fbpx

Lebih Dalam Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan

Withholding taxes biasanya kewajiban bagi pemberi penghasilan

Pemotongan Pajak Penghasilan lebih dikenal sebagai Potput atau withholding taxes. Ketika membicarakan Potput, maka posisikan kita sebagai pemberi penghasilan atau yang memberikan uang. Tulisan ini membahas lebih tuntas dan lebih dalam tentang Potput atau withholding taxes.

Withholding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di banyak negara. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat penghasilan diterima.

Jika penghasilan disudah diterima dan digunakan, maka sudah jadi kebiasaan di mana pun bahwa kita akan berat bayar pajak. Withholding taxes mencoba meringankan karena dipotong dan dibayarkan ke kas negara saat penghasilan belum diterima. Sistem ini sejalan dengan salah satu dari the four maxim dari Adam Smith yaitu Asas Convinience of Payment.

Pemotongan Pajak Penghasilan diatur di Undang-undang PPh:

  • Pasal 21,
  • Pasal 23,
  • Pasal 26, dan
  • Pasal 4 (2) Final.

Ada juga Pasal 22 yang mengatur pemungutan Pajak Penghasilan. Disebut dipungut karena penghasilan belum ada. Baru beli barang, tapi pembeli sudah disuruh bayar pajak.

Jika kita lihat struktur pasal-pasal di Undang-undang PPh, maka ada Bab Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan, yang meliputi Pasal 20 sampai dengan Pasal 27. Tetapi Pasal 27 sekarang sudah dihapus.

Siapa Pemotong Pajak Penghasilan?

Pada umumnya Pemotongan Pajak Penghasilan dikenakan untuk penghasilan jasa. Atas penghasilan-penghasilan tertentu dipotong oleh pihak pemberi penghasilan.

Dalam hal kita menggunakan jasa pihak lain maka kita harus memotong Pajak Penghasilan ketika membayarkan jasa tersebut. Kemudian kita wajib membuat Bukti Potong, dan menyetorkan ke kas negara. Terakhir, kita wajib lapor SPT Masa PPh atas pemotongan ini.

Apakah semua Wajib Pajak wajib memotong Pajak Penghasilan? Pada dasarnya kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan dibeban kepada Wajib Pajak Badan. Tetapi berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ./1994 ada beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang diberikan kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan, yaitu:

  • Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

Selanjutnya SE-08/PJ.4/1995 menjelaskan, yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya.

Dalam hal pemberi penghasilan bukan pemotong, maka kewajiban pembayaran pajak ditunaikan oleh penerima penghasilan dan dilaporkan di SPT Tahunan.

Perbedaan Pemotongan dan Pemungutan

Istilah pemotongan digunakan untuk PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Sedangkan pemungutan digunakan untuk PPh Pasal 22. Selain itu pemungutan juga digunakan oleh PPN.

Apa sih perbedaan pemungutan dan pemotongan? Sebagian orang mengatakan bahwa pemotongan itu pajak yang diambil dari penghasilan neto. PPh Pasal 21 contohnya, tarif PPh yang digunakan dari penghasilan bersih. PPh Pasal 23 ada yang cocok dengan pengertian ini ada yang tidak. Begitu juga dengan PPh Pasal 26, dasar pengenaannya ada yang jumlah bruto tapi ada yang dari perkiraan penghasilan neto.

Sedangkan pemungutan sebagian orang bilang bahwa pemungut mengambil pajak dari penghasilan bruto. Selain itu, pemungutan mengambil pajak dari pada saat pembelian. Pembelian tentu belum tentu menghasilkan penghasilan. Ada kalanya barang dagangan tidak laku dan jadi biaya. Pengertian ini tepat untuk PPh Pasal 22 dan PPN.

Baik pemotong maupun pemungut sama-sama kepanjangan tangan otoritas pajak (fiskus) untuk mengambil dan menyetorkan pajak ke Kas Negara. Kedua istilah menggunakan bahasa Inggris “withholding taxes”. Karena itu lebih umum disebut potput karena lebih pas untuk menterjemahkan withholding taxes.

Pasal 20 ayat (1) Undang-undang PPh:

Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.

Apa Yang Disebut PPh Final?

Diantara pemotongan PPh, ada yang disebut FINAL. Istilah PPh Final, menurut saya, mengacu pada metode penghitungan pajak terutang. PPh Final menggunakan dasar pengenaan bruto dan langsung dikalikan dengan tarif. Metode ini disebut juga “flat“. PPh Final diatur di Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh.

Istilah final juga harus dilihat dari sisi penerima penghasilan. Perbedaan metode penghitungan PPh terutang justru akan terlihat dari sisi penerima penghasilan. Jadi flat itu harus dilihat dari sisi penerima penghasilan atau pihak yang dipotong.

Sedangkan dari sisi pemotong PPh maka tidak ada perbedaan antara final dan non-final. Pemotong memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetor pajak yang dipotong ke kas negara melalui bank persepsi. Kemudian melaporkan pemotongan tersebut melalui SPT Masa. Ini berlaku baik untuk PPh final maupun non-final.

Pemotong juga memiliki kewajiban untuk membuat Bukti Potong. Dokumen yang menunjukkan bahwa atas penghasilan tersebut telah dibayarkan pajaknya sesuai dengan ketentuan perpajakan. Bukti Potong ini wajib diberikan kepada penerima penghasilan. Bukti Potong memiliki fungsi setara dengan Surat Setoran Pajak (SSP). Pada akhir tahun, Bukti Potong inilah yang akan diperhitungkan atau dikreditkan di Pajak Penghasilan orang pribadi atau Pajak penghasilan Badan.

Dari sisi penerima penghasilan, maka kewajiban penerima penghasilan adalah melaporkan penghasilan yang diterima. Apapun jenis penghasilannya. Baik penghasilan yang dikenakan tarif umum, tarif final, maupun bukan objek. Semuanya dilaporkan.

Pelaporan penghasilan yang dimaksud adalah pelaporan SPT Tahunan baik SPT Tahunan PPh Orang Pribadi maupun SPT Tahunan PPh Badan. Penerima penghasilan wajib menghitung pajak terutang, menyetor kekurangan pajak terutang, dan melaporkankan ke kantor pajak baik melalui efiling.

Perbedaan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 15 Undang-undang PPh

Ada juga pemotongan Pajak Penghasilan yang termasuk jenis final tetapi diatur di Pasal 15 Undang-undang PPh. Lantas, apa perbedaan PPh Final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dengan PPh final berdasarkan Pasal 15?

Sebenarnya Pasal 15 itu mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto Wajib Pajak tertentu. Sedangkan Pasal 4 ayat (2) memang secara jelas menyebut bahwa penghasilan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tertentu.

Ini penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh:

Sesuai ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Namun, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:

  • perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; 
  • kesederhanaan dalam pemungutan pajak; 
  • berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; 
  • pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan 
  • memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,

atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dan ini bagian penjelasan Pasal 15 Undang-undang PPh (temukan perbedaannya!) :

Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and transfer“).
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis, atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha  tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

Cara Gampang Memahami Pasal-Pasal Potput

Pemotongan Pajak Penghasilan selalui disebutkan “Pasal-nya”. Bagi orang yang masih belajar, mungkin masih bingung “pasal berapa untuk apa”. Berikut cara saya mengingatnya.

Pasal 21 untuk upah, gaji, dan imbalan lain yang diterima karyawan atau pegawai. Jadi antara majikan dan buruh. Ini pada umumnya.

Sebenarnya objek penghasilan Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima oleh orang pribadi. Di Pasal 21 orang pribadi dimaksud dibagi 4 golongan:

  • pegawai,
  • mantan pegawai,
  • bukan pegawai, dan
  • peserta kegiatan.

Perhatikan bunyi Pasal 21 ayat (1) Undang-undang PPh :

Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

Pasal 23 untuk jenis penghasilan tertentu. Disebut tertentu karena tidak semua jenis penghasilan, dan tidak semua jenis jasa. Jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23 ditentukan dengan peraturan menteri keuangan.

Sebagian orang mengingatnya bahwa Pasal 23 adalah penghasilan dari jasa tertentu yang diterima oleh Wajib Pajak badan. Sehingga membedakan Pasal 21 dengan Pasal 23 seperti membedakan Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan. Padahal tidak sepenuhnya benar.

Perhatikan bunyi Pasal 23 ayat (1) Undang-undang PPh:

Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap

Jadi, menurut saya, pembeda Pasal 21 versus Pasal 23 bukan antara orang pribadi versus badan tetapi yang membedakan adalah jenis penghasilan.

Pasal 26 untuk semua penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri. Pasal 26 Undang-undang PPh merupakan dasar hukum Indonesia menarik pajak dari penghasilan yang berasal dari Indonesia dan diterim oleh “orang asing”. Ketentuan ini disebut juga asas sumber.

Asas sumber yang dipakai Undang-undang PPh mendasarkan kepada dua unsur, yaitu:

  • menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan
  • menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. 

Ingat, di Pajak Penghasilan, subjek pajak harus jelas. Jika penerima penghasilan adalah subjek pajak luar negeri maka dasar hukum kewenangan Indonesia mengenakan PPh adalah pasal 26. Bukan tax treaty.

Jadi, fungsi tax treaty adalah membatasi Pasal 26 Undang-undang PPh. Sepanjang tidak diatur oleh tax treaty maka berlaku penuh ketentuan Pasal 26 Undang-undang PPh.

Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

Dalam praktiknya, pengenaan PPh final didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 15. Jenis penghasilan dan tarif PPh Final berdasarkan pada Pasal 4 ayat (2) sudah dirangkum di tulisan dengan judul Penghasilan-Penghasilan Yang Dikenai PPh Final. Silakan buka.

Tetapi secara ringkas saya ulangi lagi. Jenis-jenis penghasilan yang dikenai PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh, yaitu:

  1. Jasa Konstruksi,
  2. Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto SBI,
  3. Hadiah Undian,
  4. Bunga Simpanan Anggota Koperasi,
  5. Bunga dan Diskonto Obligasi,
  6. Diskonto Surat Utang Negara,
  7. Penjualan Saham Pendiri dan Bukan Pendiri di Bursa Efek,
  8. Penjualan Tanah dan/atau Bangunan,
  9. Persewaan Tanah dan / atau Bangunan,
  10. Uang Pesangon Yang Dibayarkan Sekaligus,
  11. Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura,
  12. Honorarium dan Imbalan Lain Yang Diterima PNS Atas Bebas APBN/APBD.

Sedangkan jenis penghasilan yang dikenai PPh final berdasarkan Pasal 15 dibahas di tulisan dengan PPh Dengan Norma Perhitungan Khusus. Silakan dibuka.

Berikut jenis-jenis penghasilan yang dikenai PPh final berdasarkan Pasal 15 Undang-undang PPh, yaitu:

  1. Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri,
  2. Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Dalam Negeri,
  3. Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia,
  4. Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah atau Build Operate And Transfer (BOT).

Selain itu, ada satu lagi PPh final untuk jenis penghasilan dividen. Dasarnya adalah Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang PPh. Dividen ini dikenai PPh final jika diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Wajib Pajak yang memberikan penghasilan-penghasilan diatas wajib hukumnya untuk memotong PPh final dan membuat Bukti Potong. Kemudian menyetorkan PPh yang dipotong ke kas negara, dan terakhir melaporkan di SPT Masa PPh.

Pemotongan PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pemotongan PPh Pasal 21 antara lain dilakukan oleh:

  • pemberi kerja, termasuk cabang, perwakilan, atau unit yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan,
  •  bendahara pemerintah,
  • dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, dan 
    penyelenggara kegiatan.
  •  

Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 dibedakan menurut penerima penghasilannya antara lain:

  1. pegawai, 
  2. pensiunan, 
  3. peserta kegiatan, dan 
  4. bukan pegawai. 

Berikut beberapa pengertian terkait pemotongan PPh Pasal 21: 
Pegawai dibedakan menjadi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.

Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah  tertentu secara teratur.

Pegawai tidak tetap disebut juga tenaga kerja lepas, adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.

Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. 

Imbalan bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Pemotongan PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak atas penghasilan antara lain sehubungan dengan impor barang/jasa, pembelian barang dengan menggunakan dana APBN/APBD dan non APBN/APBD, dan penjualan barang sangat mewah.

Berikut tabel daftar pemungut dan objek PPh Pasal 22 : 

Penunjukan pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dilakukan tanpa penerbitan surat keputusan kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013 yang diberikan dengan Surat Keterangan Bebas, yaitu:

  • impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh;
  • emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.

Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013 yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu:

  • impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan/atau Pajak Pertamahan Nilai;
  • impor sementara jika saat impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.

Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.011/2013 yang dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB) yaitu:

  • pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
  • pembelian barang oleh BUMN tertentu yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;NJELASAN UMUM
  • pembelian oleh Bendahara Pemerintah dan BUMN tertentu untuk BBM, listrik, bahan bakar gas, air minum/PDAM, bendabenda pos;
  • pembelian barang dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS);
  • pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/ atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari: kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
  • pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi:
  • impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  • penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

Berikut skema tarif dan dasar pengenaan pajak PPh Pasal 22:

Bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, maka besarnya pemungutan PPh Pasal 22 lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan kepada Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.

Pemotongan PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah cicilan pembayaran pajak bagi penerima penghasilan. Cicilan ini dipotong dan dibayarkan ke Bank Persepsi oleh pemberi penghasilan.

Mulai Agustus 2015 daftar perusahaan yang wajib memotongPPh Pasal 23 semakin banyak karena objek PPh Pasal 23 dari jenis penghasilan “lainnya” diperluas dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.03/2015. Berikut rinciannya:

Jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 menggunakan tarif 15% dari jumlah bruto terdiri dari :

  • dividen
  • bunga
  • royalti
  • hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
  •  

Sedangkan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 menggunakan tarif 2% dari jumlah bruto terdiri dari :

  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan atau bangunan;
  • jasa teknik,
  • jasa manajemen,
  • jasa konsultan,
  • Jasa lainnya.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.03/2015 yang berlaku 23 Agustus 2015 merinci jenis-jenis jasa lain yang dikenai atau dipotong PPh Pasal 23, yaitu :

  1. Jasa penilai (appraisal);
  2. Jasa aktuaris;
  3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
  4. Jasa hukum;
  5. Jasa arsitektur;
  6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
  7. Jasa perancang (design);
  8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
  9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
  10. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas); 
  11. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
  12. Jasa penebangan hutan;
  13. Jasa pengolahan limbah;
  14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/ atau tenaga ahli (outsourcing services);
  15. Jasa perantara dan/ atau keagenan;
  16. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
  17. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI);
  18. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
  19. Jasa mixing film;
  20. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photoslide, klise,bannerpamphlet, baliho dan folder;
  21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
  22. Jasa pembuatan dan/ atau pengelolaan website;
  23. Jasa internet termasuk sambungannya;
  24. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
  25. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/ atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  26. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/ atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  27. Jasa perawatan kendaraan dan/ atau alat transportasi darat, laut dan udara;
  28. Jasa maklon;
  29. Jasa penyelidikan dan keamanan;
  30. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
  31. Jasa penyediaan tempat. dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/ atau jasa periklanan;
  32. Jasa pembasmian hama;
  33. Jasa kebersihan atau cleaning service;
  34. Jasa sedot septic tank
  35. Jasa pemeliharaan kolam;
  36. Jasa katering atau tata boga;
  37. Jasa freight forwarding;
  38. Jasa logistik;
  39. Jasa pengurusan dokumen;
  40. Jasa pengepakan;
  41. Jasa loading dan unloading;
  42. Jasa laboratorium dan/ atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
  43. Jasa pengelolaan parkir;
  44. Jasa penyondiran tanah pengujian 
  45. Jasa penyiapan dan/ atau pengolahan lahan;
  46. Jasa pembibitan dan/ atau penanaman bibit;
  47. Jasa pemeliharaan tanaman;
  48. Jasa pemanenan;
  49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau perhutanan;
  50. Jasa dekorasi;
  51. Jasa pencetakan/penerbitan;
  52. Jasa penerjemahan;
  53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  54. Jasa pelayanan kepelabuhanan;
  55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
  56. Jasa pengelolaan penitipan anak;
  57. Jasa pelatihan dan/ atau kursus;
  58. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
  59. Jasa sertifikasi;
  60. Jasa survey;
  61. Jasa tester, dan
  62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Secara umum, objek PPh Pasal 23 itu dikenakan dari bruto, total penghasilan yang diterima. Tetapi Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.03/2015 (artinya hanya berlaku untuk jenis “jasa lain”) mengatur pengertian bruto.

Penghasilan bruto jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Penghasilan bruto “jasa lain” selain jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan, tidak termasuk:

  • pembayaran gajl, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagaiimbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajakpenyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa, sepanjang dapat dibuktikandengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain; 
  • pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material yang terkait dengan jasa yang diberikan, sepanjang dapat dibuktikan dengan faktur pembelian atas pengadaan/pembelian barang atau material; 
  • pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait Jasa yang diberikan oleh penyedia jasa, sepanjang dapat dibuktikan faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis ; dan/ atau
  • pembayaran kepada penyedia Jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa bersangkutan sepanjang dapat dibuktikan faktur tagihan dan/ atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga. 

Jenis Penghasilan yang dikecualikan pemotongan PPh Pasal 23:

  • penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
    sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  • penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan (PMK. 251/PMK.03/2008);
  • dividen yang diterima perseroran terbatas sebagai WPDN, koperasi, BUMN, atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
    Dividen berasal dari cadangan laba ditahan, dan
  • Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor;
  • dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
    sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
  • bagian laba yang diterima anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. 

Pemotongan PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia berupa:

  1. dividen; 
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang, yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap;
  9. penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia;
  10. premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri;
  11. penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham.

Tarif pemotongan dan dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah 20% dari:

  • penghasilan bruto, dan
  • penghasilan neto.

Jenis penghasilan yang dikenai tarif 20% dari penghasilan bruto, yaitu:

  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang, yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap;

Sedangkan jenis penghasilan yang dikenai tarif 20% dari penghasilan neto, yaitu:

  • penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia;
  • premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri;
  • penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham.

Tarif PPh Pasal 26 atas Jenis Penghasilan Penjualan Saham

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999 , atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap dari penjualan saham Perseroan Terbatas yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik di Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%.

Dalam hal pembeli adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut. Pencatatan akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.

TARIF PPH PASAL 26 ATAS JENIS PENGHASILAN premi asuransi

Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam KMK- 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri adalah sebagai berikut:

  1. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; 
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; 
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar. 

Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan: 

  • lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya; 
  • lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar; 
  • lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak. 

Perlakuan perpajakan menurut KMK-624/KMK.04/1994 tersebut akan berbeda apabila terdapat P3B (tax treaty) antara Indonesia dengan Negara Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap yang berada di Indonesia.

TARIF PPH PASAL 26 ATAS JENIS PENGHASILAN penjualan harta selain saham

Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto

Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Pemotongan pajak tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009 mengatur bahwa atas penjualan atau pengalihan harta yang dimaksud di atas adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan. 

Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

Selain itu, untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya berada di Indonesia. 

Wajib Pajak Luar Negeri yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.

Author: Raden Agus Suparman

Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com atau 08888110017 Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.

One thought on “Lebih Dalam Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan”

Comments are closed.

Eksplorasi konten lain dari Tax Advisor

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca