timbale; Bahan bakar pesawat terbang; White spirit; Kerosin lampu; Kerosin lainnya, termasuk vapourising oi; Bahan bakar turbin pesawat terbang (bahan bakar jet); Topped crude.

    PBBKBBerdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah bahwa Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air. Jenis bahan bakar yang menjadi objek adalah bensin, solar, dan bahan bakar gas.

    Pemungut PBBKB ini adalah penyedia bahan baker kendaraan bermotor sebesar 5% dari nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Pajak Waris

    BATASAN PENGHASILAN
    Warisan adalah harta peninggalan orang (keluarga) yang sudah meninggal. Jika belum meninggal, pemberian dari keluarga disebut hibah. Tulisan ini tentu tidak akan menjelaskan cara pembagian harta waris tetapi membahas aspek perpajakan harta warisan sebagaimana diminta oleh Bu Amalia.

    Dilihat dari aspek pajak penghasilan, harta warisan adalah penghasilan bagi ahli waris. Coba kita uraikan pengertian penghasilan yang merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984, “Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun

    Bagi ahli waris, warisan adalah tambahan kemampuan ekonomis dan sudah pasti menambah kekayaan Wajib Pajak. Artinya, tidak diragukan lagi jika warisan adalah penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984. Walaupun demikian, di Pasal 4 ayat (3) huruf b UU PPh 1984 mengecualikan warisan sebagai penghasilan. Dengan demikian, walaupun warisan termasuk penghasilan bagi ahli waris, tetapi oleh UU PPh 1984 dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan. Gampangnya sih, bukan objek pajak aja.

    KENAPA DIKECUALIKAN?
    Pengecualian ini, menurut saya, karena perpindahan harta waris kepada ahli waris bukan merupakan taxable event. Saya sendiri menafsirkan taxable event sebagai transaksi bisnis yang lazim terjadi dalam dunia bisnis. Walaupun warisan sebuah penghasilan bagi yang menerimanya, tetapi karena transaksinya atau perpindahan warisan tersebut bukan taxable event maka warisan bukan objek pajak.

    Treatment / perlakuan yang sama juga diberlakukan kepada “hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan”, Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2) UU PPh 1984.

    Tidak semua hibah bukan objek pajak. Ada juga hibah yang menjadi objek pajak. Contoh, seorang pembantu yang sudah puluhan tahun “mengabdi” di keluarga seorang Saudagar tiba-tiba diberi hibah oleh si Saudagar, padahal pembantu itu tidak ada hubungan keluarga sedikitpun dengan keluarga si Saudagar. Hibah yang seperti ini objek pajak karena UU PPh 1984 membatasi taxable event sebagai “pemberian dalam satu keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.”

    Garis keturunan lurus bisa ke atas, ke bawah, atau ke samping. Ke atas berarti bapak dan ibu kandung, ke bawah berarti anak kandung, ke samping berarti saudara sekandung. Jika hibah tidak ada hubungan keluarga sedarah, maka termasuk objek pajak.

    PPNSaya singgung pengertian Barang Kena Pajak (BKP) menurut Pasal 1 UU PPN 1984. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

    Walaupun ada kata-kata “ .. yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini” tetapi prakteknya kita selalu berpatokan : semua barang adalah barang kena pajak kecuali yang dikecualikan. Dasar adalah Pasal 4A ayat (1) UU PPN 1984, yaitu “Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Artinya, HANYA barang-barang yang disebutkan di PP sajalah yang tidak dikenakan pajak atau bukan objek.

    Apakah warisan termasuk BKP? Saya pikir tergantung warisannya. Dan masalahnya bukan di barang tetapi di penyerahan warisan dari “orang meninggal” kepada ahli waris. Objek PPN diatur di Pasal 4 UU PPN 1984. Karena itu, saya kutip pasal ini :
    Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
    a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
    b. impor Barang Kena Pajak;
    c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
    d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
    e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
    f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

    Selain itu, di penjelasan Pasal 4 huruf a UU PPN 1984 lebih mengerucut. Ini kutipannya :
    Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
    a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
    b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud,
    c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
    d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
    .

    PENYERAHAN yang menjadi objek PPN adalah penyerahan yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Dikaitkan dengan warisan, penyerahan warisan dari orang meninggal kepada ahli waris jelas bukan penyerahan sebagaimana dimaksud UU PPN. Artinya, warisan bukan objek PPN.

    Kesimpulannya, warisan itu bebas PPh dan PPN

    BPHTBTetapi warisan tidak bebas pajak karena ahli waris yang menerima warisan harus membayar BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan) terutama jika ahli warisnya menerima harta warisan berupa tanah dan atau bangunan dengan nilai diatas tiga ratus juta.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Lahir Untuk Mencurigai

    Seorang dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai pernah melontarkan bahwa fiskus itu dilahirkan untuk mencurigai Wajib Pajak. Itulah, salah satu alasan mengapa “administrator” perpajakan memandang perlunya dibuat faktur pajak standar. Bukankah setiap transaksi legal mestinya terdapat faktur (komersial)? Kenapa faktur tersebut tidak cukup bagi pajak? Bukankah pembuatan faktur pajak standar akan menambah biaya yang pada ujungnya akan memperkecil laba usaha?

    Tetapi kalau kita perhatikan, ternyata kecurigaan fiskus itu tidak hanya dalam masalah faktur pajak standar, tetapi hampir semua kegiatan Wajib Pajak. Apalagi jika yang diperhatikan adalah tradisi yang turun-temurun dalam dikehidupan perilaku birokrat fiskus. Akan lebih terasa jika seorang Wajib Pajak sedang diperiksa oleh kantor pajak.

    Saya tidak tahu, apakah sikap curiga juga tumbuh dalam tradisi general audit seperti yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan Badan Pemeriksa Keuangan. Apakah auditor Kantor Akuntan Publik akan merasa hebat jika menemukan penyimpangan keuangan auditee? Apakah temen-temen auditor Badan Pemeriksa Keuangan akan merasa berprestasi jika mendapatkan “penyimpangan prosedur”? Jika jawabannya, iya, saya kira begitulah tradisi audit?

    Fiskus adalah satu-satunya institusi (apa pun nama institusi itu) yang berhak mengawasi kegiatan Wajib Pajak. Kalimat tanya yang pasti keluar dari fiskus ketika menerima Surat Pemberitahuan adalah ,”Apakah sudah benar?” Kata benar dalam hal ini bisa diterjemahkan: tidak ada yang disembunyikan oleh Wajib Pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, fiskus setidaknya melakukan dua hal, yaitu penelitian dan pemeriksaan. Penelitian adalah kegiatan fiskus untuk menilai kelengkapan dan kebenaran perhitungan (tambah, kurang, bagi dan kali) Surat Pemberitahuan. Sedangkan pemeriksaan pada dasarnya semua tindakan fiskus untuk menguji kepatuhan semua kewajiban perpajakan.

    Bukan Pak PosKonon, ketika “jaman jahiliah”, yang namanya pemeriksaan pajak mirip reserse menangkap penjahat. Pemeriksa pajak dipersenjatai pistol untuk jaga diri. Pemeriksa disebar untuk mengepung lokasi Wajib Pajak. Secara mendadak, pemeriksa mendatangi kantor dan pabrik, langsung mencari dokumen atau catatan apa pun yang berkaitan dengan kegiatan Wajib Pajak dan langsung mengambil dokumen tersebut.

    Kini, jaman jahiliah telah lewat. Aparat pajak diharuskan mentaati tata cara pemeriksaan pajak. Ada hak-hak Wajib Pajak yang tidak boleh dilanggar. Sebaliknya, dalam praktek, banyak hak-hak pemeriksa pajak yang dilupakan agar tidak disebut arogan. Celakanya, ketika pemeriksa pajak membongkar-bongkar arsip Wajib Pajak atau menyegel ruangan Wajib Pajak, selalu saja ada pandangan negatif. Padahal, kegiatan tersebut bagian dari hak pemeriksa pajak.

    Semua pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus di Republik tercinta ini selalu dan wajib didahului dengan adanya Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3). Bersamaan dengan keluarnya SP3, selalu disertai Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa yang bersangkutan sedang diperiksa. Walaupun bukan idealnya, tetapi pada prakteknya, ketika surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada Wajib Pajak, pemeriksa pajak telah menyiapkan Surat Peminjaman Dokumen.

    Hari pertama pemeriksaan dihitung sejak SP3 dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak. Untuk bukti bahwa pemeriksa telah mendatangi lokasi Wajib Pajak dan menyampaikan SP3, biasanya pemeriksa meminta tanda tangan dan stempel dari Wajib Pajak. Di Jakarta, banyak Wajib Pajak yang menganggap bahwa pemeriksa pajak sama dengan tukang pos yang mengantar surat. Cukup diterima oleh petugas penerima tamu atau Pak Satpam.

    Padahal kedatangan pemeriksa pajak ke lokasi Wajib Pajak lebih dari sekedar menyampaikan SP3. Hal yang lebih penting adalah melakukan wawancara dengan direksi tentang kegiatan Wajib Pajak dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan Wajib Pajak baik di kantor maupun tempat produksi. Terakhir memeriksa arsip dokumen baik di kantor atau gudang. Setelah itu baru meminjam dokumen-dokumen yang dianggap penting pada saat itu juga.

    Banyak direksi yang merasa enggan (mungkin takut?) menemui pemeriksa pajak. Petugas terpaksa berbohong bahwa direksi tidak ada ditempat walaupun sebelumnya mengatakan ada. Apa boleh buat! Wajib Pajak juga banyak yang keberatan dengan pemeriksaan lapangan dan peminjaman buku pada saat itu juga. Biasanya Wajib Pajak meminta tempo dua atau tiga hari. Dan pada kenyataannya bisa sampai berminggu-minggu, dokumen belum juga nongol di kantor pajak.

    Bagi pemeriksa pajak, sikap tidak kooperatif tersebut akan menimbulkan kecurigaan. Kenapa direksi tidak mau diwawancarai? Kenapa peminjaman dokumen harus menunggu waktu berhari-hari? Bukankah dokumen tinggal mengambil di gudang? Atau dokumen baru akan dibuat? Kalau demikian, bagaimana dengan SPT yang dibuatnya? Jangan-jangan…

    Anggap rumah sendiriDulu, surat panggilan dikeluarkan untuk closing confrence. Sekarang ini, pemeriksa pajak dapat mengeluarkan surat panggilan kepada Wajib Pajak hanya untuk meminta keterangan dari Wajib Pajak. Tetapi, sebaiknya Wajib Pajak datang ke kantor pajak tidak perlu menunggu surat panggilan. Wajib Pajak dapat datang ke kantor pajak kapan saja selama jam kerja. Terus terang saja, pemeriksa pajak akan senang jika sering ditengok Wajib Pajak karena informasi yang dapat digali bisa lebih banyak.

    Tidak sedikit Wajib Pajak yang sulit datang ke kantor pajak. Jika alasannya dibuat-buat atau terkesan dibuat-buat, pemeriksa pajak akan memiliki citra yang jelek terhadap Wajib Pajak ini. Mungkin disebut “WP bandel” atau “WP susah”. Apa pun sebutannya, citra tersebut jelas akan merugikan Wajib Pajak sendiri. Pemeriksa pajak akan sewenang-wenang berdasarkan kewenangannya melakukan penghitungan pajak. Mungkin akan melakukan koreksi fiskal yang sebenarnya tidak perlu.

    Kadang-kadang pemeriksa pajak melakukan koreksi fiskal karena ketidaktahuannya. Apa dan bagaimana core business Wajib Pajak? Mengapa dan untuk apa biaya “ini”? Benarkah ada pinjaman pemegang saham? Mengapa perusahaan tidak pernah membagikan deviden? Apa menfaat perusahaan bagi pemegang saham jika tidak ada deviden? Pertanyaan seperti itu hanya akan terjawab jika Wajib Pajak bertemu dengan pemeriksa pajak dan menjelaskan hal sebenarnya.

    Selain itu, banyak informasi yang sangat bermanfaat jika diketahui oleh pemeriksa tetapi tidak akan didapat dari buku besar. Walaupun informasi tersebut tidak terkait langsung dengan masalah penghasilan dan biaya. Tetapi informasi tentang “latar belakang” suatu pekerjaan, proyek, kebijakan direksi dan kegiatan sehari-hari pegawai akan membantu pemeriksa pajak dalam rangka memahami kenyataan Wajib Pajak secara utuh. Jangan sampai Wajib Pajak dirugikan karena pemahaman pemeriksa pajak yang terbatas.

    Contoh yang paling sering ditemukan dalam buku besar tetapi sering membingungkan pemeriksa adalah jurnal penyesuaian akhir tahun. Wajib Pajak harus menjelaskan alasan dan perhitungan jurnal penyesuaian pada akhir tahun. Coret-coretan untuk menghitung jurnal penyesuaian jangan hilang! Bisa jadi karena ketidakjelasan alasan dan perhitungan, jurnal penyesuaian tersebut dikoreksi (biasanya pada biaya-biaya) sehingga biaya tersebut berkurang.

    Contoh lain adalah apa yang sering disebut sebagai “ayat silang”. Tanpa penjelasan, pemeriksa pajak mungkin akan bingung dari mana dan kemana saling silangnya. Apalagi jika ayat silang tersebut menggunakan “keranjang sampah”. Hal seperti ini ibarat mencampur beberapa warna cat kedalam satu ember. Hasilnya tentu warna lain. Karena itu, alur ayat silang harus jelas. Begitu juga perhitungan dibalik munculnya angka, jangan disembunyikan saja!

    Pembuktian itu Penting
    Konon, lagi, pada jaman jahiliah, para pemeriksa pajak punya mantra sakti mandraguna. Semua Wajib Pajak tidak dapat berkutik jika mantra itu sudah diucapkan. Mau tau mantra itu? Pokoknya! Kata “pokoknya” adalah mantra pemeriksa pajak pada jaman itu. Karena masih official assessment maka semua pajak terutang dihitung oleh kantor pajak. Ditambah lagi budaya birokrat priyayi yang masih netes.

    Sekarang kata itu tidak ada artinya. Hilang kesaktiannya. Sebagai gantinya mungkin kalimat ini, “Buktikan dong!”. Pemeriksa pajak akan mengoreksi semua biaya yang tidak didukung dengan dokumen (ekstern) yang lengkap. Selain itu, pemeriksa akan menambah penghasilan Wajib Pajak jika menurut analisisnya, atau bukti yang ditemukan, ada penghasilan yang belum dilaporkan. Satu-satunya senjata untuk mematahkan koreksi tersebut adalah hitam diatas putih yang dibuat fihak lain atau dokumen-dokumen lain yang memiliki kekuatan hukum.

    Mungkin kalau dalam istilah hukum namanya pembuktian terbalik. Wajib Pajak diharuskan membuktikan bahwa semua koreksi yang dilakukan oleh fiskus tidak benar. Berbeda dengan pembuktian yang dilakukan oleh pak Polisi. Penyidik di kepolisian atau kejaksaan, harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa tersangka benar-benar melakukan tindak pidana. Tapi jangan lupa, penyidik PNS pajak juga bekerja dengan cara yang sama. Hanya pemeriksa pajak yang bekerja sebaliknya.

    Wajib Pajak sering datang ke kantor pajak dengan mengeluh begini dan begitu. Begitu juga ketika melihat koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Ratusan kata akan keluar dari fihak Wajib Pajak. Padahal kata-kata saja tidak cukup. Pemeriksa pajak banyak yang tidak percaya pada kata-kata yang keluar, tetapi akan percaya pada dokumen tertulis. Begitu juga dengan catatan pada buku besar. Buku besar mungkin dianggap rekayasa Wajib Pajak, sehingga pemeriksa pajak akan meminta dokumen pendukung atas semua transaksi yang dicatat di buku besar. Apalagi jika sejak awal, Wajib Pajak telah menunjukkan sikap apriori atau tidak kooperatif (tidak terbuka, terkesan ada yang ditutupi atau tidak memberikan akses yang seluas-luasnya!). Wah, bertambahlah ketidakpercayaan si pemerika. Apakah ini juga sikap curiga? Bisa juga sih.

    Norma PenghasilanNorma penghitungan penghasilan neto merupakan salah satu cara fiskus untuk menghitung pajak terutang. Untuk mendapatkan angka tertentu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membentuk suatu tim dengan tugas mengadakan penelitian baik dari data eksternal DJP maupun data yang dimiliki DJP tentang kewajaran laba bersih suatu jenis usaha tertentu. Hasil tim inilah yang diangkat menjadi Keputusan Dirjen Pajak.

    Niat awal norma penghitungan penghasilan neto sebenarnya membantu Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan untuk menentukan penghasilan neto. Jika Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, otomatis tidak perlu lagi norma penghitungan karena kegiatan sebenarnya telah tergambar dalam pembukuan tersebut. Wajib Pajak yang (mampu) menyelenggarakan pembukuan tidak perlu menggunakan norma. Jika ngotot mau pakai norma, misalnya dengan alasan omsetnya kurang dari Rp600.000.000,00, maka Wajib Pajak tersebut akan rugi karena yang namanya norma penghitungan tidak mengenal rugi. Selalu untung. Namanya juga norma penghitungan penghasilan neto bukan ke norma penghitungan kerugian neto.

    Celakanya, kadang-kadang alias tidak selalu, pemeriksa pajak mengacu ke norma penghitungan tersebut untuk menentukan persentase laba bersihnya. Jika masih dibawah norma, pemeriksa tersebut merasa kurang sreg. Lebih celaka lagi, pemeriksa internal (Itjen) Departemen Keuangan, yang memeriksa laporan dan kertas kerja pemeriksaan, kadang-kadang ikut-ikutan menjadikan norma penghitungan sebagai acuan. Jika menemukan laporan pemeriksaan pajak yang persentase laba bersihnya dibawah norma, bersemangatlah dia mencari kesalahan yang dibuat.

    Wah, repot yah! Kenapa harus sama dengan norma penghitungan? Tapi anggap saja itu tidak ada karena prinsip yang harus dipegang adalah SPT diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam ilmu perpajakan, kenyataan akan mengalahkan formalitas. Orang Inggris bilang the substance-over-form. Kita harus membayar pajak berdasarkan kenyataan sebenarnya.

    Penutup
    Tulisan ini hanya mengungkap sedikit perilaku pemeriksa pajak. Juga hanya membeberkan bebarapa alasan mengapa muncul koreksi fiskal oleh pemeriksa pajak. Banyak alasan mengapa dikoreksi. Sharing! Begitulah nawaitu tulisan ini. Semoga ada pembaca yang berbagi pengalaman (lagi) dan berbagi ilmu untuk menambah wawasan.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    PRINSIP ASIMETRIS

    Pada permulaan krisis monoter, dunia perbankan sangat terguncang. Perbankan ibarat seseorang yang berdiri ditengah lautan yang sedang diterjang badai sunami. Masalah timbul dari delapan penjuru arah. Selain harus bersiap-siap yang uang tunai yang banyak untuk mengantisipasi penarikan uang nasabah besar-besaran (rush) juga yang paling memukul adalah jatuhnya nilai kurs rupiah terhadap valuta asing. Ditambah lagi sebagian besar debitur mengalami kesulitan likuditas. Akibatnya, banyak pinjaman bank yang macet. Tidak dibayar berbulan-bulan bahkan kemudian bertahun-tahun.

    Bagi institusi bank, kredit macet adalah masalah besar karena usaha pokok perbankan adalah perkreditan. Jika hanya satu atau dua bank yang macet, mungkin dalam batas toleransi bank. Tetapi pada masa krisis, hanya sebagian kecil saja yang tidak macet. Semua orang bahkan sudah memaklumi kondisi ini karena krisis ini bukan hanya berlaku untuk satu atau dua bank tetapi semua bank di seluruh Indonesia bahkan regional Asia.

    BASIS KAS
    Kredit macet bagi perbankan bukan hanya masalah likuiditas tetapi juga masalah perpajakan. Setiap bulan, mungkin bank membukukan penghasilan bunga yang tidak diterimanya. Sampai dengan akhir tahun, penghasilan bunga bank mungkin saja besar tetapi penghasilan bunga tersebut hanya menjadi piutang yang belum tentu dibayar oleh bank. Bahkan sangat mungkin tidak pernah dibayar. Boro-boro bayar bunga, bisa kembali pokok pinjaman saja sudah bagus.

    Karena menganut basis akrual, maka sudah menjadi kewajiban bank untuk mengakui adanya penghasilan bunga. Dari segi kelaziman akuntansi, memang begitulah seharusnya. Diatas kertas, tentu saja penghasilan bunga tersebut membuat laporan keuangan terlihat manis. Dari laporan keuangan terlihat, penghasilan besar tetapi sesungguhnya tidak punya duit. Semua penghasilan menumput di pos piutang yang belum tentu diterima.

    Kondisi ini dari segi perpajakan tentu saja merugikan perbankan karena bank wajib membayar pajak yang besar atas penghasilan yang sangat mungkin tidak pernah diterima. Sedangkan sistem perpajakan tidak dapat mengakomodasi koreksi penghasilan tahun lalu. Bukankan pajak penghasilan yang sudah dibayar tahun lalu tidak dapat direstitusi tahun ini dengan alasan kesalahan membukukan penghasilan? Restitusi pajak penghasilan hanya dapat dilakukan pada tahun pajak yang bersangkutan dengan alasan kelebihan bayar. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya.

    Untuk menghindari itu, satu-satunya cara adalah merubah metode pencatatan penghasilan bunga dari basis akrual ke basis kas. Penghasilan bunga harus diakui jika bank benar-benar menerima uang dari nasabah. Selama nasabah masih nunggak hutang bunganya, bank tidak akan membukukan penghasilan bunga. Dengan demikian, bank mengakui adanya penghasilan ketika penghasilan tersebut benar-benar diterima.

    Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 satu-satunya obat jitu bagi dunia perbankan saat itu. Menurut Kep Dirjen tersebut, bank baru membukukan penghasilan bunga dari kredit non-performing saat bank menerima bunga (nasabah melunasi kewajibannya). Penerapan penghasilan bunga basis kas ini tentu saja tidak berlaku untuk kredit yang lancar karena basis kas hanya dapat diterapkan pada kredit non-performing. Sedangkan yang dimaksud kredit non-performing adalah kredit yang digolongkan kurang lancar, diragukan dan macet.

    PRINSIP ASIMETRIS
    Kep Dirjen diatas hanya mengatur tentang pengakuan penghasilan bunga bagi perbankan, pemberi penjaman. Bagaimana dengan nasabah bank yang kebetulan kreditnya non-performing? Sebagian berpendapat bahwa nasabah bank tidak dapat menggunakan basis kas karena Kep Dirjen tersebut hanya diperuntukkan bagi perbankan. Sedangkan nasabah bank atau non perbankan tidak ada aturan pengecualian untuk menggunakan basis kas. Jadi tetap harus menggunakan basis akrual.

    Sepintas pendapat tersebut kelihatan benar. Tetapi teori perpajakan memberitahukan bahwa perpajakan menganut prinsip asimetris. Prinsip ini tentu saja berlaku sejak dahulu kala sampai sekarang. Tidak terbatas hanya waktu krisis atau saat tertentu saja.

    Mungkin dalam bahasa sehari-hari prinsip asimetris ini maksudna berlawanan. Pengakuan penghasilan bagi Wajib Pajak penerima dan pengakuan biaya bagi Wajib Pajak pembayar. Contohnya seperti Pasal 21 UU PPh. Pasal 21 UU PPh menganut prinsip asimetris. Jika majikan mengakui sebagai biaya, maka buruh harus mengakui penghasilan. Semua pemberian yang diakui penghasilan karyawan dan dihitung sebagai objek PPh Pasal 21 dapat diakui sebagai pengurang penghasilan (biaya) bagi majikan.

    Contoh klasik lain pada Pasal 23 tentang bunga. Wajib Pajak “A” yang memberikan pinjaman kepada Wajib Pajak “B” untuk keperluan modal kerja atau investasi lainnya. Karena Wajib Pajak “A” dan Wajib Pajak “B” memiliki hubungan istimewa, misalnya pemiliknya sama atau satu grup, maka pinjaman seperti itu biasanya tanpa bunga. Tetapi dalam bisnis yang wajar, tidak ada pinjaman tanpa bunga. Jadi jika dikembalikan kepada kewajaran bisnis pada umumnya, transaksi seperti itu semestinya Wajib Pajak “B” wajib memberikan bunga kepada Wajib Pajak “A”. Karena itu, jika diperiksa oleh pemeriksa pajak, transaksi tersebut harus memperhitungkan bunga wajar di pasar atau bunga bank pada umumnya. Jika yang diperiksa Wajib Pajak “B” maka pemeriksa akan membuat koreksi negatif untuk biaya bunga, dan koreksi positif untuk objek PPh Pasal 23 atas biaya bunga. Sebaliknya, Wajib Pajak “A” wajib membukukan adanya penghasilan bunga dari Wajib Pajak “B”.

    Jika prinsip asimetris diterapkan dalam kasus kredit non-performing, maka semua Wajib Pajak yang memiliki kredit non-performing dianggap tidak ada transaksi. Penerima bunga (bank) tidak mengakui adanya penghasilan bunga dan pembayar bunga (nasabah bank) tidak mengakui adanya biaya bunga. Keduanya menggunakan basis kas! Penghasilan bunga dan biaya bunga baru diakui dan dicatat jika nasabah bank benar-benar melunasi kewajibannya.

    PERLAKUAN SETARA
    Pemberlakuan basis kas seharusnya jangan dibaca hanya untuk Wajib Pajak dalam negeri saja. Seandainya Wajib Pajak dalam negeri menggunakan basis kas, maka Wajib Pajak luar negeri pun harus menggunakan basis kas atau diperlakukan seperti menggunakan basis kas. Wajib Pajak yang menunggak kredit dengan bank di Luar Negeri maka kredit tersebut statusnya kredit non-performing!

    Karena berstatus kredit non-performing maka kewajiban bunga Wajib Pajak Dalam Negeri belum dicatat sebagai biaya bunga sampai Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut benar-benar membayar kewajibannya kepada bank di Luar Negeri. Tentunya kita tidak dapat mewajibkan kepada bank di Luar Negeri harus menggunakan basis kas karena kita tidak memiliki juridiksi kepada bank di Luar Negeri. Masing-masing negara memiliki aturan masing-masing.

    Mengapa kita harus memperlakukan basis kas untuk kasus ini? Sebenarnya kita tidak memperlakukan basis kas kepada Wajib Pajak Luar Negari tetapi kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Debitur di Indonesia harus mendapat perlakuan yang sama! Istilah versi orang London-nya equal treatment. Ada juga yang bilang equal treatment for equal. Debitur di Indonesia dalam keadaan yang sama, tidak memandang apakah krediturnya di Dalam Negeri atau di Luar Negeri. Karena dalam keadaan sama, maka harus diperlakukan sama, tidak memandang apakah bank pemberi pinjaman di Dalam Negeri atau bank dari Luar Negeri.

    Penerapan prinsip ini mengakibatkan perlakuan basis kas untuk PPh Pasal 26 atas objek bunga yang diterima bank Luar Negeri! Jadi, PPh Pasal 26 atas bunga baru dapat terutang jika Wajib Pajak membayar bunga. Tentu saja bagi Wajib Pajak yang kreditnya lancar tidak dapat menerapkan basis kas.

    KESIMPULAN
    Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 tentang pemberlakuan basis kas bagi kredit non-performing harus menyeluruh berdasarkan prinsip asimetris dan perlakuan setara.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    GOODWILL NEGATIF

    PENDAHULUAN
    Banyak Wajib Pajak besar yang melakukan akuisisi Wajib Pajak lain dengan tujuan mendapatkan manfaat ekonomi! Biasanya tujuan utama akuisisi adalah sinergi usaha pengakuisisi baik untuk jangka pendek atau jangka panjang. Perusahaan yang diakuisisi mungkin memiliki supply bahan baku yang dibutuhkan oleh pengakuisisi sehingga ada jaminan pasokan bahan baku, atau memiliki jaringan pemasaran produk sehingga memudahkan pemasaran, atau bahkan pesaing pengakuisisi sehingga dengan akuisisi tersebut pengakuisisi memiliki pangsa pasar lebih besar. Bisa juga akuisisi untuk melebarkan divisi usaha lain sehingga pengakuisisi memiliki beragam macam usaha, dan lain-lain.

    Dari segi akuntansi, akuisisi juga bisa berfungsi make-up. Perusahaan yang tidak memiliki kegiatan apa-apa (paper company) bisa terlihat memiliki kegiatan di Necara dan Laporan Laba Rugi lainnya dengan mengakuisisi perusahaan sehat. Perusahaan “A” yang membeli lebih dari 50% saham perusahaan “B” harus mencatat investasi tersebut dengan menggunakan metode pooling of interest method. Unsur-unsur laporan keuangan dari perusahaang yang bergabung harus dimasukkan dalam laporan keuangan gabungan. Dan biasanya, laporan keuangan gabungan selalu lebih cantik dilihat dari angka-angka dibandingkan dengan laporan keuangan sendiri.

    Akuisisi juga sering menimbulkan manfaat lain yaitu timbulnya goodwill. Goodwill adalah selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aktiva dan kewajiban yang dapat diidentifikasi pada tanggan transaksi pertukaran. Para akuntan memandang goodwill sebagai menfaat keekonomian masa yang akan datang sebagai hasil sinergi atau sebagai hasil suatu aktiva tidak mungkin diakui.

    GOODWILL NEGATIF
    Goodwill negatif merupakan selisih lebih antara bagian pengakuisisi atas nilai wajar aktiva bersih dan biaya perolehan anak perusahaan yang diakuisisi. Contoh berikut adalah transaksi yang menimbulkan goodwill negatif. Data dibawah ini merupakan Neraca milik anak perusahaan yang diakuisisi :
    Aktiva lancar Rp.100.000.000
    Aktiva Tetap Rp.250.000.000
    Aktiva Lain-lain Rp. 25.000.000
    Hutang Lancar (Rp. 75.000.000)
    Hutang Jangka Panjang (Rp.100.000.000)
    Hutang Lain-lain (Rp. 50.000.000)
    Nilai WAJAR Aktiva Bersih Rp.175.000.000

    Seandainya, perusahaan dengan nilai wajar aktiva bersih seperti tersebut diatas diakuisisi sebanyak 100% senilai Rp.150.000.000 maka pengakuisisi akan mendapatkan goodwill negatif sebesar Rp.25.000.000. Di neraca pengakuisisi, goodwill negatif ini akan muncul di sisi kewajiban sebesar Rp. 25.000.000. Tetapi, goodwill negatif ini hanya akan muncul dalam neraca gabungan atau neraca konsolidasi pengakuisisi. Jika ‘pun’ tidak ada kata-kata neraca konsolidari, biasanya laporangan keuangan konsolidasi selalu ditambah “dan anak perusahaan”. Seperti, PT ABC dan anak perusahaan.

    PSAK No. 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha pada paragrap 46 menyebutkan bahwa goodwill negatif adalah pendapatan yang ditangguhkan (deferred income). Pendapatan ini kemudian secara sistematis selama suatu periode tidak kurang dari 20 tahun akan diakui sebagai pendapatan melalui penyusutan goodwill.

    Kalau PSAK sudah jelas-jelas mengakui goodwill negatif sebagai pendapatan, walaupun diakui selama 20 tahun, bagaimana dengan pajak? Tidak ada aturan khusus tentang goodwill negatif. Karena itu, masing-masing memberikan tafsiran sendiri-sendiri. Satu pendapat menyatakan bahwa goodwill negatif bukan objek PPh sedangan pendapat lain sebagai objek PPh. Berikut ini adalah uraian masing-masing pendapat dan analisa penulis.

    BUKAN OBJEK PPh
    Pendapat pertama mengatakan bahwa goodwill negatif bukan objek PPh. Setidaknya ada dua alasan mengapa goodwill negatif bukan ojejk PPh. Kedua alasan tersebut dalam kasus-kasus yang umum sudah diterima dan diakui kebenarannya.

    Alasan pertama, goodwill negatif hanya muncul di neraca konsolidasi. Sedangkan pada neraca bukan konsolidasi, neraca induk saja, tidak akan ada goodwill negatif. Sedangkan perpajakan di Indonesia, khususnya pajak penghasilan, tidak mengakui adanya laporan keuangan konsolidasi. Hal ini disebabkan kita menganut the classical system dimana masing-masing dianggap sebagai satu entitas yang terpisah. Induk sebagai badan hukum sendiri dan anak sebagai badan hukum yang lain, terpisah dari induk. Sehingga pelaporan perpajakan, angka-angka yang harus dimuat di SPT Tahunan PPh adalah angka-angka laporan keuangan induk saja. Bukan laporan keuangan konsolidasi.

    Kasus ini mirip dengan kasus deviden. Wajib Pajak di negara penganut sistem klasik selalu mengeluh karena adanya double-double perpajakan. Pemegang saham, para konglomerat, akan mendapatkan sebagian kecil saja keuntungan dari unit-unit usaha karena akan terkikis oleh pajak. Sebaliknya, goodwill negatif tidak terkena pajak.

    Jika goodwill negatif akan dikenakan pajak maka SPT PPh kita harus mengakui laporan keuangan gabungan. Angka-angka SPT PPh harus sama dengan laporan keuangan gabungan. Konsekuensinya, anak perusahaan tidak perlu membuat SPT PPh karena semua data keuangan anak perusahaan akan dilaporkan di SPT PPh induk perusahaan. Dengan kata lain, semua kewajiban PPh badan dalam satu grup dilakukan oleh induk saja. Grup dipandang sebagai satu entitas, badan hukum, dan anak perusahaan dianggap sebagai unit-unit usaha yang tergabung menjadi satu kesatuan.

    Alasan kedua, saat akuisisi adalah saat pembelian sedangkan laba atau rugi diakui saat penjualan. Pada keadaan normal, menghitung laba atau rugi adalah penjualan dikurangi pembelian dan biaya-biaya yang terkait dengan barang atau jasa yang dijual. Disebut laba jika nilai penjualan lebih besar daripada harga pokok. Sedangkan pada saat akuisisi, belum ada laba atau rugi karena aktiva yang dibeli belum dijual kembali.

    OBJEK PPh
    Dari contoh neraca diatas, terlihat bahwa goodwill negatif adalah “selisih lebih”. Barang senilai, menurut harga wajar, Rp.175.000.000 dibeli dengan harga Rp.150.000.000. Pembeli tentu saja akan memperoleh keuntungan setidaknya sebesar Rp.25.000.000 walaupun keuntungan itu masih berupa potensi.

    The creation theory of income mengatakan bahwa penghasilan adalah kemampuan ekonomi yang dapat dipakai atau dinikmati. Pada kasus goodwill negatif, selisih lebih antara nilai wajar dengan pembelian merupakan manfaat ekonomi yang dapat dipakai. Bertambahnya nilai aktiva (sebesar goodwill) yang kita miliki dan diakui di neraca konsolidasi mengindikasikan adanya “tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh Wajib Pajak”.

    Pada kasus akuisisi, penghasilan bukanlah capital gain karena capital gain hanya terjadi saat penjualan. Tetapi ada penghasilan lain yang disebut capital appreciation, yaitu penghasilan yang diperoleh karena bertambahnya nilai aktiva kita. Contoh yang sudah umum diakui adalah valuta asing. Semua uang, piutang, hutang atau aktiva apapun yang bernominasi mata uang asing harus ditransfer ke mata uang rupiah dengan harga pasar. Selisih lebih antara harga yang tercatat dengan harga pasar adalah capital appreciation dan dianggap sebagai penghasilan. Pada kasus valuta asing, untuk mendapatkan penghasilan tidak perlu ada penjualan tetapi cukup ‘pertambahan nilai aktiva’. Pertambahan nilai aktiva ini dianggap “tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh Wajib Pajak”.

    Apa yang dimaksud tambahan kemampuan ekonomis? Menurut pakar perpajakan, tambahan kemampuan ekonomis adalah :
    [1] aliran kemampuan ekonomis yang mempunya nilai uang;
    [2] jumlah aljabar dari nilai barang & jasa yang dikonsumsi atau disimpan untuk dipakai.

    Syarat pertama tambahan kemampuan ekonomis adalah dapat dinilai atau mempunyai nilai uang. Syarat kedua adalah ‘dikonsumsi atau disimpan’. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut tidak perlu untuk dikonsumsi tapi bisa juga untuk disimpan dengan tujuan tertentu. Dari batasan tambahan kemampuan ekonomis tersebut diketahui bahwa goodwill negatif merupakan penghasilan dan objek Pajak Penghasilan.

    PENGAKUISISI ADALAH PEMEGANG SAHAM
    Tidak diragukan lagi jika pengakuisisi adalah pemegang saham! Pengakuisisi adalah pemilik saham anak perusahaan, perusahaan yang diakuisisi. Tidak ada yang aneh. Hanya saja, dunia perpajakan selalu memperlakukan aturan khusus berkenaan dengan transaksi yang dilakukan oleh pemegang saham. Kita lihat contoh klasik deviden terselubung dibawah ini.

    PT Selalu Untung menjual sebuah aktiva kepada seorang pemegang saham senilai Rp.10.000.000. Karena aktiva tersebut sudah 100% disusutkan, maka nilai buku aktiva tersebut Rp.0,00 alian NOL. Atas transaksi tersebut, PT Selalu Untuk membukukan keuntungan sebesar nilai jual Rp.10.000.000 karena nilai bukunya nol.

    Ternyata, harga wajar aktiva tersebut bukan Rp.10.000.000 tetapi Rp.30.000.000. Karena terdapat selisih Rp.20.000.000 dengan harga wajar, maka atas pembelian aktiva tersebut pemegang saham memperoleh penghasilan sebesar Rp.20.000.000. Seharusnya, PT Selalu Untung memotong PPh Pasal 23 atas deviden sebesar 15% dari Rp.20.000.000 dan pemegang saham mencatat atau menambahkan penghasilan di SPT PPh OP sebesar Rp.20.000.000 karena pembelian aktiva tersebut.

    Kita kembali ke kasus goodwill negatif. Sekali lagi, pengakuisisi adalah pemegang saham. Saat terjadi akuisisi, pengakuisisi memperoleh penghasilan sebesar goodwill negatif. Penghasilan sebesar goodwill negatif harus diakui oleh pemegang saham (pengakuisisi) dan dilaporkan di SPT PPh Badan. Selanjutnya, tentu saja, harus dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh.

    PENUTUP
    Apakah karena perbedaan cara pelaporan SPT, kita harus kehilangan pajak atas goodwill? Bukankah praktisi akuntansi dan usahawan juga sudah mengakui bahwa goodwill adalah satu jenis keuntungan? Kita pun selalu mendahukukan hakikat daripada formalitas, the substance-over-form principle. Jika hakikat ekonominya goodwill negatif merupakan penghasilan, maka tidak ada alasan untuk tidak memasukkan goodwill negatif sebagai objek Pajak Penghasilan!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    KEADILAN DALAM CUKAI

    APA ITU CUKAI?Segala sesuatu, terutama sesuatu yang abstrak, dapat diketahui dari ciri-ciri sesuatu tersebut. Begitu juga dengan cukai, kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan cukai dari ciri-ciri cukai.
    Dibawah ini beberapa ciri cukai:
    1. Cakupan yang selektif
    Cukai merupakan pajak yang dikenakan kepada barang-barang tertentu atau jasa yang merupakan jenis aktivitas tertentu. Cakupan yang selektif merupakan ciri utama cukai untuk membedakan dengan pajak penjualan. Contoh yang disebut cukai adalah pajak atas produk minyak. Tetapi, di Inggris pada abad tujuh belas, cukai tidak hanya dikenakan kepada makanan, minuman dan barang-barang lain tetap juga dikenakan untuk rumah, perdagangan, kelahiran dan perkawinan.

    2. Diskriminasi
    Banyak sebab mengapa suatu produk atau jasa dikenakan cukai, antara lain:
    a. Cukai dikenakan untuk mengontrol konsumsi barang-barang yang bertentangan dengan moral atau kesehatan. Contohnya cukai tembakau dan cukai alkohol. Bahkan di beberapa tempat dikenakan terhadap permainan kartu dan segala jenis judi.
    b. Cukai dikenakan terhadap barang-barang mewah, seperti kosmetik, parfum, dan permata.
    c. Cukai dikenakan untuk mendorong efesiensi penggunaan sumber daya. Contoh cukai jenis ini adalah cukai polusi.
    d. Cukai bahan mentah (raw material) dimaksudkan untuk mencegah pemborosan pemakaian sumber daya alam.
    e. Cukai dikenakan untuk mendorong memanfaatan tenaga kerja (padat karya). Produk hasil mesin dikenakan cukai lebih besar dibandingkan dengan produk hasil tangan.

    CUKAI DI INDONESIA
    Tidak semua negara memungut cukai. Tapi bagi Indonesia, cukai adalah sumber pendapatan negara yang cukup dapat diandalkan. Buktinya, tiap tahun pendapatan cukai di APBN selalu meningkat. Untuk mengetahui binatang apa cukai itu, kita lihat dalam undang-undang yang berlaku :
    Pasal 1 ayat 1 Undang-undang nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai menyebutkan, “Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

    Selanjutnya, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 11 Tahun 1995, ” (1) Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari :
    a. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
    b. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil;
    c. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.”

    Selanjutnya menurut penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan etil alkohol atau etanol adalah barang cair, jernih, dan tidak berwarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian dan atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi. Sedangkan yang dimaksud dengan minuman yang mengandung etil alkohol adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antar lain bir, shandy, anggur, gin, whisky, dan sejenisnya.

    Kemudian, yang dimaksud dengan sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

    Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

    Rokok daun adalah hasil tempakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung, atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

    Tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Dan, hasil pengolahan tembakau lainny adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut diatas.

    KEADILAN DALAM TEORI PERPAJAKANSetiap orang berpendapat bahwa sistem pajak harus bersifat adil, yaitu setiap wajib pajak harus memberikan bagian “yang layak” untuk membiayai kegiatan umum pemerintahan. Tetapi para ahli tidak bersepakat apa yang dimaksud dengan “yang layak” tersebut. Pada hakikatnya terdapat dua aliran pemikiran yang dapat dibedakan:

    Pendekatan pertama disebut prinsip manfaat atau benefit pinciple. Prinsip ini pertama-tama dikemukakan oleh Adam Smith. Menurutnya, suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak, sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah.

    Berdasarkan sistem ini maka sistem pajak yang benar-benar adil akan sangat berbeda tergantung pada struktur pengeluaran pemerintah. Pendekatan kedua disebut prinsip kemampuan membayar atau ability to pay principle. Menurut prinsip ini, perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak tertentu, dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya.

    Penerapan Prinsip Manfaat
    Menurut sistem manfaat, setiap wajib pajak akan dibebani pajak sesuai dengan permintaaannya terhadap jasa-jasa publik. Karena setiap orang mempunyai preferensi terhadap jasa publik yang berbeda-beda, maka tidak ada rumusan umum yang berlaku untuk semua orang. Setiap wajib pajak akan dikenakan pajak sesuai dengan hasil evaluasi terhadap masing-masing wajib pajak tersebut. Meskipun demikian, ada beberapa pola yang dapat kita kenali. Telah kita ketahui bahwa jenis barang-barang pribadi yang dibeli akan bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan setiap rumah tangga. Pola yang sama juga diharapkan berlaku untuk barang-barang sosial.

    Jadi formula pajak yang tepat tergantung pada pola preferensi masyarakat. Lebih tepat lagi, formula ini tergantung pada elastisitas pendapatan dan elastisitas harga terhadap permintaan barang sosial. Jika elastisitas pendapatan tinggi, jumlah pajak yang berlaku akan meningkat dengan cepat sesuai dengan pertambahan pendapatan. Sebaliknya jika elastisitas harga yang tinggi maka kenaikan jumlah pajak akan lebih kecil.

    Penerapan prinsip kemampuan membayarPrinsip kemampuan membayar mengatakan bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama, sementara orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar lebih besar. Yang pertama disebut keadilan horisontal dan kedua disebut keadilan vertikal. Prinsip keadilan horisontal dengan demikian hanya menerapkan prinsip dasar keadilan berdasarkan undang-undang. Prinsip keadilan vertikal juga memberikan perlakuan yang sama, tetapi beranggapan bahwa mereka yang mempunyai kemampuan berbeda, harus membayar jumlah pajak yang berbeda pula. Penerapan kedua kaidah tersebut memerlukan ukuran kuantitatif mengenai kemampuan membayar.

    Pendapatan telah diterima secara luas sebagi ukuran untuk menentukan kemampuan membayar pajak. Akan tetapi, beberapa pihak tetap berpendapat bahwa konsumsi merupakan pilihan yang jauh lebih baik. Sebagian ahli berpendapat bahwa wajib pajak harus membayar pajak berdasarka apa yang dikonsumsikannya dan bukan berdasarkan apa yang ditabungkannya. Pendekatan berdasarkan konsumsi memberikan rasa keadilan karena hal ini menempatkan beban yang sama terdapat setiap orang yang mempunyai kemampuan konsumsi yang sama.

    APAKAI CUKAI KITA ADIL?Sesuai dengan karakteristik cukai sebagaimana dipaparkan diatas, cukai hanya dibebankan kepada barang-barang tertentu. Khusus di Indonesia, cukai dikenakan terhadap etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau yang meliputi : sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris dan hasil pengolahan tembakau lainya.

    Karena hanya dikenakan terhadap barang-barang tertentu saja, maka sulit sekali melihat keadilan dalam sistem cukai di Indonesia. Prinsip manfaat, mensyaratkan bahwa wajib pajak membayar sejumlah pajak tertentu sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Semakin besar wajib pajak membayar pajak, semakin besar manfaat yang diterimanya. Pada masyarakat yang demokratis, wajib pajak cenderung menggunakan kaidah ini.

    Sedangkan cukai tidak merepresentasikan manfaat yang timbal balik. Pembayar cukai, seperti perokok, tidak pernah mensyaratkan manfaat yang diberikan oleh pemerintah terhadap para perokok. Bahkan sebaliknya, pemerintah mendorong pembatasan ruang-ruang bebas merokok. Pemerintah mengkampanyekan larangan merokok untuk ruangan fasilitas umum seperti di bis, ruang tunggu, ruang kantor, dan lain-lain. Ini artinya, fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk ruangan tempat merokok justru semakin diperkecil.

    Sedangkan, prinsip kemampuan membayar tidak dapat digunakan untuk analisis keadilan dalam cukai. Para wajib pajak dikatakan mendapat perlakuan sama, jika besarnya jumlah pajak yang harus mereka bayar mencakup suatu pengorbanan atau hilangnya kesejahteraan yang sama. Hilangnya kesejahteraan diartikan sebagai hilangnya pendapatan. Berdasarkan anggapan ini, maka masyarakat dengan pendapatan atau kemampuan membayar yang sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama pula.

    Yang sulit adalah tidak semua wajib pajak mengkonsumsi barang kena cukai. Ini artinya, dua orang dengan kemampuan yang sama tidak membayar pajak yang sama jika salah satu dari keduanya mengkonsumsi barang kena cukai sedangkan yang lainnya tidak.

    KESIMPULANBerdasarkan paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
    a. Cukai tidak menganut prinsip-prinsip keadilan terutama terutama jika standar penilaiannya adalah prinsip manfaat (benefit principle) dan prinsip kemampuan untuk membayar (ability to pay principlei).
    b. Tujuan pengenaan cukai lebih kepada mengawasi konsumsi, mencegah akibat negatif, menciptakan lapangan kerja dan penerimaan pemerintah.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Pilih Pidana Pajak atau skp?

    Ketika penulis mengikuti Pendidikan Penyidik PNS Pajak di Pusdik Resintel Polri, seorang perwira polisi yang menjadi instruktur agak terheran-heran dengan jawaban peserta yang berpendapat bahwa proses penyidikan dapat dihentikan jika Wajib Pajak telah membayar pajak terutang ditambah sanksi. Padahal bagi tindak pidana korupsi, misalnya, proses penyidikan harus tetap berlanjut sampai pengadilan walaupun tersangka telah mengembalikan uang yang dicuri. Ingat Buloggate tahun lalu yang menghebohkan negeri ini. Walaupun sang pelaku telah mengembalikan uang yang diambil (konon kabarnya disimpan di lemari di kamar rumahnya) hakim tetap menjatuhkan vonis pidana kepada para pelaku.

    Perbuatan korupsi adalah satu sisi dan mengembalikan uang yang dicuri adalah sisi lain. Tidak dapat disatukan. Tindak pidana korupsi telah dilakukan dan waktu tidak dapat direwind agar dapat mengubah sejarah. Karena itu, tindak pidana tetap dapat diproses ke pengadilan dan hakim dapat, jika terbukti, menghukum pelaku. Sedangkan mengembalikan uang adalah perbuatan lain. Hanya saja perbuatan mengembalikan uang akan menjadi perhatian hakim sebagai hal yang meringankan.

    Proses penyidikan biasanya dapat dihentikan jika :
    [1] Tidak terdapat cukup bukti;
    [2] Nebis in idem
    [3] Daluarsa
    [4] Tersangka meninggal dunia
    Tetapi, tindak pidana pajak punya kekekhususan. Ada satu yang tidak ditemukan pada penyidikan tindak pidana umum. Penyidikan pajak dapat dihentikan jika tersangka melunasi pajak terutang ditambah sanksi empat kali. Ketentuan unik ini diatur di Pasal 44B UU KUP.

    Ingat, besarnya pajak terutang disini berdasarkan perhitungan kantor pajak semata. Wajib Pajak tidak dapat mengajukan keberatan atas besarnya jumlah pajak yang terutang, karena untuk negosiasi besarnya pajak terutang ada jalur tersendiri. Proses negosiasi secara hukum adalah dengan lembaga keberatan, banding ke Pengadilan Pajak kemudian Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Sedangkan jalur penyidikan pajak tidak melalui lembaga-lembaga tersebut. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan “sekilas pandang” jalur pidana pajak.

    Tindak Pidana PajakSeorang kepala BPKP [saat itu] yang juga menjadi dosen mata kuliah Penyidikan Pajak, pernah berkata, “Apakah koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak tidak membuktikan telah terjadi tindak pidana pajak? … Koreksi satu rupiah pun, bagi hukum menunjukkan bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.” Wah, saya pikir benar juga. SPT Wajib Pajak disebut benar jika tidak ada lagi perubahan pajak terutang atau besarnya kerugian. Padahal di negeri ini, hal seperti ini hanya terjadi jika SPT Wajib Pajak telah kadaluarsa 10 tahun tidak diutak-atik oleh kantor pajak. Setahu saya, selama ada surat ketetapan pajak yang berasal dari pemeriksaan selalu ada koreksi! Kalau begitu, semua Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan dong?

    Coba kita perhatikan apa yang dimaksud tindak pidana pajak menurut UU KUP. Pasal 38 UU KUP merinci tindakan-tindakan Wajib Pajak yang merupakan tindak pidana pajak karena kealpaan. Selengkapnya demikian :
    “Barang siapa karena kealpaannya :
    a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
    b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
    sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

    Menurut kebiasaan sehari-hari, kata “alpa” biasanya sinonim dengan lupa atau tidak sengaja. Tetapi dalam bidang hukum, terutama pembuktian di pengadilan, pengertian tersebut sulit diterima. Setiap orang, kapan saja, dapat mengatakan bahwa ia lupa tidak berbuat sesuatu atau telah berbuat sesuatu. Begitu juga dengan kata ‘tidak sengaja’ yang lebih kepada niat seseorang. ‘Pepatah leluhur’ mengatakan bahwa dalamnya lautan dapat diselami tetapi dalamnya hati tidak diketahui. Jadi bagaimana pembuktian sengaja atau tidak sengajanya seorang tersangka?

    Pada pasal berikutnya, Pasal 39 UU KUP, mengatur tindak pidana perpajakan yang dilakukan dengan sengaja. Dalam bahasa sehari-hari, sengaja adalah kebalikan dari alpa. Hampir semua orang dapat membedakan mana perbuatan alpa dan mana perbuatan sengaja. Hanya saja parameternya abstrak. Dan lebih ditentukan oleh subjektivitas seseorang.

    Tetapi dalam hukum, konon, untuk membuktikan sengaja atau alpa diukur dengan latar belakang pendidikan. Seorang Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak dapat disangka dengan Pasal 39 UU KUP jika tersangka memiliki latar belakang pendidikan perpajakan. Orang yang pernah belajar perpajakan tentu mengerti tentang perpajakan. Pernah belajar perpajakan bukan harus sarjana akuntansi karena tempat belajar perpajakan bukan hanya jalur formal tetapi juga informal seperti: kursus brevet dan seminar perpajakan.

    Pembaca ITR juga (mungkin) termasuk orang yang dianggap pernah belajar perpajakan karena ITR adalah salah satu media belajar perpajakan. Karena itulah pembaca ITR mesti hati-hatilah terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP berikut!
    (1) setiap orang yang dengan sengaja:
    a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
    b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
    c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
    d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
    e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
    f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan dan dokumen lainnya; atau
    g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
    sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
    (2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.”

    Undang-undang tidak pernah menentukan berapa jumlah minimal kerugian negara yang sebagai syarat untuk dapat dipenjara. Kata-kata “dapat menimbulkan kerugian pada negara” adalah syarat bagi Wajib Pajak untuk dapat divonis penjara. Adapun jumlahnya mulai satu rupiah sampai jumlah tak terhingga. Jadi jika SPT Tahunan seorang Wajib Pajak dikoreksi oleh kantor pajak, maka hal tersebut telah membuktikan bahwa Wajib Pajak tersebut “menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”. Jadi hati-hatilah ketika mengisi SPT baik masa maupun tahunan karena dokumen tersebut dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk menyeret anda ke muka pengadilan. Dan menerima vonis hakim.

    Jika kita perhatikan, pidana penjara enam tahun dimulai sejak perubahan pertama UU KUP tahun 1994. Sebelumnya ancaman penjara hanya tiga tahun dan denda bisa tidak ditambahkan karena memakai kata “dan / atau”. Tetapi sejak tahun 1994 seorang terpidana otomatis harus bayar denda empat kali (kumulatif)! Konon, latar belakang perubahan ini karena fiskus ingin menahan para tersangka saat penyidikan. Berdasarkan KUHAP, seorang tersangka dapat ditahan jika diancam dengan kurungan penjara minimal lima tahun.

    Proses menuju Penyidikan
    Seseorang tidak dapat disangka melakukan perbuatan pidana kecuali dengan cukup bukti atau tertangkap tangan (bukan tertangkap basah). Tertangkap tangan maksudnya, seseorang yang sedang melakukakan pidana langsung diamankan oleh petugas. Contohnya : seorang perampok ditangkap oleh polisi ketika sedang beraksi. Karena tertangkap tangan, perampok tersebut dapat langsung disidik. Tidak perlu penyelidikan terlebih dahulu.

    Dalam bidang perpajakan, mungkin tertangkap tangan tidak dapat dilakukan karena sulitnya menentukan saat (jam, hari dan tanggal) tindak pidana pajak dilakukan. Karena itu, penyidikan pajak selalu didahului dengan penyelidikan. Istilah resmi penyelidikan pajak adalah pemeriksaan bukti permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan.

    Prosedur dan tata cara pemeriksaan bukti permulaan sama dengan pemeriksaan pajak lainnya. Hanya saja hasil pemeriksaan tidak diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui SPHP tetapi laporannya disampaikan langsung ke Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Ditjen Pajak. Selain itu, jika dalam pemeriksaan biasa dokumen yang dipinjam harus dikembalikan, sebaliknya dalam pemeriksaan bukti permulaan dokumen-dokumen yang dipinjam oleh pemeriksa tidak akan dikembalikan kepada Wajib Pajak tetapi akan ditahan dan disimpan ditempat yang aman. Dokumen-dokumen dan keterangan lainnya akan dijadikan barang bukti untuk penyidikan pajak.

    Jika dalam pemeriksaan biasa pemeriksa cukup menghitung pajak terutang, dalam pemeriksaan bukti permulaan pemeriksa juga harus melaporkan :
    * Posisi kasus
    * Modus operandi
    * Uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana dibidang perpajakan
    * Rincian macam dan jenis barang bukti yang diperoleh (diamankan)
    * Nama dan identitas tersangka dan saksi, serta
    * Kesimpulan dan usul pemeriksa.

    Ada dua kemungkinan usul pemeriksa. Pertama, pemeriksa mengusulkan agar dikeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Kesimpulan ini sebenarnya sama saja dengan pemeriksaan biasa. Tetapi jika memang pemeriksa tidak mendapatkan bukti yang cukup, usul ini paling masuk akal. Kedua, pemeriksa mengusulkan agar dilanjutkan dengan penyidikan pajak. Usul mana yang dipilih oleh pemeriksa, selain ditentukan oleh keadaan objektif dilapangan, juga ditentukan oleh subjektifitas pemeriksa.

    Apapun hasil pemeriksaan bukti permulaan, yang menentukan langkah selanjutnya adalah Direktur Jenderal Pajak. Jika Pak Dirjen menentukan agar dikeluarkan SKP, maka pemeriksa kemudian membuatkan nota penghitungan pajak yang akan dikirim ke KPP terkait. Selanjutnya jika Pak Dirjen menentukan akan dilanjutkan dengan penyidikan pajak, maka Pak Dirjen akan membuatkan Surat Perintah Penyidikan Pajak.

    Sebelum Surat Perintah Penyidikan Pajak dikeluarkan, pemeriksa diharuskan membuat Laporan Kejadian. Laporan ini merupakan bagian dari syarat penyidikan seperti yang dilakukan oleh polisi. Intinya, pelapor (pemeriksa) melaporkan telah terjadi tindak pidana pajak kepada penyidik. Isi Laporan Kejadian sendiri mirip dengan laporan pemeriksaan bukti permulaan. Hanya saja, kalau laporan pemeriksaan bukti permulaan lebih kepada keperluan intern, bawahan melaporkan hasil kerjanya kepada atasan, maka kalau Laporan Kejadian merupakan laporan (pelapor dalam hal ini pemeriksa bukti permulaan) kepada penyidik (yang akan melakukan penyidikan). Laporan Kejadian ini diperlukan untuk bukti perlunya dilakukan penyidikan oleh penyidik dan salah satu dokumen wajib untuk pemeriksaan di pengadilan.

    Banyak Unsur SubjektifnyaSeandainya Direktorat Jenderal Pajak jarang melakukan penyidikan pajak bukan berarti aparat pajak mengabaikan dan menolak penegakkan hukum tetapi karena misi Direktorat Jenderal Pajak adalah mengumpulkan pajak sesuai target yang ditetapkan undang-undang APBN. Ibarat senjata, maka aparat pajak sebenarnya telah dipersenjatai oleh undang-undang dengan kewenangan untuk menyidik dan menyeret para Wajib Pajak yang bandel ke muka pengadilan umum. Tetapi senjata itu akan dan pasti digunakan sekiranya dianggap diperlukan. Dimana pun, baik polisi maupun tentara, senjata selalu dipergunakan saat diperlukan.

    Pada prakteknya yang menentukan Wajib Pajak mana yang harus dilakukan penyidikan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Kewenangan ini tidak didelegasikan ke eselon dibawahnya seperti pemeriksaan biasa. Walaupun banyak Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) tetapi pada kenyataannya sangat jarang Karikpa yang melakukan penyidikan dan, memang, kepala Karikpa tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.

    Unsur subjektivitas Pak Dirjen sangat menonjol ketika menentukan apakah seorang Wajib Pajak akan disidik dan ajukan ke muka pengadilan atau tidak. Jika tidak disidik berarti untuk Wajib Pajak tersebut akan dikeluarkan surat ketetapan pajak, kemudian ditagih, disita dan jika perlu dilakukan paksa badan dulu. Jika masih bandel juga dilelang hartanya. Disisi lain, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut, jika masih belum puas dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Bahkan mungkin mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

    Tetapi jika Pak Dirjen menentukan bahwa seorang Wajib Pajak harus disidik maka dibentuklah tim penyidik yang akan memeriksa seorang tersangka. Penyidik mengumpulkan keterangan-keterangan baik dari para saksi maupun tersangka sendiri. Semua dokumen yang diperlukan sebagai alat bukti akan disita, diperiksa dan jika dapat dijadikan sebagai alat bukti maka diajukan ke muka pengadilan negeri. Selanjutnya, hakimlah yang menentukan apakah seorang terdakwa (wajib pajak) dapat divonis hukuman penjara atau bebas.

    Proses menuju Pengadilan NegeriBiasanya penyidikan dilakukan oleh penyidik pajak yang telah mendapat brevet penyidik dari kepolisian. Tetapi jika diperlukan, polisi dapat mendampingi atau membantu penyidik pajak. Terutama masalah pemberkasan, penyidik pajak kurang pengalaman karena sedikitnya kasus-kasus pidana pajak yang diajukan ke pengadilan negeri. Sedangkan bagi polisi, membuat berkas kasus pidana merupakan pekerjaan sehari-hari. Selain itu, berkas pidana pajak yang dibuat oleh Ditjen Pajak harus diserahkan ke jaksa penuntut umum melalui polisi. Tidak dapat langsung diberikan ke Kejaksaan. Jika polisi merasa tidak lengkap, maka berkas yang berasal dari Ditjen Pajak dapat dikembalikan.

    Selama dilakukan penyidikan, Wajib Pajak yang menjadi tersangka wajib didampingi oleh seorang atau lebih pengacara. Hukum acara kita mewajibkan seorang tersangka yang diperiksa oleh penyidik wajib didampingi oleh pengacara resmi walaupun pada saat pemeriksaan pengacara tidak memiliki hak menjawab. Tugas pengacara hanya mendampingi tetapi tidak memiliki hak menjawab atau membantu memberi jawaban bagi tersangka.

    Jika penyidik pajak merasa bahwa tersangka dikhawatirkan melarikan diri, penyidik pajak memiliki hak menahan tersangka. Tempat penahanan biasanya di rumah tahanan digabung dengan para tersangka kejahatan umum. Hal ini karena Ditjen Pajak tidak memiliki ruang atau rumah tahanan khusus. Jadi dititipkan ke rumah tahanan negara.

    Selama ini, pemeriksaan tindak pidana pajak memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan tidak jarang bertahun-tahun. Jika pemberkasan dianggap lengkap, maka berkas diserahkan ke Kejaksaan melalui Kepolisian. Berkas akan bolak balik jika Kepolisian dan Kejaksaan merasa tidak lengkap. Berkas yang tidak lengkap harus dilengkapi oleh penyidik pajak. Tetapi yang paling menentukan adalah Kejaksaan karena jaksalah yang akan membuat penuntutan di pengadilan negeri. Jika Kejaksaan merasa bahwa berkas telah lengkap, maka kasus akan segera diserahkan ke pengadilan negeri. Dan pengadilan kasus pidana pajak akan segera digelar.

    [catatan : tulisan ini pernah dimuat di ITR, Tahun III, Edisi 2/2003]

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Tips Equaliasasi Objek Pajak

    Laporan keuangan setidaknya menyajikan dua hal, yaitu Neraca dan Laporan Laba Rugi. Dua hal itulah yang wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak di Surat Pemberitahuan PPh Badan / OP. Neraca menyajikan harta, kewajiban dan ekuitas per tanggal tertentu. Sedangkan Laporan Laba Rugi menyajikan hasil kegiatan usaha Wajib Pajak selama satu periode tertentu.

    Kebanyakan Wajib Pajak selalu “menyesuaikan” antara periode akuntansinya dengan tahun kelender atau tahun pajak. Hal inilah yang menjadi patokan fiskus untuk mensinkronkan antara laporan keuangan dengan Surat Pemberitahuan PPh Badan. Karena periode laporan keuangan sama dengan periode tahun pajak, maka angka-angka yang dilaporkan di Surat Pemberitahuan PPh Badan harus sama dengan laporan keuangan!

    Entah karena lupa, sengaja, atau belum tahu, masih banyak Wajib Pajak yang melupakan sinkronisasi atau equalisasi antara Surat Pemberitahuan dengan laporan keuangan. Sekedar diingatkan kembali, bahwa fiskus akan dan harus berpatokan kepada Surat Pemberitahuan. Surat Pemberitahuan berfungsi sebagai laporan pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak kepada kantor pajak. Sedangkan Neraca dan Laporan Laba Rugi hanyalah lampiran atau pelengkap dari Surat Pemberitahuan. Keduanya (Neraca & Laporan Laba Rugi) bukan laporan Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakan!

    Mohon digaris bawahi bahwa fungsi Surat Pemberitahuan sebagai laporan kewajiban perpajakan. Inilah yang membedakan antara laporan keuangan dengan Surat Pemberitahuan. Begitu juga tentang pemeriksaan. Pemeriksaan pajak berbeda dengan pemeriksaan akuntan publik. Pemeriksaan pajak bertujuan memeriksa kebenaran kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku sedangkan pemeriksaan akuntan publik, seperti disebutkan dalam laporannya, adalah untuk menguji kewajiban laporan keuangan. Akuntan publik bertanggung jawab hanya sebatas pada pernyataan pendapat.

    Karena itu, laporan keuangan saja belum cukup. Bagi fiskus, administrasi perpajakan yang baik mungkin lebih penting daripada laporan keuangan yang cantik. Apalagi Direktorat Jenderal Pajak berencana menerapkan sistem administrasi perpajakan modern dan bebas kolusi secara ‘sistemik’ di tahun 2010. Kalau sudah bebas kolusi secara sistemik, mudah-mudah terealisasi, maka tidak ada ruang lagi bagi Wajib Pajak dan pejabat pajak untuk menyembunyikan potensi pajak dan pembayaran pajak ke negara.

    Tulisan berikut berusaha untuk memberikan tips bagi pembaca agar laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan tampak cantik. Jika terdapat kekurangan dalam kewajiban perpajakan, segeralah lengkapi sebelum tim pejabat fungsional pemeriksa pajak datang ke tempat Wajib Pajak. Sanksi administrasi setelah ada pemeriksaan lebih berat daripada sebelum ada pemeriksaan.

    SPT Tahunan PPh BadanWalaupun pada hakikatnya semua pajak berasal dari penghasilan tetapi Pajak Penghasilan atau Income Tax memiliki kekhasan tersendiri karena cara penghitungannya sangat dekat dengan disiplin ilmu akuntansi. Di negara kita, standar akuntansi ditentukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dan standar tersebut diakui sebagai praktek akuntansi yang paling adil dan lazim digunakan didunia bisnis. Selain diakui oleh institusi pengawas pasar modal (Bapepam), Standar Akuntansi Keuangan Indonesia juga diakui oleh administrator pajak (Direktorat Jenderal Pajak). Artinya, laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik sangat berarti bagi SPT Tahunan PPh Badan.

    Tetapi adakalanya penghasilan di laporan keuangan berbeda dengan SPT Tahunan PPh Badan. Tidak semua standar akuntansi dapat diterapkan untuk kepentingan pajak penghasilan. Sebagai contoh, penghitungan persediaan barang dagangan, peraturan perpajakan di Indonesia yang berlaku sekarang hanya membolehkan metode FIFO (first in first out) dan metode rata-rata (average). Jika Wajib Pajak menggunakan metode persesedian LIFO (last in first out) maka nilai persediaan Wajib Pajak harus dikoreksi. Akan ada perbedaan pengakuan antara fiskal dan komersial.

    Wajib Pajak seharusnya membuat equalisasi antara pos-pos di laporan keuangan komersial dan angka-angka di SPT Tahunan PPh Badan. Setiap perpedaan angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak wajib kudu mempersiapkan alasan-alasan yang rasional dan berdasar. Berdasar maksudnya, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan peraturan perpajakan yang berlaku, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri keuangan maupun keputusan direktur jenderal pajak.

    Mulainya harus dari angka-angka komersial, kemudian dikoreksi, baru angka-angka yang disajikan di SPT. Cara membuat equalisasi SPT Tahunan PPh Badan sebenarnya mirip dengan membuat Neraca Lajur. Jadi ada kolom untuk nama-nama perkiraan, kolom rupiah menurut laporan keuangan komersian, kolom koreksi fiskal dan kolom rupiah menurut fiskal. Angka-angka yang ada di kolom menurut fiskal adalah angka-angka yang disajikan di SPT Tahunan PPh Badan. Ditambah lagi catatan dibawahnya, peraturan mana yang menjadi dasar koreksi.

    Keuntungan membuat equalisasi seperti diatas adalah kemudahan bagi Wajib Pajak dan pemeriksa pajak. Mungkin beberapa tahun kemudian setelah SPT Tahunan PPh Badan disampaikan ke kantor pelayanan pajak, baru nongol petugas pajak yang akan memeriksa SPT Tahunan PPh Badan anda. Karena rentang waktu yang lama, kita sering lupa apa yang telah kita kerjakan. Kita lupa, kenapa angka di SPT Tahunan PPh Badan berbeda dengan laporang keuangan. Jika kita telah membuat equalisasi, maka kita tidak akan lupa dan perbedaan-perbedaan tersebut akan mudah dijelaskan kepada pemeriksa pajak. Wajib Pajak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka tersebut disertai dengan dasar hukum yang jelas. Sikap seperti ini tentu akan memberikan kesan kepada pemeriksa pajak bahwa Wajib Pajak tersebut sudah taat aturan pajak. Ini kredit poin untuk Wajib Pajak.

    SPT PPh Pasal 21Jika equalisasi SPT Tahunan PPh Badan bermula dari laporan keuangan komersial, maka equalisasi SPT yang lain bermula dari SPT Tahunan PPh Badan. Pos-pos biaya yang ada di Laporan Laba Rugi yang telah dituangkan didalam SPT Tahunan PPh Badan harus disinkronkan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 23 dan 26. Sedangkan Pos pendapatan (baik pendapatan usaha maupun pendapatan lain-lain) harus disinkronkan dengan SPT Masa PPN.

    PPh Pasal 21 adalah withholding tax yang berkaitan dengan majikan dan buruh. Majikan akan memotong pajak penghasilan milik buruh dan menyetorkannya ke kas negara. Kemudian kewajiban penghitungan, pemotongan dan pembayaran pajak penghasilan buruh selama satu tahun tersebut dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.

    Banyak Wajib Pajak yang mencampurkan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 21. Padahal keduanya jenis pajak yang berbeda. Menurut Prof. R. Mansyuri, Phd yang terlibat langsung dalam tax reform tahun 1985, bahwa Pasal 21 UU PPh dimaksudkan sebagai prosedur pelunasan pajak atas penghasilan yang diperoleh “seseorang” karena bekerja. Syaratnya : ada majikan dan buruh, hubungan keduanya tidak setara. Majikan tentu lebih tinggi daripada buruh. Majikan dalam posisi memberi perintah dan buruh dalam posisi yang diperintah. Karena klasifikasikan begitu, maka pembayaran kepada konsultan profesional bukanlah objek PPh Pasal 21 karena tidak ada majikan – buruh dan posisinya setara!

    Kalau kita sudah dapat membedakan mana objek PPh Pasal 21 dan mana objek PPh Pasal 23, maka kita dapat menyusun SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan benar. SPT Tahunan ini menjadi patokan bagi pemeriksa pajak, apakah Wajib Pajak telah melakukan kewajiban perpajakan dengan benar. Kadang – kadang Wajib Pajak lupa memasukkan upah buruh lepas dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21, padahal upah buruh tersebut telah dipotong dan dilaporkan di SPT Masa PPh Pasal 21. Atau, Wajib Pajak lupa memasukkan pesangon ke SPT Tahunan padalah di SPT Masa telah dilaporkan. Apa pun yang telah dilaporkan di SPT Masa, hendaknya dijumlahkan dan dilaporkan kembali di SPT Tahunan. Jika tidak, Wajib Pajak rugi sendiri.

    SPT Tahunan PPh Pasal 21 berfungsi sebagai rekapitulasi dari semua objek-objek PPh Pasal 21. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 seperti laporan keuangan interim, dilihat dari teknis perhitungan pajak, hanya sementara. Tetapi sementara lebih baik daripada tidak sama sekali. Seandainya tidak membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21, tetapi taat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21, maka SPT Masa tersebut tetap diakui dan Wajib Pajak telah melaksanakan sebagian kewajibannya. Tidak percuma!

    Biar lebih mudah kita mesti mencatat objek-objek PPh Pasal 21 kedalam perkiraan-perkiraan tertentu. Tidak mencampur dengan pos, misalnya, pemeliharaan kantor. Memang tergantung kebiasaan di perusahaan Wajib Pajak tersebut, tetapi mencampur pengeluaran yang memang objek PPh Pasal 21 dengan bukan objek PPh Pasal 21 akan menyulitkan menghitung dan melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21. Dengan tertib pencatatan, Wajib Pajak tidak akan direpotkan dikemudian hari, baik saat membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 maupun saat pemeriksaan pajak!

    Angka-angka yang dicantumkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dapat dijelaskan bersumber dari perkiraan apa saja. Saat membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 kita harus membuat equalisasi antara pos-pos biaya di Laporan Laba Rugi dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Equalisasi ini akan sangat bermanfaat! Setidaknya tidak akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) objek PPh Pasal 21. Penghitungan ganda bisa dilakukan oleh Wajib Pajak saat membuat SPT Tahunan maupun pemeriksa pajak yang tidak mengerti sumber angka di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pemeriksa menduga objek PPh Pasal 21 belum dilaporkan di SPT Tahunan kemudian menghitung ulang (koreksi positif). Jika terjadi penghitungan ganda seperti itu tentu merugikan Wajib Pajak sendiri.

    SPT PPh Pasal 23 dan Pasal 26Seperti diuraikan diatas, perbedaan penting antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah kesetaraan. Jika hubungan antara pemberi penghasilan dengan penerima penghasilan memiliki kesetaraan, bukan hubungan majikan dan buruh maka penghasilan tersebut adalah objek PPh Pasal 23. Selain itu, objek PPh Pasal 23 hanya untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Perhatikan kata-kata dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh berikut, “atas penghasilan tersebut di bawah ini …”

    Tidak semua penghasilan menjadi objek PPh Pasal 23. Berikut adalah jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 dan pengertiannya menurut versi penulis :
    1. dividen, penghasilan yang berkaitan dengan investasi atau penanaman modal;
    2. bunga, penghasilan yang berasal karena utang piutang;
    3. royalty, imbalan sehubungan dengan hak atas kekayaan intelektual;
    4. hadiah & penghargaan, kecuali ada hubungan majikan – buruh;
    5. sewa, imbalan atas penggunaan aktiva tetap;
    6. jasa teknik, jasa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dibidang manufaktur, industri, perdagangan, manajemen atau ilmu pengetahuan;
    7. jasa manajemen, pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung (subjek) dalam manajemen sehari-hari.

    Jasa lain adalah jenis-jenis jasa yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan kuasa dari Pasal 23 ayat (2) UU PPh. Terhadap jasa lain dikenakan 15% dari penghasilan neto yang ditetapkan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Tarif efektif masing-masing jenis jasa berbeda. Karena itu, lebih baik Wajib Pajak memiliki daftar tersendiri atau tinggal salin dari sini.

    Wajib Pajak seringkali mencampuradukkan pengertian jasa manajemen, jasa teknik dan jasa konsultan berdasarkan pengertian awam. Jasa – jasa yang berkaitan dengan manajemen disebut jasa manajemen. Kadang disebut jasa konsultan manajemen. Padahal peraturan perpajakan membedakan jasa konsultan dan jasa manajemen! Seandainya perusahaan diibaratkan dengan kendaraan, jasa manajemen itu adalah jasa supir. Orang-orang yang disewa menjadi supir perusahaan. Bukan hanya memberikan nasehat, teriak-teriak atau hanya memberikan teori-teori manajemen. He is a driver!
    Begitu juga dengan jasa teknik, seringkali diasosiasikan dengan pekerjaan teknik. Bukan hanya itu! Jasa teknik penekanannya pada pemberian informasi dan pengalaman. Kadang mirip dengan royalti. Salah satu ciri yang membedakan jasa teknik dengan royalti adalah pertanggungjawaban keberhasilan. Jasa teknik harus dibayar jika jasanya telah dilaksanakan dan berhasil. Sedangkan penjual royalti kadang tidak peduli apakah pembeli royalti berhasil dalam usahanya atau tidak. Ya, penjual royalti seperti penjual di pasar tradisional, “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” 🙂 Satu lagi ciri yang membedakan jasa teknik dengan royalti adalah jual putus atau bagi hasil. Jasa teknik selalu “jual putus” sedangkan royalti selalu minta bagian (sekian persen dari penjualan).

    Pemahaman atas istilah-istilah tersebut, menurut pengertian perpajakan, akan sangat bermanfaat bagi Wajib Pajak. Setidaknya ada dua manfaat yang diperoleh. Pertama, benar menghitung pajak. Seandainya ada dua istilah dengan tarif yang berlainan maka kesalahpahaman Wajib Pajak akan berakibat perhitungan pajak terutang salah. Bisa lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya. Kedua, mungkin penghitungan ganda. Ini jelas merugikan Wajib Pajak. Seandainya Wajib Pajak telah memotong PPh Pasal 23 atas jasa manajemen sebesar 4,5% tetapi ketika diperiksa oleh kantor pajak, diketahui bahwa jasa tersebut bukan jasa manajemen tapi royalti yang tarifnya 15%, maka Wajib Pajak harus membayar kembali PPh Pasal 23 atas royalti sebesar 15% dari jumlah bruto. Ditambah bunga! Wah? Kasus ini terjadi karena pemeriksa pajaknya berpendapatan bahwa Wajib Pajak baru membayar PPh Pasal 23 atas jasa manajemen tetapi belum membayar PPh Pasal 23 atas royalti. Repotkan!

    Teknik equalisasi PPh Pasl 21, seperti yang diuraikan diatas, sama dengan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. Hanya saja karena PPh Pasal 23 dan Pasal 26 tidak ada SPT Tahunan maka Wajib Pajak tetap harus membuat rekapitulasi SPT Masa. Harus jelas berapa pembayaran PPh Pasal 23 atas royalti, atas sewa, atas jasa teknik selama setahun. Sekali lagi, total pembayaran selama setahun masing-masing tahun pajak dapat diperinci. Kemudian sandingkan dengan biaya-biaya yang dilaporkan di Laporan Laba Rugi!

    Pasal 26 UU PPh adalah withholding tax atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Hukum perpajakan mengharuskan adanya kesetaraan antara Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dengan WPLN. Orang Inggris bilang equal treatment. Jika kepada WPDN dikenakan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 maka kepada WPLN dikenakan PPh Pasal 26. Contoh, pembayaran sewa kepada WPDN adalah objek PPh Pasal 23 sedangkan kepada WPLN adalah objek PPh Pasal 26.

    Tetapi harus diingat bahwa pembayaran PPh Pasal 23 dan pembayaran PPh Pasal 26 harus dipisah. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Pasal 23 dan Pasal 26 harus dipisah. Selain itu, tahun pajaknya harus jelas! Penulisan tahun pajak di SSP harus dikaitkan dengan saat terutang. Bukan saat pembayaran SSP. Bisa jadi kita, karena kesadaran Wajib Pajak, membayar PPh Pasal 26 untuk tahun 2002 pada tahun 2004. Selama belum ada pemeriksaan, boleh-boleh saja. Penghitungan sanksi bunga karena terlambat pembayaran lebih baik diserahkan ke kantor pajak saja. Mudah kan?

    SPT Masa PPNSebagian besar pemeriksa pajak, ketika menerima SPT Masa PPN selalu melihat dulu SPT Masa Desember. Dilihatnya kolom “s.d. bulan ini”. Seandainya angka di kolom tersebut tidak sama dengan angka di SPT Tahunan PPh Badan, maka timbul pertanyaan, “kenapa?” Kenapa angkanya berbeda? Itulah yang harus dijawab dengan cara equalisasi SPT Masa PPN dengan SPT Tahunan PPh Badan.

    Sebagian Wajib Pajak, karena bidang usahanya, mengharuskan angka pos peredaran usaha SPT Tahunan PPh Badan sama penyerahan menurut SPT Masa PPN. Tetapi sebagian lagi tidak memungkinkan adanya persamaan karena sebab-sebab sebagai berikut :
    [1]. Penjualan dengan mata uang asing
    Kurs yang dipakai di SPT Tahunan PPh Badan adalah kurs tengah BI. Antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan khusus tentang kurs sama, yaitu pengakuan pendapatan dan biaya menggunakan kurs tengah BI. Sedangkan SPT Masa PPN harus menggunakan kurs yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap minggunya. Kita mengenalnya kurs KMK. Selain untuk PPN, kurs KMK juga digunakan untuk pembayaran pajak lainnya. Jika pembayaran kita menggunakan mata uang asing, dan pembayaran tersebut terutang PPh Pasal 26 maka akan ada perbedaan angkan antara pengakuan biaya dengan dasar pengenaan pajak PPh Pasal 26. Sekali lagi, penyebabnya adalah kurs KMK dan kurs tengah BI. Dasar pengenaan pajak PPh Pasal 26 wajib menggunakan kurs KMK saat (pada) tanggal pembayaran (tanggal SSP, cash basis) sedangkan pengakuran biaya menggunakan kurs tengah BI saat diakui (acrual basis).

    [2] Penghasilan lain-lain menjadi objek PPN
    Mungkin Wajib Pajak selalu menghasilkan produk sampingan. Baik karena limbah pabrik maupun karena kualitas produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Contohnya pabrik mebel yang menghasilan kayu-kayu kecil yang dapat dijual. Produk seperti ini ketika dijual, hasil penjualannya tentu dimasukkan ke dalam pos penghasilan lain-lain. Tetapi penjualan tersebut jelas terutang PPN. Jadi harus dilaporkan di SPT Masa PPN.

    [3] Ada penyerahan cabang dan ada SPT Masa PPN lokasi
    SPT Masa PPN biasanya per lokasi tertentu kecuali ada sentralisasi pelaporan PPN. Jika terdapat banyak cabang, tidak serta merta penjumlahan semua SPT Masa PPN lokasi harus sama dengan SPT Tahunan PPh Badan. Peredaran usaha adalah penyerahan produk ke konsumen langsung, sedangkan SPT Masa PPN tidak hanya penyerahan produk ke konsumen tetapi penyerahan produk dari pusat ke cabang atau dari cabang ke cabang lainnya. Jadi harus hati-hati.

    [4] Ada penghasilan diterima dimuka
    Saat terutang pajak biasanya saat penyerahan atau saat diterima uang. Mana yang lebih dahulu. Begitu juga dengan PPN. Kita mesti cut-off kapan saat terutang PPN. Seandainya ada uang muka penjualan yang penyerahannya mungkin tiga bulan kemudian, pada akhir tahun uang muka tersebut harus dihitung sebagai objek PPN yang harus dibayar.

    [5] Pemakaian sendiri dan bonus.
    Pemakaian sendiri, pemakaian cuma-cuma atau bonus di laporan keuangan adalah biaya. Sedangkan di SPT Masa PPN, pemakaian produks sendiri merupakan objek PPN. Seperti pabrik minuman, kadang ada produk yang tidak dapat dijual karena dibawah standar mutu yang ditetapkan (produk BS), kemudian produk BS tersebut dibagikan ke karyawan. Ini terutang PPN. Atau mungkin Wajib Pajak memberikan produknya secara cuma-cuma untuk kegiatan amal. Ini juga terutang PPN.

    [6] Beda waktu pelaporan
    Seringkali pembelian barang dagangan dibayar 30 hari sejak transaksi. Dan faktur pajak standar dibuat selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya setelah bulan dilakukan penyerahan. Misalnya transaksi tanggal 23 April, mungkin baru dibayar tanggal 23 Mei. Dan bisa saja dibuat faktur pajak pada tanggal 31 Mei. Transaksi ini dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 20 Juni. Jadi, transaksi bulan Desember dapat dibuatkan faktur pajak bulan Januari tahun berikutnya, SPT Masa PPN bulan Januari.

    Dari contoh ini jelas, bahwa transaksi bulan Desember, secara akuntansi harus diakui pada bulan Desember (tahun yang bersangkutan) sedangkan pelaporan PPN baru dapat dilaksanakan pada SPT Masa PPN bulan Januari tahun berikutnya. Tentu akan terjadi perbedaan angka antara peredaran usaha di SPT Tahunan PPh Badan dengan penyerahan barang di SPT Masa PPN.

    Daripada repot ketika diperiksa oleh kantor pajak, Wajib Pajak harus menguraikan perbedaan-perbedaan antara SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPN. Mungkin angka SPT Masa PPN lebih kecil daripada angka SPT Tahunan PPh Badan, kemudian pemeriksa tidak mengetahui penyebab perbedaan tersebut, maka pemeriksa pajak dapat serta merta mengoreksi objek PPN. Karena menurutnya, angka di SPT Tahunan PPh Badan harus sama dengan angka di SPT Masa PPN! Padahal mungkin saja karena perbedaan kurs saja, atau karena beda waktu pelaporan.

    Satu hal yang berkaitan dengan selisih kurs, Wajib Pajak wajib membuat rekapitulasi perhitungan selisih kurs agar siapa pun yang memeriksa mengetahui asal muasal angka selisih kurs! Bagaimana orang percaya jika tidak ada perhitungan per transaksi. Mirip ulangan mata pelajaran Matematika di sekolah. Guru matematika selalu menekankan pentingnya memperlihatkan proses mendapatkan hasil akhir. Tahap demi tahap. Jika tahapannya benar, jawabannya kemungkinan besar benar. Jika langsung dijawab hasil akhir, akan ada pertanyaan, “nih angka dapat dari mana?”

    PENUTUP
    Direktorat Jenderal Pajak memperkenalkan istilah “Wajib Pajak Patuh”. Siapapun yang mendapat predikat Wajib Pajak Patuh berhak mandapat perlakuan khusus seperti mendapat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Equalisasi SPT seperti yang diuraikan diatas akan sangat bermanfaat bagi Wajib Pajak yang berminat menjadi Wajib Pajak Patuh. Selain itu, Wajib Pajak yang telah membuat equalisasi SPT tidak akan repot ketika diperiksa oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak. Santai aja! Pemeriksa memang mencari-cari kesalahan, tetapi jika kesalahan kita minimal, itu mah manusiawi. No body perfect!

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

    Pilih Adil atau Kemudahan

    Seorang dokter spesialis terkenal yang sering tampil di acara televisi datang tergopoh-gopoh ke kantor pajak. Raut mukanya sekilas menampakkan kekhawatiran jika kedatangan ke kantor pajak tersebut terlambat sehingga akan dikenakan sanksi. Kekhawatiran timbul karena surat yang dikirim kantor pajak disertai ancaman sanksi jika sang dokter terlambat menyerahkan dokumen-dokumen yang diminta.

    Ah, ini dia, surat dari kantor pajak ke wajib pajak selalu dibumbui ancaman. Bahkan ada yang disertai ancaman sanksi pidana. Tapi memang begitulah petunjuk pelaksananya. Kita-kita hanya pelaksana lapangan saja.

    Tetapi yang menarik penulis adalah pertanyaan sang dokter yang sering jadi pembicara tentang seks. Pertanyaan tersebut sulit dijawab oleh pemeriksa karena menyangkut kebijakan birokrasi. Sedangkan pemeriksa hanyalah petugas lapangan. Pertanyaan sang dokter, “Bisakah penghasilan dokter dikenakan PPh Final seperti penghasilan deposito?” Pertanyaan ini mungkin lebih tepat ditujukan untuk para pemegang kebijakan seperti para anggota legislatif ketika merumuskan undang-undang dan Menteri Keuangan beserta jajarannya.

    Sepengetahuan penulis, PPh Final adalah sistem yang tidak adil. Tulisan Adinur Prasetyo (ITR Vo. III/edisi 10/2004) juga menyatakan bahwa, menurut para pakar perpajakan, global taxation yang sekarang diterapkan oleh Indonesia adalah sistem yang paling adil. Kemudian timbul pertanyaan, kenapa sang dokter menginginkan PPh Final? Bukankah sistem tersebut tidak adil?

    DILEMA ADMINISTRATOR
    Seorang dokter mencerminkan komunitas orang-orang yang sudah melek pendidikan tinggi. Apalagi jika sang dokter, seperti dokter yang diceritakan disini, pernah dinobatkan sebagai dokter teladan. Melihat latar belakangnya, tidak dapat diragukan lagi bahwa sang dokter mestinya mengerti tentang pajak. Setidaknya menyadari bahwa pajak hadir untuk membiayai keperluan negara.

    Wajib Pajak sebenarnya sudah menyadari pentingnya pajak bagi negara. Penyelenggaraan negara dimanapun dibiayai oleh pungutan pajak, kecuali secuil negara “petro dollar”. Tingkat kesadaran saja tidak cukup bagi Wajib Pajak untuk selalu taat dan patuh memenuhi kewajiban perpajakan. Masalahnya kemudian, berapa pajak yang harus saya bayar? Begitulah setiap Wajib Pajak selalu bertanya. Hanya sebagian kecil Wajib Pajak yang mengerti bagaimana cara menghitung pajak terutang, bagaimana mengisi SPT, bagaimana membayar pajak dan melaporkan SPT yang telah diisi.

    Bagi sebagian Wajib Pajak, sistem official assesment seperti Pajak Bumi dan Bangunan lebih menyenangkan. Wajib Pajak tinggal menerima SPPT kemudian membayar pajak terutang pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Selesai. Bandingkan dengan Pajak Penghasilan. Wajib Pajak harus mengumpulkan catatan-catatan dan dokumen yang berkaitan dengan penghasilan selama setahun. Kemudian menghitung faktor pengurang penghasilan untuk mencari penghasilan kena pajak. Setelah ketemu pajak terutang, harus bayar pajak jika kurang, kemudian mengisi SPT, dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak. Sesudah lapor bukan berarti segalanya sudah beres. Sewaktu-waktu bisa jadi datang pemeriksa pajak untuk menghitung kembali pajak terutang dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak. Inilah sistem self assesment.

    Konon self assesment system merupakan sistem terbaik. Di negara demokrasi, pemerintah tidak boleh mendikte rakyat. Sebaliknya, rakyat yang harus aktif. Selain itu, keadilan adalah syarat mutlak kebijakan pemerintahan yang modern. Konsekuensinya birokrasi harus dibuat rumit karena keadilan itu sendiri sesuatu yang rumit. Bukan hanya dalam praktek di lapangan, tetapi keadilan dalam teori pun cukup rumit.

    Para pakar perpajakan merumuskan keadilan itu ke dalam dua sisi. Adil secara harizontal dan adil secara vertikal. Simpelnya, Wajib Pajak yang memiliki penghasilan yang sama membayar dengan jumlah yang sama. Sedangkan Wajib Pajak yang memiliki penghasilan berbeda harus membayar pajak berbeda. Kalau penghasilannya besar tentu pajak yang harus dibayar juga lebih besar.

    Administrasi perpajakan dibuat untuk mendekati keadilan. Karena itu administrasi perpajakan cukup rumit. Bagi sebagian orang mungkin sangat rumit. Kerumitan ini sebagai konsekuensi dari prinsip keadilan. Para pakar administrasi memahami bahwa ini adalah dilema birokrasi. Jika administrasi perpajakan dibuat sederhana, berarti tidak adil.

    PPh atas bunga deposito, sebagai contoh, dibuat sederhana. Wajib Pajak bahkan mungkin tidak merasa membayar pajak karena Wajib Pajak tidak pernah menghitung PPh bunga deposito. Wajib Pajak hanya menunggu pemberitahuan atau laporan dari bank bahwa penghasilan bunga deposito Wajib Pajak telah dipotong PPh sebesar 20%. Paling-paling Wajib Pajak hanya melaporkan di SPT. Setelah itu beres. Penghasilan bunga deposito tidak akan dikorek-korek lagi. Final.

    Bagi sebagian orang, administrasi yang rumit adalah hantu yang menakutkan. Tidak jarang orang lebih suka jalan pintas, apa pun caranya. Seandainya diberi pilihan, orang pasti lebih memilih yang serba mudah dan praktis.

    Walaupun bertolak belakang dengan keadilan, PPh final memberikan keuntungan, baik untuk kantor pajak maupun Wajib Pajak sendiri. Sederhana! Kantor pajak tidak perlu repot memeriksa SPT dan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Pun begitu, Wajib Pajak tidak perlu repot menghitung berapa penghasilan yang harus dilaporkan di SPT dan berapa yang harus dibayar. Selain itu, Wajib Pajak tidak perlu khawatir akan kedatangan petugas pajak yang akan memeriksa kebenaran SPT. Seperti kata sang dokter diatas, “langsung dipotong dan langsung beres”. Mudah dan praktis!

    Birokrasi yang baik tentu saja birokrasi yang sederhana, mudah dan setiap orang akan senang jika berurusan dengannya. Tetapi bagi kantor pajak, birokrasi yang seperti itu berarti harus mengorbankan prinsip-prinsip keadilan. Adil dalam mengenakan pajak.

    ADMINISTRATOR YANG FLEKSIBEL
    Orang bijak berkata, “Hidup adalah pilihan”. Masa depan ditentukan oleh pilihan kita sekarang. Setiap kehidupan yang dijalani adalah keputusan yang diambil dari sekian jalan hidup yang dapat dijalaninya. Begitu banyak jalan hidup, sehingga sering dibilang, “Masing-masing memiliki jalan hidupnya.” Setiap orang pasti berbeda karena setiap orang punya pilihan masing-masing. Filosofi “pilihan” ini ada baiknya diadopsi oleh administrator pajak.

    Tidak semua orang melek perpajakan. Itulah kenyataan di negeri ini. Mungkin di negara maju juga tidak jauh berbeda. Bagi orang awam, aturan perpajakan itu susah, dan suka berubah-ubah. Celakanya, kantor pajak yang membuat aturan kurang mensosialisasikan peraturan barunya. Lebih celaka lagi, jika ada peraturan perpajakan yang berlaku surut. So pasti semua Wajib Pajak harus melakukan koreksi. Akhirnya, Wajib Pajak kadang merasa dipermainkan oleh kantor pajak.

    Setiap orang yang memiliki penghasilan tertentu harus menghitung, membayar dan melaporkan pajak sendiri. Sementara tidak setiap orang meng-up date peraturan perpajakan yang baru. Penulis sendiri sering mendengar keluhan Wajib Pajak susahnya mengakses informasi perpajakan di kantor pajak, selain petugas pajak yang tidak ramah.

    Kenyataan ini mengakibatkan Wajib Pajak enggan berhubungan dengan kantor pajak. Jika diberi pilihan, Wajib Pajak mungkin lebih banyak yang memilih tidak bertemu dengan petugas pajak. Sayangnya, dalam self assesment, Wajib Pajak harus bertemu dengan petugas pajak. Tidak ada pilihan. Karena laporan (SPT) Wajib Pajak dianggap betul jika sudah dikeluarkan surat ketetapan pajak. Sementara itu, surat ketetapan pajak hanya akan dikeluarkan jika telah dilakukan pemeriksaan.

    Penulis yakin bahwa sebagian orang mendambakan kesederhanaan administrasi perpajakan. PPh Final adalah salah satu contoh kebijakan yang mengutamakan kesederhanaan. Wajib Pajak tidak perlu repot menghitung-hitung penghasilan yang diperoleh. Tidak perlu repot ke bank untuk membayar pajak dan ke kantor pajak untuk melaporkan SPT Tahunan atau SPT Masa. Semua kewajiban perpajakan akan dilakukan oleh fihak lain yaitu oleh pemberi penghasilan atau yang membayarkan penghasilan. Profesi dokter, sebagai contoh, jika tidak punya praktek sendiri maka sang dokter tidak perlu berurusan dengan petugas pajak karena urusan pajak telah ditangani oleh :
    [1] Bendaharawan, untuk semua penghasilan yang berasal dari gaji atau bagi hasil dengan rumah sakit, dan
    [2] Bank, untuk semua penghasilan yang berasal dari tabungan atau investasi di bank.

    Administrator yang fleksibel maksudnya kantor pajak memberikan pilihan-pilihan bagi Wajib Pajak tertentu, misalnya Wajib Pajak orang pribadi, untuk memilih perlakuan pajak yang paling disukainya. Kantor pajak harus menyediakan banyak pilihan. Diantara pilihan yang mungkin ditawarkan adalah :
    1. global taxation seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh
    2. schedular taxation seperti (walaupun tidak sepenuhnya) oleh Pasal 4 ayat (2) UU PPh
    3. Pajak kepala. Wajib Pajak tiap tahun wajib bayar pajak sejumlah tertentu tanpa memandang penghasilannya.

    Selain yang disebutkan diatas, ada banyak cara lain yang dapat ditawarkan ke Wajib Pajak. Intinya adalah memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Juga memberikan pilihan kepada Wajib Pajak bagaimana membayar pajak yang paling menyenangkan buat Wajib Pajak.

    Catatan yang penting dalam hal ini :
    a. semua Wajib Pajak telah membayar pajak,
    b. kewajiban perpajakan akan terpenuhi tanpa birokreasi yang panjang.
    c. kepatuhan Wajib Pajak akan meningkat karena kemudahan membayar pajak dan kepastian hukum pajak,
    d. mendorong good governance, clean goverment dan citra aparat pajak akan terangkat karena kantor pajak memberikan pilihan kepada Wajib Pajak maka tidak ada alasan jika sistem perpajakan disebut tidak adil. Sistem pajak kita buat seadil-adilnya dan sepraktis-praktisnya. Hanya Wajib Pajak yang menentukan sendiri sistem mana yang akan dipilih. Sistem manapun yang dipilih harus taat asas. Seandainya masih disebut tidak adil, maka ketidakadilan itu karena pilihan Wajib Pajak sendiri.

    Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com