fbpx

Tindakan Penagihan

Tindakan penagihan pajak adalah tindakan juru sita pajak untuk menagih pajak terutang. Tindakan penagihan pajak terdiri : Surat Teguran, Surat Pajak, Penyitaan, Lelang, Pencegahan, Penyanderaaan, dan / atau Penagihan Seketika dan Sekaligus. Tindakah penagihan dilakukan kepada penanggung pajak.

Tahapan Penagihan

Tahapan-tahapan penagihan pajak

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang KUP

Berdasarkan Undang-Undang KUP, dasar penagihan pajak yaitu: STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Walaupun demikian, Wajib Pajak harus memperhatikan STP dan SKPKB.

Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.

Tetapi jika Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Wajib Pajak tidak setuju, maka juru sita pajak akan menunggu proses keberatan. Permohonan keberatan harus diajukan paling lambat 3 bulan sejak STP dan SKPKB dikirim. Jika dalam 3 bulan tidak diajukan, maka proses penagihan dilanjutkan.

Walaupun demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020 Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPSS) dalam hal:

  1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. Badan akan dibubarkan oleh negara;
  5. terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
  6. terdapat tanda-tanda kepailitan.

7 hari setelah jatuh tempo, Juru Sita akan menerbitkan Surat Teguran. Biasanya surat teguran diantar langsung oleh Juru Sita.

Surat Teguran

Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak

Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020

Walaupun belum lunas, Surat Teguran tidak akan diterbitkan jika Wajib Pajak telah setuju untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Silakan mendatangi Juru Sita langsung di kantor pajak untuk meminta persetujuan penundaan atau berniat mengangsur.

Surat Paksa

Apabilan utang pajak belum lunas sampai dengan tanggal yang ditentukan, Juru Sita kemudian menerbitkan Surat Paksa dalam jangka wakut 21 hari sejak Surat Teguran.

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)

Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan kepada:

  1. Penanggung Pajak, atau
  2. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak dalam hal Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai Penanggung Pajak, atau
  3. kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, atau
  4. orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, atau
  5. Penerima Kuasa Khusus dalam hal Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.

Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat

Pasal 10 aat (7) Undang-Undang PPSP

Pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Pajak dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara.

Karena harus dibacakan di depan penanggung pajak, biasanya kepala KPP memanggil penanggung pajak untuk menghadap Juru Sita. Saat pelaksanaan pembacaan, juru sita bisa juga didampingi pejabat lain seperti atasan Juru Sita.

Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat antara lain jumlah utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli.

Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Pajak diserahkan kepada wali atau pengampunya.

Di sinilah “kejamnya” hukum pajak. Bahwa urusan pajak belum selesai walaupun Wajib Pajak sudah meninggal dunia. Bandingkan dengan pidana umum, bahwa jika tersangka meninggal dunia, maka urusan pidana selesai!

Penyitaan

Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu dalam jangka waktu yang telah ditentukan, 48 jam setelah dibacakan Surat Paksa, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

Undang-Undang mengatur bahwa penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.

Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:

  1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
  2. memperlihatkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; dan
  3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan.

Selanjutnya, Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan. Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.

Berita acara pelaksanaan sita tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat walaupun Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita. Dalam berita acara dicantumkan alasan penolakan dan ditanda tangani oleh Jurus Sita dan saksi.

Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.

Pasal 13 Undang-Undang PPSP.

Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Jurus Sita untuk melakukan penyitaan berupa:

  • barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
  • barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.

Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.

Menteri Keuangan kemudian merinci aset yang dapat disita, yaitu barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak yang dapat disita diantaranya:

  1. uang tunai termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya;
  2. logam mulia, perhiasan emas, permata, dan sejenisnya;
  3. harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan meliputi deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
  4. harta kekayaan Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang memiliki nilai tunai;
  5. surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
  6. surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
  7. piutang; dan
  8. penyertaan modal pada perusahaan lain.

Sedangkan barang tidak bergerak yang dapat disita oleh Juru Sita diantaranya:

  1. tanah dan/atau bangunan; dan
  2. kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.

Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. Jurusita Pajak akan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya.

Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang PPSP

Walaupun demikian, terdapat barang bergerak yang tidak boleh dilakukan penyitaan oleh Juru Sita. Hal ini diatur di Pasal 15 Undang-Undang PPSP. Pengecualian dimaksudnya supaya Penanggung Pajak masih dapat hidup layak.

Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

  1. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
  2. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
  3. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
  4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
  5. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
  6. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

Pada dasarnya, barang yang disita akan tetap disita sampai dengan utang pajak lunas. Walupun demikian, ada kondisi lain Juru Sita mencabut pencabutan. Berikut kondisi pencabutan sita menurut Menteri Keuangan:

  1. Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
  2. adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak;
  3. Barang sitaan musnah karena terbakar, huru-hara, gagal teknologi, dan bencana alam;
  4. Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif telah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
  5. Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
  6. Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
  7. Penanggung Pajak yang merupakan salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan, bagi harta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta peninggalan Wajib Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta peninggalan Wajib Pajak; atau harta peninggalan Wajib Pajak sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
  8. Penanggung Pajak yang merupakan para ahli waris Wajib Pajak, bagi harta warisan yang telah dibagi, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta warisan sesuai dengan porsi yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta warisan; atau harta warisan sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
  9. Penanggung Pajak yang merupakan wali bagi anak yang belum dewasa telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta anak yang belum dewasa; atau harta anak yang belum dewasa sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dan harta pribadi wali yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
  10. Penanggung Pajak yang merupakan pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta orang yang berada dalam pengampuan; atau harta orang yang berada dalam pengampuannya sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dan harta pribadi pengampu yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
  11. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
  12. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
  13. Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
  14. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah daluwarsa penagihan; dan/atau
  15. Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang .

Pemblokiran

Pemblokiran rekening keuangan termasuk salah satu bentuk penyitaan. Pemblokiran rekening keuangan sering dilakukan oleh Juru Sita karena lebih mudah dan sangat efektif. Wajib Pajak akan kesulitan likuidasi jika rekening banknya diblokir pajak.

Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.

Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 4, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu.

Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020
Alur pemblokiran rekening keuangan

Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat, yang dilampiri dengan:

  1. cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak;
  2. cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak; dan
  3. surat permintaan pemindahbukuan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagai pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.

Pencegahan

Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penyanderaan

Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang PPSP

Juru Sita mengajukan penyanderaan kepada Menteri Keuangan. Dan melaksanakan penyanderaan setelah ada ijin dari Menteri Keuangan.

Setelah mendapat ijin dari Menteri Keuangan, Juru Sita menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika. Lamanya Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan.

Menurut Pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020, pelaksanaan penyanderaan sebagai berikut:

  • Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan secara langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan.
  • Penyampaian surat perintah Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
  • Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.
  • Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak.

Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah atau sedang dilakukan Pencegahan.

Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 35 Undang-Undang PPSP

Tujuan penyanderaan supaya utang pajak lunas. Jika dalam 6 bulan belum ada pelunasan utang pajak, maka Juru Sita dapat memperpanjang penyanderaan. Hal ini diatur di Pasal 66 Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 36 Undang-Undang PPSP.

Perpanjangan Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir.

Penagihan Seketika dan Sekaligus

Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPSP, Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:

  1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau beniat untuk itu;
  2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
  3. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
  4. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
  5. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

Pengangsuran dan Penundaan

Pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur di Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014 berdasarkan kewenangan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang KUP.

Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada kantor pajak untuk mengangsur atau menunda utang pajak berupa: kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus dibayar.

Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  2. surat permohonan mencantumkan: jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;

Selain itu, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.

Pengansuran dan penundaan pembayaran utang pajak menjadi urusan Juru Sita. Wajib Pajak dapat meminta penjelasan lebih lanjut dengan petugas Juru Sita. Permohonan pengangsuran dan penundaan menunjukkan itikad baik Wajib Pajak untuk melunasi utang pajak.

Gugatan Wajib Pajak

Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Objek gugatan berupa:

  • pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
  • keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
  • keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
  • penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dengan demikian, satu-satunya pinta gugatan terhadap tindakan penagihan hanya ada di Pengadilan Pajak. Pengadilan lain seperti PTUN seharusnya menolak permohonan terkait tindakan penagihan karena spesialisasi undang-undang perpajakan. Hal ini diperkuat dengan aturan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP

Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP

Daluwarsa Penagihan Pajak

Utang pajak dapat ditagih walaupun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah meninggal. Tetapi kewenangan menagih ini dibatasi waktu, yaitu 5 tahun saja. Jadi tidak berarti selamanya dapat ditagih.

Setelah 5 tahun disebut daluwarsa penagihan pajak. Artinya, negara tidak memiliki kewenangan untuk menagih pajak lagi.

Bagaimana menghitung 5 tahun ini? Pasal 22 Undang-Undang KUP mengatur daluwarsa penagihan pajak. Berikut salinannya:

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP

Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

  1. diterbitkan Surat Paksa;
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
  3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
  4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Keempat tindakan menjadikan argo penagihan pajak nol lagi. Dan daluwarsa penagihan bergeser menjadi 5 tahun ke depan setelah salah satu ke-empat tindakan di atas dilakukan.

Salindia Penagihan Pajak