fbpx

Perpajakan Kerja Sama Operasi

Kewajiban perajakan atas kerja sama operasi atau konsorsium

Kerja sama operasi adalah terjemahan dari joint operation. Istilah lain dari KSO adalah konsorsium. Menurut KBBI, konsorsium adalah perkongsian, himpunan beberapa pengusaha yang mengadakan usaha bersama.

Di blog sebelumnya, saya sudah menulis bahasan yang sama dengan judul Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium. Tulisan yang lama dipicu oleh Wajib Pajak yang saya awasi tetap bersikukuh bahwa dia tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan karena memiliki nama konsorsium.

Sedangkan tulisan kali ini dipicu karena saya baru saja mengikuti e-learning internal DJP tentang Konsorsium. Kenapa saya tulis ulang? Menurut saya ada hal yang menarik yang perlu sampaikan.

Dasar Hukum KSO

Perdebatan tentang KSO sebenarnya karena tidak ada ketentuan perpajakan yang mengatur secara khusus. Semua berdasarkan logika perpajakan, kecuali definisi badan untuk PPN.

Definisi badan diatur di Pasal 1 angka 3 Undang-Undang KUP. Begini bunyinya:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Bunyi yang sama ada di Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPh. Juga diulang di Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PPN.

Kemudian, Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2012 menyebutkan bahwa kerja sama operasi merupakan pengertian badan lainnya dan oleh karena itu jika KSO menyerahkan BKP atau JKP maka wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Jadi, menurut peraturan pemerintah ini tidak semua KSO wajib dikukuhkan sebagai PKP. Tetapi hanya KSO yang menyerahkan barang atau jasa saja.

Definisi badan ada perluasan di Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 04/PJ/2020. Di peraturan ini, kerja sama operasi dan kantor perwakilan perusahaan asing (bukan BUT) contoh bentuk badan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint Operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.

Pasal 1 angka 9 PER-04/PJ/2020

KSO yang wajib PKP dan yang tidak wajib PKP

Bagian penjelasan peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2012 memberikan contoh :

  • KSO yang wajib PKP
  • KSO yang tidak wajib PKP

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:

  • joint operation wajib dikukuhkan sebagai PKP;
  • atas penyerahan BKP/JKP kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak.

Apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Contoh KSO dalam penjualan rumah

Berdasarnya contoh yang dijelaskan peraturan pemerintah diatas, kita bisa membuat logika yang sama untuk konsorsium penjualan tanah. Kasus ini sering ditanyakan tapi masih banyak yang belum tahu.

Tn Badu punya tanah luas dan tempatnya strategis untuk dibuatkan perumahan. Tn Agus seorang pengusaha real estat tertarik dengan lokasi tersebut.

Keduanya sepakat untuk membuat konsorsium, kerja sama. Tanah punya Tn Badu akan dihargai Rp400 juta (kepemilikan di konsorsium 40%). Tn Agus membuat rumah dengan modal Rp500 juta. Dan pada contoh kali ini, rumah yang dibuat oleh Tn Agus laku Rp1 miliar.

Contoh soal ini ada 2 perpajakan, yaitu pajak atas penyerahan tanah dan pajak atas penyerahan bangunan. Bagaimana aspek perpajakannya?

contoh 2 orang yang bekerja sama untuk menjual rumah

Jika penjualan rumah ini atas nama konsorsium, PPh terutang 2,5% atas penjualan rumah ditambah PPN 10%. Pada contoh ini konsorsium wajib PKP karena konsorsium menyerahkan BKP.

Semua penjualan atas konsorsium. Karena itu, kewajiban perpajakan juga harus ditunaikan atas nama konsorsium.

Kasus sedikit digeserkan. Penjualan bukan atas nama konsorsium tetapi Tn Agus yang menjual rumah.

Karena penjualan atas nama Tn Agus maka konsorsium tidak menyerahkan BKP. Konsorsium tidak wajib PKP.

Kewajiban perpajakan ditunaikan oleh Tn Agus. Jika omset Tn Agus diatas batasan pengusaha kecil, Rp4,8 miliar, maka Tn Agus wajib PKP.

Tetapi jika seperti contoh, Tn Agus hanya memiliki omset Rp1 miliar. Maka tidak wajib PKP.

Pajak yang harus dibayarkan adalah PPh atas penjualan rumah dengan tarif 2,5% dari Rp1 miliar. PPh ini dibayarkan oleh Tn Agus. Tetapi Tn Badu juga jual tanah dan seolah-olah dibeli oleh Tn Agus. Sehingga atas penjualan tanah oleh Tn Badu maka terutang PPh atas penjualan tanah sebesar 2,5% dari Rp400 juta.

Pada contoh kedua ini, sebenarnya konsorsium seperti tidak ada. Atau dianggap tidak ada. Dan pihak yang bertransaksi adalah Tn Badu dan Tn Agus, dan pembeli rumah.

Pendaftaran dan Pengukuhan PKP Konsorsium

Pendaftara Wajib Pajak memang melalui online laman ereg.pajak.go.id Tetapi tetap ada persyaratan untuk mendaftar. Silakan cek persyaratan di bawah ini.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ/2020, persyaratan untuk mendapatkan NPWP bagi kerja sama operasi yaitu:

  • fotokopi perjanjian kerjasama atau akta pendirian sebagai bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
  • fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP;
  • dokumen yang menunjukkan identitas diri pengurus bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) dan salah satu pengurus dari masing-masing perusahaan anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi: yaitu fotokopi Kartu NPWP (bagi WNI); atau fotokopi paspor (badi WNA); dan fotokopi Kartu NPWP, dalam hal WNA telah terdaftar sebagai WP.

Persyaratan permohonan pengukuhan PKP sama seperti persyaratan NPWP.

Tetapi di bagian pengukuhan PKP ada syarat lain agar PKP disetujui yaitu:

  1. seluruh anggota Kerja Sama Operasi (Joint Operation) telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  2. seluruh anggota Kerja Sama Operasi (Joint Operation) tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; dan
  3. seluruh pengurus atau penanggung jawab Kerja Sama Operasi (Joint Operation) memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2

Kewajiban PPh KSO

Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:

  1. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Kewajiban menurut PER-04/PJ/2020 sempat muncul di e-learning yang kemarin saya pelajari. Ini penampakkannya:

KSO wajib menunaikan kewajiban PPh Badan

Di penjelasan video e-learning disebutkan bahwa KSO disamakan dengan pengertian badan lainnya. Sebagai subjek pajak badan, maka kewajiban perpajakan atas badan itu juga melekat. Ini yang saya maksud logika pajak.

Tetapi logika pajak ini tidak konsisten. Karena pada saat pembahasan Bukti Potong PPh, seperti PPh Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 23, maka Bukti Potong harus atas nama anggota KSO. Bukan atas nama KSO.

KSO tidak dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 23. Jadi Bukti Potong atas jasa yang diberikan KSO justru menggunakan NPWP anggota KSO

Bagaimana jika pemotong (dalam hal ini pengguna jasa KSO) salah membuat Bukti Potong PPh?

Sepanjang pemotong belum lapor di SPT Masa PPh Pasal 23 atau Pasal 4(2), maka atas bukti potong tersebut dapat dimintakan ke pemotong untuk dibetulkan. Artinya yang asalnya atas nama KSO, menjadi atas nama anggota KSO.

KSO dapat meminta Pemotong Pajak Penghasilan untuk membagi Bukti Potong PPh sepanjang Pemotong belum lapor SPT Masa
Hasil pembetulan Bukti Potong Pajak Penghasilan menjadi atas nama masing-masing anggota KSO

Berbeda dengan diatas, ada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 yang memberikan petunjuk pemecahan Bukti Potong KSO. Menurut SE-44/PJ./1994 bahwa tahapan pemecahan Bukti Potong PPh sebagai berikut:

  1. KSO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana KSO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana KSO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota KSO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban KSO.
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota KSO.
  6. Anggota KSO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Ternyata prosedur yang dimaksud di SE-44/PJ./2020 adalah prosedur pemecahan Bukti Potong Pajak Penghasilan jika pemotong sudah melaporkan Bukti Potong di SPT Masa.

Hak dan Kewajiban KSO sebagai Badan

Karena KSO diperlakukan sebagai badan, maka semua hak-hak Wajib Pajak badan juga berlaku untuk KSO. Apa hak-hak tersebut:

  1. Hak Keberatan sesuai Pasal 25 Undang-Undang KUP
  2. Hak Banding sesuai Pasal 27 Undang-KUP
  3. Hak Peninjualan Kembali sesuai Undang-Undang Pengadilan Pajak
  4. Hak Restitusi
  5. Dan hak lainnya yang dijamin Undang-Undang KUP yang melekat ke Wajib Pajak badan.
Hak KSO dipersamakan dengan WP Badan sesuai ketentuan

Nah, kewajibannya berupa pelaporan juga dipersamakan dengan kewajiban Wajib Pajak Badan. Baik kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan maupun pengungkapan ketidakbenaran

Indonesia Menganut Classical System

Di artikel Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium saya menyinggung classical system yang harus diingat. Sistem ini menjadi dasar kebijakan perpajakan.

Classical system adalah sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.

Mengutif dari laman ddtc.co.id yang mengutip IBFD International Tax Glossary, classical system adalah suatu sistem perpajakan, di mana pajak dikenakan atas laba yang dihasilkan di tingkat perusahaan. Kemudian, pajak dikenakan lagi atas laba bersih (income after tax) di tingkat pemegang saham orang pribadi.

Sementara itu, menurut Cnossen (1996) classical system adalah suatu sistem yang mengenakan pajak dua kali atas penghasilan yang bersumber dari perseroan, yaitu pada tingkat perseroan dan pada tingkat pemegang saham saat dibagikan sebagai dividen. Dengan demikian, classical system memandang perseroan sebagai entitas yang terpisah dengan pemiliknya.

Dengan demikian, jika kita konsisten dengan frase “dipersamakan dengan badan” maka anggota KSO sebagai pemegang saham, sementara KSO setara dengan perseroan.

Jika KSO diperlakukan sebagai wajib pajak badan, maka dia harus menghitung penghasilan neto kemudian membayar PPh badan. Dan wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium
gambar dari LewatMana.com

Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita “cirikan” karakteristik konsorsium:

  1. kumpulan dua badan atau lebih,
  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

  • kewajiban PPh Badan, dan
  • kewajiban PPh Potput.  

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:

  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:

  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:

  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO
  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO
  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki “manajemen” dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 
  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.


KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

  • memberikan gaji ke buruh,
  • menyewa alat berat atau aktiva lain,
  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:

Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

Â