PPh Pasal 26 Atas Pembayaran Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model.

Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber.

Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model.

Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Indonesia memiliki hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) terhadap Bentuk Usaha Tetap. Walaupun status Bentuk Usaha Tetap merupakan Wajib Pajak luar negeri tetap kewajiban perpajakan Bentuk Usaha Tetap disamakan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri lainnya, yaitu wajib melaporkan seluruh penghasilannya dari usaha atau kegiatannya di Indonesia. Wajib Pajak luar negeri yang lain tidak ada kewajiban melaporkan penghasilan usahanya seperti Bentuk Usaha Tetap.

Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :

  1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu ke OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.

Sekilas Ketentuan Pajak Penghasilan

Salah satu ciri khas pajak adalah tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Mungkin saja pelayanan negara kepada pembayar pajak dengan penyelundup pajak sama saja. Jadi, apa bedanya membayar pajak dengan tidak membayar pajak?

Hampir semua orang tidak akan membayar pajak dengan senang hati. Jika mungkin, setiap orang dapat menikmati hasil usahanya tanpa berkurang karena pajak. Supaya pajak dapat tetap dibayar oleh Wajib Pajak maka pajak harus memiliki kekuatan memaksa agar Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya.

Dalam negara hukum, sifat memaksa hanya dapat dibenarkan jika berdasarkan undang-undang. Sesuai dengan konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, pajak yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang.

Bagian Ketentuan Pajak Penghasilan, penulis akan menguraikan yurisdiksi pengenaan pajak, siapa dan apa yang kenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan domestik, mengapa perlu membuat tax treaty dengan negara lain, dan bagaimana kewenangan Indonesia memungut pajak atas premi asuransi berdasarkan tax treaty yang ada.

Yurisdiksi Pengenaan Pajak

Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.”

Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation . Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, seperti yang berlaku sekarang, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh).

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif .

Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”

Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri .

Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh dan diterima secara global , yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak).

Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Subjek Pajak

Subjek pajak itu adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek pajak itu pada umumnya subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak, yang kemudian diatur dalam undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai subjek pajak.

Subjek pajak diatur oleh Pasal 2 UU PPh. Menurut Pasal 2 ayat (1), subjek pajak adalah (a) 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; (b) badan; (c) bentuk usaha tetap. Selanjutnya, menurut Pasal 2 ayat (2), subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Pembagian subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri mengacu kepada domisili subjek pajak tersebut seperti yang diuraikan diatas.

Sedangkan perlakuan perpajakannya terdapat perbedaan yang mendasar. Subjek pajak luar negeri hanya dikenakan PPh di Indonesia atas penghasilan yang bersumber di Indonesia. Sebaliknya subjek pajak dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilannya, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (world wide income).

Objek Pajak

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan (seperti: memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak gerak, menempati rumah tertentu), perbuatan (seperti: melakukan penyerahan barang karena perjanjian), maupun peristiwa (seperti: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak) .

Tetapi objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang lengkapnya berbunyi, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,…

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

tambahan kemampuan ekonomis
Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud “tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.

baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh.

yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

dengan nama dan dalam bentuk apapun
Bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Pedoman yang harus dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.

Prinsip Netralitas

Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal.

Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang “netral” yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.

Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.

Doernberg, sebagaimana dikutif oleh Gunadi, menyebut tiga unsur netralitas:

netralitas ekspor modal (capital-export neutrality)
Sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik. Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002.

netralitas impor modal (capital-impor neutrality)
Netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality). Maksud netralitas ini adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.

netralitas nasional (national neutrality).
Netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.

Sementara Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.

International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.

Terjadinya Pajak Ganda

Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.

Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis . Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.

Contoh pajak ganda ini adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.

Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system. Sistem ini didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain.

Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar. Penerapan sistem ini menimbulkan efek pengenaan pajak berganda dan tidak mencerminkan asas keadilan dan pemerataan.

Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari Full integration system, deviden deduction system, split rate system, devidend examption system  dan imputation system. Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan  devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.

Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi. Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.

Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir. Contohnya devidend deduction system, yaitu integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan.

Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen. Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.

Sistem lainnya yaitu split rate system pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan. Terakhir, imputation system yaitu dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.

Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) karena ada dual residence; (2) konflik antara asas domisili dengan asas sumber; (3) perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).

Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan misalnya ia diperlakukan masing-masing sebagai penduduk Indonesia dan Singapura . Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Kriteria dimaksud adalah (i) tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence; (ii) pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada; (iii) kebiasaan berdiam (habitual abode); (iv) status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak; (v) prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Konflik antara asas domisili dengan asas sumber merupakan jenis pajak ganda yuridis yang kedua. Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut.

Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.

Metode Penghindaran Pajak Berganda

Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu metode pembebasan dan metode kredit.

Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber. Metode pembebasan meliputi:

Pembebasan subjek
Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa. Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 UU PPh.

Pembebasan objek
Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) diabaikan sama sekali.

Pembebasan pajak
Metode ini dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif.

Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.

Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Metode ini yang paling lazim dipakai dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memakai varian metode ini.

Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili. Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit. Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.

Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.

Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:

Overall limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Per country limitation
Menurut metode ini, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 UU PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

Tax sparing
Metode ini disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday. Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber. Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.

Underlying tax credit
Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba. Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.

Matching credit
Matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty). Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.

Tax Treaty

Tujuan dari pembebasan dan kredit pajak adalah untuk menghindari pajak berganda. Undang-undang domestik biasanya telah mengatur secara unilateral pencegahan pajak ganda internasional. Pasal 3 dan Pasal 24 UU PPh merupakan ketentuan domestik mengenai pencegahan pajak berganda. Tetapi pengaturan unilateral pencegahan pajak berganda tersebut sering kurang memadai untuk menghilangkan sama sekali pengenaan pajak berganda. Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan ketentuan unilateral tidak efektif , yaitu:

Satu, apabila Wajib Pajak dalam negeri suatu negara menerima penghasilan dari negara lain yang telah mengenakan pajak sebagai negara sumber, negara domisili tersebut dapat saja secara unilateral membebaskan pengenaan pajak di negara domisili tersebut dengan tujuan mencegah pajak ganda dengan memakai metode pembebasan, namun tidak ada jaminan negara lain tersebut juga akan melakukan pencegahan pajak ganda yang sama. Jika di negara sumber dan di negara domisili tidak timbal balik (reciprocal) maka akan tetap ada pajak ganda.

Dua, suatu sistem pajak atas penghasilan di suatu negara itu unik, sehingga kemungkinan pengenaan pajak ganda atas penghasilan dari transaksi antara dua negara adalah sangat besar, apabila pencegahan pajak ganda hanya diserahkan kepada pengaturan kententuan pencegahan pajak ganda unilateral dari undang-undang domestik. Misalnya dalam hal ketentuan tentang negara sumber dari penghasilan tertentu yang berkenaan dengan source rule. Masing-masing negara mendefinisikan sendiri sehingga di dua negara atau lebih berbeda. Perbedaan definisi source rule merupakan penyebab pajak berganda seperti diuraikan diatas.

Tiga, ketentuan undang-undang domestik biasanya kaku dan tidak lentur. Biasanya interpretasi atas undang-undang domestik tidak memungkinkan memberi akomodasi untuk mencegah pajak ganda, sebab ketentuan undang-undang domestik itu ditujukan guna memasukkan sejumlah penerimaan pajak dan bukan untuk mencegah pajak ganda internasional.

Karena itu, untuk mencegah pajak ganda internasional dibuat ketentuan bilateral antara dua negara yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. Agar benar-benar tidak terjadi pajak berganda, biasanya dalam tax treaty dibuat aturan yang berlapis-lapis. Setidaknya ada tiga lapis aturan untuk menghindari pajak ganda.

Lapis pertama adalah ketentuan untuk mencegah dual residence. Dalam OECD model dan UN model, ketentuan tentang penduduk diatur dalam Pasal 4 tax treaty. Penyelesaian masalah dual residence ini biasanya dilakukan berdasarkan a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan. Jika kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah maka digunakan kriteria kedua, dan seterusnya. Kriteria yang dimaksud adalah permanent home, centre of vital interest, habitual abode, nationality dan mutual agreement. Dengan ditiadakannya kemungkinan dual residence maka pajak ganda yang disebabkan oleh hal ini dengan sendirinya tercegah.

Lapis kedua aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu: pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili. Pada dasarnya suatu tax treaty adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
    • penghasilan immovable propertypenghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treatypenghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises)penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain
    • imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.

Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan. Contoh jenis penghasilan ini adalah bunga, dividen dan royalti.

Ketiga, Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:

  • penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
    • capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property, pensiunan, business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
    • penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
  • penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif,  (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii)  balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.  

Lapis ketiga aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu mutual agreement procedure (MAP). MAP merupakan suatu upaya yang diberikan kepada setiap subjek pajak yang masih mengalami pemajakan ganda untuk meminta pejabat pajak yang berwenang dari negara domisili untuk melakukan mutual agreement dengan pejabat pajak yang berwenang dari negara sumber, sehingga tercapai kesepakatan untuk menghilangkan adanya pajak ganda yang dikenakan kepada subjek pajak tersebut.

Bentuk Usaha Tetap

Seperti diuraikan diatas, dalam tax treaty biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentu Usaha Tetap (BUT). Ketentuan tentang hal ini dalam OECD model dan UN model diatur dalam Pasal 7 ayat (1).

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat:

Satu, adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam.

Dua, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan

Tiga, kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Selanjutnya, yang akan dibahas disini pembatasan Bentuk Usaha Tetap untuk bidang usaha asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5).

Pasal 5 ayat (1) mensyaratkan adanya a fixed place. Seperti diuraikan diatas, Pasal 5 ayat (1) memerlukan tiga syarat, yaitu : adanya tempat usaha, bersifat tetap, dan dilakukan melalui tempat tetap tersebut. Sedangkan Pasal 5 ayat (5) mengatur bahwa orang / badan dapat ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal:

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi. UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Bentuk Usaha Tetap apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).

Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Batasan Bentuk Usaha Tetap Perusahaan Asuransi

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa terdapat dua model pengenaan premi asuransi ke luar negeri. Model pertama disarankan oleh OECD model. Commentary Pasal 5 ayat (5) menyebutkan, “according to the definition of the term “permanen establishment” an insurance company of one State may be taxed in the other State on its insurance business, if it has a fixed place of business within the meaning of paragrap 1 or if it carries on business through a person within the meaning of paragraph 5”.

Model kedua disarankan oleh UN model. Commentary Pasal 5 ayat (6) menyebutkan, “.. the Group agreed that the case of representation through independent agents should be left to bilateral negotiations, which could take account of the methods used to sell insurance ….

Australia

Tax treaty dengan Australia bernama “Agreement between the goverment of The Republic of Indonesia and the goverment of Australia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 22 April 1992, dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 62 tahun 1992 tanggal 10 Nopember 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Austria

Tax Treaty dengan negara Austria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Austria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect of taxes on income and on capital”. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Vienna pada tanggal 24 Juli 1986 dan telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 8 tahun 1987 tanggal 20 April 1987.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Belgia

Tax Treaty dengan negara Belgia terdapat dua periode, yang pertama didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital” yang ditandatangani oleh kedua negara di Brussels pada tanggal 13 Nopember 1973 kemudian diratifikasi Keputusan Presiden No. 50 tahun 1974 tanggal 13 September 1974. Tax Treaty ini berlaku dari tanggal 1 Januari 1975 sampai dengan 31 Desember 1998.

Periode kedua didasarkan pada “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income” yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 16 September 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 149 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. Tax treaty yang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999 sampai sekarang.

Pada periode pertama, tax treaty mengatur secara khusus batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (5). Tetapi pada periode kedua, batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi dihilangkan. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1999 Bentuk Usaha Tetap diuji dengan dependensi agen asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5).

Brunei Darussalam

Tax treaty dengan negara Brunei Darussalam bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Brunei Darussalam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandantangani oleh kedua negara di Bandar Seri Begawan pada tanggal 27 Februari 2000 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 2000 tanggal 20 April 2000.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Bulgaria

Tax treaty dengan negara Bulgaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Bulgaria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Sofia pada tanggal 11 Januari 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1991 tanggal 18 Juli 1991.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Kanada

Tax treaty dengan negara Kanada bernama “Convention between The Republic of Indonesia and Canada for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1979 tanggal 3 Desember 1979.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Tax treaty dengan Kanada telah diamandemen pada tanggal 1 April 1998 tetapi Pasal 5 ayat (5) tidak mengalami perubahan (tidak diamandemen).

Sri Lanka

Tax treaty dengan negara Sri Lanka bernama “Agreement between Republic of Indonesia and The Democratic Socialist Republic of Sri Lanka for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect ot taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Kolombo pada tangga 3 Februari 1993 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Taiwan

Tax treaty dengan negara Taiwan bernama “Agreement between The Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and The Taipei Economic and Trade Office for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”Tax treaty ini telah ditandatangani di Taipei pada tanggal 1 Maret 1995 dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 507/KMK.04/1995 tanggal 7 Nopember 1995.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Ceko

Tax treaty dengan negara Ceko bernama “Agreement between the govenment of Republic of Indonesia and the government of The Czech Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1994 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1995 tanggal 6 Desember 1995.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Denmark

Tax Treaty dengan negara Denmark bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Denmark for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”.  Tax treaty ini ditandatangani  di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1985 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 15 tahun 1986 pada tanggal 21 April 1986.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Finlandia

Tax Treaty dengan negara Finlandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Finland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 49 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perancis

Tax Treaty dengan negara Perancis bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The French Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jerman

Tax treaty  dengan negara Jerman bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Federal Republic of Germany for the avoidance of double taxation with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bonn pada tanggal 30 Oktober 1990 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Hungaria

Tax treaty dengan negara Hungaria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hungarian People’s Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1989 tanggal 9 Desember 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

India

Tax treaty dengan negara India bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of India for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1987 tanggal 8 Desember 1987.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Italia

Tax treaty dengan negara Italia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the gorvernment of The Italian Republic of for the avoidance of double taxation with respet to taxes on income and the prevention of fiscal evasion”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1990 tanggal 9 Oktober 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Jepang

Tax treaty dengan negara Jepang bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and Japan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Tokyo pada tanggal 3 Maret 1982 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1982 tanggal 27 Oktober 1982.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Yordania

Tax treaty dengan negara Yordania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hashemite Kingdom of Jordan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Amman pada tanggal 12 Nopember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 151 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. 

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Korea

Tax treaty dengan negara Korea Selatan bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Nopember 1988 dan diratifikasi pada dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1989 tanggal 8 Maret 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Kuwait

Tax treaty dengan negara Kuwait bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The State of Kuwait for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuwait pada tanggal 23 April 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 152 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.  

Luxembourg

Tax treaty dengan negara Luxembourg bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Grand Duchy of Luxembourg for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Luxembourg pada tanggal 14 Januari 1993 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Malaysia

Tax treaty dengan negara Malaysia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Malaysia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 12 September 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1992 tanggal 26 Juni 1992.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mauritius

Tax treaty dengan negara Mauritius bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Mauritius for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Desember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1998 tanggal 12 Januari 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mongolia

Tax treaty dengan negara Mongolia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Mongolia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Ulan Bator pada tanggal 2 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 157 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung risiko di negara lain.

Belanda

Sampai saat ini, terdapat dua tax treaty dengan negara Belanda yang telah diratifikasi. Tax treaty yang pertama bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of The Netherlands for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty  ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1973 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1974 tanggal 14 Januari 1974. Kemudian, tahun 1993 tax treaty ini diamandemen dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1994 tanggal 24 Januari 1994.

Kedua tax treaty dengan Belanda mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5) dalam tax treaty tahun 1973 dan Pasal 5 ayat (6) dalam tax treaty tahun 1994. Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Selandia Baru

Tax treaty dengan negara Selandia Baru bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of New Zealand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Wellington pada tanggal 23 Maret 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Norwegia

Tax treaty dengan negara Norwegia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 45 tahun 1988 tanggal 8 Nopember 1988.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Pakistan

Tax treaty dengan negara Pakistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Islamic Republic of Pakistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Islamabad pada tanggal 7 Oktober 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 tahun 1991 tanggal 23 Januari 1991.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Filipina

Tax treaty dengan negara Filipina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Philippines for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Manila pada tanggal 18 Juni 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1981 tanggal 28 Oktober 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Polandia

Tax treaty dengan negara Polandia bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Poland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Warsawa pada tanggal 16 Oktober 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 1993 tanggal 4 Agustus 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Rumania

Tax treaty dengan negara Rumania bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Romania for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 147 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Singapura

Tax treaty dengan negara Singapura bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Singapura pada tanggal 8 Mei 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1990 tanggal 20 Desember 1990.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Vietnam

Tax treaty dengan negara Vietnam bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Socialist Republic of Vietnam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Hanoi pada tanggal 22 Desember 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 177 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Afrika Selatan

Tax treaty dengan negara Afrika Selatan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of South Africa for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Juli 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 148 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Spanyol

Tax treaty dengan negara Spanyol bernama “Agreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Spain for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Mei 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Sudan

Tax treaty dengan negara Sudan bernama “Agreement between the government of the Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Sudan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Khartoum pada tanggal 10 Februari 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 150 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swedia

Tax treaty dengan negara Swedia bernama “Convention between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Sweden for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 28 Februari 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1989 tanggal 30 April 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Swis

Tax treaty dengan negara Swis bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Swiss Confederation for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Bern pada tanggal 29 Agustus 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1989 tanggal 31 Agustus 1989.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Siria

Tax treaty dengan negara Siria bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Syria Arab Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Juni 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 176 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Thailand

Tax treaty dengan negara Thailand bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Thailand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Bangkok pada tanggal 25 Maret 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1981 tanggal 7 Juli 1981.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (4). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uni Emirat Arab

Tax treaty dengan negara Uni Emirat Arab bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the governement of The United Arab Emirates for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 156 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Tunisia

Tax treaty dengan negara Tunisia bernama “Agreement between the Republic of Indonesia and The Republic of Tunisia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Denpasar tanggal 13 Maret 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1993 tanggal 24 Februari 1993.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Turki

Tax treaty dengan negara Turki bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The Republic of Turkey for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 160 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).

Ukraina

Tax treaty dengan negara Ukraina bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Ukraine for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 April 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 155 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).

Mesir

Tax treaty dengan negara Mesir bernama “Agreement the government of The Republic of Indonesia and The Arab Republic of Egypt for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Kairo pada tanggal 13 Mei 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 153 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Inggris

Tax treaty dengan negara Inggris bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capital”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1974 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1975 tanggal 13 September 1975. Kemudian pada tanggal 5 April 1993 di Jakarta ditandatangani tax treaty yang kedua yang merupakan renegosiasi tax treaty yang pertama. Tax treaty yang kedua diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 118 tahun 1993 tanggal 8 Desember 1993.

Kedua tax treaty dengan Inggris mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Amerika Serikat

Tax treaty dengan negara Amerika Serikat bernama “Convention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of United States of Amerika for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1988 tanggal 31 Oktober 1988.

Kemudian pada tanggal 24 Juli 1996 di Jakarta ditandatangani protokol amandemen tax treaty  yang pertama. Amandemen ini telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 88 tahun 1996 tanggal 20 Nopember 1996.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7), dan tahun 1996 Pasal 5 ini tidak diamandemen. Sehingga setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Uzbekistan

Tax treaty dengan negara Uzbekistan bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Uzbekistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income (profits)”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 161 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Venezuela

Tax treaty dengan negara Venezuela bernama “Agreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Venezuela for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 158 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.

Tax treaty  ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap  perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.

Perantara Asuransi

Pada bagian ini, penulis membahas ketentuan perantara asuransi yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian.

Pengertian Asuransi

Terdapat beberapa definisi asuransi atau pertanggungan yang dapat menjelaskan pertanyaan ‘apa itu asuransi’. Baik definisi yang ditulis oleh pakar tentang asuransi maupun definisi menurut undang-undang. Di bawah ini dua definisi asuransi berdasarkan definisi undang-undang :

Menurut Pasal 246 KUHD:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Jika diperhatikan, kedua definisi hukum tersebut tidak ada pertentangan. Tetapi definisi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian) lebih luas. Definisi UU Perasuransian mencakup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan definisi KUHD hanya mencakup asuransi kerugian.

Jika dilihat dari sudut tertanggung asuransi merupakan kemauan untuk menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti untuk sebagai pengganti (substitusi) kerugian besar yang belum pasti. Tertanggung bersedia membayar premi dimasa sekarang agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Manfaat Asuransi

Banyak menfaat yang dapat dipetik oleh individu atau perusahaan dari kegiatan perasuransian, seperti perasaan aman yang diperoleh tertanggung ketika resiko-resiko yang mungkin timbul dimasa yang akan datang. Dibawah ini beberapa manfaat asuransi menurut pandangan Riegel dan Miller, sebagaimana dikutif oleh Abbas Salim :

  1. Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-perusahaan berada dalam keadaan aman. Dengan membeli asuransi, para pengusaha akan menjadi tenang.
  2. Dengan asuransi efesiensi perusahaan dapat dipertahankan. Guna menjaga kelancaran perusahaan, maka dengan asuransi resiko dapat dikurangi.
  3. Penarikan biaya akan dilakukan seadil mungkin (the equitable assestment of cost). Ongkos-ongkos asuransi harus adil menurut besar kecilnya resiko yang dipertanggungkan.
  4. Asuransi sebagai dasar pemberian kredit.
  5. Asuransi merupakan alat penabung, umpamanya dalam asuransi jiwa.
  6. Asuransi dapat dipandang sebagai suatu sumber pendapatan (earning power). Sumber pendapatan ini didasarkan kepada financing the business.

Perantara Asuransi

Hubungan antara penanggung dan tertanggung harus dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut polis. Hubungan tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip asuransi yang berlaku umum. Ada lima prinsip asuransi dan satu prinsip tambahan untuk reasuransi yang disebut Follow the fortunes of the ceding company . Berikut ini keenam prinsip asuransi tersebut :

Prinsip itikad baik
Penanggung dan tertanggung wajib melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undang-undang. Tertanggung tidak diperkenankan menyembunyikan segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung. Sebaliknya, penanggung tidak boleh menolak atau melakukan penundaan penyelesaian klaim yang menjadi tanggung jawabnya dengan berbagai dalih.

Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan
Pihak tertanggung wajib membuktikan diri bahwa dialah yang mempunyai kepentingan atas objek yang dipertanggungkan pada saat terjadinya kerugian.

Prinsip Ganti Rugi (Indemnitas)
Penggantian dan/atau pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung hanya terbatas pada kerugian sebenarnya yang dibayarkan oleh tertanggung sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku serta sah menurut hukum.

Prinsip Subrograsi
Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti kerugian yang sah kepada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak tertangggung untuk memperoleh pemulihan dan/atau menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.

Prinsip saling menanggung
Prinsip saling menanggung (kontribusi) merupakan dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada pihak yang bersangkutan, termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung bersama sesuai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi, dan reasuransi.

Prinsip follow the fortune of the ceding company
Prinsip ini juga diartikan dengan prinsip “mengikuti suka dukanya penanggung pertama”, dalam arti sebagai berikut:
1). Bila penanggung pertama mengalami kerugian karena besarnya klaim yang harus dibayar, secara seimbang pihak reasuransi juga akan mengikuti hasil yang tidak menguntungkan.
2). Bila penanggung pertama mengalami keuntungan, pihak reasuransi juga akan menikmati keuntungan.

Bila penanggung pertama berhasil memperoleh hasil pemulihan (recoveries) dari pihak ketiga, reasuransi juga berhak memperoleh sebagian hasil pemulihan tersebut, seimbang dengan saham kepesertaan mereka dalam kontrak reasuransi.

Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya . Pada prakteknya, seringkali hubungan penanggung dan tertanggung tidak langsung tetapi melalui satu perantara asuransi.

Kepentingan dan harapan tertanggung dipertemukan dengan penanggung oleh perantara sehingga perusahaan asuransi yang dipilih benar-benar penanggung yang dapat memenuhi kepentingan dan harapan tertanggung. Sering kali tertanggung sangat buta terhadap informasi asuransi dan sangat awam tentang peraturan perasuransian. Karena itu, sangat diperlukan suatu perantara yang menjembatani tertanggung dan penanggung.

Secara ilmu tatalaksana, menurut Abbas Salim, terdapat tiga bagian organisasi asuransi , yaitu kantor pusat, sistem keagenan dan sistem cabang. Sistem keagenan dan sistem cabang adalah kepanjangan tangan kantor pusat di daerah (selain kantor pusat). Perbedaan antara sistem agen dan sistem cabang adalah :

  1. pada sistem agen, agen kepala bekerja atas dasar kontrak yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap kantor-kantor cabang. Sedangkan pada sistem cabang, kepala cabang bekerja sebagai karyawan dan diberi gaji serta harus bertanggung jawab penuh kepada kantor pusat.
  2. Untuk menjalankan tugas penjualan asuransi, agen kepala berhak mengangkat sub agen dan agen-agen lainnya. Mereka bekerja tidak diberi upah/gaji seperti cabang.
  3. Dalam melakukan penjualan asuransi agen kepala ikut aktif, sedangkan pada sistem cabang kepala cabang hanya bekerja mengawasi administrasi dan penjualan asuransi tersebut.
  4. Agen kepala penghasilannya tergantung kepada komisi, oleh sebab itu ia harus bekerja lebih giat agar penghasilannya bertambah.

Menurut Purwosutjipto, dalam bidang hukum pertanggungan terdapat empat jenis perantara :

Pertama, Agen pertanggungan, yakni ada tiga bentuk:

  1. Agen pertanggungan bentuk pertama yaitu agen pertanggungan yang bertugas mencari langganan bagi perusahaannya. Tetapi agen ini juga bertindak untuk kepentingan calon tertanggung dan menerima amanatnya.
  2. Agen pertanggungan bentuk kedua yaitu agen pertanggungan yang dibayar oleh perusahaan dan semacam “pekerja keliling”. Agen pertanggungan memiliki surat kuasa yang mengikat majikannya.
  3. Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Kedua, Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.

Ketiga, Makelar pertanggungan. Makelar pertanggungan adalah perantara yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan tetap dengan satu atau beberapa perusahaan pertanggungan tertentu. Sebelum melaksanakan tugasnya, makelar pertanggungan harus mengangkat sumpah dulu dimuka hakim pengadilan negeri.

Keempat, Assurantiebezorger, yaitu perantara pertanggungan yang bertindak sebagai pemegang kuasa calon tertanggung dan mewakili perusahaan pertanggungan (di bursa Amsterdam) yang atas namanya turut menandatangani polis. Kedudukan ini di Indonesia tidak ada. Di Indonesia perantara pertanggungan ini tidak ada.

Wirjono Prodjodikoro, membedakan antara agen asuransi dan makelar asuransi. Agen asuransi yaitu seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi dan yang mengadakan pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu. Sedangkan makelar asuransi yaitu orang yang menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, termasuk perantara dalam hal mengadakan asuransi yang diatur dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD.

Sedangkan UU Perasuransian membedakan usaha perasuransian menjadi dua, yaitu usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi. Menurut Pasal 3 hurub b UU Perasuransian, usaha penunjang asuransi terdiri dari:

  1. usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
  2. usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
  3. usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
  4. usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.
  5. usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Broker Asuransi

Terdapat tiga istilah yang sering dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu broker, makelar atau pialang. Istilah broker berasal dari bahasa Inggris tetapi sangat sering dipergunakan sehari-hari. Istilah makelar adalah istilah yang dipakai di Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Sedangkan dalam UU Perasuransian memakai istilah pialang. Karena itu, dalam tesis ini ketiga istilah tersebut digunakan dengan maksud yang sama.

KUHD mengatur makelar umum dalam Pasal 62 sampai dengan 73 KUHD, sedangkan khusus mengenai makelar pertanggungan laut diatur dalam Pasal 681 sampai dengan Pasal 685 KUHD.

Untuk menjadi makelar, orang harus diangkat oleh pemerintah dan sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya, ia harus bersumpah dimuka Pengadilan Negeri, Pasal 62 KUHD.

Kemudian, Pasal 64 KUHD menyebutkan bahwa pekerjaan makelar adalah melakukan penjualan dan pembelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan dan lainnya, kapal-kapal, andil-andil dalam dana umum dan efek-efek lainnya, obligasi-obligasi, surat wesel, surat order dan surat-surat dagang lainnya, pula untuk menyelenggarakan perdiscontoan, pertanggungan, perutangan dengan jaminan kapal dan pencarteran kapal, perutangan uang atau lainnya.

Pasal 66 KUHD mewajibkan para makelar membuat catatan dalam suatu buku tentang segala perbuatan sebagai makelar dan setiap hari semua itu ditulis dalam suatu buku harian secara teliti.

Khusus makelar asuransi laut, Pasal 681 KUHD mewajibkan :

  1. Membuat nota penghabisan (sluitnota) selaku hasil dari perundingan dengan seorang asurador untuk pihak yang dijamin. Dalam nota ini disebutkan wujud barang yang dijamin, jumlah uang asuransi, berapa preminya dan berbagai perjanjian.
  2. Mengisi polis sesuai dengan undang-undang dan dengan keinginan kedua belah pihak.
  3. Mengadakan daftar polis-polis.
  4. Memasukkan dalam daftar itu segala catatan-catatan, surat-surat pemberitahuan-pemberitahuan tentang apa saja yang bersangkutan dengan asuransi-asuransi yang diadakan dengan perantaraan makelar itu.
  5. Apabila terjadi suatu kerugian yang harus diganti, makelar harus memberikan kepada pihak yang menjamin segala bahan-bahan untuk melaksanakan persetujuan asuransi.
  6. Atas permintaan kedua belah pihak, memberikan turunan dari polis dan lain-lain surat kepada merekan.

Undang-Undang Perasuransian membagi perusahaan pialang menjadi dua yaitu: perusahaan pialan asuransi dan perusahaan pialang reasuransi.

Pasal 5 UU Perasuransian mengatur kegiatan usaha masing-masing sebagai berikut:

  1. Perusahaan pialang asuransi menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
  2. Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi kontrak asuransi.

Jika dilihat dari badan usahanya, usaha pialang asuransi merupakan usaha yang mandiri, artinya pialang asuransi merupakan badan hukum terpisah dari perusahaan asuransi, walaupun mungkin saja pialang asuransi tersebut merupakan anak perusahaan dari perusahaan asuransi.

Pasal 7 ayat (1) UU Perasuransian mengatur bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :

  1. Perusahaan Perseroan (Persero);
  2. Koperasi;
  3. Perseroan Terbatas;
  4. Usaha Bersama (Mutual).

Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengharuskan memiliki susunan organisasi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya ada fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan.

Modal disetor perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000,00. Jika perusahaan tersebut terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00.

Ketentuan tentang modal disetor ini terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992. Tetapi dalam Peraturan Pemerinah No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no. 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha asuransi, tidak diatur lagi jumlah modal disetor kecuali bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan reasuransi dapat membentuk modal disetor sesuai dengan kebutuhan. Menurut memori penjelasannya, penghilangan batas minimum modal disetor bagi perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi dikarenakan pialang merupakan sebuah profesi, karena itu yang lebih diutamakan adalah profesionalisme dari perusahaan pialang.

Sebagai sebuah profesi, perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi membentuk asosiasi yang bernama Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia atau disingkat ABAI. Asosiasi ini didirikan pada tanggal 11 Maret 1978 dan menyelenggarakan program akreditasi yang disebut CIIB atau Certified Indonesian Insurance and Reinsurance Brokers.

Seorang broker yang memiliki CIIB, dapat mengusulkan dan merencanakan seluruh program asuransi serta memberikan pilihan program asuransi yang terbaik untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembeli dan penempatan resikonya pada penanggung asuransi dan mengurus klaim dengan baik.

Berbeda dengan agen asuransi yang hanya mementingkan keuntungan penanggung, broker asuransi akan membela kepentingan tertanggung melalui konsultasi ahli dan berperan sebagai “bagian asuransi” perusahaan tertanggung.

Broker asuransi berfungsi memilih penanggung yang aman bagi tertanggung, memilih jenis pertanggungan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung, melakukan negosiasi tingkat premi dengan penanggung, dan jika terjadi klaim maka mereka juga berfungsi memberikan pelayanan dan administrasi penyelesaian klaim.

Berdasar uraian diatas, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan usaha yang berdiri sendiri dalam arti badan hukum tersendiri dan tidak ada usaha lain selain usaha pialang.

Pialang asuransi dan pialang reasuransi juga merupakan suatu profesi yang lebih mengutamakan profesionalisme daripada modal perusahaan. Selain itu, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan perantara antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan tertanggung, calon tertanggung atau pihak lain yang memerlukan jasa asuransi dan jasa reasuransi.

Agen Asuransi

Agen asuransi merupakan bagian dari pemasaran bagi perusahaan asuransi sebagaimana broker asuransi. Keduanya sama-sama mencari calon tertanggung dan merupakan perantara antara penanggung dan tertanggung.

Perbedaan hakiki antara agen asuransi adalah agen asuransi bekerja untuk dan atas nama penanggung sedangkan broker asuransi bekerja untuk tertanggung. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari definisi agen asuransi dan pialang asuransi menurut UU Perasuransian.

Pasal 1 angka 8 UU Perasuransian, “Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertangung.”

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Definisi tersebut dengan tegas membedakan antara pialang asuransi dengan agen asuransi. Pialang asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan tertanggung sedangkan agen asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan penanggung.

Agen asuransi karena bekerja untuk dan atas nama penanggung maka agen asuransi tidak beda dengan kepanjangan tangan dari penanggung. Semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung.

Agen asuransi terdapat dua macam, yaitu agen asuransi yang menjadi karyawan penanggung dan agen asuransi yang independen, dalam arti bukan karyawan penanggung.

Bagi perusahaan asuransi jiwa, agen asuransi yang independen lebih disukai karena tidak terikat dengan peraturan ketenaga-kerjaan . Tetapi keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk membentuk product image. Untuk itu, perusahaan asuransi biasanya memberikan training kepada agen agar menjadi tenaga pemasar yang unggul.

Seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992, bahwa semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni. Walaupun agen asuransi merupakan agen yang independen, tetapi agen asuransi tetap merupakan kepanjangan tangan perusahaan asuransi karena semua tindakan agen tersebut merupakan atau mengatasnamakan tindakan perusahaan asuransi yang diageni.

Kententuan lain yang mengikat agen asuransi dengan perusahaan asuransi adalah Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perijinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. Untuk mendapatkan ijin usaha agen asuransi, usaha agen asuransi harus memiliki bukti perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi yang diageni.

PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi Ke Luar Negeri

Pada bagian ini, penulis membagi menjadi 3 bagian, yaitu : (a) withholding tax yang menguraikan alasan dan keuntungan metode withholding disamping kerugiannya; (b) PPh Pasal 26 dan tax treaty yang membahas kewenangan memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri; (c) PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang membahas kewajiban memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri.

Withholding Tax

Withholding merupakan metode pengumpulan pajak penghasilan pada saat pembayaran penghasilan oleh pihak lain kepada Wajib Pajak. Sebelum penghasilan diterima oleh Wajib Pajak maka penghasilan tersebut dipotong terlebih dahulu sebesar pajak yang terutang.

Pembayar penghasilan merupakan pemotong pajak. Tujuan dari withholding tax adalah memajaki (memotong pajak) penghasilan ketika penghasilan tersebut diterima. Karena itu, kadang-kadang metode ini juga dikenal dengan pay as you earn (PAYE).

Withholding merupakan bagian dari tax settlement. Ada dua pendekatan tax settlement yaitu : (a) self payment atau pembayaran angsuran bulanan oleh Wajib Pajak sendiri, dan (b) withholding system atau pelunasan pajak oleh pihak ketiga.

Dasar penghitungan self payment adalah prestasi kinerja tahun pajak yang lalu sedangkan dasar penghitungan withholding system adalah besarnya transaksi penerimaan atau perolehan penghasilan.

Pendekatan withholding tax terdapat dua macam. Pertama, pajak yang telah dipotong merupakan kredit pajak bagi pajak yang terutang pada tahun yang sama. Dengan kata lain, withholding tax merupakan pembayaran pajak dimuka yang akan dikreditkan pada akhir tahun saat penghitungan pajak terutang atas semua penghasilan yang diterima Wajib Pajak.

Pendekatan kedua, pajak yang dipotong merupakan pajak yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang lainnya.

Khusus bagi negara berkembang, withholding tax sangat penting. Administrator pajak mereka akan lebih baik menegakkan hukum pajak dan merupakan solusi bagi masalah pengumpulan pajak.

Keuntungan lain dari sistem pemotongan adalah :

  1. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak karena pihak yang dibayar diwajibkan melaporkan penghasilan atas pajak yang telah dipotong oleh pemotong.
  2. pajak yang terutang otomatis akan terkumpul oleh pemotong dan akan dilaporkan oleh pemotong sehingga akan teridenfikasi dari laporan pemotong.
  3. meningkatkan keadilan pajak karena walaupun Wajib Pajak tidak melaporkan penghasilannya atau hanya sebagian penghasilan yang dilaporkan, tetapi semua pajak terutangnya telah dibayar.
  4. mengurangi beban / membantu tugas kantor pajak untuk mengumpulkan pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
  5. metode ini biasanya “meringankan” beban Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang karena Wajib Pajak membayar pajak saat penghasilan diterima.

Sedangkan kelemahan dari metode ini, dapat memberikan beban bagi Wajib Pajak karena kelebihan pemotongan. Bagi Wajib Pajak yang mengalami kerugian, pemotongan pajak merupakan beban tambahan karena seharusnya Wajib Pajak tersebut tidak membayar pajak penghasilan.

Walaupun kelebihan pajak penghasilan tersebut dapat dikembalikan, tetapi Wajib Pajak mengalami opportunity cost. Metode withholding juga akan menambah beban bagi pemotong yang seharusnya menjadi beban kantor pajak.

Selain itu, khusus pemotongan yang bersifat final akan menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak tetap akan dipotong pajak oleh pemotong walaupun “seharusnya” Wajib Pajak tersebut tidak wajib membayar pajak.

Sistem perpajakan di Indonesia juga mengenal withholding tax. Ketentuan tentang withholding tax diatur dalam :

  1. Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Untuk pemotongan PPh atas : penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur oleh peraturan pemerintah.
  2. Pasal 21 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan.
  3. Pasal 22 UU PPh. Yaitu pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah.
  4. Pasal 23 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah dan penghargaan.
  5. Pasal 24 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri.
  6. Pasal 26 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.

PPh Pasal 26 dan tax treaty

Ada dua perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yaitu :

  1. penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Wajib Pajak luar negeri ini diperlakukan seperti Wajib Pajak dalam negeri, yaitu pemenuhan sendiri (self assessment) kewajiban perpajakannya
  2. Wajib Pajak luar negeri lainnya. Atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap yang bersumber dari Indonesia dipotong oleh pemberi penghasilan.

Pasal 26 UU PPh mengatur pemotongan PPh oleh pemberi penghasilan bagi Wajib Pajak (penerima penghasilan) yang berstatus Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Withholding tax PPh Pasal 26 bersifat final sehingga tidak dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, kecuali :

  1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan penghasilan yang diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud;
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.

Salah satu penghasilan yang menjadi objek pajak PPh Pasal 26 adalah premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh.

Atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Besarnya perkiraan penghasilan neto kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut, besarnya perkiraan penghasilan neto sebagai berikut :

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995. Siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Ketentuan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 diatas merupakan ketentuan domestik. Sebagai negera berdaulat, Indonesia dapat mengatur dan merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Khusus untuk subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan (objek pajak) berupa premi asuransi dari Indonesia diatur dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Tetapi otoritas negara / domestik untuk mengatur perpajakan mungkin akan dibatasi oleh treaty dan agreement internasional, yaitu

  1. bilateral tax conventions;
  2. multilateral treaties establishing free trade areas;
  3. agreements WTO
  4. the Article of Agreement of the IMF

Bilateral tax conventions lebih populer dengan nama tax treaty, yaitu perjanjian atau kesepakatan dibidang perpajakan antara dua pemerintah yang berdaulat yang bersifat resiprokal untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda.

Menurut Kees Van Raad , walaupun hierarki antara treaty dengan undang-undang domestik tidak sama setiap negara, tetapi menurut hukum sipil di kebanyakan negara, treaty memiliki status superior daripada undang-undang domestik.

Ketentuan dalam treaty mungkin saja dikesampingkan oleh undang-undang khusus seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Ketentuan hukum nasional dapat membatalkan ketentuan treaty yang sudah ada hanya jika Kongres Amerika Serikat secara tegas mengeluarkan ketentuan yang secara khusus mengesampingkan ketentuan treaty yang sudah ada tersebut.

Timbulnya kewenangan untuk memungut pajak oleh pemerintah berasal dari undang-undang domestik bukan berasal dari tax treaty. Undang-undang domestik mengatur siapa-siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, berapa tarif pajaknya dan bagaimana prosedur pembayaran pajak tersebut. Tax treaty justru membatasi hak pemerintah untuk mengenakan pajak tertentu.

Dalam beberapa peraturan pemerintah dan keputusan menteri keuangan secara tegas disebutkan bahwa ketentuan PPh Pasal 26, khususnya tentang tarif, dikesampingkan dan berlaku ketentuan dalam tax treaty. Contoh peraturan yang secara tegas menyebutkan berlakunya tax treaty daripada ketentuan PPh Pasal 26 adalah :

  1. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.
  2. Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 juga menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.

Dari uraian diatas terbukti bahwa ketentuan dalam undang-undang domestik “dikalahkan” oleh ketentuan tax treaty.

Tarif dalam tax treaty selalu lebih rendah daripada tarif dalam UU PPh atau ketentuan domestik. Hal ini terkait dengan fungsi suatu tax treaty yaitu membatasi kewenangan masing-masing negara yang bersepakat. Dengan tax treaty ditentukan hak pemajakan masing-masing treaty partner.

Kedudukan tax treaty lebih superior daripada ketentuan domestik karena tax treaty lebih spesialis (lex specialis derogat lex generalis).

Walaupun demikian, tax treaty tidak menciptakan ketentuan pajak yang baru karena kewenangan / hak pemajakan sebagaimana diatur dalam tax treaty hanya akan berlaku jika ketentuan domestik mengatur.

Maksud dari tax treaty biasanya dapat dilihat dari pembukaannya, yaitu “menghindari pemajakan berganda dan mencegah penghindaran pajak”.

Bahkan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, terdapat maksud lain yang tidak tertulis tetapi sebenarnya lebih penting daripada maksud yang tertulis, yaitu:

Pertama, merupakan pembagian penerimaan pajak dari penghasilan kedua negara treaty partner.

Kalau arus investasi dan bisnis seimbang antara kedua negara yang membuat tax treaty, biasanya bukan masalah besar jika masing-masing negara membatasi pemajakan di negara sumber dan menyerahkan pemajakan kepada negara domisili.

Sebaliknya, kalau arus investasi dan bisnis tidak seimbang akan berakibat pemindahan pendapatan pajak dari satu negara kepada negara lain. Biasanya keadaan tidak seimbang tersebut antara negara berkembang sebagai importir modal dan negara maju sebagai eksportir modal. Negara berkembang akan memperjuangkan hak pemajakan atas sumber penghasilan dari negaranya.

Kedua, negara-negara berkembang sekarang umumnya berusaha meningkatkan modal masuk dari negara-negara pengekspor modal.

Tax treaty dapat memfasilitasi maksud tersebut. Pembuatan tax treaty mengharuskan penerapan kaidah-kaidah internasional terutama tentang nondiscrimination, sehingga para investor yang menanamkan modalnya di negara lain akan terlindungi dengan tax treaty.

Menurut John Hutagaol, tax treaty memberikan banyak manfaat bagi Indonesia diantaranya :

  1. kemudahan informasi melalui pertukaran informasi,
  2. pemberian insentif pajak, dan
  3. kepastian hukum bagi investor asing.

Berdasarkan uraian diatas, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh hanya dapat diterapkan terhadap Wajib Pajak luar negeri yang berdomisili di negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia.

Jika Wajib Pajak luar negeri berdomisili di negara yang telah memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam tax treaty.

PPh Pasal 26 atas premi asuransi

PPh Pasal 26 atas premi asuransi diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh yang berbunyi,”Atas penghasilan dari … premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.”

Memori penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa ketentuan tersebut mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia. Atas penghasilan dari premi asuransi, premi reasuransi, dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Pasal 15 UU PPh memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk menentukan norma penghitungan khusus. Dasar pemberian wewenang tersebut adalah kepraktisan atau kelaziman.

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan norma penghitungan khusus. Hanya Wajib Pajak tertentu yang mengalami kesulitan untuk menghitung penghasilan neto sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) UU PPh atau Pasal 16 ayat (3) UU PPh.

Pasal 26 ayat (3) UU PPh juga memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menentukan perkiraan penghasilan neto. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kedudukan keduanya?

Menurut penulis, keduanya mengatur sesuatu yang berbeda walaupun sama mengatur tentang penghasilan neto. Pasal 15 UU PPh mengatur tentang penghasilan neto bagi Wajib Pajak tertentu.

Penghasilan neto yang dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh adalah “tambahan kemampuan ekonomis” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Karena itu, Pasal 15 termasuk dalam Bab III tentang objek pajak.

Sedangkan Pasal 26 UU PPh termasuk dalam Bab IV yang mengatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang salah satu cara pelunasan pajak yaitu withholding tax. Jadi Pasal 26 ayat (3) UU PPh merupakan kewenangan yang diberikan kepada menteri keuangan dalam rangka withholding tax.

Berdasarkan kuasa Pasal 26 ayat (3) UU PPh, menteri keuangan kemudian menetapkan besarnya penghasilan neto yaitu dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Besarnya perkiraan penghasilan neto berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut:

  1. atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995.

Dengan demikian, siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :

  1. 10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
  2. 2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
  3. 1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.

Tetapi, pada tanggal 05 Desember 1995 direktur jenderal pajak mengeluarkan surat No. S-428/PJ.432/1995 (Surat Dirjen) yang membebaskan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di :

Darimana kewenangan direktur jenderal pajak tersebut?

Seharusnya, direktur jenderal pajak tidak berwenang menentukan negara-negara mana saja yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 mengingat UU PPh tidak memberikan kuasa kepada direktur jenderal pajak.

Satu-satunya kewenangan yang didelegasikan oleh Pasal 26 UU PPh adalah besarnya perkiraan penghasilan neto dan diberikan kepada menteri keuangan.

Kewenangan pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri hanya mungkin “dikalahkan” oleh suatu tax treaty. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 hanya dapat dikecualikan oleh tax treaty yang telah dibuat oleh Indonesia dengan negara mitra (treaty partner). Sebagaimana dikemukakan oleh Kees Van Raad bahwa tax treaty memiliki kedudukan lebih superior daripada undang-undang domestik.

Pendapat senada dikemukakan oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H. bahwa Indonesia mengakui “primat hukum antar negara”, sehingga hukum antar negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum nasional.

Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri RI Moh. Hatta dalam pidatonya pada tanggal 11 Agustus 1950 di Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapat ini juga berdasarkan asas hukum modern yang termuat dalam dalil “persetujuan mematahkan undang-undang”.

Suatu tax treaty merupakan perjanjian antara dua negara yang merdeka dibidang perpajakan. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara lain termasuk dalam bidang perpajakan.

Sampai tahun 2000, terdapat 50 tax treaty yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dari 50 tax treaty tersebut satu tax treaty tidak paripurna yaitu tax treaty dengan negara Arab Saudi sedangkan sisanya, 49 tax treaty, merupakan tax treaty paripurna.

Khusus tentang pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber, tax treaty yang disepakati oleh Indonesia terdapat dua macam, yaitu yang mengacu kepada OECD model dan UN model.

Tax treaty yang mengacu kepada OECD model adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tax treaty dengan negara-negara tersebut tidak memuat aturan khusus tentang usaha asuransi. Hak pemajakan terhadap usaha asuransi disamakan dengan usaha yang lainnya, khususnya tentang usaha jasa.

Negara sumber memiliki hak pemajakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap di negara tersebut. Syarat adanya Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 5 ayat (1) tax treaty adalah adanya fixed place of business.

Rachmanto Surahmat menguraikan lebih lanjut bahwa definisi Pasal 5 ayat (1) mengandung tiga syarat, yaitu :

  1. adanya tempat usaha berupa prasarana;
  2. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
  3. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

“Tempat usaha tetap” tetap tersebut contohnya adalah tempat pemasaran di Indonesia yang disewa oleh perusahaan asuransi di luar negeri untuk memasarkan produknya di Indonesia.

Tempat pemasaran bisa berupa bangunan kantor atau hanya ruangan tertentu di suatu pusat perdagangan sekalipun. Server komputer juga menurut sebagian ahli perpajakan dapat disamakan seperti halnya suatu gedung yang salah satu ruanggannya disewa untuk dipakai sebagai tempat penjualan barang-barang perusahaan luar negeri .

Jika ada perusahaan asuransi luar negeri menempatkan servernya di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Selain itu, perusahaan asuransi luar negeri juga dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika memiliki agen tidak bebas di Indonesia.

Menurut OECD model (khususnya commentary on article 5 ), perusahaan asuransi dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain jika memiliki a fixed place of business sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau memiliki agen tidak bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).

Bunyi lengkap Pasal 5 ayat (5) tersebut sebagai berikut, “Notwithstanding the provisions of paragraphs 1 and 2, where a person – other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 applies – is acting on behalf of an enterprise and has, and habitually exercises, in a Contracting State an authority to conclude contracs in the name of the enterprise, that enterprise shall be deemed to have a permanent establishment in that State in respect of any activities which that person undertakes for the enterprise, unless the activities of such person are limited to those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixed place of business, would not make this fixed place of business a permanent establishment under the provisions of that paragraph.”

Menurut Yari Yuhariprasetya , bahwa ayat ini mensyaratkan dua hal secara kumulatif, yaitu

  1. adanya orang atau badan yang bertindak atas nama perusahaan asuransi di luar negeri; dan
  2. adanya otorisasi dari perusahaan asuransi di luar negeri kepada orang atau badan untuk menandatangani kontrak.

Khusus tentang agen asuransi di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.”

Selain itu, Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 menyebutkan, ” Semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni.”

Artinya, agen asuransi selalu bertindak atas nama perusahaan asuransi yang diageninya dan semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung atau perusahaan asuransi.

Wawancara dengan fihak Direktorat Asuransi juga lebih menegaskan bahwa semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan perusahaan asuransi. Dengan demikian, syarat pertama telah terpenuhi.

Syarat kedua mengharuskan adanya otorisasi untuk menandatangani kontrak oleh agen. Tetapi bisa saja kontrak sudah ditandatangani oleh kantor pusat tetapi klien atau nasabah dicari oleh agen.

Hal ini juga berarti agen tersebut memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Menurut Rachmanto Surahmat , “apabila bentuk maupun format kontrak itu sudah dibuat standar dan ditandatangani oleh salah seorang dari kantor pusat, agen tersebut dapat dianggap mempunyai wewenang menandatangani kontrak, sebab ia mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.”

Apakah polis asuransi sudah dibuat standar? A. Hasymi Ali menyebutkan bahwa Polis Standar Kebakaran New York 1943 yang terdiri dari 165 baris menjadi pola semua proteksi asuransi.

Begitu juga Abdulkadir Muhammad, menyebutkan,”..untuk mencegah persaingan yang tidak sehat (unfair competition) sesama perusahaan asuransi, maka diupayakan penyeragaman syarat-syarat khusus dalam polis dengan cara menciptakan polis standar, baik secara nasional maupun secara internasional.. ada tiga jenis polis yang terkenal yaitu polis maskapai, polis bursa dan polis Lloyd.

Di bagian lain, Abdulkadir Muhammad, menyebutkan, “Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu.

Kemudian polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya. Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung.

Tetapi apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave it.

Berdasarkan uraian diatas dan pengalaman penulis memeriksa terhadap perusahaan asuransi, penulis berkesimpulan bahwa polis asuransi adalah kontrak yang sudah distandarkan.

Oleh karena itu, perusahaan asuransi di luar negeri yang memperoleh penghasilan premi asuransi dari Indonesia melalui agen asuransi di Indonesia, maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia karena telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.

Berikut ini adalah tax treaty yang dibuat oleh Indonesia dengan treaty partner yang mengacu kepada OECD model :

Sedangkan tax treaty yang mengacu kepada UN model khusus untuk bentuk usaha tetap perusahaan asuransi adalah tax treaty dengan negara-negara :

Tidak seperti OECD model yang syarat bentuk usaha tetapnya disamakan dengan perusahaan jasa lainnya, UN model memiliki syarat khusus yang dimuat di Pasal 5 ayat (6) UN model yaitu :

  1. pengumpulan atau penerimaan premi dalam wilayah negara lain; atau
  2. menanggung resiko yang terletak di negara lain.

Pasal 5 ayat (6) UN model bunyi lengkapnya sebagai berikut, “Notwithstanding the preceding provisions of this article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except regard to re-insurance, be deemed to have permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 applies”.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (6) UN model tersebut, perlakuan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi dari Indonesia atau memiliki objek asuransi yang ditanggung di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu :

  1. Perusahaan asuransi (baik perusahaan asuransi umum maupun perusahaan reasuransi) di luar negeri yang menerima premi reasuransi dari Indonesia. Perusahaan ini dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika menerima premi reasuransi dari Indonesia melalui agen tidak bebas atau memiliki a fixed place of business di Indonesia. Ketentuan adanya Bentuk Usaha Tetap bagi reasuransi disamakan dengan perusahaan jasa lainnya.
  2. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi asuransi dari Indonesia atau menanggung resiko yang terletak di Indonesia, baik melalui agen asuransi maupun tidak, kecuali melalui broker asuransi. Selama bukan mengenai reasuransi dan penerimaan premi asuransi tersebut tidak melalui broker asuransi, maka perusahaan asuransi di luar negeri dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
  3. Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi (baik premi asuransi umum maupun reasuransi) dari Indonesia melalui broker asuransi. Perusahaan asuransi seperti ini tidak dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena broker asuransi merupakan usaha yang independen (bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 5 ayat (6) OECD model dan Pasal 5 ayat (7) UN model.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terhadap pembayaran premi asuransi yang diterima oleh perusahaan asuransi di luar negeri yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak pembayar premi di Indonesia?

Hasil wawancara dengan fihak Direktorat Peraturan Perpajakan berpendapat bahwa tax treaty tidak memberikan hak withholding bagi perusahaan asuransi.

Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi disamakan dengan perusahaan jasa lain dan pemajakannya diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Tetapi jika memang harus dipotong maka pemotongan tersebut menjadi kredit pajak bagi Bentuk Usaha Tetap tersebut dan diperhitungkan diakhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) huruf b UU PPh.

Penulis juga sependapat bahwa pemajakan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi luar negeri disamakan dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.

Kewajiban pemotongan terhadap pengahasilan premi asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh tidak dapat dilaksanakan berdasarkan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) yaitu, “Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).”

Berdasarkan uraian diatas, terhadap pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak di dalam negeri kepada perusahaan asuransi terdapat tiga perlakuan Pajak Penghasilan yang berbeda, yaitu :

  1. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di dalam negeri. Pembayaran premi ini tidak dipotong (tidak ada withholding).
  2. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang bukan merupakan treaty partner. Pembayaran premi ini dipotong PPh Pasal 26 dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994.
  3. Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang merupakan treaty partner. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka pembayaran premi tidak dipotong PPh Pasal 26.

Catatan:

Tulisan ini disalin dari tesis saya dengan beberapa perubahan, pengurangan, dan penyesuaian. Tesis dibuat pertengahan 2002 dan mendapat persetujuan tanggal 5 Nopember 2002.

Ringkasan tesis sudah di muat di laman Universitas Indonesia dengan link berikut: Pengenaan PPh pasal 26 atas premi asuransi (ui.ac.id)

Karena dibuat tahun 2002, maka beberapa ketentuan sudah berubah. Pembaca harap mengecek lagi ketentuan yang berlaku.

Terima kasih.

Pajak Internasional

Ringkasan ketentuan domestik aspek internasional perpajakan di Indonesia dan pengantar pajak internasional.

Perpajakan internasional adalah aspek internasional dalam undang-undang perpajakan suatu negara. Bagaimana ketentuan memajaki penghasilan luar negeri, dan penghasilan dari dalam negeri yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).

Ketentuan pajak internasional dibagi dua, yaitu:

  • ketentuan domestik, dan
  • tax treaty, termasuk MLI (Multilateral Instrument).

Ketentuan pajak internasional di ketentuan domestik diatur di Undang-Undang PPh. Berikut pasal-pasal di Undang-Undang PPh terkait pajak ternasional:

  • Pasal 2 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4), dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
  • Pasal 3 mengatur yang dinyatakan bukan subjek pajak.
  • Pasal 5 mengatur objek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
  • Pasal 15 mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto pelayaran, atau penerbangan internasional, dan kantor perwakilan dagang asing (KPDA).
  • Pasal 18 mengatur perbandingan utang terhadap modal (ayat 1), Controlled Foreign Company (ayat 2), Hubungan Istimewa (ayat 3, 3D, dan 4), Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer (ayat 3A), Special Purpose Company (ayat 3B, dan 3C).
  • Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri
  • Pasal 26 tentang objek pajak dari subjek pajak luar negeri
  • Pasal 32A tentang kewenangan melakukan tax treaty.

Subjek Pajak

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:

  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan 
  2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 

Jadi, subjek pajak luar negeri dikenakan pajak di Indonesia ada yang melalui BUT, dan tidak. Pemajakan atas penghasilan dari Indonesia yang tidak melalui BUT, diatur di Pasal 26 Undang-undang PPh.

Subjek Pajak Luar Negeri menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh

Kewajiban Subjektif SPLN

Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) orang pribadi memiliki kewajiban pajak subjektif dimulai saat orang pribadi:

  • menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT, atau
  • pada saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Dan kewajiban subjektif tersebut berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Ketentuan di atas berlaku juga untuk SPLN berbentuk badan.

Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri jika:

  • bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
  • dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
  1. green card;
  2. identitiy card;
  3. student card;
  4. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
  5. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
  6. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Ketentuan subjek pajak luar negeri lebih lanjut bisa dibuka di tulisan berjudul Subjek Pajak Luar Negeri Menurut PPh, BUT : Subjek Pajak Luar Negeri Tapi Diperlakukan Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri, dan Bagaimana Penentuan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri?

NPWP BUT Penting Untuk Administrasi Pajak

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah kendaraan yang dipergunakan oleh orang pribadi, dan badan yang berstatus WPLN.

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

WPLN dikenakan pajak hanya sebatas penghasilan yang berasal dari Indonesia. Prinsip ini disebut asas sumber. Yaitu penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Penghasilan tersebut bisa berasal dari usaha, kegiatan, atau berasal dari aset yang berada di Indonesia.

Tidak berlaku world wide income seperti WPDN yang mewajibkan melaporkan dan memperhitungkan penghasilan baik yang diterima di dalan negeri maupun luar negeri.

WPLN juga tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan karena kewajiban perpajakannya diserahkan kepada pemberi penghasilan di Indonesia. Kewajiban pemotongan ini diatur di Pasal 26 Undang-Undang PPh.

Tetapi jika WPLN yang memiliki BUT maka WPLN menjadi harus mengurus dirinya sendiri. Harus punya NPWP dan harus lapor SPT. Bunyi dari bagian penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh bahwa BUT dipersamakan dengan kewajiban WP Badan Dalam Negeri.

Dipersamakan artinya tidak sama. Satu sisi beda tetapi sisi lain sama. Sisi yang beda adalah status subjek tetap subjek pajak luar negeri. Sisi yang sama adalah kewajibannya.

Karena dipersamakan dengan WPDN Badan maka mitra bisnis di Indonesia menganggap BUT sebagai WPDN sama dengan si mitra. Contoh: jika BUT memberikan jasa konsultansi ke PT Abadijaya maka PT Abadi jaya akan memotong PPh Pasal 23 saat membayar jasa konsultansi. Bukan memotong PPh Pasal 26 karena dipersamakan dengan WPDN.

Konsekuensi dengan dipersamakan dengan WPDN adalah kantor pajak dapat menetapkan ketetapan pajak dan melakukan proses penagihan pajak kepada BUT. Sedangkan jika bukan BUT tentu saja kantor pajak tidak dapat menagih pajak karena Wajib Pajak tidak ada dan tidak diadministrasikan di Indonesia.

Objek Pajak BUT

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh, yang menjadi objek pajak dari suatu BUT, yaitu :

  1. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
  2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
  3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).

Nomor 1 diatas adalah murni kegiatan BUT yang memang seharusnya dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Ini sama dengan perusahaan pada umumnya.

Tiga jenis objek BUT yang harus dilaporkan di Indonesia

Sedangkan nomor 2 (force of attraction) dan nomor 3 (effectively connected) mungkin saja tidak dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Biasanya dicatat di kantor pusat. Tetapi menurut perpajakan, wajib hukumnya dihitung sebagai penghasilan BUT.

Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT, dianggap sebagai penghasilan BUT.

Alasannya karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan BUT. Dan dapat dilakukan BUT.

Contoh: BUT bank. Apabila sebuah bank di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, kemudian memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui BUT di Indonesia.

Sebenarnya atas pemberian pinjaman kantor pusat kepada nasabah di Indonsia bisa dilakukan oleh BUT Indonesia, atau memiliki ruang lingkup usaha yang sama yaitu perbankan. Karena itu, atas penghasilan dari pemberian pinjaman tersebut dianggap omset atau penghasilan BUT.

Contoh penghasilan kantor pusat yang wajib dimasukkan sebagai penghasilan BUT di Indonesia karena kegiatan yang sama misalnya perusahaan konsultasi.

Pemberian jasa konsultasi yang diberikan oleh kantor pusat langsung kepada klien di Indonesia wajib dicatat sebagai penghasilan BUT di Indonesia. Alasannya karena kegiatan usaha kantor pusat dan BUT sejenis yakni konsultasi.

Contoh BUT bank dan BUT jasa konsultasi merupakan contoh-contoh penggunaan force of attraction berdasarkan Pasal 5 UU PPh dan Pasal 7 tax treaty.

Sedangkan contoh penggunaan effectively connected seperti ini: Misal, X Ltd menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Ltd.

Atas penggunaan merek dagang tersebut, X Ltd menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.

Sehubungan perjanjian tersebut X Ltd juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu BUT X Ltd di Indonesia. BUT X Ltd dibuat dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek dagang tersebut.

Skema diatas mengharuskan PT Y membayar royalti ke kantor pusat X Ltd, dan membayar jasa manajemen kepada BUT X Ltd.

Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan BUT X Ltd. Oleh karena itu, penghasilan kantor pusat X Ltd dari PT Y berupa royalti dianggap atau diperlakukan sebagai penghasilan BUT X Ltd di Indonesia.

Perbedaan BUT dan Anak Perusahaan

Berdasarkan pengalaman bertanya ke Wajib Pajak, banyak yang masih belum tahu perbedaan antara BUT dan anak perusahaan. Mereka bilang, kita cabang dari perusahaan XYZ di luar negeri.

Padahal terdapat banyak perbedaan perlakuan perpajakan antara BUT dan anak perusahaan. Terutama dari sisi perlakuan biaya BUT.

Silakan cek tabel berikut:

Tabel perpedaan antara BUT dan anak perusahaan

BUT dan kantor pusatnya merupakan satu entitas. Sedangkan anak perusahaan dan induk perusahaan merupakan entitas terpisah.

Karena itu, ada beberapa biaya yang tidak boleh dibiayakan di BUT tetapi boleh dibiayakan di anak perusahaan, yaitu pembayaran BUT ke kantor pusat berupa:

  1. royalti dan pembayaran lainnya terkait penggunaan harta kantor pusat, paten, dan hak lainnya;
  2. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, dan
  3. pembayaran bunga, kecuali BUT perbankan.

Aturan larangan terkait ketiga pembayaran tersebut diatur di Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh.

Branch Profit Tax

Branch profit tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Setelah dikenai PPh badan, BUT dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%.

Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh

Pada hakikatnya, BUT itu subjek pajak luar negeri. Karena masih dianggap subjek pajak luar negeri, maka atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia, setelah dikenakan PPh Badan sebagaimana dimaksud di Pasal 17 UU PPh, juga wajib bayar PPh Pasal 26 sebesar 20%.

Asumsi yang dipakai adalah penghasilan neto setelah pajak penghasilan akan dikirim ke luar negeri (kantor pusat).

Jika penghasilan neto setelah pajak ternyata tidak dikirim ke luar negeri, maka tidak ada kewajiban PPh Pasal 26. Hal ini ditegaskan di Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan diatur lebih lanjut di Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2011.

Bentuk penanaman kembali penghasilan neto BUT agar tidak dikenai PPh Pasal 26 branch profit tax

Persyaratan utama penanaman kembali penghasilan neto BUT agar tidak dikenai PPh Pasal 26, yaitu:

  • penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
  • BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Selain persyaratan utama diatas, terdapat persyaratan tambahan.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, persyaratan tambahan:

  • perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
  • BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

Persyaratan tambahan penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham:

  • perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
  • BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.

Dan, persyatan tambahan untuk:

  • pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia, atau
  • investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia

BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

PPh Pasal 26

Pasal 26 Undang-Undang PPh mengatur tentang pemajakan atas penghasilan SPLN yang diterima selain dari BUT di Indonesia. 

Tarif dasar Pasal 26 ini adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu 

  1. jumlah bruto, 
  2. perkiraan penghasilan neto, dan 
  3. penghasilan setelah dikurangi pajak (earning after tax). 
Tiga jenis dasar pengenaan pajak (DPP) Pasal 26

Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT yang penghasilannya bersumber dari Indonesia, dalam hal ketentuan tax treaty mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal 26, maka yang berlaku adalah ketentuan tax treaty sebagai lex specialis dari Undang-Undang PPh.

Namun demikian patut diperhatikan bahwa tax treaty tidak mengatur aspek pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang dikenakan atau yang tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara tersebut. 

Contoh: Jika undang-undang domestik mengatur bahwa tarif yang berlaku sebesar 5% maka tetap dikenakan 5% walaupun tax treaty mengatur boleh 10%.

Tetapi jika sebalik, undang-undang domestik mengatur bahwa tarif yang berlaku 20% tapi tax treaty mengatur hanya 10%, maka tarif yang digunakan adalah tarif tax treaty yaitu 10%.

Inilah fungsi tax treaty, yaitu pembatasan hak pemajakan negara sumber dan negara domisili.

Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang PPh. Dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT. 

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang PPh menjelaskan bahwa:

Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang.

Pengalihan Harta Oleh Wajib Pajak Luar Negeri

Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang PPh, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh WPLN selain BUT, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 mengatur bahwa penjualan harta yang dimaksud adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Pemotongan PPh Pasal 26 tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.

Pengecualian pemotongan PPh Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Selain itu, untuk WPLN yang berkedudukan di negara- negara yang telah mempunyai tax treaty dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan tax treaty yang berlaku, hak pemajakannya berada di Indonesia.

WPLN yang dipotong PPh Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.

Pengalihan Saham Oleh Wajib Pajak Luar Negeri

WPLN dikenakan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham Perseroan Terbatas di Indonesia. Penjualan saham ini tidak dilakukan di Bursa Efek Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 perkiraan penghasilan neto atas penjualan saham di luar bursa ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Pemotong PPh Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh WPLN adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%.

Dalam hal pembeli adalah WPLN, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut.

PPh Pasal 26 atas penjualan saham selain di bursa efek

Pencatatan akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.

Perusahaan Asuransi Luar Negeri

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang PPh, Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh perusahaan asuransi luar negeri.

Dari perkiraan penghasilan neto tersebut dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% (dua puluh persen).

Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994.

Berikut adalah norma penghasilan neto untuk premi asuransi:

  • atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  • atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  • atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
PPh Pasal 26 atas premi asuransi

Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan:

  • lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
  • lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar;
  • lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak.

Perlakuan perpajakan menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994 tersebut akan berbeda apabila terdapat tax treaty antara Indonesia dengan Negara Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan melalui suatu BUT.

Pelayaran Dan Penerbangan Internasional

Dalam ketentuan domestik perpajakan di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk perusahaan pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri diatur dengan norma penghitungan khusus yang terdapat pada pasal 15 Undang-Undang PPh, dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.

PPh Pelayaran Dan Penerbangan Internasional

Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan operasional jalur lintas domestik dan jalur lintas internasional yang berasal dari Indonesia.

Hal ini di karenakan sumber penghasilannya berasal dari Indonesia. Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan operasional jalur lalu lintas internasional yang berasal dari luar negeri ke wilayah Indonesia maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 bahwa peredaran bruto semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.

Berdasarkan tax treaty, pengenaan pajak terhadap Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat isi article General Definitions dan article Shipping and Air Transport karena tidak setiap tax treaty mengaplikasikan hak pemajakan yang sama antara satu dengan yang lainnya.

Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari WPLN yang memiliki KPDA di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.

Tarif efektif Pajak Penghasilan bagi KPDA tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto.

Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

PPh atas penghasilan Kantor Perwakilan Dagang Asing

Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/PJ.03/2008 memberikan penegasan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (representative office/liaison office), di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B / tax treaty) dengan Indonesia.

Tetapi jika sudah memiliki tax treaty, SE-2/PJ.03/2008 memberikan rumus seperti ini:

Contoh mencari rumus tarif efektif KPDA dengan negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia

SE-2/PJ.03/2008 diterbitkan pada 31 Juli 2008. Sedangkan pada tanggal 23 September 2008 berlaku Undang-Undang PPh yang baru.

Tarif Pasal 17 untuk WP badan saat terbitnya SE-2/PJ.03/2008 adalah 5%, 15%, dan 30%. Sedangkan sejak 2010, tarif Pasal 17 untuk WP badan menggunakan tarif tunggal yaitu 25%.

Dengan demikian, untuk contoh kasus KPDA dengan Australia, tarif efektif menjadi 0,355%

Penghasilan Ekspatriat di Indonesia

Sering kali tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia oleh perusahaan di Indonesia. Dan gaji yang dibayarkan dibagi dua, yakni gaji yang dibayarkan ke ekspatriat di Indonesia, dan penghasilan yang dibayarkan ke keluarga ekspatriat di luar negeri.

Dalam kasus seperti itu, maka penghasilan ekspatriat yang dilaporkan ke kantor pajak seharusnya termasuk juga penghasilan yang diterima keluarga di luar negeri.

Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 mengatur bahwa atas gaji ekspatriat di Indonesia dan penghasilan keluarga di luar negeri menjadi dasar penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

PPh Pasal 21 untuk pegawai ekspatriat di Indonesia

Contoh:

Terdapat hubungan istimewa perusahaan PT X di Indonesia dan X Ltd Jepang. Mr Hanakawa bekerja di PT X sebagai direktur. Dan PT X ternyata memiliki hubungan istimewa dengan X Ltd di Jepang.

Mr. Hanakawa di Indonesia mendapat gaji US$2000, tetapi X Ltd di Jepang memberikan pembayaran ke istri Hanakawa sebesar US$3000. Maka total penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 di PT X sebesar $2000 + $3000 = $5000

Controlled Foreign Company (CFC)

CFC adalah ketentuan pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh WPDN dari usaha di luar negeri. Jadi, CFC adalah pemajakan atas hasil investasi di luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham. Karena itu, ketentuan CFC biasa disebut juga Specific Anti Avoidance Rules (SAAR).

Dasar hukum pemajakan CFC adalah Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan direvisi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019.

Pemajakan atas Controled Foreign Company di Indonesia

Pokok-pokok perubahan ketentuan CFC dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 menjadi Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 yaitu:

  • Mengubah DPP Deemed Dividend dari laba setelah pajak , menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali;
  • Mengatur cakupan penghasilan tertentu: dividen, bunga, sewa, royalti, dan keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

Pengendali langsung memperoleh Deemed Dividend yang berasal dari penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali yang meliputi penghasilan sebagai berikut:

  • dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;
  • bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai izin usaha bank;
  • sewa berupa: (a) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (b) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;
  • royalti (semua royalti); dan
  • keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta (semua keuntungan dari penjualan harta).

Contoh-contoh penggunaan ketentuan CFC menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 bisa dilihat di tulisan Ketentuan Baru Controlled Foreign Company

SPECIAL PURPOSE COMPANY (SPC)

Special Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara.

Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran (conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara Mitra tax treaty (treaty shopping).

Tujuan pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan bentukan untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam tax treaty antara Indonesia dengan Negara Mitra.

Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang PPh menjelaskan:

Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.

Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang PPh menjelaskan:

Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 140/PMK/2010 menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang

Dalam hal terdapat kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 yang mengakibatkan PPh Pasal 26 yang dipotong lebih besar daripada PPh Pasal 26 yang seharusnya dipotong atau dipungut, Wajib Pajak luar negeri dapat mengajukan pengembalian kelebihan (refund).

Kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 dapat berupa:

  • pemotongan PPh Pasal 26 yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam tax treaty;
  • pemungutan PPN terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
  • pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.

Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan nomor 187/PMK.03/2015, pihak yang dapat meminta pengembalian pajak adalah:

  1. Wajib Pajak yang dipotong dalam hal terjadi kesalahan pemotongan pajak terkait dengan Pajak Penghasilan, atau pajak yang seharusnya tidak dipotong.
  2. pihak yang dipungut (syarat: pihak yang dipungut bukan PKP) dalam hal terjadi kesalahan pemungututan PPN, atau PPnBM.
  3. SPLN (melalui BUT di Indonesia) dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap SPLN yang memiliki BUT di Indonesia.
  4. Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap SPLN yang tidak memiliki BUT di Indonesia.

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kantor pajak terkait melakukan penelitian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Advance Pricing Agreement (APA)

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.

Tujuan Advance Pricing Agreement (APA) adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing.

Ruang lingkup APA meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 mengatur bahwa APA dapat bersifat

  • unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak, atau
  • bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:

  • inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan APA Unilateral atau APA Bilateral; atau
  • pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan APA Bilateral yang diajukan wajib pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra tax treaty.

Permohonan ini APA dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode APA dan Roll-back dalam hal Wajib Pajak meminta Roll-back dalam Permohonan APA.

Roll-back adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam APA untuk tahun-tahun pajak sebelum Periode APA.

Roll-back berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:

  • fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam APA
  • belum daluwarsa penetapan;
  • belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan; dan
  • tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.

Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan Pejabat Berwenang Mitra tax treaty untuk menentukan harga transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu.

Direktur Jenderal Pajak juga berwenang untuk mengawasi kesepakatan serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

Hubungan istimewa menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:

  • kepemilikan atau penyertaan modal;
  • penguasaan; atau
  • hubungan keluarga sedarah atau semenda.

Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya merupakan keadaan satu atau lebih pihak yang mengendalikan pihak yang lain, atau tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada apabila:

  • satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
  • dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
  • terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
  • para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
  • satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.

Lebih lanjut tentang APA, bisa dilihat di tulisan Advance Pricing Agreement.

Salindia Sosialisasi Tata Cara Pelaksanaan Advance Pricing Agreement

Mutual Agreement Procedur (MAP)

Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan tax treaty.

Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra tax treaty antara lain berasal dari penyesuaian akibat:

  • koreksi Transfer Pricing,
  • permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment),
  • karakterisasi atas suatu penghasilan,
  • tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan dalam tax treaty.

Ketentuan MAP yang terbaru diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 49/PMK.03/2019

Lebih lanjut silakan baca tulisan Tata Cara Mutual Agreement Procedure

Prinsip Netralitas Dalam Perpajakan Internasional

Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri.

Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal .

Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang “netral” yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.

Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.

Doernberg, menyebut tiga unsur netralitas:

  • capital-export neutrality
  • capital-impor neutrality
  • national neutrality

Netralitas ekspor modal atau capital-export neutrality maksudnya sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik.

Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018.

Netralitas impor modal (capital-impor neutrality), maksudnya netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality).

Maksud netralitas impor modal adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.

Netralitas nasional (national neutrality), maksudnya netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.

Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.

International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.

Mengapa Terjadi Pajak Berganda?

Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.

Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis .

Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.

Contoh pajak ganda internasional ekonomis adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.

Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system.

Sistem klasikal didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain. Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar.

Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari

  • full integration system,
  • deviden deduction system,
  • split rate system,
  • devidend examption system, dan
  • imputation system.

Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.

Metode Penghindaran Pajak Berganda Ekonomi

Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi.

Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.

Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir.

Devidend deduction system adalah integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan. Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen.

Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.

Di rancangan undang-undang omnibus law perpajakan, konsep dividen exemption system nampaknya akan digunakan.

Split rate system adalah pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan.

Imputation system yaitu penghindaran pajak dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.

Pajak Ganda Yuridis

Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu :

  1. ada dual residence;
  2. konflik antara asas domisili dengan asas sumber; dan
  3. perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).

Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan. Seseorang dianggap penduduk oleh dua otoritas pajak. Misalnya saya dianggap penduduk Indonesia dan Singapura.

Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency). Artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Kriteria a tie breaker rule adalah

  1. tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;
  2. pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada;
  3. kebiasaan berdiam (habitual abode);
  4. status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;
  5. prosedur kesepakatan (MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Jenis pajak ganda yuridis yang kedua disebabkan adanya konflik antara asas domisili dengan asas sumber.

Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. World wide income principle adalah negara domisili yang mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya. Sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut .

Pasal 26 Undang-Undang PPh merupakan perwujudan konsep kewenangan atas wilayah. Indonesia mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

Konsep ini disebut juga asas sumber. Menurut asas sumber, negara tempat sumber penghasilan berasal, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu. Tidak pandang di mana orang yang memiliki sumber itu berada.

Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya.

Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.

Metode Penghindaran Pajak Berganda

Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu:

  • metode pembebasan, dan
  • metode kredit.

Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber.

Metode pembebasan meliputi :

  1. Pembebasan subjek
  2. Pembebasan objek
  3. Pembebasan pajak

Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa.

Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang PPh.

Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) dikecualikan sebagai objek pajak.

Metode pembebasan pajak dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan.

Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif. Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.

Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Salah satu varian metode ini dipakai Indonesia dan diatur di Pasal 24 Undang-Undang PPh.

Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili.

Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit.

Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.

Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.

Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:

  • Overall limitation
  • Per country limitation
  • Tax sparing
  • Underlying tax credit
  • Matching credit

Menurut metode overall limitation, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation.

Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

rumus metode overall limitation

Menurut metode per country limitation, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara.

Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

rumus metode per county limitation

Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor  192/PMK.03/2018

Tulisan lebih lanjut untuk menghitung kredit pajak Pasal 24 dapat dilihat di artikel Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri.

Metode tax sparing disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday.

Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber.

Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.

Contoh: Indonesia memberikan tax holiday kepada industri pionir. Kemudian investor luar negeri (misal Jepang) investasi di Indonesia. Atas hasil investasi di Indonesia dibebaskan pajak penghasilan. Hasil ini kemudian dibawa ke negara Jepang. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negera sumber dan Jepang sebagai negara domisili.

Agar tujuan tax holiday efektif, maka di Indonesia seolah-olah bayar pajak. Pajak semu ini kemudian dibawa ke Jepang, dikreditkan. Sehingga di Jepang juga tidak bayar pajak. Inilah tax sparing.

Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba.

Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.

Variasi terakhir dari tax credit adalah matching credit. Metode matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty).

Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.

Skema Penghindaran Pajak

Setidaknya ada empat jenis penghindaran pajak, yaitu:

  1. hybrid mismatch arrengement,
  2. manipulasi transfer pricing,
  3. penghindaran status BUT, dan
  4. Control Foreign Company.

Jenis penghindaran pajak pertama, hybrid mismatch arrangement, dilakukan oleh tax planner karena atas karakteristik instrumen yang sama terjadi inkonsistensi peraturan pajak antar negara . Dampak bisa jadi double non-taxation (alias tidak dikenakan pajak di mana pun).

Skema hybrid mismatch arrangement terdapat tiga macam. Pertama, adanya skema pengurangan berganda (double deduction scheme).

Double deduction scheme adalah pengakuan biaya untuk tujuan pajak dilakukan di dua negara yang berbeda.

Biasanya skema double deduction efektif jika ada perbedaan perlakukan perpajakan antar negara terkait entitas transparan. Atas entitas transparan suatu negara mengenakan pajak, ada juga yang tidak mengenakan pajak.

Skema kedua, deduction or no inclusion scheme. Skema deduction or no inclusion adalah pengakuan biaya bunga di satu negara tetapi diakuai sebagai dividen di negara lawan.

Misal, Negara Indonesia mengakui bahwa PT XYZ membayar bunga ke ABC Ltd di luar negeri. PT XYZ mencatat sebagai utang. Tetapi di ABC Ltd dianggap sebagai investasi. Sehingga pembayaran bunga di PT XYZ akan dicatat sebagai dividen di ABC Ltd. Cara ini akan efektif jika di Negara tempat ABC Ltd memperlakukan dividen bukan sebagai objek pajak.

Skema ketiga, foreign tax credit. Skema ini dimanfaatkan jika ada ketentuan bahw aentitas berhak mendapatkan kredit pajak luar negeri yang seharusnya tidak diterima.

Contoh: PT XYZ (dalam negeri) membeli saham SPV Ltd di luar negeri. SPV Ltd milik ABC Ltd di negara yang sama dengan SPV Ltd. Padahal PT XYZ memberikan pembiayaan kepada ABC Ltd.

contoh ilustrasi skema foreign tax credit generator

Sementara di Luar Negeri, ABC Ltd mejual saham SPV Ltd dengan menyatakan komitmen untuk membeli kembali saham tersebut pada waktu yang ditentukan, dan harga yang disepakati.

Karena saham SPV Ltd dipegang PT XYZ maka SPV Ltd memberikan dividen kepada PT XYZ. Di luar negeri, SPV Ltd dikenakan pajak, dan (misal) Indonesia mengakui kredit pajak atas pajak SPV Ltd. Sehingga, atas penghasilan dividen ini, PT XYZ melaporkan penghasilan dividen dan melaporkan kredit pajak luar negeri.

Sementara di luar negeri, ABC Ltd mencatat sebagai utang. Saham SPV Ltd hanya sebagai jaminan. Bukan dijual. Sehingga ABC Ltd tetap sebagai pemilik SPV Ltd. ABC Ltd mencatatkan biaya bunga atas pembayaran ke PT XYZ dengan nilai yang sama dengan pembayaran dividen.

Sementara itu, penghindaran pajak melalui skema penghindaran status BUT dilakukan dengan memanfaatkan tax treaty. Intinya, perusahaan menghindari status BUT menurut tax treaty yang berlaku supaya negara sumber tidak berhak mengenakan pajak.

Contoh yang paling umum dan terang benderang adalah pemajakan atas perusahaan digital. Google meraup keuntungan dari Indonesia sebagai negara sumber (konsumen). Tetapi berdasarkan tax treaty yang berlaku, Indonesia tidak dapat mengenakan Pajak Penghasilan karena tidak ada BUT, sampai berlakunya MLI (Multilateral Instrument).

FAQ Pajak Internasional

Beberapa minggu yang lalu saya mengunduh file dari TKB di kantor. File ini berisi FAQ Pajak Internasional. Di bawah ini merupakan salinan FAQ Pajak Internasional dari TKB.

UMUM

Apa saja cakupan dari Pajak Internasional?

Cakupan dari Pajak Internasional adalah:
a. Wajib Pajak Dalam Negeri yang memperoleh penghasilan dari luar
negeri; dan
b. Wajib Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari dalam
negeri.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)

Bagaimana pengenaan pajak berganda pada transaksi internasional dapat terjadi?

Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut:
a. Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena bersumber di negara tersebut.

b. Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya.

c. Negara A dan Negara B mengenakan pajak terhadap seorang Wajib Pajak, karena masing-masing negara mengklaim sebagai penduduk di negaranya.

Apakah penyebab terjadinya pajak berganda internasional?

Pajak berganda internasional akan timbul karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Pengenaan pajak berganda internasional timbul karena tiga konflik berikut:
a. Konflik antar sesama Negara sumber
b. Konflik antar sesama Negara domisili
c. Konflik antar Negara sumber – Negara domisili

Bagaimana dasar hukum pembentukan P3B, terutama dalam kaitannya dengan ketentuan perpajakan?

Sesuai dengan UU PPh, Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
a. penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
c. pertukaran informasi perpajakan;
d. bantuan penagihan pajak; dan
e. kerja sama perpajakan lainnya.

Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, Pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Apakah P3B dapat menimbulkan hak pemajakan baru?

Tidak, karena P3B adalah suatu ketentuan yang dipergunakan untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas transaksi lintas batas yang terjadi antar negara.

Dalam konteks perpajakan internasional, sistem pajak worldwide dan territorial merupakan alternatif utama yang digunakan negara domisili untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari Luar Negeri. Apakah yang dimaksud dengan sistem pajak worldwide dan territorial tersebut?

Setiap negara bebas untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, pada umumnya, sistem perpajakan internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili (the residence principle) dan prinsip sumber (the territoriality principle).

Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Sementara, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial.

Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak.

Negara yang menganut sistem pajak worldwide akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negaranya. 

Apabila terjadi konflik atau perbedaan pengaturan pada ketentuan domestik dan P3B atas suatu transaksi internasional, ketentuan manakah yang berlaku?

P3B merupakan ketentuan lex-spesialis. Oleh karenanya, apabila terjadi konflik antara ketentuan P3B dan ketentuan domestik atas suatu transaksi internasional, ketentuan P3B lebih diutamakan.

Berdasarkan PMK-202/PMK.0102017 s.t.d.t.d PMK-236/PMK.010/2020, dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.

Penjelasan Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.010/2017 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020

Bagaimana jika tarif pemotongan/pemungutan pajak atas bunga, royalti atau dividen dalam P3B lebih besar dibandingkan dengan tarif menurut ketentuan domestik?

Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan perjanjian.

Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih besar, maka tarif yang digunakan adalah yang sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.

Apakah yang dimaksud dengan treaty shopping?

Treaty shopping adalah suatu praktik yang dilakukan oleh Wajib Pajak suatu negara dengan menggunakan suatu skema tertentu, untuk mendapatkan manfaat/fasilitas yang diberikan oleh tax treaty yang menggunakan pasal-pasal dalam tax treaty yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.

Contoh  transaksi yang dicurigai termasuk dalam skema penyalahgunaan P3B, antara lain:
a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
c. transaksi yang penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO).

Apakah yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle (SPV)?

IBFD International Tax Glossary (2015) mendefinisikan special purpose vehicle adalah entitas yang dibentuk untuk berpartisipasi dalam pengaturan keuangan terstruktur atau transaksi investasi yang biasanya sebagai bagian dari rencana pengurangan atau penghindaran pajak.

OECD Glossary Statistical Terms mendefinisikan special purpose entities adalah entitas yang secara umum terorganisir atau didirikan dalam perekonomian selain perekonomian di mana perusahaan induk berada.

Bentuk dari special purpose company antara lain; conduit company, letter box company, money box company, paper company, atau shell company.

Ketentuan mengenai special purpose company dalam aturan domestik diatur dalam:
a. Pasal 18 ayat (3b) dan ayat (3c) UU Pajak Penghasilan,
b. Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri,
c. Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan PIhak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga, dan
d. Peraturan Menteri Keuangan No. 142/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle.  

Definisi Special Purpose Vehicle (SPV):
a. sesuai dengan Pasal 1 angka 2 PMK No.258/PMK.03/2008, perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) adalah perusahaan antara yang dibentuk dengan tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Heaven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) PMK No. 127/PMK.010/2016, berdasarkan Undang Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, mendefinisikan special purpose company sebagai perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti untuk pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 18 ayat (3b) dan
b. Pasal 18 ayat (3c)

  • Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3(c) Undang Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib Pajak Luar Negeri;
  • Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor  142/PMK.01/2016
Seringkali dijumpai modus di mana Wajib Pajak Luar Negeri menggunakan perusahaan antara (conduit company) di negara yang memiliki P3B dengan Indonesia sebagai perantara untuk menerima penghasilan dividen, bunga atau royalti dengan tujuan untuk memanfaatkan P3B antara Indonesia dengan negara mitra P3B di mana perusahaan conduit tersebut berada. Apakah atas manfaat P3B yang diterima oleh perusahaan conduit tersebut dapat dibatalkan dengan alasan perusahaan conduit tersebut bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan dimaksud?

Secara umum, berdasarkan Pasal 2 PER-25/PJ/2018 untuk dapat memanfaatkan tarif P3B untuk penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti, beneficial owner dari penghasilan tersebutlah yang harus merupakan residen dari negara mitra P3B.

Ketentuan domestik pajak internasional

Secara umum, apa yang diatur dalam PPh Pasal 26?

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26, antara lain:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.

Siapa Pemotong PPh Pasal 26?

Badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 26 ayat (1)

Bagaimanakah konsep ‘resident’ dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty?

Dalam Pasal 4 ayat (1) P3B yang berpedoman pada Organisation for Economic Co-ordination and Development (OECD) Model, definisi mengenai resident atau disebut sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) diberikan kepada undang-undang domestik dari kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Dengan demikian, untuk menentukan apakah subjek pajak merupakan resident dari negara yang mengadakan P3B adalah berpedoman pada ketentuan domestik masing-masing negara tersebut.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (3) dan
b. Pasal 2 ayat (4)
Model P3B: Pasal 4

Apa yang dimaksud dengan tempat usaha bersifat permanen dalam penentuan suatu bentuk usaha tetap?

Tempat usaha yang dianggap permanen sesuai dengan kriteria dalam bentuk usaha tetap, adalah sepanjang tempat usaha tersebut:
a. digunakan secara kontinu; dan
b. berada di lokasi geografis tertentu

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 5 ayat (3)

Apa saja kriteria suatu usaha untuk ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia?

Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
b. tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan
c. tempat usaha tersebut digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 4

Bagaimana cara menentukan periode waktu untuk penerapan P3B dalam BUT yang berbentuk proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan?

Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, dapat dianggap merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. periode waktu dihitung sejak saat proyek mulai dikerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing;
b. periode waktu berakhir saat :
i. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menyelesaikan pekerjaan dan menyerahkan hasil pekerjaan kepada penerima jasa konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; atau
ii. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menghentikan pekerjaan sebelum pekerjaan selesai;
c. penghentian pengerjaan proyek untuk sementara tidak menunda penghitungan periode waktu;
d. bagian dari hari dihitung penuh 1(satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
e. bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan bulan; dan
f. waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor dalam negeri maupun luar negeri.  

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 7

Apa saja yang menjadi obyek pajak dari suatu BUT?

a. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 5 ayat (1)

Bagaimana peran penting permanent establishment (PE) dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh dari suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas?

Konsep permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) memiliki peranan penting dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas.

Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.

Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

Apa saja jenis dari Bentuk Usaha Tetap?

Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (5)

Apa perbedaan antara BUT dan representative office?

Pasal 4 ayat 1 PMK-35/PMK.03/2019 diatur bahwa bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
b. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan
c. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan,

Sedangkan Representative Office didirikan dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan. Dalam Pasal 6 PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa:
a. Kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) merupakan kegiatan pendahuluan agar kegiatan yang esensial dan signifikan siap untuk dilakukan.
b. Kegiatan yang bersifat penunjang (auxiliary) merupakan kegiatan tambahan yang memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (5)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

Bagaimana penentuan BUT atas pemberian jasa?

Dalam PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing atau subkontraktor dari Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut;
b. pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
c. pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.

Untuk penerapan P3B, penerapan jasa tersebut merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
a. Pasal 4 ayat (2),
b. Pasal 8 ayat (1), dan
c. Pasal 8 ayat (2)

Apakah kegiatan usaha yang dilakukan melalui website internet dimana website tersebut terdapat di luar negeri dapat menimbulkan bentuk usaha tetap?

Penggunaan website tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

Sesuai dengan SE-50/PJ/2013, untuk setiap transaksi, pemeriksa akan melakukan uji eksistensi dan manfaat ekonomi. Pengujian tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut telah benar-benar dilakukan dan memberikan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak.

Bagaimana pemotongan PPh atas WPLN yang:
a. memiliki BUT?
b. tidak memiliki BUT?

BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri sehingga BUT wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana subjek pajak badan dalam negeri pada umumnya.

Bagi WPLN yang tidak memiliki BUT, maka penghasilan yang diperoleh akan dipotong/dipungut pajaknya oleh pemotong/pemungut pajak sesuai ketentuan UU PPh (PPh Pasal 26), atau sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
a. Pasal 2 ayat (1a)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
a. Pasal 3

Bagaimana penentuan CFC sesuai dengan ketentuan domestik?

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019:

  1. Wajib Pajak dalam negeri yang:
    a. Memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada Badan Usaha Luar Negeri (BULN) Nonbursa; atau
    b. Secara bersama sama dengan WPDN lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa

ditetapkan memiliki pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa.

  1. BULN Nonbursa terkendali tidak langsung merupakan BULN Nonbursa yang dikendalikan secara tidak langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri melalui:
    a. BULN Nonbursa terkendali langsung; atau
    b. BULN Nonbursa terkendali langsung dan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung pada tingkat penyertaan modal sebelumnya

dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

Bagaimana perbedaan perlakuan PMK-107/2017 dan PMK-93/2019?

Ketentuan umum PMK-107/2017 dan PMK-93/2019:

  1. PMK-107/2017 berlaku untuk Tahun Pajak 2017 dan Tahun Pajak 2018 mengatur mengenai penetapan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya atas penyertaan modal pada BULN Nonbursa terkendali berdasarkan laba setelah pajak;
  2. PMK-93/2019 berlaku mulai Tahun Pajak 2019 mengubah ketentuan yang ada pada PMK-107/2017 yang meliputi:
    a. mengatur jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan Deemed Dividend;
    b. mengubah dasar pengenaan Deemed Dividend yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

Bagaimana penentuan saat perolehan deemed dividend? 

Sesuai dengan Pasal 3 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK 93/PMK.03/2019, saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung WPDN pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada:

  1. akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan;
  2. akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.

dalam hal BULN Nonbursa terkendali Iangsung tersebut berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki pilihan untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan interim (berdasarkan estimasi), saat diperolehnya Deemed Dividend tersebut ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan akhir (final) bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun yang bersangkutan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

Bagaimana perlakuan perpajakan apabila jumlah dividen yang diterima berbeda dari deemed dividend?

Dalam hal deemed dividend lebih besar dari dividen yang diterima, maka, selisih deemed dividend tersebut menjadi saldo yang dapat diperhitungkan dengan dividen yang diterima dalam jangka waktu lima tahun.

Dalam hal deemed dividend lebih kecil dari dividen yang diterima, maka selisih dividen yang diterima dikenai Pajak Penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak diterimanya dividen.

Bagaimana interaksi antara ketentuan Deemed Dividend dengan ketentuan dividen yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja? 

Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, maka ketentuan Deemed Dividend tetap berlaku sepanjang:

  1. BULN Nonbursa terkendali langsung tidak membagikan dividen kepada WPDN; dan/atau
  2. WPDN tidak melakukan investasi di Indonesia atas dividen yang dibagikan oleh BULN Nonbursa terkendali langsung

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
a. Pasal 39

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

PT JKL mendirikan anak perusahaan (Cayman JKL Co.) yang dimiliki 100% di Cayman Island untuk menampung penghasilan dari luar negeri. Di negara tersebut tidak terdapat pajak atas penghasilan dan penghasilan yang dikirim ke luar negeri (outbound income) tidak dikenakan pajak.  Pada tahun 2017, PT JKL memperoleh penghasilan neto dalam negeri sebesar 1.000, sementara pada tahun yang sama Cayman JKL Co. memperoleh penghasilan neto sebesar 500. Apabila Cayman JKL Co tidak membagikan dividen, berapa beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK-107/PMK.03/2017, Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai Controlled Foreign Company (CFC) karena penyertaan modal langsung PT JKL lebih besar dari 50%.

Penghasilan yang diperoleh Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai dividen yang seharusnya diterima oleh PT JKL. Besarnya beban pajak yang harus dibayarkan PT JKL Tahun 2017 adalah:

Penghasilan netto dalam negeri Rp1.000
Penghasilan netto luar negeri Rp500
Penghasilan Kena Pajak Rp1.500
Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
Pajak terutang = 25% x Rp1.500 = Rp375

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

Berdasarkan kondisi pada pertanyaan nomor 6, dalam hal CFC didirikan di Singapura (tarif pajak 18%, dan outbound income dalam bentuk dividen tidak dikenakan pajak). Berapakah beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?

Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2017 adalah:
Penghasilan netto dalam negeri Rp1 .000
Penghasilan netto luar negeri Rp500
PPh (Singapura) = 18% x Rp500 = Rp90
Penghasilan Netto Setelah Pajak di LN (Dasar Pengenaan Deemed Dividend) = Rp500 – Rp90 = Rp410
Penghasilan Kena Pajak (total) Rp1.410
Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
Pajak terutang = 25% x Rp1.410 = Rp352,5

Bagaimana sebuah perusahaan disebut melakukan thinly capitalized? Apa tujuan sebuah perusahaan melakukan thinly capitalized tersebut?

Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat perbandingan yang tinggi antara modal hutang (debt capital) dan modal ekuitas (equity capital). Tujuan dari thin capitalization adalah untuk memperoleh tingkat penghasilan kena pajak yang rendah karena adanya tambahan beban bunga hutang/pinjaman, sehinga beban pajakyang ditanggung sebuah perusahaan menjadi lebih kecil.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan

Apakah yang disebut dengan Branch Profit Tax?

Branch Profit Tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan PMK-14/PMK.03/2011, Branch Profit Tax tidak dikenakan jika Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dalam bentuk:

  1. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
  2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
  3. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan beneficial owner dalam ketentuan domestik?

Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PER-25/PJ/2018, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner dalam hal:

  1. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
  2. bagi WPLN badan, harus memenuhi ketentuan:
    a. tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit,
    b. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
    c. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
    d. menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan
    e. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Bagaimana perlakuan kerugian usaha di luar negeri sesuai ketentuan domestik? 

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN tidak dapat memperhitungkan:

  1. kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri, termasuk kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri yang diperoleh setelah memperhitungkan kerugian yang diperoleh dari harta atau kegiatan yang memiliki hubungan efektif dengan cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri; dan
  2. kerugian lain yang diderita di luar negeri.