Wajib Pajak kadang tidak menduga bahwa dirinya diperiksa oleh kantor pajak. Pertanyaan yang paling banyak dipertanyakan, “Kenapa saya diperiksa?”. Nah, sebenarnya alasan pemeriksaan pajak pajak ada dua, yaitu pertama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, dan kedua untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jadi, jawaban pertanyaan tadi sering dijawab, “untuk menguji kepatuhan.”
Kewenangan pemeriksaan pajak tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kewenangan undang-undang ini diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak tetapi Direktur Jenderal Pajak menunjuk PNS tertentu atau tenaga ahli tertentu untuk dijadikan pemeriksa pajak. Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 mendefinisikan Pemeriksa Pajak sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.
Sebagai bukti bahwa seseorang ditunjuk untuk menjadi pemeriksa pajak adalah adanya Kartu Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak. Kartu ini membuktikan bahwa dirinya sebagai pemeriksa. Tapi siapa yang diperiksa? Nah jawaban siapa ini adanya di Surat Perintah Pemeriksaan. Karena itu, pemeriksa seharusnya menunjukkan Kartu Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan.

SP2 mencantumkan auditor, auditee, periode pemeriksaan, dan tujuan pemeriksaan. Periode pemeriksaan adalah Masa dan Tahun Pajak yang tercantum dalam Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Paling lama, periode pemeriksaan 12 bulan atau satu tahun. Jika Wajib Pajak akan diperiksa 3 tahun maka sekurang-kurangnya akan ada 3 SP2.
Secara umum, tujuan pemeriksaan dibagi 2, yaitu:
- untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
- untuk tujuan lain
Alasan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan biasanya akan menghasilkan produk hukum, baik surat ketetapan pajak atau STP. Sedangkan alasan pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada produk hukum yang dihasilkan. Jika dalam pemeriksaan tujuan lain ditemukan potensi kurang bayar, maka pemeriksa pajak harus mengajukan SP2 baru untuk menguji kepatuhan.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dibagi dua:
- pemeriksaan rutin,
- pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan Rutin (SE-06/PJ/2016) merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
- diwajibkan oleh Undang-Undang KUP; atau
- dapat dilakukan oleh Dirjen Pajak (berdasarkan skala prioritas), sehubungan dengan pengujian pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Saat ini, pemeriksaan yang diwajibkan oleh Undang-Undang KUP adalah pemeriksaan terkait SPT yang menyatakan lebih bayar (SPT LB). SPT LB diartikan oleh kantor pajak sebagai permintaan restitusi. Produk hukum restitusi adalah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Frasa “setelah melakukan pemeriksaan” diartikan sebagai kewajiban Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan sebelum menerbitkan SKPLB. Tanpa pemeriksaan, maka kantor pajak tidak dapat mengeluarkan SKPLB.
Menurut SE-06/PJ/2016 bahwa pemeriksaan rutin dilakukan dalam hal:
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi);
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi);
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP;
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi;
- Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP serta Pasal 9 ayat (4c) UU PPN;
- Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
- Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
- Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan, dan penilaian kembali aktiva tetap; dan
- Wajib Pajak tidak mengembalikan SPOP PBB.
Mulain tahun 2017, pemeriksaan khusus dibagi dua:
- pemeriksaan data konkret;
- pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit).
Pemeriksaan data konkret adalah pemeriksaan yang dilakukan disebabkan kantor pajak memiliki data berupa:
- hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak;
- bukti pemotongan Pajak Penghasilan;
- data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; atau
- bukti transaksi atau data yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Sampai dengan sekarang (2018) kebanyakan pemeriksaan data konkret disebabkan oleh faktur pajak yang belum dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Faktur pajak wajib diterbitkan oleh PKP pada saat terjadi pembayaran penjualan atau penyerahan, mana yang lebih dulu.
Jika ada penyerahan penjualan bulan Januari 2018, maka faktur pajak wajib dilaporkan di masa Januari 2018. SPT Masa Januari 2018 dilaporkan di akhir bulan Februari 2018. Jika sampai dengan Maret faktur pajak masa Januari 2018 tidak dilaporkan, maka petugas account representative (AR) dapat langsung menyampaikan surat klarifikasi (SP2DK). Dalam hal SP2DK tidak mendapat tanggapan, maka dapat langsung diusulkan pemeriksaan data konkret.
Prakteknya, ternyata banyak pengusaha yang menahan “uang PPN”. Alasan paling sering disampaikan adalah untuk “operasional”. Ada juga yang beralasan bahwa pihak pembeli belum bayar piutang sehingga pengusaha keberatan untuk menanggung (sementara).
Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak, biasa disingkat P3. Petugas pemeriksa pajak bukan fungsional pemeriksa pajak. Jabatan struktural P3 bisa pelaksana, AR, atau kepala seksi.
Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit) pada dasarnya ada tiga:
- analisis risiko secara manual
- hasil analisis dan pengembangan atas IDLP
- analisis risiko komputerisasi hasil analisisĀ compliance risk managenent (CRM).
Sedangkan pemeriksaan tujuan lain dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
- penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara jabatan;
- penghapusan NPWP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan;
- pencabutan pengukuhan PKP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan;
- Wajib Pajak mengajukan keberatan;
- pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN);
- pencocokan data dan/atau alat keterangan;
- penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
- penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
- pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
- penentuan saat produksi dimulai;
- penentuan perpanjangan jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan;
- memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
- pemeriksaan dalam rangka Mutual Agreement Procedures (MAP); dan
- pemeriksaan dalam rangka Advanced Pricing Agreement (APA).
Assalamualaikum, kalau tahun pajak yang terdapat data konkret an dilakukan pemeriksaan apakah dibatasi sesuai ketentuan daluwarsa pajak? Terima kasih
Iya, daluwarsa pajak tetap berlaku karena itu terkait penetapan, bukan terkait jenis pemeriksaan.