Prinsip self assessment adalah prinsip pemenuhan kewajiban perpajakan yang mewajibkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang teruang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri melalui dokumen Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampai baik secara langsung, online, pos, maupun melalui ASP.
Menurut bagian penjelasan Undang-Undang KUP bahwa self assessment adalah ciri dan corak sistem pemungutan pajak. Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk :
- berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP;
- menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sesuai peraturan.
Karena sudah dipercayakan kepada Wajib Pajak, maka besarnya pajak terutang tidak tergantung pada adanya ketetapan pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena kantor pajak menemukan data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP:
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Inilah dasar hukum self assessment dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia.
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
- pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
- pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
- pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Walaupun demikian, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP:
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
- apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
- apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
- apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
- apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
- apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).