Apakah Warisan Kena Pajak? Fakta yang Sering Disalahpahami Wajib Pajak

Banyak orang beranggapan bahwa warisan dari orang tua atau keluarga tidak pernah kena pajak. Padahal, dalam praktiknya, ada aturan khusus yang mengatur bagaimana harta warisan diperlakukan dalam sistem perpajakan di Indonesia. Kesalahpahaman ini sering menimbulkan masalah, mulai dari sengketa keluarga hingga persoalan dengan otoritas pajak.

Lalu, benarkah warisan selalu bebas pajak? Ataukah ada kondisi tertentu di mana penerima waris wajib melaporkan dan membayar pajak atas aset yang diperoleh?

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara tuntas mengenai pajak warisan di Indonesia agar aman terhindar dari Pajak Penghasilan.

Warisan Bukan Objek Pajak

Tidak ada perdebatan lagi bahwa warisan merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Hal ini diatur di Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bunyi ketentuannya dari dulu hingga sekarang tidak ada perubahan. Secara kalimat lengkapnya begini, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: warisan.”

Bagian penjelasan huruf b menyebutkan “cukup jelas”. Tidak ada syarat supaya dikecualikan.

Hukum Waris di Indonesia

Ketentuan perpajakan tidak mengatur tentang waris. Tapi hukum yang berlaku di Indonesia ada 3 yang mengatur masalah waris.

Apa dan bagaimana warisan? Jawabannya ada di ketiga hukum tersebut.

Hukum Waris Islam

Bagi pemeluk agama Islam, warisan wajib hukumnya dibagikan menurut kaidah fiqih yang sering disebut faraid.

Faraidh adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada aturan pembagian harta warisan berdasarkan syariat, terutama yang diatur dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa ayat 11, 12, dan 176), Hadis Nabi, serta ijma’ ulama.

Istilah ini berasal dari kata faradha yang berarti “menetapkan”, sehingga faraidh adalah pembagian yang sudah ditetapkan Allah.

Menurut Islam, warisan yang dibagi jika telah terpenuhi kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah:

  1. Pelaksanaan wasiat (maksimal 1/3 dari harta, tidak kepada ahli waris kecuali disetujui ahli waris lain). Barulah setelah itu sisanya dibagikan kepada ahli waris.
  2. Biaya pemakaman pewaris (tajhiz al-mayyit).
  3. Pelunasan hutang pewaris.

Ahli Waris Ditentukan Syariat

Ahli waris dalam faraidh sudah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, terdiri dari:

  1. Ashabul Furudh → ahli waris yang mendapat bagian tertentu (misalnya: 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8). Contoh: suami, istri, ayah, ibu, anak perempuan.
  2. ‘Ashabah → ahli waris yang mendapatkan sisa harta setelah ashabul furudh. Umumnya laki-laki lebih berperan dalam kategori ini.
  3. Dzawil Arham → kerabat jauh yang bisa mewarisi jika tidak ada ashabul furudh dan ‘ashabah.

Perbedaan Bagian Laki-laki dan Perempuan

Secara umum, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan dalam tingkat ahli waris yang sama. Contoh: anak laki-laki dan anak perempuan → bagian laki-laki = 2:1.

Prinsip ini bukan diskriminasi, melainkan karena laki-laki dalam syariat Islam memiliki kewajiban nafkah terhadap keluarga.

Tabel Pembagian

Ahli WarisBagianSyarat
Suami1/2Jika pewaris tidak punya anak/cucu.
1/4Jika pewaris punya anak/cucu.
Istri1/4Jika pewaris tidak punya anak/cucu.
1/8Jika pewaris punya anak/cucu.
Ayah1/6Jika pewaris punya anak.
‘Ashabah (sisa)Jika pewaris tidak punya anak.
Ibu1/3Jika pewaris tidak punya anak.
1/6Jika pewaris punya anak.
1/6Jika pewaris meninggalkan beberapa saudara (≥2).
Anak Laki-laki‘AshabahMendapat sisa, dan 2 kali bagian anak perempuan.
Anak Perempuan (tunggal)1/2Jika sendirian tanpa anak laki-laki.
Anak Perempuan (≥2)2/3Dibagi rata jika ≥2, tanpa anak laki-laki.
Anak Perempuan (dengan anak laki-laki)‘AshabahMendapat sisa, dengan perbandingan 2:1.
Saudara Laki-laki Seibu1/6Jika sendirian, tanpa anak & ayah.
1/3Jika ≥2 orang, tanpa anak & ayah.
Saudara Perempuan Kandung1/2Jika sendirian, tanpa anak & ayah.
2/3Jika ≥2 orang, tanpa anak & ayah.
‘AshabahJika bersama saudara laki-laki kandung (2:1).

Hukum Waris di KUH Perdata

Secara historis dan praktik di Indonesia hukum waris KUH Perdata digunakan oleh warga negara:

  • Warga negara Indonesia non-Muslim (umumnya keturunan Tionghoa, Eropa, atau lainnya) yang tidak terikat hukum adat tertentu.
  • Warga negara asing yang tinggal di Indonesia (karena KUH Perdata awalnya ditujukan bagi golongan Eropa).
  • Masyarakat yang secara yuridis memilih tunduk pada KUH Perdata (misalnya melalui perjanjian perkawinan campuran atau pilihan hukum).

Prinsip-Prinsip Utama Hukum Waris Perdata

Bahwa hukum waris berlaku jika pewaris telah meninggal dunia. Pasal 830 KUH Perdata: “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.”


Artinya, warisan baru terbuka setelah pewaris meninggal dunia.

Ada Hubungan Hukum Antara Pewaris dan Ahli Waris

Dalam hukum waris perdata, terdapat asas yang disebut asas “nasciturus pro iam nato habetur”

Yang dapat menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah (nasciturus hingga derajat tertentu) dan pasangan sah.

Sistem Golongan Ahli Waris

Ahli waris menurut KUH Perdata dibagi dalam empat golongan:

  1. Golongan I → Anak (keturunan ke bawah) + pasangan (suami/istri yang hidup terlama).
  2. Golongan II → Orang tua (ayah & ibu) + saudara pewaris, termasuk keturunan saudara (keponakan).
  3. Golongan III → Kakek-nenek dan leluhur ke atas.
  4. Golongan IV → Paman, bibi, dan keturunannya yang lebih jauh.

👉 Prinsip golongan terdekat menutup golongan berikutnya berarti:
Selama masih ada ahli waris dari golongan yang lebih dekat, maka golongan di bawahnya tidak mendapat warisan sama sekali.

Prinsip ini didasarkan pada asas kedekatan hubungan darah dengan pewaris:

  1. Keturunan langsung (anak) dianggap paling berhak.
  2. Jika tidak ada, maka hak berpindah ke orang tua & saudara.
  3. Jika masih tidak ada, berpindah ke leluhur (kakek-nenek).
  4. Baru terakhir keluarga samping jauh (paman, bibi, sepupu).
GolonganSiapa SajaKeterangan & Prinsip Penutupan
Golongan I– Anak (dan keturunannya, misalnya cucu melalui plaatsvervulling) – Suami/istri yang hidup terlamaSelama ada anak (atau keturunannya), maka semua golongan di bawah tertutup. Pasangan selalu mewaris bersama anak.
Golongan II– Orang tua (ayah & ibu) – Saudara kandung pewaris – Keponakan (anak saudara, melalui plaatsvervulling)Berhak jika tidak ada golongan I. Jika masih ada orang tua/saudara, maka golongan III & IV tertutup.
Golongan III– Kakek-nenek (dari pihak ayah maupun ibu)Berhak jika golongan I & II tidak ada. Jika masih ada kakek-nenek, maka golongan IV tertutup.
Golongan IV– Paman, bibi (saudara orang tua pewaris) – Sepupu (keturunan mereka, melalui plaatsvervulling)Hanya berhak jika golongan I, II, III tidak ada. Ini golongan terakhir menurut KUH Perdata.

Jadi, yang namanya warisan itu tidak bisa “suka-suka”. Tidak bisa seperti: tiba-tiba saya mendapatkan ahli waris, yang pewarisnya bukan keluarga.

Asas Legitime Portie

Asas Legitime Portie adalah asas dalam hukum waris (khususnya yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPerdata) yang mengatur bahwa ada bagian tertentu dari harta peninggalan pewaris yang wajib diberikan kepada ahli waris tertentu (legitimaris) dan tidak boleh dikurangi atau dihapuskan, meskipun pewaris membuat wasiat atau hibah.

Legitime Portie (LP) merupakan bagian mutlak (hak mutlak) ahli waris tertentu yang dilindungi undang-undang.

Ahli waris yang berhak disebut legitimaris, yaitu:

  • Anak-anak sah (dan keturunannya jika anak sudah meninggal).
  • Orang tua (bapak dan ibu) jika pewaris tidak punya anak.
  • Kadang termasuk istri/suami (tergantung interpretasi).

    Pewaris memang boleh membuat wasiat, hibah, atau memberikan harta kepada pihak lain, tetapi tidak boleh melanggar bagian Legitime Portie.

    Jika pewaris melanggar (misalnya membagikan seluruh harta ke pihak luar lewat wasiat), maka legitimaris berhak menggugat agar wasiat/hibah itu dikurangi sampai hak LP terpenuhi.

      Pentingnya Akta Waris

      Akta Notaris pembagian waris (sering disebut Akta Pembagian Warisan atau Akta Pembagian Hak Bersama) adalah dokumen resmi yang dibuat di hadapan notaris untuk menetapkan dan mengesahkan pembagian harta peninggalan pewaris kepada ahli waris.

      Kekuatan Hukum yang Pasti

      • Akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (Pasal 1868 KUHPerdata).
      • Jika pembagian hanya dilakukan secara lisan atau tertulis biasa tanpa notaris, bisa diperdebatkan atau dibatalkan.
      • Dengan akta notaris, kedudukan hukum para ahli waris menjadi jelas dan terlindungi.

      Syarat Administrasi Pertanahan & Perbankan

      Untuk membalik nama sertifikat tanah warisan ke atas nama ahli waris, BPN (Badan Pertanahan Nasional) mewajibkan adanya akta pembagian waris.

      Untuk mencairkan tabungan, deposito, atau aset lain di bank atas nama pewaris, bank biasanya meminta akta waris sebagai syarat pencairan.

      Kepatuhan Pajak dan Administrasi

      Pembagian waris lewat akta notaris juga memudahkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) final atas pengalihan harta warisan yang dibagi.

      Notaris memastikan bahwa proses tersebut sesuai dengan aturan perpajakan dan perdata.

      Surat Keterangan Bebas

      Surat Keterangan Bebas atau SKB merupakan surat yang ditanda-tangani oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) tempat pewaris berada.

      SKB wajib diajukan oleh ahli waris kepada KPP Pratama dimana pewaris terdaftar. Jika selama hidup tidak pernah terdaftar, maka dapat dibuatkan Surat Pernyataan bahwa selama hidupnya memiliki penghasilan dibawah PTKP. Dan permohonan diajukan sesuai domisili pewaris.

      Dasar pembuatan SKB adalah Akta Pembagian Warisan atau Akta Pembagian Hak Bersama.

      Dua Transaksi Penjualan Warisan

      Biasanya, jika warisan berbentuk barang, maka agar pembagian sesuai ketentuan, maka untuk memudahkan harta warisan dijual. Hasil penjualannya dibagikan kepada ahli waris.

      Misal harta warisannya berupa tanah 30 hektar di pusat kota. Ini pasti nilainya besar. Dan semua ahli waris tentu berharap mendapatkan jatah sesuai ketentuan.

      Maka tanah tersebut dijual. Dicari pembeli. Nanti, sertifikat tanah akan beralih dari pewaris, kepada pembeli.

      Namun, dalam konteks hukum, penyerahan harta warisan ada dua tahap, yakni dari pewaris ke ahli waris. Dan dari ahli waris kepada pembeli.

      Transaksi Yang Dibebaskan

      Dari dua transaksi tersebut, transaksi yang bebaskan dari Pajak Penghasilan adalah transaksi dari pewaris kepada ahli waris.

      Jadi Surat Keterangan Bebas atau SKB diberikan untuk transaksi dari pewaris kepada ahli waris. Saat menerima tanah dari pewaris, si ahli waris tidak dikenakan Pajak.

      Namun, saat ahli waris jual kepada pembeli, ahli waris wajib tetap bayar Pajak.

      Jadi, bukan berarti 100% bebas pajak ya!

      Siapa Yang Bayar BPHTB?

      BPHTB adalah bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Saya sering menyebutkan pajak atas dokumen SHM.

      BPHTB dibayar oleh yang mengurus SHM (sertifikat hak milik) di Badan Pertanahan Nasional.

      Jadi yang bayar BPHTB adalah pembeli.

      Sedangkan yang bayar PPh adalah penjual. Namun, seringkali penjual “lari begitu saja”.

      SHM tidak akan diproses kecuali PPh dan BPHTB dilunasi!

      Jika penjual tanah “lari”, maka pembeli yang bayar PPh. Jika tidak dibayar, maka SHM tidak akan diproses.

      Panduan Lengkap Menghitung PPh Badan

      Dan Cara Mengisi SPT Tahunan PPh Badan, form 1771

      Wajib Pajak yang tidak memiliki latar belakang akuntansi akan kesulitan untuk menghitung PPh Badan. Darimana mulai belajarnya? Inilah panduan lengkap menghitung PPh Badan dan cara mengisi SPT Tahunan PPh Badan, form 1771.

      Pajak Penghasilan

      Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

      Pasal 1 Undang-Undang PPh

      Berdasarkan Pasal 1 tersebut, terdapat 3 hal dasar pengenaan PPh yang harus dipahami terlebih dahulu. Ini berlaku juga untuk PPh Badan. Ketiganya yaitu:

      1. Subjek Pajak
      2. Penghasilan
      3. Tahun Pajak

      Salah satu karakteristik pajak penghasilan adalah sebagai pajak subjektif. Sebelum menghitung objek pajak, harus dipastikan dulu status subjek pajak.

      Karena itu, pajak penghasilan mengatur subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri. Masing-masing memiliki perlakuan pajak penghasilan yang berbeda.

      Selanjutnya penghasilan. Setelah subjek pajak statusnya jelas, selanjutnya identifikasi objek pajak yang akan dikenakan. Objek pajak PPh jelas penghasilan.

      Secara umum, penghasilan yang dikenai pajak adalah penghasilan neto. Karena itu, jika subjek pajak mengalami kerugian, maka tidak ada pajak penghasilan.

      Terakhir, pajak penghasilan terutang pada akhir periode tahunan. Jika perusahaan menggunakan pembukuan sesuai dengan bulan kalender, maka akhir periode adalah 31 Desember.

      Keadaan sebenarnya pada tanggal 31 Desember menentukan pajak terutang. Bisa jadi belum genap 12 bulan sampai 31 Desember, tetapi tetap harus dihitung PPh Badan terutang.

      Contoh: perusahaan berdiri pada bulan September 2020. Pada 31 Desember baru berjalan 4 bulan. Maka PPh terutang tetap dihitung untuk penghasilan neto 4 bulan tersebut.

      Jika wajib pajak ingin mengambil periode pembukuan tidak sesuai kalender, misalnya periode April – Maret, maka wajib pajak harus memberitahukan kantor pajak.

      Subjek Pajak Badan

      Subjek pajak diatur di Pasal 2 Undang-Undang PPh. Khusus subjek pajak dalam negeri, diatur di Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh. Begini aturannya:

      Subjek pajak dalam negeri adalah :
      a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

      b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

      1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
        Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
      3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
        Daerah; dan
      4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

      c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

      Warisan yang belum terbagi adalah pengganti subjek pajak orang pribadi yang sudah meninggal. Orangnya sudah meninggal tetapi warisannya masih menghasilkan, ada objek pajak. Contoh warisan misalnya pabrik tekstil.

      Karena pajak penghasilan pajak subjektif, harus ada subjek pajaknya. Supaya dapat dikenai pajak penghasilan, maka si pabrik itu sendiri dijadikan subjek pajak. Pabrik tidak akan jadi subjek pajak lagi jika warisan tersebut sudah dibagi ke ahli waris.

      Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap

      Pasal 1 angka 3 Undang-Undang KUP

      Jika membaca definisi badan di Undang-Undang KUP, subjek pajak badan konkretnya selain orang pribadi.

      Badan Dalam Negeri

      Semua bentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan undang-undang Indonesia merupakan subjek pajak dalam negeri badan. Undang-undang PPh menyebutnya “badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia”.

      Instansi yang berwenang menetapkan badan hukum di Indonesia adalah Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, semua badan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Ham merupakan subjek pajak dalam negeri badan. Tidak peduli siapa pemilik badan hukum tersebut.

      Logisnya, sepanjang badan hukum tersebut legal, maka masuk dalam pengertian subjek pajak dalam negeri badan.

      Pengecualian badan sebagai subjek pajak hanya berlaku untuk lembaga pemerintah. Undang-undang PPh sudah memberikan batasan lembaga pemerintah, yaitu:

      1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
      3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
      4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

      Lembaga pemerintah yang bukan subjek pajak adalah lembaga pemerintah yang operasionalnya dibiayai dari APBN atau APBD. Dan atas penggunaan APBN atau APBD tersebut dilakukan audit oleh Inspektoran Jenderal atau Inspektorat Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

      Kenapa lembaga pemerintah dikecualikan dari subjek pajak? Karena pemerintah adalah pihak yang memungut pajak.

      Jika pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Pajak adalah aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.

      Beberapa paragrap di atas disalin dari Subjek Pajak Dalam Negeri Menurut PPh

      Bentuk Usaha Tetap

      Bentuk Usaha Tetap atau BUT merupakan kendaraan bagi subjek pajak luar negeri untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Maksud kendaraan subjek pajak luar negeri yaitu BUT sebagai sarana untuk mendapatkan active income.

      Lebih lanjut tentang BUT bisa dibaca di tulisan BUT : Subjek Pajak Luar Negeri Tapi Diperlakukan Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri

      Subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia terbagi 2 perlakuan perpajakan.

      1. BUT yang diperlakukan seperti subjek pajak Badan dalam negeri, dan
      2. Subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan tidak melalui BUT.

      Walaupun tidak tepat, untuk memudahkan memahami, anggap saja BUT adalah subjek pajak luar negeri yang memiliki usaha di Indonesia dan mendapatkan active income dari Indonesia.

      Sedangkan selain BUT (no 2 diatas) adalah subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tetapi subjek pajak tidak dapat di-BUT-kan. No 2 ini pengenaan pajaknya masuk di Pasal 26 Undang-Undang PPh.

      Karena itu penting memahami karakteristik BUT.

      Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia

      Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh

      Jadi, BUT menurut ketentuan domestik:

      1. subjek pajak luar negeri,
      2. orang pribadi atau badan, dan
      3. menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

      Perbedaan BUT dan Anak Perusahaan

      Berdasarkan pengalaman bertanya ke Wajib Pajak, banyak yang masih belum tahu perbedaan antara BUT dan anak perusahaan. Mereka bilang, kita cabang dari perusahaan XYZ di luar negeri. Padahal yang dimaksud anak perusahaan.

      Padahal terdapat banyak perbedaan perlakuan perpajakan antara BUT dan anak perusahaan. Terutama dari sisi perlakuan biaya BUT.

      Silakan cek tabel berikut:

      Perbedaan BUT dan anak perusahaan (WPDN Badan).

      Pemahaman saya, terdapat makna antar BUT menurut Undang-Undang PPh dan P3B. BUT di Undnag-Undang PPh bermakna subjek pajak. Sedangkan BUT di P3B bermakna hak pemajakan.

      Pengecualian Subjek Pajak

      Selain pemerintah, ada 3 golongan bukan subjek pajak, yaitu:

      1. kantor perwakilan negara asing;
      2. pejabat diplomatik; dan
      3. organisasi internasional.

      Ada dua syarat organisasi internasional statusnya bukan subjek pajak:

      1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
      2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

      Daftar organisasi internasional yang bukan subjek pajak ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 156/PMK.010/2015. Daftarnya ada di sini

      Objek Pajak

      Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun

      Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh

      Berdasarkan definisi penghasilan diatas, kita bisa mengetahui bahwa penghasilan memiliki 5 yaitu:

      1. Tambahan kemampuan ekonomis
      2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
      3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
      4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
      5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun

      Setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud “tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu. Tetapi dalam penghitungan penghasilan neto, UU PPh mengharuskan mencatat secara bruto, yaitu dengan mencatatkan semua biaya dan penghasilan. Contoh pelaporan capital gain atas penjualan aktiva, semua hasil penjualan laporkan dan biaya-biaya termasuk penyusutan dicatat sebagai pengurang.

      Tambahan Kemampuan Ekonomis

      Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis. 

      Realisasi juga dapat mengacu pada peristiwa hukum atau taxable event. Contoh, tanah dan rumah yang kita diami setiap tahun nilainya naik, minimal harga tanahnya yang naik. Tapi karena belum ada taxable event, maka tidak dikenai PPh setiap tahun. Tanah tersebut dikenakan PPh jika dijual atau dialihkan kepada orang lain.

      Tentang taxable event bisa dibaca di Taxable Event Sebagai Syarat Pengakuan Penghasilan

      Berasal Dari Indonesia Maupun Dari Luar Indonesia

      Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income. Saya kutip ulang bunyi sebagian Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh:

      Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun

      Penghasilan yang dikenakan PPh meliputi seluruh penghasilan yang didapat dari mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Semua penghasilan wajib hukumnya dilaporkan.

      Berbeda dengan subjek pajak luar negeri yang memiliki kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh.

      Undang-Undang Cipta Kerja memang sudah memberi pengecualian penghasilan dari luar negeri sebagai objek pajak. Tetapi pengecualian ini dengan syarat. Artinya, jika syarat tidak terpenuhi, maka penghasilan dari luar negeri tersebut tetap dikenai pajak penghasilan di Indonesia.

      Dapat Dipakai Untuk Konsumsi atau Menambah Kekayaan

      Unsur yang keempat ini merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak.

      Objek PPh sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi.

      Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

      Penghasilan yang dipakai membeli harta menjadi dasar pengenaan pengampunan pajak (tax amnesty) berdasarkan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Tax Amnesty tahun 2016 dan 2017 dikenakan terhadap harta yang masih dimiliki per 31 Desember 2015 dan tidak dilaporkan di SPT Tahunan. Dasar pemikirannya, atas harta yang belum dilaporkan tersebut atas penghasilannya (dianggap) belum bayar PPh.

      Begitu juga dengan Program Pengungkapan Sukarela, yang dikenai pajak penghasilan adalah harta yang ada pada tanggal 31 Desember 2020 tetapi belum dilaporkan. Yakni harta yang diperoleh dari tahun 2016 sampai dengan 2020.

      Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak adalah penghasilan

      Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang-Undang PPh

      Dengan Nama dan Dalam Bentuk Apapun

      Ini adalah penerapan prinsip the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.

      Dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya.

      Prinsip ini sangat penting untuk diingat terutama jika kita mau memahami jenis penghasilan. Seringkali nama yang dipergunakan tidak mencermintkan hakikat yang sebenarnya.

      Sengaja menggunakan istilan tertentu untuk mendapatkat insentif PPh. Jika kita tidak memahami substansi permasalahan, tentu akan terkecoh.

      Umum, Final, Dikecualikan Dari Objek

      Pasal 4 Undang-Undang PPh membagi penghasilan menjadi 3, yaitu:

      1. Penghasilan umum (Pasal 4 ayat 1),
      2. Penghasilan Final (Pasal 4 ayat 2), dan
      3. Dikecualiakan Dari Objek (Pasal 4 ayat 3).

      Penggolongan ini membedakan perlakukan perpajakan. Membedakan cara atau metode perhitungan.

      Penghasilan umum dikenai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh setelah dihitung penghasilan neto. Penghasilan bruto digunggung dari semua penghasilan. Digunggung maksudnya dijumlahkan semuanya. Setelah semua terkumpul baru dikurangi dengan biaya fiskal.

      PPh Final merupakan penyederhanaan cara atau metode penghitungan PPh. Penyederhanaan karena Wajib Pajak tidak perlu membuat laporang keuangan untuk menghitung PPh terutang. Walaupun Undang-Undang KUP mewajibkan pembukuan, data yang diperlukan cukup data penghasilan bruto saja.

      Berapapun nominal penghasilan brutonya, tinggal dikalikan dengan tarif tersebut.

      Sedangkan dikecualikan dari objek artinya tidak dikenai PPh. Berapapun jumlah penghasilannya, pajaknya tetap nihil.

      Penghasilan Umum

      Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur definisi penghasilan. Selain mengatur definisi, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh juga memberikan contoh-contoh penghasilan yang dikenai PPh umum.

      Berikut ini merupakan contoh. Walaupun demikian, penghasilan tidak terbatas pada yang disebutkan di Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh.

      1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk natura dan/atau kenikmatan kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
      2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
      3. laba usaha;
      4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
      5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
      6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
      7. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
      8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
      9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
      10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
      11. keuntungan karena pembebasan utang
      12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
      13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
      14. premi asuransi;
      15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
      16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
      17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
      18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
      19. surplus Bank Indonesia.

      Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

      Secara ringkas, jenis-jenis penghasilan yang dikenai PPh final sebagai berikut:

      1. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
      2. Bunga Obligasi;
      3. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN);
      4. Bunga Simpanan yg Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
      5. Hadiah Undian;
      6. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek;
      7. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau
      8. Pengalihan Penyertaan Modal pd Perusahaan Pasangan Usahanya;
      9. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
      10. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
      11. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
      12. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
      13. Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
      14. Penghasilan WP KKKS berupa Uplift atau Imbalan lain yang sejenis;
      15. Penghasilan WP KKKS dari Pengalihan Interest;
      16. Dividen yang diterima oleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri;
      17. Penghasilan Berupa Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap;
      18. Penjualan BBM dan BBG oleh produsen atau importir kepada penyalur/agen.
      19. Penghasilan istri yang semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21 dan pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

      Pembahasan lebih lanjut terkait jenis penghasilan yang dikenai PPh Final dapat dilihat di Penghasilan-Penghasilan Yang Dikenai PPh Final.

      Selain yang dikenai PPh Final, terdapat juga jenis perusahaan yang cara menghitung PPh Badan terutang menggunakan norma khusus.

      Berikut jenis perusahaan yang menggunakan Norma Penghitungan Khusus:

      1. Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
      2. Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Dalam Negeri
      3. Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
      4. Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah atau Build Operate And Transfer (BOT)

      Penghasilan Yang Dikecualikan Dari Objek PPh

      Berikut ini merupakan penghasilan tetapi Undang-undang PPh mengecualikan sebagai objek pajak, yaitu

      1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
      2. Warisan
      3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
      4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi: makanan, bahan makanan, bahan minuman, danf atau minuman bagi seluruh pegawai; natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu; natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan; natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
      5. Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;.
      6. Dividen atau penghasilan lain (rincian pasca UU HPP ada di bawah daftar ini).
      7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
      8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
      9. Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saharn-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
      10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia
      11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
      12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
      13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.
      14. dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan
      15. Sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi.

      Dividen dan penghasilan lain yang dikecualikan sebagai objek pajak, dibagi dua:

      • dividen yang diterima dari perseroan terbatas di Indonesia, dan
      • dividen dan penghasilan lain dari Luar Negeri

      Persyaratan dividen yang diterima dari PT yang dikecualikan :

      1. diterima oleh wajib pajak badan, tidak ada syarat. Langsung dikecualian.
      2. diterima oleh orang pribadi, syarat diinvestasikan selama 3 tahun.

      Persyaratan dividen dan penghasilan lain dari Luar Negeri yang dikecualikan:

      • dividen dari perusahaan privat, syarat : dibagikan dan diinvestasikan minimal 30% dari penghasilan bersih setelah pajak.
      • dividen dari perusahaan terbuka, syarat: diinvestasikan di Indonesia.
      • penghasilan dari BUT (cabang) di luar negeri, syarat dibagikan dan diinvestasikan minimal 30% dari penghasilan bersih setelah pajak.
      • penghasilan dari usaha aktif di luar negeri, syarat diinvestasikan di Indonesia.

      Pembahasan lebih lanjut terkait jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak dapat dilihat di artikel Penghasilan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan.

      Objek Pajak dan Kecualian Setelah Omnibus Law

      Ada beberapa objek pajak yang sebelumnya masuk penghasilan umum, setelah adanya Omnibus Law berubaha menjadi penghasilan yang dikecualikan. Intisarinya begini:

      1. Dividen dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak badan.
      2. Dividen dan penghasilan setelah pajak dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha lainnya di Indonesia.
      3. Penghasilan dari Luar Negeri selain BUT sepanjang diinvestasikan di Indonesia dikecualikan dari objek.
      4. Pengecualian objek PPh atas : bagian laba/SHU koperasi, dan dana haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji)

      Pembahasan lebih lengkap bisa dibaca di Omnibus Law Klaster Pajak

      Biaya Yang Boleh dan Yang Tidak Boleh

      Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto biasa disebut biaya fiskal, atau deductible expenses. Sedangkan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sering disebut non-deductible expenses.

      Biaya Yang Boleh Menjadi Pengurang

      Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur biaya pengurang penghasilan bruto. Tetapi beberapa jenis biaya diatur tersendiri seperti di Pasal 5 untuk BUT, di Pasal 11 dan 11A untuk penyusutan dan amortisasi.

      Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur kaidah umum bolehnya biaya dikurangkan dari penghasilan bruto:

      Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

      Lebih lanjut tentang biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan burot bisa dilihat di Biaya Yang Boleh Mengurangi Penghasilan Bruto Menurut Pajak Penghasilan.

      Contoh biaya-biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan bruto setelah Undang-Undang HPP sebagai berikut:

      1. biaya pembelian bahan;
      2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
      3. bunga, sewa, dan royalti;
      4. biaya perjalanan;
      5. biaya pengolahan limbah;
      6. premi asuransi;
      7. biaya promosi dan penjualan;
      8. biaya administrasi;
      9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
      10. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
      11. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
      12. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
      13. kerugian selisih kurs mata uang asing;
      14. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
      15. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
      16. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat;
      17. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
      18. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
      19. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
      20. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
      21. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
      22. biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.

      Biaya Yang Tidak Boleh Menjadi Pengurang

      Secara naluriah, pengusaha akan memperkecil pajak. Salah satu cara memperkecil pajak terutang adalah dengan memperbesar biaya supaya penghasilan neto kecil. Karena itu, Undang-undang PPh mengatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto walaupun biaya tersebut benar-benar ada. Tujuan pengaturan ini supaya laba bersih usaha wajar.

      Pasal 9 Undang-undang PPh mengatur pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya secara fiskal. Walaupun secara komersial (diantaranya) diperbolehkan.

      Lebih lanjut tentang biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto dapat dilihat di Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

      Berikut ini adalah pengaturan di Pasal 9 Undang-Undang PPh setelah Undang-Undang HPP:

      1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
      2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
      3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piurang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
      1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
      2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
      3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piurang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang memenuhi persyaratan tertentu;
      4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan
      5. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
      6. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang PPh.
      7. Pajak Penghasilan.
      8. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
      9. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
      10. sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

      Cara Menghitungan Penyusutan Fiskal

      Terdapat beberapa perbedaan aturan penghitungan penyusutan menurut akuntansi dan menurut Undang-Undang PPh (fiskal). Secara ringkas, perbedaan tersebut yaitu:

      • Masa manfaat menurut fiskal berdasarkan kelompok harta. Dan kelompok harta ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
      • Saat dimulai penyusutan adalah eksistensi harta di bulan tersebut. Atau penyusutan dimulai saat bulan pengeluaran. 1 hari = 1 bulan.
      • Fiskal tidak memperhitungkan nilai sisa harta. Harga perolehan dibagi habis selama masa manfaat, walaupun pada akhir masa manfaat masih bisa dijual (ada nilai sisa).

      Cara menghitung penyusutan fiskal lebih lanjut dapat dilihat di Cara Menghitung Penyusutan Fiskal

      Setelah Undang-Undang HPP, harta yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun dapat menggunakan metode penyusutan berdasarkan standar akuntansi atau menggunakan metode yang diatur di Pasal 11 dan Pasal 11A tetapi masa manfaat sesuai masa manfaat sebenarnya. Tidak lagi mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009

      Debt To Equity Ratio

      Pajak membatasi jumlah biaya pinjaman yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Ketentuan ini disebut debt to equity ratio (DER). Lebih lanjut tentang penghitungan DER dapat dilihat di Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut Pajak

      Walaupun demikian, terdapat 3 alasan kenapa biaya pinjaman (biaya bunga) dapat dikoreksi. Ketiganya bisa dilihat di gambar berikut:

      Koreksi biaya bunga

      Kredit Pajak Luar Negeri

      Pajak-pajak yang kita bayar di luar negeri dapat kita manfaatkan sebagai kredit pajak. Hal ini diatur di Pasal 24 Undnag-Undang PPh sehingga disebut PPh Pasal 24.

      Peraturan terbaru tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018.

      Pada prinsip Indonesia mengatur per country limitation.

      Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:

      1. jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
      2. jumlah PPh Luar Negeri yang benar-benar dibayar; dan
      3. jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut.

      Lebih lanjut tentang kredit pajak luar negeri dapat dilihat di Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri

      Cicilan Dimuka Pembayaran Pajak

      Seperti disampaikan diatas, bahwa pada dasarnya PPh Badan itu terutang pada akhir periode akuntansi. Dalam hal periode akuntansi menggunakan kalender, maka saat terutang PPh badan adalah 31 Desember.

      Namun demikian, setiap bulan kita diminta atau diwajibkan untuk membayar PPh yang belum terutang. Ini namanya PPh Pasal 25. PPh ini dihitung berdasarkan jumlah terutang PPh Badan SPT 1771 yang terakhir disampaikan.

      Lebih lanjut tentang cara menghitung PPH Pasal 25 dapat dilihat di Cara Menghitung PPh Pasal 25

      Dua Hukum Yang Sering Dilupakan

      SPT Tahunan PPH disebut form 1771. Dalam bentuk pdf, format SPT 1771 sebagai berikut:

      Dan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Badan dapat diunduh di sini:

      Semua penghasilan, baik penghasilan yang dikenakan tarif Pasal 17, maupun penghasilan yang dihitung menggunakan tarif final, dan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak wajib hukumnya dilaporkan di form 1771.

      Sedangkan biaya-biaya fiskal, walaupun menurut ketentuan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pajak-pajak yang sudah dibayar, baik yang dipotong oleh pihak lain maupun yang kita bayar sendiri, hukumnya dapat dilaporkan. Jadi ini pilihan dari sisi Wajib Pajak.

      Dalam hal terdapat bukti potong PPh Pasal 23 yang belum dilaporkan di SPT 1771, sepanjang penghasilan dari bukti potong tersebut sudah dilaporkan, maka itu tidak mengapa. Boleh.

      Sudah Lapor Tetapi Dianggap Tidak Lapor

      Pasal 3 ayat (7) Undang-undang KUP mengatur 4 hal yang menyebabkan SPT dianggap tidak disampaikan, yaitu :

      1. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;
      2. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen;
      3. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
      4. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

      Lebih lengkap tentang hal ini dapat dilihat di 4 Hal Yang Menyebabkan SPT Dianggap Tidak Disampaikan

      eForm PDF

      Teknologi pelaporan SPT melalui DJP Online setiap tahun selalu ditingkatkan. Tidak heran jika tiap tahun ada “cara baru” lapor SPT. Namun, ke depan format PDF yang dimodifikasi menjadi e-form akan menjadi trend. Seperti mulai tahun 2022, SPT Masa unifikasi juga menggunakan pdf.

      Tutorial mengisi SPT Tahunan PPh Badan 1771 dengan menggunakan eform dapat dilihat di sini:

      Konsultan Pajak

      Sekarang, setiap orang bisa belajar pajak. Namun bagi sebagian pebisnis, mungkin tidak memiliki kemewahan waktu untuk belajar pajak. Perlu solusi cepat bagaimana mana membuat SPT Tahunan.

      Saran terbaik tentu saja memanfaatkan jasa konsultan pajak untuk membuat SPT Tahunan. Bahkan bukan cuma SPT Tahunan, bisa juga SPT Masa.

      Bagi anda yang ingin fokus ke bisnis, dan menyerahkan urusan pajak ke profesional, silakan isi form berikut:

      Pertanyaan Yang Mungkin Anda Pertanyakan

      Apakah saya perlu melaporkan TP Doc?

      Wajib tidaknya melampirkan TP Doc di SPT Tahunan ditentukan berdasarkan  Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016. Pembahasannya dapat dilihat di Lampiran SPT Tahunan Badan terbaru : TP Doc dan DER

      Apakah jika menggunakan PPh UMKM dengan tari 0,5% tetap wajib lapor?

      Ya, tetap wajib lapor 1771 jika anda wajib pajak badan. Siapa saja yang dapat memanfaatkan PP23 dapat dilihat di Pertanyaan dan Jawaban Tentang PPh Setengah Persen

      Apakah biaya entertainment boleh dibiayakan?

      Biaya entertainment boleh dibiayakan dengan syarat dibuatkan Daftar Nominatif. Lebih lanjut bisa dibaca di Biaya Promosi Yang Boleh Dan Tidak Boleh Dibiayakan

      JIka terdapat kesalahan, apakah saya dapat menghapus SPT Tahunan?

      Semua SPT yang sudah disampaikan oleh Wajib Pajak tidak dapat dihapus di sistem database pajak. Tetapi, wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT. Tidak ada batasan berapa kali satu SPT dibetulkan. Boleh berkali-kali. Ada juga yang sampai lebih dari 4 kali pembetulan. Semua jenis SPT dapat dibetulkan berkali-kali. Lebih lanjut tentang pembetulan dapat dilihat di Pembetulan SPT

      Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Sekarang Bisa Direvisi

      Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan) yang dilampiri dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan. Sebenarnya, SPHP merupakan hasil pemeriksaan sementara. Hasil pemeriksaan final versi pemeriksa pajak adalah surat ketetapan pajak (skp), baik SKPKB, SKBLB, maupun SKP Nihil. Tetapi hasil sementara ini sejak 2016 bisa direvisi satu kali berdasarkan Surat Edaran nomor SE-06/PJ/2016.

      Continue reading “Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Sekarang Bisa Direvisi”