Begini Cara Menentukan Status Subjek Pajak

Kehadiran Fisik Itu Mutlak. Hitungan 183 hari bersifat akumulatif, dan setiap kehadiran fisik di Indonesia dihitung.

Direktur Jenderal Pajak telah menentukan petunjuk teknis cara menentukan status subjek pajak dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2025.

Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-25/PJ/2025 mengatur bagaimana menentukan subjek pajak dalam negeri, atau wajib pajak luar negeri.

Rumusannya utamanya sudah diatur di Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terakhir diubah dengan Undang-Undang HPP.

Pada prinsipnya, UU PPh dari dulu hingga sekarang sebenarnya menganut asas domisili. Siapapun, baik WNI maupun WNA yang berdomisili di Indonesia lebih dari 183 hari, maka menjadi subjek pajak dalam negeri.

Sebaliknya, jika kurang dari 183 hari di Indonesia maka dia berstatus Wajib Pajak luar negeri. Asas domisili ini kemudian dibuktikan dengan bukti-bukti yang menunjukkan secara substansi keberadaannya di suatu negara.

Adapan yang diatur di Pasal 6 ayat (1) huruf c PER-25/PJ/2025 itu berlaku untuk subjek pajak pengusaha bebas yang keberadaannya di berbagai negara.

Bisa jadi Wajib Pajak OP tertentu selalu keliling berbagai negara, baik untuk kepentingan bisnis maupun keperluan lainnya. Untuk kasus yang seperti ini, sulit menghitung 183 hari atau lebih di negara tertentu.

Karena itu dilakukan pengujian tie breaker rules secara berjenjang. Jika memenuhi syarat diatasnya, maka cukup. Tapi jika belum memenuhi, maka lanjut ke pengujian berikutnya. Karena itu di Pasal 6 ayat (1) huruf c menggunakan kata hubung “data/atau”.

Tujuan tie breaker rules sebenarnya untuk memberikan kepastian, di negara mana orang pribadi tersebut dianggap Wajib Pajak Dalam Negeri.

Pengujian ini efektif untuk negara-negara yang menganut asas domisili seperti Indonesia. Namun jika negara menganut citizenship maka tidak efektif. Contoh USA menganut prinsip citizenship. Sehingga Warga Negara Amerika Serikat akan tetap dikenai pajak oleh USA di mana pun tempat tinggalnya. Ada kemungkinan menjadi double WPDN.

Contoh jika tinggal di Infonesia, maka warga negara Amerika Serikat akan dianggap Wajib Pajak dalam negeri baik oleh IRS maupun DJP.

Kriteria Pembedaโœ… Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)โŒ Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)
Orang Pribadi: WaktuBerada di Indonesia > 183 hari (dalam 12 bulan)Berada di Indonesia โ‰ค 183 hari (dalam 12 bulan)
Orang Pribadi: TempatBertempat tinggal atau punya niat tinggal di IndonesiaTidak bertempat tinggal di Indonesia
Badan: LegalitasDidirikan atau bertempat kedudukan di IndonesiaTidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia
Kewajiban PajakAtas penghasilan dari Indonesia dan luar Indonesia (prinsip world-wide income)Atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja

Studi Kasus Sederhana

Mari kita lihat dua contoh sederhana untuk membuat konsep ini menjadi lebih nyata.

Kasus 1: Perhitungan 183 Hari (Seperti Tuan A)

Studi Kasus: Kapan Seorang WNA Menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri?

  • Skenario: Tuan A, seorang WNA, mengunjungi Indonesia untuk keperluan bisnis. Kunjungan pertamanya berlangsung selama 150 hari. Beberapa bulan kemudian dalam periode 12 bulan yang sama, ia kembali lagi selama 34 hari.
  • Analisis: Total waktu Tuan A berada di Indonesia adalah 150 hari + 34 hari = 184 hari.
  • Kesimpulan: Tuan A Subjek Pajak Dalam Negeri.

Kasus 2: WNI yang Bekerja di Luar Negeri (Seperti Tuan D)

Studi Kasus: Apakah WNI yang Bekerja di Luar Negeri Otomatis Menjadi SPLN?

  • Skenario: Tuan D adalah seorang WNI yang bekerja dan menyewa apartemen di negara X. Namun, ia masih memiliki rumah pribadi, keluarga (anak dan orang tua), serta bisnis rental mobil di Indonesia. Dalam setahun, ia menghabiskan 337 hari di negara X dan hanya 28 hari di Indonesia.
  • Analisis: Kasus ini menunjukkan pentingnya analisis berjenjang (tiered test) yang diatur dalam peraturan.
    1. Kriteria Tempat Tinggal: Tuan D memiliki tempat tinggal permanen di Indonesia (rumah pribadi) dan di negara X (apartemen sewa). Karena kriteria ini terpenuhi di kedua negara, kita belum bisa menentukan statusnya dan harus melanjutkan ke jenjang berikutnya.
    2. Kriteria Pusat Kegiatan Utama: Tuan D juga memiliki pusat kegiatan utama di kedua negara (keluarga dan bisnis di Indonesia, pekerjaan utama di negara X). Kriteria ini juga tidak bisa menjadi penentu tunggal.
    3. Kriteria Kebiasaan/Kegiatan Sehari-hari: Karena dua kriteria sebelumnya tidak memberikan jawaban pasti, penentuan akhir didasarkan pada di mana ia lebih banyak menjalankan kebiasaannya. Data menunjukkan Tuan D menghabiskan 337 hari di negara X, jauh lebih lama dari 28 hari di Indonesia.
  • Kesimpulan: Tuan D Wajib Pajak Luar Negeri

Aturan Kunci: Hitungan 183 Hari

Aturan paling mendasar untuk menentukan status pajak orang pribadi adalah dengan menghitung lama kehadirannya di Indonesia. Mari kita lihat kasus Tuan A, seorang pengusaha Warga Negara Asing (WNA) yang beberapa kali mengunjungi Indonesia untuk ekspansi bisnis.

Berikut adalah rekapitulasi jadwal perjalanan Tuan A:

Periode KunjunganDurasi di IndonesiaKeterangan
1 Februari 2023 โ€“ 30 Juni 2023150 hariTiba di Jakarta untuk mempelajari pasar dan persiapan pembukaan gerai.
29 Desember 2023 โ€“ 31 Januari 202434 hariKembali ke Indonesia untuk meninjau beberapa lokasi gerai baru.
Total184 hariTotal kehadiran dalam jangka waktu 12 bulan.

Dari tabel di atas, total kehadiran Tuan A di Indonesia adalah 184 hari (150 hari + 34 hari) dalam rentang waktu kurang dari 12 bulan. Karena jumlah ini melebihi batas 183 hari, Tuan A memenuhi kriteria sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).

Wawasan Kunci: Aturan 183 hari dihitung secara kumulatif dalam periode 12 bulan, tidak harus berurutan secara terus-menerus.

Setiap Hari Dihitung: Konsep “Hadir” vs. “Berada”

Peraturan menegaskan bahwa setiap kehadiran fisik di wilayah Indonesia, sekecil apa pun, akan dihitung. Aturan ini berlaku baik untuk kunjungan sangat singkat (“hadir”) maupun penugasan jangka panjang (“berada”).

Skenario 1: Kunjungan Singkat (Contoh “Hadir”)

Tuan B adalah seorang konsultan internasional yang beberapa kali datang ke Indonesia untuk keperluan berbeda.

  • Kunjungan Pertama: Memberikan pelatihan di Jakarta selama 5 hari.
  • Kunjungan Kedua: Menghadiri konferensi bisnis selama 10 hari.
  • Kunjungan Ketiga: Transit di bandara Indonesia selama 6 jam sebelum melanjutkan penerbangan ke negara lain.

Meskipun kunjungan ketiga hanya berupa transit singkat, aturan menyatakan bahwa “bagian dari hari dihitung penuh sebagai 1 (satu) hari”. Dengan demikian, total kehadiran Tuan B dihitung sebagai 16 hari (5 hari + 10 hari + 1 hari).

Skenario 2: Penugasan Jangka Panjang (Contoh “Berada”)

Tuan M adalah warga negara S yang ditugaskan sebagai pimpinan di kantor cabang Jakarta selama satu tahun. Ia memiliki kontrak kerja selama 12 bulan, menyewa apartemen di Jakarta, dan membawa sebagian barang pribadinya, yang semuanya menunjukkan niat untuk tinggal. Selama penugasannya, ia bekerja di beberapa lokasi: penugasan di Pulau Sumatera selama 40 hari dan di Pulau Kalimantan selama 150 hari. Total kehadiran fisiknya di Indonesia adalah 190 hari. Jumlah ini membuatnya memenuhi syarat sebagai SPDN. Penting untuk dicatat bahwa meskipun Tuan M bekerja dari luar negeri selama 20 hari, periode tersebut tidak mengurangi total hari kehadiran fisiknya di Indonesia. Aturan ini menekankan bahwa yang dihitung adalah keberadaan fisik di wilayah Indonesia, bukan di mana pekerjaan untuk perusahaan Indonesia dilakukan.

Wawasan Kunci: Yang menjadi dasar perhitungan adalah kehadiran fisik di wilayah Indonesia, baik untuk tujuan transit, kunjungan singkat untuk konferensi, maupun penugasan kerja yang berpindah-pindah lokasi.

Penentuan status menjadi lebih rumit ketika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) justru lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Kasus seperti ini memerlukan analisis yang lebih mendalam.

Studi Kasus WNI di Luar Negeri: Menimbang Keterikatan Seseorang

Bagian ini membahas kasus yang lebih kompleks, yaitu bagaimana menentukan status pajak Warga Negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri.

Tarik-Menarik Antara Dua Negara (Studi Kasus Tuan D)

Tuan D adalah seorang WNI yang bekerja di Negara X. Ia menghadapi dilema karena memiliki ikatan yang kuat di kedua negara: keluarga dan bisnis di Indonesia, tetapi pekerjaan dan istri di Negara X. Untuk menentukan status pajaknya, otoritas akan melakukan analisis “pemenuhan persyaratan secara berjenjang”.

Berikut perbandingan keterikatan Tuan D:

Kategori KeterikatanDi IndonesiaDi Negara X
Tempat TinggalMemiliki rumah pribadi yang dikuasai.Menyewa apartemen bersama istri.
Pusat Kegiatan UtamaKeluarga (anak & orang tua) dan bisnis rental mobil.Pekerjaan utama dan tempat tinggal istri.
Kebiasaan/Kegiatan Sehari-hariMenghabiskan waktu 28 hari dalam setahun.Menghabiskan waktu 337 hari dalam setahun.

Logika Penentuan Status:

  1. Tahap 1: Analisis Tempat Tinggal: Tuan D memiliki tempat tinggal permanen di kedua negara, sehingga kriteria ini tidak bisa menjadi penentu tunggal.
  2. Tahap 2: Analisis Pusat Kegiatan Utama: Ia juga memiliki pusat kegiatan utama (pribadi, sosial, ekonomi) di kedua negara. Kriteria ini juga seimbang.
  3. Tahap 3: Analisis Kebiasaan Sehari-hari: Karena dua kriteria sebelumnya seimbang, penentu utamanya adalah di mana ia lebih banyak menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-harinya.

Wawasan Kunci: Tuan D ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) karena, setelah melalui analisis berjenjang, ia terbukti lebih banyak menghabiskan waktu dan menjalankan kebiasaannya di Negara X (337 hari vs 28 hari).

Sama seperti individu, perusahaan juga memiliki “tempat tinggal” pajaknya sendiri, yang tidak selalu sama dengan alamat kantor pusatnya.

Di Mana Pusat Kendali Sebenarnya?

Bagian ini menjelaskan bagaimana status pajak suatu badan usaha ditentukan, bukan hanya dari tempat didirikan, tetapi dari lokasi pengambilan keputusan strategisnya.

Lokasi Rapat Menentukan Status (Studi Kasus A Co.)

A Co. adalah perusahaan pengembang aplikasi yang secara hukum didirikan di Negara A. Namun, para pendiri yang juga menjabat sebagai direktur sering mengadakan rapat dewan direksi di Indonesia. Pada tahun 2022, separuh dari total rapat direksi (6 dari 12) diadakan di Indonesia.

Selama rapat-rapat di Indonesia tersebut, A Co. membuat 3 keputusan strategis yang sangat penting:

  1. Pengalihan Saham ke Investor Baru: Negosiasi dan keputusan akhir untuk menjual sebagian saham kepada investor baru dilakukan di Indonesia.
  2. Pengalihan Aset Strategis: Persetujuan untuk mengalihkan hak atas algoritma inti PQRapp, yang merupakan aset paling vital perusahaan, diputuskan dalam rapat di Indonesia.
  3. Penunjukan Pejabat Kunci: Chief Operating Officer (COO) baru untuk wilayah Asia ditunjuk secara langsung dalam pertemuan di Indonesia.

Meskipun A Co. secara legal didirikan di Negara A, fakta bahwa separuh dari rapat direksi dan beberapa keputusan paling krusialnya dibuat di Indonesia pada tahun 2022 menyebabkan “pusat manajemen dan pengendalian”-nya dianggap berada di Indonesia. Oleh karena itu, A Co. menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) pada tahun tersebut.

Wawasan Kunci: Prinsip

substance over form berlaku di sini. Status pajak sebuah badan tidak ditentukan oleh alamat registrasi legalnya (form), melainkan di mana kendali dan keputusan strategis sesungguhnya dijalankan (substance). Dalam kasus A Co., pusat kendalinya secara substantif berada di Indonesia.

Selain penentuan status berdasarkan kondisi faktual, ada juga persyaratan administratif yang penting untuk dipenuhi, seperti membuktikan status domisili pajak di negara lain.

Batas Waktu Surat Keterangan Domisili (SKD)

Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas pajak negara lain untuk membuktikan bahwa seseorang adalah subjek pajak di negara tersebut. Bagi WNI yang ingin diakui sebagai SPLN, pengajuan permohonan ke Direktorat Jenderal Pajak harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu setelah SKD berakhir.

Berikut adalah tiga skenario terkait batas waktu pengajuan:

  • Kasus Tuan E
    • Situasi: SKD dari Negara Z memiliki masa berlaku yang jelas, yaitu 1 Januari 2024 s.d. 31 Desember 2024.
    • Tanggal Kunci: 31 Desember 2024 (tanggal berakhirnya SKD).
    • Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelah Tanggal Kunci, yaitu pada 30 Juni 2025.
  • Kasus Tuan F
    • Situasi: SKD dari Negara R memiliki masa berlaku 1 Januari 2024 s.d. 14 April 2024.
    • Tanggal Kunci: 14 April 2024.
    • Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelahnya, yaitu pada 14 Oktober 2024.
  • Kasus Tuan G
    • Situasi: SKD dari Negara M diterbitkan pada 15 September 2024, namun tidak mencantumkan masa berlaku.
    • Tanggal Kunci: 15 September 2024 (tanggal penerbitan dianggap sebagai tanggal berlaku).
    • Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelahnya, yaitu pada 15 Maret 2025.

Sangat penting untuk memperhatikan masa berlaku (atau tanggal penerbitan) SKD untuk memastikan permohonan penetapan status sebagai SPLN dapat diajukan tepat waktu sesuai aturan 6 bulan.

Sumber:

Dari Upeti Kerajaan hingga Pasca Kemerdekaan

Sejarah Pajak di Indonesia Berdasarkan Analisis Historis

1.0 Pendahuluan: Pajak sebagai Benang Merah Sejarah Politik dan Ekonomi Nusantara

Pajak, dalam berbagai bentuknya, merupakan instrumen fundamental yang menopang keberlangsungan negara sepanjang sejarah.

Dari upeti sederhana yang dipersembahkan kepada raja hingga sistem administrasi modern yang kompleks, mekanisme penghimpunan dana dari rakyat telah menjadi benang merah yang menghubungkan episode-episode perubahan politik, ekonomi, dan sosial.

Laporan ini akan menelusuri evolusi sistem dan praktik perpajakan di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, memetakan transformasinya dari model pungutan kerajaan klasik hingga sistem administrasi yang diperkenalkan pada masa kolonial dan diadaptasi pada era awal kemerdekaan.

Argumen utama laporan ini adalah bahwa perubahan dalam struktur perpajakan secara konsisten mencerminkan pergeseran kekuasaan politik, model ekonomi yang dianut, dan struktur sosial masyarakat di Nusantara.

Sebagaimana negara tidak dapat dibicarakan tanpa membahas usahanya menghimpun dana, begitu pula sejarah Nusantara tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa menilik bagaimana para penguasaโ€”dari datu, sultan, gubernur jenderal, hingga presidenโ€”membiayai pemerintahan mereka.

Perubahan dari upeti berupa hasil bumi menjadi pajak dalam bentuk uang, dari pungutan feodal menjadi sistem sewa tanah, dan dari eksploitasi kolonial menjadi iuran untuk pembangunan nasional, semuanya adalah cerminan dari dinamika kekuasaan yang lebih besar.

Laporan ini akan mengkaji periode-periode krusial dalam sejarah perpajakan Indonesia.

Pembahasan akan dimulai dari fondasi sistem pungutan pada masa kerajaan Hindu-Buddha, yang terbagi antara model maritim Sriwijaya dan model agraris Mataram Kuno.

Selanjutnya, analisis akan berlanjut ke era kesultanan Islam, di mana adaptasi dan inovasi sistem pajak menopang kejayaan pusat-pusat perdagangan pesisir dan kekuatan agraris Mataram Islam.

Laporan ini kemudian akan mengupas bagaimana era kolonialisme secara fundamental mengubah tujuan pajak menjadi alat eksploitasi, mulai dari praktik monopoli VOC, reformasi administratif Daendels dan Raffles, eksploitasi sistematis melalui Tanam Paksa, hingga pengenalan pajak modern di era liberal.

Pembahasan juga akan mencakup periode singkat pendudukan Jepang yang berorientasi pada ekonomi perang, sebelum akhirnya ditutup dengan analisis tantangan pembangunan sistem perpajakan nasional di era awal kemerdekaan.

Dengan menelusuri jejak panjang ini, kita akan memulai perjalanan untuk memahami bagaimana sistem pungutan yang paling awal pada masa kerajaan-kerajaan maritim dan agraris di Nusantara meletakkan dasar bagi evolusi perpajakan yang kompleks di kemudian hari.

2.0 Fondasi Perpajakan di Era Kerajaan Hindu-Buddha

Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha awal seperti Sriwijaya dan Mataram Kuno merupakan peletak dasar sistem pungutan di Nusantara, meskipun dengan model yang sangat berbeda.

Perbedaan fundamental ini lahir dari orientasi ekonomi masing-masing kerajaan.

Di satu sisi, kerajaan maritim seperti Sriwijaya membangun kekayaannya dari kontrol atas jalur-jalur niaga dan memungut pajak dari aktivitas perdagangan internasional.

Di sisi lain, kerajaan agraris seperti Mataram Kuno mendasarkan pendapatannya pada penguasaan tanah yang subur dan tenaga kerja rakyatnya, dengan pungutan utama berupa hasil bumi.

2.1 Model Maritim: Pajak Perdagangan di Kedatuan Sriwijaya

Sebagai penguasa jalur perdagangan maritim utama pada masanya, sumber pendapatan utama Kedatuan Sriwijaya berpusat pada kemampuannya menarik keuntungan dari lalu lintas kapal asing.

Raja memiliki hak pungutan yang dikenal sebagai drawya, yang menjadi dasar legalitas penarikan berbagai jenis pajak dan upeti.

Pemasukan utama Sriwijaya berasal dari serangkaian pungutan maritim yang komprehensif, termasuk bea masuk atas barang dagangan, bea kapal berlabuh, upeti wajib dari para pedagang dan raja-raja taklukan, serta keuntungan langsung dari aktivitas niaga yang dilakukan oleh kerajaan itu sendiri.

Kebijakan pajak ini merupakan alat strategis yang vital. Pada masa kejayaannya, keamanan yang dijamin oleh armada laut Sriwijaya membuat para pedagang bersedia membayar pajak demi kelancaran aktivitas niaga mereka.

Namun, kebijakan fiskal ini mengandung kerentanan strategis. Ketergantungan pada bea yang tinggi akhirnya memicu konflik dengan kekuatan eksternal.

Penetapan bea yang terlalu tinggi terhadap para saudagar, seperti yang dialami oleh saudagar Tamil, memicu ketidakpuasan dan perlawanan.

Akibatnya, Kerajaan Cola dari India Selatan, yang bertindak sebagai pelindung para saudagar tersebut, melancarkan serangan besar pada tahun 1025 M.

Serangan ini secara signifikan melemahkan monopoli perdagangan Sriwijaya di Selat Malaka dan menjadi salah satu faktor utama kemundurannya.

2.2 Model Agraris: Pajak Tanah dan Tenaga di Mataram Kuno dan Kahuripan

Berbeda dengan Sriwijaya, kerajaan agraris seperti Mataram Kuno dan Kahuripan mendasarkan pendapatannya pada kontrol atas sumber daya agraria: tanah dan tenaga kerja.

Pajak tidak hanya dipungut dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk kerja sukarela sebagai pelayan istana, atau yang dikenal sebagai katik.

Informasi dari berbagai prasasti menunjukkan bagaimana hasil pajak digunakan untuk membiayai proyek-proyek publik yang krusial, seperti pembangunan dan pemeliharaan bendungan (contoh: Waringin Sapta), pendirian bangunan suci, serta penyelenggaraan berbagai kegiatan keagamaan.

Berbagai jenis pajak yang berlaku pada era Mataram Kuno dan Kahuripan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  • Pajak Tanah dan Hasil Bumi:
    • Pangguhan: Pajak atas hasil sawah yang menjadi pungutan utama.
    • Pembayaran pajak dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari emas, perak, hingga penyerahan tenaga kerja (katik).
  • Pajak Usaha dan Profesi:
    • Pajak dikenakan pada berbagai profesi dan kegiatan usaha, contohnya termasuk pajak untuk aringgit (seniman), matapukan (penari topeng), dan vaniyaga (pedagang)โ€”menunjukkan bahwa, baik di kerajaan maritim maupun agraris, para pedagang secara konsisten menjadi subjek pajak yang penting, menandakan peran sentral perdagangan dalam ekonomi Nusantara bahkan di kerajaan yang bertumpu pada hasil bumi.
  • Pajak Lainnya:
    • Kiteran: Pajak yang dikenakan khusus untuk orang asing yang menetap di wilayah kerajaan.
    • Pajak Sumber Daya Kelautan: Pungutan yang dikenakan pada aktivitas eksplorasi hasil laut, yang sekaligus berfungsi untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan menjaga keseimbangan lingkungan.

Struktur birokrasi pemungutan pajak pada masa ini sudah cukup terorganisir. Terdapat kelompok pejabat khusus pemungut pajak yang disebut sang manilala drawya haji.

Mekanisme penyetorannya bersifat hierarkis; pungutan dari tingkat desa dikumpulkan oleh para rama (kepala desa) dan diserahkan kepada pejabat di tingkat yang lebih tinggi (watek), sebelum akhirnya sampai ke kas kerajaan.

Salah satu inovasi kebijakan yang penting pada era ini adalah konsep sima, yaitu penetapan suatu wilayah menjadi daerah bebas pajak.

Anugerah sima diberikan oleh raja sebagai imbalan atas jasa atau untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Raja Airlangga, Desa Kamalagyan dijadikan sima dengan tugas bagi warganya untuk menjaga dan memelihara Bendungan Waringin Sapta.

Meskipun bebas dari kewajiban pajak ke kerajaan, masyarakat di wilayah sima justru mengelola pendapatannya untuk membiayai pemeliharaan bangunan suci atau infrastruktur yang menjadi alasan penetapannya.

Model-model perpajakan agraris dan maritim yang diletakkan pada era Hindu-Buddha ini tidak hilang, melainkan terus diadaptasi dan dikembangkan lebih lanjut seiring dengan munculnya kekuatan politik baru pada masa kesultanan Islam.

3.0 Adaptasi dan Inovasi pada Masa Kesultanan Islam

Periode kesultanan Islam menandai sebuah era dinamis di mana sistem perpajakan dari masa Hindu-Buddha diadaptasi dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara bercorak maritim dan agraris yang baru.

Di kesultanan-kesultanan pesisir yang menjadi pusat perdagangan global, peran syahbandar sebagai kepala pelabuhan dan pemungut bea cukai menjadi sangat krusial, sementara di pedalaman, sistem pajak agraris semakin diformalkan dan terstruktur.

3.1 Pajak di Pusat Perdagangan Pesisir

Kebijakan bea cukai dan pajak pelabuhan di kesultanan-kesultanan maritim menjadi instrumen vital untuk mengelola perdagangan dan mengisi kas negara. Setiap kesultanan mengembangkan kebijakannya sendiri untuk menarik pedagang atau mengontrol arus komoditas.

KesultananPejabat KunciJenis Pajak UtamaCatatan Kebijakan Khusus
Samudera PasaiSyahbandarPajak impor 6% untuk kapal dari barat, pajak ekspor.Sudah menggunakan mata uang emas (drama) dalam transaksi dan pembayaran pajak.
AcehSyahbandar, Hariya (pengurus pasar)Bea cukai impor-ekspor, pajak lada (wase lada), pajak pasar.Tarif pajak lebih murah untuk menarik pedagang pasca-jatuhnya Malaka. Ada perbedaan tarif antara pedagang Muslim dan non-Muslim.
BantenSyahbandar (seringkali dari etnis Tionghoa)Pajak ekspor lada, bea berlabuh, pajak pasar.Syahbandar bertugas menaksir nilai barang dan menentukan jumlah pajak. Pajak dinaikkan secara strategis untuk mengusir VOC.
Gowa-TalloSabannara (Syahbandar), Jannang Pasukan Pasara (pejabat pajak pasar)Bea cukai, pajak pasar, susung romang (hak raja atas hasil hutan 5-10%).Menerapkan prinsip perdagangan bebas untuk semua bangsa. Raja tidak mencampuri kewenangan syahbandar dalam penarikan pajak.

Kebijakan-kebijakan ini berfungsi sebagai instrumen geopolitik ekonomi yang tajam.

Di Aceh, tarif pajak yang awalnya lebih murah berhasil menarik para pedagang Muslim yang menghindari Portugis di Malaka, sehingga mempercepat kebangkitan Aceh sebagai pusat perdagangan baru.

Sebaliknya, di Banten, kenaikan pajak dan bea cukai yang drastis di bawah Pangeran Ranamenggala merupakan langkah politik yang disengaja untuk mendorong VOC hengkang dari pelabuhannya dan pindah ke Jayakarta.

3.2 Pajak Agraris dan Birokrasi di Mataram Islam

Kesultanan Mataram Islam, sebagai kekuatan agraris dominan di Jawa, melanjutkan dan memformalkan sistem pajak berbasis tanah dari era sebelumnya.

Pada periode inilah istilah pajeg mulai digunakan secara luas, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia modern menjadi “pajak”.

Struktur administrasi Mataram sangat hierarkis, dengan pembagian wilayah menjadi kutharaja (pusat keraton), negaragung, mancanegara, dan pesisir.

Para pejabat keraton diberi imbalan berupa tanah lungguh (apanage), di mana mereka berhak memungut pajak dari petani yang menggarapnya.

Di tingkat desa, pemungutan dilakukan oleh seorang bekel. Sistem ini rawan eksploitasi karena bekel tidak hanya menarik pajak, tetapi juga mengerahkan kerja bakti (kerigaji) untuk kepentingan pejabat pemegang lungguh.

Kompleksitas sistem ini tercermin dari puluhan jenis pajak yang ada, seperti pajak bumi (pajeg), pajak pintu rumah (pacumpleng atau pajeg omah), kerja wajib (kerigaji), dan upeti (bulu bekti).

Sebagai contoh evolusi administrasi pajak, studi kasus Praja Mangkunegaran pada abad ke-19 dan awal ke-20 menunjukkan adanya upaya modernisasi yang signifikan.

Di bawah Mangkunegara VI dan VII, reformasi kunci dilakukan, antara lain:

  • Pemisahan Kas Praja: Keuangan pribadi raja dipisahkan dari anggaran negara untuk mencegah pemborosan.
  • Penghapusan Sistem Apanage: Sistem lungguh dihapus dan pegawai kerajaan digaji dengan uang, memungkinkan kontrol pajak yang lebih terpusat.
  • Pembentukan Dinas Perpajakan Modern: Sebuah dinas perpajakan yang lebih terstruktur dibentuk untuk mengelola berbagai jenis pajak modern, seperti pajak penghasilan, pajak tanah dalam kota, pajak kendaraan, pajak tontonan, dan pajak lainnya.

Modernisasi di Mangkunegaran ini menjadi jembatan antara sistem feodal tradisional dan administrasi modern.

Namun, sistem-sistem yang telah mapan di seluruh Nusantara ini kemudian harus berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan administrasi baru yang dibawa oleh bangsa Eropa, yang memiliki tujuan dan metode yang sama sekali berbeda.

4.0 Era Kolonialisme: Pajak sebagai Alat Eksploitasi dan Kontrol

Kedatangan bangsa Eropa secara fundamental mengubah tujuan dan metode perpajakan di Nusantara.

Pajak tidak lagi berfungsi utama untuk membiayai kerajaan lokal dan menyejahterakan rakyatnya, tetapi bertransformasi menjadi instrumen eksploitasi ekonomi yang sistematis untuk kepentingan negara induk dan korporasi dagang.

Tujuan utamanya adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan, dengan rakyat pribumi sebagai objek pemajakan yang menanggung beban terberat.

4.1 Monopoli Perdagangan dan Pungutan Awal: Portugis dan VOC

Portugis, saat menguasai Malaka, menerapkan sistem bea cukai yang tinggi. Namun, kebijakan pajak yang tidak menguntungkan bagi para pedagang Asia, ditambah dengan praktik korupsi yang merajalela di kalangan pejabatnya, menjadi salah satu faktor yang melemahkan cengkeraman mereka dan mendorong para pedagang untuk beralih ke pelabuhan-pelabuhan lain seperti Aceh.

Pendekatan VOC pada awalnya lebih berfokus pada monopoli perdagangan komoditas bernilai tinggi seperti rempah-rempah.

Namun, seiring meluasnya kekuasaan teritorial mereka, VOC beralih ke sistem pungutan wajib yang lebih sistematis, yaitu:

  • Contingenten: Pajak wajib berupa penyerahan sebagian hasil bumi (seperti beras atau kopi) yang harus disetorkan oleh penguasa-penguasa lokal yang berada di bawah pengaruh VOC.
  • Leverantie: Kewajiban penyerahan paksa hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC, yang seringkali jauh di bawah harga pasar.

Untuk memungut pajak-pajak ini, VOC secara efektif memanfaatkan struktur kekuasaan lokal yang sudah ada.

Para bupati dan penguasa pribumi lainnya dijadikan sebagai agen pemungut pajak, di mana mereka diwajibkan menyetor sejumlah tertentu kepada VOC, seringkali dengan imbalan pengakuan atas kekuasaan mereka.

Di Batavia, pusat kekuasaan VOC, sistem pajak menargetkan kelompok etnis tertentu secara spesifik.

Komunitas Tionghoa menjadi target utama dengan berbagai jenis pajak seperti pajak kepala, pajak usaha, pajak rumah judi, hingga pajak kuncir.

Ketergantungan VOC pada pajak dari komunitas ini terbukti fatal ketika Tragedi Angke 1740, sebuah pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa, menyebabkan anjloknya pendapatan pajak VOC secara drastis.

4.2 Reformasi Administratif dan Eksploitasi Sistematis: Daendels, Raffles, dan Tanam Paksa

Di bawah pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811), fondasi negara modern mulai diletakkan dengan sentralisasi administrasi keuangan.

Kebijakan utamanya adalah pengenalan konsep landrente (pajak tanah), di mana pajak tidak lagi diserahkan dalam bentuk hasil bumi, melainkan harus dibayar dengan uang.

Untuk mengisi kas negara yang kosong, Daendels juga menjual tanah-tanah negara secara luas kepada pihak swasta, yang dikenal sebagai particuliere landen.

Thomas Stamford Raffles (1811-1816) melanjutkan dan mereformasi sistem landrent. Tujuan idealnya adalah menghapus unsur paksaan feodal, memberikan kepastian hukum kepada petani dengan menjadikan mereka penyewa tanah langsung dari pemerintah, dan mengubah peran bupati dari pemungut upeti menjadi pegawai pemerintah yang digaji.

Namun, implementasi landrent di bawah Raffles mengalami kegagalan besar. Kendala utamanya adalah kurangnya data yang akurat mengenai kepemilikan dan kesuburan tanah, ketergesa-gesaan dalam penerapan, serta ketidaksiapan aparat pemerintah dan masyarakat yang belum terbiasa dengan ekonomi uang.

Kegagalan fiskal dari sistem landrent Raffles menciptakan krisis pendapatan bagi pemerintah kolonial, yang mendorong Johannes van den Bosch untuk merancang solusi eksploitatif yang lebih radikal: Cultuurstelsel (Tanam Paksa), yang diperkenalkan pada tahun 1830.

Sistem ini secara efektif mengubah kewajiban pembayaran pajak tanah menjadi kerja paksa. Petani diwajibkan menggunakan sebagian tanahnya (seringkali yang paling subur) untuk menanam komoditas ekspor yang laku di pasar Eropa (seperti kopi, tebu, dan nila) dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial.

Sistem ini berhasil menghasilkan keuntungan luar biasa bagi Kerajaan Belanda, namun menyebabkan penderitaan hebat, kelaparan, dan kemiskinan yang meluas di kalangan rakyat Jawa.

4.3 Era Liberal dan Pajak Modern

Penghapusan Tanam Paksa secara bertahap setelah tahun 1870 memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi liberal.

Era ini ditandai dengan pengenalan berbagai jenis pajak modern yang menyasar individu dan kegiatan ekonomi.

  • Pajak Kepala: Diperkenalkan sebagai pengganti kerja wajib (heerendiensten) yang dihapuskan. Setiap kepala keluarga pribumi diwajibkan membayar sejumlah uang tunai setiap tahun.
  • Pajak Personal: Menyasar properti dan barang-barang mewah yang dimiliki oleh orang Eropa dan golongan Timur Asing, seperti mebel, kereta, dan kuda.
  • Pajak Penghasilan: Diperkenalkan untuk menggantikan pajak bisnis sebelumnya, menyasar keuntungan dari berbagai kegiatan usaha, profesi, dan perdagangan.

Meskipun lebih modern, praktik dan beban pajak pada era ini tetap menjadi sumber penderitaan dan perlawanan.

Salah satu pemicu utama keresahan sosial adalah praktik penyewaan hak pemungutan pajak (pacht) kepada pihak swasta, terutama pengusaha Tionghoa.

Praktik ini terjadi pada pajak gerbang tol, candu, dan pasar. Para penyewa iniโ€”yang telah membayar mahal untuk mendapatkan hak pemungutanโ€”memeras rakyat secara berlebihan untuk memaksimalkan keuntungan, menciptakan sistem penindasan di mana petani bisa ditahan berjam-jam, barang bawaannya dirampas, dan bahkan hewan ternaknya disita jika merumput di tanah bandar tol.

Praktik eksploitatif inilah yang menjadi salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) dan berbagai pemberontakan petani lainnya, seperti yang terjadi di Desa Patik (Ponorogo) pada tahun 1885, di mana para pemilik tanah memberontak karena beban pajak yang dianggap terlalu tinggi.

5.0 Pajak di Bawah Ekonomi Perang: Masa Pendudukan Jepang

Masa pendudukan Jepang yang singkat (1942-1945) secara drastis mengubah orientasi sistem perpajakan di Indonesia.

Seluruh kebijakan ekonomi, termasuk pajak, diarahkan sepenuhnya untuk menopang mesin perang Jepang dalam Perang Pasifik.

Pemerintah militer Jepang pada dasarnya meneruskan sistem pajak tanah peninggalan Belanda, yang mereka sebut sebagai Land Tax atau pajak bumi (chiso).

Namun, mereka melakukan penyesuaian pada struktur birokrasi dengan menggunakan istilah-istilah Jepang.

Departemen Keuangan diubah menjadi Zaimubu, dan residen sebagai penanggung jawab pemungutan di daerah disebut Syucokan.

Dinas yang menangani pajak tanah ditempatkan di bawah Zaimubu Shuzeika (Kantor Besar Urusan Pajak).

Bentuk pajak yang paling memberatkan bagi rakyat selama periode ini adalah kebijakan wajib serah padi.

Petani diharuskan menjual sebagian besar hasil panen mereka kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak dan sangat rendah.

Padi yang terkumpul kemudian digiling dan didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pangan tentara Jepang dan aparat birokrasi.

Kebijakan ini menyebabkan kelangkaan pangan yang parah dan kelaparan di banyak daerah.

Selain wajib serah padi, pemerintah pendudukan Jepang juga melanjutkan atau memperkenalkan berbagai jenis pajak lain untuk memaksimalkan semua potensi pendapatan.

Ini termasuk pajak jual beli atas berbagai komoditas, pajak atas kepemilikan hewan seperti pajak anjing, dan pajak atas kepemilikan kendaraan, yang paling umum adalah pajak sepeda.

Warisan dari sistem perpajakan kolonial yang eksploitatif, yang kemudian diperparah oleh tekanan ekonomi perang di bawah Jepang, menjadi titik awal yang sangat sulit bagi Republik Indonesia yang baru merdeka.

6.0 Membangun Sistem Perpajakan Nasional di Era Awal Kemerdekaan

Negara Republik Indonesia yang baru lahir di tengah gejolak revolusi menghadapi tantangan luar biasa dalam membangun sistem perpajakan nasional yang berdaulat.

Di tengah instabilitas politik, agresi militer Belanda, dan keterbatasan sumber daya, pemerintah harus mencari cara untuk membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjalankan roda pemerintahan yang masih sangat rapuh.

Landasan hukum perpajakan diletakkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23, yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.”

Struktur organisasi pajak pertama kali dibentuk di bawah Kementerian Keuangan, namun dalam praktiknya, banyak peraturan dan ordonansi peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang terpaksa masih digunakan karena belum adanya perangkat hukum nasional yang memadai.

Pemerintah awal Republik Indonesia melancarkan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.

Salah satu langkah penting adalah “Kampanye Pembayaran Pajak 1946” yang bertujuan menanamkan kesadaran bahwa membayar pajak adalah kewajiban warga negara untuk membiayai negara merdeka.

Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan jenis pajak baru yang relevan, seperti Pajak Radio yang dipungut dari para pemilik pesawat penerima radio.

Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya sumber daya manusia yang terdidik di bidang perpajakan.

Untuk mengatasinya, pemerintah mengirim beberapa pegawai untuk belajar di akademi pajak di Belanda (Rijksbelasting Academie) dan menyelenggarakan kursus-kursus kontrolir pajak di dalam negeri.

Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, beberapa kebijakan penting dirumuskan sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi dan membiayai revolusi. Di antaranya adalah:

  • Pembentukan Panitia Peninjauan Pajak (1951): Dibentuk untuk mengkaji dan merombak sistem pajak warisan kolonial.
  • Pengenalan Pajak Peredaran (1950): Sebagai cikal bakal Pajak Penjualan (PPn), pajak ini dikenakan pada peredaran barang.
  • Peraturan Pengampunan Pajak (1964): Dikeluarkan melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 5 Tahun 1964 untuk menarik modal guna membiayai program pembangunan dan konfrontasi.

Upaya-upaya ini menandai langkah-langkah awal yang krusial dalam transformasi sistem pajak dari alat kolonial menjadi pilar kedaulatan dan pembangunan nasional.

7.0 Kesimpulan: Refleksi Jejak Pajak dalam Sejarah Bangsa

Evolusi sistem perpajakan di Indonesia, dari pungutan sederhana di masa kerajaan hingga administrasi modern di era kemerdekaan, merupakan cerminan yang jelas dari struktur kekuasaan, model ekonomi, dan cita-cita yang diusung oleh para penguasa di setiap zaman.

Jejak panjang ini menunjukkan bahwa pajak bukanlah sekadar instrumen teknis penghimpun dana, melainkan sebuah arena di mana hubungan antara negara dan rakyat dinegosiasikan, diperebutkan, dan didefinisikan ulang.

Perjalanan historis ini dapat dirangkum dalam tiga transformasi fundamental peran pajak:

  • Pajak sebagai Upeti dan Simbol Kekuasaan: Di masa kerajaan Hindu-Buddha dan kesultanan Islam, pajak dalam bentuk upeti, hasil bumi, atau tenaga kerja merupakan manifestasi dari kekuasaan raja atas tanah dan rakyatnya. Pungutan ini membiayai kemegahan istana, proyek-proyek publik, dan kampanye militer.
  • Pajak sebagai Alat Eksploitasi dan Kontrol: Era kolonialisme secara drastis mengubah fungsi pajak menjadi instrumen eksploitasi ekonomi. Dari penyerahan paksa VOC, landrent yang memberatkan, hingga Tanam Paksa yang brutal, pajak digunakan untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya demi kepentingan negara induk.
  • Pajak sebagai Pilar Kedaulatan dan Pembangunan: Dengan proklamasi kemerdekaan, peran pajak bertransformasi menjadi pilar utama untuk menegakkan kedaulatan dan membiayai pembangunan negara. Pemerintah berupaya membangun sistem perpajakan nasional yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, bukan lagi melayani kepentingan asing.

Sejarah ini membuktikan bahwa legitimasi sistem perpajakan di Indonesia tidak pernah hanya soal efisiensi administrasi, tetapi selalu terikat pada persepsi keadilan dan tujuan penguasa.

Dari penolakan upeti yang mencekik hingga pemberontakan melawan cukai kolonial, resistensi rakyat menjadi kekuatan pendorong perubahan.

Sumber:

Laporan Ekonomi Global Terbaru Yang Perlu Anda Ketahui

Laporan komprehensif OECD Economic Outlook terbaru (Desember 2025)

Salah satu alasan paling mengejutkan di balik ketahanan ekonomi global bukanlah kebijakan fiskal atau pemulihan konsumsi tradisional, melainkan investasi besar-besaran dan pesat di bidang Kecerdasan Buatan (AI) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Jauh dari sekadar tren teknologi, investasi ini telah menjadi penopang utama bagi permintaan ekonomi secara keseluruhan.

Laporan OECD menyoroti bahwa permintaan yang kuat untuk investasi terkait AI, terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara ekonomi Asia seperti Korea, Singapura, Jepang, dan Tionghoa Taipei, telah memberikan dukungan signifikan.

Skala investasi ini sangat besar. Sebagai gambaran, Amerika Serikat sendiri sudah menjadi lokasi bagi 43% dari total kapasitas pusat data global yang terpasang pada tahun 2024.

Kekuatan ini sangat nyata dalam angka perdagangan. Pada kuartal kedua tahun 2025, perdagangan barang “pendukung AI” menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan perdagangan untuk negara-negara G20 dan Asia tertentu. Sebuah peningkatan substansial dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Di Amerika Serikat, dampaknya bahkan lebih jelas, yaitu investasi pada peralatan dan perangkat lunak TIK merupakan kontributor kuat bagi pertumbuhan PDB riil pada paruh pertama tahun 2025.

Fakta ini menegaskan bahwa mesin pertumbuhan yang berpusat pada teknologi ini adalah kekuatan yang relatif baru namun sangat kuat yang kini membentuk lanskap makroekonomi global.

Regulasi Mengerem Produktivitas Global

Ketika para ekonom membahas perlambatan produktivitas, diskusi sering berpusat pada inovasi atau investasi.

Namun, laporan OECD mengungkap faktor penghambat yang lebih tersembunyi namun signifikan yaitu lingkungan regulasi yang semakin kompleks dan memberatkan.

Estimasi baru dari OECD menunjukkan bahwa bisnis mendedikasikan sumber daya yang substansial dan terus meningkat hanya untuk mematuhi peraturan, yang mengalihkan mereka dari aktivitas yang lebih produktif.

Statistik yang paling tajam datang dari Amerika Serikat yakni pada tahun 2024.

Perusahaan-perusahaan di AS menghabiskan sumber daya setara dengan 4,25% dari total anggaran gaji mereka hanya untuk memenuhi tuntutan regulasi.

Biaya yang diperkirakan telah mengurangi produktivitas tenaga kerja sebesar 0,5% selama 10 tahun terakhir.

Yang lebih mengkhawatirkan, laporan tersebut menekankan bahwa beban ini membebani prospek perusahaan-perusahaan muda dan calon pendatang baru secara tidak proporsional, karena mereka tidak memiliki skala untuk menanggung biaya tetap yang tinggi dari kepatuhan regulasi.

Hal ini secara efektif menghambat dinamisme ekonomi.

Laporan tersebut merangkum kekhawatiran ini dengan tajam:

“Kekhawatiran utamanya adalah lingkungan regulasi yang terus berkembang telah mengalihkan sumber daya yang langka dari aktivitas yang lebih produktif, dan dengan menaikkan biaya tetap operasional bisnis, hal ini telah membebani prospek perusahaan-perusahaan muda dan calon pendatang baru secara tidak proporsional.”

Aset Kripto dan Perbankan Bayangan Kini Menjadi Risiko Stabilitas Keuangan yang Nyata

Banyak yang mungkin masih menganggap aset kripto sebagai ceruk pasar yang terpisah dari sistem keuangan tradisional.

Namun, laporan OECD dengan jelas menyatakan bahwa lembaga keuangan non-bank (NBFI), yang sering disebut “perbankan bayangan”, dan pasar aset kripto kini telah tumbuh menjadi risiko nyata bagi stabilitas keuangan global.

Sejak krisis keuangan global, NBFI telah berkembang pesat dan semakin terhubung dengan bank-bank tradisional.

Di saat yang sama, pasar aset kripto telah mengalami pertumbuhan eksplosif, mencapai valuasi pasar lebih dari USD 4 triliun pada Oktober 2025, meskipun dengan volatilitas yang sangat tinggi.

Integrasi ini paling terlihat pada stablecoin, yang skala dampaknya kini tidak dapat diabaikan:

“Total nilai pembayaran menggunakan stablecoin melampaui penyedia pembayaran digital tradisional utama pada tahun 2024.”

Namun, yang paling mengejutkan bukanlah volume transaksinya, melainkan mekanisme yang menghubungkannya dengan jantung sistem keuangan global.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa penerbit stablecoin telah menjadi pemegang utama surat utang negara AS (US Treasury bills).

Ini adalah senjata panas yang secara langsung mengikat dunia kripto yang bergejolak dengan aset paling aman di dunia.

Keterkaitan inilah yang menjelaskan mengapa regulator kini tidak lagi memandangnya sebagai fenomena pinggiran, melainkan sebagai sumber potensi risiko sistemik yang memerlukan pengawasan ketat.

Perang Tarif

Narasi media tentang “perang tarif” global sering kali menyederhanakan dinamika yang sangat kompleks.

Laporan OECD menunjukkan bahwa kenyataannya jauh lebih bernuansa, dengan perusahaan dan negara melakukan adaptasi strategis terhadap proteksionisme dengan cara-cara yang tidak terduga.

Pertama, ada fenomena “front-loading”. Banyak perusahaan mempercepat produksi dan perdagangan pada awal tahun 2025 sebelum tarif baru diberlakukan.

Tindakan antisipatif ini secara mengejutkan justru mendukung volume perdagangan global yang kuat di awal tahun, menutupi dampak langsung dari kebijakan proteksionis.

Kedua, alih-alih pasrah, perusahaan secara aktif beradaptasi untuk memitigasi dampak tarif.

Berbagai perjanjian perdagangan telah menciptakan mosaik tarif yang rumit, dan perusahaan memanfaatkannya.

Sebagai contoh, tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap perjanjian USMCA (antara AS, Meksiko, dan Kanada) menunjukkan upaya aktif dari para pebisnis. Hasilnya, tarif efektif atas impor dari Kanada (4,8%) dan Meksiko (5,4%) secara signifikan lebih rendah dari yang seharusnya bisa mencapai 12,5% dan 14,8%.

Kompleksitas ini menunjukkan bahwa alih-alih runtuh, perdagangan global beradaptasi dengan cara-cara yang rumit, menciptakan lanskap yang jauh lebih sulit untuk diprediksi daripada sekadar “perang dagang” sederhana.

Mesin Pertumbuhan Bergeser

Secara keseluruhan, laporan OECD melukiskan gambaran paradoks: ekonomi global yang menunjukkan ketangguhan mengejutkan saat ini, namun menghadapi kerapuhan yang signifikan di masa depan.

Proyeksi utama menunjukkan pertumbuhan PDB global akan sedikit melambat dari 3,2% pada tahun 2025 menjadi 2,9% pada tahun 2026, sebelum sedikit pulih.

Prospek ini dianggap rapuh karena beberapa risiko besar yang membayangi.

Peningkatan lebih lanjut dalam hambatan perdagangan dan kerentanan fiskal adalah kekhawatiran utama.

Selain itu, valuasi aset yang tinggi menjadi risiko yang menonjol, terutama di sektor teknologi yang didorong oleh optimisme AI yang sama yang telah menopang pertumbuhan.

Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang berbahaya: pendorong pertumbuhan utama kita juga merupakan sumber kerapuhan finansial.

Namun, wawasan yang paling struktural adalah pergeseran mesin pertumbuhan global.

Laporan tersebut menyoroti bahwa negara-negara berkembang di Asia, khususnya Tiongkok dan India, terus menyumbang mayoritas pertumbuhan global.

Sementara ekonomi global telah berhasil melewati badai baru-baru ini lebih baik dari yang diperkirakan, laporan ini memperjelas bahwa jalur ke depan tidak pasti dan semakin bergantung pada kesehatan ekonomi Asia.

Sumber

Dengarkan versi podcast

Pertarungan Kebijakan di Balik Uang Tambang Negara

1. Pendahuluan: Harta Karun di Bawah Tanah sebagai Mesin Industrialisasi

Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam mineral dan batubara (minerba) yang menempatkannya sebagai pemain kunci di panggung global.

Potensi ini tercermin dari cadangan masif komoditas strategis seperti batubara (31,95 miliar ton), nikel (5,9 miliar ton, peringkat 1 global), dan timah (6,4 miliar ton).

Namun, kekayaan ini bukanlah sekadar aset ekonomi, melainkan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dalam visi pembangunan nasional Asta Cita, amanat ini diterjemahkan menjadi sebuah strategi ambisius: hilirisasi.

Hilirisasi bertujuan mentransformasi bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, memperkuat struktur industri, dan melepaskan Indonesia dari ketergantungan pada volatilitas harga komoditas.

Potensinya luar biasa; sebagai contoh, proses hilirisasi bijih nikel hingga menjadi baterai kendaraan listrik dapat meningkatkan nilai tambah hingga 175 kali lipat.

Di tengah agenda transformasi ini, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba memegang peranan sentral.

PNBP tidak hanya menjadi sumber pendapatan vital untuk membiayai pembangunan, tetapi juga menjadi instrumen kebijakan yang sangat menentukan keberhasilan hilirisasi itu sendiri.

Namun, di balik angka-angka penerimaan yang fantastis, terdapat sebuah arena pertarungan kebijakan yang kompleks antara optimalisasi pendapatan negara dan keberlanjutan iklim investasi industri.

Lalu, bagaimana negara mengelola PNBP minerba, dan apa saja tantangan fundamental yang melingkupinya? Mari kita telusuri lebih dalam.

2. Apa Saja Komponen PNBP dari Sektor Minerba?

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor minerba adalah seluruh pungutan yang wajib dibayarkan oleh perusahaan tambang kepada negara, di luar kewajiban perpajakan (seperti PPh Badan).

Terdapat dua komponen utama yang menjadi pilar PNBP minerba:

  • Iuran Tetap (Dead Rent) Ini adalah iuran tahunan yang besarnya dihitung berdasarkan luas wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP/IUPK) yang dimiliki perusahaan. Iuran ini bersifat tetap dan wajib dibayar setiap tahun, terlepas dari apakah perusahaan sudah mulai berproduksi atau masih dalam tahap eksplorasi.
  • Iuran Produksi (Royalti) Ini adalah komponen dengan kontribusi terbesar bagi PNBP minerba. Royalti merupakan pungutan yang dibayar oleh perusahaan setiap kali melakukan penjualan hasil tambang. Besarannya sangat bergantung pada jumlah (tonase) dan nilai jual komoditas, menjadikannya sumber penerimaan yang dinamis mengikuti aktivitas produksi dan kondisi pasar.

Meskipun ada komponen lain seperti Penjualan Hasil Tambang (PHT) dan Bagian Pemerintah dari Keuntungan Bersih, Iuran Tetap dan Royalti adalah dua pilar utama yang menyumbang sebagian besar PNBP dari sektor ini.

Dengan royalti sebagai sumber penerimaan terbesar, formula perhitungannya menjadi titik krusial dalam kebijakan fiskal minerba.

3. Cara Menghitung Royalti: Tarif Progresif di Tengah Perdebatan

Perhitungan royalti pada dasarnya menggunakan formula yang sederhana:

Royalti = Tarif (%) x Jumlah Produksi (Berat) x Harga Acuan

Poin terpenting dari formula ini adalah ‘Tarif’ royalti tidak bersifat tetap (flat). Pemerintah menerapkan skema tarif progresif, artinya persentase tarif akan naik ketika harga komoditas di pasar internasional sedang tinggi, dan sebaliknya, bisa lebih rendah ketika harga turun.

Pemerintah membedakan tarif berdasarkan kualitas (misalnya, kandungan kalori batubara) dan harga pasar untuk menciptakan sistem yang dianggap adil.

Sebagai ilustrasi, berikut adalah skema tarif royalti progresif untuk batubara bagi pemegang IUP, berdasarkan data tarif yang berlaku seperti yang dipaparkan dalam regulasi terbaru (PP 19/2025):

Harga Batubara Acuan (HBA)Tarif Royalti untuk Batubara Kalori Tinggi (> 5.200 Kkal/kg)
< USD 70 / ton9,50%
USD 70 – < USD 90 / ton11,50%
โ‰ฅ USD 90 / ton13,50%

Namun, dari perspektif industri, skema yang dirancang untuk keadilan ini justru dipandang sebagai beban berat.

Analisis dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menunjukkan bahwa Total Government Take (TGT) atau total pungutan negara dari sektor tambang Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.

Lebih kritis lagi, struktur fiskal ini menunjukkan “pola terbalik” (inverted pattern), di mana beban fiskal justru menjadi lebih berat pada kondisi pasar yang sulit (harga rendah, rasio pengupasan tinggi).

Kondisi ini mengancam kelangsungan operasi dan berpotensi menyebabkan hilangnya cadangan marginal (marginal reserves) yang menjadi tidak ekonomis untuk ditambang.

Struktur tarif yang menjadi perdebatan ini hanyalah salah satu dari serangkaian tantangan besar yang dihadapi dalam pengelolaan PNBP minerba.

4. Tantangan Besar dalam Pengelolaan PNBP Minerba

Pengelolaan PNBP minerba menghadapi berbagai tantangan kompleks yang mengancam optimalisasi penerimaan negara dan keberlanjutan industri.

4.1. Ancaman Tambang Ilegal (PETI)

Penambangan Tanpa Izin (PETI) adalah kegiatan penambangan ilegal yang menimbulkan dampak sistemik:

  • Kebocoran Penerimaan Negara: Sebagai aktivitas ilegal, PETI sama sekali tidak membayar royalti atau PNBP lainnya, menciptakan “tax gap” yang signifikan dan merugikan kas negara.
  • Kerusakan Harga Pasar: Produk dari tambang ilegal yang membanjiri pasar merusak struktur harga komoditas resmi, menggerus daya saing perusahaan yang patuh aturan.
  • Kerusakan Lingkungan: PETI hampir tidak pernah menerapkan kaidah penambangan yang baik (Good Mining Practices), menyebabkan kerusakan lingkungan parah tanpa ada pihak yang bertanggung jawab.

4.2. Masalah Data dan Proses Manual

Sebelum era digitalisasi, proses pelaporan dan pembayaran PNBP yang manual melahirkan berbagai masalah fundamental:

  • Ketidakakuratan dan Ketidaksinkronan Data: Proses manual rentan terhadap kesalahan input dan menyebabkan perbedaan data antara pemerintah pusat, daerah, dan antar kementerian.
  • Keterlambatan Pembayaran: Sulit untuk memonitor dan menindak perusahaan yang terlambat membayar kewajibannya secara real-time.
  • Manipulasi Harga: Terdapat modus di mana perusahaan menggunakan harga faktur (invoice) yang lebih rendah dari Harga Patokan sebagai dasar perhitungan untuk membayar royalti lebih kecil dari yang seharusnya.

4.3. Beban Fiskal dan Ketidakpastian Regulasi

Tantangan terbesar, menurut suara industri, justru datang dari kebijakan pemerintah sendiri. Analisis sentimen dari PERHAPI menunjukkan bahwa royalti dan beban fiskal serta ketidakpastian regulasi adalah dua isu teratas yang menjadi keluhan utama pelaku usaha. Beban yang dianggap terlalu berat dan aturan yang sering berubah-ubah menciptakan iklim usaha yang tidak pasti, mendorong industri masuk ke dalam “survival mode”. Kondisi ini memberikan konteks mengapa praktik seperti manipulasi data atau penghindaran kewajiban bisa terjadi, yakni sebagai respons terhadap tekanan ekonomi yang ekstrem.

Menghadapi tantangan-tantangan serius ini, pemerintah meluncurkan solusi berbasis teknologi untuk merombak total tata kelola PNBP.

5. Solusi Pemerintah: Integrasi Digital Melalui SIMBARA

Jawaban pemerintah atas tantangan di atas adalah transformasi digital yang bertujuan menciptakan ekosistem pengelolaan PNBP yang terintegrasi, transparan, dan akuntabel.

5.1. Langkah Awal: Sistem e-PNBP

Sebagai fondasi, pemerintah meluncurkan sistem e-PNBP Minerba. Sistem ini berfungsi sebagai “kalkulator” dan portal pembayaran online, yang memungkinkan perusahaan menghitung kewajiban PNBP mereka secara mandiri (self-assessment) dan melakukan pembayaran secara elektronik.

5.2. Integrasi Total: Ekosistem SIMBARA

Puncak transformasi ini adalah SIMBARA (Sistem Informasi Mineral dan Batubara). SIMBARA adalah platform kolaborasi yang mengintegrasikan data dari berbagai kementerian dan lembaga secara real-time, termasuk:

  • Kementerian ESDM: Data perizinan dan kuota produksi (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya/RKAB).
  • Kementerian Keuangan: Data PNBP, pajak, dan bea cukai.
  • Kementerian Perhubungan: Data pengapalan melalui Inaportnet.
  • Kementerian Perdagangan: Data izin ekspor.
  • Lembaga Surveyor: Data verifikasi kuantitas dan kualitas komoditas.

Integrasi total ini memberikan manfaat signifikan:

  • Validasi Otomatis: Sistem dapat secara otomatis memblokir proses bisnis, seperti penerbitan izin berlayar, jika PNBP belum lunas.
  • Mencegah Manipulasi: Sistem mampu mendeteksi modus penipuan, seperti penggunaan bukti bayar (Nomor Transaksi Penerimaan Negara/NTPN) berulang kali atau penyalahgunaan bukti bayar domestik untuk ekspor.
  • Optimalisasi Penerimaan: Implementasi SIMBARA terbukti berhasil meningkatkan realisasi PNBP secara signifikan.

Meskipun demikian, SIMBARA bukanlah solusi tanpa celah. Dari sisi industri, terdapat keluhan mengenai “keandalan teknis sistem (glitch)” yang terkadang menghambat transaksi. Pemerintah sendiri, melalui Direktorat Jenderal Anggaran, mengakui bahwa permasalahan seperti tambang ilegal dan kewajiban yang belum dibayar masih ditemui di lapangan. Ini menegaskan bahwa SIMBARA adalah alat yang sangat kuat untuk transparansi transaksional, namun tidak secara otomatis menyelesaikan tantangan fundamental seperti penambangan ilegal di sumbernya atau tekanan ekonomi yang diciptakan oleh rezim fiskal.

6. Kesimpulan: Mencari Keseimbangan antara Penerimaan dan Investasi

PNBP dari sektor mineral dan batubara telah menjadi pilar pendapatan negara sekaligus arena kebijakan yang krusial bagi masa depan industri Indonesia. Inovasi digital melalui SIMBARA merupakan sebuah lompatan besar dalam memperbaiki tata kelola, menutup celah kebocoran, dan meningkatkan akuntabilitas transaksional.

Namun, digitalisasi tidak dapat sepenuhnya menjawab tantangan fundamental yang ada. Optimalisasi PNBP jangka panjang bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan ketegangan antara dua tujuan yang saling tarik-menarik: kebutuhan negara akan pendapatan yang maksimal untuk mendanai agenda strategis seperti hilirisasi, dan kebutuhan industri akan iklim fiskal yang kompetitif dan dapat diprediksi untuk melakukan investasi padat modal yang diperlukan oleh hilirisasi itu sendiri.

Mewujudkan amanat konstitusi untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” pada akhirnya menuntut sebuah keseimbangan kebijakan yang cermatโ€”sebuah sintesis antara kecanggihan teknologi dan kearifan regulasi yang mampu mendorong pertumbuhan industri berkelanjutan, bukan sekadar memaksimalkan penerimaan jangka pendek.

Ultimum Remedium Dalam Pidana Pajak di Indonesia

Ternyata Ada Jalan Tol untuk Lolos dari Penjara Pidana Perpajakan

Di benak publik, pidana pajak adalah vonis akhir: penjara!

Namun, kerangka hukum Indonesia menyimpan sebuah rahasia yang lebih pragmatis daripada menakutkan: prinsip ultimum remedium.

Prinsip ini secara fundamental mengubah cara kita memandang penegakan hukum pajak, dari sekadar hukuman menjadi sebuah mekanisme pemulihan kerugian negara.

Asas Ultimum Remedium Di Tindak Pidana Perpajakan

Mekanisme Pasal 44B Undang-Undang KUP

Fakta paling mengejutkan dalam hukum pajak Indonesia adalah adanya mekanisme yang memungkinkan penghentian proses pidana dengan melunasi kewajiban secara penuh.

Ini bukanlah praktik ilegal, melainkan sebuah fasilitas yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang.

Bunyi Pasal 44B ayat (1) Undang-Undang KUP sebagai berikut:

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan

Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP sebagai berikut:

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:

  1. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
  2. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
  3. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Mekanisme di atas dimungkinkan karena hukum pajak Indonesia menganut asas ultimum remedium, sebuah frasa Latin yang berarti “upaya terakhir“.

Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pidana seharusnya hanya digunakan sebagai senjata pamungkas ketika cara-cara lain, seperti sanksi administratif, sudah tidak efektif.

Tujuan utama penegakan hukum pajak, sebagaimana ditegaskan DJP, adalah mengumpulkan penerimaan negara (fungsi budgeter), bukan memenjarakan orang.

Filosofi ini sejalan dengan konsep restorative justice (keadilan restoratif), yang berfokus pada pemulihan kerugian dan perdamaian, bukan semata-mata pembalasan.

Menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison, restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Dengan kata lain, jika kerugian negara dapat dipulihkan melalui pembayaran pajak beserta dendanya, maka tujuan utama hukum telah tercapai tanpa perlu melanjutkan proses pidana yang lebih panjang dan mahal.

Ultimum Remedium Menurut Ilmu Hukum

Ultimum remedium sebagai sebuah istilah atau konsep, digunakan dalam hukum pidana untuk menunjukkan karakter hukum pidana yakni hukum pidana harus digunakan, diterapkan atau dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk mengatasi permasalahan masyarakat.

Terutama terhadap perbuatan atau tindakan yang merugikan masyarakat terutama tindak pidana.

Walaupun doktrin Ultimum remedium sudah diterima secara informal dalam artian tidak secara tegas dituangkan dalam perundangundangan, namun dari aspek sejarah ditetahui bahwa konsep ultimum remedium dalam hukum pidana Indonesia, mengikuti perkembangan hukum Belanda.

Pertama kali tercatat bahwa istilah tersebut dikemukakan oleh Modderman, Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen Belanda dalam rangka pembahasan rancangan KUHP.

Secara akademis dapat dirumuskan bahwa:

Ultimum remedium merupakan asas hukum yang menempatkan hukum pidana sebagai instrumen terakhir dalam penegakan hukum, yang penggunaannya hanya dibenarkan apabila sarana hukum lain tidak efektif, dengan tujuan menjaga proporsionalitas, perlindungan hak asasi manusia, dan efisiensi sistem hukum.

OECD menempatkan sanksi pidana sebagai instrumen paling akhir, setelah:

  1. Voluntary compliance
  2. Administrative enforcement
  3. Civil penalties
  4. Baru criminal prosecution.

DOKTRIN ULTIMUM REMEDIUM DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Ultimum Remedium dan Keadilan Restoratif

Penyidikan yang Sedang Berjalan Pun Bisa Dihentikan di Tengah Jalan

Hak wajib pajak untuk menyelesaikan kasusnya tidak hilang begitu saja saat proses hukum pidana dimulai.

Arsitektur hukum dalam UU KUP menyediakan setidaknya dua “jaring pengaman” hukum di tahapan yang berbeda:

  1. Sebelum Penyidikan (Pasal 8 ayat (3) UU KUP): Memberi hak kepada wajib pajak untuk menghentikan proses pemeriksaan agar tidak naik ke tahap penyidikan. Caranya adalah dengan mengakui kesalahan dan melunasi kekurangan pembayaran pajak beserta sanksi denda administrasinya.
  2. Selama Penyidikan (Pasal 44B UU KUP): Menyediakan mekanisme untuk menghentikan proses penyidikan yang sudah berjalan, selama perkara tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Ini adalah opsi yang digunakan dalam kasus tersangka RH yang disebutkan sebelumnya.

Keberadaan dua pasal ini menunjukkan bahwa negara memberikan kesempatan berlapis bagi wajib pajak yang kooperatif untuk menyelesaikan masalahnya di luar jalur pemidanaan.

Konsistensi Penerapan Ultimum Remedium

Implementasi asas ultimum remedium dalam hukum pidana perpajakan di Indonesia menyeimbangkan penegakan hukum dengan tujuan penerimaan negara melalui mekanisme yang memprioritaskan pemulihan kerugian keuangan negara (fungsi budgeter) di atas pemidanaan fisik (penjara).

Berikut adalah analisis mendalam mengenai bagaimana keseimbangan ini dicapai berdasarkan sumber-sumber yang tersedia:

1. Menggeser Fokus dari Pembalasan ke Pemulihan (Restorative Justice) Dalam konteks perpajakan, hukum pidana tidak dijadikan tujuan utama, melainkan sebagai upaya terakhir (last resort) atau alat pemaksa ketika upaya administratif gagal.

Implementasi asas ini mengadopsi pendekatan restorative justice, di mana fokus utamanya adalah memulihkan kerugian negara akibat pengelakan pajak, bukan semata-mata menghukum badan badan atau memenjarakan wajib pajak.

Hal ini menyeimbangkan tujuan negara karena:

  • Fungsi Budgeter: Tujuan utama institusi pajak adalah mengumpulkan penerimaan negara. Sanksi pidana penjara sering kali dianggap “kalah” dalam mencapai tujuan ini karena tidak secara langsung mengembalikan uang ke kas negara.
  • Solusi Win-Win: Metode ini dianggap sebagai jalan tengah yang efektif, wajib pajak diampuni dari pidana badan dengan syarat melunasi kerugian, sementara negara mendapatkan kembali haknya tanpa harus mengeluarkan biaya penegakan hukum yang mahal hingga ke pengadilan.

2. Mekanisme Penghentian Penyidikan (Pasal 44B UU KUP) Implementasi konkret dari keseimbangan ini terlihat dalam ketentuan Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Mekanisme ini memungkinkan:

  • Penyelesaian di Luar Pengadilan: Atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan,.
  • Syarat Pelunasan: Penghentian hanya dapat dilakukan jika tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi administratif yang berat.

3. Menjaga Kelangsungan Usaha dan Stabilitas Ekonomi Penerapan sanksi pidana penjara tanpa opsi pemulihan kerugian berisiko mematikan usaha wajib pajak, yang pada akhirnya menghilangkan potensi pajak di masa depan (bangkruit).

Dengan menerapkan ultimum remedium:

  • Negara menghindari dampak negatif dari “over-kriminalisasi” yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan iklim usaha.
  • Wajib pajak tetap dapat melanjutkan usahanya setelah membayar sanksi, sehingga tetap menjadi subjek pajak yang berkontribusi pada penerimaan negara di tahun-tahun berikutnya.

4. Efisiensi Penegakan Hukum. Implementasi asas ini juga menyeimbangkan keterbatasan sumber daya penegak hukum. Proses pidana penuh (dari penyidikan hingga putusan pengadilan) memakan waktu dan biaya besar.

Dengan menggunakan ultimum remedium melalui pembayaran denda administratif sebagai prioritas, aparat fiskus dapat mengurangi beban penanganan perkara yang kompleks dan fokus pada kasus-kasus lain yang lebih strategis.

5. Sanksi Administratif sebagai Pengganti Efek Jera. Meskipun menghindari penjara, keseimbangan tetap dijaga melalui sanksi finansial yang sangat berat (denda administratif) yang berfungsi sebagai deterrence (efek jera).

Dalam kasus yang disebutkan, denda mencapai tiga kali lipat dari pajak yang kurang dibayar.

Ini memastikan bahwa meskipun hukum pidana adalah upaya terakhir, pelanggaran pajak tetap memiliki konsekuensi yang menyakitkan secara finansial bagi pelaku.

Tantangan Implementasi. Meskipun menyeimbangkan penerimaan, implementasinya masih menghadapi tantangan seperti inkonsistensi dan diskresi yang luas, di mana aparat fiskus cenderung menggunakan pidana hanya untuk kasus bernilai besar.

Diperlukan pedoman kuantitatif yang lebih jelas agar asas ini benar-benar menjadi upaya terakhir yang adil dan proporsional.

Sebagai analogi untuk memperjelas konsep ini:

Menerapkan asas ultimum remedium dalam pajak ibarat menagih utang kepada peternak angsa bertelur emas.

Jika peternak tersebut langsung dipenjara (pidana murni), peternakan akan tutup dan negara tidak akan mendapatkan telur emas (pajak) lagi selamanya.

Namun, dengan ultimum remedium, negara memaksa peternak membayar ganti rugi berupa tumpukan telur yang sangat banyak (denda besar) sebagai hukuman.

Dengan cara ini, negara mendapatkan kembali haknya, peternak mendapatkan pelajaran keras namun tetap bisa bekerja, dan aliran “telur emas” untuk negara di masa depan tetap terjaga.

Ultimum Remedium di Cukai

Penerapan asas ultimum remedium dalam tindak pidana cukai, khususnya pada sektor hasil tembakau, mencerminkan pergeseran kebijakan pidana Indonesia menuju pendekatan yang lebih proporsional dan restoratif.

Prinsip ini menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir setelah langkah-langkah administratif dan perdata dianggap tidak lagi efektif atau memadai.

Berikut adalah mekanisme dan tujuan penerapan asas ultimum remedium dalam konteks cukai berdasarkan sumber yang tersedia:

1. Prioritas pada Sanksi Administratif dan Perdata

Dalam penegakan hukum cukai, otoritas berwenang memprioritaskan tindakan administratif terlebih dahulu sebelum menggunakan sanksi pidana penjara. Langkah-langkah awal ini meliputi:

  • Penerapan Denda: Pelanggar diwajibkan membayar denda administratif sebagai bentuk pemulihan kerugian negara.
  • Pencabutan Izin: Sanksi dapat berupa pencabutan izin usaha sebagai langkah pendisiplinan tanpa harus memenjarakan badan.
  • Perbaikan Kepatuhan: Memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk memperbaiki kepatuhan mereka tanpa langsung menjatuhkan hukuman penjara.

2. Fokus pada Pemulihan Kerugian Negara (Restorative Justice)

Penerapan ini sejalan dengan prinsip restorative justice yang bertujuan mengoptimalkan pengumpulan penerimaan negara (fungsi budgeter) sambil tetap menjaga keadilan.

Mekanisme ini digunakan untuk memulihkan kerugian pendapatan negara akibat pelanggaran cukai, yang dianggap lebih bermanfaat bagi negara dibandingkan sekadar memenjarakan pelaku,.

3. Menjaga Stabilitas Ekonomi dan Kelangsungan Usaha Implementasi ultimum remedium dalam cukai dirancang untuk meminimalkan dampak negatif dari “over-kriminalisasi” terhadap perekonomian nasional.

Hal ini krusial karena:

  • Kontribusi Industri: Industri hasil tembakau memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja daerah.
  • Kelangsungan Bisnis: Dengan menerapkan sanksi administrasi terlebih dahulu, negara menghindari risiko mematikan usaha yang sah, sehingga stabilitas ekonomi tetap terjaga.

4. Pidana Tetap Berlaku untuk Pelanggaran Berat

Meskipun mengedepankan jalur administratif, hukum pidana tidak dihapuskan sepenuhnya.

Sanksi pidana tetap berlaku sebagai alat pencegah (deterrent) dan diterapkan pada kasus-kasus tertentu, yaitu:

  • Pelanggaran Berulang: Pelaku yang terus-menerus melakukan pelanggaran meskipun telah diberi sanksi administratif.
  • Pelanggaran Berat: Kasus-kasus pelanggaran serius yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mekanisme administratif.

Keberhasilan penerapan asas ini sangat bergantung pada kerangka regulasi yang jelas (seperti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan peraturan turunannya), penegakan yang konsisten, serta koordinasi antar-lembaga.

Sebagai analogi untuk memahami penerapan ini dalam konteks industri:

Menerapkan ultimum remedium pada pelanggaran cukai ibarat wasit yang memberikan kartu kuning dalam pertandingan sepak bola, bukan langsung kartu merah.

Jika seorang pemain (pengusaha kena cukai) melakukan pelanggaran, wasit memberikan peringatan keras dan denda (kartu kuning) agar pemain tersebut bisa terus bermain dan pertandingan (roda ekonomi) tetap berjalan.

Namun, jika pemain tersebut melakukan pelanggaran fatal atau mengulangi kesalahannya berkali-kali, barulah wasit mengeluarkan kartu merah (pidana penjara) untuk mengusirnya dari lapangan demi menjaga integritas permainan.

Restatement Laporan Keuangan Perusahaan

Artikel ini akan mengungkap lima fakta paling mengejutkan tentang restatement di Indonesia yang menunjukkan betapa tingginya taruhan di balik sebuah kesalahan akuntansi.

Restatement Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Bagi perusahaan publik (emiten), melakukan restatement bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban hukum yang mutlak.

Ketika sebuah emiten menemukan adanya kesalahan material periode lalu dalam laporan keuangan yang telah diterbitkan, mereka wajib menyajikan kembali laporan tersebut sebagai pengakuan bahwa informasi sebelumnya tidak andal.

Konsekuensi dari kegagalan atau keterlambatan dalam proses ini sangat berat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara konsisten menjatuhkan sanksi finansial yang signifikan.

Sebagai bukti, pada tahun 2022 saja, OJK mengenakan denda sebesar Rp 34 miliar kepada 276 emiten karena berbagai masalah pelaporan, dengan keterlambatan menjadi salah satu pelanggaran utama.

Restatement sering kali menjadi pemicu denda ini. Kompleksitas proses audit ulang untuk memperbaiki data masa lalu (retrospective restatement) sangat memakan waktu, menyebabkan perusahaan sering kali melewati tenggat pelaporan dan secara langsung terkena denda keterlambatan dari OJK.

Ini menegaskan betapa seriusnya regulator menjaga integritas informasi demi melindungi investor.

Menghindari Restatement Demi Kepercayaan Publik

Fakta yang paling kontras dan mengejutkan datang dari sektor pemerintahan. Tidak seperti perusahaan publik yang diwajibkan melakukan restatement, pemerintah Indonesia justru secara sadar menghindarinya untuk laporan keuangan (LK) yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan disahkan oleh DPR.

Alasannya fundamental: menjaga kepercayaan publik.

Menurut Dr. Jan Hoesada dari Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), melakukan restatement pada laporan keuangan negara dapat memicu krisis kepercayaan yang luas.

Tak ada kewajiban saji-ulang (restatement) LK pemerintahan auditan yang telah masuk Berita Negara sebagai Keputusan DPR di NKRI, karena berdampak ketidakpercayaan publik kepada opini BPK, DPR dan Kabinet.

Ini adalah sebuah fakta yang counter-intuitive. Di satu sisi, transparansi pasar modal menuntut perbaikan masa lalu secara terbuka.

Di sisi lain, stabilitas negara menuntut agar fondasi kepercayaan terhadap lembaga-lembaga utamanya tidak digoyahkan oleh revisi dokumen yang telah disahkan secara hukum.

Perubahan Estimasi versus Koreksi Kesalahan

Tidak semua penyesuaian angka dalam laporan keuangan memicu restatement. Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 25) membuat pembedaan yang sangat jelas antara dua jenis perubahan, yang konsekuensinya bagai langit dan bumi.

Perubahan Estimasi Akuntansi

Ini adalah penyesuaian yang wajar dan sering terjadi. Ini timbul karena adanya informasi atau perkembangan baru, misalnya saat perusahaan merevisi perkiraan masa manfaat sebuah mesin.

Perubahan ini diterapkan secara prospektif (berlaku ke depan) dan tidak mengharuskan perusahaan menulis ulang laporan keuangan periode lalu.

Koreksi Kesalahan Material

Inilah pemicu utama restatement. Kesalahan ini terjadi karena kegagalan menggunakan informasi andal yang seharusnya sudah tersedia saat laporan keuangan periode lalu disusun.

Ini bisa berupa salah hitung, salah penerapan kebijakan, atau salah interpretasi fakta. Koreksi ini wajib diterapkan secara retrospektif (berlaku surut).

Pembedaan ini sangat krusial karena restatement akibat koreksi kesalahan membawa risiko reputasi, pengawasan regulator, dan sanksi yang jauh lebih berat.

Memperbaiki Masa Lalu Seolah-olah Kesalahan Tak Pernah Terjadi

Restatement bukan sekadar menambahkan catatan kaki pada laporan keuangan terbaru.

Proses ini, yang disebut penerapan retrospektif dalam PSAK 25, bekerja seperti mesin waktu akuntansi.

Perusahaan diwajibkan untuk kembali ke laporan keuangan periode sebelumnya yang disajikan sebagai data pembanding dan menulis ulang angka-angkanya seolah-olah kesalahan tersebut tidak pernah terjadi.

Prosesnya sangat mendalam. Jika kesalahan terjadi jauh di masa lalu, bahkan sebelum periode perbandingan yang disajikan, perusahaan harus menyesuaikan saldo awal ekuitas pada periode sajian paling awal untuk menangkap dampak kumulatif dari kesalahan tersebut.

Ini adalah upaya maksimal untuk memastikan data historis benar-benar dapat diperbandingkan dan andal bagi investor, meskipun prosesnya sangat rumit, memakan waktu, dan mahal.

Restatement Memicu Pengakuan Publik di Bawah Pengawasan Bursa

Dampak restatement jauh melampaui urusan akuntansi dan kepatuhan OJK.

Ini adalah peristiwa material yang secara otomatis memicu kewajiban keterbukaan informasi publik kepada Bursa Efek Indonesia (IDX) sesuai Peraturan I-E.

Restatement atau rumor mengenainya dapat memicu gejolak pasar yang tidak wajar atau Unusual Market Activity (UMA).

Ketika UMA terjadi, IDX dapat memaksa emiten untuk menyelenggarakan Public Expose Insidental (PEI), sebuah forum pertanggungjawaban publik.

Ini bukan teori, ini adalah praktik nyata. Contohnya adalah kasus PT Akbar Indo Makmur Stimec Tbk (AIMS), yang diwajibkan mengadakan PEI setelah IDX mengeluarkan peringatan UMA akibat lonjakan harga sahamnya yang signifikan.

PEI adalah sebuah “pengadilan korporat oleh api” di mana manajemenโ€”dalam kasus AIMS, Direktur dan Sekretaris Perusahaanโ€”harus berhadapan langsung dengan publik, analis pasar, dan media.

Di sini, mereka tidak bisa bersembunyi di balik angka, mereka harus memberikan pertanggungjawaban naratif atas volatilitas saham dan kinerja fundamental perusahaan.

Proses ini mengubah kesalahan akuntansi internal menjadi krisis kepercayaan publik yang harus dikelola di bawah pengawasan ketat regulator dan sorotan pasar.

Kerangka Konseptual Akuntansi Berlaku Surut

PSAK 25, yang mengatur Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan, membedakan secara kritis tiga jenis penyesuaian akuntansi, masing-masing dengan perlakuan yang berbeda:

Kebijakan Akuntansi dan Perubahannya

Kebijakan akuntansi adalah prinsip, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik tertentu yang diterapkan entitas dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.

Entitas hanya dapat mengubah kebijakan akuntansi jika perubahan tersebut:

  1. Dipersyaratkan oleh suatu PSAK (misalnya, penerapan PSAK 74 tentang Kontrak Asuransi mulai 1 Januari 2025).
  2. Menghasilkan laporan keuangan yang memberikan informasi yang andal dan lebih relevan tentang dampak transaksi, peristiwa, atau kondisi lainnya terhadap posisi keuangan, kinerja, atau arus kas entitas.

Jika perubahan kebijakan akuntansi diwajibkan oleh PSAK baru dan PSAK tersebut tidak mengatur ketentuan transisi, atau jika perubahan dilakukan secara sukarela, maka perubahan tersebut harus diterapkan secara retrospektif.

Koreksi Kesalahan Material Periode Lalu

Kesalahan periode lalu adalah pemicu utama restatement.

Kesalahan ini didefinisikan sebagai kelalaian atau kesalahan dalam mencantumkan/mencatat yang timbul dari kegagalan menggunakan, atau kesalahan penggunaan, informasi andal yang secara rasional diharapkan tersedia ketika penyusunan laporan keuangan periode tersebut.

Contoh kesalahan material meliputi:

  • Kesalahan perhitungan matematis (arithmetic mistakes).
  • Kesalahan penerapan kebijakan akuntansi (misalnya, terkait pengukuran investasi atau penurunan nilai rugi).
  • Kekeliruan atau kesalahan interpretasi fakta, dan kecurangan.

Koreksi kesalahan material periode sebelumnya harus dilakukan secara retrospektif pada laporan keuangan lengkap pertama yang diterbitkan setelah ditemukannya kesalahan tersebut.

Perubahan Estimasi Akuntansi

Perubahan estimasi akuntansi adalah penyesuaian jumlah tercatat aset atau liabilitas yang berasal dari penilaian status kini, dan ekspektasi manfaat masa depan dan kewajiban terkait aset dan liabilitas.

Perubahan estimasi dihasilkan dari informasi baru atau perkembangan baru, bukan dari koreksi kesalahan.

Dampak perubahan estimasi diakui secara prospektif (diterapkan ke periode berjalan dan periode mendatang), dan tidak memerlukan penyajian kembali LK periode sebelumnya.

Mekanisme Penerapan Retrospektif dan Keterbatasan

Penerapan retrospektif mensyaratkan entitas untuk menyesuaikan:

  1. Jumlah komparatif untuk periode sebelumnya yang disajikan.
  2. Saldo awal setiap komponen ekuitas yang terpengaruh (umumnya Saldo Laba) untuk periode sajian paling awal, seolah-olah kebijakan baru sudah diterapkan sejak awal.

Namun, PSAK mengakui bahwa penerapan retrospektif mungkin tidak praktis (impractical) jika:

  1. Dampaknya tidak dapat ditentukan.
  2. Memerlukan asumsi mengenai maksud manajemen yang ada pada periode lalu.
  3. Memerlukan estimasi signifikan dan tidak mungkin untuk membedakan secara obyektif informasi tentang keadaan yang ada pada tanggal pengakuan dengan informasi lain yang tersedia saat laporan keuangan diselesaikan.

Jika tidak praktis, entitas menerapkan kebijakan akuntansi baru secara retrospektif dari periode praktis paling awal, dan bagian penyesuaian kumulatif yang timbul sebelum tanggal tersebut diabaikan.

Contoh Kesalahan yang Memicu Restatement

Kesalahan material yang memerlukan restatement meliputi:

  1. Kesalahan perhitungan matematis (arithmetic mistakes).
  2. Kesalahan penerapan kebijakan akuntansi. Contoh kesalahan penerapan kebijakan akuntansi termasuk yang terkait dengan pengukuran nilai investasi atau penurunan nilai rugi.
  3. Kekeliruan atau kesalahan interpretasi fakta.
  4. Kecurangan (fraud).

Materialitas adalah kriteria kunci. Suatu kelalaian atau kesalahan dalam mencatat adalah material jika, baik secara sendiri maupun bersama, dapat memengaruhi keputusan ekonomi pengguna laporan keuangan.

Penentuan materialitas harus mempertimbangkan ukuran dan sifat dari pos yang terpengaruh.

Progres BEPS dan Pajak Global 2025

Mengintip Masa Depan Aturan Pajak Global

Di tengah era globalisasi, ekonomi digital, dan tren kerja jarak jauh (remote work), aturan pajak internasional yang ada seringkali terasa rumit dan ketinggalan zaman.

Banyak negara dan perusahaan berjuang untuk menavigasi lanskap yang terus berubah ini.

Menjawab tantangan tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) baru saja merilis laporan pentingnya, OECD Secretary-General Tax Report to G20, yang memberikan gambaran jelas tentang bagaimana dunia berupaya memodernisasi sistem perpajakan.

Perang Melawan Penghindaran Pajak Ternyata Berhasil (dan Skalanya Masif)

Selama bertahun-tahun, banyak pihak skeptis terhadap upaya global melawan penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.

Namun, laporan OECD menunjukkan bahwa Proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting)โ€”sebuah inisiatif untuk mencegah perusahaan mengalihkan keuntungan ke negara berpajak rendahโ€”telah mencapai keberhasilan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Data dari laporan tersebut menunjukkan tingkat kerja sama yang luar biasa:

  • Pertukaran Informasi Aturan Pajak (Tax Rulings): Hingga Desember 2024, lebih dari 58.000 pertukaran informasi mengenai tax rulings telah terjadi. Angka ini sangat signifikan, mengingat sebelumnya pertukaran semacam ini hampir tidak ada sama sekali.
  • Pembaruan Perjanjian Pajak: Sebuah instrumen multilateral (BEPS MLI) telah secara efektif memodifikasi lebih dari 1.500 perjanjian pajak bilateral untuk menutup celah-celah yang sering disalahgunakan.
  • Transparansi Perusahaan Multinasional: Lebih dari 120 negara anggota Inclusive Framework telah memberlakukan legislasi yang mewajibkan perusahaan besar untuk menyampaikan pelaporan per negara (Country-by-Country Reporting), memberikan otoritas pajak gambaran yang lebih jelas tentang operasi global mereka.

Pajak Minimum Global Menjadi Kenyataan

Salah satu pilar utama reformasi pajak global adalah penerapan Pajak Minimum Global, yang bertujuan memastikan perusahaan multinasional besar membayar tarif pajak minimum di setiap negara tempat mereka beroperasi.

Laporan ini mengonfirmasi bahwa inisiatif ini bergerak dengan kecepatan tinggi, dengan lebih dari 65 yurisdiksi telah menerapkan atau mengambil langkah konkret untuk mengimplementasikan aturan tersebut.

Namun, aspek yang paling mengejutkan datang dari Amerika Serikat. Ironisnya, AS, yang aturan pajak minimum domestiknya (GILTI) menjadi pendorong awal bagi ide pajak minimum global OECD, kini menyuarakan kekhawatiran.

Masalahnya adalah potensi “pajak dan kewajiban kepatuhan yang tidak perlu dan duplikatif” bagi perusahaannya yang harus mematuhi sistem domestik dan global secara bersamaan.

Laporan tersebut menyoroti bahwa diskusi teknis sedang berlangsung untuk menemukan solusi, seperti usulan “side-by-side arrangement” dari G7, yang menunjukkan bahwa implementasi reformasi sebesar ini di dunia nyata penuh dengan negosiasi rumit, bahkan di antara para penggagasnya.

Setelah Aset Kripto, Kini Gilirannya Properti Jadi Target Transparansi Pajak Berikutnya

Upaya transparansi pajak global terus bergerak maju. Setelah berhasil membangun sistem pertukaran informasi otomatis untuk rekening bank (melalui Common Reporting Standard) dan yang terbaru untuk aset kripto, OECD kini mengalihkan fokusnya ke sektor lain yang sering digunakan untuk menyembunyikan kekayaan: properti (real estate).

Laporan tersebut mengumumkan terobosan baru: pengenalan kerangka kerja internasional untuk pertukaran informasi otomatis yang diwujudkan dalam Multilateral Competent Authority Agreement on the Exchange of Readily Available Information on Immovable Property (IPI MCAA).

Kerangka kerja ini dirancang agar fleksibel dan dapat diakses oleh banyak negara.

Kerangka kerja ini menggunakan pendekatan modular: modul pertama berfokus pada kepemilikan dan akuisisi, sementara modul kedua meningkatkan transparansi atas pendapatan dari properti.

Langkah ini sangat penting karena bertujuan menutup salah satu celah terbesar yang tersisa dalam sistem pajak global. Yang lebih mengejutkan adalah desainnya yang praktis: karena pertukaran di bawah IPI MCAA bergantung pada informasi yang sudah tersedia bagi otoritas pajak, kerangka kerja ini tidak memerlukan pengenalan kewajiban pelaporan domestik yang baru.

Ini membuatnya lebih mudah dan hemat biaya untuk diadopsi secara luas.

Era Kerja Jarak Jauh (Remote Work) Memaksa Dunia Merombak Aturan Pajak

Fenomena bekerja dari mana saja atau lintas negara bukan lagi hal baru, terutama setelah pandemi.

Namun, aturan pajak yang mengaturnya sebagian besar masih berasal dari abad ke-20 dan tidak dirancang untuk dunia kerja yang fleksibel saat ini.

Laporan OECD mengonfirmasi bahwa para pembuat kebijakan global akhirnya mulai menangani masalah ini secara serius.

Inclusive Framework telah memulai pekerjaan baru yang berfokus pada “mobilitas global individu.”

Tujuannya, menurut laporan tersebut, adalah untuk “memastikan bahwa aturan pajak tidak menjadi penghalang bagi peluang yang dihadirkan oleh perubahan ini sambil juga menilai kemungkinan risiko terhadap basis pajak negara-negara.

Ini adalah pengakuan di tingkat global bahwa cara kita bekerja telah berubah secara fundamental, dan sistem pajak internasional harus segera beradaptasi dengan menangani isu-isu teknis yang kompleks seperti aplikasi perjanjian pajak dan pedoman transfer pricing untuk memberikan kepastian bagi pekerja dan negara.

Negara Berkembang Bukan Lagi Sekadar Penerima Aturan, Tapi Pemain Aktif

Ada asumsi umum bahwa inisiatif pajak global sebagian besar dirancang oleh dan untuk negara-negara kaya.

Namun, laporan OECD terbaru dengan tegas menyanggah narasi ini. Bukti nyatanya sangat kuat: sejak 2009, langkah-langkah transparansi pajak telah membantu negara-negara Afrika mengidentifikasi setidaknya EUR 4,2 miliar pendapatan tambahan.

Laporan ini menunjukkan bagaimana negara-negara berkembang kini menjadi pemain aktif dalam membentuk masa depan perpajakan global.

Beberapa contoh konkret dari laporan tersebut meliputi:

  • Program Tax Inspectors Without Borders (TIWB): Inisiatif “TIWB 2.0” diperkenalkan sebagai visi baru yang menempatkan “negara-negara berkembang memainkan peran sentral dalam membentuk dan berbagi keahlian,” mengubah dinamika dari sekadar penerima bantuan menjadi mitra setara.
  • Sektor Pertambangan: Adanya program BEPS in Mining yang secara spesifik membantu negara-negara berkembang mengatasi tantangan penghindaran pajak yang kompleks di sektor ekstraktif, yang merupakan sumber pendapatan vital bagi banyak dari mereka.
  • Akses Data: Laporan ini menyoroti bahwa “30 negara berkembang sekarang memiliki pelaporan CbC yang berfungsi penuh,” termasuk 19 negara di luar OECD dan G20. Ini memberikan mereka akses ke data penting untuk melakukan audit pajak terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah mereka.

Pemberdayaan ini adalah kunci untuk menciptakan sistem pajak global yang tidak hanya efektif, tetapi juga benar-benar inklusif dan adil bagi semua negara.

Apa Langkah Selanjutnya dalam Dunia Perpajakan Global?

Laporan OECD ini melukiskan gambaran dunia yang bergerak menuju sistem pajak yang lebih terkoordinasi, transparan, dan adaptif.

Tren utamanya jelas: peningkatan kerja sama global untuk melawan penghindaran pajak, adaptasi cepat terhadap digitalisasi dan mobilitas kerja, serta upaya tulus untuk menciptakan inklusivitas yang lebih besar bagi negara-negara berkembang.

Perubahan ini tidak lagi bersifat teoretis; mereka sedang terjadi sekarang dan akan memengaruhi cara bisnis beroperasi dan pemerintah memungut pendapatan.

Sumber tulisan:

Mengungkap Rahasia Tax Holiday Indonesia

Insentif fiskal merupakan salah satu instrumen penting yang digunakan pemerintah untuk mendukung sektor bisnis, meningkatkan kemudahan berusaha, serta memperkuat daya saing Indonesia secara global.

Pemerintah menyediakan berbagai menu insentif di bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk, dan lainnya.

Salah satu fasilitas PPh yang paling sering diberikan untuk menarik investasi adalah Tax Holiday.

Fasilitas Tax Holiday ini secara spesifik diatur untuk Industri Pionir melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.010/2020, yang kemudian diubah dengan PMK Nomor 69 Tahun 2024.

Pengaturan ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan membantu pengembangan usaha pada industri pionir.

Mengenal Industri Pionir dan Kriteria Kualifikasi

Tax Holiday ditujukan bagi Wajib Pajak (WP) badan yang melakukan penanaman modal baru pada Industri Pionir.

Industri Pionir didefinisikan sebagai industri yang memenuhi kriteria berikut: memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Industri yang termasuk dalam cakupan ini sangat beragam dan mencakup sektor-sektor strategis, di antaranya:

  • Industri logam dasar hulu (besi baja atau bukan besi baja).
  • Industri pemurnian atau pengilangan minyak dan gas bumi.
  • Industri kimia dasar organik (bersumber dari minyak bumi, gas alam, batubara, atau hasil pertanian/perkebunan/kehutanan).
  • Industri bahan baku utama farmasi.
  • Infrastruktur ekonomi.
  • Ekonomi digital (mencakup aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan terkait).
  • Industri pembuatan komponen utama (seperti peralatan elektronika/telematika, mesin pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor, kapal, atau kereta api).

Besar dan Jangka Waktu Pengurangan PPh Badan

Fasilitas Tax Holiday diberikan dalam bentuk pengurangan Pajak Penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Usaha Utama.

Nilai penanaman modal baru paling sedikit harus sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Besaran dan jangka waktu pengurangan PPh Badan dibagi berdasarkan nilai investasi:

Pengurangan PPh Badan Sebesar 100% (Seratus Persen)

  • Diberikan untuk penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
  • Jangka waktu pengurangan bervariasi dari 5 hingga 20 tahun pajak, bergantung pada besaran investasi:
    • Rp500 M hingga < Rp1 T: 5 tahun pajak.
    • Rp1 T hingga < Rp5 T: 7 tahun pajak.
    • Rp5 T hingga < Rp15 T: 10 tahun pajak.
    • Rp30 T atau lebih: 20 tahun pajak.

Pengurangan PPh Badan Sebesar 50% (Lima Puluh Persen)

  • Diberikan untuk penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp100.000.000.000,00 dan paling banyak kurang dari Rp500.000.000.000,00.
  • Jangka waktu pemberian adalah 5 (lima) tahun pajak.

Setelah jangka waktu utama tersebut berakhir, WP masih diberikan pengurangan PPh badan tambahan selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya.

Besaran pengurangan transisi ini adalah 50% dari PPh terutang untuk WP yang mendapatkan fasilitas 100% sebelumnya, atau 25% dari PPh terutang untuk WP yang mendapatkan fasilitas 50% sebelumnya.

Syarat Pengajuan dan Prosedur

Untuk memperoleh fasilitas ini, WP badan harus memenuhi beberapa kriteria:

  1. Merupakan Industri Pionir.
  2. Berstatus sebagai badan hukum Indonesia.
  3. Melakukan penanaman modal baru yang belum pernah menerima fasilitas PPh terkait lainnya (seperti Tax Allowance atau fasilitas di KEK/IKN).
  4. Mempunyai nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit Rp100.000.000.000,00.
  5. Memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal (DER).
  6. Berkomitmen untuk mulai merealisasikan rencana penanaman modal paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya keputusan pengurangan PPh badan.
  7. Dalam hal sahamnya dimiliki secara langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri (WPDN) lainnya, WPDN tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal (SKF) secara otomasi.

Pengajuan permohonan harus dilakukan secara daring melalui sistem Online Single Submission (OSS) dan harus disampaikan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial (SMBK).

Jalur Non-Industri Pionir

Sebuah miskonsepsi umum adalah bahwa tax holiday hanya berlaku bagi 18 sektor yang secara eksplisit terdaftar sebagai Industri Pionir, seperti industri logam dasar, ekonomi digital, atau industri kimia dasar.

Namun, peraturan menyediakan sebuah “jalur alternatif” yang sering terlewatkan.

Pasal 5 PMK 130/2020 membuka kemungkinan bagi perusahaan yang bidang usahanya tidak tercantum dalam daftar resmi untuk tetap mengajukan permohonan fasilitas tax holiday.

Syarat utamanya adalah perusahaan tersebut harus melakukan penilaian mandiri (self-assessment) dan terbukti memenuhi “Kriteria Kuantitatif Industri Pionir” dengan skor minimum 80.

Beberapa faktor yang dinilai dalam skoring tersebut antara lain:

  • Penyerapan tenaga kerja.
  • Penggunaan bahan baku lokal.
  • Lokasi investasi (proyek di luar Pulau Jawa mendapat skor lebih tinggi).
  • Pengenalan teknologi baru dan ramah lingkungan.

Kriteria kuantitatif ini dihitung berdasarkan empat pilar utama:

  • Memiliki Keterkaitan Luas: Misalnya, mengisi pohon industri, menggunakan bahan baku utama yang diproduksi di dalam negeri (minimal 70% untuk skor tertinggi), dan hasil produksi dipergunakan di dalam negeri (minimal 70% untuk skor tertinggi).
  • Memiliki Nilai Tambah atau Eksternalitas Tinggi: Diukur dari jumlah pekerja Indonesia yang dipekerjakan (paling sedikit 300 pekerja untuk skor tertinggi) dan lokasi investasi (lokasi di luar Pulau Jawa mendapat skor 100).
  • Memperkenalkan Teknologi Baru: Diukur dari penggunaan teknologi ramah lingkungan dan teknologi baru pada alat produksi utama dan pendukung.
  • Prioritas dalam Skala Industri Nasional.

Aturan Pajak Minimum Global Mengintai

Poin ini mungkin merupakan perubahan paling strategis dan berwawasan ke depan dari amandemen tahun 2024.

PMK 69/2024 menambahkan satu pasal baru yang sangat penting, yaitu Pasal 15A.

Secara sederhana, pasal ini menyatakan bahwa meskipun sebuah perusahaan mendapatkan fasilitas tax holiday 100%, ia mungkin tetap akan dikenai “Pajak Tambahan Minimum Domestik” (Domestic Minimum Top-up Tax).

Ketentuan ini berlaku secara spesifik untuk perusahaan yang merupakan bagian dari grup usaha multinasional yang masuk dalam cakupan aturan pajak minimum global (dikenal sebagai OECD Pillar Two).

Ini merupakan klausul penting (a critical caveat) yang mengubah kalkulasi bagi setiap korporasi multinasional.

Artinya, tarif pajak efektif mungkin tidak akan menjadi nol persen. Ini mengharuskan perusahaan multinasional melakukan analisis keuangan dua jalur: pertama, menghitung manfaat tax holiday murni berdasarkan hukum domestik, dan kedua, melapisi potensi kewajiban Pajak Tambahan Minimum di tingkat grup konsolidasi.

Kegagalan dalam memodelkan dampak ini dapat menyebabkan kesalahan signifikan dalam peramalan laba bersih dan arus kas.

Salindia Tax Holiday

Arah Baru Kementerian Keuangan dan Dampaknya Bagi Wajib Pajak

Laporan ini menyajikan analisis komparatif antara dua target fiskal utama yang mewarnai kebijakan ekonomi Indonesia pasca-2024: target ambisius rasio pajak (atau rasio penerimaan negara) sebesar 23% yang diusung oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan target yang lebih terukur dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Tahun 2025โ€“2029, yaitu di kisaran 11,52% hingga 15,00% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Renstra Kemenkeu berfokus pada reformasi struktural, digitalisasi, dan penguatan administrasi, sementara target 23% dianggap tidak realistis oleh banyak pengamat tanpa disertai pemulihan kepercayaan publik yang masif dan kebijakan yang dapat membalikkan tren penurunan penerimaan pajak yang terjadi belakangan.


1. Pendahuluan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025โ€“2029 adalah tahap awal penting menuju Visi Indonesia Emas 2045. Renstra Kemenkeu 2025โ€“2029 disusun sebagai panduan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional, dengan tujuan sentral mencapai pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan, dan mendukung perekonomian nasional.

Namun, perencanaan fiskal ini berhadapan dengan janji politik yang sangat ambisius dari pemerintahan baru Prabowo-Gibran, yaitu mendongkrak rasio perpajakan (atau rasio penerimaan negara) ke angka 23%. Perbandingan antara target resmi Kemenkeu dan ambisi politik ini krusial untuk memahami arah kebijakan fiskal jangka menengah negara.

Perbedaan Target Kuantitatif dan Historis

Target Rasio Perpajakan Kemenkeu (2025โ€“2029)

Renstra Kemenkeu menetapkan sasaran strategis yaitu pendapatan negara dari sektor pajak, kepabeanan, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang maksimal. Indikator kinerja utama terkait perpajakan adalah Rasio Penerimaan Perpajakan terhadap PDB, dengan target sebagai berikut:

TahunTarget Rasio Penerimaan Perpajakan terhadap PDB
202510,24% (baseline)
202911,52% โ€“ 15,00%

Target ini merupakan bagian dari upaya kebijakan fiskal yang diarahkan untuk mengakselerasi reformasi struktural dan meningkatkan pendapatan negara secara terukur (collecting more).

Target Rasio 23% (Kampanye Prabowo-Gibran)

Target 23% merupakan salah satu target fiskal paling ambisius dalam sejarah ekonomi Indonesia. Angka ini menuai skeptisisme karena mencapai target tersebut berarti menggandakan tingkat rasio perpajakan Indonesia saat ini.

Secara historis, rasio pajak Indonesia berada di kisaran 9%โ€“10% (pajak pusat) atau 10%โ€“11% (pajak pusat dan SDA).

Data tren rasio pajak sejak 2018 berkisar antara 8,33% hingga 10,39%. Bahkan pada tahun 2024, rasio pajak Indonesia tercatat menurun menjadi 10,08% dari 10,31% pada tahun 2023.

Perbedaan Definisi (Ruang Lingkup): Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, menjelaskan bahwa target 23% tersebut merujuk pada rasio penerimaan negara terhadap PDB, yang tidak hanya mencakup pajak, tetapi juga cukai, PNBP, dan penerimaan lainnya seperti hibah.

Namun, meskipun ruang lingkupnya diperluas (rasio pendapatan negara), target Renstra Kemenkeu untuk Rasio Pendapatan Negara terhadap PDB pada tahun 2029 hanya berkisar 12,86% โ€“ 18,00%.

Artinya, target 23% jauh melampaui bahkan target maksimal pendapatan negara dalam rencana resmi Kemenkeu.

Transformasi Kemenkeu vs. Terobosan Politik

Strategi yang digunakan untuk mencapai target ini menunjukkan perbedaan fundamental dalam pendekatannya: Kemenkeu memilih jalur reformasi terstruktur, sementara target 23% memerlukan terobosan kelembagaan dan perluasan basis yang drastis.

Strategi Kemenkeu (Renstra 2025โ€“2029)

Kemenkeu berfokus pada optimalisasi pendapatan negara (collecting more) melalui reformasi komprehensif:

  1. Digitalisasi dan Integrasi Sistem: Strategi ini mencakup pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (Core Tax Administration Systemโ€”Core Tax System), dan penguatan implementasi digitalisasi layanan penerimaan negara, termasuk integrasi basis data antarunit Kemenkeu dan antar-kementerian/lembaga melalui konsep Single Profile Wajib Bayar/Wajib Pajak/Pengguna Jasa.
  2. Peningkatan Pengawasan: Optimalisasi pengawasan dilakukan dengan memanfaatkan Big Data/Advanced Analytics dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) secara menyeluruh, yang dikenal sebagai Intelligence-Led Compliance. Ini juga didukung oleh penguatan sarana forensik digital dan peningkatan kepatuhan pajak high wealth individuals dan grup usahanya.
  3. Ekstensifikasi Basis Penerimaan: Kemenkeu terus menggali potensi sumber penerimaan baru, termasuk pajak karbon, pajak ekonomi digital, objek cukai baru (seperti produk minuman berpemanis, produk plastik, dan pangan olahan bernatrium), serta PNBP.
  4. Dukungan Regulasi: Di bidang perpajakan, Renstra mencantumkan urgensi penyelesaian RUU tentang Penilai untuk memberikan opini nilai ekonomi yang dapat membantu menentukan potensi fiskal Sumber Daya Alam (SDA) dan membentuk Neraca SDA.

Strategi Target 23%

Strategi yang diusulkan untuk mencapai 23% berpusat pada dua pilar utama:

  1. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN): Janji ini bertujuan untuk mendirikan badan di bawah Presiden yang bertanggung jawab meningkatkan rasio penerimaan hingga 23%.
  2. Perluasan Basis Pajak: Strategi utamanya adalah “memperluas kebun binatang” (memperbanyak dunia usaha), yang memerlukan penggalian potensi penerimaan baru yang selama ini tidak tergali, termasuk penegakan hukum atas kasus pajak yang sudah inkracht. Fokus juga diberikan pada sektor dengan potensi besar namun under-taxed, seperti ekonomi digital, tambang, dan properti mewah.

Tantangan dan Realisme Fiskal

Perbandingan kedua target ini menunjukkan perbedaan besar dalam hal realisme:

AspekRenstra Kemenkeu (11,52%โ€“15,00%)Target 23%
Rendah vs. RealistisTarget moderat, selaras dengan estimasi optimal tax ratio ADB (18%) dan RPJPN (18%โ€“20%).Dianggap tidak masuk akal dan mustahil dicapai dalam 5 tahun oleh pengamat dan cawapres lain.
Isu Kepercayaan PublikMeskipun Renstra tidak secara eksplisit membahas krisis kepercayaan, Kemenkeu berupaya meningkatkan efisiensi dan integritas layanan publik (misalnya, melalui penguatan sistem pengendalian internal terintegrasi dan audit berbasis teknologi).Menghadapi tantangan fundamental krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara (skandal KKN dan pelanggaran etik) yang menghambat kepatuhan sukarela.
Realisasi AwalDalam kondisi awal 2025, realisasi rasio pajak berada di posisi 8,42% pada paruh pertama 2025, jauh dari target akhir 2025 (10,24%). Kemenkeu memperkirakan shortfall pajak hingga Rp112,4 triliun pada akhir 2025.Kinerja fiskal yang melambat ini membuat target 23% terlihat semakin tidak realistis, kecuali terjadi lompatan kebijakan yang nyata.
Basis PajakReformasi administrasi diarahkan untuk mengintegrasikan data dan meningkatkan kepatuhan.Menghadapi fakta bahwa sebagian besar angkatan kerja (sekitar 91,16%) berpendapatan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), membuat perluasan basis sulit dilakukan secara signifikan melalui ekstensifikasi tradisional.
Risiko KebijakanPendekatan terukur didukung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang optimistis rasio pajak akan naik perlahan (target 11% di 2026) melalui efisiensi dan hidupnya sektor riil.Memaksakan target yang tidak realistis dikhawatirkan dapat mengganggu dunia usaha dan memaksa pemerintah mencari jalan pintas melalui pengurangan subsidi atau utang, yang berisiko bagi disiplin fiskal. Mantan Menkeu Sri Mulyani dilaporkan keberatan menyusun peta jalan untuk target 23% ini.

Evaluasi Kinerja 2020-2024

Selama periode 2020-2024, Kemenkeu telah mengimplementasikan berbagai kebijakan yang memberikan dampak signifikan bagi perekonomian dan dunia usaha, antara lain:

  • Pemberian Insentif Fiskal: Pemerintah aktif mendorong investasi dan kegiatan ekspor melalui berbagai fasilitas. Insentif diberikan untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui PMK No. 33/PMK.010/2021 dan untuk mendorong ekspor bagi Industri Kecil Menengah (IKM) melalui PMK No. 149/PMK.04/2022.
  • Fasilitasi Perdagangan Internasional: Upaya peningkatan ekspor diwujudkan melalui program Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Kebijakan ini berhasil meningkatkan partisipasi dunia usaha, yang tercermin dari jumlah perusahaan penerima fasilitas pada akhir periode 2024, yaitu sebanyak 190 perusahaan KITE pembebasan, 105 perusahaan KITE pengembalian, dan 126 perusahaan KITE IKM.
  • Reformasi Regulasi Perpajakan: Penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi tonggak penting dalam upaya menyederhanakan regulasi, dengan memperkenalkan perubahan signifikan seperti tarif PPN baru, program pengungkapan sukarela, dan penyesuaian skema PPh Orang Pribadi.
  • Digitalisasi dan Otomasi Layanan: Inovasi digital seperti CEISA (Sistem Informasi Kepabeanan dan Cukai) Barang Kiriman menunjukkan komitmen untuk modernisasi layanan, yang terbukti berhasil meraih predikat Top Inovasi Kelompok Keberlanjutan dalam Pemantauan Keberlanjutan dan Replikasi Inovasi Pelayanan Publik (PKRI) 2024.

Meskipun terdapat sejumlah pencapaian, evaluasi juga mengidentifikasi beberapa permasalahan dan kelemahan fundamental yang perlu menjadi fokus perbaikan:

  • Rendahnya Rasio Pajak: Tantangan utama yang konsisten adalah tax ratio yang belum optimal. Hal ini membatasi kapasitas pemerintah dalam membiayai program pembangunan dan meningkatkan ketergantungan pada utang.
  • Tingkat Kepatuhan yang Rendah: Masih rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dan Pengguna Jasa menjadi masalah krusial. Kondisi ini diperparah dengan adanya risiko penghindaran dan penggelapan pajak yang masih menjadi ancaman bagi penerimaan negara.
  • Pengawasan yang Belum Optimal: Terdapat risiko signifikan terkait peredaran Barang Kena Cukai (BKC) ilegal dan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan yang diberikan. Kapasitas pengawasan, baik dari sisi SDM maupun sarana prasarana, masih perlu ditingkatkan.
  • Kompleksitas Birokrasi dan Layanan: Diidentifikasi adanya beban administrasi yang tinggi dan otomasi layanan yang belum terintegrasi secara penuh (one-stop service). Hal ini menjadi kelemahan internal yang berdampak pada efisiensi layanan kepada publik.

Visi dan Tujuan Strategis Kemenkeu 2025-2029

Berlandaskan evaluasi kinerja dan tantangan masa depan, Kemenkeu menetapkan visi untuk periode 2025-2029: “Menjadi penggerak transformasi ekonomi nasional melalui pengelolaan keuangan negara serta sektor keuangan yang proaktif, adaptif, dan tepercaya dalam rangka mewujudkan Bersama Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”.

Visi ini dijabarkan ke dalam lima tujuan strategis yang komprehensif, mencakup seluruh aspek pengelolaan keuangan negara.

Kelima tujuan strategis Kemenkeu tersebut adalah:

  1. Kebijakan fiskal, sektor keuangan dan ekonomi yang proaktif, adaptif dan mampu menggerakkan transformasi ekonomi.
  2. Pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan dan mendukung perekonomian nasional.
  3. Pengeluaran negara yang berkualitas dan memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat.
  4. Perbendaharaan, kekayaan negara, serta pembiayaan dan risiko yang akuntabel, inovatif, dan mendorong tata kelola pembangunan yang baik.
  5. Pengelolaan sumber daya organisasi dan teknologi informasi dalam kerangka budaya Kemenkeu Satu yang mendorong akselerasi transformasi birokrasi nasional.

Bagi Wajib Pajak dan pelaku usaha, Tujuan 2 dan Tujuan 5 memiliki relevansi paling langsung.

Tujuan 2 secara langsung memengaruhi kewajiban perpajakan dan kepabeanan, karena menjadi landasan bagi kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan.

Sementara itu, Tujuan 5 akan menentukan kualitas, kecepatan, dan efisiensi layanan yang diterima oleh pengguna jasa, seiring dengan komitmen Kemenkeu untuk melakukan transformasi birokrasi dan digitalisasi.

Untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan tersebut, Kemenkeu telah menetapkan Sasaran Strategis beserta Indikator Kinerja Utama (IKU) yang relevan.

Sasaran Strategis UtamaIndikator Kinerja Utama (Target 2029)
Pendapatan negara dari sektor pajak, kepabeanan dan cukai, serta PNBP yang maksimalRasio penerimaan perpajakan terhadap PDB: 15%, dan rasio PNBP terhadap PDB: 2,99%
Birokrasi terintegrasi yang melayani, transformatif, efisien, dan berintegritasIndeks Kepuasan Pengguna Layanan: 4,24 (skala 5)

Untuk mewujudkan visi penerimaan negara yang maksimal ini, Kemenkeu tidak hanya menetapkan target, tetapi juga telah memetakan tiga pilar strategi utama di bidang perpajakan yang akan menjadi ujung tombak reformasi.

Kebijakan dan Strategi Perpajakan 2025-2029

Untuk mencapai target penerimaan negara yang ambisius, Kemenkeu telah merumuskan serangkaian kebijakan dan strategi yang berfokus pada tiga pilar utama: transformasi administrasi, perluasan basis pajak, dan penguatan pengawasan berbasis data dan teknologi.

Transformasi Regulasi dan Proses Bisnis

Strategi ini berfokus pada penyempurnaan kerangka regulasi dan tata kelola untuk menciptakan sistem yang lebih sederhana, efisien, dan berkepastian hukum. Langkah-langkah utamanya meliputi:

  • Penyederhanaan Administrasi: Mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak melalui simplifikasi peraturan dan prosedur.
  • Perbaikan Proses Sengketa: Memperbaiki proses bisnis keberatan dan banding perpajakan untuk memberikan penyelesaian yang lebih cepat dan adil.
  • Digitalisasi Terintegrasi: Memperkuat interoperabilitas layanan penerimaan negara antar unit eselon I dan dengan instansi lain (ILAP) untuk menciptakan ekosistem layanan yang terpadu.

Intensifikasi dan Ekstensifikasi Penerimaan

Pilar ini bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan dari sumber yang ada (intensifikasi) sekaligus menggali potensi dari sumber-sumber baru (ekstensifikasi).

Rencana utamanya mencakup:

  • Optimalisasi Pemanfaatan Data: Menggali potensi penerimaan dengan memanfaatkan data intelijen, data pihak ketiga, dan data dari instansi lain secara lebih masif dan sistematis.
  • Ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC): Melakukan kajian mendalam untuk memperluas objek cukai pada barang-barang seperti diapers, alat makan dan minum sekali pakai, serta tisu basah.
  • Perluasan Basis Pajak: Sebagai respons terhadap tantangan perubahan iklim global dan pesatnya ekonomi digital, Kemenkeu akan mengimplementasikan dan mengoptimalkan kebijakan baru seperti pajak karbon dan pajak atas kegiatan ekonomi digital.

Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum

Untuk memastikan kepatuhan dan menekan risiko kebocoran, Kemenkeu akan memperkuat fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara signifikan. Strategi ini akan berfokus pada:

  • Pemanfaatan Teknologi Canggih: Mengimplementasikan Big Data/Advanced Analytics dan kecerdasan buatan (Intelligence-Led Compliance) untuk melakukan pengawasan berbasis risiko yang lebih akurat dan proaktif.
  • Peningkatan Kapasitas Pengawasan: Memperkuat sarana dan prasarana untuk kegiatan audit/pemeriksaan serta pengawasan di lapangan.
  • Optimalisasi Penagihan Piutang Pajak: Meningkatkan efektivitas penagihan piutang negara, salah satunya melalui implementasi sistem pemblokiran secara otomatis (Automatic Blocking) terhadap Wajib Pajak yang memiliki tunggakan. Implikasinya, Wajib Pajak tidak bisa lagi menunda penyelesaian tunggakan pajak tanpa konsekuensi langsung terhadap operasional perbankan mereka. Ini menuntut disiplin arus kas yang lebih ketat.

Kebijakan dan Strategi Kepabeanan dan Cukai 2025-2029

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memegang peran ganda yang krusial: sebagai fasilitator perdagangan (trade facilitator) untuk mendukung daya saing industri nasional dan sebagai pelindung perbatasan (border protection) untuk menjaga keamanan negara dan mengamankan penerimaan.

Strategi 2025-2029 dirancang untuk menyeimbangkan kedua peran ini secara simultan: modernisasi pengawasan (border protection) akan digunakan untuk menekan penyelundupan yang merusak iklim usaha, sementara simplifikasi proses bagi pelaku usaha patuh (trade facilitation) akan menjadi imbalan atas kepatuhan yang tinggi.

Fasilitasi Perdagangan dan Peningkatan Daya Saing

DJBC akan terus memperkuat perannya dalam mendukung industri dan kelancaran arus logistik. Upaya ini mencakup:

  • Pemberian insentif fiskal dan prosedural untuk mendorong ekspor UMKM.
  • Simplifikasi dan percepatan proses ekspor-impor melalui perbaikan tata kelola logistik yang lebih efisien.
  • Optimalisasi layanan berbasis risiko untuk mempercepat arus barang bagi perusahaan dengan tingkat kepatuhan tinggi.

Optimalisasi Penerimaan dan Pengawasan Cukai

Strategi di bidang cukai berfokus pada dua aspek utama: optimalisasi penerimaan dan penekanan peredaran barang ilegal.

  • Optimalisasi Penerimaan: Mengamankan penerimaan dari BKC yang sudah ada, seperti hasil tembakau, sambil terus mengkaji potensi perluasan objek cukai baru yang relevan dengan tujuan pengendalian konsumsi.
  • Pengawasan Ketat: Meningkatkan efektivitas pengawasan untuk menekan peredaran BKC ilegal yang merugikan negara dan menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.

Modernisasi Pengawasan dan Keamanan Perbatasan

Untuk menjawab tantangan pengawasan yang semakin kompleks, DJBC akan melakukan modernisasi sarana dan prasarana secara signifikan, terutama di sektor pengawasan laut. Rencana ini meliputi:

  • Modernisasi persenjataan untuk unit patroli.
  • Pengadaan kapal patroli modern seperti interceptor boat untuk meningkatkan jangkauan dan kecepatan respons.
  • Pemanfaatan teknologi canggih seperti Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk meningkatkan efektivitas pengawasan maritim.

Rangkaian kebijakan dan strategi yang komprehensif ini, baik di bidang perpajakan maupun kepabeanan dan cukai, akan membawa sejumlah implikasi langsung yang perlu dipahami dan diantisipasi oleh Wajib Pajak dan para pelaku usaha.

Implikasi Langsung bagi Wajib Pajak dan Pelaku Usaha

Rencana strategis Kemenkeu 2025-2029 bukan sekadar dokumen internal pemerintah, melainkan sebuah peta jalan yang akan membentuk lanskap kewajiban dan interaksi Wajib Pajak dengan otoritas fiskal.

Pelaku usaha perlu memahami implikasi praktis dari rencana ini, yang mencakup tantangan baru sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan.

  1. Potensi Peningkatan Beban Kepatuhan dan Pemeriksaan. Strategi intensifikasi, ekstensifikasi, dan penguatan pengawasan yang berbasis pemanfaatan data pihak ketiga dan advanced analytics secara langsung akan meningkatkan kemungkinan Wajib Pajak untuk diperiksa. Otoritas akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendeteksi anomali dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu, pelaku usaha harus segera melakukan evaluasi internal (tax health check) untuk memitigasi risiko temuan pemeriksaan di masa depan.
  2. Peluang dari Insentif Fiskal dan Kemudahan Berusaha. Di sisi lain, rencana ini juga membuka peluang. Komitmen untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi akan terus berlanjut. Pelaku usaha, khususnya di sektor ekspor dan UMKM, disarankan untuk proaktif mengkaji kelayakan mereka untuk mendapatkan fasilitas KITE atau insentif KEK sebagai strategi untuk meningkatkan daya saing. Simplifikasi proses bisnis di kepabeanan juga dapat mengurangi biaya logistik dan mempercepat arus barang.
  3. Peningkatan Kualitas dan Efisiensi Layanan. Komitmen kuat pada transformasi birokrasi dan digitalisasi layanan menjadi angin segar bagi Wajib Pajak. Upaya menuju interoperabilitas sistem, layanan berbasis digital, dan penyederhanaan prosedur akan menghasilkan interaksi yang lebih cepat, efisien, dan transparan. Visi layanan yang terintegrasi (one-stop service) diharapkan dapat mengurangi beban administrasi dan waktu yang dihabiskan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya.

Kesimpulan: Menuju Rasio Penerimaan Perpajakan yang Lebih Tinggi

Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029 merupakan sebuah langkah terintegrasi dan ambisius untuk menjawab tantangan fundamental perekonomian Indonesia.

Keberhasilan implementasi rencana ini menjadi kunci untuk mengatasi masalah struktural “rendahnya tax ratio” yang selama ini menjadi kendala.

Melalui berbagai inisiatif tersebut, Kemenkeu menargetkan Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB dapat mencapai rentang 10,24% hingga 15% pada tahun 2029.

Target rasio pajak sampai dengan 2029 sebagai berikut: tahun 10,24% (tahun 2025), 11,34% (tahun 2026), 12,41% (tahun 2027), 13,67% (tahun 2028), dan 15% (tahun 2029).

Rasio pajak 15% seharusnya terlalu mudah dibandingkan dengan target pemerintahan Prabowo Gibran yaitu 23%.

Dengan pertumbuhan ekonomi 8% yang ditugaskan kepada Menteri Keuangan Purbaya, menurut saya target rasio pajak 15% akan tercapai sebelum 2029.

Aturan Baru Laporan Keuangan PP 43/2025

Ini adalah restrukturisasi fundamental tata kelola keuangan di Indonesia.

Bagi banyak perusahaan, penyusunan laporan keuangan sering kali dianggap sebagai tugas internal yang rutin, sebuah kewajiban akuntansi untuk menutup buku di akhir periode.

Namun, persepsi ini akan segera berubah secara fundamental. Sebuah peraturan pemerintah baru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025, telah mengubah pelaporan keuangan dari sekadar fungsi teknis menjadi aktivitas yang diatur secara hukum dengan implikasi yang jauh lebih luas dari yang disadari banyak orang.

PP Nomor 43 Tahun 2025 lebih dari sekadar peraturan; ini adalah restrukturisasi fundamental tata kelola keuangan di Indonesia.

Penyusun Laporan Keuangan Wajib Profesional Bersertifikat

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025, menyusun laporan keuangan bukan lagi hanya soal keahlian teknis, melainkan sebuah tanggung jawab profesional yang diamanatkan oleh hukum.

Ini adalah langkah fundamental pemerintah untuk melembagakan akuntabilitas pada tingkat individu.

Menurut Pasal 5, penyusun laporan keuangan wajib memiliki kompetensi dan integritas.

Penjelasan Pasal 5 Ayat (3) PP Nomor 43 Tahun 2025 merinci lebih lanjut bahwa kompetensi tersebut harus dapat dibuktikan secara formal, antara lain :

  • ijazah pendidikan formal,
  • sertifikat keahlian/profesional di bidang akuntansi, atau
  • piagam akuntan ber-register.

Regulasi terkait dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 2025 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank, serta kebijakan dari Kementerian BUMN, bahkan melangkah lebih jauh dengan secara spesifik mewajibkan sertifikasi Chartered Accountant (CA) untuk peran-peran kunci.

Langkah ini secara efektif mengakhiri era di mana kompetensi akuntansi dapat diasumsikan, dan menggantinya dengan kewajiban pembuktian formal yang diakui oleh negara.

Bukan Hanya untuk Bank Besar

Salah satu aspek paling mengejutkan dari PP 43/2025 adalah cakupannya yang sangat luas.

Akuntabilitas ini tidak terbatas pada beberapa pemain kunci; pendekatan pemerintah menunjukkan niat untuk melembagakan kepercayaan di seluruh ekosistem ekonomi.

Regulasi ini menjangkau hampir seluruh spektrum entitas yang berinteraksi dengan sektor keuangan.

Berikut adalah entitas yang kini tercakup dalam kewajiban pelaporan keuangan berbasis kompetensi ini:

  • Pelaku Usaha Sektor Keuangan (PUSK): Termasuk bank, perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, fintech, dan perusahaan pergadaian.
  • Lembaga Pengelola Dana Publik: Seperti BPJS dan dana pensiun.
  • Entitas Non-Keuangan: Siapa pun yang berinteraksi dengan sektor keuangan, seperti perusahaan publik (emiten), debitur perbankan atau lembaga pembiayaan, dan pelaku sistem pembayaran.

Pendekatan menyeluruh ini dirancang untuk memperkuat seluruh ekosistem keuangan nasional, memastikan bahwa setiap mata rantai dalam sistem memiliki fondasi pelaporan yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.

Penetapan Standar Beralih ke Komite Independen di Bawah Presiden

Sebagai puncak dari strategi institusionalisasi ini, PP 43/2025 memperkenalkan perubahan struktural paling signifikan: pembentukan sebuah badan baru yang independen, yaitu Komite Standar Laporan Keuangan.

Komite ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden, menandai pergeseran besar dari model sebelumnya.

Meskipun Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang selama ini ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akan tetap berlaku selama masa transisi sesuai amanat Pasal 47 PP 43/2025, penetapan standar akuntansi nasional kini berada di bawah naungan badan yang disahkan oleh negara.

Langkah menuju standard setter yang independen ini bukan sekadar formalitas. Berdasarkan Pasal 11 (3) PP 43/2025, tujuan pembentukan komite ini sangat strategis:

  1. memastikan proses penetapan standar terselenggara secara independen dan akuntabel,
  2. mendukung terciptanya iklim investasi yang kondusif dan menarik, serta
  3. menyelaraskan berbagai kepentingan pemangku kebijakan dengan kepentingan nasional.

Akuntan sebagai Garda Depan Kepercayaan Ekonomi

Di balik semua pasal dan ketentuan teknis, tujuan utama dari PP 43/2025 adalah untuk mengangkat peran profesi akuntan dalam membangun fondasi kepercayaan dan transparansi ekonomi nasional.

Regulasi ini bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi tentang pengakuan peran sentral akuntan dalam menjaga integritas sistem keuangan.

Kompetensi akuntansi kini menjadi prasyarat hukum sekaligus moral dalam menjaga integritas sistem keuangan nasional.

Dengan penguatan peran Chartered Accountant, Indonesia menempatkan profesi akuntan sebagai garda depan dalam membangun kepercayaan publik dan transparansi ekonomi.

PP 43 Tahun 2025

Apa yang dimaksud Beneficial Owner?

Siapa Pemilik Sebenarnya?

Saat Anda membeli saham sebuah perusahaan, siapa pemilik saham tersebut? Jawabannya tentu “saya”, bukan? Secara sederhana, saya ada Beneficial Owner.

Namun, bagaimana jika nama Anda sebenarnya tidak tercantum dalam sertifikat saham itu?

Di dunia keuangan dan bisnis modern, konsep kepemilikan jauh lebih kompleks daripada yang terlihat. Nama yang tertera di atas dokumen hukum tidak selalu menceritakan kisah lengkap.

Di sinilah istilah kunci “Beneficial Owner” atau “pemilik manfaat sebenarnya” berperan.

Sebuah konsep yang membongkar siapa yang sesungguhnya memegang kendali dan menikmati keuntungan dari suatu aset.

Anda Bisa Punya Aset Tanpa Memilikinya Secara Hukum

Secara mendasar, kepemilikan terbagi menjadi dua: Legal Owner (pemilik hukum) dan Beneficial Owner (pemilik manfaat sebenarnya).

Pemilik hukum adalah nama yang secara resmi tercatat dalam dokumen legal, seperti sertifikat saham atau akta properti.

Sebaliknya, pemilik manfaat adalah pihak yang benar-benar menikmati keuntungan dari aset tersebutโ€”seperti menerima dividen, keuntungan penjualan, atau hak suaraโ€”meskipun namanya tidak tercatat secara resmi.

Analogi yang paling umum adalah saat Anda membeli saham melalui pialang (broker).

Saham tersebut sering kali didaftarkan atas nama pialang atau kustodian dalam sebuah praktik yang disebut “street name”.

Secara hukum, pialang adalah legal owner. Namun, Anda, sebagai investor, adalah beneficial owner.

Anda berhak penuh atas dividen yang dibayarkan dan keuntungan apa pun saat saham itu dijual.

Praktik ini dilakukan demi kemudahan dan keamanan transaksi.

Ini adalah paradoks inti di dunia keuangan modern: demi efisiensi, sistem justru memisahkan kepemilikan legal dari kepemilikan manfaat, sebuah kerumitan yang menjadi dasar bagi skema keuangan yang jauh lebih kompleks.

Menjadi Alat Utama Melawan “Treaty Shopping” Skala Internasional

Banyak negara memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty untuk mencegah warganya dikenai pajak dua kali atas penghasilan yang sama dan untuk mendorong investasi lintas batas.

Perjanjian ini sering kali menawarkan tarif pajak yang lebih rendah. Namun, fasilitas ini kerap disalahgunakan melalui praktik yang disebut “treaty shopping“.

Ini adalah skema di mana pihak yang tidak berhak mendirikan entitas perantara (conduit company atau perusahaan cangkang) di negara dengan P3B menguntungkan, hanya demi tarif pajak rendah.

Mari kita lihat contoh nyata dari praktik ini:

  • Sebuah perusahaan di Swiss (PT B) memiliki lisensi merek sabun. Berdasarkan P3B Indonesia-Swiss, tarif pajak royalti seharusnya 12.5%.

  • Untuk menghindari tarif ini, pemilik merek di Swiss tersebut menggunakan perusahaan cangkang di Uni Emirat Arab (PT C), yang P3B-nya dengan Indonesia memiliki tarif royalti jauh lebih rendah, yaitu 5%.

  • Perusahaan di Indonesia (PT D) kemudian membayar royalti ke perusahaan cangkang di UEA (PT C), bukan langsung ke pemilik merek di Swiss (PT B), sehingga hanya membayar pajak 5%.

Di sinilah letak kerumitannya: perusahaan cangkang di UEA (PT C) sengaja diposisikan sebagai legal owner penerima royalti untuk menyembunyikan beneficial owner sebenarnya, yaitu pemilik merek di Swiss (PT B), dan mengeksploitasi celah tarif P3B.

Konsekuensinya sangat besar, karena konsep beneficial owner menjadi “senjata” utama bagi otoritas pajak untuk menembus selubung hukum ini dan memastikan hanya pihak yang benar-benar berhak yang menikmati manfaat perjanjian.

Fakta Paling Kontraintuitif โ€” ‘Beneficial Owner’ Bisa Jadi Perusahaan Kosong

Intuisi kita mengatakan bahwa perusahaan ‘nyata’ memiliki kantor, karyawan, dan aset.

Namun, dalam hukum pajak internasional, semua substansi fisik itu bisa jadi tidak relevan.

Ini mungkin fakta yang paling mengejutkan: sebuah perusahaan tidak harus memiliki “substansi” yang signifikan untuk dianggap sebagai beneficial owner.

Sebuah holding company yang hanya memiliki beberapa dokumen di lemari arsip bisa jadi pemilik manfaat yang sah.

Apa artinya ini secara praktis? Penentu utamanya bukanlah aset fisik, melainkan hak dan kewajiban atas pendapatan yang diterima.

Faktor kuncinya adalah: apakah perusahaan tersebut memiliki hak penuh untuk menggunakan dan menikmati pendapatan tersebut, atau apakah ia terikat oleh kewajiban hukum atau kontrak untuk meneruskan pendapatan itu kepada pihak lain?

Seperti yang dijelaskan dalam Commentary OECD Model Tax Convention:

…sebuah perusahaan perantara (conduit company) pada umumnya tidak dapat dianggap sebagai pemilik manfaat jika, meskipun ia adalah pemilik formal, secara praktis ia memiliki kekuasaan yang sangat terbatas yang membuatnya, dalam kaitannya dengan pendapatan yang bersangkutan, hanya menjadi seorang fidusia atau administrator yang bertindak atas nama pihak-pihak yang berkepentingan.

Ini berarti selama sebuah perusahaan tidak bertindak sebagai perantara yang hanya “melewatkan” uang, ia dapat dianggap sebagai pemilik manfaat sejati, terlepas dari seberapa minim substansi fisiknya.

Fakta ini menegaskan bahwa dalam permainan pajak global, yang terpenting bukanlah seberapa besar perusahaan itu terlihat, tetapi di mana aliran uangnya berhenti.

Begini Cara Otoritas Pajak Mengungkap Siapa Pemilik Sebenarnya

Untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan identitas beneficial owner, otoritas pajak seperti Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia tidak lagi hanya bergantung pada definisi abstrak.

Mereka menggunakan daftar periksa konkret untuk menilai substansi ekonomi di balik bentuk hukum sebuah entitas.

Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Dirjen Pajak (PER-10/PJ/2017), sebuah Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) berbentuk Badan dapat dianggap sebagai beneficial owner jika memenuhi kriteria berikut:

  1. Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan.
  2. Tidak lebih dari 50% penghasilannya digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain.
  3. Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki.
  4. Tidak mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak) untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.

Daftar ini bukan sekadar birokrasi; ini adalah cerminan ‘adu pintar’ antara perencana pajak yang ahli dalam menciptakan bentuk hukum yang rumit, dan otoritas pajak yang harus terus menggali substansi ekonomi sebenarnya untuk mengungkap siapa yang sesungguhnya memegang kendali.

Pertanyaan Kunci Bukan Lagi ‘Siapa Namanya?’, Tapi ‘Di Mana Uangnya Berhenti?’

Pada akhirnya, konsep beneficial owner memaksa kita untuk mengabaikan nama-nama di atas akta dan mengikuti jejak uang.

Pertanyaan kunci dalam investasi, perpajakan, dan transparansi korporat bukan lagi ‘Siapa nama pemiliknya?’, melainkan ‘Di tangan siapa aliran dana itu benar-benar berhenti dan bisa dinikmati dengan bebas?’

Dengan semakin kompleksnya struktur keuangan global, seberapa yakin kita bisa mengetahui siapa pemilik manfaat sebenarnya di balik perusahaan-perusahaan besar yang produknya kita gunakan setiap hari?

Peraturan Dirjen Pajak No PER-10/PJ/2017

Pajak Penghasilan Pasal 22: Ketentuan Pungutan dan Pengecualian

Kementerian Keuangan telah menerbitkan kebijakan baru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025, yang berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025.

Meskipun regulasi perpajakan seringkali terdengar kompleks, peraturan ini memuat sejumlah detail menarik yang membawa implikasi signifikan bagi berbagai transaksi bisnis, mulai dari impor barang mewah hingga pembelian hasil pertanian.

Bagi pelaku usaha maupun pengamat kebijakan, memahami nuansa dalam aturan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ini esensial untuk navigasi lanskap ekonomi ke depan.

Mari kita bedah lima temuan paling penting dari peraturan ini.

Emas Dapat Perlakuan Khusus, Tarif Pajaknya Sangat Rendah

Salah satu aspek yang paling menarik dari PMK 51/2025 adalah perlakuan pajak yang sangat istimewa bagi emas batangan.

Tarif PPh Pasal 22 untuk impor emas batangan ditetapkan hanya sebesar 0,25% dari nilai impor, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 butir d) PMK 51/2025.

Perlakuan khusus ini juga berlaku untuk transaksi domestik. Tarif yang sama rendahnya, yaitu 0,25%, dikenakan atas pembelian emas batangan di dalam negeri yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bulion (Pasal 3 ayat (1) huruf h) PMK 51/2025.

Signifikansi dari ketentuan ini terletak pada kontrasnya dengan citra emas sebagai barang mewah.

Kebijakan ini tampaknya merupakan langkah strategis untuk mendorong terciptanya ekosistem industri bulion yang formal, transparan, dan kompetitif di Indonesia.

Dengan tarif yang rendah, pemerintah berupaya menarik transaksi emas batangan ke dalam sistem yang teregulasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan basis data perpajakan dan pengawasan sektor ini.

BUMN Ditunjuk Jadi Pemungut Pajak

Konsep pemungutan PPh Pasal 22 dalam peraturan ini meluas jauh di luar lingkup instansi pemerintah. Kebijakan ini secara eksplisit menunjuk berbagai badan usaha, baik BUMN maupun swasta, untuk bertindak sebagai pemungut pajak.

Banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak usahanya yang dimiliki secara langsung ditunjuk sebagai pemungut pajak atas pembelian barang untuk kegiatan usahanya.

Beberapa nama dalam daftar di Pasal 2 ayat (1) huruf c angka 3 PMK 51/2025 yang mungkin tidak terduga meliputi:

โ€ข PT Telekomunikasi Selular

โ€ข PT Kimia Farma Apotek

โ€ข PT Bank Syariah Indonesia Tbk

Lebih lanjut, badan usaha di industri-industri vital juga diwajibkan memungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya kepada distributor. Industri-industri yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d PMK 51/2025 adalah:

โ€ข Industri semen

โ€ข Industri kertas

โ€ข Industri baja

โ€ข Industri otomotif

โ€ข Industri farmasi

Penunjukan BUMN dan perusahaan industri besar sebagai pemungut pajak ini adalah wujud dari strategi ekstensifikasi pajak yang efisien.

Pemerintah memanfaatkan jangkauan dan volume transaksi masif dari entitas-entitas ini untuk mengotomatisasi pengumpulan pajak, mengurangi beban administrasi pada negara, dan memastikan kepatuhan di titik-titik vital dalam rantai pasok industri.

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22 Atas Transaksi di Bawah Nilai Tertentu

Dari perspektif praktis bagi pelaku usaha, penting untuk dicatat bahwa tidak semua transaksi pembelian dikenakan PPh Pasal 22.

Aturan baru ini menetapkan ambang batas nilai transaksi (threshold) yang dikecualikan dari pemungutan, dengan nilai yang bervariasi tergantung pada pihak pemungutnya.

Secara spesifik, Pasal 4 ayat (1) huruf e PMK 51/2025 menetapkan batas nilai transaksi yang dikecualikan sebagai berikut:

Instansi Pemerintah: Pembelian barang dengan nilai paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah dari transaksi yang nilainya lebih besar.

BUMN dan Badan Usaha Tertentu: Pembelian barang dengan nilai paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk PPN, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah dari transaksi yang nilainya lebih besar.

Industri/Eksportir Pembeli Hasil Alam: Pembelian hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk PPN dalam satu Masa Pajak, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah.

Pasal 4 ayat (1) huruf e angka 1 butir b PMK 51/2025 mengatur pembayaran atas pembelian barang oleh Instansi Pemerintah yang menggunakan kartu kredit pemerintah juga dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22, tanpa terikat pada ambang batas nilai transaksi.

Dari Parfum Hingga Kopi, Tarif Pajak Impor Anda Sangat Bervariasi

Tarif PPh Pasal 22 untuk kegiatan impor sangat beragam, mencerminkan prioritas kebijakan pemerintah terhadap jenis barang yang masuk ke Indonesia. Struktur tarif ini diatur secara rinci dalam lampiran peraturan.

Tarif tertinggi sebesar 10% dikenakan pada barang-barang yang sering dianggap mewah. Beberapa contoh dari Lampiran A peraturan ini meliputi:

โ€ข Parfum dan kosmetik (HS Code 3303, 3304)

โ€ข Tas tangan dari kulit (HS Code 4202.21.00)

โ€ข Mobil dan kendaraan bermotor tertentu (HS Code 87.03)

โ€ข Yacht dan kendaraan air untuk pesiar (HS Code 89.03)

Sebagai kontras, tarif 7,5% dikenakan pada banyak produk konsumsi yang lebih umum. Contohnya, berdasarkan Lampiran B, meliputi:

โ€ข Kopi gongseng (HS Code 0901.21)

โ€ข Teh (HS Code 0902.30)

โ€ข Pasta dan mie (HS Code 19.02)

โ€ข Saus dan kecap (HS Code 21.03)

Sementara itu, tarif terendah sebesar 0,5% diterapkan untuk impor komoditas pangan pokok seperti kedelai, gandum, dan tepung terigu (Lampiran C).

Struktur tarif ini jelas merupakan cerminan dari kebijakan fiskal diferensial. Pemerintah secara aktif menggunakan PPh Pasal 22 impor sebagai instrumen untuk mengendalikan defisit neraca perdagangan dengan mengenakan tarif tinggi pada barang konsumsi tersier dan mewah, sekaligus melindungi ketahanan pangan dengan memberikan tarif minimal pada komoditas pokok.

Ini adalah upaya menyeimbangkan antara penerimaan negara dan stabilitas ekonomi makro.

Secara keseluruhan, PMK 51 Tahun 2025 merefleksikan pergeseran dalam pendekatan pemungutan PPh Pasal 22, dari aturan yang bersifat umum menjadi lebih granular dan spesifik per sektor.

Regulasi ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara optimalisasi penerimaan negara dengan pemberian insentif serta kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu.

Dengan berbagai penyesuaian tarif dan aturan pemungutan ini, menurut Anda, apakah peraturan baru ini akan lebih efektif dalam mendorong kepatuhan pajak sekaligus memberikan kemudahan bagi dunia usaha?

Diperiksa Pajak? 5 Hal Mengejutkan dari Aturan Baru yang Wajib Anda Tahu

Pendahuluan

Menerima surat pemberitahuan pemeriksaan pajak sering kali memicu kecemasan. Bagi banyak Wajib Pajak, proses ini terasa rumit dan penuh ketidakpastian. Menyadari hal ini, pemerintah telah menerbitkan peraturan baru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025, yang bertujuan untuk menyederhanakan proses pemeriksaan, memberikan kepastian hukum, dan menyeimbangkan hak serta kewajiban antara pemeriksa dan Wajib Pajak.

Artikel ini akan merangkum lima poin paling penting dan mungkin mengejutkan dari aturan baru tersebut. Disajikan dalam format yang mudah dipahami, wawasan ini akan membantu setiap Wajib Pajak, baik perorangan maupun badan, untuk lebih siap dan memahami aturan main yang berlaku.

————————————————————–

1. “Kenapa Saya Diperiksa?” Jawabannya Lebih Luas dari Dugaan Anda

Pernahkah Anda bertanya-tanya, “Mengapa saya yang diperiksa?” Banyak yang mengira pemeriksaan hanya terjadi jika ada indikasi kesalahan besar. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Direktur Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan luas untuk memeriksa Wajib Pajak manapun untuk menguji kepatuhan atau untuk tujuan lain, tanpa memerlukan kriteria tertentu.

Secara umum, alasan pemeriksaan terbagi dalam dua kategori besar:

  • Pemeriksaan Rutin: Pemeriksaan ini terkait dengan pemenuhan hak atau kewajiban perpajakan Anda. Contohnya termasuk Wajib Pajak yang:
    • Mengajukan permohonan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak).
    • Menyampaikan SPT yang menyatakan Rugi.
    • Melakukan aksi korporasi seperti penggabungan, peleburan, likuidasi, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
  • Pemeriksaan Khusus: Pemeriksaan ini tidak dipicu oleh pengajuan dari Wajib Pajak, melainkan didasarkan pada:
    • Data Konkret: Ini adalah data spesifik yang dimiliki DJP yang mengindikasikan pajak terutang tidak atau kurang dibayar. Contohnya adalah adanya bukti potong PPh atau faktur pajak yang sudah disetujui sistem DJP tetapi belum dilaporkan oleh Wajib Pajak.
    • Analisis Risiko (Risk-Based Audit): DJP secara sistematis memilih Wajib Pajak untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko kepatuhan (compliance risk management). Wajib Pajak yang terpilih akan masuk dalam Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP).

Pada dasarnya, pemeriksaan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Jika Anda sudah patuh, berarti 99% sudah selesai.

————————————————————–

2. Proses Audit Semakin Terstruktur dan Digital

Lupakan bayangan proses pemeriksaan yang kaku dan kuno. PMK 15/2025 mendorong proses yang lebih modern, terstruktur, dan fleksibel, terutama dalam hal komunikasi dan pertemuan.

Berdasarkan Pasal 10 PMK 15/2025, pertemuan antara pemeriksa dan Wajib Pajak kini dapat dilakukan secara:

  • Luring (tatap muka langsung)
  • Daring (video conference)

Fleksibilitas ini memberikan kemudahan bagi kedua belah pihak. Namun, yang terpenting adalah setiap pertemuan, baik luring maupun daring, wajib didokumentasikan dalam Berita Acara Hasil Pertemuan yang harus ditandatangani.

Lebih lanjut, Pasal 27 peraturan yang sama menegaskan pergeseran ke arah administrasi digital. Dokumen-dokumen terkait pemeriksaan kini dapat disampaikan secara elektronik, dan penandatanganan dokumen dapat dilakukan secara elektronik oleh Wajib Pajak maupun tim pemeriksa.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 pada dasarnya menyiapkan prosedur pemeriksaan pajak dengan Sistem Inti Administrasi Perpajakan CORETAX.

Salindia PMK 15 Tahun 2025 Dari DJP

————————————————————–

3. Aturan Main Peminjaman Dokumen: Ada Batas Waktu yang Ketat

Salah satu kewajiban utama Wajib Pajak saat diperiksa adalah meminjamkan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan. Aturan baru menegaskan bahwa kewajiban ini sangat terikat oleh waktu yang ketat, dan ketidakpatuhan memiliki konsekuensi yang sangat serius.

Berdasarkan Pasal 12 PMK 15/2025, prosesnya adalah sebagai berikut:

  • Wajib Pajak memiliki waktu 1 (satu) bulan untuk menyerahkan seluruh dokumen yang diminta, terhitung sejak surat permintaan disampaikan.
  • Jika dokumen belum lengkap, pemeriksa akan mengirimkan surat peringatan pertama setelah 2 (dua) minggu.
  • Jika masih belum lengkap juga, surat peringatan kedua akan menyusul setelah 3 (tiga) minggu.

Apa yang terjadi jika setelah 1 bulan dokumen tetap tidak lengkap? Konsekuensinya sangat berdampak. Pemeriksa Pajak dapat melakukan penetapan pajak secara jabatan. Artinya, penghitungan pajak tidak lagi didasarkan pada pembukuan Anda, melainkan pada data atau metode lain yang dimiliki DJP. Hasilnya hampir pasti akan jauh lebih besar dari yang seharusnya Anda bayar.

————————————————————–

4. Beda Pendapat Saat Pembahasan Akhir? Ada “Tim Quality Assurance”

Tahap Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) adalah momen krusial di mana Wajib Pajak membahas temuan-temuan pemeriksa yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Namun, bagaimana jika terjadi perbedaan pendapat yang sulit dijembatani?

PMK 15/2025 pada Pasal 19 memperkenalkan sebuah mekanisme yang jarang diketahui publik: Tim Quality Assurance (QA) Pemeriksaan. Tim ini berfungsi sebagai “wasit” internal DJP. Berikut cara kerjanya:

  • Tim QA adalah tim independen yang dapat dilibatkan jika terjadi perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan pemeriksa.
  • Perbedaan pendapat ini terbatas pada dasar hukum koreksi, bukan pada nilai temuan atau metode pengujian.
  • Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis untuk dibahas oleh Tim QA setelah risalah pembahasan akhir ditandatangani, tetapi sebelum Berita Acara Pembahasan Akhir dibuat.

Pembahasan Temuan Sementara

Prosedur pemeriksaan pajak yang baru di PMK 15/2025 adalah pembahasan temuan sementara. Tetapi dalam praktiknya, pembahasan temuan sementara sebenarnya dikenal sebagai pra-SPHP.

Bedanya, istilah pra-SPHP tidak diatur dalam ketentuan, dan format pemberitahuannya ke Wajib Pajak beda-beda. Selain itu, karena tidak diatur dalam ketentuan, pemeriksa bisa memberikan pra-SPHP, tetapi bisa juga tidak. Artinya langsung ke SPHP.

Merujuk Pasal 17 ayat (4) PMK 15/2025, dalam pelaksanaan pembahasan temuan sementara, wajib pajak diberikan kesempatan untuk:

  1. memberikan/memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk data elektronik;
  2. memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk data elektronik yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh wajib pajak; dan
  3. menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh wajib pajak.

Adapun hasil pembahasan temuan sementara dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak dan wajib pajak, wakil, atau kuasa dari wajib pajak yang diperiksa yang menghadiri pembahasan temuan sementara.

Beda Pembahasan Temuan Sementara versus SPHP

Pembahasan temuan sementara secara format mirip dengan SPHP. Temuan pemeriksa semua disampaikan dalam bentuk tabel dan dasar temuan.

Perbedaannya sebenarnya ke pembukuan dan dokumen yang disampaikan ke pemeriksa pajak.

Tahapan pembahasan temuan sementara, Wajib Pajak bebas memberikan dokumen yang diperlukan. Pembahasan di tahap ini juga lebih kepada pembuktian dan pengujian.

Sementara, di tahapan SPHP, lebih banyak sengketa dasar hukum. Tahapan SPHP, pembahasannya lebih banyak kepada penerapan ketentuan. Karena itu, dalam tahapan SPHP, ada prosedur pembahasan dengan tim Quality Assurance yang secara spesifik meminta pihak ke tiga untuk membahas sengketa aturan.

5. Penyegelan Bukan Mitos: Wewenang Serius Pemeriksa Pajak

Istilah “Penyegelan” mungkin terdengar dramatis, namun ini adalah wewenang nyata dan salah satu yang paling serius yang dimiliki pemeriksa pajak. PMK 15/2025 mengatur wewenang ini secara jelas.

Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat, ruangan, atau barang (bergerak maupun tidak bergerak) untuk mengamankan bukti agar tidak dihilangkan, diubah, atau dirusak. Tindakan ini tidak dilakukan tanpa alasan. Beberapa kondisi yang dapat memicu penyegelan antara lain:

  • Wajib Pajak menolak memberikan akses kepada pemeriksa untuk memasuki ruangan atau memeriksa barang.
  • Wajib Pajak menolak memberikan bantuan untuk kelancaran pemeriksaan.
  • Wajib Pajak atau wakilnya tidak berada di tempat saat pemeriksaan lapangan, sehingga diperlukan upaya pengamanan bukti.

Keseriusan tindakan ini ditegaskan dengan adanya ancaman pidana. Berdasarkan format Tanda Segel pada lampiran PMK 15/2025, terdapat peringatan bahwa barang siapa dengan sengaja merusak segel diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Meskipun jarang terjadi, wewenang ini menunjukkan betapa pentingnya sikap kooperatif dari Wajib Pajak selama proses pemeriksaan berlangsung.

PODCAST PEMERIKSAAN PAJAK DALAM 30 MENIT

Artikel Pemeriksaan di AgusPajak

Beli Rumah dan Kuda Kavaleri untuk TNI Bebas PPN

Peraturan pemerintah sering kali dianggap sebagai dokumen yang padat, teknis, dan kurang menarik bagi publik. Namun, di balik pasal-pasal yang formal, terkadang tersembunyi kebijakan-kebijakan mengejutkan yang tidak hanya berdampak luas, tetapi juga mengungkapkan prioritas negara yang sangat beragam.

Baru-baru ini, Kementerian Keuangan merilis serangkaian Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi contoh sempurna fenomena ini.

Di satu sisi, pemerintah kembali meluncurkan insentif pajak yang sangat dinantikan oleh para pencari properti. Di sisi lain, sebuah aturan lain memberikan fasilitas pajak untuk pengadaan yang jauh lebih spesifik dan tidak biasa: kuda untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Penjajaran dua kebijakan ini menawarkan wawasan unik tentang bagaimana instrumen fiskal digunakan untuk dua tujuan yang fundamental berbeda:ย stimulus ekonomi makro yang bersifat luas dan menyasar publik, serta eksekusi anggaran mikro yang sempit dan spesifik untuk kebutuhan negara.ย 

Berikut adalah tiga fakta paling mengejutkan dan berdampak dari aturan pajak terbaru pemerintah.

Insentif PPN Kembali, Tapi Pahami Skemanya.

Pemerintah secara resmi mengembalikan salah satu insentif paling populer di sektor properti, yaitu Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah baru.

Berdasarkan PMK Nomor 60 Tahun 2025, fasilitas ini kembali hadir dengan beberapa ketentuan kunci yang harus dipahami calon pembeli.

Berikut adalah detail utamanya:

โ€ข Jenis Properti: Berlaku untuk rumah tapak dan satuan rumah susun baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni.

โ€ข Periode: Periode krusialnya adalah 1 Juli hingga 31 Desember 2025, di mana harus terjadi penandatanganan akta jual beli (AJB) dan serah terima unit secara fisik (dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima).

โ€ข Batas Harga: Harga jual properti maksimal adalah Rp5 miliar.

Namun, bagian terpenting dari skema ini adalah cara penghitungan insentifnya. Pasal 7 ayat (1) dalam aturan tersebut menyatakan bahwa pemerintah menanggung 100% PPN yang terutang, tetapi hanya untuk bagian harga jual hingga Rp2 miliar.

Untuk memahaminya, mari kita lihat contoh: Jika Anda membeli rumah seharga Rp3 miliar, maka PPN untuk Rp2 miliar pertama dari harga tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.

Namun, Anda sebagai pembeli tetap wajib membayar PPN atas sisa harga sebesar Rp1 miliar. Artinya, dari total PPN 12% sebesar Rp330 juta, pemerintah menanggung sekitar Rp220 juta (PPN dari bagian Rp2 miliar), sementara pembeli tetap harus membayar PPN atas sisa Rp1 miliar, yaitu sekitar Rp110 juta.

Skema berjenjang ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan stimulus dengan kehati-hatian fiskal; insentif ini dirancang untuk menggerakkan segmen menengah-atas tanpa mensubsidi properti mewah secara berlebihan.

Berikut Salinda PMK sebelumnya:

Insentif Ini Terbuka untuk Penerima Manfaat Berulang

Ini adalah salah satu poin paling praktis dan mungkin mengejutkan bagi banyak calon pembeli. Menurut Pasal 5 ayat (2) PMK 60 Tahun 2025, seseorang yang sebelumnya pernah memanfaatkan insentif PPN ditanggung pemerintah dapat kembali memanfaatkan insentif yang berlaku di tahun 2025 ini, dengan syarat digunakan untuk pembelian unit rumah yang berbeda.

Aturan ini sangat liberal, seperti diilustrasikan dalam lampiran PMK itu sendiri. Contoh kasus ‘Tuan D’ menunjukkan seorang individu yang telah memanfaatkan insentif PPN di tahun 2021, 2023, 2024, dan awal 2025, tetap berhak mendapatkan insentif ini lagi untuk pembelian rumah yang berbeda di akhir 2025. Ini adalah bukti tak terbantahkan dari niat kebijakan tersebut.

Kebijakan ini menandai pergeseran strategis dari bantuan sosial, yang biasanya ditujukan untuk pembeli rumah pertama, menjadi stimulus ekonomi murni yang berfokus semata-mata pada maksimalisasi volume transaksi.

Dengan kata lain, fokusnya adalah pada percepatan aktivitas pasar properti secara keseluruhan.

PPN Kuda Kavaleri Ungkap Sisi Lain Kebijakan Fiskal

Di antara tumpukan dokumen peraturan, inilah temuan yang paling tidak terduga. Melalui PMK Nomor 61 Tahun 2025, pemerintah juga memberikan insentif pajak untuk kebutuhan pertahanan yang sangat spesifik.

Dinyatakan bahwa untuk mendukung kesiapan alat pertahanan, pemerintah akan menanggung 100% PPN atas pengadaan “hewan khusus tertentu berupa kuda serta perlengkapan pendukungnya” untuk Kementerian Pertahanan dan/atau TNI.

Tingkat kerincian dalam lampiran peraturan ini memberikan gambaran yang menarik tentang kebutuhan operasional kavaleri. Beberapa perlengkapan yang PPN-nya ditanggung pemerintah antara lain:

โ€ข Kuda Batalyon Kavaleri

โ€ข Jubah Kuda Untuk Upacara

โ€ข Suplemen Khusus

โ€ข Kantong Kotoran Kuda

โ€ข Kandang Kavaleri Kuda Portable

Regulasi ini adalah bukti nyata bahwa kebijakan fiskal tidak hanya beroperasi di level makro, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan tantangan pengadaan yang sangat spesifik dan granular di dalam aparatur negara, hingga ke detail terkecil seperti kantong kotoran kuda.

Pajak Global Baru Mengubah Aturan Main

Ucapkan Selamat Tinggal pada Cara Lama Menarik Investasi

Selama puluhan tahun, persaingan antarnegara untuk menarik investasi asing sering kali terasa seperti sebuah perlombaan menawarkan ‘diskon’ pajak terbesarโ€”sebuah ‘perang tarif’ yang dikenal sebagaiย race to the bottom.

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, mengandalkan berbagai insentifโ€”terutamaย tax holidayย atau pembebasan pajakโ€”sebagai ‘jurus’ andalan untuk memikat perusahaan-perusahaan multinasional.

Namun, aturan main baru telah tiba dalam bentuk Pajak Minimum Global, atau yang secara teknis dikenal sebagai Pilar Dua (Pillar Two). Kebijakan yang disepakati oleh lebih dari 140 negara ini secara fundamental mengubah cara kerja dan efektivitas insentif pajak konvensional.

Aturan ini dirancang untuk mengakhiri ‘perang tarif’ tersebut dan memastikan perusahaan raksasa membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi.

Hal ini memunculkan pertanyaan sentral: Jika ‘jurus’ andalan seperti tax holiday tidak lagi ampuh, bagaimana Indonesia akan beradaptasi? Dan apa artinya ini bagi masa depan investasi di tanah air?

Era ‘Tax Holiday’ untuk Perusahaan Raksasa Telah Berakhir

Mengapa insentif andalan ini tiba-tiba menjadi usang? Jawabannya terletak pada aturan Pajak Minimum Global (GloBE rules) yang menetapkan tarif pajak efektif (ETR) minimal sebesar 15% untuk perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi tahunan di atas โ‚ฌ750 juta.

Inti masalahnya terletak pada sebuah skenario yang kontra-intuitif. Jika Indonesia memberikanย tax holidayย yang menyebabkan tarif pajak efektif sebuah perusahaan multinasional di sini jatuh di bawah 15%, insentif tersebut menjadi sia-sia.

Selisih kekurangan pajaknya, yang disebutย top-up tax, justru akan dipungut oleh negara lainโ€”misalnya, negara asal perusahaan induk.

Dengan kata lain, pendapatan pajak yang direlakan oleh Indonesia tidak dinikmati oleh investor, melainkan dialihkan ke kas negara lain.

Hal ini membuat tax holiday tidak lagi menjadi alat tawar yang efektif untuk menarik investasi dari perusahaan-perusahaan raksasa global.

dengan berlakunya pajak minimum global, tidak mungkin bagi Indonesia untuk tetap memberikan fasilitas pembebasan pajak

โ€” Mekar Satria Utama, Direktur Perpajakan Internasional DJP.

Inilah Solusi Cerdas Bernama QRTC

Sebagai pengganti tax holiday yang sudah tidak efektif, pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan jenis insentif baru yang lebih cerdas dan sesuai dengan aturan global: Qualified Refundable Tax Credit (QRTC).

“Rahasia” keampuhan QRTC terletak pada perlakuan akuntansinya. Berbeda dengan insentif konvensional yang berfungsi sebagai pengurang pajak, QRTC diperlakukan sebagai penambah penghasilan (income) dalam perhitungan pajak global. Ini adalah poin teknis yang sangat penting dan mengubah segalanya.

Mengapa QRTC ‘Ajaib’? Mari Lihat Angkanya:

Bayangkan sebuah perusahaan dengan laba โ‚ฌ100 dan seharusnya membayar pajak โ‚ฌ10 (ETR 10%). Tanpa insentif, negara lain bisa memungut top-up tax sebesar 5% (selisih dari 15%).

โ€ข Skenario Insentif Lama (Kredit Pajak โ‚ฌ2):

    โ—ฆ Laba tetap โ‚ฌ100.

    โ—ฆ Pajak yang dibayar menjadi โ‚ฌ8 (karena ada kredit โ‚ฌ2).

    โ—ฆ ETR anjlok menjadi 8%.

    โ—ฆ Top-up tax yang bisa dipungut negara lain justru naik menjadi 7%. Insentif dari Indonesia “bocor” ke negara lain.

โ€ข Skenario Insentif Cerdas (QRTC โ‚ฌ2):

    โ—ฆ Laba dihitung menjadi โ‚ฌ102 (laba awal + nilai QRTC).

    โ—ฆ Pajak yang dibayar tetap โ‚ฌ10.

    โ—ฆ ETR menjadi sekitar 9,8% (โ‚ฌ10 / โ‚ฌ102).

    โ—ฆ Top-up tax yang mungkin timbul hanya sekitar 5,2%. Manfaat insentif sebagian besar tetap dirasakan investor karena ETR tidak anjlok secara drastis.

Langkah ini bukan hanya cerdas, tetapi juga krusial untuk daya saing. Indonesia tidak beroperasi dalam ruang hampa; para pesaing utama di kawasan seperti Singapura, Vietnam, dan Malaysia sudah bergerak cepat mengadopsi insentif berbasisย cash grant. Adaptasi ke model QRTC menjadi sebuah keharusan strategis agar Indonesia tidak tertinggal.

Melindungi Pajak dan Iklim Investasi

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif dengan secara resmi mengadopsi aturan ini melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional. Untuk menghadapi era baru ini, Indonesia menyiapkan dua strategi utama.

Pertama, mengganti insentif usang dengan yang lebih sesuai.ย Rencananya adalah menggantiย tax holidayย danย tax allowanceย dengan skema insentif yang lebih kompatibel, terutamaย refundable tax creditย (QRTC) yang telah dibahas.

Kedua, mengamankan hak pemajakan domestik.ย Indonesia juga akan menerapkanย Qualified Domestic Minimum Top-up Taxย (QDMTT).

Ini adalah sebuahย mekanisme pertahananย yang cerdas. Tujuannya adalah memastikan bahwa jika ada kekurangan pajak, tambahan pajak tersebut dipungut oleh Indonesia, bukan ‘diserahkan’ ke yurisdiksi lain. Langkah ini secara efektif mengamankan basis penerimaan negara dari ‘kebocoran’ ke luar negeri.

Proses perancangan insentif baru ini masih terus berjalan untuk menemukan bentuk yang paling optimal.

Tapi bentuknya seperti apa, Kemenkeu masih meraciknya. Ada yang disebut dengan QRTC. Model yang seperti iniย in lineย dengan Pilar 2: GloBE. Apakah kita menggunakan itu? Belum dapat dikatakan akan menggunakan itu, [tapi] kita mempertimbangkan.

โ€” Frans ZD Manik, Analis Perpajakan Internasional DJP.

Dari Krisis Menjadi Peluang

Perubahan aturan pajak global ini dapat dilihat bukan sebagai krisis, melainkan sebagai peluang untuk mendorong kebijakan yang lebih strategis. Salah satu solusi paling menjanjikan adalah merancang insentif pajak yang terarah pada kegiatan Penelitian dan Pengembangan (R&D) dalam format QRTC.

Data dari Global Economy, yang dianalisis dalam studi oleh Direktorat Perpajakan Internasional, menunjukkan bahwa belanja R&D Indonesia sangat rendah, yaitu di bawah 0,3 persen dari PDB antara tahun 2016-2020, jauh di bawah rata-rata global.

Di sinilah letak peluang strategisnya. Aturan baru ini menuntut Indonesia untuk memberikan insentif yang berbasis substansi.

Jalan yang direkomendasikan adalah fokus pada insentif untukย aktivitas R&D input, yaitu proses penelitian dan pengembangan itu sendiri.

Pendekatan ini lebih sejalan dengan aturan GloBE dan menghindari jebakan insentif berbasisย aktivitas R&D outputย (sepertiย IP Box regime) yang sering dikritik sebagai praktik pajak berbahaya dan tidak efektif mendorong inovasi nyata.

Dengan kata lain, Pajak Minimum Global “memaksa” Indonesia untuk beralih dari sekadar memberi ‘diskon pajak’ umum menjadi insentif berkualitas tinggi yang menstimulasi inovasiโ€”fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Selamat Datang di Era Baru Perpajakan Global

Penting untuk memahami bahwa Pajak Minimum Global bukanlah kebijakan sepihak. Ini adalah bagian dari kesepakatan global bersejarah yang didukung oleh lebih dari 140 negara, yang dikoordinasikan oleh OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Tujuan utamanya adalah mengakhiriย race to the bottom, di mana negara-negara saling berlomba menurunkan tarif pajak korporasi.

Kebijakan ini memastikan perusahaan multinasional besar membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi, sekaligus mencegah praktik pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi berpajak rendah.

Ini adalah salah satu reformasi perpajakan internasional paling signifikan dalam satu abad terakhir. Keikutsertaan Indonesia menunjukkan komitmennya untuk menjadi bagian dari tata kelola perpajakan global yang lebih adil dan transparan.

Aturan Pajak Minimum Global telah secara permanen mengubah lanskap investasi dunia. Era di mana negara bisa hanya mengandalkan “diskon pajak” besar-besaran untuk menarik modal telah berakhir.

Indonesia kini berada di tengah pergeseran fundamentalโ€”dari insentif berbasis “potongan pajak” yang kini usang, menuju era insentif “cerdas” yang strategis dan terukur, seperti QRTC yang dirancang untuk mendukung aktivitas bernilai tambah tinggi seperti penelitian dan pengembangan.

Tantangan ini sekaligus menjadi sebuah peluang besar untuk mendesain ulang kebijakan fiskal agar lebih berkualitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Pertanyaan besarnya kini adalah: dengan pergeseran dari sekadar ‘diskon pajak’ menjadi ‘investasi strategis’ melalui insentif, mampukah Indonesia tidak hanya beradaptasi, tetapi juga menjadi lebih kompetitif dalam lanskap persaingan investasi global yang baru ini?

Podcast Rangkuman

Arah Baru Kebijakan Pajak Global 2025

Setiap tahun, dunia perpajakan internasional selalu dinamis. Laporan terbaru dari OECD, “Tax Policy Reforms 2025,” memberikan gambaran komprehensif tentang tren dan perubahan kebijakan di 86 yurisdiksi, termasuk negara-negara OECD.

Laporan ini bukan hanya sekumpulan data, tetapi juga cerminan dari tantangan ekonomi makro yang dihadapi pemerintah di seluruh dunia, mulai dari utang publik yang tinggi hingga kebutuhan belanja untuk isu-isu krusial seperti perubahan iklim, penuaan populasi, dan peningkatan anggaran pertahanan.

Tonton Video Ringkasan Laporan OECD berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=-yUZkpJ7Tjg

Pergeseran Fundamental: Dari Bantuan Umum ke Mobilisasi Penerimaan yang Terarah

Tahun 2024 menandai pergeseran signifikan dari kebijakan bantuan pajak berskala luas yang kita lihat selama pandemi dan krisis inflasi. Kini, fokus pemerintah beralih ke strategi untuk meningkatkan penerimaan negara (revenue mobilization). Hal ini didorong oleh kondisi utang pemerintah yang lebih tinggi pasca-pandemi di sebagian besar negara.

Strategi yang diadopsi bervariasi:

  • Beberapa negara memilih untuk menaikkan tarif pajak standar seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Badan, dan PPh Orang Pribadi.
  • Negara lain mengambil pendekatan yang lebih terarah, seperti mengenakan pajak keuntungan berlebih (excess profit taxes)โ€”baik sementara maupun permanenโ€”pada sektor-sektor tertentu atau perusahaan yang sangat menguntungkan.

Perlombaan ke Bawah” Pajak Perusahaan Telah Berakhir

Selama lebih dari dua dekade, banyak negara berlomba-lomba memotong tarif PPh Badan untuk menarik investasi. Tren yang dikenal sebagai “perlombaan ke bawah” atau race to the bottom ini menunjukkan tanda-tanda telah berhenti, bahkan berbalik arahโ€”sebuah pergeseran yang menggoyahkan konsensus kebijakan yang telah lama terbentuk.

Analisis OECD mengungkap sebuah fakta penting yang mengonfirmasi perubahan fundamental ini. Misalnya, negara-negara seperti Ceko, Islandia, Slovenia, Republik Slovak, dan Lituania termasuk di antara yurisdiksi yang menaikkan tarif PPh Badan mereka. Beberapa kenaikan ini bersifat temporer atau ditargetkan pada perusahaan berpenghasilan tinggi, yang menunjukkan pendekatan yang lebih bernuansa.

Fakta Penting: Untuk tahun kedua berturut-turut, lebih banyak negara yang menaikkan tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) daripada yang menurunkannya. Perubahan ini sangat signifikan karena menandakan pergeseran prioritas fiskal global. Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa stabilitas fiskal dan mobilisasi pendapatan kini lebih diutamakan daripada persaingan pajak semata untuk menarik modal yang mobile.

Insentif Hijau Kini Meresap ke Semua Jenis Pajak

Kebijakan pajak untuk mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon telah meluas secara dramatis. Insentif tidak lagi terbatas pada pajak karbon eksplisit, tetapi kini “tertanam di semua jenis pajak utama,” yang mengubah seluruh sistem fiskal menjadi alat untuk tujuan lingkungan.

Pemerintah kini menggunakan perangkat pajaknya secara terintegrasi untuk mendorong konsumsi dan investasi ramah lingkungan.

Contoh paling menonjol datang dari Denmark, yang mengumumkan rencana terobosan untuk menerapkan pajak karbon pada sektor pertanianโ€”sebuah langkah yang sebelumnya dianggap sangat sulit secara politis.

Di tempat lain, insentif mencakup tarif PPN yang lebih rendah untuk barang ramah lingkungan, keringanan PPh Pribadi untuk transportasi berkelanjutan, dan insentif PPh Badan untuk investasi teknologi bersih. I

ni menunjukkan bahwa pertimbangan lingkungan tidak lagi menjadi kebijakan sampingan, melainkan inti dari strategi fiskal modern.

Saat Pajak Lain Naik, Pajak Properti Justru Turun

Di tengah upaya pemerintah menaikkan pendapatan melalui berbagai jenis pajak, ada satu anomali yang mengejutkan: pajak properti. Reformasi pajak properti pada tahun 2024 secara dominan justru berfokus pada pemotongan, berkebalikan dengan tren umum pengetatan fiskal.

Alasan utama di balik tren yang berlawanan ini adalah untuk meringankan beban pajak bagi rumah tangga, membuat perumahan lebih terjangkau, dan mendorong investasi. Portugal, misalnya, memperkenalkan pembebasan pajak baru bagi pembeli rumah di bawah 36 tahun, dan Luksemburg untuk sementara waktu menaikkan kredit pajaknya bagi individu yang membeli rumah untuk penggunaan pribadi.

Fenomena ini mengungkap adanya pertukaran kebijakan (policy trade-off) yang menarik. Keterjangkauan perumahan bagi masyarakat untuk jangka pendek kini lebih diprioritaskan daripada potensi sumber pendapatan yang stabil dan efisien dari pajak properti.

Insentif Pajak 2025 di Indonesia

Tahun 2025, di tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia gencar memberikan insentif pajak untuk Wajib Pajak.

Insentif yang diberikan pada tahun 2025 yaitu:

Sumber:

Revolusi Cerdas dalam Penagihan Pajak Era Digital

Jika mendengar kata “penagihan pajak”, apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin surat peringatan bernada keras, ancaman penyitaan aset, atau proses birokrasi yang kaku dan tidak ramah. Persepsi ini, meskipun umum, ternyata sudah mulai usang. Di balik layar, otoritas pajak di seluruh dunia sedang mengalami sebuah revolusi senyap yang mengubah total cara mereka bekerja.

Berdasarkan laporan terbaru dari OECD, “Tax Debt Management Maturity Model 2025 Edition”, praktik penagihan pajak modern tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan hukum. Laporan tersebut bukan sekadar daftar tips, melainkan sebuah peta jalan strategis yang mendefinisikan “jalur kematangan” (maturity path) bagi lembaga pajakโ€”dari level Emerging (Berkembang) hingga Aspirational (Aspirasional).

Pergeseran ini fundamental: dari penegakan reaktif menuju pendekatan yang lebih cerdas, manusiawi, dan berbasis teknologi. Artikel ini akan mengupas empat strategi paling cerdas yang menggambarkan bagaimana lembaga pajak di level Leading (Terdepan) beroperasiโ€”mulai dari memanfaatkan ilmu perilaku hingga kecerdasan buatanโ€”yang secara dramatis mengubah interaksi antara negara dan wajib pajak.

Kekuatan Kata-kata Bernilai Jutaan Euro

Ini bukan lagi soal ancaman, melainkan soal psikologi. Otoritas Pajak Belgia, bekerja sama dengan akademisi ekonomi perilaku, melakukan sebuah eksperimen sederhana yang hasilnya luar biasa. Mereka mendesain ulang surat peringatan tunggakan pajak dengan beberapa perubahan kunci: bahasa yang rumit disederhanakan, nada yang mengancam dilembutkan, dan potensi denda disebutkan secara eksplisit dan jelas.

Hasilnya? Surat yang didesain ulang ini terbukti sangat efektif. Tingkat kepatuhan wajib pajak yang menerimanya meningkat sebesar 12,9 poin persentase. Secara finansial, perubahan sederhana ini menghasilkan pendapatan bersih tambahan sekitar 4 juta Euro bagi negara.

Dari perspektif inovasi sektor publik, ini adalah bukti kuat tingginya imbal hasil (ROI) dari penerapan ilmu ekonomi perilaku pada desain layanan publik. Intervensi ini mengubah model dari yang semula berpusat pada penegakan (enforcement-centric) menjadi berpusat pada manusia (human-centric) dengan biaya fiskal yang minimal. Ini adalah ciri khas lembaga yang matang: memahami bahwa pendekatan psikologis seringkali jauh lebih efektif daripada sekadar tekanan.

Mesin Penagih yang Tidak Pernah Tidur

Otoritas pajak modern tidak lagi bergantung sepenuhnya pada jam kerja staf manusia. Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi telah menjadi garda depan pelayanan dan efisiensi. Ini sejalan dengan atribut “Strategi TI” dalam model kematangan OECD, di mana lembaga level Leading mengambil “pandangan holistik tentang bagaimana perangkat TI administrasi pajak dapat meningkatkan hasil.”

Dua contoh menonjol menggambarkan prinsip ini:

  • Amerika Serikat: Internal Revenue Service (IRS) menggunakan voice bot dan chatbot untuk menjawab pertanyaan umum wajib pajak tentang utang mereka. Hasilnya, volume live chat yang harus ditangani agen manusia turun drastis hingga 67-83%. Ini bukan sekadar efisiensi, melainkan alokasi sumber daya strategis yang membebaskan staf ahli untuk menangani kasus-kasus paling kompleks.
  • Jepang: National Tax Agency (NTA) menggunakan AI untuk memprediksi hari dan waktu terbaik untuk menelepon wajib pajak yang menunggak agar panggilannya paling mungkin dijawab. Tingkat respons panggilan yang menggunakan rekomendasi AI 8,6% lebih tinggi dibandingkan panggilan tanpa bantuan AI.

Implikasinya jelas: AI dan otomatisasi memungkinkan layanan 24/7, mengurangi beban kerja staf, dan membuat proses penagihan menjadi lebih presisi dan berbasis data, bukan lagi sekadar untung-untungan.

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengejar

Pergeseran strategis yang paling fundamental dalam model kematangan OECD adalah dari penagihan reaktif menjadi intervensi proaktif. Ini adalah esensi dari Tema 2.1: “Keterlibatan dengan wajib pajak sebelum tanggal jatuh tempo.” Alih-alih mengejar penunggak, otoritas pajak yang matang justru membantu wajib pajak agar tidak sampai menunggak.

Studi kasus terbaik datang dari Singapura. Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) mengirimkan pengingat pembayaran melalui SMS kepada para direktur perusahaan kecil beberapa hari sebelum tanggal jatuh tempo pajak. Inisiatif sederhana berbiaya rendah ini sukses besar: sebanyak 84,3% perusahaan yang dihubungi segera membayar penuh atau mengatur rencana cicilan sebelum terlambat.

Ini adalah sebuah terobosan karena mengubah total dinamika hubungan. Dari yang semula antagonistik (otoritas vs. penunggak), kini menjadi lebih suportif (otoritas membantu wajib pajak untuk patuh). Ini adalah contoh klasik pergerakan dari model Established (Mapan) yang reaktif ke model Leading (Terdepan) yang proaktif.

Seni Mengetahui Kapan Harus Menyerah

Ini mungkin terdengar sangat kontra-intuitif, tetapi merupakan salah satu tanda otoritas pajak yang paling strategis dan matang. Australian Taxation Office (ATO) menerapkan “Realistic Recovery Strategy” atau Strategi Penagihan yang Realistis.

Inti dari strategi ini adalah pengakuan bahwa mengejar setiap sen utang pajak tidak selalu efisien atau ekonomis.

Dengan menggunakan model analitik canggih, ATO mengidentifikasi utang yang “tidak ekonomis untuk dikejar” (uneconomical to pursue). Dengan secara sadar memutuskan untuk tidak mengejar utang-utang ini, mereka dapat memfokuskan sumber daya terbatas pada utang bernilai besar dengan probabilitas penagihan lebih tinggi.

Pendekatan ini secara sempurna merefleksikan tingkat kematangan Aspirational dalam atribut “Pengambilan keputusan kapan harus berhenti aktif mengejar utang.”

Model OECD memetakan evolusi dari panduan yang samar-samar (Emerging), menjadi berbasis aturan (Established), hingga akhirnya menggunakan pemodelan prediktif dan AI (Aspirational).

Ini menunjukkan pemikiran strategis yang matang: sumber daya itu terbatas dan harus dialokasikan di tempat yang memberikan hasil terbaik, sebuah prinsip manajemen yang relevansinya jauh melampaui dunia.

Masa Depan Penagihan Pajak

Kisah-kisah dari Belgia, AS, Jepang, Singapura, dan Australia ini bukanlah anomali. Mereka adalah penanda masa depan manajemen utang negara.

Laporan OECD dengan jelas memetakan sebuah perjalanan evolusi: dari penegakan hukum yang kaku menuju pendekatan yang lebih cerdas dengan secara sadar bergerak naik di sepanjang kurva kematangan.

Penagihan pajak yang efektif di masa depan bukan lagi tentang seberapa keras negara bisa menekan, melainkan seberapa cerdas negara bisa berinteraksi dengan warganya. Ini adalah tentang efisiensi yang digerakkan oleh data, empati yang didesain melalui ilmu perilaku, dan efektivitas yang didukung oleh teknologi.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah pertanyaan:

Jika pemerintah bisa menerapkan inovasi secerdas ini untuk menagih pajak, bayangkan potensi peningkatannya jika pendekatan serupa diterapkan pada layanan publik lainnya?

Dengarkan Dalam Versi Podcast

Silakan di klik saja tombol play.

Pajak UMKM & E-Commerce: Pahami Aturan PPh PMSE Agar Bisnis Makin Untung!

Jangan salah langkah! Pelajari peraturan PPh PMSE terbaru (PMK 37 Tahun 2025) untuk toko online Anda. Pahami kewajiban dan manfaatkan celah legal agar bisnis Anda tumbuh tanpa masalah pajak.

Podcast Rangkuman PMK

Panduan Lengkap PPh Pasal 22 PMSE 2025: Wajib Pajak UMKM & e-Commerce Harus Tahu! ๐Ÿš€

Apakah Anda pelaku UMKM atau pemilik toko online? Tahun 2025 membawa aturan baru terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 pada Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Aturan ini tertuang dalam PMK No. 37/2025 dan PER-15/PJ/2025.

๐Ÿ‘‰ Jangan khawatir, aturan ini bukan pajak baru, melainkan penyempurnaan mekanisme pemungutan pajak agar lebih adil, sederhana, dan efisien.

Mari kita bedah secara ringkas, jelas, dan tuntas berdasarkan salindia berikut:

Video Rangkuman PPh e-Commerce dalam 6 menit.

Silakan diklik tombol video untuk memutar secara penuh.

๐Ÿ“Œ Mekanisme PPh Pasal 22 pada PMSE

1. Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)

  • Omzet โ‰ค Rp500 Juta โ†’ Bebas PPh 22.
  • Omzet > Rp500 Juta โ€“ Rp4,8 Miliar โ†’ Tarif 0,5%. Bisa Final (jika ikut PP 55/2022) atau Tidak Final.
  • Omzet > Rp4,8 Miliar โ†’ Tarif 0,5%, sifat tidak final, masuk sebagai kredit pajak di SPT.

2. Wajib Pajak Badan (WP Badan)

  • Omzet โ‰ค Rp4,8 Miliar โ†’ Tarif 0,5%, bisa Final / Tidak Final.
  • Omzet > Rp4,8 Miliar โ†’ Tarif 0,5%, sifat tidak final.

๐Ÿ‘ฅ Siapa yang Jadi Pemungut Pajak?

Pemerintah menunjuk โ€œPihak Lainโ€, yaitu penyelenggara PMSE (misalnya marketplace besar, platform e-commerce, atau aplikasi transaksi online).

Kriteria utama Penyelenggara PMSE agar bisa ditunjuk:

  • Menggunakan rekening eskro (escrow account).
  • Punya nilai transaksi > Rp600 juta setahun atau > Rp50 juta sebulan.
  • Atau punya traffic >12 ribu pengakses setahun atau >1.000 sebulan.

๐Ÿ›’ Siapa yang Disebut Pedagang Dalam Negeri?

Pedagang yang bertransaksi melalui marketplace atau aplikasi online dengan syarat:

  • Menggunakan rekening bank lokal / keuangan sejenis.
  • Transaksi menggunakan IP Indonesia atau nomor telepon +62.

Termasuk: toko online, jasa ekspedisi, perusahaan asuransi, hingga pelaku usaha berbasis aplikasi.

๐Ÿ“ Kewajiban Pedagang Dalam Negeri

Sebelum menerima penghasilan, pedagang wajib menyampaikan:

  • NPWP/NIK & alamat korespondensi.
  • Surat pernyataan omzet (โ‰ค Rp500 Juta atau > Rp500 Juta).
  • Surat Keterangan Bebas (jika ada).

๐Ÿ“Œ Catatan: Informasi harus disampaikan ulang tiap awal tahun pajak.

๐Ÿ’ฐ Tarif & Saat Terutang PPh Pasal 22

  • Tarif: 0,5% dari peredaran bruto (tidak termasuk PPN/PPnBM).
  • Saat terutang: Ketika pembayaran diterima oleh Pihak Lain.

Jika omzet WP OP melewati Rp500 juta, pajak mulai dipungut bulan berikutnya setelah menyampaikan surat pernyataan.

๐Ÿšซ Transaksi yang Tidak Dipungut Pajak

Beberapa transaksi dikecualikan, misalnya:

  • Penjualan oleh WP OP dengan omzet โ‰ค Rp500 juta.
  • Jasa ojol/kurir aplikasi.
  • Penjualan pulsa & kartu perdana.
  • Penjualan emas perhiasan & batu mulia.
  • Pengalihan hak atas tanah/bangunan.

๐Ÿ“„ Dokumen Tagihan = Bukti Pemungutan Pajak

Pedagang wajib membuat dokumen tagihan elektronik yang berisi:

  • Nomor & tanggal, nama akun, nama Pihak Lain.
  • Identitas pembeli, jenis barang/jasa, harga, potongan, & nilai PPh 22.

Dokumen ini sah sebagai bukti pemungutan PPh 22.

๐Ÿ“Œ Kewajiban Pihak Lain (Marketplace/Platform)

  • Menyetor PPh 22 ke kas negara setiap bulan.
  • Melaporkan ke DJP data pedagang & transaksi (NPWP/NIK, omzet, dokumen tagihan, dll).

Mohon di Sub dan like.
Video ini dibuat sebelum PER Dirjen diterbitkan

Istilah yang digunakan

  • Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22: Pajak yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh dari usaha atau kegiatan, yang dipungut oleh pihak lain (pemungut pajak) pada saat pembayaran. Dalam konteks ini, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pihak Lain atas penghasilan pedagang di PMSE.

  • Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE): Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik, seperti marketplace online.

  • Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Penyelenggara PMSE): Pelaku usaha yang menyediakan sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. Contohnya adalah platform marketplace online.

  • Pihak Lain: Penyelenggara PMSE yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (melalui delegasi ke Direktur Jenderal Pajak) sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang bertransaksi melalui sistem mereka.

  • Pedagang Dalam Negeri: Pelaku usaha (orang pribadi atau badan) yang berkedudukan di Indonesia dan melakukan PMSE, yang memenuhi kriteria menerima penghasilan melalui rekening bank/keuangan sejenis dan bertransaksi menggunakan IP address atau kode telepon Indonesia.

  • Peredaran Bruto: Imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. Ini adalah dasar pengenaan pajak.

  • Rekening Eskro (Escrow Account): Rekening yang digunakan untuk menampung dana transaksi yang akan diserahkan kepada pihak penerima setelah kondisi tertentu terpenuhi, dikelola oleh pihak ketiga netral. Digunakan sebagai salah satu kriteria penunjukan Pihak Lain.

  • Traffic atau Pengakses: Jumlah pengunjung atau pengguna yang mengakses sarana elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara PMSE. Salah satu kriteria penunjukan Pihak Lain.

  • Surat Pernyataan Omzet s.d. Rp500 Juta: Dokumen yang disampaikan oleh WP Orang Pribadi Pedagang Dalam Negeri yang menyatakan bahwa peredaran bruto mereka pada Tahun Pajak berjalan masih di bawah atau sama dengan Rp500.000.000,00, sehingga PPh Pasal 22 tidak dipungut oleh Pihak Lain.

  • Surat Pernyataan Omzet Melebihi Rp500 Juta: Dokumen yang disampaikan oleh WP Orang Pribadi Pedagang Dalam Negeri ketika peredaran bruto mereka pada Tahun Pajak berjalan telah melampaui Rp500.000.000,00, yang memicu dimulainya pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.

  • Surat Keterangan Bebas (SKB): Surat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk transaksi tertentu. Jika Pedagang Dalam Negeri memiliki dan menyampaikan SKB, PPh Pasal 22 tidak dipungut oleh Pihak Lain.

  • PPh Bersifat Final: Pajak penghasilan yang perhitungan dan pelunasannya selesai pada saat penghasilan diterima atau diperoleh, dan tidak dapat dikreditkan atau diperhitungkan kembali dalam SPT Tahunan. Contohnya PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah/bangunan.

  • PPh Tidak Final: Pajak penghasilan yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan untuk mengurangi PPh terutang akhir tahun.
  • Dokumen Tagihan: Dokumen yang dibuat oleh Pedagang Dalam Negeri atas penjualan barang/jasa melalui PMSE yang berfungsi sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22.

  • SPT Masa PPh Unifikasi: Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan/pemungutan PPh dan penyetorannya dalam satu Masa Pajak. Pihak Lain menggunakan ini untuk pelaporan.

  • Masa Pajak: Jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang, biasanya satu bulan kalender.

  • Tahun Pajak: Jangka waktu satu tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

  • Direktur Jenderal Pajak (DJP): Pejabat yang diberikan delegasi kewenangan oleh Menteri Keuangan untuk menunjuk Pihak Lain dan menetapkan batasan kriteria tertentu.

PMK 37 Tahun 2025

Apakah Warisan Kena Pajak? Fakta yang Sering Disalahpahami Wajib Pajak

Banyak orang beranggapan bahwa warisan dari orang tua atau keluarga tidak pernah kena pajak. Padahal, dalam praktiknya, ada aturan khusus yang mengatur bagaimana harta warisan diperlakukan dalam sistem perpajakan di Indonesia. Kesalahpahaman ini sering menimbulkan masalah, mulai dari sengketa keluarga hingga persoalan dengan otoritas pajak.

Lalu, benarkah warisan selalu bebas pajak? Ataukah ada kondisi tertentu di mana penerima waris wajib melaporkan dan membayar pajak atas aset yang diperoleh?

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara tuntas mengenai pajak warisan di Indonesia agar aman terhindar dari Pajak Penghasilan.

Warisan Bukan Objek Pajak

Tidak ada perdebatan lagi bahwa warisan merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Hal ini diatur di Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bunyi ketentuannya dari dulu hingga sekarang tidak ada perubahan. Secara kalimat lengkapnya begini, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: warisan.”

Bagian penjelasan huruf b menyebutkan “cukup jelas”. Tidak ada syarat supaya dikecualikan.

Hukum Waris di Indonesia

Ketentuan perpajakan tidak mengatur tentang waris. Tapi hukum yang berlaku di Indonesia ada 3 yang mengatur masalah waris.

Apa dan bagaimana warisan? Jawabannya ada di ketiga hukum tersebut.

Hukum Waris Islam

Bagi pemeluk agama Islam, warisan wajib hukumnya dibagikan menurut kaidah fiqih yang sering disebut faraid.

Faraidh adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada aturan pembagian harta warisan berdasarkan syariat, terutama yang diatur dalam Al-Qurโ€™an (QS. An-Nisa ayat 11, 12, dan 176), Hadis Nabi, serta ijmaโ€™ ulama.

Istilah ini berasal dari kata faradha yang berarti โ€œmenetapkanโ€, sehingga faraidh adalah pembagian yang sudah ditetapkan Allah.

Menurut Islam, warisan yang dibagi jika telah terpenuhi kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah:

  1. Pelaksanaan wasiat (maksimal 1/3 dari harta, tidak kepada ahli waris kecuali disetujui ahli waris lain). Barulah setelah itu sisanya dibagikan kepada ahli waris.
  2. Biaya pemakaman pewaris (tajhiz al-mayyit).
  3. Pelunasan hutang pewaris.

Ahli Waris Ditentukan Syariat

Ahli waris dalam faraidh sudah ditentukan oleh Al-Qurโ€™an dan Sunnah, terdiri dari:

  1. Ashabul Furudh โ†’ ahli waris yang mendapat bagian tertentu (misalnya: 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8). Contoh: suami, istri, ayah, ibu, anak perempuan.
  2. โ€˜Ashabah โ†’ ahli waris yang mendapatkan sisa harta setelah ashabul furudh. Umumnya laki-laki lebih berperan dalam kategori ini.
  3. Dzawil Arham โ†’ kerabat jauh yang bisa mewarisi jika tidak ada ashabul furudh dan โ€˜ashabah.

Perbedaan Bagian Laki-laki dan Perempuan

Secara umum, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan dalam tingkat ahli waris yang sama. Contoh: anak laki-laki dan anak perempuan โ†’ bagian laki-laki = 2:1.

Prinsip ini bukan diskriminasi, melainkan karena laki-laki dalam syariat Islam memiliki kewajiban nafkah terhadap keluarga.

Tabel Pembagian

Ahli WarisBagianSyarat
Suami1/2Jika pewaris tidak punya anak/cucu.
1/4Jika pewaris punya anak/cucu.
Istri1/4Jika pewaris tidak punya anak/cucu.
1/8Jika pewaris punya anak/cucu.
Ayah1/6Jika pewaris punya anak.
โ€˜Ashabah (sisa)Jika pewaris tidak punya anak.
Ibu1/3Jika pewaris tidak punya anak.
1/6Jika pewaris punya anak.
1/6Jika pewaris meninggalkan beberapa saudara (โ‰ฅ2).
Anak Laki-lakiโ€˜AshabahMendapat sisa, dan 2 kali bagian anak perempuan.
Anak Perempuan (tunggal)1/2Jika sendirian tanpa anak laki-laki.
Anak Perempuan (โ‰ฅ2)2/3Dibagi rata jika โ‰ฅ2, tanpa anak laki-laki.
Anak Perempuan (dengan anak laki-laki)โ€˜AshabahMendapat sisa, dengan perbandingan 2:1.
Saudara Laki-laki Seibu1/6Jika sendirian, tanpa anak & ayah.
1/3Jika โ‰ฅ2 orang, tanpa anak & ayah.
Saudara Perempuan Kandung1/2Jika sendirian, tanpa anak & ayah.
2/3Jika โ‰ฅ2 orang, tanpa anak & ayah.
โ€˜AshabahJika bersama saudara laki-laki kandung (2:1).

Hukum Waris di KUH Perdata

Secara historis dan praktik di Indonesia hukum waris KUH Perdata digunakan oleh warga negara:

  • Warga negara Indonesia non-Muslim (umumnya keturunan Tionghoa, Eropa, atau lainnya) yang tidak terikat hukum adat tertentu.
  • Warga negara asing yang tinggal di Indonesia (karena KUH Perdata awalnya ditujukan bagi golongan Eropa).
  • Masyarakat yang secara yuridis memilih tunduk pada KUH Perdata (misalnya melalui perjanjian perkawinan campuran atau pilihan hukum).

Prinsip-Prinsip Utama Hukum Waris Perdata

Bahwa hukum waris berlaku jika pewaris telah meninggal dunia. Pasal 830 KUH Perdata: โ€œPewarisan hanya berlangsung karena kematian.โ€


Artinya, warisan baru terbuka setelah pewaris meninggal dunia.

Ada Hubungan Hukum Antara Pewaris dan Ahli Waris

Dalam hukum waris perdata, terdapat asas yang disebut asas “nasciturus pro iam nato habetur”

Yang dapat menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah (nasciturus hingga derajat tertentu) dan pasangan sah.

Sistem Golongan Ahli Waris

Ahli waris menurut KUH Perdata dibagi dalam empat golongan:

  1. Golongan I โ†’ Anak (keturunan ke bawah) + pasangan (suami/istri yang hidup terlama).
  2. Golongan II โ†’ Orang tua (ayah & ibu) + saudara pewaris, termasuk keturunan saudara (keponakan).
  3. Golongan III โ†’ Kakek-nenek dan leluhur ke atas.
  4. Golongan IV โ†’ Paman, bibi, dan keturunannya yang lebih jauh.

๐Ÿ‘‰ Prinsip golongan terdekat menutup golongan berikutnya berarti:
Selama masih ada ahli waris dari golongan yang lebih dekat, maka golongan di bawahnya tidak mendapat warisan sama sekali.

Prinsip ini didasarkan pada asas kedekatan hubungan darah dengan pewaris:

  1. Keturunan langsung (anak) dianggap paling berhak.
  2. Jika tidak ada, maka hak berpindah ke orang tua & saudara.
  3. Jika masih tidak ada, berpindah ke leluhur (kakek-nenek).
  4. Baru terakhir keluarga samping jauh (paman, bibi, sepupu).
GolonganSiapa SajaKeterangan & Prinsip Penutupan
Golongan I– Anak (dan keturunannya, misalnya cucu melalui plaatsvervulling) – Suami/istri yang hidup terlamaSelama ada anak (atau keturunannya), maka semua golongan di bawah tertutup. Pasangan selalu mewaris bersama anak.
Golongan II– Orang tua (ayah & ibu) – Saudara kandung pewaris – Keponakan (anak saudara, melalui plaatsvervulling)Berhak jika tidak ada golongan I. Jika masih ada orang tua/saudara, maka golongan III & IV tertutup.
Golongan III– Kakek-nenek (dari pihak ayah maupun ibu)Berhak jika golongan I & II tidak ada. Jika masih ada kakek-nenek, maka golongan IV tertutup.
Golongan IV– Paman, bibi (saudara orang tua pewaris) – Sepupu (keturunan mereka, melalui plaatsvervulling)Hanya berhak jika golongan I, II, III tidak ada. Ini golongan terakhir menurut KUH Perdata.

Jadi, yang namanya warisan itu tidak bisa “suka-suka”. Tidak bisa seperti: tiba-tiba saya mendapatkan ahli waris, yang pewarisnya bukan keluarga.

Asas Legitime Portie

Asas Legitime Portie adalah asas dalam hukum waris (khususnya yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPerdata) yang mengatur bahwa ada bagian tertentu dari harta peninggalan pewaris yang wajib diberikan kepada ahli waris tertentu (legitimaris) dan tidak boleh dikurangi atau dihapuskan, meskipun pewaris membuat wasiat atau hibah.

Legitime Portie (LP) merupakan bagian mutlak (hak mutlak) ahli waris tertentu yang dilindungi undang-undang.

Ahli waris yang berhak disebut legitimaris, yaitu:

  • Anak-anak sah (dan keturunannya jika anak sudah meninggal).
  • Orang tua (bapak dan ibu) jika pewaris tidak punya anak.
  • Kadang termasuk istri/suami (tergantung interpretasi).

    Pewaris memang boleh membuat wasiat, hibah, atau memberikan harta kepada pihak lain, tetapi tidak boleh melanggar bagian Legitime Portie.

    Jika pewaris melanggar (misalnya membagikan seluruh harta ke pihak luar lewat wasiat), maka legitimaris berhak menggugat agar wasiat/hibah itu dikurangi sampai hak LP terpenuhi.

      Pentingnya Akta Waris

      Akta Notaris pembagian waris (sering disebut Akta Pembagian Warisan atau Akta Pembagian Hak Bersama) adalah dokumen resmi yang dibuat di hadapan notaris untuk menetapkan dan mengesahkan pembagian harta peninggalan pewaris kepada ahli waris.

      Kekuatan Hukum yang Pasti

      • Akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (Pasal 1868 KUHPerdata).
      • Jika pembagian hanya dilakukan secara lisan atau tertulis biasa tanpa notaris, bisa diperdebatkan atau dibatalkan.
      • Dengan akta notaris, kedudukan hukum para ahli waris menjadi jelas dan terlindungi.

      Syarat Administrasi Pertanahan & Perbankan

      Untuk membalik nama sertifikat tanah warisan ke atas nama ahli waris, BPN (Badan Pertanahan Nasional) mewajibkan adanya akta pembagian waris.

      Untuk mencairkan tabungan, deposito, atau aset lain di bank atas nama pewaris, bank biasanya meminta akta waris sebagai syarat pencairan.

      Kepatuhan Pajak dan Administrasi

      Pembagian waris lewat akta notaris juga memudahkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) final atas pengalihan harta warisan yang dibagi.

      Notaris memastikan bahwa proses tersebut sesuai dengan aturan perpajakan dan perdata.

      Surat Keterangan Bebas

      Surat Keterangan Bebas atau SKB merupakan surat yang ditanda-tangani oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) tempat pewaris berada.

      SKB wajib diajukan oleh ahli waris kepada KPP Pratama dimana pewaris terdaftar. Jika selama hidup tidak pernah terdaftar, maka dapat dibuatkan Surat Pernyataan bahwa selama hidupnya memiliki penghasilan dibawah PTKP. Dan permohonan diajukan sesuai domisili pewaris.

      Dasar pembuatan SKB adalah Akta Pembagian Warisan atau Akta Pembagian Hak Bersama.

      Dua Transaksi Penjualan Warisan

      Biasanya, jika warisan berbentuk barang, maka agar pembagian sesuai ketentuan, maka untuk memudahkan harta warisan dijual. Hasil penjualannya dibagikan kepada ahli waris.

      Misal harta warisannya berupa tanah 30 hektar di pusat kota. Ini pasti nilainya besar. Dan semua ahli waris tentu berharap mendapatkan jatah sesuai ketentuan.

      Maka tanah tersebut dijual. Dicari pembeli. Nanti, sertifikat tanah akan beralih dari pewaris, kepada pembeli.

      Namun, dalam konteks hukum, penyerahan harta warisan ada dua tahap, yakni dari pewaris ke ahli waris. Dan dari ahli waris kepada pembeli.

      Transaksi Yang Dibebaskan

      Dari dua transaksi tersebut, transaksi yang bebaskan dari Pajak Penghasilan adalah transaksi dari pewaris kepada ahli waris.

      Jadi Surat Keterangan Bebas atau SKB diberikan untuk transaksi dari pewaris kepada ahli waris. Saat menerima tanah dari pewaris, si ahli waris tidak dikenakan Pajak.

      Namun, saat ahli waris jual kepada pembeli, ahli waris wajib tetap bayar Pajak.

      Jadi, bukan berarti 100% bebas pajak ya!

      Siapa Yang Bayar BPHTB?

      BPHTB adalah bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Saya sering menyebutkan pajak atas dokumen SHM.

      BPHTB dibayar oleh yang mengurus SHM (sertifikat hak milik) di Badan Pertanahan Nasional.

      Jadi yang bayar BPHTB adalah pembeli.

      Sedangkan yang bayar PPh adalah penjual. Namun, seringkali penjual “lari begitu saja”.

      SHM tidak akan diproses kecuali PPh dan BPHTB dilunasi!

      Jika penjual tanah “lari”, maka pembeli yang bayar PPh. Jika tidak dibayar, maka SHM tidak akan diproses.

      Prospek Pajak Indonesia 2025: Tantangan & Strategi

      I. Pendahuluan

      Laporan ini bertujuan untuk menganalisis dinamika fiskal Indonesia pada awal tahun 2025, dengan fokus pada tantangan pencapaian target penerimaan pajak, kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak, dan implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax. Analisis ini didasarkan pada data kinerja fiskal kuartal pertama (Q1) 2025, perkembangan legislatif terkait pengampunan pajak, serta informasi mengenai peluncuran dan tujuan sistem Coretax, sebagaimana terangkum dari berbagai sumber berita dan dokumen publik yang tersedia hingga awal Mei 2025.

      Konteks utama analisis ini adalah adanya kekhawatiran mengenai potensi tidak tercapainya target penerimaan pajak tahun 2025, meskipun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan upaya ekstra. Bersamaan dengan itu, muncul inisiatif legislatif untuk memperkenalkan kembali program pengampunan pajak, yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan penerimaan. Selain itu, tahun 2025 menandai dimulainya era baru administrasi perpajakan melalui implementasi Coretax, sebuah sistem yang diharapkan membawa perubahan fundamental.

      Laporan ini akan mengkaji data realisasi penerimaan pajak Q1 2025 terhadap target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menelaah status dan tujuan RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan, menguraikan implementasi dan dampak awal Coretax, serta menganalisis potensi keterkaitan antara ketiga elemen tersebut. Pertanyaan sentral yang dijawab adalah bagaimana kinerja fiskal awal 2025, rencana pengampunan pajak, dan peluncuran Coretax saling berinteraksi, serta implikasinya terhadap arah kebijakan dan prospek penerimaan pajak Indonesia.

      II. Penerimaan Pajak Indonesia 2025: Kinerja dan Prospek

      A. Realisasi Q1 2025 vs. Target

      Kinerja penerimaan pajak Indonesia pada awal tahun 2025 menunjukkan tantangan yang signifikan dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam APBN. Hingga akhir Maret 2025 (Q1), realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 322,6 triliun (1). Angka ini hanya setara dengan 14,7% dari target penerimaan pajak tahunan dalam APBN 2025, yang dipatok sebesar Rp 2.189,3 triliun (atau Rp 2.189 T) (1). Target ini sendiri dirancang dengan asumsi pertumbuhan sebesar 13,9% dari outlook penerimaan tahun 2024 (4).

      Jika dibandingkan dengan periode waktu (tiga bulan atau seperempat tahun), capaian 14,7% ini berada jauh di bawah target proporsional 25%. Meskipun penerimaan pajak tidak selalu terdistribusi secara merata sepanjang tahun, selisih yang cukup besar di awal periode ini mengindikasikan adanya tekanan berat untuk mengejar ketertinggalan di kuartal-kuartal berikutnya agar target tahunan dapat tercapai.

      Secara agregat, total pendapatan negara dan hibah hingga akhir Maret 2025 mencapai Rp 516,1 triliun, atau 17,2% dari target tahunan sebesar Rp 3.005,1 triliun (1). Pendapatan ini terdiri dari penerimaan pajak (Rp 322,6 T), penerimaan kepabeanan dan cukai (Rp 77,5 T), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) (Rp 115,9 T) (1). Di sisi lain, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 620,3 triliun, atau 17,1% dari pagu APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun (3).

      Kombinasi antara realisasi pendapatan yang lebih rendah dari belanja pada Q1 2025 mengakibatkan defisit APBN sebesar Rp 104,2 triliun pada akhir Maret 2025 (2). Defisit ini setara dengan 0,43% dari Produk Domestik Bruto (PDB) (5). Terjadinya defisit di awal tahun ini patut dicatat, mengingat desain APBN 2025 berdasarkan Undang-undang Nomor 62 tahun 2024 menargetkan keseimbangan primer negatif sebesar Rp 63,3 triliun untuk keseluruhan tahun (7). Defisit yang muncul lebih awal dari proyeksi ini, bahkan lebih besar dari defisit per akhir Januari 2025 yang sebesar Rp 23,45 triliun (11), semakin mempertegas tekanan pada sisi penerimaan negara, khususnya pajak.

      Tabel 1: Kinerja APBN – Q1 2025 vs. Target Tahunan

      ItemRealisasi Q1 2025 (Rp Triliun)Target Tahunan 2025 (Rp Triliun)% Target Tercapai (Q1)
      Penerimaan Pajak322,62.189,314,7%
      Penerimaan Kepabeanan & Cukai77,5Data tidak tersediaData tidak tersedia
      PNBP115,9Data tidak tersediaData tidak tersedia
      Total Pendapatan Negara516,13.005,117,2%
      Belanja Negara620,33.621,317,1%
      Defisit APBN104,2616,2 (Desain)16,9% (dari Desain)

      Catatan: Data target Kepabeanan & Cukai serta PNBP tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber yang dirujuk untuk tabel ini, namun total pendapatan negara dan targetnya tersedia. Target defisit APBN 2025 adalah Rp 616,2 T.5

      Tabel di atas memberikan gambaran kuantitatif mengenai situasi fiskal pada awal 2025. Rendahnya persentase pencapaian target penerimaan pajak (14,7%) menjadi sorotan utama, yang berkontribusi pada terjadinya defisit anggaran lebih dini.

      B. Tren Awal dan Volatilitas

      Kinerja penerimaan pajak di awal tahun 2025 menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi. Periode Januari 2025 mencatat kinerja yang sangat lemah, dengan pertumbuhan penerimaan pajak terkontraksi atau minus 41,86% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (11). Data spesifik Januari menunjukkan penerimaan PPh nonmigas hanya mencapai Rp 109,28 triliun atau 6,67% dari target, PPN dan PPnBM Rp 24,62 triliun atau 2,6% dari target, dan PBB Rp 2,22 triliun atau 6,37% dari target (11). Kinerja buruk ini berlanjut hingga Februari, di mana data kumulatif Januari-Februari 2025 dilaporkan anjlok signifikan, disebutkan dalam sebuah referensi berita mencapai 30% (11).

      Namun, terdapat indikasi perbaikan (“membaik”) kinerja penerimaan pajak yang tercatat khusus pada bulan Maret 2025 (7). Penerimaan pajak bruto pada bulan Maret dilaporkan tumbuh positif (7). Perbaikan atau “rebound” pada bulan Maret ini diatribusikan pada beberapa jenis pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 (pajak karyawan), PPh Pasal 25/29 Badan (angsuran pajak perusahaan, khususnya dari sektor pertambangan), dan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) (9).

      Pola kinerja yang sangat lemah di Januari-Februari, yang bertepatan dengan peluncuran sistem Coretax pada 1 Januari 2025 (12), menguatkan dugaan bahwa disrupsi awal akibat implementasi sistem baru ini berdampak negatif terhadap kelancaran proses pelaporan dan pembayaran pajak, sehingga menekan realisasi penerimaan (10). Sumber secara eksplisit mengaitkan data penerimaan yang “buram” atau suram di awal tahun dengan masalah implementasi Coretax (10). Sumber lain juga menyebutkan adanya kendala transisi Coretax dan potensi penghapusan sanksi atas keterlambatan terkait sistem (15). Perbaikan di bulan Maret dapat mencerminkan mulai stabilnya sistem, adaptasi Wajib Pajak dan DJP, atau pengaruh faktor eksternal seperti kenaikan harga komoditas yang mendorong penerimaan dari sektor pertambangan (9). Klaim DJP pada pertengahan Maret bahwa sistem Coretax sudah jauh lebih stabil juga mendukung interpretasi ini (18). Namun, pemulihan ini masih perlu diuji keberlanjutannya di bulan-bulan berikutnya.

      C. Proyeksi Pakar dan Tantangan

      Meskipun awal tahun menunjukkan kinerja yang berat, beberapa pakar masih memproyeksikan adanya perbaikan penerimaan pajak di bulan-bulan mendatang. Ada optimisme bahwa target penerimaan 2025 masih dapat tercapai dan Indonesia bisa terhindar dari “kutukan shortfall” (realisasi di bawah target), asalkan tren positif yang terlihat di bulan Maret dapat terus berlanjut didukung oleh terjaganya pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dalam negeri (9).

      Namun, optimisme ini bersifat kondisional dan dibayangi oleh berbagai tantangan. Proyeksi ekonomi global yang relatif stagnan dapat membatasi ruang pertumbuhan ekonomi domestik (4). Normalisasi harga komoditas setelah periode booming hingga 2023 juga menjadi faktor penekan penerimaan, terutama dari sektor sumber daya alam (4). Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari lembaga internasional seperti Bank Dunia (sebesar 4,7% untuk tahun berjalan) juga lebih rendah dibandingkan asumsi pemerintah (2). Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai keamanan APBN jika penerimaan pajak terus berjalan lambat (“seret”) yang dapat memperlebar defisit anggaran (9).

      Melihat kondisi ini, prediksi awal mengenai potensi tidak tercapainya target penerimaan pajak 2025, bahkan dengan upaya ekstra dari DJP, tampak memiliki dasar yang kuat. Kesenjangan yang signifikan pada Q1, ditambah dengan tantangan ekonomi eksternal dan internal serta ketidakpastian pasca-implementasi Coretax, menciptakan risiko penurunan (downside risks) yang nyata terhadap pencapaian target.

      D. Strategi Pemerintah

      Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah dan DJP menerapkan berbagai strategi untuk mengamankan target penerimaan pajak 2025. Fokus utama adalah mendorong pertumbuhan penerimaan dari PPh nonmigas serta PPN & PPnBM, yang diharapkan sejalan dengan aktivitas ekonomi (4). Upaya standar penegakan hukum (law enforcement) melalui pemeriksaan dan pengawasan Wajib Pajak terus dilakukan ([User Query Point 1]). Hal ini juga didukung oleh fungsi-fungsi dalam Coretax seperti manajemen risiko kepatuhan (Compliance Risk Management) dan audit (19). DJP juga melaksanakan program bersama antar unit di Kementerian Keuangan untuk melakukan analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan intelijen terhadap lebih dari 2.000 Wajib Pajak yang teridentifikasi berisiko tinggi (18).

      Implementasi Coretax itu sendiri merupakan inisiatif strategis jangka panjang yang fundamental, bertujuan untuk membangun sistem administrasi yang lebih efisien, akuntabel, dan terintegrasi, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan sukarela dan penerimaan negara (13). Di samping itu, RUU Pengampunan Pajak kini tengah dipersiapkan di ranah legislatif sebagai opsi kebijakan tambahan (2324).

      Dengan demikian, strategi pemerintah bertumpu pada kombinasi antara harapan pertumbuhan ekonomi organik yang akan mendorong basis pajak utama (PPh dan PPN), efektivitas jangka panjang dari sistem Coretax setelah stabil, upaya penegakan hukum yang berkelanjutan, serta persiapan instrumen kebijakan khusus berupa pengampunan pajak yang dapat digunakan untuk mendongkrak penerimaan di tengah prospek yang menantang.

      III. Rencana Pengampunan Pajak 2025: Status dan Tujuan

      Seiring dengan tantangan penerimaan pajak, wacana mengenai program pengampunan pajak kembali mengemuka pada akhir 2024 dan awal 2025.

      A. Status Legislatif

      Informasi dari berbagai sumber mengonfirmasi bahwa RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah secara resmi dimasukkan sebagai salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025 (23). RUU ini juga menjadi bagian dari Prolegnas jangka menengah untuk periode 2025-2029 (6).

      Inisiatif pengusulan RUU ini berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya diusulkan oleh Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan, dan diproses melalui Badan Legislasi (Baleg) (23). Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, pada November 2024 menjelaskan bahwa Komisi XI secara resmi telah menyampaikan surat untuk memprioritaskan RUU Pengampunan Pajak, menggantikan usulan RUU lain sebelumnya (23).

      Pembahasan RUU ini antara DPR dan pemerintah dijadwalkan akan dimulai pada tahun 2025 (28). Harapannya adalah agar dapat disepakati tahun pajak mana yang akan dicakup oleh program pengampunan ini, dengan kemungkinan menggunakan tahun 2024 sebagai batas waktu (cut-off) pengungkapan (29). Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan pada awal Januari 2025, juga mengindikasikan bahwa persiapan untuk program pengampunan pajak ini telah dimulai (30).

      Meskipun RUU ini telah menjadi prioritas, pada rapat Panitia Kerja (Panja) penyusunan Prolegnas Prioritas 2025 di Baleg pada November 2024, kesepakatan final mengenai RUU ini dilaporkan belum tercapai sepenuhnya pada saat itu (27). Namun, laporan-laporan berikutnya menegaskan kembali status prioritasnya dan rencana dimulainya pembahasan pada Januari 2025 (23). Beberapa sumber juga mencatat bahwa program ini tidak akan berlaku pada tahun berjalan (2024), yang konsisten dengan rencana implementasi pada tahun 2025 atau setelahnya (31). Kejelasan status legislatif ini memvalidasi informasi mengenai adanya RUU Pengampunan Pajak yang diinisiasi oleh DPR/Baleg.

      B. Tujuan yang Dinyatakan

      Rencana pengampunan pajak ini dilandasi oleh beberapa tujuan utama yang dinyatakan secara eksplisit. Tujuan yang paling konsisten disebutkan adalah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan (24). Tambahan penerimaan ini diharapkan dapat mendukung pembiayaan pembangunan nasional (25). Mengingat adanya tekanan pada penerimaan di awal 2025, aspek peningkatan pendapatan ini menjadi sangat relevan.

      Selain peningkatan penerimaan jangka pendek, program ini juga dibingkai dalam konteks reformasi perpajakan yang lebih luas. Tujuan lainnya mencakup upaya mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, memperluas basis data perpajakan (tax base broadening), meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), serta menciptakan basis data perpajakan yang valid, komprehensif, dan terintegrasi (25). Pengampunan pajak dipandang sebagai kebijakan strategis untuk mendukung agenda pembangunan ekonomi nasional (25) dan mungkin juga sejalan dengan visi dan misi pemerintahan baru (29).

      Beberapa pandangan juga mengaitkan pengampunan pajak ini sebagai kesempatan bagi Wajib Pajak untuk “membersihkan” catatan kepatuhan masa lalu (“membersihkan hati masing-masing”) sebelum menghadapi era penegakan hukum yang berpotensi lebih ketat, terutama dengan adanya sistem Coretax (29). Program ini juga diharapkan dapat menjaring aset-aset yang mungkin belum sempat diungkapkan pada program pengampunan pajak atau pengungkapan sukarela sebelumnya (28). Dengan demikian, meskipun peningkatan penerimaan menjadi sorotan utama, program ini juga dikemas dengan tujuan reformasi dan peningkatan kepatuhan jangka panjang.

      C. Konteks Historis

      Usulan pengampunan pajak pada tahun 2025 bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Pemerintah sebelumnya telah melaksanakan program serupa sebanyak dua kali dalam dekade terakhir. Pertama adalah program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang berlangsung pada periode 2016-2017, didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 (25). Kedua adalah Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada tahun 2022, yang sering dianggap sebagai Tax Amnesty Jilid II, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (25).

      Program pengampunan pajak 2016-2017 dilaporkan berhasil mengumpulkan penerimaan PPh dari uang tebusan sebesar Rp 61,01 triliun (25). Namun, persepsi mengenai keberhasilan atau kegagalan program-program sebelumnya masih menjadi perdebatan (28).

      Munculnya usulan untuk program ketiga kalinya (sering disebut “Jilid III” 17) dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa pengampunan pajak telah menjadi instrumen kebijakan yang berulang. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai respons terhadap tantangan yang persisten dalam hal kepatuhan pajak sukarela atau keterbatasan administrasi perpajakan yang ada sebelum era Coretax. Frekuensi penggunaan instrumen ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas jangka panjangnya dibandingkan dengan upaya perbaikan fundamental pada sistem administrasi dan penegakan hukum pajak.

      IV. Implementasi Coretax: Modernisasi Administrasi Perpajakan

      Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam reformasi perpajakan Indonesia dengan diluncurkannya sistem inti administrasi perpajakan yang baru, dikenal sebagai Coretax.

      A. Gambaran Umum Sistem dan Tujuan

      Coretax, atau Core Tax Administration System (CTAS), merupakan bagian dari proyek besar Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) (19). Sistem ini secara resmi diluncurkan secara nasional pada 1 Januari 2025 (12), setelah diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 (12). Coretax dirancang sebagai platform digital terintegrasi yang mencakup hampir seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan.

      Fungsi yang terintegrasi dalam Coretax meliputi pendaftaran Wajib Pajak (WP), pengelolaan dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan Masa, pembayaran pajak, pengelolaan akun Wajib Pajak (Taxpayer Account Management/TAM), manajemen risiko kepatuhan (Compliance Risk Management/CRM), pemeriksaan (audit), penagihan pajak, layanan perpajakan digital, dukungan proses keberatan dan banding, pertukaran informasi otomatis antarnegara (Automatic Exchange of Information/AEoI), serta fungsi intelijen dan analisis data perpajakan (13).

      Tujuan utama pembangunan Coretax adalah untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang sebelumnya dianggap sudah usang (ketinggalan zaman), belum terintegrasi, dan tidak didukung infrastruktur yang memadai (19). Dengan sistem baru ini, DJP menargetkan peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional, peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak, peningkatan kualitas layanan kepada WP (misalnya, mengurangi potensi sengketa dan biaya kepatuhan), peningkatan kemampuan analisis data untuk pengambilan kebijakan dan pengawasan, serta peningkatan kredibilitas dan akuntabilitas institusi DJP (13). Muara dari semua perbaikan ini adalah optimalisasi penerimaan negara (19).

      Akses ke layanan Coretax disediakan melalui portal web coretaxdjp.pajak.go.id (20) atau melalui laman landas pajak.go.id/portal-layanan-wp (32). Pengguna lama layanan DJPOnline perlu melakukan pengaturan ulang kata sandi, sementara WP yang belum pernah menggunakan layanan online atau WP baru perlu melakukan aktivasi akun atau pendaftaran melalui portal tersebut (12). DJP menyediakan berbagai buku panduan penggunaan dan saluran dukungan (Kring Pajak, live chat, email, media sosial, kantor pajak terdekat) untuk membantu WP beradaptasi dengan sistem baru ini (12).

      B. Linimasa Implementasi dan Transisi

      Implementasi Coretax merupakan hasil dari proses panjang yang didasari oleh Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 dan berbagai keputusan Menteri Keuangan (14). Proses persiapan dan pengembangan sistem berlangsung dalam beberapa tahapan sejak awal 2021 hingga 2023, melibatkan perancangan proses bisnis, teknologi, infrastruktur, hingga pelatihan pegawai DJP (19). Uji coba sistem secara nasional dilaksanakan pada akhir tahun 2024, dimulai pada 16 Desember 2024, sebagai langkah final sebelum peluncuran penuh (13).

      Sistem Coretax resmi beroperasi secara nasional mulai 1 Januari 2025, melayani seluruh administrasi perpajakan untuk masa pajak Januari 2025 dan seterusnya (12). Namun, fase awal implementasi sistem berskala masif ini tidak berjalan mulus. Berbagai laporan mengindikasikan adanya masalah teknis, kendala penggunaan, dan gangguan (“bermasalah,” “kendala,” “masalah”) yang dihadapi oleh Wajib Pajak pada minggu-minggu pertama peluncuran (10). Permasalahan ini dikhawatirkan tidak hanya menyulitkan WP tetapi juga berpotensi mengganggu kelancaran pelaporan dan pembayaran pajak, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi realisasi penerimaan negara di awal tahun, seperti yang tercermin pada data Januari-Februari 2025.

      Menyikapi kendala ini, DJP mengambil langkah-langkah transisional. Pemerintah menegaskan komitmen untuk tidak membebani Wajib Pajak selama masa adaptasi ini (16). Salah satu kebijakan penting adalah memastikan tidak ada pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan yang disebabkan oleh masalah pada sistem Coretax, misalnya keterlambatan penerbitan faktur pajak elektronik (e-faktur) atau pelaporan (15). DJP juga terus menyediakan dukungan teknis dan informasi perkembangan sistem (21). Pada pertengahan Maret 2025, DJP mengklaim bahwa sistem Coretax sudah menunjukkan perbaikan stabilitas yang signifikan (18).

      Implementasi Coretax jelas merupakan sebuah perubahan fundamental dan transformasi digital besar-besaran dalam administrasi perpajakan Indonesia. Tujuan jangka panjangnya sangat ambisius dan sejalan dengan praktik tata kelola modern. Namun, tantangan pada fase awal peluncuran (teething problems) adalah hal yang kerap terjadi pada proyek IT skala besar, yang membawa risiko operasional jangka pendek, termasuk potensi dampak pada kelancaran arus penerimaan pajak.

      V. Menganalisis Keterkaitan: Coretax, Pengampunan Pajak, dan Penerimaan

      Ketiga elemen utama yang dibahas โ€“ tantangan penerimaan pajak 2025, rencana pengampunan pajak, dan implementasi Coretax โ€“ tampak saling terkait dan memengaruhi satu sama lain.

      A. Mengevaluasi Hubungan Coretax dan Pengampunan Pajak

      Salah satu klaim yang muncul adalah bahwa implementasi Coretax menjadi alasan utama di balik rencana pengampunan pajak 2025. Meskipun tidak ada sumber yang secara eksplisit menyatakan Coretax sebagai satu-satunya penyebab, terdapat logika strategis yang kuat yang menghubungkan keduanya.

      Coretax dirancang untuk secara signifikan meningkatkan kemampuan DJP dalam mengintegrasikan data, memantau kepatuhan melalui Taxpayer Account Management (TAM) dan Compliance Risk Management (CRM), serta melakukan penegakan hukum yang lebih efektif berbasis data (13). Dengan kemampuan pengawasan dan deteksi yang jauh lebih kuat di bawah Coretax, risiko bagi Wajib Pajak yang selama ini tidak patuh akan meningkat secara drastis.

      Dalam konteks ini, menawarkan program pengampunan pajak sebelum sistem Coretax beroperasi penuh dan stabil dapat menjadi strategi “wortel dan tongkat” (carrot and stick). Ini memberikan kesempatan terakhir (“last chance”) bagi Wajib Pajak untuk secara sukarela mendeklarasikan aset atau penghasilan yang belum dilaporkan dengan tarif tebusan yang relatif rendah, sebelum mereka menghadapi risiko pemeriksaan dan sanksi yang lebih berat di bawah sistem baru yang lebih canggih.

      Beberapa tujuan pengampunan pajak juga secara inheren terkait dengan Coretax. Misalnya, tujuan untuk menciptakan “basis data perpajakan yang valid dan terintegrasi” (25) sangat selaras dengan arsitektur Coretax yang berbasis data terpusat. Data yang diperoleh dari program pengampunan pajak berpotensi dimasukkan ke dalam sistem Coretax untuk meningkatkan profil risiko Wajib Pajak dan mendukung upaya kepatuhan di masa depan (18). Narasi mengenai “membersihkan catatan masa lalu” sebelum penegakan yang lebih ketat (29) juga memperkuat kaitan strategis ini.

      Oleh karena itu, meskipun faktor lain seperti tekanan penerimaan dan pertimbangan politik juga berperan, implementasi Coretax memberikan justifikasi strategis yang kuat dan masuk akal untuk waktu pengusulan RUU Pengampunan Pajak pada tahun 2025. Coretax kemungkinan besar menjadi faktor pendorong utama atau setidaknya kontributor signifikan dalam keputusan untuk mengajukan kembali kebijakan pengampunan pajak.

      B. Peran Pengampunan Pajak dalam Menutup Kesenjangan Penerimaan

      Secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan utama RUU Pengampunan Pajak adalah untuk meningkatkan penerimaan negara (24). Tujuan ini menjadi sangat krusial mengingat kondisi fiskal awal 2025. Dengan realisasi penerimaan pajak Q1 yang hanya mencapai 14,7% dari target (1) dan adanya tantangan ekonomi serta disrupsi Coretax, pencapaian target tahunan sebesar Rp 2.189,3 triliun terlihat semakin berat.

      Dalam situasi ini, program pengampunan pajak dapat diposisikan sebagai instrumen kebijakan untuk memberikan suntikan penerimaan yang signifikan dalam jangka pendek. Mekanismenya adalah melalui pembayaran uang tebusan (seperti PPh pada program 2016-17 25) atas harta yang diungkapkan. Selain itu, dengan masuknya aset atau penghasilan baru ke dalam sistem perpajakan, program ini juga berpotensi memperluas basis pajak (tax base) yang dapat dikenakan pajak secara reguler di masa mendatang, terutama dengan dukungan sistem Coretax yang lebih baik.

      Dengan demikian, menghadapi pelemahan penerimaan di awal tahun dan hambatan transisi Coretax, pengampunan pajak berfungsi sebagai opsi intervensi kebijakan potensial untuk membantu menutup kesenjangan fiskal dan mencapai target penerimaan 2025 yang ambisius. Waktu pengusulannya tampaknya dipengaruhi baik oleh peluncuran Coretax maupun oleh tekanan fiskal yang mendesak.

      C. Sintesis: Interaksi Antar Faktor

      Situasi fiskal Indonesia pada awal 2025 ditandai oleh target penerimaan yang tinggi, namun menghadapi tekanan dari kondisi ekonomi dan gangguan signifikan akibat implementasi sistem Coretax. Rencana pengampunan pajak muncul sebagai respons kebijakan yang multifungsi. Di satu sisi, ia bertujuan mengatasi tekanan penerimaan jangka pendek. Di sisi lain, ia berfungsi memfasilitasi transisi ke rezim Coretax yang lebih ketat dengan mendorong pengungkapan sukarela sebelum kemampuan pengawasan DJP meningkat drastis. Program ini juga sejalan dengan tujuan reformasi perpajakan yang lebih luas.

      Keberhasilan pencapaian target penerimaan 2025 tampaknya akan sangat bergantung pada kombinasi beberapa faktor: keberlanjutan pemulihan ekonomi, kecepatan stabilisasi dan efektivitas penggunaan sistem Coretax oleh DJP dan Wajib Pajak, serta keberhasilan desain dan implementasi program pengampunan pajak (jika RUU ini disahkan dan dijalankan). Mengingat kompleksitas dan tantangan yang ada pada setiap faktor ini, prediksi awal mengenai potensi terjadinya shortfall penerimaan pada tahun 2025 tetap merupakan kemungkinan yang nyata.

      VI. Kesimpulan

      Berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber yang tersedia, berikut adalah rangkuman temuan :

      1. Prediksi Shortfall Penerimaan Pajak 2025: Prediksi ini masuk akal (plausible). Data Q1 2025 menunjukkan kesenjangan signifikan (realisasi 14,7% vs target proporsional 25%). Gangguan awal implementasi Coretax kemungkinan besar turut menekan penerimaan di Januari-Februari. Meskipun ada perbaikan di bulan Maret, pemulihan ini bersifat kondisional dan masih dibayangi risiko ekonomi serta tantangan adaptasi Coretax (1).
      2. Informasi RUU Pengampunan Pajak oleh DPR/Baleg: RUU Pengampunan Pajak secara resmi telah dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2025, diinisiasi oleh DPR melalui Komisi XI dan Baleg (23).
      3. Tujuan Pengampunan Pajak (Meningkatkan Penerimaan): Peningkatan penerimaan pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai salah satu tujuan utama dari RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan (24).
      4. Alasan Pengampunan Pajak (Implementasi Coretax): Ini merupakan faktor pendorong strategis yang masuk akal, namun kemungkinan bukan satu-satunya alasan. Namun, waktu peluncuran Coretax dan peningkatan kemampuan pengawasannya memberikan logika strategis yang kuat untuk menawarkan pengampunan pajak sebagai ‘kesempatan terakhir’ sebelum penegakan hukum yang lebih ketat, di samping tujuan peningkatan penerimaan dan reformasi lainnya (13).

      Sebagai penutup, perlu ditekankan bahwa analisis ini didasarkan sepenuhnya pada informasi yang tersedia hingga awal Mei 2025. Situasi fiskal dan perkembangan kebijakan bersifat dinamis. Realisasi penerimaan pajak 2025 serta nasib dan dampak RUU Pengampunan Pajak dapat terus berkembang seiring berjalannya waktu.

      Karya yang dikutip

      1. Kuartal I 2025, Kemenkeu Catat Penerimaan Pajak 14,7% dari Target APBN – Ortax, diakses Mei 3, 2025, https://ortax.org/kuartal-i-kemenkeu-catat-penerimaan-pajak-14-7-persen-dari-target-apbn
      2. Realisasi Penerimaan Pajak Capai Rp322,6 Triliun pada Kuartal I/2025 – DDTC News, diakses Mei 3, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1810415/realisasi-penerimaan-pajak-capai-rp3226-triliun-pada-kuartal-i2025
      3. Sri Mulyani: Penerimaan Pajak Membaik, Triwulan I 2025 Terkumpul Rp 322,6 Triliun, diakses Mei 3, 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/sri-mulyani-penerimaan-pajak-membaik-triwulan-i-2025-terkumpul-rp-322-6-triliun-1257397
      4. Berikut Tantangan dan Strategi Pemerintah Capai Target Penerimaan Pajak 2025, diakses Mei 3, 2025, https://keuangan.kontan.co.id/news/berikut-tantangan-dan-strategi-pemerintah-capai-target-penerimaan-pajak-2025
      5. Breaking News! APBN Tekor Rp 104 Triliun di Akhir Maret 2025 – CNBC Indonesia, diakses Mei 3, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20250430124737-4-629926/breaking-news-apbn-tekor-rp-104-triliun-di-akhir-maret-2025
      6. Selain โ€œTax Amnestyโ€, Revisi UU HPP Masuk dalam Prolegnas 2025-2029 – PAJAK.COM, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajak.com/pajak/selain-tax-amnesty-revisi-uu-hpp-masuk-dalam-prolegnas-2025-2029/
      7. Realisasi APBN hingga Maret 2025 Tetap Terjaga, Menkeu: APBN Bekerja Sebagai Counter Cyclical Hadapi Tantangan Global – Kementerian Keuangan, diakses Mei 3, 2025, https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/apbn-kita-april-25-postur
      8. Berikut Tantangan dan Strategi Pemerintah Capai Target Penerimaan Pajak 2025, diakses Mei 3, 2025, https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Strategi-Pemerintah-Capai-Target-Penerimaan
      9. Prediksi Penerimaan Pajak 2025, Bakal Terhindar dari ‘Kutukan’ Shortfall? – Ekonomi, diakses Mei 3, 2025, https://ekonomi.bisnis.com/read/20250501/259/1873670/prediksi-penerimaan-pajak-2025-bakal-terhindar-dari-kutukan-shortfall
      10. Buram Penerimaan Pajak di Tengah Masalah Coretax, APBN KiTa Tak Kunjung Rilis, diakses Mei 3, 2025, https://ekonomi.bisnis.com/read/20250307/259/1859048/buram-penerimaan-pajak-di-tengah-masalah-coretax-apbn-kita-tak-kunjung-rilis
      11. Pertumbuhan Penerimaan Pajak Januari 2025 Minus 41,86% – MUC Consulting, diakses Mei 3, 2025, https://muc.co.id/id/article/pertumbuhan-penerimaan-pajak-januari-2025-minus-4186
      12. Implementasi Coretax DJP | Direktorat Jenderal Pajak, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajak.go.id/coretaxdjp
      13. Coretax Siap Uji Coba Secara Nasional Mulai 16 Desember 2024 – Pajakku, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajakku.com/read/5a05eb32-9979-48ae-a7ce-5ef4154e19cb/Coretax-Siap-Uji-Coba-Secara-Nasional-Mulai-16-Desember-2024
      14. Implementasi Coretax DJP, Ini Keputusan yang Ditetapkan Sri Mulyani – DDTC News, diakses Mei 3, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1808089/implementasi-coretax-djp-ini-keputusan-yang-ditetapkan-sri-mulyani
      15. Mengenal Coretax dan Dasar Hukumnya – Hukumonline, diakses Mei 3, 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-coretax-dan-dasar-hukumnya-lt6789163906aa9/
      16. Masa Transisi Coretax Sebagai Solusi Adaptasi Pajak, Berlaku Sampai Kapan? – FlazzTax, diakses Mei 3, 2025, https://flazztax.com/2025/01/24/masa-transisi-coretax-sebagai-solusi-adaptasi-pajak-berlaku-sampai-kapan/
      17. Menko Airlangga Buka Suara Soal Isu Pembahasan โ€œTax Amnestyโ€ Jilid III – PAJAK.COM, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajak.com/pajak/menko-airlangga-buka-suara-soal-isu-pembahasan-tax-amnesty-jilid-iii/
      18. Tujuan Deposit Coretax Harus Jelas, Data Tax Amnesty untuk Kepatuhan – DDTC News, diakses Mei 3, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1809460/tujuan-deposit-coretax-harus-jelas-data-tax-amnesty-untuk-kepatuhan
      19. PSIAP DJP: Pengertian, Manfaat, dan Implementasinya – Mekari Klikpajak, diakses Mei 3, 2025, https://klikpajak.id/blog/psiap-djp/
      20. Coretax – Direktorat Jenderal Pajak, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajak.go.id/reformdjp/Coretax/
      21. Coretax – Direktorat Jenderal Pajak, diakses Mei 3, 2025, https://pajak.go.id/coretax
      22. Apa Itu Core Tax System? – Pajakku, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajakku.com/read/62d8afa8a9ea8709cb18b2c7/Apa-Itu-Core-Tax-System
      23. RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) – PERPUSTAKAAN DPR RI, diakses Mei 3, 2025, https://perpustakaan.dpr.go.id/sipinter/index/pdf/id/167
      24. RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) – SIPINTER | Sistem Paket Informasi Terkini, diakses Mei 3, 2025, https://perpustakaan.dpr.go.id/sipinter/index/detail/id/167
      25. RUU Pengampunan Pajak Jadi Prioritas Prolegnas 2025, Apa Dampaknya? – Pajakku, diakses Mei 3, 2025, https://www.pajakku.com/read/425d3e5c-2e4f-4a5a-8d65-9e29cad8d1a2/RUU-Pengampunan-Pajak-Jadi-Prioritas-Prolegnas-2025-Apa-Dampaknya?
      26. RUU Tax Amnesty Masuk Prolegnas Prioritas 2025 – Ortax, diakses Mei 3, 2025, https://ortax.org/penyusunan-prolegnas-ruu-tax-amnesty-masuk-prioritas-2025
      27. Rapat Panja Prolegnas Prioritas 2025 Belum Sepakati RUU Tax Amnesty – DDTC News, diakses Mei 3, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1806952/rapat-panja-prolegnas-prioritas-2025-belum-sepakati-ruu-tax-amnesty
      28. DPR Bahas Tax Amnesty Jilid III Mulai Januari 2025, Ini Bocorannya – CNBC Indonesia, diakses Mei 3, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20241130075751-4-592328/dpr-bahas-tax-amnesty-jilid-iii-mulai-januari-2025-ini-bocorannya
      29. RUU Pengampunan Pajak untuk Dukung Visi dan Misi Pemerintahan Baru – DDTC News, diakses Mei 3, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1806981/ruu-pengampunan-pajak-untuk-dukung-visi-dan-misi-pemerintahan-baru
      30. Pemerintah Mulai Siapkan Program Pengampunan Pajak – DDTC News, diakses Mei 3, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1807992/pemerintah-mulai-siapkan-program-pengampunan-pajak
      31. DPR Pastikan Tax Amnesty Jilid III Tak Berlaku Tahun Ini – pengampunan pajak, diakses Mei 3, 2025, https://pengampunanpajak.com/2025/04/22/dpr-pastikan-tax-amnesty-jilid-iii-tak-berlaku-tahun-ini/
      32. Implementasi Coretax DJP | Direktorat Jenderal Pajak, diakses Mei 3, 2025, https://pajak.go.id/id/pengumuman/implementasi-coretax-djp

      Catatan:
      Konten ini 100% ditulis oleh Gemini. Saya hanya memberikan ide.

      Pemeriksaan Pajak Era Coretax

      Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 15 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan. PMK ini merupakan tata cara pemeriksaan pajak yang diperkirakan “penyesuaian” dengan sistem inti Coretax. Dan tentu saja bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan.

      Tata cara pemeriksaan 2025 mengadopsi pemeriksaan secara hybrid, yaitu pemeriksaan secara online melalui Coretax, tetapi masih bisa dilakukan pemeriksaan di tempat Wajib Pajak. Kewenangan-kewenangan pemeriksa pajak sesuai Undang-Undang KUP masih tetap berlaku.

      Hak dan Kewajiban Menurut UU KUP

      Pemeriksaan pajak diatur di Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang KUP. Pemeriksaan pajak merupakan hak atau kewenangan Direktur Jenderal Pajak. Hal ini diatur di Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP:

      Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Walaupun yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak seorang Direktur Pajak, tetapi pelaksanaan pemeriksaan dilakukan oleh pemeriksa pajak. Direktur Jenderal Pajak memerintahkan kepada petugas pemeriksa, atau PNS DJP, untuk melakukan pemeriksaan. Ketentuan ini diatur di Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang KUP:

      Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.

      Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP memberikan kewajiban kepada auditee, atau Wajib Pajak yang diperiksa, untuk “membantu kelancaran” pemeriksaan. Berikut kutipannya:


      Wajib Pajak yang diperiksa wajib:

      1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
      2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
      3. memberikan keterangan lain yang diperlukan.

      Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.

      Ada sanksi administrasi jika Wajib Pajak tidak menyampaikan buku, catatan, dan dokumen dalam 1 bulan, yaitu sanksi administrasi berupa penetapan secara jabatan. Surat Ketetapan Pajak dihitung oleh pemeriksa pajak berdasarkan “cara lain”, bukan berdasarkan keadaan sebenarnya.

      Pasal 30 Undang-Undang KUP memberikan kewenangan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan penyegelan tempat Wajib Pajak. Walaupun demikian, penyegelan sudah jarang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Bahkan saya menduga, pemeriksa pajak yang diangkat era 2010 ke sini tidak ada yang melakukan penyegelan. Berbeda dengan dulu, era saya masih muda, apapun sering saya segel ^_^

      Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b

      Selain itu, Pasal 29 Undang-Undang KUP juga mencabut semua rahasia Wajib Pajak. Tidak ada alasan bagi Wajib Pajak untuk tidak memberikan data, dan informasi apapun terkait usahanya walaupun data dan informasi tersebut bersifat rahasia. Sifat rahasianya sudah dicabut dengan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang KUP:

      Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

      Prosedur Wajib Pemeriksaan Pajak

      Tata cara pemeriksaan pajak tentu saja mengatur prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh pemeriksa pajak. Namun, ada dua pendapat tentang PMK tata cara pemeriksaan.

      Pendapat pertama, bahwa tata cara pemeriksaan merupakan aturan administrasi berupa prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh pemeriksa pajak. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa, syarat sahnya Keputusan meliputi:
      a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
      b. dibuat sesuai prosedur; dan
      c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

      Artinya, jika ada surat ketetapan pajak yang prosedur pemeriksaannya tidak sesuai dengan PMK tata cara pemeriksaan maka dapat dibatalkan.

      Namun di sisi lain, Undang-Undang KUP mengatur hasil pemeriksaan yang dapat dibatalkan, yaitu diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:

      Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

      Berdasarkan ketentuan ini, maka prosedur wajib dalam pemeriksaan hanya ada dua, yaitu SPHP dan pembahasan akhir hasil pemeriksaa. Selain 2 prosedur tersebut, maka dianggap tidak wajib. Jika bukan wajib maka jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi.

      Sebagian hakim di Pengadilan Pajak berpendapat bahwa PMK tata cara pemeriksaan merupakan panduan dari Menteri Keuangan agar pemeriksaan pajak berlaku benar. Bukan syarat sah atau tidak sahnya surat ketetapan pajak.

      Jadi, jangan heran jika jangka waktu pemeriksaan pada praktiknya tidak sama dengan PMK Tata Cara Pemeriksaan. Jangka waktu pembahasan tidak sama dengan PMK tata cara pemeriksaan, dan seterusnya.

      Pembahasan Daftar Temuan Sementara

      PMK baru tata cara pemeriksaan menghadirkan prosedur baru, yaitu Pembahasan Temuan Sementara.

      Pembahasan Temuan Sementara adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan sementara Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

      Pembahasan Temuan Sementara diatur di Pasal 17 PMK 15 Tahun 2025. Pembahasan Temuan Sementara dilakukan melalui penyampaian panggilan Pembahasan Temuan Sementara kepada Wajib Pajak dilampiri dengan daftar temuan sementara. Waktu Pembahasan Temuan Sementara dilakukan 1 bulan sebelum jangka waktu pengujian berakhir. Artinya, pembahasan dilakukan 1 bulan sebelum SPHP.

      Jika jangka waktu pengujian pemeriksaan lengkap 5 bulan, maka pada bulan ke 4 harus sudah ada panggilan Pembahasan Temuan Sementara. Jika tidak ada panggilan, patut ditanyakan kepada pemeriksanya kapan dilakukan Pembahasan Temuan Sementara.

      Menurut saya, Pembahasan Temuan Sementara lebih penting daripada Pembahasan Hasil Pemeriksaan (setelah SPHP). Biasanya tensi setelah SPHP sudah tinggi jika sengketanya banyak. Sehingga mungkin pembahasannya tidak optimal.

      Fungsi Pembahasan Temuan Sementara sebenarnya untuk “klarifikasi” tentang data-data temuan. Bisa jadi pemeriksa pajak melakukan koreksi fiskal karena datanya kurang, sehingga pada saat Pembahasan Temuan Sementara, data-data yang diperlukan dilengkapi.

      Karena itu, PMK tata cara pemeriksaan mengatur:

      Dalam pelaksanaan Pembahasan Temuan Sementara, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk:

      • memberikan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik;
      • memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik;
      • memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk Data Elektronik, yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak; dan/atau
      • menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak.

      Dengan demikian, kita harapkan pada saat Pembahasan Temuan Sementara, sebagian BESAR koreksi fiskal sudah jelas, memiliki dasar koreksi kuat, dan dapat dipertanggung jawabkan.

      Tinggal perbedaan pendapat terkait penafsiran atau penerapan aturan perpajakan. Masalah perbedaan pendapat sangat wajar. Jangankan antara Wajib Pajak dengan fiskus yang berada dalam kubu berseberangan, diantara fiskus yang sama-sama dalam satu kubu, sangat dimungkinkan untuk berbeda pendapat.

      Karena itu perlu ditengahi dengan pendapat pihak ketiga melalui Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

      Pemeriksaan Secara Online

      PMK tata cara pemeriksaan yang baru ini juga mengakomodir pemeriksaan secara online. Bisa saja nanti dilakukan pemeriksaan yang 100% secara online. Pertemuan dengan tim pemeriksa pajak dilakukan melalui aplikasi zoom. Pemberian dokumen dilakukan secara elektronik.

      Pertemuan daring (online) antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak diatur di Pasal 11 ayat (3) PMK tata cara pemeriksaan. Walaupun ayat tersebut dalam rangka pertemuan pertama, tetapi dapat dijadikan alasan bolehnya dilakukan secara daring.

      Sebelumnya, pertemuan pertama harus dilakukan secara tatap muka langsung, dan yang menghadap harus direksi. Tidak boleh diwakilkan atau dikuasakan.

      Sekarang, pertemuan pertama dapat dikuasakan kepada konsultan pajak. Artinya, konsultan pajak yang sudah memiliki ijin dan terdaftar di SIKOP dapat ditunjuk oleh Wajib Pajak sebagai kuasa khusus, baik melalui Coretax maupun surat kuasa khusus.

      Pasal 27 ayat (4) PMK tata cara pemeriksaan mengatur:

      Dalam hal Pemeriksaan dilakukan secara daring dan dokumen Pemeriksaan memerlukan tanda tangan kedua belah pihak, baik Wajib Pajak maupun tim Pemeriksa Pajak, penandatanganan dilakukan secara elektronik.

      Pasal 27 PMK tata cara pemeriksaan mengatur tentang penyampaian dokumen oleh Wajib Pajak kepada pemeriksa pajak. Sejak era Coretax, dokumen yang disampaikan kepada pemeriksa pajak tidak harus berbentuk fisik, tapi bisa berbentuk elektronik. Bisa di-pdf-kan dulu, baru dikirim.

      PMK 15 Tahun 2025

      Tulisan Sebelumnya Tentang Pemeriksaan Pajak

      Video Pemeriksaan Pajak

      Undang-Undang HPP

      Pelengkap Undang-Undang Cipta Kerja

      Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajak (HPP) sudah disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021. Namun berlakunya Undang-Undang HPP ada 3 tanggal yaitu, tanggal 29 Oktober 2021 (KUP), 1 Januari 2022 atau tahun pajak 2022 (PPh dan PPS), dan 1 April 2022 (PPN dan Pajak Karbon). Undang-Undang HPP melengkapi reformasi perpajakan terutama di bidang aturan.

      CATATAN: Tulisan ini sebenarnya sudah lama dibuat. Hanya saja telanjur “ketinggalan” sehingga belum sempat dilengkapi. Sekarang, daripada hanya tersimpan di konsep, saya publikasikan saja.

      Bagian lain dari reformasi perpajakan adalah program pengadaan coretax atau Sistem Informasi Administrasi Perpajakan (SIAP). Direncanakan 2024 SIAP akan digunakan secara penuh oleh DJP. SIAP ada sebuah “mesin” baru dan modern yang membawa DJP ke pelayanan serba digital.

      Undang-Undang KUP

      Perubahan Undang-Undang KUP di UU HPP meliputi: penggunaan NIK sebagai NPWP, penyelarasan sanksi administrasi dengan perubahaan Cipta Kerja, penambahan kewenangan otoritas pajak terkait pajak internasional, kuasa wajib pajak, dan penambahan kewenangan penyidik PNS pajak.

      Integrasi NIK ke NPWP

      Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan

      Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang KUP

      Integrasi NIK menjadi NPWP sebenarnya sudah disiapkan sejak lama oleh DJP. Prinsipnya agar ada identitas tunggal. Dulu, ada nomor khusus PKP. Kemudian nomor PKP dihapus digabung dengan NPWP. Sehingga, status PKP atau bukan hanya tahu setelah kita cek di sistem informasi.

      Begitu juga nantinya jika NIK sudah diaplikasikan sebagai NPWP. Status wajib lapor dari Wajib Pajak hanya bisa dicek di sistem. Karena NIK adalah sekedar nomor. Bahkan nomor tersebut diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri.

      Seseorang wajib lapor SPT atau tidak tergantung penghasilan yang diperoleh. Jika penghasilannya diatas PTKP, tentu saja menjadi wajib lapor dan wajib bayar Pajak Penghasilan.

      Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan

      Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan

      Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP

      Sebenarnya, setelah pemeriksa pajak sudah menyampaikan SP2 ke Wajib Pajak, maka tidak ada lagi pembetulan SPT. Setelah dimulainya pemeriksaan, pajak terutang akan dihitung oleh pemeriksa pajak. Berubah dari self assessment menjadi official assessment.

      Walaupun demikian, wajib pajak tetap dapat menyampaikan SPT. Tetapi SPT ini tidak lagi dibaca sebagai SPT. Karena itu istilahnya menjadi pengungkapan ketidakbenaran SPT.

      Adalanya pengungkapan ketidak benaran SPT tidak serta merta menjadikan pemeriksaan berhenti. Pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dan pemeriksa pajak tetap memperhatikan isi dari pengungkapan ketidakbenaran SPT tersebut.

      Karena itu, perlu ada batasan sampai kapan pengungkapan ketidakbearan SPT tersebut dapat disampaikan. Undang-Undang KUP lama mengatur bahwa paling lambat sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan.

      Namun dalam praktiknya, jika wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran SPT saat dilakukan pembahasan (setelah SPHP), maka pembahasannya akan sulit. Sehingga bisa jadi pengungkapan ketidakbenaran SPT akan menjadi tidak diperhatikan pemeriksa pajak.

      Karena itu, dengan Undang-Undang HPP, ketentuan batas pengungkapan ketidakbenaran SPT dimajukan menjadi sebelum SPHP.

      Besaran Sanksi Pada Saat Pemeriksaan

      Untuk keadilan dan kepastian hukum, dilakukan penurunan sanksi pada saat pemeriksaan. Hal ini juga sejalan dengan semangat pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

      Penagihan atas Wanprestasi Pembayaran Angsuran

      Berdasarkan kuasa Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Kewenagnan ini kemudian didelegasikan menjadi kewenagan Juru Sita pajak.

      Namun dalam pelaksanaannya, bisa jadi Wajib Pajak tidak membayar pajak sesuai komitmen dengan Juru Sita pajak terserbut. Sehingga kemudian menjadi tidak ada kepastikan, kapan dibayar.

      Karena itu, Undang-Undang HPP kemudian memberikan tambahan kewenangan untuk petugas Juru Sita pajak. Juru Sita pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

      Besaran Sanksi Pada Saat Upaya Hukum

      Untuk keadilan dan kepastian hukum, dilakukan penurunan sanksi pada saat upaya hukum. Hal ini juga sejalan dengan semangat pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

      Kuasa Wajib Pajak

      Undang-Undang HPP menyelaraskan aturan Kuasa Khusus Pajak dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017.

      Kuasa Wajib Pajak adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua

      Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP

      Kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan oleh siapapun, sepanjang memenuhi persyaratan kompetensi menguasai bidang perpajakan. Pengecualian syarat diberikan jika kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah/semenda sampai 2 (dua) derajat

      Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemotong/Pemungut Pajak

      Mengikuti perkembangan teknologi, memungkinkan otoritas pajak Indonesia menyuruh Subjek Pajak Luar Negeri untuk melakukan kewajiban tertentu, seperti memungut PPN produk digital.

      Dalam hal ternyata Subjek Pajak Luar Negeri tidak melakukan kewajibannya, Menteri Keuangan melakukan teguran. Kemudian jika teguran tersebut tidak diindahkah, maka Menteri Keuangan memintan Kementerian di bidang komunikasi dan informatika untuk melakukan pemutusan akses.

      Hal ini sebagai sebagai solusi bagi perkembangan transaksi ekonomi yang semakin dinamis, termasuk yang melibatkan penyedia sarana transaksi elektronik, sehingga pemungutan pajak dapat dilakukan secara efisien, sederhana, dan efektif.

      Ultimum Remedium

      Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

      Hukuman pidana pajak adalah memenjarakan tersangka. Dalam hal ini biasanya yang menjadi tersangka adalah wakil Wajib Pajak badan.

      Pajak pada dasarnya tidak bertujuan untuk memenjarakan orang. Tetapi untuk menagih pajak, mengumpulkan uang pajak untuk Kas Negara.

      Karena itu, di Undang-Undang HPP, “upaya damai” masih bisa dilakukan sebelum vonis hakim. Upaya damai yang dimaksud yaitu dengan membayar pajak terutang ditambah sanksi administrasi.

      Tabel sanksi administrasi sebagai “upaya damai” tindak pidana pajak

      Tambahan Kewenangan Penyidik PNS Pajak

      Undang-Undang HPP memberikan tambahan kewenangan penyidik PNS pajak. Tambahan kewenangan ini dalam rangka pembayaran pajak terutang dan sanksi administrasinya.

      Pemberian tambahan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penyitaan dan/atau pemblokiran aset milik tersangka sebagai jaminan untuk memulihkan Kerugian Pada Pendapatan Negara.

      melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat;

      Pasal 44 ayat (2) huruf j Undang-Undang PPh

      Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

      Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

      File PDF

      Berikut ini adalah file PDF Undang-Undang HPP ditambah dengan salindia sosialisasi Undang-Undang HPP. Semua file dalam bentuk pdf.

      Undang-Undang HPP

      Salindia Sosialisasi Undang-Undang HPP

      QnA Undang-Undang HPP

      Di bawah ini merupakan salinan dari https://pajak.go.id/uu-hpp yang saya tulis ulang dalam bentuk QnA dari wordpress ๐Ÿ™‚

      Apa Tujuan Undang-Undang HPP?

      Undang-Undang HPP memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu:

      • memperluas basis pajak;
      • menciptakan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum;
      • memperkuat administrasi perpajakan; dan
      • meningkatkan kepatuhan.

      Bagaimana pengaturan fringe benefit?

      Terdapat pengaturan kembali Fringe Benefit, di mana dalam pasal ini pemberian dalam bentuk natura dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi pegawai (Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 9 UU HPP).

      Natura tertentu bukan merupakan penghasilan bagi penerima:

      • Penyediaan makan/minum bagi seluruh pegawai
      • Natura di daerah tertentu
      • Natura karena keharusan pekerjaaan, contoh: alat keselamatan kerja atau seragam.
      • Natura yang bersumber dari APBN/APBD.
      • Natura dengan jenis dan Batasan tertentu.

      Apakah ada perubahan PTKP?

      WP OP yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak (Pasal 7 ayat 2a).

      Bagi orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai Rp 500 juta setahun tidak dikenai PPh.

      Apakah ada perubahan terkait penyusutan dan amortisasi?

      Terdapat pengaturan kembali penyusutan dan amortisasi dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (Pasal 11 dan Pasal 11A). Atas penyusutan/amortisasi bangunan dan asset tidak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun dapat dilakukan sesuai masa manfaat berdasar pembukuan Wajib Pajak. Ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan kepada Wajib Pajak melakukan penyusutan atau amortisasi bangunan dan asset tidak berwujud di atas 20 tahun.

      Apa tujuan diubahnya bracket tarif PPh OP?

      Perubahan tarif dan bracket PPh OP bertujuan untuk meningkatkan keadilan serta mengedepankan keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat berpenghasilan menengah/bawah. Di mana pada pasal ini, batasan bawah untuk penghasilan yang dikenakan pajak yang awalnya berjumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) naik menjadi Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan batasan atas tarif yang sebelumnya hanya maksimal di angka 30% ditingkatkan menjadi 35% dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.

      Apa Pertimbangan Pemerintah Mempertahankan Tarif PPh Badan?

      Hal ini dilakukan sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai berupaya meningkatkan kontribusi penerimaan pajak korporasi, namun dengan tetap menjaga iklim investasi di Indonesia.

      Apabila dibandingkan dengan rata-rata tarif PPh Badan untuk beberapa wilayah dan organisasi kerjasama pada tahun 2021, maka tarif PPh Badan Indonesia merupakan salah satu yang terendah.

      Apakah ada ketentuan pencegahan penghindaran pajak di UU HPP?

      Terdapat upaya mencegah penghindaran pajak dengan diterapkannya metode yang sesuai dengan international best practice yang diatur dalam Perubahan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang PPh.

      Hal ini merupakan upaya antisipasi untuk mencegah penghindaran pajak melalui pembebanan biaya pinjaman yang berlebihan yang saat ini diatur hanya dengan pembatasan perbandingan utang dengan modal, sehingga upaya mencegah penghindaran pajak dapat tetap adil dan seimbang dengan upaya untuk mendorong investasi dan pemulihan ekonomi nasional.

      Apa latar belakang penambahan kewenangan terkait tax treaty di UU HPP?

      Penambahan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian multilateral diatur dalam Perubahan Pasal 32 A Undang-Undang PPh.

      Penambahan ini dilakukan untuk mewujudkan kerja sama internasional di bidang perpajakan sehingga diperlukan suatu instrumen perjanjian atau kesepakatan internasional dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Oleh karena itu diperlukan penguatan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra baik secara bilateral maupun multilateral.

      Pajak Pertambahan nilai

      Apakah ada perbedaan objek PPN dan bukan objek PPN?

      Pengecualian objek PPN dan fasilitas PPN:

      1. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya, diberikan fasilitas pembebasan PPN, sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
      2. Pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
      3. Pengaturan ini dimaksudkan bahwa perluasan basis PPN dilakukan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional, sehingga optimalisasi penerimaan negara diselenggarakan dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
      Apa tujuan dinaikkannya tarif PPN?

      Kenaikan tarif PPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan serta keadilan dalam proses pemungutan PPN, namun pemerintah juga tetap mempertimbangkan kondisi masyarakat dan kegiatan usaha yang masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19, sehingga kenaikannya diatur dalam dua tahap dan tidak dalam waktu dekat.

      Terdapat kenaikan tarif PPN dari 10% (sepuluh persen) menjadi 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan menjadi 12%(dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

      Apa yang dimaksud pengenaan PPN Final?

      Pasal 9A Undang-Undang PPN mengatur kemudan dan kesederhanaan PPN atau disebut PPN final. Misal Penerapan tarif 1%, atau 2%, atau 3% untuk barang / jasa tertentu.

      Pasal ini juga menunjukkan keberpihakan pemerintah dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) Tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan usaha tertentu, dan/atau melakukan penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu.

      Ketentuan umum dan tata cara perpajakan

      Apa tujuan pemberlakukan NIK menjadi NPWP? Dan apakah setiap orang yang memiliki NIK wajib bayar pajak?

      ujuannya adalah Integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan agarmempermudah WP orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakandemi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.

      Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta menyebabkan setiap orang pribadi membayar pajak. Pembayaran pajak dilakukan apabila:

      • Penghasilan setahun di atas batasan PTKP; atau
      • Peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun bagi pengusaha yang membayar PPh Final 0,5% (PP-23/2018).
      Apakah Wajib Pajak dapat mengungkapkan ketidak benaran pengisian SPT?

      WP diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT (Pasal 8 ayat 4), meskipun sudah dilakukan pemeriksaan, selama DJP belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

      Apa tujuan pengurangan sanksi di UU HPP?

      Pengurangan sanksi administratif pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU HPP merupakan wujud sinkronisasi aturan terbaru ini (UU HPP) dengan UU Cipta Kerja.

      Apakah ada sanksi administrasi terkait keterlambatan pembayaran pajak atau penundaan pembayaran?

      DJP dapat mengenakan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan pembayaran angsuran atau penundaan (wanprestasi) pembayaran pajak (Pasal 14 ayat 1 huruf i).

      Apa tujuan disisipkannya Pasal 20A asistensi penagihan pajak global?

      Pasal ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak yang dilakukan WP, dimana salah satunya adalah dengan menghindari pembayaran utang pajak.  Untuk mencegah penghindaran tersebut salah satunya dilakukan melalui kerja sama internasional di bidang bantuan penagihan pajak. Namun dikarenakan belum terdapat ketentuan dalam undang-undang domestik, sehingga ketentuan bantuan penagihan dalam P3B tersebut menjadi tidak efektif.

      Agar ketentuan dalam P3B tersebut menjadi efektif diperlukan suatu pengaturan pasal bantuan penagihan pajak dalam undang-undang domestik yang bertujuan sebagai:

      • dasar hukum untuk melaksanakan bantuan penagihan pajak dengan otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai prinsip resiprokal;
      • mendorong peningkatan kepatuhan WP dan/atau Penanggung Pajak, terutama terkait kepatuhan pembayaran tagihan atas utang pajak; dan
      • dapat mendukung upaya pengamanan penerimaan pajak sekaligus untuk mencegah WP atau Penanggung Pajak melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) terkait tagihan atas utang pajaknya.
      Apa tujuan diturunkankan tarif sanksi administrasi pada proses keberatan dan banding?

      Penurunan sanksi ini akan meningkatkan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Sanksi setelah upaya hukum namun keputusan keberatan/pengadilan menguatkan ketetapan DJP akan diberikan penurunan, dengan persentase seperti di bawah ini:

      Apa tujuan diaturnya MAP di pasal 27C?

      Ketentuan saat ini WP dapat mengajukan MAP, namun proses MAP dihentikan dalam hal telah terdapat Putusan Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung (MA). Situasi ini menyebabkan WP kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan dalam penghindaran pengenaan pajak berganda, atas isu yang tidak dijadikan sengketa di Pengadilan Pajak atau MA. Hal tersebut berdampak kurang positif karena MAP tidak dilaksanakan sesuai dengan international best practice. Aturan ini menjadi solusi atas hal tersebut dan dapat memberikan keadilan kepada WP dalam pengajuan MAP.

      Bagaimana ketentuan kuasa di UU HPP?

      Berdasarkan Pasal 32 UU HPP, setiap orang yang ditunjuk menjadi kuasa Wajib Pajak harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali apabila kuasa Wajib Pajak merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. Ketentuan ini menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 sehinngga kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

      Apakah ada pengaturan pertukaran data antar instansi pemerintah?

      Pasal 34 UU HPP mengatur tentang sinergi antar instansi pemerintah untuk melakukan pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan Kerjasama. Pasal ini memberikan kewenangan Menteri Keuangan untuk memberikan izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk untuk memberikan keterangan dan bukti tertulis kepada pihak ditunjuk.

      Apakah ada perubahan daluwarsa tindak pidana perpajakan?

      Penegasan daluwarsa penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan diatur dalam Pasal 40 UU HPP, khususnya dalam Penjelasan Pasal 40 UU HPP.

      Diperlukan kepastian hukum terkait kapan perbuatan pidana perpajakan tidak dapat dilakukan penanganan pidana atau penyidikan. Jika dalam jangka waktu 10 tahun sejak terutangnya pajak, atas WP tidak dilakukan proses Penyidikan, maka setelah lewat 10 tahun tersebut, DJP tidak memiliki hak lagi untuk melakukan penanganan pidana di bidang perpajakan atas WP tersebut.

      Apakah ada perubahan ketentuan Pemeriksaan Bukti Permulaan?

      Terdapat penambahan 1 ayat pada Pasal 43A sebagai penegasan PPNS DJP merupakan petugas pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.

      Penyelidikan di DJP dikenal dengan nama Pemeriksaan Bukti Permulaan. Selama ini masih ada yang menganggap Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah sama dengan Pemeriksaan untuk pengujian kepatuhan. Padahal, Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan Penyelidikan sebagaimana yang diatur di KUHAP. Di DJP yang diberikan kewenangan melakukan Penyelidikan adalah PPNS, karena Penyelidikan adalah bagian dari Penyidikan itu sendiri.

      Apakah PPNS dapat menyita harta Wajib Pajak?

      Terdapat penambahan wewenang PPNS DJP berupa pelaksanaan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaaan tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (2) huruf j dan juga penjelasannya di UU HPP. Pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan bertujuan untuk mengamankan aset tersangka sebagai jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara, sehingga aset tidak hilang, dialihkan kepemilikannya, atau dipindahtangankan.

      Apa alasan penghentian tindak pidana pajak?

      Dalam UU HPP ditegaskan beberapa alasan PPNS dapat menghentikan penyidikan, yakni:

      1. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dengan membayar kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi administratif sebesar 100%,
      2. tidak ditemukan cukup bukti pidana,
      3. peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, dan;
      4. alasan demi hukum, antara lain karena WP meninggal dunia, daluwarsa pidana, serta telah ada putusan atas peristiwa pidana yang berkekuatan hukum tetap (nebis in idem).
      Apa alasan perluasan ultimum remedium sampai ke persidangan PN?

      Pengaturan perluasan ultimum remedium hingga ke tahap persidangan dapat dilihat pada Pasal 44B UU HPP, khususnya pada ayat (2), ayat baru (2a), (2b), dan ayat (2c).

      Tujuan pemidaan pajak bukanlah pemenjaraan, namun lebih kepada bagaimana kerugian pada pendapatan negera dapat dipulihkan (dikembalikan ke negara). Penegakan Hukum Pidana Pajak dengan mengedepankan Pemulihan Kerugian Pendapatan Negara.

      Demi keadilan dan kepastian hukum, hingga tahap persidangan, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan membayar pokok pajak dan sanksi, sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana penjara.

      Apa latar belakang Pasal 44C Undang-Undang KUP?

      Selama ini, jumlah pidana denda yang dapat dieksekusi atau dibayarkan oleh terpidana masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah yang tercantum dalam vonis pidana denda. Hal ini dikarenakan adanya opsi untuk menggantikan (subsider) pembayaran pidana denda dengan kurungan. Melalui disisipkannya Pasal 44C UU HPP, diharapkan dapat memaksimalkan pengembalian kerugian pada pendapatan negara melalui sita dan lelang harta terpidana. Jika pada akhirnya, harta terpidana tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda, atas terpidana akan dikenakan pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari pidana penjara yang telah diputus.

      Apa tujuan Pasal 44D Undang-Undang KUP?

      Pengaturan mengenai peradilan pidana di bidang perpajakan in absentia dilakukan melalui penambahan pasal di UU HPP, yaitu Pasal 44D. Dalam pengaturan saat ini, penanganan perkara pidana di bidang perpajakan masih mengharuskan kehadiran terdakwa. Namun, dalam UU HPP, perkara pidana di bidang perpajakan tetap dapat diperiksa dan diputus walaupun tanpa kehadiran terdakwa atau sering dikenal dengan in absentia. Peradilan in absentia memberikan kepastian hukum, sehingga tidak ada lagi perkara yang menggantung karena menunggu kehadiran terdakwa.

      program pengungkapan sukarela (pps)

      Apa yang dimaksud program pengungkatapn sukarela?

      Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui:

      1. Pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak; dan
      2. pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
      Kapan periode PPS?

      Program Pengungkapan Sukarela dilaksanakan selama 6 bulan (1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022)

      Bagaimana pengaturan PPS?

      Ada 2 subjek pajak yang dapat mengikuti PPS yaitu, pertama orang pribadi dan badan yang telah mengikuti tax amnesti (disebut kebijakan I) yaitu untuk harta yang dimiliki per 31 Desember 2015 yang belum diungkap, dan kedua orang pribadi (disebut kekebijakan II) yaitu untuk harta yang diperoleh tahun 2016 sampai dengan 2020 dan belum di laporkan di SPT 2020.

      Tarif Kebijakan I yaitu,

      • 11% untuk harta yang dideklarasikan
      • 8% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi,
      • 6% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi dan diinvestasikan di SBN / hilirisasi / renewable energy

      Tarif Kebijakan II yaitu:

      • 18% untuk harta yang dideklarasikan,
      • 14% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi,
      • 12% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi dan diinvestasikan di SBN / hilirisasi / renewable energy

      Apa tujuan dilaksanakan PPS?

      Berdasarkan data pasca TA, kepatuhan pelaporan pajak dan pembayaran pajak para peserta TA tahun 2017 dan setelahnya mengalami peningkatan, sehingga program pengungkapan sukarela WP ini diharapkan juga memberikan efek positif yang sama atas kepatuhan perpajakan masyarakat/WP. Dalam program ini juga diberikan kemudahan dan kebebasan untuk memilih tarif maupun prosedur yang digunakan kepada WP untuk secara sukarela mengungkapkan harta yang belum dilaporkannya.

      pajak karbon

      Apa yang dimaksud dengan pajak karbon?

      Pajak Karbon yaitu pengenaan pajak atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon menjadi salah satu instrumen ekonomi lingkungan untuk menurunkan emisi karbon sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan gas rumah kaca sesuai dengan NDC dalam Paris Agreement. Penerapan pajak karbon secara bertahap yang diselaraskan dengan perdagangan karbon sebagai bagian dari roadmap green economy.

      Berapa tarif pajak karbon?

      Tarif pajak karbon ditetapkan Rp30 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

      Kapan pajak karbon akan diberlakukan?

      Implementasi pertama kali 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara.

      Pemerintah tetap memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi, sehingga untuk tahap awal pajak ini hanya akan diterapkan pada sektor PLTU Batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).

      Apa latar belakang pajak karbon?

      Hal penting mengenai perubahan iklim merupakan ancaman dan tantangan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penerapan pajak karbon merupakan langkah penting dalam mengendalikan dampak perubahan iklim. Dengan memperkenalkan pajak karbon membuat Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang yang akan mengimplementasikannnya terlebih dahulu dan memberikan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim.

      Penipuan Atas Nama Raden Agus Suparman

      Kemarin ada dua orang yang memberikan info ke saya melalui pesan Instagram. Kedua pemilik akun instagram tersebut merupakan korban penipuan mengatas namakan Raden Agus Suparman.

      Saya perhatikan nomor telepon keduanya beda. Saya menduga, masih banyak lagi nomor lain yang mengatasnamankan Raden Agus Suparman.

      Padahal nomor saya hanya ada di 08888110017. Tidak ada nomor lain.

      Bagi anda yang dikontak oleh nomor lain, tapi mengatasnamakan Raden Agus Suparman, padahal bukan nomor FREN di atas silakan diblokir saja nomor tersebut.

      Jika ada pesan WhatsApp yang mengatasnamakan kantor pajak, silakan konfirmasi dulu ke Kring Pajak di 1500200 atau Twitter Kring Pajak 1500200. Atau langsung konfirmasi ke KPP terdaftar.

      SKPKB pasti berasal dari pemeriksaan pajak. Pastikan sebelumnya anda pernah diperiksa dan pemeriksa pajak menyampaikan Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak dengan memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Jika tidak ada pemeriksaan, pasti tidak ada tagihan pajak.

      Jika tagihan pajak berasal dari STP, maka datanglah ke petugas Account Representative yang mengampu kita. Setiap Wajib Pajak ditugaskan seorang Account Representative (AR) di KPP terdaftar untuk melakukan pengawasan. STP mungkin saja berupa denda karena tidak lapor SPT. Nah, yang menerbitkan STP denda adalah petugas AR. Jadi wajib hukumnya memastikan STP kepada petugas AR.

      Namun, jika tidak memiliki keberanian untuk datang ke kantor pajak, boleh kontak kami di Botax Consulting Indonesia

      CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023

      CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023

      Mengoptimalkan resiko perpajakan perusahaan dapat pembuatan SPT Tahunan, sehingga perusahaan dapat dilakukan sebelum mengantisipasi dan meminimalkan resiko perpajakan di kemudian hari. Dalam seminar kali ini kami akan mengupas tuntas bagaimana perusahaan dapat mengelola resiko tersebut, dengan membuat analisa yang dapat dilakukan seperti ekualisasi biaya, ekualisasi omset, arus piutang dan yang lainnya.

      Dalam rangka meningkatkan pengetahuan kita semua maka Botax Consulting Indonesia menyelenggarakan kegiatan seminar dengan tema:

      CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023

      Tempat : Hotel Santika Bandung
      (Sabtu, 4 November 2023) Pkl 09.00 – 16.00 WIB

      Registrasi dengan link :
      https://bit.ly/seminar41123-Bandung

      Terimakasih dan sampai bertemu untuk sharing Bersama Sobat ๐Ÿฅฐ

      Pemeriksaan Pajak

      Pemeriksaan Pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis

      Pemeriksaan Pajak

      Saya sudah menulis tentang pemeriksaan pajak di blog pajaktaxes.blogspot.com yang cukup lengkap. Di tulisan kali ini, saya menulis ulang pemeriksaan pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis.

      Masih banyak Wajib Pajak yang menganggap apa yang dilakukan pemeriksa pajak sebagai pemeriksaan pajak. Padahal yang dimaksud adalah penelitian. Secara umum, penelitian merupakan tindakan administrasi pajak oleh petugas pajak.

      Kegiatan penelitian oleh petugas pajak sangat beragam. Produk hasil penelitian juga sangat banyak. Bisa berupa surat biasa, permintaan keterangan, sampai keputusan.

      Sedangkan ciri utama kegiatan pemeriksaan ditandai dengan adanya surat pemberitahuan pemeriksaan pajak, dan Surat Pemeriksaan Pajak yang disampaikan oleh pemeriksa pajak.

      Tujuan Pemeriksaan

      Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

      Berdasarkan Pasal 29 ini, tujuan pemeriksaan pajak ada dua, yaitu: menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, dan tujuan lain.

      Tujuan Pemeriksaan Pajak

      Pemeriksaan Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

      Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

      Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak dengan cara yang tidak benar dengan cara menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal.

      Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib:

      • Mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai tempat tinggal, tempat domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
      • Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
      • Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
      • Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.

      Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

      Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

      Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

      Penjelasan terbaik sistem self assessment ada pada Pasal 12 Undang-Undang KUP. Pasal ini merupakan penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

      Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT tidak benar. Berbeda dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat ketetapan pajak.

      Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.

      “Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”

      Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP

      Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:

      Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
      a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
      b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
      c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

      Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

      Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

      Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP

      Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar. Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka.

      Benar karena Wajib Pajak telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas Negara yang telah dipungut atau dipotong dari pihak lain.

      Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:

      • pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
      • penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
      • harta dan kewajiban; dan/atau
      • pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

      Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

      Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

      Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:

      • Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
      • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
      • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
      • Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
      • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

      Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

      Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

      Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

      Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:

      • Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
      • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
      • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
      • Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
      • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

      Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak.

      Pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya:
      [a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
      [b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      [c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
      [d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
      [e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
      [f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
      [g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
      [h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
      [i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
      [j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
      [k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

      Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak

      Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak.

      Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:

      Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.

      Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan .

      Dengan pengertian seperti ini, ruang lingkup pemeriksaan pajak dapat dibagi menjadi dua:
      [a.] jenis pajak yang diperiksa; dan
      [b.] periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.

      Ruang lingkup pemeriksaan pajak bisa diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan yang disampaikan.

      Dapat juga Wajib Pajak melihat ruang lingkup pemeriksaan dari SP2 yang diperlihatkan atau disampaikan oleh pemeriksa.

      Kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 juga memperlihatkan ruang lingkup atau batasan โ€œperintahโ€ diberikan kepada pemeriksa pajak.

      Jenis pajak yang diperiksa dapat berupa:
      [a.] seluruh jenis pajak (all taxes);
      [b.] beberapa jenis pajak; atau
      [c] satu jenis pajak (single tax).

      Seluruh jenis pajak artinya semua kewajiban perpajakan yang menjadi kewajiban Wajib Pajak harus diperiksa oleh pemeriksa.

      Atas pemeriksaan ini, dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan, maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak kecuali jika penyelesaian pemeriksaan melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) Sumir.

      Pada umumnya, pemeriksaan khusus dengan jenis pemeriksaan lapangan biasanya pemeriksa diberikan ruang lingkup pemeriksaan suluruh jenis pajak.

      Untuk seluruh jenis pajak, kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 adalah dengan digit pertama 1 (satu).

      Contoh: 1412, 1422, atau 1912. Artinya, jika digit pertama angka 1 maka jenis pajak yang diperiksa meliputi: PPh Badan atau PPh OP, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, dan PBB (kecuali PBB P2 yang sudah kewenangan Pemda).

      Beberapa jenis pajak biasanya digunakan untuk jenis PPh pemotongan dan pemungutan, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

      PPh pemotongan dan pemungutan biasa disingkat P2PPh. Tetapi sejak akhir 2013, bisa beberapa jenis pajak bisa juga ditambahkan PPN.

      Untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, terutama yang baru tahap eksplorasi maka biasanya menggunakan beberapa jenis pajak karena kewajiban perpajakan PPh Badan belum ada.

      Seperti seluruh jenis pajak tetapi dikurangi jenis pajak PPh Badan. Kode pemeriksaan untuk beberapa jenis pajak menggunakan digit pertama 0 (nol).

      Untuk memperjelas jenis pajak apa saja yang diperiksa, setelah kode pemeriksaan maka disebutkan jenis pajak apa saja. Contoh kode 0412 (P2PPh dan PPN), atau 0412 (PPh Badan dan PPN), atau 0412 (P2PPh).

      Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja. Sebelumnya, satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan lebih bayar PPN.

      Tetapi sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan lebih bayar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan diharuskan satu jenis pajak.

      Maksud pembatasan jenis pemeriksaan menjadi satu jenis pajak adalah agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar dan mempercepat penyelesaian.

      Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan.

      Kegiatan pemeriksaan lebih bayar sekitar 65% dari keseluruhan penugasan. Dan diantara penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya dikarena SPT lebih bayar yang nominalnya tidak signifikan.

      Untuk mengurangi beban tersebut, maka sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu jenis pajak.

      Ditambah lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014 yang menggeser lebih bayar โ€œreceh-recehโ€ dilakukan dengan penelitan oleh petugas AR.

      Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi lebih cepat, yaitu 15 hari kerja untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.

      Ruang lingkup pemeriksaan yang kedua adalah periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.

      Undang-Undang KUP mengenal istilah masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak.

      Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.

      Secara umum, satu masa pajak adalah satu bulan kalender. Tetapi bisa juga satu masa pajak tiga bulan kalender. Masa pajak biasa digunakan untuk jenis pajak PPN.

      Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

      Periode akuntansi menentukan tahun pajak. Yang pasti 1 tahun pajak sama dengan 12 bulan.

      Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Bagian tahun pajak artinya kurang dari 12 bulan kalender. Tahun pajak dan bagian tahun pajak biasa digunakan dalam PPh.

      Bagian tahun pajak artinya periode yang diperika kurang dari 12 bulan.

      SP2 yang diberikan harus secara jelas menyebutkan periode pembukuan yang diperiksa. Sehingga di SP2 biasanya disebutkan bulan atau masa pajak yang diperiksa.

      Periode bulan pembukuan (periode akuntansi) kebanyakan dimulai dari bulan Januari dan diakhir bulan Desember.

      Tetapi ada juga yang tidak mengikuti kalender masehi, seperti periode pembukuan mulai April sampai dengan Maret.

      Dalam hal bulan permulaan periode pembukuan yang tercantum di SP2 berbeda dengan periode akuntansi yang dianut Wajib Pajak, maka atas SP2 tersebut harus dibatalkan dan dibuatkan SP2 baru yang sesuai dengan periode pembukuan Wajib Pajak.

      Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan PPh Badan tidak mungkin dilakukan untuk tahun berjalan.

      Kenapa? Karena pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus menerbitkan surat ketetapan pajak.

      Artinya, periode pembukuan yang diperiksa harus sudah lewat.

      Tetapi pemeriksaan tahun berjalan masih bisa dilakukan untuk pemeriksaan PPN untuk masa pajak yang sudah lewat. Contoh SP2 ditandatangani bulan Agustus 2014 untuk pemeriksaan satu jenis pajak PPN masa pajak Maret 2014.

      Contoh SP2
      Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan

      Kriteria Pemeriksaan Pajak

      Kriteria pemeriksaan pajak merupakan alasan atau dasar dilakukan pemeriksaan pajak.

      Peraturan menteri keuangan selalu membagi alasan pemeriksaan menjadi dua, yaitu pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan pemeriksaan yang merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak.

      Pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak mengacu pada ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.

      Sedangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak mengacu pada Pasal 29 Undang-Undang KUP.

      Kewenangan Direktur Jenderal Pajak berasal dari kata “dapat” dalam kalimat “Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam halโ€ฆ

      Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam hal memenuhi kriteria:

      • Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
      • terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
      • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
      • Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
      • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
      • Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
      • Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
      • Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko;
      • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
      • Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

      Penafsiran Kewenangan Direktur Jenderal Pajak

      Ada tiga “mazhab” yang saya temukan terkait penafsiran kewenangan pemeriksaan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (pemeriksa pajak).

      Mazhab pertama alasan pemeriksaan mengatakan bahwa SPT Wajib Pajak diperiksa jika ada bukti ketidakpatuhan yang dimiliki oleh DJP.

      Harus ditemukan bukti ketidakbenaran SPT Wajib Pajak, baru kemudian dilakukan pemeriksaan. Itulah pemeriksaan menguji kepatuhan.

      Tetapi dalam kondisi database DJP yang belum terkelola dengan baik maka akan ada simalakama antara pencarian data dan pemeriksaan.

      Salah satu kewenangan pemeriksaan itu adalah meminjam dokumen apapun yang dimiliki oleh Wajib Pajak.

      Dengan data ini tentu pemeriksa bisa menguji kepatuhan Wajib Pajak. Tetapi untuk masuk ke pemeriksaan, apa yang dimiliki DJP?

      Jika Wajib Pajak memiliki pembisik yang mengatakan bahwa database DJP belum terkelola dengan baik maka lebih aman bagi mereka untuk tidak melaporkan SPT-nya karena dengan begitu tidak akan diperiksa!

      DJP tidak punya alasan untuk melakukan pemeriksaan.

      Sehingga teman saya pernah mengatakan, “Untuk mendapatkan bukti ketidakpatuhan Wajib Pajak maka harus dilakukan pemeriksaan. Sebaliknya untuk dilakukan pemeriksaan, harus ada bukti ketidakpatuhan. Jadi mana dulu?”

      Alasan Wajib Pajak Diperiksa Oleh Ditjen Pajak

      Mazhab yang kedua mengatakan bahwa alasan pemeriksaan pajak adalah analisis risiko. Ini yang digunakan sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 199/PMK.03/2007.

      Kata-kata pertama analisis risiko sebenarnya ada di Pasal 29A Undang-Undang KUP, yaitu terkait dengan pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak yang terdaftar di bursa efek (listed company).

      Istilah analisis risiko tetap digunakan sampai Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 seperti yang petikannya sudah diatas.

      Bukti ketidakpatuhan tentu berbeda dengan analisis risiko.

      Namanya analisis tentu bisa saja hanya berupa indikasi. Analisis juga bisa berbentuk kuantitatif yaitu angka-angka dan bisa juga kualitatif yang berupa deskripsi yang menggambarkan indikasi ketidakpatuhan.

      Perkembangan selanjutnya, ditingkat kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran, analisis risiko ini dibagi dua:

      • analisis manual, dan
      • analisis komputerisasi.

      Analisis manual dilakukan dengan manual. Satu Wajib Pajak atau satu grup dilakukan analisis secara manual. Analisi ini dituangkan dalam lembar analisis yang disebut “Analisis Risko Wajib Pajak”.

      Sedangkan analisis komputerisasi dilakukan oleh komputer kantor pusat. Mulai 2022, Direktur Pemeriksaan sudah menggunakan Compliance Risk Management (CRM) dan Business Intelligence (BI) untuk membuat analisis risiko.

      Mazhab ketiga alasan pemeriksaan pajak adalah karena kewenangan yang diberikan oleh Pasal 29 Undang-Undang KUP yang sudah dikutip diatas.

      Pemikiran lain dari mazhab ketiga ini bahwa tidak ada satupun ketentuan di Undang-Undang KUP yang melarang atau membatasi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan.

      Artinya, dengan kewenangan yang diberikan Pasal 29 sudah jelas bahwa Dirjen Pajak bisa saja melakukan pemeriksaan pajak dengan “suka-suka”.

      Setelah dilakukan pemeriksaan, baru diketahui apakah Wajib Pajak melaporkan SPT dengan benar atau salah. Ini merupakan kebalikan dari mazhab pertama diatas.

      Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus

      Pada tingkat kebijakan, kriteria pemeriksaan dibagi dua:

      • pemeriksaan rutin, dan
      • pemeriksaan khusus

      Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

      Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

      Menurut Surat Edaran SE-15/PJ/2018, Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal:

      • Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
      • Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
      • Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
      • Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
      • Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi.
      • Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
      • Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku; perubahan metode pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap
      • Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP PBB P3

      Dan pemeriksaan khusus terdiri:

      • Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret (audit based on data) yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
      • Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk-based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

      Pada dasarnya, pemeriksaan yang harus dilakukan oleh DJP adalah  pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP, yaitu pemeriksaan restitusi pajak.

      Selain Pasal 17B, maka masuk domain kewenangan Dirjen Pajak, boleh diperiksa tetapi boleh juga tidak diperiksa.

      SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar tetapi dikompensasi: boleh diperiksa, boleh juga tidak. 

      SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi: boleh diperiksa, boleh juga tidak diperiksa.

      Tujuan tidak diwajibkannya pemeriksaan pajak adalah mengurangi beban pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan rutin dan sekaligus memperbanyak ruang pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan khusus.

      Sebagian pegawai pajak berpendapat bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi harus diperiksa karena memiliki risiko tinggi.

      Kerugian tersebut seperti sebuah cek untuk mengurangi pajak terutang di tahun pajak berikutnya.

      Terkait dengan ini, sebenarnya untuk SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak benar-benar tidak diperiksa.

      Dalam hal tahun pajak yang diperiksa terdapat kompensasi kerugian dari tahun lalu, maka dalam kebijakan pemeriksaan tetap mengharuskan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan perluasan pemeriksaan sampai dengan tahun pajak yang belum daluwarsa.

      Tetapi jika memang sudah daluwarsa atau segera akan daluwarsa tidak harus diperiksa.

      Salah satu pertimbangannya, dilihat dari manajemen risiko bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak otomatis memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau bahkan SPT Tahunan Nihil.

      Jenis Pemeriksaan Pajak

      Jenis pemeriksaan pajak membagi pemeriksaan menjadi dua, yaitu 

      1. pemeriksaan kantor, dan
      2. pemeriksaan lapangan

      Berdasarkan pengertiannya, Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.

      Sedangkan Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.

      Pada prakteknya bisa jadi tidak ada perbedaan antara pemeriksaan kantor dan lapangan, kecuali terkait dokumen awal yaitu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

      Seharusnya antara Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan ada perbedaan yang signifikan. Terutama karena Pemeriksaan Kantor sebenarnya untuk pemeriksaan yang secara risiko lebih rendah.

      Sedangkan Pemeriksaan Lapangan untuk pemeriksaan yang cakupannya luas, kompleks, dan memiliki risiko tinggi. Inilah salah satu alasan kenapa pemeriksaan transfer pricing harus Pemeriksaan Lapangan karena dianggap memiliki risiko tinggi.

      Pada saat Pemeriksaan Kantor pemeriksa melakukan pengujian pengujian transfer pricing maka jenis pemeriksaan diubah menjadi jenis Pemeriksaan Lapangan. 

      Pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi adalah Wajib Pajak tertentu yang berulang-ulang atau sering atau setidaknya lebih dari sekali meminta restitusi.

      Terutama resitusi PPN yang bisa dilakan setiap bulan, setiap masa pajak oleh Wajib Pajak tertentu. Diantara yang sering restitusi tersebut adalah Wajib Pajak rekanan pemerintah yang pajaknya sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara.

      Diantara yang sering restitusi, Wajib Pajak sudah menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak.

      Sehingga begitu datang pemeriksa pajak atau bahkan cukup ditelpon dari kantor, maka Wajib Pajak langsung meminjamkan dokumen yang sudah disiapkan tersebut. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi memiliki risiko relatif kecil

      Pasal 5 ayat (2) PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur bahwa pemeriksaan kantor dilakukan dalam hal:

      • Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
      • terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

      Standar Pemeriksaan Pajak

      PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur standar pemeriksaan di Pasal 6 sampai dengan Pasal 10. Standar pemeriksaan tidak pernah berubah sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.

      Standar Pemeriksaan

      Standara pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan pemeriksaan. Boleh dibilang, standar pemeriksaan merupakan syarat minimal.

      Pelaksanaan pemeriksaan pajak boleh lebih bagus atau diatas standar pemeriksaan yang sudah ditetapkan. Dalam hal dibawah standar, sebenarnya tidak ada sanksi bagi pemeriksa pajak tetapi akan menjadi ukuran pembinaan pelaksanaan pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan. 

      Standara pemeriksaan dibagi tiga:

      1. standar umum
      2. standar pelaksanaan
      3. standar pelaporan hasil pemeriksaan

      Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak. Peraturan menteri keuangan  dan peraturan direktur jenderal pajak memberikan syarat minimal pemeriksa pajak sebagai berikut:

      [a.] telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.

      Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif).

      Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan.

      Pemeriksa Pajak diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.

      Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan.

      Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.

      [b.] menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama.

      Dalam pelaksanaan Pemeriksaan dan penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus menggunakan keterampilannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif, dan independen, serta selalu menjaga integritas.

      Pemeriksa Pajak dianggap telah menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama apabila dalam melaksanakan Pemeriksaan didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

      [c.] jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara.

      Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.

      Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

      Dalam semua hal yang berkaitan dengan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya.

      Gangguan independensi yang  dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak selama Penieriksaan meliputi hal-hal berikut:
      [c.1.] memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak.

      [c.2.] memiliki kepentingan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Wajib Pajak.

      [c.3.] pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan masalah perpajakan, akuntansi, atau pun keuangan kepada Wajib Pajak dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.

      [c.4.] memiliki teman dekat  atau keluarga yang dapat berposisi sebagai wakil Wajib Pajak yang diperiksa.

      [c.5.] keadaan, kondisi dan perbuatan tertentu lainnya yang menurut pertimbangan Pemeriksa Pajak dapat mengganggu independensi tersebut..  

      [d.] taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

      Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.

      Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang seksama.

      Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun.

      Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim.

      Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.

      Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk KKP (Kertas Kerja Pemeriksaan).

      KKP wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:

      • bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
      • bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
      • dasar pembuatan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan);
      • sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
      • referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.

      Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan.

      LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.

      LHP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sekurang-kurangnya memuat:

      • penugasan Pemeriksaan;
      • identitas Wajib Pajak;
      • pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
      • pemenuhan kewajiban perpajakan;
      • data/informasi yang tersedia;
      • buku dan dokumen yang dipinjam;
      • materi yang diperiksa;
      • uraian hasil Pemeriksaan;
      • ikhtisar hasil Pemeriksaan;
      • penghitungan pajak terutang; dan
      • simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.

      Hak dan Kewajiban Pemeriksa Pajak

      Kewajiban pemeriksa versus hak Wajib Pajak. Keduanya sebenarnya berhadap-hadapan. Harusnya kewajiban disisi pemeriksa maka hak disisi Wajib Pajak.

      Tetapi ternyata tidak semuanya seperti itu. Karena itu saya sandingkan antara kewajiban Pemeriksa dan hak Wajib Pajak supaya  terlihat mana yang berhadapan dan mana yang tidak.

      Pemeriksa pajak berhak (berwenang):

      [a.] melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

      [b.] mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

      [c.] memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

      [d.] meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:

      [d.1] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

      [d.2] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

      [d.3] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

      [e.] melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;

      [f.] meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan

      [g.] meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

      Terkait dengan kewenangan pemeriksa pajak, Undang-Undang KUP memberikan hak untuk mendapatkan semua informasi yang dimiliki oleh Wajib Pajak.

      Walaupun informasi tersebut bersifat rahasia, baik rahasia dagang maupun rahasia pribadi Wajib Pajak, maka rahasia tersebut dicabut atau dinyatakan tidak rahasia berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP.

      Hanya rahasia bank yang membutuhkan ijin Menteri Keuangan untuk mendapatkan informasi perbankan Wajib Pajak. Namun sekarang, permintaah rekening bank ke OJK cukup dengan aplikasi. Sehingga sangat memangkas birokrasi.

      Kewajiban Pemeriksa Pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No 18/PMK.03/2021. Berikut daftar lengkap kewajiban pemeriksa pajak:

      [a.] menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;

      [b.] memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;

      [c.] memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

      [d.] melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
      [d.1] alasan dan tujuan Pemeriksaan;

      [d.2] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

      [d.3] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor dan

      [d.4] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;

      [e.] menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;

      [f.] menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;

      [g.] memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

      [h.] menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

      [i.] melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;

      [j.] mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan

      [k.] merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

      Kewenangan versus kewajiban diatas adalah untuk versi jenis Pemeriksaan Lapangan.

      Ada beberapa kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki manakala jenis Pemeriksaan Kantor.

      Kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor adalah kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

      Dengan kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak maka timbul kewenangan pemeriksaan pajak untuk meminjam dokumen yang ditemukan saat itu juga, memasuki ruangan atau bangunan atau tempat tertentu dan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Lapangan berwenang melakukan penyegelan

      Sebaliknya ada kewenangan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor yang tidak ada di Pemeriksaan Lapangan, yaitu meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak.

      Apakah pemeriksaan lapangan benar-benar tidak memiliki kewenangan meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik? Sebenarnya tidak juga.

      Pemeriksaan lapangan tetap memiliki kewenangan untuk meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik baik melalui Wajib Pajak maupun tidak. Justru pemeriksaan lapangan lebih luas. Karena tidak harus melalui Wajib Pajak. 

      Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

      Pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, Wajib Pajak memiliki hak:

      [a.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;

      [b.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;

      [c.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

      [d.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;

      [e.] menerima SPHP;

      [f.] menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

      [g.] mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan

      [h.] memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan

      Sedangkan kewajiban Wajib Pajak pada saat dilakukan pemeriksaan yaitu:

      [a.] memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

      [b.] memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

      [c.] memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;

      [d.] memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:

      [d.1.] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

      [d.2.] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

      [d.3.] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

      [e.] menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan\

      [f.] memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

      Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak

      Jangka waktu pemeriksaan pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021.

      Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP ini merupakan dasar hukum dan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang KUP bahwa jangka waktu pemeriksaan pajak “harus dibatasi”.

      Ada sebagian yang tidak setuju dengan adanya jangka waktu pemeriksaan. Hal ini karena proses pengumpulan data untuk diuji seringkali tergantung pada pihak eksternal.

      Contoh adalah ijin membuka rahasia perbankan yang seringkali bisa berbulan-bulan baru dijawab. Atau konfirmasi pihak ketiga yang berasal dari negara lain yang jawabannya seringkali baru bisa diterima sekian tahun kemudian.

      Tetapi karena Undang-Undang KUP mengharuskan adanya jangka waktu pemeriksaan maka dalam peraturan menteri keuangan selalu diatur batas waktu pemeriksaan.

      Pada awalnya, jangka waktu pemeriksaan memang tidak diatur. Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tidak mengatur masalah jangka waktu.

      Baru muncul jangka waktu pemeriksaan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

      Padahal keputusan menteri keuangan ini masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Jangka waktu pemeriksaan masuk Undang-Undang KUP baru pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2).

      Jangka waktu pemeriksaan dapat dibagi dua bagian, yaitu:

      • jangka waktu pengujian; dan
      • jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan

      Kenapa jangka waktu pemeriksaan dibagi dua? Dulu, sebelum ada pembagian jangka waktu pemeriksaan, kadang pemeriksa pajak memberikan SPHP diujung jangka waktu pemeriksaan.

      Contoh, Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2011 mengatur jangka waktu pemeriksaan 8 bulan. Pemeriksa pajak kemudian menyampaikan SPHP di bulan ke 8.

      Padahal setelah SPHP ada pembahasan, lamanya 1 bulan. Dengan demikian, total pemeriksaan  menjadi 9 bulan. Bukan 8 bulan lagi.

      Karena itu, sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013, jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, antara sebelum SPHP dan setelah SPHP.

      Sebelum SPHP disebut jangka waktu pengujian. Dan setelah SPHP disebut jangka waktu pembahasan.

      Jangka Waktu Pengujian

      Jangka waktu pengujian Pemeriksan Lapangan paling lama 6 (enam) bulan.

      Enam bulan dihitung dari Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

      Jangka waktu pengujian ini dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 2 (dua) bulan.

      Alasan dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian yaitu:

      • Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
      • terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
      • ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
      • berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

      Khusus pemeriksaan lapangan berikut:

      • Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
      • Wajib Pajak dalam satu grup; atau
      • Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,

      pemeriksaan dapat diperpanjang 6 bulan. Bahkan sampai 3 kali perpanjangan sehingga total jangka waktu pengujian 22 bulan.

      Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor paling lama 4 (empat) bulan.

      Empat bulan dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

      Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.

      Alasan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor yaitu:

      • Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
      • terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
      • ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
      • berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

      Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret paling lama 1 (satu) bulan.

      Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret tidak dapat diperpanjang.

      Berdasarkan ketentuan yang berlaku, apabila jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan Lapangan atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak.

      Namun, jika pemeriksa pajak tetap belum menyampaikan SPHP, walaupun jangka waktu pengujian sudah berakhir, pada kenyataannya tidak ada akibat hukumnya bagi hasil pemeriksaan.

      Berbeda jika tidak ada SPHP dan tidak ada pembahasan, kelalaian tersebut berakibat hukum hasil pemeriksaan dibatalkan.

      Jangka Waktu Pembahasan

      Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.

      Sedangkan Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.

      Jangka Waktu Pemeriksaan Restitusi Pajak

      Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan.

      Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B Undang-Undang KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B.

      Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.

      Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda.

      Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

      Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi.

      Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
      a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama.
      b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.

      Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:
      SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013.

      Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan.

      Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja.

      Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.

      Surat Perintah Pemeriksaan (SP2)

      Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa Pajak berdasarkan SP2.

      Idealnya, pemeriksaan dilakukan oleh tim yang sama sejak pertama kali SP2 disampaikan sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.

      Namun dalam kenyataannya, mutasi Pemeriksa Pajak dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu pemeriksaan selesai.

      Oleh karena itu, jika terjadi mutasi Pemeriksa Pajak maka kantor pajak akan memberikan pemberitahuan bahwa tim Pemeriksa Pajak berubah. Pemberitahuan ini dalam bentuk SP2 Perubahan.

      Format SP2 Perubahan

      Pertemuan Dengan Wajib Pajak

      Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor.

      Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (pemeriksa pajak aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.

      Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

      Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai:
      [a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;

      [b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

      [c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan

      [d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.

      Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.

      Peminjaman Dokumen

      Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, maka  buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.

      Ini adalah contekan dari Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.

      Saya mengingatkan saja bahwa pada saat datang ke tempat Wajib Pajak, pemeriksa pajak tidak perlu membuat surat peminjaman dokumen.

      Kebiasaan sebagian pemeriksa, sebelum datang ke tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa menyiapkan dulu surat peminjaman dokumen.

      Sebenarnya, surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen itu dilakukan dalam hal:
      [a.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan;

      [b.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pelaksanaan Pemeriksaan (dengan segala alasannya, misalnya gudang arsipnya di luar kota).

      Pada kesempatan pertama datang ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak berwenang memasuki semua ruangan dan tidak ada ruangan rahasia karena semua rahasia demi kepentingan Negara (pajak merepresentasikan negara) menjadi tidak ada.

      Semua harus terbuka bagi pemeriksa pajak. Pada saat menjalankan tugas sesuai SP2, pemeriksa pajak adalah perwakilan NKRI untuk tugas perpajakan.

      Untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik, pemeriksa pajak memiliki kewenangan meminta Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak.

      Sebaliknya dari sisi Wajib Pajak,  pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP memerintahkan bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

      Dokumen yang diminta akan disampaikan sesuai ketentuan di Undang-Undang KUP, yaitu satu bulan.

      Kemudian, jika ada perbedaan nama atau jenis dokumen antara yang digunakan oleh Wajib Pajak dengan yang tertulis di lampiran Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka Wajib Pajak dapat mengatakan, “Bapak/ibu, dokumen nomor sekian tidak ada di perusahaan kami.”

      Padahal bisa jadi dokumen yang sejenis atau berfungsi sama tetapi namanya berbeda ada.

      Kalaupun ada, kemudian Wajib Pajak mengatakan tidak ada, sebenarnya Pemeriksa Pajak tidak bisa membuktikan kebohongan Wajib Pajak.

      Bandingkan jika Pemeriksa Pajak ketempat usaha Wajib Pajak dan menemukan dokumen yang diperlukan! Alasan apa yang bisa digunakan Wajib Pajak?

      Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan koreksi berdasarkan analisis.

      Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib Pajak.

      Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-23/PJ/2013).

      Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa. 

      Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu fakta. 

      Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa. 

      Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil Pemeriksaan.

      Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek Pasal 4 huruf c PER-23/PJ/2013.

      Pada kenyataannya, Pemeriksa Pajak yang duduk manis di kantor menunggu kedatangan dokumen sering kali kecewa ketika dokumen yang diminta dengan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen datang mendekati jangka waktu pengujian habis atau bahkan setelah SPHP diterima oleh Wajib Pajak.

      Sebenarnya, Pemeriksa Pajak bisa menggunakan kewenangannya untuk menghitung pajak terutang secara jabatan.

      Tetapi sangat jarang digunakan karena beberapa kasus kalah di pengadilan pajak. Itu yang jadi acuan. Padahal putusan Pengadilan Pajak tidak pernah jadi dasar hukum.

      Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen bisa sampaikan beberapa kali sepanjang Pemeriksa Pajak memandang perlu.

      Tetapi ketentuan satu bulan sebagaimana diatur Pasal 29  ayat (3a) Undang-Undang KUP tetap berlaku.

      Sehingga, jika Pemeriksa Pajak setelah 7 bulan pemeriksaan masih mengeluarkan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka bisa jadi atas dokumen tersebut tidak diuji karena jangka waktu pengujian mungkin sudah lewat.

      Apakah buku, catatan, dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah SPHP diterbitkan boleh diterima oleh Pemeriksa Pajak.

      Ini adalah bagian dari perdebatan di internal DJP. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh. Permasalahannya, setelah SPHP adalah waktu untuk pembahasan hasil pemeriksaan.

      Bukan waktunya lagi menguji dokumen Wajib Pajak. Pengujian tetap disarankan sebelum SPHP.

      Tetapi disatu sisi ada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP:

       Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

      Secara tidak langsung Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP mengatakan bahwa selama jangka waktu pemeriksaan belum selesai maka dokumen dapat diterima oleh Pemeriksa Pajak.

      Sedangkan pemeriksaan selesai setelah ditanda-tanganinya LHP. Bagaimana jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen seabreg-abreg?

      Dalam hal Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diminta berdasarkan berita acara tidak dipenuhinya permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen Pemeriksa Pajak harus menentukan dapat atau tidaknya melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan bukti kompeten yang cukup sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.

      Jika kesimpulan Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Penyegelan

      Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan.  Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang KUP:

       Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b

      Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.

      Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.

      Penyegelan dilakukan manakala:
      [a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;

      [b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;

      [c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat

      Penyegelan hanya ada dalam jenis Pemeriksaan Lapangan. Sehingga jika Pemeriksa Pajak datang ke tempat usaha/domisili Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara.

      Selanjutnya, Pemeriksa Pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan.

      Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka  buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga .

      Penyegelan dilakukan denga menempelkan tanda segel. Peraturan menteri keuangan menyebut “tanda segel” bukan “kertas segel”.

      Tanda segel bisa dibuat dari apa saja. Tanda segel harus ditempel. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak. 

      Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan.

      Jika Pemeriksa Pajak merasa belum cukup waktu melakukan penyegelan, tidak ada larangan dilakukan penyegelan kedua dan seterusnya.

      Pembukaan segel dilakukan apabila:

      • Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak telah memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
      • berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
      • terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.

      Permintaan Keterangan

      Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
      [a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan
      [b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.

      Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung.

      Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan.

      Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.

      Penyelesaian Pemeriksaan

      Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP  atau LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan.

      Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP.

      Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa Wajib Pajak harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.

      Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan! Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan  dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan.

      Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir dilakukan dalam hal:
      [a.] Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:

      • tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
      • tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan.

      [b.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:

      • tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
      • tidak dilanjutkan dengan penyidikan tetapi diselesaikan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP; atau
      • dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.

      [c.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
      [d.] Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya  tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
      [e.] Terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

      SPHP dan Closing Conference

      Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan.

      Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP. Tapi sekarang boleh direvisi sekali.

      SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP yang berbunyi:

       Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan 

      Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) Undang-Undang KUP terdiri dari:
      [a.] pemeriksaan ulang,
      [b.] jangka waktu pemeriksaan,
      [c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
      [d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)

      Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan.

      Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri.

      Ketentuan “rukun” pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:

       Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

      d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

      1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau 
      2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. 

      Karena Undang-Undang KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing conference).

      Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.

      Pasal-Pasal tersebut diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021

      Setelah pemeriksa dapat menghitung pajak-pajak terutang, atau karena jangka waktu pengujian telah terlampaui, maka pemeriksa pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

      Surat ini ditandatangani oleh kepala kantor, dan dalam lampirannya mencantumkan daftar pos-pos yang dikoreksi atau objek pajak tertentu yang dikoreksi.

      Daftar pos-pos ini sering juga disebut daftar temuan. SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili.

      Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di Undang-Undang KUP. Dulu salah satu alasan tidak menggunakan email karena alamat email yang tidak standar.

      Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Tanggapan tertulis harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.

      Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan.

      Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju.

      Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference.

      Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.

      Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum Undang-Undang KUP 2007 ada pendapat seperti itu.

      Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan Undang-Undang KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!

      Undangan pembahasan harus disampaikan 3 hari kerja setelah surat tanggapan diterima oleh kantor pajak, atau 10 hari kerja setelah SPHP jika Wajib Pajak meminta perpanjangan jangka waktu tanggapan.

      Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.

      Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak.

      Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.

      Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak.

      Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian.

      Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan

      Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim Quality Assurance Pemeriksaan memiliki tugas:

      a. membahas perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;

      b. memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan

      c. membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.

      Kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013 yang menyebutkan, “Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum koreksi dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

      Setelah menerima surat permohonan  pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, kemudian Tim Quality Assurance Pemeriksaan mengundang pemeriksa pajak dan Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.  

      Tim Quality Assurance Pemeriksaan hanya menilai dan memutuskan pendapat yang mana yang benar. 

      Tim Quality Assurance hanya memeriksa bagian formal atau dasar hukum koreksi serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Dengan demikian, keputusan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dapat:
      *** membenarkan pendapat Wajib Pajak;
      *** membenarkan pendapat pemeriksa pajak; atau
      *** memiliki pendapat lain diluar pendapat Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.

      Walaupun Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) boleh memiliki kesimpulan yang berbeda dengan Wajib Pajak dan pemeriksa, tetapi Tim QA tidak boleh membuat koreksi fiskal baru diluar yang disengketakan pada saat pembahasan.

      Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan kesimpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.

      Jika Tim QA boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa pajak.

      Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan Teknik Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-pengujian dilakukan oleh pemeriksa pajak saja.

      Pembahasan masalah ini memang cukup panjang tetapi pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya, aturan yang terlalu detil sering membelenggu.

      Tetapi inti pembatasan yang saya sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan saatnya pengujian dokumen.

      Bagaimana jika pendapat Tim QA memerlukan pengujian? Karena pengujian dokumen merupakan domain pemeriksa pajak, maka setelah selesai pembahasan dengan Tim QA pelaksanaan pengujian tetap dilakukan oleh pemeriksaan pajak.

      Tim QA hanya memberikan “batasan-batasan” koreksi mana yang boleh dan koreksi mana yang tidak boleh.

      Sangat mungkin jika Tim QA memutuskan suatu kesimpulan tetapi mengenai jumlah atau nominal rupiah yang dikoreksi ditentukan sendiri oleh pemeriksa pajak setelah dilakukan “penghitungan ulang”.

      Pendapat Tim QA harus berdasarkan masing-masing masalah. Sebagai contoh, hasil pemeriksaan PPh Badan yang dituangkan dalam SPHP dan Risalah Pembahasan, pemeriksa telah melakukan koreksi fiskal atas 7 pos baik penghasilan maupun biaya.

      Bisa jadi Tim QA setuju dengan pendapat Wajib Pajak dalam 4 pos, tetapi 3 pos lain Tim QA sependapat dengan pemeriksa pajak.

      Hasil pembahasan di Tim QA harus diformalkan dalam Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

      Risalah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Tim QA, Wajib Pajak, dan pemeriksa pajak.

      Dokumen Risalah Tim QA berfungsi seperti notula atau laporan hasil rapat. Pendapat masing-masing pihak: Wajib Pajak, pemeriksa pajak, dan pendapat Tim QA harus ditulis secara jelas di Risalah Tim QA.

      Dan pendapat Tim QA adalah pendapat terakhir sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.

      Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus bertanggung jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung jawab atas pendapatnya.

      Jika pendapat pemeriksa “dipatahkan” oleh Tim QA maka pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak berpendapat untuk masalah tersebut.

      Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir.

      Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

      Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan  berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir.

      Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.

      Pengungkapan Ketidakbenaran

      Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP.

      Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

      Laporan tersendiri secara tertulis  harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
      [a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format SPT;
      [b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
      [c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa bunga KMK ditambah 10%.

      Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan

      Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

      Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP.

      Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

      Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan.

      Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
      1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
      2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.

      Semua pemeriksaan yang “ditingkatkan” menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan pajaknya tertangguh.

      Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, “nasib” pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan.

      Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika:
      [a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;

      [b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan  adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;

      [c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau

      [d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

      Pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana.

      Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal.

      Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana.

      Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan.

      Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.

      Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja.

      Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan.

      Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah.

      Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang.

      Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan pajak.

      Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.

      Pemeriksaan Ulang

      Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang KUP. Berikut kutipan Pasal 15:

       Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

      Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya.

      Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP.

      Masing-masing memiliki “jalur” atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar.

      Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
      Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru.

      Nah, untuk lebih jelas masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:

       Yang dimaksud dengan โ€œdata baruโ€ adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

      Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
      a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau

      b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

      Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

      Contoh:
      1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

      Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.

      2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.

      3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

      Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. 

      Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur.

      Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT.

      Harus jelas dulu novum-nya apa? Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang.

      Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.

      Pemeriksaan Tujuan Lain

      Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.

      Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:

      • pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
      • penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      • pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
      • pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
      • Wajib Pajak mengajukan keberatan;
      • pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
      • pencocokan data dan/atau alat keterangan;
      • penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
      • penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
      • Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
      • penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/ atau
      • memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

      Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan.

      Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja.

      Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas.

      Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second opinion).

      Raden Agus Suparman

      Praktisi Pajak sejak 1995. Sekarang bergabung dengan Taxprime Academy

      Kuasa Wajib Pajak

      Kuasa Wajib Pajak memiliki kewenangan lebih luas dibandingkan konsultan pajak.

      Kuasa Wajib Pajak adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Sebelumnya, kuasa wajib pajak hanya boleh dilakukan oleh konsultan pajak atau karyawan wajib pajak. Namun, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017, orang yang menjadi kuasa wajib pajak lebih meluas.

      Keputusan Mahkamah Konstitusi ini kemudian diterapkan di Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP setelah direvisi dengan Undang-Undang HPP. Bunyi Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP sebagai berikut:

      Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua

      Kuasa Menurut KUH Perdata

      Peraturan yang pertama mengatur kuasa adalah Bugerlijk Wetboek (BW) dan diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. BW menjadi hukum positif di Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum).

      Dikutif dari hukumonline.com bahwa menurut Pasal 1792 KUH Perdata menyatakan, โ€œPemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.โ€

      Berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata ini, jika Wajib Pajak memberikan kuasa kepada kuasa pajak, karena wajib pajak merasa tidak kompeten dalam perpajakan, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu telah berpindah dari Wajib Pajak kepada kuasa pajak. Sepanjang pemberian kuasa tersebut belum dicabut, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu tersebut masih melekat di penerima kuasa.

      Lebih lanjut dalam Pasal 1793 KUH Perdata menjelaskan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.

      Surat Kuasa memiliki sifat โ€œmewakili dan melakukan suatu tindakan untuk dan atas nama Pemberi Kuasaโ€

      Menurut hukum96.com pemberian kuasa memiliki banyak jenis. Setidaknya ada tujuh jenis surat kuasa yaitu:

      1. Pemberian Kuasa Akta umum : pemberian Kuasa Akta umum adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau akta notariel. Yang berarti bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di hadapan dan di muka Notaris. Oleh karena itu pemberian kuasa mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
      2. Surat di Bawah Tangan : Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang berarti bahwa pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh para pihak saja.
      3. Pemberian kuasa secara Lisan : pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
      4. Diam – Diam : Pemberian kuasa secara diam – diam merupakan suatu kuasa yang dilakukan secara diam – diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
      5. Cuma – Cuma : Pemberuan kuasa secara Cuma – Cuma adalah suatu pemberia kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, Yang berarti bahwa penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi kuasa.
      6. Pemberian Kuasa Khusus : Kuasa khusus ini merupakan suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, Yang berarti bahwa pemberian kuasa itu hanya mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa.
      7. Pemberian Kuasa Umum : Kuasa Umum ini merupakan pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa yang berarti bahwa isi atau subtansi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.

      Surat Kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud di Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP termasuk jenis pemberian kuasa khusus. Sehingga nama surat kuasanya disebuat โ€œSurat Kuasa Khusus Perpajakanโ€. Lebih spesifik lagi, dalam surat kuasa juga harus disebutkan kekhususan yang diberikan, seperti khusus untuk menghadapi pemeriksaan tahun pajak 20×1. Bisa juga surat kuasa khusus untuk melaporkan kewajiban SPT.

      Berdasarkan Pasal 1791 KUH Perdata, dalam hal Wajib Pajak memberikan kuasa khusus untuk menghadapi pemeriksaan di kantor pajak, maka yang maju menghadapi pemeriksaan adalah penerima kuasa. Wajib Pajak karena sudah memberikan kuasa, maka dia tidak lagi memiliki โ€œkekuasaanโ€.

      Ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak

      Dikutif dari halaman 63 Putusan PUT-63/PUU-XV/2017

      Pendapat IKHWPI tentang Kuasa WP

      Beberapa hari yang lalu, beredar ringkasan eksekutif dari kegiatan kajian hukum mengenai kuasa wajib pajak yang diselenggarakan oleh Ikatan Kuasa Hukum Wajib Pajak Indonesia (IKHWPI). Berikut ini adalah salinan beberapa sub judul ringkasan eksekutif.

      Kuasa Wajib Pajak (Kuasa WP)

      Pada tahun 1983 sampai tahun 2000, UU KUP hanya mengatur tentang Kuasa WP tanpa lebih jauh memberikan delegasi wewenang membuat pengaturan mengenai persyaratan seseorang untuk dapat menjadi Kuasa WP kepada Peraturan Menteri Keuangan. Akibatnya, tidak terdapat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pembatasan kesempatan / hak Wajib Pajak untuk dapat menunjuk seseorang yang dianggapnya โ€œmemahami masalah perpajakanโ€ (kompeten) sebagai Kuasanya. Dan pembatasan kesempatan / hak seseorang yang โ€œmemahami masalah perpajakanโ€ (kompeten) untuk dapat menerima penunjukkan Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.

      Mulai tahun 2000, melalu ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, diberlakukan ketentuan mengenai pemberian wewenang kepada Peraturan Menteri Keuangan untuk membuat peraturan mengenai persyaratan seseorang yang dapat menjadi Kuasa WP. Akibatnya, mulai tahun 2000 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pembatasan kesempatan / hak Wajib Pajak untuk dapat menunjuk seseorang yang dianggap โ€œmemahami masalah perpajakanโ€ (kompeten) sebagai Kuasa, dan pembatasan kesempatan / hak seseorang yang โ€œmemahami masalah perpajakanโ€ (kompeten) untu dapat menerima penunjukkan Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.

      Peraturan Menteri Keuangan tersebut pada awalnya benar-benar memberikan keleluasaaan kesempatan kepada setiap orang yang โ€œmemahami masalah perpajakanโ€ untuk dapat menjadi Kuasa. Namun, perlahan-lahan Peraturan Menteri Keuangan mulai membatasi kesempatan / hak seseorang yang โ€œbukan konsultan pajakโ€ menjadi kuasa WP, dan terakhir hanya seorang konsultan pajak sajalah yang boleh menjadi seorang Kuasa WP, sehingga akibatnya seseorang yang โ€œbukan konsultan pajakโ€ tidak lagi diberi kesempatan / hak untuk menjadi Kuasa WP.

      Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017 (Put MK-63/2017), Majelas Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP (sekarang Pasal 44E ayat (2) huruf e UU HPP) dinyatakan konsitusinal hanya apabila mengatur tentang materi pengatur yang bersifat teknis-administratif, bukan menatur tentang materi yang bersifat substantif (membatasi hak dan kewajiban Warga Negara, termasuk membatasi hak Wajib Pajak menunjuk seseorang sebagai Kuasanya, dan membatasi hak seseorang untuk menerima penunjukkan dari Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.

      Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP) hendaknya mematuhi Amanah Put MK-63/2017 yaitu hanya memuat materi pengaturan yang bersifat teknis administrative, dan bukan membuat materi pengaturan yang bersifat substantif.

      Cakupan Kuasa WP

      Pasal 49 UU KUP mengatur bahwa ketentuan dalam UU KUP berlaku pula bagi โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€. Kecuali apabila โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€ tersebut mengatur secara khusus mengenai hukum acara (tata cara) yang berbeda dengan ketentuan dalam UU KUP, maka ketentuan dalam โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€ tersebutlah yang berlaku (lex specialis derogate legi generalis).

      Terkait dengan hal tersebut diatas, baik undang-undang mengenai Pengadilan Pajak, undang-undang mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak serta undang-undang mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara, mengatur bahwa Bea dan Cukai termasuk ke dalam definisi โ€œperpajakanโ€, sehingga undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai termasuk pula ke dalam kelompok โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€.

      Kemudian, di dalam โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€, termasuk undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang menenai Cukai tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang โ€œKuasaโ€ sebagai mana halnya ketentuan mengenai โ€œKuasa Wajib Pajakโ€ yang ada dalam UU KUP (terakhir diubah dengan UU HPP). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€ tersebut tidak mengatur lain tentang โ€œKuasa Wajib Pajakโ€, sehingga ketentuan mengenai โ€œKuasa Wajib Pajakโ€ yang ada di dalam UU KUP berlaku pula bagi โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€, termasuk bagi undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai.

      Dengan demikian, dalam Menyusun peraturan mengenai โ€œKuasa Wajib Pajakโ€ yang terdapat di dalam UU KUP pembuat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang teknis administrative โ€œKuasa Wajib Pajakโ€ hendaknya mempertimbangkan pula untuk memasukkan ketentuan yang mempertegas bahwa ketentuan mengenai โ€œKuasa Wajib Pajakโ€ tersebut perlu pula bagi โ€œundang-undang perpajakan lainnyaโ€, termasuk bagi undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai.

      Perbedaan antara Kuasa WP dan Konsultan Pajak

      Perbedaan antara Kuasa WP dan Konsultan Pajak adalah sebagai berikut:

      1. Cakupan hak dan kewajiban seorang Kuasa WP sangat luas, yaitu pelaksanaan seluruh hak dan pemenuhan seluruh kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang di dalamnya termasuk pula pemberian jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak.
      2. Cakupan hak dan kewajiban seorang konsultan pajak lebih sempit daripada cakupan hak dan kewajiban seorang Kuasa WP, karena hanya sebatas kepada pemberian jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak.

      Dengan demikian, dalam membuat ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak oleh seorang Kuasa WP, pemberian hak untuk menjadi seorang Kuasa WP hendaknya tidak dibatasi hanya kepada seorang konsultan pajak.

      Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan penjelasannya yang secara jelas dan tega mengatur bahwa orang yang dapat menjadi Kuasa WP adalah setiap orang yang โ€œmemiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajaknaโ€, yang dibuktikan oleh antara lain jenjang Pendidikan tertentu, sertifikasi, dan atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.

      Contoh Surat Kuasa Wajib Pajak

      Mencari Ahli Pajak Untuk Kuasa?

      Penyalahgunaan P3B Melalui Mekanisme Hybrid Mismatch Arrangements

      Hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang
      berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purposeentities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain.

      PERKEMBANGAN teknologi digital telah mengaburkan batas antaryuridiksi. Para pelaku bisnis dapat melakukan transaksi lintas batas negara dengan lebih mudah. Tentu saja peningkatan perdagangan internasional dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara yang berpartisipasi.

      Namin demikian, dalam praktiknya, transaksi lintas yurisdiksi menciptakan interaksi peraturan perpajakan antarnegara. Kondisi ini memunculkan inefisiensi karena perbedaan pengaturan perpajakan di negara satu dan lainnya.

      Perbedaan ini normal karena adanya kedaulatan masing-masing negara dalam menciptakan aturan domestik. Pada umumnya, salah satu perhatian dalam perdagangan internasional adalah penghindaran pajak berganda. Walhasil, ada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

      Ketidakpaduan aturan antaryurisdiksi tidak hanya menimbulkan risiko pajak berganda (double taxation), tetapi juga risiko tidak dikenakan pajak di negara manapun atau dikenakan pajak dengan tarif efektif yang sangat rendah (double non-taxation).

      Risiko double non-taxation inilah yang dieksploitasi para penghindar pajak untuk meraih posisi terbaik dari kewajiban fiskalnya. Mereka memodifikasi transaksi dan/atau entitasnya sehingga menghasilkan tidak adanya pengenaan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang sangat rendah.

      Salah satu cara yang paling umum untuk menghasilkan double non-taxation adalah dengan memodifikasi transaksi dan/atau entitas bisnis melalui pemanfaatan perbedaan perlakuan pajak. Transaksi dan/atau entitas yang telah dimodifikasi inilah yang dimaksud dengan hybrid mismatch arrangements.

      Melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan, negara-negara G-20 bekerja sama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan 15 rencana aksi. Adapun 15 rencana aksi ini berupaya menyelaraskan ketidakpaduan peraturan perpajakan antarnegara untuk mengurangi celah penghindaran pajak internasional.

      Adapun rencana aksi ke-2 secara khusus ditujukan untuk menetralkan perlakuan perpajakan akibat perbedaan pandangan antarnegara dalam melihat suatu entitas, instrumen, atau transaksi yang berakhir pada double non-taxation. Rencana aksi ini disebut Neutralizing the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements.

      OECD memang tidak memberikan definisi khusus mengenai hybrid mismatch arrangements. Namun demikian, pada dasarnya, hybrid mismatch arrangements memiliki beberapa berikut:

      Pertama, hybrid entities, yaitu entitas diperlakukan sebagai entitas transparan dari sisi perpajakan di satu negara, sekaligus entitas nontransparan di negara lainnya. Disebut transparan jika entitas tersebut bukan pemilik dari suatu penghasilan yang diperoleh entitas.

      Dengan demikian, dalam konteks entitas transparan, subjek pajak atas penghasilan adalah pemilik modal. Sebaliknya, disebut nontransparan adalah apabila entitas tersebut diperlakukan sebagai subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya.

      Kedua, hybrid instrument, yaitu instrumen keuangan yang diperlakukan berbeda oleh negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh, suatu instrumen diperlakukan sebagai utang di suatu negara, tetapi dianggap modal di negara lain.

      Ketiga, hybrid transfer, yaitu perbedaan penafsiran pengalihan harta. Di satu negara dianggap sebagai pengalihan harta, tetapi tidak di negara lainnya. Keempat, dual resident entities, yaitu suatu entitas yang menjadi subjek pajak di dua negara yang berbeda.

      Penyalahgunaan P3B

      SALAH satu contoh risiko praktik penghindaran pajak melalui bentuk hybrid mismatch arrangements di Indonesia dapat ditinjau dari P3B Indonesia-Belanda. P3B ini mengatur dividen yang diterima residen Belanda dari Indonesia atas kepemilikan substansial dipotong pajak sebesar 5%.

      Tarif tersebut termasuk tarif terendah dibandingkan dengan ketentuan dalam P3B lainnya yang dimiliki Indonesia. Tidak heran jika Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis mengungkapkan P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan dalam skema penghindaran pajak.

      Belanda juga memiliki peraturan domestik mengenai suatu bentuk mutual fund yang dikategorikan sebagai entitas transparan. Mutual fund ini disebut dengan Closed Fonds voor Gemene Rekening atau Closed Fund for Mutual Account (CFMA).

      Menurut Belanda, CFMA bukanlah suatu entitas korporasi. Dengan demikian, CFMA merupakan suatu entitas transparan yang tidak dikenakan pajak penghasilan di Belanda.

      Melalui CFMA, pemilik modal bukan residen Belanda dapat membuat skema penghindaran pajak dengan memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda. Mereka bisa mendapatkan tarif pajak yang rendah dengan cara berinvestasi di Indonesia melalui CFMA Belanda.

      Karena CFMA merupakan entitas transparan di Belanda, pemerintah Belanda tidak lagi memajaki penghasilan yang diterima CFMA. Pemajakan atas penghasilan yang diterima pemilik modal akan dipajaki pada level korporasi atau individu.

      Dengan demikian, apabila pemilik modal berasal dari luar Belanda, pemerintah Belanda menyerahkan pemajakan atas penghasilan tersebut di negara asal pemilik modal. Namun, keberadaan CFMA menjadikan modal yang diinvestasikan di Indonesia seolah-olah seluruhnya berasal dari Belanda, sehingga pemilik modal tampak berhak memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda.

      Apabila tidak jeli, pemerintah Indonesia dapat tanpa sengaja memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda kepada pemilik modal yang seharusnya tidak berhak.

      Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019, Indonesia telah meratifikasi konvensi multilateral untuk menerapkan tindakan-tindakan terkait dengan P3B untuk mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba sesuai dengan multilateral instrument (MLI) OECD.

      Salah satu poin ketentuan yang disepakati dalam MLI ini adalah penerapan principle purpose test (PPT). Dengan PPT, Indonesia dapat menolak memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda jika terdapat potensi penyalahgunaan P3B menggunakan mekanisme hybrid mismatch arrangements.

      Adanya simplified limitation on benefits (SLOB) sebagai tambahan mekanisme antipenghindaran pajak juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam melawan hybrid mismatch arrangements. Namun, sampai dengan artikel ini ditulis, baik aturan teknis pelaksanaan PPT dan SLOB di Indonesia masih belum tersedia.

      Aturan pelaksanaan sangat penting karena kedua alat antipenghindaraan pajak tersebut memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menolak hak wajib pajak. Aturan pelaksanaan keduanya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun pemerintah, yang dalam hal ini Ditjen Pajak.

      Penulis:

      Artikel ini ditulis oleh Naranggi Pramudya Soko dan telah dimuat di DDTC. Saya sudah mendapat ijin penulis untuk share.

      Tindakan Penagihan

      Tindakan penagihan pajak adalah tindakan juru sita pajak untuk menagih pajak terutang. Tindakan penagihan pajak terdiri : Surat Teguran, Surat Pajak, Penyitaan, Lelang, Pencegahan, Penyanderaaan, dan / atau Penagihan Seketika dan Sekaligus. Tindakah penagihan dilakukan kepada penanggung pajak.

      Tahapan Penagihan

      Tahapan-tahapan penagihan pajak

      Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

      Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang KUP

      Berdasarkan Undang-Undang KUP, dasar penagihan pajak yaitu: STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Walaupun demikian, Wajib Pajak harus memperhatikan STP dan SKPKB.

      Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.

      Tetapi jika Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Wajib Pajak tidak setuju, maka juru sita pajak akan menunggu proses keberatan. Permohonan keberatan harus diajukan paling lambat 3 bulan sejak STP dan SKPKB dikirim. Jika dalam 3 bulan tidak diajukan, maka proses penagihan dilanjutkan.

      Walaupun demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020 Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPSS) dalam hal:

      1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
      2. Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
      3. terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
      4. Badan akan dibubarkan oleh negara;
      5. terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
      6. terdapat tanda-tanda kepailitan.

      7 hari setelah jatuh tempo, Juru Sita akan menerbitkan Surat Teguran. Biasanya surat teguran diantar langsung oleh Juru Sita.

      Surat Teguran

      Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak

      Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020

      Walaupun belum lunas, Surat Teguran tidak akan diterbitkan jika Wajib Pajak telah setuju untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Silakan mendatangi Juru Sita langsung di kantor pajak untuk meminta persetujuan penundaan atau berniat mengangsur.

      Surat Paksa

      Apabilan utang pajak belum lunas sampai dengan tanggal yang ditentukan, Juru Sita kemudian menerbitkan Surat Paksa dalam jangka wakut 21 hari sejak Surat Teguran.

      Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

      Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

      Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)

      Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan kepada:

      1. Penanggung Pajak, atau
      2. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak dalam hal Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai Penanggung Pajak, atau
      3. kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, atau
      4. orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, atau
      5. Penerima Kuasa Khusus dalam hal Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.

      Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat

      Pasal 10 aat (7) Undang-Undang PPSP

      Pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

      Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Pajak dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara.

      Karena harus dibacakan di depan penanggung pajak, biasanya kepala KPP memanggil penanggung pajak untuk menghadap Juru Sita. Saat pelaksanaan pembacaan, juru sita bisa juga didampingi pejabat lain seperti atasan Juru Sita.

      Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat antara lain jumlah utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli.

      Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Pajak diserahkan kepada wali atau pengampunya.

      Di sinilah “kejamnya” hukum pajak. Bahwa urusan pajak belum selesai walaupun Wajib Pajak sudah meninggal dunia. Bandingkan dengan pidana umum, bahwa jika tersangka meninggal dunia, maka urusan pidana selesai!

      Penyitaan

      Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu dalam jangka waktu yang telah ditentukan, 48 jam setelah dibacakan Surat Paksa, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

      Undang-Undang mengatur bahwa penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.

      Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:

      1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
      2. memperlihatkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; dan
      3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan.

      Selanjutnya, Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan. Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.

      Berita acara pelaksanaan sita tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat walaupun Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita. Dalam berita acara dicantumkan alasan penolakan dan ditanda tangani oleh Jurus Sita dan saksi.

      Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.

      Pasal 13 Undang-Undang PPSP.

      Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Jurus Sita untuk melakukan penyitaan berupa:

      • barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
      • barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.

      Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.

      Menteri Keuangan kemudian merinci aset yang dapat disita, yaitu barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak yang dapat disita diantaranya:

      1. uang tunai termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya;
      2. logam mulia, perhiasan emas, permata, dan sejenisnya;
      3. harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan meliputi deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
      4. harta kekayaan Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang memiliki nilai tunai;
      5. surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
      6. surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
      7. piutang; dan
      8. penyertaan modal pada perusahaan lain.

      Sedangkan barang tidak bergerak yang dapat disita oleh Juru Sita diantaranya:

      1. tanah dan/atau bangunan; dan
      2. kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.

      Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. Jurusita Pajak akan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya.

      Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.

      Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang PPSP

      Walaupun demikian, terdapat barang bergerak yang tidak boleh dilakukan penyitaan oleh Juru Sita. Hal ini diatur di Pasal 15 Undang-Undang PPSP. Pengecualian dimaksudnya supaya Penanggung Pajak masih dapat hidup layak.

      Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

      1. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
      2. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
      3. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
      4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
      5. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
      6. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

      Pada dasarnya, barang yang disita akan tetap disita sampai dengan utang pajak lunas. Walupun demikian, ada kondisi lain Juru Sita mencabut pencabutan. Berikut kondisi pencabutan sita menurut Menteri Keuangan:

      1. Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
      2. adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak;
      3. Barang sitaan musnah karena terbakar, huru-hara, gagal teknologi, dan bencana alam;
      4. Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif telah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
      5. Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
      6. Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
      7. Penanggung Pajak yang merupakan salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan, bagi harta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta peninggalan Wajib Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta peninggalan Wajib Pajak; atau harta peninggalan Wajib Pajak sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
      8. Penanggung Pajak yang merupakan para ahli waris Wajib Pajak, bagi harta warisan yang telah dibagi, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta warisan sesuai dengan porsi yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta warisan; atau harta warisan sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
      9. Penanggung Pajak yang merupakan wali bagi anak yang belum dewasa telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta anak yang belum dewasa; atau harta anak yang belum dewasa sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dan harta pribadi wali yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
      10. Penanggung Pajak yang merupakan pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta orang yang berada dalam pengampuan; atau harta orang yang berada dalam pengampuannya sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dan harta pribadi pengampu yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
      11. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
      12. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
      13. Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
      14. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah daluwarsa penagihan; dan/atau
      15. Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang .

      Pemblokiran

      Pemblokiran rekening keuangan termasuk salah satu bentuk penyitaan. Pemblokiran rekening keuangan sering dilakukan oleh Juru Sita karena lebih mudah dan sangat efektif. Wajib Pajak akan kesulitan likuidasi jika rekening banknya diblokir pajak.

      Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.

      Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 4, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu.

      Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020
      Alur pemblokiran rekening keuangan

      Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat, yang dilampiri dengan:

      1. cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak;
      2. cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak; dan
      3. surat permintaan pemindahbukuan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagai pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.

      Pencegahan

      Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

      Penyanderaan

      Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

      Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

      Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang PPSP

      Juru Sita mengajukan penyanderaan kepada Menteri Keuangan. Dan melaksanakan penyanderaan setelah ada ijin dari Menteri Keuangan.

      Setelah mendapat ijin dari Menteri Keuangan, Juru Sita menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika. Lamanya Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan.

      Menurut Pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020, pelaksanaan penyanderaan sebagai berikut:

      • Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan secara langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan.
      • Penyampaian surat perintah Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
      • Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.
      • Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak.

      Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah atau sedang dilakukan Pencegahan.

      Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

      Pasal 35 Undang-Undang PPSP

      Tujuan penyanderaan supaya utang pajak lunas. Jika dalam 6 bulan belum ada pelunasan utang pajak, maka Juru Sita dapat memperpanjang penyanderaan. Hal ini diatur di Pasal 66 Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 36 Undang-Undang PPSP.

      Perpanjangan Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir.

      Penagihan Seketika dan Sekaligus

      Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.

      Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPSP, Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:

      1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau beniat untuk itu;
      2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
      3. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
      4. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
      5. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

      Pengangsuran dan Penundaan

      Pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur di Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014 berdasarkan kewenangan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang KUP.

      Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada kantor pajak untuk mengangsur atau menunda utang pajak berupa: kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus dibayar.

      Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
      2. surat permohonan mencantumkan: jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;

      Selain itu, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.

      Pengansuran dan penundaan pembayaran utang pajak menjadi urusan Juru Sita. Wajib Pajak dapat meminta penjelasan lebih lanjut dengan petugas Juru Sita. Permohonan pengangsuran dan penundaan menunjukkan itikad baik Wajib Pajak untuk melunasi utang pajak.

      Gugatan Wajib Pajak

      Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Objek gugatan berupa:

      • pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
      • keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
      • keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
      • penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Dengan demikian, satu-satunya pinta gugatan terhadap tindakan penagihan hanya ada di Pengadilan Pajak. Pengadilan lain seperti PTUN seharusnya menolak permohonan terkait tindakan penagihan karena spesialisasi undang-undang perpajakan. Hal ini diperkuat dengan aturan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP

      Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

      Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP

      Daluwarsa Penagihan Pajak

      Utang pajak dapat ditagih walaupun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah meninggal. Tetapi kewenangan menagih ini dibatasi waktu, yaitu 5 tahun saja. Jadi tidak berarti selamanya dapat ditagih.

      Setelah 5 tahun disebut daluwarsa penagihan pajak. Artinya, negara tidak memiliki kewenangan untuk menagih pajak lagi.

      Bagaimana menghitung 5 tahun ini? Pasal 22 Undang-Undang KUP mengatur daluwarsa penagihan pajak. Berikut salinannya:

      Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

      Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP

      Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

      1. diterbitkan Surat Paksa;
      2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
      3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
      4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

      Keempat tindakan menjadikan argo penagihan pajak nol lagi. Dan daluwarsa penagihan bergeser menjadi 5 tahun ke depan setelah salah satu ke-empat tindakan di atas dilakukan.

      Salindia Penagihan Pajak

      Istilah Pajak

      Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan file pdf dengan nama file 101TaxGlossary. Karena saya tahu penulisnya, saya meminta ijin untuk share ulang. Di sini saya ubah judulnya dengan Istilah Pajak.

      101 Tax Glossary ditulis oleh Erikson Wijaya dan Noris Andika Pane.

      Tax Accountant
      Profesi akuntan yang mengkhususkan pada analisis aspek perpajakan di setiap pencatatan akuntansi entitas/unit/individu Wajib Pajak yang ditanganinya. Profesi ini memungkinkan Wajib Pajak dapat memenuhi setiap hak dan kewajiban perpajakannya, antara lain: pelaporan SPT Tahunan/ Masa, pengurusan restitusi pajak, penyelesaian banding dan keberatan, atau pengajuan permohonan administrasi rutin lainnya

      Tax Administration
      Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan/ operasionalisasi pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak baik dari sisi Wajib Pajak maupun dari sisi petugas pajak. Rujukan pelaksanaan yang diambil sebagai pedoman dalam pelaksanaan tersebut adalah ketentuan perpajakan (Undang-Undang dan aturan pelaksanaan turunannya) yang disusun dan dilaksanakan oleh otoritas pajak di setiap negara masing-masing (Indonesia: Direktorat Jenderal Pajak- Kementerian Keuangan)

      Tax Advantage
      Nilai ekonomi atau setara nilai uang yang dapat diperoleh atau berpotensi dapat diperoleh ketika Wajib Pajak menerapkan suatu ketentuan perpajakan tertentu secara sah dan tidak menyalahi aturan. Tax Advantage hanya dapat diperoleh jika Wajib Pajak memahami detil di setiap aspek transaksi. Setiap aspek tersebut mengandung ruang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak. Ruang tersebut memang secara sah terbentuk akibat ketentuan perpajakan yang berlaku

      Tax Advisor
      Suatu profesi yang memberikan layanan berupa bantuan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengedepankan upaya penghematan beban pajak tanpa menyalahi aturan perpajakan yang dijalankan. Tax Advisor memiliki batasan dalam menjalankan profesinya yakni hanya terbatas memberikan nasihat profesional dan menjelaskan skema strategis yang dapat dijalankan Wajib Pajak. Tax Advisor tidak diperkenankan menjalankan tugas pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai perwakilan Wajib Pajak

      Tax Allowance
      Sejumlah nilai uang yang dapat dikurangkan oleh Wajib Pajak dari penghasilan kotor untuk menghitung jumlah yang dapat dikenai pajak. Bagi pemberi kerja/ pemotong pajak, Tax Allowance berguna untuk menentukan dasar pengenaan pajak yang hendak dipotong/ dipungut. Dengan menerapkan Tax Allowance, Wajib Pajak atau Pemotong Pajak dapat menentukan dasar pengenaan pajak yang tepat.

      Tax Amnesty
      Program pengampunan pajak yang diirilis penguasa/ pemerintah secara resmi dan terbatas waktu tertentu untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak agar mengakui ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa-masa yang telah lewat dengan cara diberikan penghapusan/pengurangan beban pajak yang seharusnya terutang baik pokok dan atau sanksi yang menyertainya dengan maksud untuk memperoleh tambahan penerimaan pajak, meningkatkan kualitas basis pajak, dan sebagai bagian dari agenda reformasi sistem perpajakan

      Tax Arbitrage
      Tax Arbitrage adalah upaya/praktik untuk memaksimalkan laba atau keuntungan dengan cara mengidentifikasi dan mengeksploitasi kompleksitas ketentuan perpajakan. Tax Arbitrage dilakukan dengan cara menata kembali pola atau model transaksi yang dilakukan Wajib Pajak menjadi suatu bentuk yang lebih memberikan penghematan atau penghilangan beban pajak yang dapat dikandung suatu transaksi bisnis. Frase arbitrage dalam konteks Tax Arbitrage dapat diartikan sebagai jalan tengah yang legal untuk menghadapi berbagai ketentuan perpajakan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak.

      Tax Arrears
      Tax Arrears adalah jumlah utang pajak yang dimiliki Wajib Pajak yang masih harus dibayar kepada negara/pemerintah namun oleh Wajib Pajak belum dilakukan pembayaran

      Tax Aspect
      Tax Aspect adalah sebuah kondisi transaksi ekonomi/ keuangan yang dapat mengandung kewajiban/ konsekuensi perpajakan sehingga menjadi salah satu pertimbangan bagi pelaku untuk menerapkan pola transaksi tersebut. Semakin besar konsekuensi pajak yang harus ditanggung akibat Tax Aspect memuat kewajiban pajak dengan tarif yang lebih tinggi, maka makin besar kemungkinan transaksi trersebut dihindari.

      Tax Assessment
      Tax Assessment merupakan sebuah praktik untuk menganalisis beragam aspek perpajakan dalam sebuah transaksi ekonomi/ non ekonomi. Tax Assessment biasa dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengukur seberapa besar konsekuensi beban pajak yang berpotensi ditanggung Wajib Pajak dalam melaksanakan sebuah rencana bisnis atau pribadi. Kemampuan mengurai konsekuensi perpajakan merupakan sebuah kemampuan dasar bagi siapapun yang bekerja di dunia Finance, Accountancy, dan Tax (biasa disingkat FAT).

      Tax Auditing
      Tax Auditing merupakan salah satu cabang konsentrasi dalam administrasi atau pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan perpajakan dengan fokus berkaitan dengan pengujian kembali kualitas pemenuhan ketentuan perpajakan di dalam riwayat pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak dalam suatu kurun waktu tertentu

      Tax Authorities
      Tax Authorities merujuk pada sebuah entitas (kantor/unit/lembaga/badan) kelengkapan negara yang bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang yang sah secara hukum negara tersebut dalam rangka menyelenggarakan operasional dan atau perumusan peratuan di bidang perpajakan.

      Tax Autonomy
      Tax Autonomy adalah sebuah kebijakan administratif suatu negara untuk memberikan kebebasan secara otonom terhadap otoritas perpajakan di dalam aspek tertentu untuk menciptakan pola kerja yang lebih efisien, efektif, dan tepat sasaran. Penerapan Tax Autonomy dapat berupa pemisahan struktural otoritas pajak menjadi tidak lagi di bawah kendali Kementerian Keuangan melainkan langsung di bawah Presiden. Atau di beberapa negara, otoritas pajak tetap berada di bawah Kementerian Keuangan namun kuasa secara otonom diberikan untuk aspek tertentu seperti Sumber Daya Manusia, Keuangan, atau Penegakan Hukum

      Tax Avoidance
      Tax Avoidance adalah istilah umum untuk menggambarkan praktik penghindaran pajak dengan menerapkan teknik-teknik yang legal dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Hal ini dimungkinkan bilamana Wajib Pajak memahami seluk beluk aturan perpajakan dan celah-celah yang dapat dimanfaatkan dengan maksud meminimalisir beban pajak yang harus dibayar.

      Tax Barriers
      Tax Barriers adalah pajak yang dibebankan kepada produk-produk tertentu, biasanya produk impor sebelum masuk ke pasar dalam negeri sehingga harga produk tersebut menjadi lebih tinggi dengan maksud untuk melindungi kepentingan dalam negeri seperti produk industri lokal sejenis agar lebih bersaing.

      Tax Base
      Tax Base adalah kumpulan objek pajak baik secara fisik atau melekat bersama subjek pajak dan atau wajib pajak yang memuat potensi pajak yang dapat dikenai pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dapat pula Tax Base didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan penghasilan, kekayaan, aset, konsumsi, transaksi, atau aktifitas ekonomi yang dapat dikenai pajak oleh negara.

      Tax Benefit
      Tax Benefit secara umum merujuk pada istilah untuk menjelaskan nilai pajak yang dapat dihemat oleh Wajib Pajak. Adanya Tax Benefit dapat mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Hal ini dapat terjadi karena Tax Benefit kerap kali berupa insentif berupa pengurangan atau keringanan yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai bentuk apresiasi untuk telah mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku atau mendorong tumbuhnya perekonomian di sektor tertentu

      Tax Bracket
      Tax Bracket merujuk pada rentang penghasilan yang dikenai pajak dengan besaran tertentu tergantung pada besaran nilai di dalam rentang penghasilan dimaksud. Istilah Tax Bracket biasanya mengaju pada penerapan pajak dengan sifat yang progresif sebab semakin tinggi penghasilan maka semakin besar beban pajak yang dikenakan.

      Tax Breaks
      Tax Break merupakan sebuah kebijakan yang diberikan pemerintah untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar Wajib Pajak dengan cara memberikan fasilitas pembebanan biaya/ perluasan pengurangan penghasilan bruto atau pengecualian pengenaan pajak atas penghasilan yang dilaporkan. Tax Break biasanya berlaku sementara dengan maksud sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendorong iklim usaha di sektor tertentu.

      Tax Buoyancy
      Tax Buoyancy adalah sebuah ukuran untuk menggambar tingkat perubahan atas pertumbuhan penerimaan pajak terhadap perubahan jumlah produk domestik bruto (pertumbuhan ekonomi). Dalam penerapannya, Tax Buoyancy dapat dihitung dengan cara membagi pertumbuhan penerimaan perpajakan (secara riil) dengan pertumbuhan ekonomi

      Tax Burden
      Tax Burden adalah jumlah semua beban pajak atau dampak pajak terhadap total penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak. Tax Burden merupakan sebuah konsep umum untuk menggambarkan adanya akumulasi beban akibat pajak yang dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan Wajib Pajak.

      Tax Capacity
      Tax Capacity adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah suatu negara untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari total seluruh potensi pajak yang dimiliki/ berhasil diidentifikasi. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi Tax Capacity sebuah negara yaitu: pertumbuhan ekonomi, kualitas infrastruktur, tingkat pendidikan warga negara, atau kondisi sektor penopang perekonomian negara tersebut.

      Tax Capitalization
      Tax Capitalization adalah sebuah metode untuk menambahkan nilai suatu aset (atau penghasilan yang dapat dihasilkan sebuah aset) sejumlah selisih yang muncul akibat penurunan tarif pajak. Hal ini dapat dimungkinkan karena penurunan tarif pajak dapat meningkatkan penghasilan di masa mendatang. Akumulasi kenaikan tersebut dikapitalisasikan (ditambahkan sebagai nilai) ke dalam nilai aset

      Tax Characteristics
      Tax Characteristics adalah sifat dasar pajak yang melekat secara umum. Konsep ini merujuk pada keberadaan aspek perpajakan dalam berbagai sudut pandang, terutama hukum dan bisnis

      Tax Clearance
      Tax Clearance merupakan sebuah status yang menerangkan kualitas pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Lazimnya, status tersebut dilegalkan dalam bentuk dokumen sertifikat fisik yang diterbitkan oleh otoritas pajak sebuah negara. Di Indonesia, dokumen tersebut adalah Surat Keterangan Fiskal.

      Tax Code
      Tax Code adalah kumpulan ketentuan hukum perpajakan suatu negara sebagai satu kesatuan yang wajib dipatuhi Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Tax Code disusun menurut topik-topik pembahasan yang dapat diacu Wajib Pajak sebagai dasar legal dalam memahami administrasi dan prosedur perpajakan yang berlaku

      Tax Coefficient
      Tax Coefficient memiliki arti yang tidak berbeda jauh dengan tax rate. Cofficient atau koefisien dalam bahasa indonesia adalah suatu konstanta yang bernilai mutlak dan tetap dapat mempengaruhi nilai suatu variabel dalam menghitung total keseluruhan nilai dalam sebuah persamaan. Berkaitan dengan pajak, maka tax coefficient dapat bermakna konstanta tertentu yang dimasukkan sebagai unsur dalam menghitung besaran suatu variabel untuk menentukan nilai akhir pajak yang terutang, biasanya penggunaan koefisien dalam menghitung pajak terjadi pada pajak daerah.

      Tax Collections
      Tax Collections berkaitan dengan kegiatan pengumpulan pajak melalui mekanisme penagihan utang pajak kepada Wajib Pajak oleh petugas pajak (biasanya memiliki jabatan Jurusita Pajak Negara). Tax collections adalah salah satu unsur penunjang capaian target penerimaan pajak

      Tax Competitions
      Tax Competitions adalah suatu kondisi persaingan antara negara/ yurisdiksi untuk memperebutkan investasi atau perusahaan multinasional dengan menawarkan tarif pajak yang lebih rendah atau administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan mudah. Lazimnya, Tax Competitions berkenaan dengan Pajak Penghasilan badan dan Pajak Penghasilan atas karyawan/ tenaga kerja

      Tax Compliance
      Tax Compliance adalah kondisi kualitas kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan mekanisme pemenuhannya, ada dua jenis kepatuhan pajak atau Tax Compliance, yakni kepatuhan yang dipaksakan (enforced compliance) dan kepatuhan sukarela (volutarily compliance). Sementara, menurut substansinya, ada dua jenis kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.

      Tax Composition
      Tax Composition berkenaan dengan kontribusi masing-masing jenis pajak dalam menyusun jumlah penerimaan pajak suatu negara/ yurisdiksi dalam rentang waktu tertentu. Konsep Tax Composition bermanfaat untuk mendapatkan gambaran mengenai peran berbagai jenis pajak yang ada dalam menyumbang capaian penerimaan pajak.

      Tax Computation
      Tax Computation adalah suatu mekanisme dalam menyajikan/ menunjukkan proses penyesuaian penghasilan menurut akuntansi untuk kepentingan perpajakan agar dapat memperoleh nilai penghasilan yang dapat dikenai pajak. Penyesuaian untuk kepentingan perpajakan tersebut mencakup penghitungan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan, penghasilan yang tidak dikenai pajak, pengurangan-pengurangan lainnya, dan tunjangan yang berkaitan dengan modal.

      Tax Concesssions
      Tax Concession berkenaan dengan pengurangan atau pengecualian beban pajak yang harus dibayar sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang diberikan kepada wajib pajak baik badan maupun orang pribadi. Fasilitas pengurangan dalam Tax Concession diberikan pemerintah bagi Wajib Pajak yang memenuhi syarat yang ditetapkan, misalnya batas nilai peredaran usaha/ omset tidak melebihi nilai tertentu atau kelengkapan administrasi pembebanan biaya yang dapat dikurangkan.

      Tax Consequences
      Tax Consequences merupakan sebuah konsep yang menjabarkan bagaimana proses munculnya kewajiban perpajakan yang harus dibayar akibat penerapan suatu mekanisme atau pola transaksi bisnis yang dijalankan Wajib Pajak dalam menjalankan kegiatan bisnisnya atau pribadinya.

      Tax Cooperation
      Tax Cooperation merupakan sebuah praktik untuk menjalin kerjasama antara dua atau lebih otoritas perpajakan antar negara atau yurisdiksi dengan maksud untuk menyediakan kondisi/ iklim perpajakan yang efektif, akuntabel, dan transparan bagi Wajib Pajak suatu negara yang sedang menjalankan atau hendak menjalankan kegiatan bisnis atau investasi di satu atau lebih negara lainnya. Tax Cooperation juga dijalin dengan maksud untuk mengamankan potensi penerimaan pajak oleh negaranegara yang terlibat oleh Wajib Pajak dimaksud.

      Tax Costs
      Tax Costs dapat juga disebut beban pajak. Di dalam laporan keuangan, beban pajak dibebankan sebagai biaya untuk menghitung penghasilan bersih suatu entitas. Beban pajak ini dihitung dengan mengalikan penghasilan bersih yang dikenai pajak dengan tarif pajak yang berlaku atas penghasilan tersebut.

      Tax Court
      Tax Court atau Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga resmi yang dibentuk oleh negara dengan maksud untuk menyelenggarakan forum yudisial dimana Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding terhadap keputusan utang pajak yang harus dibayar yang telah ditetapkan oleh otoritas perpajakan suatu negara/ yurisdiksi. Di Amerika Serikat, Tax Court dibentuk di setiap jenjang administratif pemerintahan mulai dari tingkat lokal, negara bagian, sampai dengan tingkat supreme (utama).

      Tax Crime
      Tax Crime adalah istilah untuk menyebut suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menyebabkan kerugian pada pendapatan negara. Ada banyak bentuk tax crime dan setiap negara atau yurisdiksi memiliki definisi yang berbeda-beda. OECD sendiri bahkan memberikan cakupan tax crime juga meliputi tindakan untuk menghindari pajak dengan skema tertentu yang diatur dengan sengaja mencakup penyampaian data dan informasi yang tidak benar.

      Tax Culture
      Tax Culture merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan kualitas kesadaran pajak masyarakat dalam skala luas di suatu wilayah negara atau yurisdiksi. Budaya perpajakan, dalam pengertian umumnya, menunjukkan perilaku perpajakan dan norma perpajakan yang berlaku di negara tertentu. Sikap dan perilaku baik wajib pajak maupun pemungut pajak menjadi dasar yang mendasari budaya perpajakan.

      Tax Cut
      Pemotongan pajak atau Tac Cut adalah pengurangan tarif pajak yang diberikan oleh pemerintah. Dampak langsung dari pemotongan pajak adalah penurunan pendapatan riil pemerintah dari penerimaan pajak dan peningkatan pendapatan riil bagi masyarakat atau pelaku bisnis/ usaha yang tarif pajaknya telah diturunkan.

      Tax Debt
      Tax debt atau hutang pajak adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak kepada otoritas perpajakan negara tempat Wajib Pajak tinggal sebagai warga negara atau berdomisili setelah batas waktu pengajuan. Tidak masalah jika Wajib Pajak mengajukan pengembalian pajak sebelum batas waktu pengajuan dan membayar sebagian tagihan pajak. Sisa saldo masih akan dianggap sebagai hutang pajak.

      Tax Declaration
      Pernyataan pendapatan, penjualan dan rincian lainnya dibuat oleh atau atas nama wajib pajak. Formulir sering kali disediakan oleh otoritas pajak untuk tujuan ini. Tax Declaration biasanya disampaikan dengan bentuk formulir Surat Pemberitahuan atau SPT

      Tax Deductible
      Tax Deductible merupakan salah satu kelompok jenis biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan kotor/ laba kotor/ peredaran usaha dalam menghitung penghasilan bersih yang menjadi dasar pengenaan pajak.

      Tax Delinquent
      Istilah Tax Delinquent digunakan untuk menyebut Penunggak Pajak. Suatu utang pajak menjadi tunggakan jika telah terlampaui batas waktu pelunasan namun oleh Wajib Pajak belum dilakukan pelunasan.

      Tax Default
      Tax Default merupakan istilah untuk menyebut pajak yang gagal dibayar oleh Wajib Pajak baik dalam skema cicilan atau pelunasan. Dengan kata lain, setelah terlampaui batas waktu, tidak ada aktifitas pembayaran yang dilakukan Wajib Pajak atas tunggakan pajak tersebut. Sehingga penggunaan istilah Tax Default tepat digunakan untuk menyebut pajak yang gagal dibayar penunggak pajak.

      Tax Discrimination
      Tax Discrimination mengacu pada praktik penerapan pembedaan pengenaan pajak yang dianggap tidak adil oleh sebagian orang, karena tidak mempengaruhi semua orang secara setara. Ketidakadilan ini dipicu oleh munculnya platform baru dalam bisnis yang tidak mengikuti kebijakan perpajakan pada waktunya.

      Tax Disincentives
      Tax Disincentives adalah pengaruh yang disebabkan oleh pengenaan pajak yang mengakibatkan melemahnya atau berkurangnya kapasitas bisnis, nominal laba bersih, atau skala kegiatan usaha yang dijalankan Wajib Pajak. Tax Disincentives dapat berupa pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, pengenaan pajak berganda, atau administrasi pemenuhan hak dan kewajiban pajak yang dianggap tidak sederhana dan memakan waktu serta biaya.

      Tax Dispute
      Tax Dispute atau Sengketa Pajak berarti setiap perselisihan oleh otoritas Pajak dengan Wajib Pajak atau sebaliknya (termasuk melalui penerbitan penilaian atau substansi dalam surat menyurat yang resmi diterbitkan otoritas pajak) yang menyatakan bahwa kewajiban Pajak dapat timbul atau bahwa Keringanan Pajak mungkin tidak tersedia lagi untuk dibahas antara kedua belah pihak.

      Tax Dodge
      Tax Dodge adalah suatu praktik ilegal atau bertentangan dengan hukum perpajakan yang berlaku untuk mengurangi jumlah beban pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam suatu kurun waktu tertentu.

      Tax Effect
      Tax Effect merupakan istilah untuk menggambarkan konsekuensi berupa pajak yang harus dibayar akibat penerapan skenario atau metode tertentu untuk kepentingan menghitung utang pajak atau beban pajak yang harus dibayar. Tax Effect juga kerap digunakan untuk menggambarkan beban pajak yang muncul akibat pengenaan pajak atas seluruh penghasilan yang baru terdeteksi oleh otoritas dikurangi pajak atas penghasilan yang telah dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan pajak.

      Tax Effort
      Tax Effort merupakan suatu angka untuk menunjukkan perbandingan antara nilai penerimaan pajak secara riil terhadap total potensi penerimaan pajak dalam satu periode yang sama di suatu negara atau yurisdiksi. Penggunaan angka dalam Tax Effort memungkinkan pengelompokkan negara menjadi berbagai kategori berikut: low tax collection, low tax effort; high tax collection, high tax effort; low tax collection, high tax effort; and high tax collection, low tax effort.

      Tax Enforcement
      Tax Enforcement adalah tindakan untuk menerapkan hukum perpajakan yang diamanatkan di dalam ketentuan perpajakan suatu otoritas pajak sebuah negara atau yurisdiksi. Tujuan tax enforcement adalah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, meningkatkan penerimaan pajak, dan menciptakan budaya patuh pajak di masyarakat. Tax Enforcement dilakukan dengan penerapan pengenaan sanksi administrasi dan pidana secara tegas dan adil kepada Wajib Pajak yang melanggar ketentuan perpajakan.

      Tax Environment
      Tax Environment merupakan kebijakan untuk mengenakan pajak atas aktifitas bisnis dan atau aktifitas keseharian masyarakat yang berpotensi mencemari lingkungan dengan berbagai bentuk.

      Tax Equity
      Tax Equity adalah prinsipi keadilan dalam pengenaan pajak. Dengan maksud agar pembebanan pajak kepada Wajib Pajak/ masyarakat harus mengedepankan semangat persamaan beban dan pertimbangan kemampuan.

      Tax Evasion
      Tax Evasion adalah suatu upaya untuk dengan sengaja melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku dengan maksud untuk tidak membayar pajak atau membayar dengan jumlah yang lebih rendah daripada yang seharusnya dibayar. Tax Evasion dipandang mengandung aspek tindak pidana di bidang perpajakan.

      Tax Exemption
      Tax Exemption atau Pembebasan pajak adalah pengurangan atau penghapusan kewajiban untuk melakukan pembayaran wajib yang semula dikenakan oleh otoritas pajak kepada Wajib Pajak atas perolehan penghasilan oleh melalui orang, properti, pendapatan, atau transaksi.

      Tax Exhaustion
      Tax Exhaustion merujuk pada batas maksimal kemampuan Wajib Pajak atau Orang Pribadi dalam memenuhi kemampuan membayar pajak. Batas maksimal sebagaimana dimaksud mencakup jumlah nominal uang yang paling banyak dibayarkan oleh Wajib Pajak.

      Tax Exile
      Tax Exile merujuk pada status orang pribadi atau badan hukum yang memutuskan semua ikatan yang membuatnya menjadi penduduk fiskal di negara tertentu dan pindah ke yurisdiksi lain karena alasan pajak.

      Tax Expenditure
      Tax Expenditure atau Belanja Pajak adalah ketentuan khusus dari peraturan pajak yang mengatur beberapa ketentuan seperti pengecualian, pemotongan, penangguhan, kredit, dan tarif pajak yang menguntungkan kegiatan atau kelompok pembayar pajak tertentu. Dengan demikian, pengeluaran pajak seringkali merupakan alternatif dari program atau peraturan pengeluaran langsung untuk mencapai tujuan yang sama

      Tax Expense
      Tax Expense atau belanja untuk membayar pajak adalah akun tertentu di dalam laporan keuangan Wajib Pajak yang menunjukkan jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak dalam suatu periode tertentu. Dengan kata lain, Tax Expense didefinisikan dari sudut pandang Wajib Pajak.

      Tax Firm
      Tax Firm merupakan sebuah bentuk usaha profesional di bidang perpajakan yang dijalankan oleh para profesional yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perpajakan untuk memberikan bantuan profesional kepada Wajib Pajak dan masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Keberadaan Tax Firm menjadi jembatan antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak sehingga ketika berjalan dengan baik, Tax Firm dapat membantu terwujudnya komunikasi yang baik antara otoritas pajak dengan Wajib Pajak.

      Tax Free
      Tax Free adalah sebuah kondisi dimana sebuah transaksi bisnis yang dijalankan Wajib Pajak tidak dikenai pajak sama sekali dikarenakan transaksi bisnis tersebut menggunakan skema yang memang secara legal tidak dikenai pajak atau dapat pula karena penghasilan yang diperoleh memang tidak termasuk objek pajak yang dikenai pajak.

      Tax Gap
      Tax Gap merupakan istilah untuk menggambarkan jumlah selisih pajak yang terkumpul tepat waktu sebagai penerimaan negara dengan jumlah pajak terutang. Tax Gap muncul sebagai istilah untuk menjelaskan jumlah persentase utang pajak yang belum kadaluarsa namun belum tertagih.

      Tax Home
      Tax Home adalah sebuah istilah untuk menjelaskan kondisi tempat kerja atau jabatan rutin wajib pajak, di mana pun wajib pajak memiliki rumah keluarga.

      Tax Haven
      Tax Haven atau Surga pajak dalam pengertian “klasik” mengacu pada negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak ada pajak, dan digunakan oleh perusahaan untuk menghindari pajak yang jika tidak, akan dibayarkan di negara asal dengan pajak tinggi. Menurut laporan OECD, tax havens memiliki karakteristik utama sebagai berikut; Tidak ada atau hanya pajak nominal; Kurangnya pertukaran informasi yang efektif; Kurangnya transparansi dalam pelaksanaan ketentuan legislatif, hukum atau administratif.

      Tax Holiday
      Tax holiday adalah kebijakan hukum yang secara resmi dikeluarkan oleh otoritas pajak suatu negara/yurisdiksi yang menawarkan periode pembebasan pajak penghasilan untuk jenis usaha baru atau usaha tertentu guna mengembangkan atau mendiversifikasi industri dalam negeri.

      Tax Hell
      Tax Hell atau Neraka Pajak merujuk pada negara/yurisdiksi dengan tarif pajak yang sangat tinggi. Dalam beberapa definisi, neraka pajak juga berarti birokrasi pajak yang menindas atau memberatkan. Di Amerika Serikat, negara bagian dengan tarif pajak yang sangat tinggi adalah Wisconsin, yang secara geografis berdekatan dengan Minnesota dan North Dakota.

      Tax Incentives
      Tax Incentives atau Insentif Pajak adalah kebijakan yang secara resmi dirilis oleh otoritas pajak suatu negara/ yurisdiksi dalam bentuk pembebasan pajak, pengurangan tarif pajak, atau pajak ditanggung negara dengan maksud untuk membantu perkembangan bisnis, kelancaran likuiditas, atau meningkatkan kepatuhan pajak. Tax Incentives diberikan dalam jangka waktu tertentu, dengan kata lain, bukan merupakan sebuah kebijakan yang tetap

      Tax Incidences
      Tax Incidences atau insiden pajak adalah istilah ekonomi untuk memahami pembagian beban pajak antara pemangku kepentingan, seperti pembeli dan penjual atau produsen dan konsumen. Insiden pajak juga dapat dikaitkan dengan elastisitas harga penawaran dan permintaan.

      Tax Inclusives
      Tax Inclusives berarti pajak sudah menjadi bagian dari harga eceran produk, jadi tidak ada lagi pajak yang ditambahkan ke subtotal dari transaksi penjualan. Sedangkan Tax Exclusive artinya pajak diterapkan di atas harga satuan.

      Tax Increment
      Tax Increment adalah istilah dalam keuangan publik. Tax Increment adalah sebuah metode untuk menjadikan pajak sebagai salah satu alat untuk mendukung proyek pengembangan kembali kegiatan perekonomian di suatu wilayah dengan menggunakan dana pajak yang diperkirakan dapat dikumpulkan dari properti atau objek pajak di wilayah tersebut sepanjang kurun waktu tertentu. Pembiayaan melalui kenaikan pajak/ Tax Increment dapat pula dimaknai sebagai metode pembiayaan publik yang dapat digunakan sebagai subsidi untuk pembangunan kembali, infrastruktur, dan proyek peningkatan masyarakat lainnya di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.

      Tax Intelligence
      Tax Intelligence adalah sebuah istilah untuk mengoptimalkan semua sumber daya berupa informasi, teknologi, jejaring relasi, dan sumber daya manusia dalam melakukan pendalaman untuk kepentingan penelurusan kondisi subjektif dan objektif Wajib Pajak, pengujian kepatuhan pajak, penegakan hukum perpajakan, dan penyusunan profil Wajib Pajak. Di banyak otoritas pajak di berbagai negara/yurisdiksi, Tax Intelligence telah dilembagakan menjadi unit yang secara resmi menjalankan fungsi-fungsi intelijen.

      Tax Investigations
      Tax Investigations adalah suatu mekanisme penegakan hukum pajak yang dilakukan oleh petugas pajak dengan jabatan tertentu dengan maksud untuk membuktikan unsur pidana dari tindak pidana perpajakan yang disangkakan kepada Wajib Pajak.

      Tax Invoices
      Tax Invoices atau Faktur Pajak adalah dokumen tertulis yang diterbitkan dan dibuat oleh Wajib Pajak penjual kepada Wajib Pajak pembeli yang menunjukkan deskripsi, jumlah, nilai barang dan jasa serta pajak yang dibebankan. Faktur Pajak diterbitkan, lazimnya, jika barang dijual dengan maksud untuk dijual kembali oleh pembeli.

      Tax Laws
      Tax Laws atau hukum pajak adalah seperangkat aturan dan ketentuan yang mengatur dan menetapkan perihal bagaimana, kapan, dan berapa banyak pajak yang harus dibayar ke otoritas pajak di setiap jenjang dan ketentuan yang berlaku.

      Tax Loopholes
      Tax Loopholes adalah celah-celah yang dapat dimanfaatkan dalam undang-undang, pengaruh tax avoidance (penghindaran pajak) untuk meminimalkan beban pajak.

      Tax Lien
      Tax Lien adalah notifikasi berupa klaim resmi yang disampaikan oleh pemerintah atas aset berupa properti yang dimiliki Wajib Pajak yang belum membayar Pajak Penghasilan setelah lampau jatuh tempo yang ditetapkan. Ketika notifikasi atau Tax Lien telah disampaikan atau ditetapkan pemerintah, maka Tax Lien dapat dihapus dengan cara Wajib Pajak membayar tagihan pajak yang terutang yang mana jika tidak dilakukan pembayaran maka atas aset yang telah diberi notifikasi Tax Lien dapat dilakukan penyitaan.

      Tax Liability
      Tax Liability adalah jumlah uang yang menjadi utang pajak yang harus dibayar ke otoritas pajak/ pemerintah, Tax Liability mencerminkan jumlah pajak secara keseluruhan yang harus dilakukan pelunasan ke pemerintah oleh Wajib Pajak

      Tax Liability
      Tax Litigation berarti setiap klaim, tindakan hukum, persidangan, gugatan, litigasi, penuntutan, penyelidikan, arbitrase atau proses penyelesaian sengketa lainnya, atau proses administratif atau pidana, atau tindakan otoritas pajak (atau penilaian, keputusan, perintah, perintah atau keputusan yang berkaitan dengan salah satu dari hal tersebut di atas) yang berkaitan dengan pajak.

      Tax Multiplier
      Tax Multiplier menunjukkan ukuran sebuah perubahan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang dapat terjadi ketika pemerintah melakukan penyesuaian melalui kebijakan pajak. Kompleksitas Tax Multiplier ditentukan oleh lingkup perubahan yang dilakukan, apakah hanya berkaitan dengan konsumsi atau seluruh komponen PDB.

      Tax Morale
      Tax Morale adalah ukuran yang menunjukkan persepsi dan sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban membayar pajak dan kecenderungan untuk menghindari pajak. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi Tax Morale antara lain usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah.

      Tax Neutrality
      Tax Neutrality merujuk pada sebuah konsep/ sistem yang membuat pajak tidak menjadi unsur yang mempengaruhi keputusan individu atau korporasi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan bisnis, investasi, atau hal lainnya. Ide dasar dari konsep Tax Neutrality adalah sikap pemerintah untuk mendorong berjalannya kegiatan ekonomi oleh pelaku bisnis tanpa dibebani oleh sistem perpajakan yang dianggap dapat memberatkan.

      Tax Nexus
      Istilah “nexus” dalam Tax Nexus digunakan dalam undang-undang perpajakan untuk menggambarkan situasi di mana bisnis dapat terdampak oleh pajak di negara atau yurisdiksi tertentu. Nexsus pada dasarnya adalah hubungan antara otoritas perpajakan dan entitas yang harus memungut atau membayar pajak.

      Tax Ombudsman
      Tax Ombudsman merujuk pada lembaga khusus yang dibentuk otoritas pajak dengan maksud untuk menerima keluhan, kritik, dan saran, serta pengaduan dari Wajib Pajak terkait kualitas pelayanan dan pelaksanaan administrasi hak dan kewajiban perpajakan. Tax Ombudsman mengeluarkan rekomendasi yang bersifat tidak mengikat untuk dilaksanakan otoritas perpajakan.

      Tax Penalty
      Tax Penalty atau denda pajak yang diberlakukan pada Wajib Pajak individu atau korporasi karena tidak membayar cukup atau tidak membayar secara keseluruhan dari perkiraan total pajak terutang atau pajak yang telah dilakukan pemotongan. Jika Wajib Pajak mengalami hal tersebut sehingga menimbulkan kurang bayar atau tidak membayar sama sekali dari total taksiran pajak, mereka mungkin diharuskan membayar denda.

      Tax Potential
      Tax Potential atau potensi pajak adalah jumlah maksimum penerimaan pajak yang mungkin dapat diupayakan dan ditingkatkan pemerintah dalam satu rentang waktu sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang dapat diidentifikasi.

      Tax Planning
      Tax Planning adalah proses menganalisis rencana keuangan atau situasi dari sudut pandang pajak dengan maksud untuk memastikan dapat dicapainya efisiensi beban pajak yang harus dibayar tanpa melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.

      Tax Policy
      Tax Policy merupakan suatu pilihan (kebijakan) yang diambil pemerintah berkaitan dengan jenis pajak yang dikenakan, besaran tarif dan jumlah yang ditagihkan, dan subjek pajak yang dibebani kewajiban pajak dimaksud.

      Tax Practice
      Tax Practice merupakan istilah untuk menyebutkan kegiatan yang berkenaan dengan administrasi perpajakan, lazimnya istilah ini merujuk pada kegiatan penyediaan jasa praktik pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan oleh profesional di bidang perpajakan, khususnya konsultan pajak

      Tax Preparer
      Tax Preparer adalah profesional yang berkualifikasi untuk menghitung, menyampaikan/ melaporkan, dan menandatangani Surat Pemberitahuan (SPT) atas nama Wajib Pajak individu/ orang pribadi atau korporasi/ bisnis.

      Tax Provision
      Tax Provision adalah proses menyusun estimasi jumlah yang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada tahun pajak yang bersangkutan. Proses tersebut mencakup penghitungan nilai pajak yang harus dibayar dan yang ditangguhkan (aset dan kewajiban pajak tangguhan).

      Tax Principles
      Tax Principles merupakan panduan yang menjadi petunjuk otoritas pajak dalam merumuskan kebijakan perpajakan. Tax Principles tersebut dirumuskan oleh pakar di bidang perpajakan yang biasanya masih dianggap relevan sampai dengan kurun waktu tertentu.

      Tax Progressivity
      Tax Progressivity adalah sebuah mekanisme penerapan tarif pajak yang meningkat seiring dengan kenaikan penghasilan Wajib Pajak. Lawan dari mekanisme ini adalah Tax Regressivity dimana pajak dikenakan dengan tarif yang sama meskipun penghasilan Wajib Pajak bertambah.

      Tax Proposal
      Tax Proposal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tax Reform, dimana otoritas pajak, setelah menimbang berbagai rekomendasi dan evaluasi, mengajukan suatu proposal kebijakan perpajakan yang dianggap mampu memberikan solusi atas sejumlah permasalahan yang dialami pada periode sebelumnya.

      Tax Ratio
      Tax Ratio atau tax-to-GDP ratio adalah sebuah ukuran yang menunjukkan dalam perbandingan antara jumlah total penerimaan pajak suatu negara yang dapat dikumpulkan dalam satu tahun pajak terhadap ukuran total kegiatan perekonomiannya yang dinyatakan dalam Produk Domestik Bruto atau PDB

      Tax Rebellion
      Tax Rebellion merupakan tindakan untuk secara terbuka menentang kebijakan perpajakan dengan menunjukkan perlawanan dengan tidak memenuhi kewajiban untuk mematuhi ketentuan perpajakan baik formal maupun material. Di Amerika Serikat, Tax Rebellion secara simbolik ditandai dengan peristiwa Boston Tea Party, yakni sebuah peristiwa yang terjadi tanggal 16 Desember 1773, di mana kolonialis Amerika yang melakukan protes karena mereka harus membeli teh dari Britania Raya dan harus membayar pajak. Mereka lalu membuang teh-teh itu ke Pelabuhan Boston di Boston Harbor, Boston, Massachusetts, USA.

      Tax Reform
      Tax Reform adalah proses untuk mengubah kebijakan berkenaan dengan mekanisme pengenaan dan pemungutan pajak oleh pemerintah dan lazimnya dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan atau untuk mendorong aktifitas sosial dan ekonomi menjadi lebih baik.

      Tax Regimes
      Tax Regimes merujuk pada sebuah corak, ciri khas, atau karakteristik kebijakan perpajakan suatu negara/ yursdiksi ketika di bawah rezim pemerintah/ penguasa dalam rentang waktu tertentu. Setiap masa pemerintahan dapat menjalankan kebijakan perpajakan yang berbeda-beda, tergentung keputusan yang ditetapkan pemerintah yang berkuasa saat itu.

      Tax Research
      Tax Research, dalam dunia profesional para konsultan pajak, digunakan untuk menunjukkan aktivitas menemukan dasar hukum dalam membangun sikap untuk menanggapi suatu kebijakan perpajakan. Dalam dunia ilmiah, Tax Research merupakan aktifitas untuk melakukan penelitan isu tertentu dengan metode yang baku dengan maksud untuk membuktikan hipotesis yang dibangun dengan dugaan atau asumsi.

      Tax Resistence
      Tax Resistence merujuk pada sikap yang mencirikan keengganan dalam mematuhi kewajiban perpajakan, sikap tersebut tercermin dalam bentuk perlawanan baik pasif maupun aktif. Tax Rebellion adalah salah satu bentuk Tax Resistence berupa perlawanan aktif.

      Penulis:

      Erikson Wijaya
      Telah berkarir sebagai pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu sejak tahun 2006, dan saat ini tengah berstatus sebagai Pegawai Tugas Belajar di University of Minnesota, USA untuk program Master of Business Taxation (MBT)

      Noris Andika Pane
      Telah berkarir sebagai pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu selama 15 tahun, dan saat ini tengah berstatus sebagai Account Representative (AR) di KPP Pratama Kisaran yang merupakan KPP di lingkungan Kanwil DJP Sumatera Utara II

      Istilah Pajak Dalam Bahas Inggris

      Seringkali kita mencari padanan istilah pajak dalam bahasa Inggris. Ya, karena kita belajarnya di Indonesia sehingga saat mau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kita mencari istilah baku.

      Menteri Keuangan telah menetapkan istilah-istilah baku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Istilah-istilah dimaksud ada dalam lampiran Keputusan Menteri Keuangan nomor nomor 914/KMK.01/2016 tentang Standar Terminologi/Istilah dalam Bahasa Inggris di Lingkungan Kementerian Keuangan.

      Dalam beleid ini terdapat 1295 istilah yang biasa digunakan di lingkungan Kementerian Keuangan. Termasuk istilah-istilah baku perpajakan.

      Berikut lampiran dimaksud :

      Aturan Bea Meterai 2021

      Pemerintah dan DPR sudah sepakat mengganti Undang-Undang Bea Meterai nomor 13 tahun 1985 menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai. Undang-Undang Bea Meterai baru ini berlaku mulai 1 Januari 2021. Hanya ada satu tarif Bea Meterai yaitu Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).

      Undang-Undang No 10 tahun 2020 merupakan Undang-Undang ketiga tentang Bea Meterai. Undang-Undang pertama dibuat pada zaman kolonial Belanda yaitu Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921). Kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Terakhir Undang-Undang No 10 tahun 2020.

      Tujuan Undang-Undang Bea Meterai yang baru yaitu:

      1. Memberikan kesetaraan antara dokumen kertas dan elektronik;
      2. Keberpihakan kepada masyarakat luas dan pelaku UMKM dengan tarif yang relatif rendah dan terjangkau, serta kenaikan batas nominal nilai uang dalam dokumen dari lebih dari Rp1 juta menjadi lebih dari Rp5 juta;
      3. Meningkatkan kesederhanaan dan efektivitas melalui tarif tunggal dan penerapan meterai elektronik.

      Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Selama ini, dokumen yang dimaksud adalah dokumen kertas. Sejak Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 maka ada perluasan definisi dokumen, yaitu kertas dan elektronik.

      Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.

      Mulai 2021, dokumen transaksi e-commerce atau toko online akan dikenai Bea Meterai. Pengenaan terhadap transaksi online atau digital merupakan bentuk kesetaraan, atas dokumen kertas dan elektronik.

      Objek Bea Meterai

      Secara umum, objek Bea Meterai ada dua: Pertama, dokumen bersifat perdata yang dipergunakan untuk menerangkan mengenai suatu kejadian. Kedua, dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

      Dokumen yang bersifat perdata yang menjadi objek Bea Meterai terdiri dari:

      1. surat Perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
      2. akta notaris beserta grosse, Salinan, dan kutipanya;
      3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
      4. surat berharga dengan nama dan bentuk apapun;
      5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan bentuk apa pun;
      6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
      7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang: menyebutkan penerimaan uang; dan berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.

      Tarif dan Cara Pelunasan

      Bea Meterai sejak 2021 berlaku 1 tarif yaitu Rp10.000,00 untuk setiap dokumen. Artinya, jika sebuah dokumen hanya menyatakan jumlah uang nominal sebesar Rp5.000.000,00 maka atas dokumen tersebut tidak bayar Bea Meterai. Tetapi jika menyatakan uang sebesar Rp5.000.001,00 maka terutang Bea Meterai.

      Cara bayar Bea Meterai ada tiga, yaitu:

      1. Meterai Tempel,
      2. Meterai Elektronik, dan
      3. Meterai Dalam Bentuk Lain.

      Meterai Tempel adalah Meterai yang ditempelkan atau direkatkan di dokumen kertas. Kalau dokumen elektronik tidak bisa pakai Meterai Tempel.

      Meterai Elektronik adalah meterai yang memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.

      Meterai Dalam Bentuk Lain adalah meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai Digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.

      Saat Terutang

      Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Seperti jenis pajak lainnya, ada saat terutang kapan pajak ini wajib dilunasi.

      Saat terutang Bea Meterai pada dasarnya ada lima:

      1. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan,
      2. Dokumen selesai dibuat,
      3. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat,
      4. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dan
      5. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen yang dibuat di luar negeri.

      Dokumen yang terutang Bea Meterai saat dibubuhi Tanda Tangan, yaitu:

      1. surat perjanjian beserta rangkapnya
      2. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya
      3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya

      Dokumen yang terutang Bea Meterai saat selesai dibuat, yaitu:

      1. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun
      2. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

      Dokumen yang terutang Bea Meterai saat Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibua, yaitu:

      1. surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya
      2. Dokumen lelang
      3. Dokumen yang menyatakan jumlah uang lebih dari Rp5.000.000,-

      Bukan Objek Bea Meterai

      Tidak semua dokumen perdata terutang Bea Meterai. Seperti sebelumnya, ada beberapa jenis dokumen yang dikecualikan sebagai objek. Atau tidak terutang Bea Meterai.

      Sebenarnya pengecualian ini masih mirip-mirip dengan Undang-Undang sebelumnya, kecuali terkait dokumen kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, dan surat gadai. Di Undang-Undang sebelumnya, surat gadai yang dikecualikan adalah surat gadai yang diberikan oleh Perjan Pegadaian. Sekarang berlaku untuk semua surat gadai.

      Berikut dokumen yang dikecualikan sebagai objek Bea Meterai:

      1. surat penyimpanan barang
      2. konosemen
      3. surat angkutan penumpang dan barang
      4. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
      5. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
      6. surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5
      7. segala bentuk ijazah;
      8. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
      9. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      10. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      11. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
      12. surat gadai;
      13. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
      14. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
      15. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

      Fasilitas Pembebasan Bea Meterai

      Selain pengecualian objek Bea Meterai, Undang-Undang baru juga memberikan fasilitas Bea Meterai berupa pembebasan.

      Istilah pembebasan di pajak sering diartikan bahkan objek tersebut menurut ketentuan terutang pajak atau objek pajak, tetapi dibebaskan. Tidak dibayar. Semacam digratiskan.

      Berikut dokumen yang mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Meterai:

      1. Dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam
      2. Dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial tidak bersifat komersial
      3. Dokumen dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan; dan/atau
      4. Dokumen yang terkait pelaksanaan perjanjian internasional yang telah mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik.

      Undang-Undang No 10 Tahun 2020

      Salindia Sosialisasi Bea Meterai 2021

      Pembayaran dan Pematerian Kemudian

      Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 4/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum, dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemateraian Kemudian

      Pembayaran Bea Meterai

      Pembayaran Bea Meterai pada dasarnya ada 2 cara, yaitu beli meterai dan bayar dengan SSP (surat setoran pajak). Meterai tempel secara resmi didistribusikan oleh Kantor Pos. Bukan oleh kantor pajak. Kantor pemerintah tidak jual meterai.

      Meterai terdiri dari: meterai tempel, meterai teraan, meterai komputerisasi, dan meterai percetakan. Meterai teraan dan Meterai komputerisasi hanya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang yang telah memperoleh izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Meterai teraan.

      Pelunasan Bea Meterai dengan meterai teraan dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan meterai digital pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.

      Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai komputerisasi dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan sistem komputerisasi pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.

      Dalam hal satu dokumen lebih dari satu lembar, maka teraan dilakukan pada lembar pertama.

      Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai percetakan dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan teknologi percetakan pada Dokumen yang terutang Bea Meterai. Pembubuhan Meterai yang dibuat dengan menggunakan teknologi percetakan hanya dilakukan dalam rangka pemungutan Bea Meterai atas Dokumen berupa efek dan bilyet giro.

      Pembayaran Bea Meterai dengan Menggunakan SSP anya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang dalam hal:

      • pembayaran Bea Meterai atas Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dengan jumlah lebih dari 50 (lima puluh) Dokumen; atau
      • pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai tempel yang tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Meterai tempel tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

      Pemateraian Kemudian

      Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:

      • Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya; dan/atau
      • Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

      Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebesar:

      1. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya dan terutang Bea Meterai sejak tanggal 1 Januari 2021;
      2. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya dan terutang Bea Meterai sebelum tanggal 1 Januari 2021; dan
      3. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Pemeteraian Kemudian.

      Tutorial Pengisian SPT Tahunan

      Lapor pajak sekarang harus menggunakan saluran elektronik.

      Tutorial pengisian SPT Tahunan ini dibuat oleh Ditjen Pajak RI dan telah dipublikasikan di channel Youtube.

      SPT Tahunan Wajib Pajak Badan

      Pada tut0rial di bawah ini merupakan tutorial untuk Wajib Pajak yang menggunakan PP 23 yakni PPh dengan tarif 0,5%.

      Siapa yang dapat memanfaatkan PP 23? Silakan baca artikel Pertanyaan dan Jawaban Tentang PPh Setengah Persen

      Tahun 2018, saya pun sudah menulis tentang eForm 1771 yang berjudul Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Badan form 1771 dengan e-Form

      Berikut tutorial SPT 1771 untuk UMKM yang menggunakan PP 23

      Tutorial Pengisian SPT Tahunan Untuk Wajib Pajak Badan melalui eForm

      Perbedaan terpenting cara pengisian SPT 1771 untuk yang menggunakan PP 23 dengan pembukuan pada umumnya adalah di Lampiran 1771 IV dan Lampiran 1771 I.

      Untuk PP 23, di Lampiran 1771 IV harus isikan penghasilan final lainnya dengan omset setahun. Selanjutnya, nilai penghasilan kena pajak di Lampiran 1771 I harus nihil karena dikoreksi fiskal.

      Sedangkan SPT 1771 dengan pembukuan dan menggunakan tarif Pasal 17 juncto Pasal 31E Undang-Undang PPh tidak mengisi omset di Lampiran 1771 IV. Selanjutnya, di Lampiran 1771 I pasti ada penghasilan kena pajak baik positif maupun negatif. Negatif artinya rugi fiskal.

      Penghasilan Final dan Penghasilan Bukan Objek

      Undang-Undang PPh membagi 3 jenis penghasilan yaitu:

      • Penghasilan umum yang dikenai tarif Pasal 17
      • Penghasilan final yang pengenaannya berdasarkan peraturan pemerintah
      • Penghasilan bukan objek yang jenis penghasilannya ditentukan di Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.

      Untuk jenis-jenis penghasilan yang dikenakan final dapat dilihat di artikel Penghasilan-Penghasilan Yang Dikenai PPh Final

      Sedangkan jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan dapat dilihat di artikel Penghasilan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan

      Biaya-biaya yang wajib dikoreksi fiskal positif dapat di baca di artikel 14 Biaya Yang Harus Dikoreksi Positif

      SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi

      SPT Tahunan Wajib Pajak orang pribadi ada 3 jenis, yaitu :

      • SPT 1770 untuk pengusaha atau yang tidak memiliki bukti potong dari pekerjaan,
      • SPT 1770S untuk Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki bukti potong dari pekerjaan. Atau mereka sebagai pegawai, baik satu perusahaan atau lebih dari satu perusahaan.
      • SPT 1770SS untuk Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan di bawah Rp60.000.000,00

      Di bawah ini merupakan video dari Ditjen Pajak RI yang sudah dipublikasi di channel Youtube

      Tutorial SPT Tahunan untuk UMKM

      Berikut ini merupakan tutorial pengisian SPT 1770 untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan fasilitas PP 23.

      Sama dengan tutorial SPT 1771 diatas, perbedaan SPT 1770 untuk PP 23 dengan SPT 1770 untuk wajib pajak yang menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terdapat di Lampiran 1770 III dan Lampiran 1770 I.

      Untuk PP 23, diharusnya mengisi omset perbulan yang merupakan cicilan PPh. PPh tersebut seharusnya sudah dibayar sebelum mengisi SPT 1770. Perhatikan tutorial saat menjelaskan Lampiran 1770 III. Selanjutnya, nilai penghasilan kena pajak di Lampiran 1770 I harus nihil karena dikoreksi fiskal.

      Perbedaan pengisian omset PP 23 antara SPT 1771 dengan SPT 1770 ada di rincian omset per bulan. Wajib Pajak orang pribadi diasumsikan menggunakan pencatatan sehingga di Lampiran 1770 III harus merinci omset per bulan.

      Tutorial pengisian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha menggunakan eForm

      Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan harus memperhatikan 3 artikel ini:

      Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menggunakan pembukuan dan tidak dapat memanfaatkan fasilitas PP 23 berarti wajib menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dengan menghitung penghasilan neto menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.

      Cara penggunaan norma penghitungan neto dan daftarnya dapat dilihat di artikel Norma Penghitungan Penghasilan Neto

      Tutorial pengisian SPT 1770 untuk PP 23 versi pdf

      Tutorial SPT Tahunan Untuk Pegawai

      Berikut ini adalah tutorial mengisi SPT Tahunan 1770S menggunakan eForm.

      Hal terpenting sebelum mengisi SPT adalah mengumpulkan bukti potong, jika bukti potong ada beberapa. Jika kita hanya bekerja di satu perusahaan biasanya hanya satu, yaitu bukti potong 1721 A1 untuk swasta dan PNS 1721 A2.

      Untuk PNS, siapkan bukti potong lainnya yang sudah dikenakan final. Selain gaji dan tunjangan kinerja, penghasilan PNS yang berasal dari APBN atau APBD dikenakan final.

      Tutorial pengisian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan status pegawai

      Perlu sorfware akuntansi online? Silakan klik https://go.zahironline.com/auth/signup?partner=AGUSPAJAK

      Zahir Online adalah software akuntansi modern dengan teknologi cloud computing berbasis web untuk memudahkan Anda dalam mengelola bisnis dari mana saja dan kapan saja secara real time.

      Menghitung PPh Dokter

      Dokter bisa memiliki penghasilan dari berbagai sumber

      Cara menghitung pajak penghasilan itu berbeda-beda bergantung kepada jenis pajak yang diperoleh dokter. Sebenarnya bukan hanya untuk dokter, tapi berlaku untuk semua Wajib Pajak. Bahwa menghitung pajak penghasilan itu bergantung kepada jenis penghasilan yang diterima.

      Pada umumnya, profesi dokter memiliki tiga jenis penghasilan yaitu:

      1. Penghasilan dari Pegawai Negeri Sipil ,atau pegawai tetap lainnya;
      2. Penghasilan dari praktek dokter di rumah sakit;
      3. Penghasilan dari praktek dokter di klinik sendiri.

      Atau, bisa juga memiliki penghasilan dari pekerjaan sebagai pengajar (dosen), seminar, pemilik apotek, dan bisnis lainnya.

      Pajak penghasilan dari masing-masing sumber penghasilan diatas harus dihitung berdasarkan jenis penghasilanya.

      Berikut ini adalah salindia simulasi penghitungan PPh yang diterima dokter. Salindia ini dibuat oleh P2Humas DJP dan dapat diunduh di pajak.go.id dengan kode file PJ.091/PL/S/010/2020-00

      Pembahasan lain tentang dokter bisa dilihat di https://pajak.go.id/dokter

      Insentif Pajak Dalam Bentuk Barang dan Jasa Dalam Rangka Pandemi Covid-19

      Pemberian insentif pajak dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia

      Dalam rangka mendukung ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan alat pendukung lainnya untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pemerintah memberikan fasilitas perpajakan untuk mendukung penanganan dampak virus dimaksud.

      Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.

      Insentif ini diberikan dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 28/PMK.03/2020. Berikut rangkumannya.

      Pihak Tertentu yang mendapat insentif

      Pihak Tertentu yang mendapat insentif yaitu:

      • Badan/Instansi Pemerintah
      • Rumah Sakit; atau
      • Pihak Lain yaitu pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

      Bentuk insentif pajak berupa PPN tidak dipungut, dan PPN ditanggung pemerintah.

      Pasal 2 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan No 28/PMK.03/2020

      Impor Barang Kena Pajak oleh Pihak Tertentu, tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu, ditanggung pemerintah.

      Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu ditanggung pemerintah.

      Impor BKP tidak dipungut. Pemanfaatan JKP dari luar negeri, ditanggung pemerintah. Begitu juga Penyerahan BKP dan/atau JKP di Indonesia.

      Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat insentif PPN ditanggung pemerintah, termasuk juga penyerahan berupa pemberian cuma-cuma.

      BKP dan JKP Yang Mendapat Insentif

      Barang Kena Pajak (BKP) yang mendapat insentif adalah BKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yaitu:

      • obat-obatan;
      • vaksin;
      • peralatan laboratorium;
      • peralatan pendeteksi;
      • peralatan pelindung diri;
      • peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau
      • peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

      Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat insentif adalah JKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yaitu:

      • jasa konstruksi;
      • jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;
      • jasa persewaan; dan/atau
      • jasa pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

      Dalam hal Pihak Tertentu melakukan impor BKP yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, impor BKP tersebut tidak dikenai PPN sepanjang Pihak Tertentu dimaksud memiliki SKJLN sebelum melakukan impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      SKJLN adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

      Pembuatan Faktur Pajak Yang Mendapat Insentif Covid-19

      Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Faktur Pajak tersebut harus memuat keterangan โ€œPPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 28/PMK.03/2020โ€.

      Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 28/PMK.03/2020

      Pengusaha Kena Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 28/PMK.03/2020” dan harus membuat Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah

      Contoh Format Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah

      Kode Billing dan Laporan seperti diatas berlaku juga untuk Pihak Tertentu yang melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

      Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah dibuat untuk periode:

      • Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
      • Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020

      Dan disampaikan ke KPP tempat Pengusaha Kena Pajak paling lama:

      • tanggal 20 Juli 2020, untuk periode Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
      • tanggal 20 Oktober 2020, untuk periode Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020

      Insentif PPh

      Pihak Tertentu yang melakukan impor dan/atau pembelian barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan/atau PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.

      Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tanpa Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.

      Pihak Ketiga yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) kepada Pihak Tertentu diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.

      Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.

      Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu atas jasa sebagaimana yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.

      Pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 23.

      Contoh format permohonan SKB PPh Pasal 22 dan atau PPh Pasal 23

      Di bawah ini merupakan slide power point Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 dan file pdf Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020

      Berikut ringkasan fasilitas Barang Dan Jasa dalam rangka penanganan pandemi covid19

      Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona

      Sehubungan dengan pandemi Covid-19 yang berdampak kepada perekonomian global dan nasional, maka otoritas pajak Indonesia mengeluarkan kebijakan insentif pajak. Insentif pajak untuk Wajib Pajak terdampak wabah virus corona diterbitkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020.

      Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020 telah mengalami 2 kali perubahan dalam kurun waktu kurang dari setahun. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 benar-benar berdampak pada perekonomian nasional. Dan dampak ini di awal pandemi tidak terbayangkan.

      Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020 kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 86/PMK.03/2020. Dan terakhir diubah lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 110/PMK.03/2020.

      Lanjut ke halaman 2 dan 3 dengan klik angka 2 dan 3 dibawah.

      Halaman 2 dan 3 dibuat pada awal pendemi yaitu saat terbit Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020. Kemudian sedikit revisi saat terbit Peraturan Menteri Keuangan nomor 86/PMK.03/2020.

      Adapun yang merangkum ketiga peraturan menteri keuangan diatas adalah salindia di bawah ini.

      Slide Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Yang Terdampak Covid-19

      Slide (salindia) ini merupakan rangkuman aturan insentif (fasilitas) pajak yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak Covid-19.

      Pajak Internasional

      Ringkasan ketentuan domestik aspek internasional perpajakan di Indonesia dan pengantar pajak internasional.

      Perpajakan internasional adalah aspek internasional dalam undang-undang perpajakan suatu negara. Bagaimana ketentuan memajaki penghasilan luar negeri, dan penghasilan dari dalam negeri yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).

      Ketentuan pajak internasional dibagi dua, yaitu:

      • ketentuan domestik, dan
      • tax treaty, termasuk MLI (Multilateral Instrument).

      Ketentuan pajak internasional di ketentuan domestik diatur di Undang-Undang PPh. Berikut pasal-pasal di Undang-Undang PPh terkait pajak ternasional:

      • Pasal 2 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4), dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
      • Pasal 3 mengatur yang dinyatakan bukan subjek pajak.
      • Pasal 5 mengatur objek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
      • Pasal 15 mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto pelayaran, atau penerbangan internasional, dan kantor perwakilan dagang asing (KPDA).
      • Pasal 18 mengatur perbandingan utang terhadap modal (ayat 1), Controlled Foreign Company (ayat 2), Hubungan Istimewa (ayat 3, 3D, dan 4), Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer (ayat 3A), Special Purpose Company (ayat 3B, dan 3C).
      • Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri
      • Pasal 26 tentang objek pajak dari subjek pajak luar negeri
      • Pasal 32A tentang kewenangan melakukan tax treaty.

      Subjek Pajak

      Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:

      1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan 
      2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 

      Jadi, subjek pajak luar negeri dikenakan pajak di Indonesia ada yang melalui BUT, dan tidak. Pemajakan atas penghasilan dari Indonesia yang tidak melalui BUT, diatur di Pasal 26 Undang-undang PPh.

      Subjek Pajak Luar Negeri menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh

      Kewajiban Subjektif SPLN

      Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) orang pribadi memiliki kewajiban pajak subjektif dimulai saat orang pribadi:

      • menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT, atau
      • pada saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

      Dan kewajiban subjektif tersebut berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

      Ketentuan di atas berlaku juga untuk SPLN berbentuk badan.

      Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri jika:

      • bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
      • dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
      1. green card;
      2. identitiy card;
      3. student card;
      4. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
      5. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
      6. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

      Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.

      Ketentuan subjek pajak luar negeri lebih lanjut bisa dibuka di tulisan berjudul Subjek Pajak Luar Negeri Menurut PPh, BUT : Subjek Pajak Luar Negeri Tapi Diperlakukan Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri, dan Bagaimana Penentuan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri?

      NPWP BUT Penting Untuk Administrasi Pajak

      Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah kendaraan yang dipergunakan oleh orang pribadi, dan badan yang berstatus WPLN.

      NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

      WPLN dikenakan pajak hanya sebatas penghasilan yang berasal dari Indonesia. Prinsip ini disebut asas sumber. Yaitu penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Penghasilan tersebut bisa berasal dari usaha, kegiatan, atau berasal dari aset yang berada di Indonesia.

      Tidak berlaku world wide income seperti WPDN yang mewajibkan melaporkan dan memperhitungkan penghasilan baik yang diterima di dalan negeri maupun luar negeri.

      WPLN juga tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan karena kewajiban perpajakannya diserahkan kepada pemberi penghasilan di Indonesia. Kewajiban pemotongan ini diatur di Pasal 26 Undang-Undang PPh.

      Tetapi jika WPLN yang memiliki BUT maka WPLN menjadi harus mengurus dirinya sendiri. Harus punya NPWP dan harus lapor SPT. Bunyi dari bagian penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh bahwa BUT dipersamakan dengan kewajiban WP Badan Dalam Negeri.

      Dipersamakan artinya tidak sama. Satu sisi beda tetapi sisi lain sama. Sisi yang beda adalah status subjek tetap subjek pajak luar negeri. Sisi yang sama adalah kewajibannya.

      Karena dipersamakan dengan WPDN Badan maka mitra bisnis di Indonesia menganggap BUT sebagai WPDN sama dengan si mitra. Contoh: jika BUT memberikan jasa konsultansi ke PT Abadijaya maka PT Abadi jaya akan memotong PPh Pasal 23 saat membayar jasa konsultansi. Bukan memotong PPh Pasal 26 karena dipersamakan dengan WPDN.

      Konsekuensi dengan dipersamakan dengan WPDN adalah kantor pajak dapat menetapkan ketetapan pajak dan melakukan proses penagihan pajak kepada BUT. Sedangkan jika bukan BUT tentu saja kantor pajak tidak dapat menagih pajak karena Wajib Pajak tidak ada dan tidak diadministrasikan di Indonesia.

      Objek Pajak BUT

      Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh, yang menjadi objek pajak dari suatu BUT, yaitu :

      1. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
      2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
      3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).

      Nomor 1 diatas adalah murni kegiatan BUT yang memang seharusnya dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Ini sama dengan perusahaan pada umumnya.

      Tiga jenis objek BUT yang harus dilaporkan di Indonesia

      Sedangkan nomor 2 (force of attraction) dan nomor 3 (effectively connected) mungkin saja tidak dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Biasanya dicatat di kantor pusat. Tetapi menurut perpajakan, wajib hukumnya dihitung sebagai penghasilan BUT.

      Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT, dianggap sebagai penghasilan BUT.

      Alasannya karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan BUT. Dan dapat dilakukan BUT.

      Contoh: BUT bank. Apabila sebuah bank di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, kemudian memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui BUT di Indonesia.

      Sebenarnya atas pemberian pinjaman kantor pusat kepada nasabah di Indonsia bisa dilakukan oleh BUT Indonesia, atau memiliki ruang lingkup usaha yang sama yaitu perbankan. Karena itu, atas penghasilan dari pemberian pinjaman tersebut dianggap omset atau penghasilan BUT.

      Contoh penghasilan kantor pusat yang wajib dimasukkan sebagai penghasilan BUT di Indonesia karena kegiatan yang sama misalnya perusahaan konsultasi.

      Pemberian jasa konsultasi yang diberikan oleh kantor pusat langsung kepada klien di Indonesia wajib dicatat sebagai penghasilan BUT di Indonesia. Alasannya karena kegiatan usaha kantor pusat dan BUT sejenis yakni konsultasi.

      Contoh BUT bank dan BUT jasa konsultasi merupakan contoh-contoh penggunaan force of attraction berdasarkan Pasal 5 UU PPh dan Pasal 7 tax treaty.

      Sedangkan contoh penggunaan effectively connected seperti ini: Misal, X Ltd menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Ltd.

      Atas penggunaan merek dagang tersebut, X Ltd menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.

      Sehubungan perjanjian tersebut X Ltd juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu BUT X Ltd di Indonesia. BUT X Ltd dibuat dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek dagang tersebut.

      Skema diatas mengharuskan PT Y membayar royalti ke kantor pusat X Ltd, dan membayar jasa manajemen kepada BUT X Ltd.

      Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan BUT X Ltd. Oleh karena itu, penghasilan kantor pusat X Ltd dari PT Y berupa royalti dianggap atau diperlakukan sebagai penghasilan BUT X Ltd di Indonesia.

      Perbedaan BUT dan Anak Perusahaan

      Berdasarkan pengalaman bertanya ke Wajib Pajak, banyak yang masih belum tahu perbedaan antara BUT dan anak perusahaan. Mereka bilang, kita cabang dari perusahaan XYZ di luar negeri.

      Padahal terdapat banyak perbedaan perlakuan perpajakan antara BUT dan anak perusahaan. Terutama dari sisi perlakuan biaya BUT.

      Silakan cek tabel berikut:

      Tabel perpedaan antara BUT dan anak perusahaan

      BUT dan kantor pusatnya merupakan satu entitas. Sedangkan anak perusahaan dan induk perusahaan merupakan entitas terpisah.

      Karena itu, ada beberapa biaya yang tidak boleh dibiayakan di BUT tetapi boleh dibiayakan di anak perusahaan, yaitu pembayaran BUT ke kantor pusat berupa:

      1. royalti dan pembayaran lainnya terkait penggunaan harta kantor pusat, paten, dan hak lainnya;
      2. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, dan
      3. pembayaran bunga, kecuali BUT perbankan.

      Aturan larangan terkait ketiga pembayaran tersebut diatur di Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh.

      Branch Profit Tax

      Branch profit tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Setelah dikenai PPh badan, BUT dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%.

      Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

      Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh

      Pada hakikatnya, BUT itu subjek pajak luar negeri. Karena masih dianggap subjek pajak luar negeri, maka atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia, setelah dikenakan PPh Badan sebagaimana dimaksud di Pasal 17 UU PPh, juga wajib bayar PPh Pasal 26 sebesar 20%.

      Asumsi yang dipakai adalah penghasilan neto setelah pajak penghasilan akan dikirim ke luar negeri (kantor pusat).

      Jika penghasilan neto setelah pajak ternyata tidak dikirim ke luar negeri, maka tidak ada kewajiban PPh Pasal 26. Hal ini ditegaskan di Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan diatur lebih lanjut di Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2011.

      Bentuk penanaman kembali penghasilan neto BUT agar tidak dikenai PPh Pasal 26 branch profit tax

      Persyaratan utama penanaman kembali penghasilan neto BUT agar tidak dikenai PPh Pasal 26, yaitu:

      • penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
      • BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

      Selain persyaratan utama diatas, terdapat persyaratan tambahan.

      Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, persyaratan tambahan:

      • perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
      • BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

      Persyaratan tambahan penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham:

      • perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
      • BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.

      Dan, persyatan tambahan untuk:

      • pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia, atau
      • investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia

      BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

      PPh Pasal 26

      Pasal 26 Undang-Undang PPh mengatur tentang pemajakan atas penghasilan SPLN yang diterima selain dari BUT di Indonesia. 

      Tarif dasar Pasal 26 ini adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu 

      1. jumlah bruto, 
      2. perkiraan penghasilan neto, dan 
      3. penghasilan setelah dikurangi pajak (earning after tax). 
      Tiga jenis dasar pengenaan pajak (DPP) Pasal 26

      Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT yang penghasilannya bersumber dari Indonesia, dalam hal ketentuan tax treaty mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal 26, maka yang berlaku adalah ketentuan tax treaty sebagai lex specialis dari Undang-Undang PPh.

      Namun demikian patut diperhatikan bahwa tax treaty tidak mengatur aspek pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang dikenakan atau yang tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara tersebut. 

      Contoh: Jika undang-undang domestik mengatur bahwa tarif yang berlaku sebesar 5% maka tetap dikenakan 5% walaupun tax treaty mengatur boleh 10%.

      Tetapi jika sebalik, undang-undang domestik mengatur bahwa tarif yang berlaku 20% tapi tax treaty mengatur hanya 10%, maka tarif yang digunakan adalah tarif tax treaty yaitu 10%.

      Inilah fungsi tax treaty, yaitu pembatasan hak pemajakan negara sumber dan negara domisili.

      Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang PPh. Dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT. 

      Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang PPh menjelaskan bahwa:

      Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

      1. dividen;
      2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
      3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
      4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
      5. hadiah dan penghargaan;
      6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
      7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
      8. keuntungan karena pembebasan utang.

      Pengalihan Harta Oleh Wajib Pajak Luar Negeri

      Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang PPh, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh WPLN selain BUT, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

      Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 mengatur bahwa penjualan harta yang dimaksud adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

      Pemotongan PPh Pasal 26 tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.

      Pengecualian pemotongan PPh Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

      Selain itu, untuk WPLN yang berkedudukan di negara- negara yang telah mempunyai tax treaty dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan tax treaty yang berlaku, hak pemajakannya berada di Indonesia.

      WPLN yang dipotong PPh Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.

      Pengalihan Saham Oleh Wajib Pajak Luar Negeri

      WPLN dikenakan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham Perseroan Terbatas di Indonesia. Penjualan saham ini tidak dilakukan di Bursa Efek Indonesia.

      Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 perkiraan penghasilan neto atas penjualan saham di luar bursa ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

      Pemotong PPh Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh WPLN adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%.

      Dalam hal pembeli adalah WPLN, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut.

      PPh Pasal 26 atas penjualan saham selain di bursa efek

      Pencatatan akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.

      Perusahaan Asuransi Luar Negeri

      Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang PPh, Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh perusahaan asuransi luar negeri.

      Dari perkiraan penghasilan neto tersebut dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% (dua puluh persen).

      Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994.

      Berikut adalah norma penghasilan neto untuk premi asuransi:

      • atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
      • atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
      • atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
      PPh Pasal 26 atas premi asuransi

      Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan:

      • lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
      • lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar;
      • lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak.

      Perlakuan perpajakan menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994 tersebut akan berbeda apabila terdapat tax treaty antara Indonesia dengan Negara Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan melalui suatu BUT.

      Pelayaran Dan Penerbangan Internasional

      Dalam ketentuan domestik perpajakan di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk perusahaan pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri diatur dengan norma penghitungan khusus yang terdapat pada pasal 15 Undang-Undang PPh, dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.

      PPh Pelayaran Dan Penerbangan Internasional

      Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan operasional jalur lintas domestik dan jalur lintas internasional yang berasal dari Indonesia.

      Hal ini di karenakan sumber penghasilannya berasal dari Indonesia. Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan operasional jalur lalu lintas internasional yang berasal dari luar negeri ke wilayah Indonesia maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.

      Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 bahwa peredaran bruto semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

      Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.

      Berdasarkan tax treaty, pengenaan pajak terhadap Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat isi article General Definitions dan article Shipping and Air Transport karena tidak setiap tax treaty mengaplikasikan hak pemajakan yang sama antara satu dengan yang lainnya.

      Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA)

      Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari WPLN yang memiliki KPDA di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.

      Tarif efektif Pajak Penghasilan bagi KPDA tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto.

      Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

      PPh atas penghasilan Kantor Perwakilan Dagang Asing

      Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/PJ.03/2008 memberikan penegasan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (representative office/liaison office), di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B / tax treaty) dengan Indonesia.

      Tetapi jika sudah memiliki tax treaty, SE-2/PJ.03/2008 memberikan rumus seperti ini:

      Contoh mencari rumus tarif efektif KPDA dengan negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia

      SE-2/PJ.03/2008 diterbitkan pada 31 Juli 2008. Sedangkan pada tanggal 23 September 2008 berlaku Undang-Undang PPh yang baru.

      Tarif Pasal 17 untuk WP badan saat terbitnya SE-2/PJ.03/2008 adalah 5%, 15%, dan 30%. Sedangkan sejak 2010, tarif Pasal 17 untuk WP badan menggunakan tarif tunggal yaitu 25%.

      Dengan demikian, untuk contoh kasus KPDA dengan Australia, tarif efektif menjadi 0,355%

      Penghasilan Ekspatriat di Indonesia

      Sering kali tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia oleh perusahaan di Indonesia. Dan gaji yang dibayarkan dibagi dua, yakni gaji yang dibayarkan ke ekspatriat di Indonesia, dan penghasilan yang dibayarkan ke keluarga ekspatriat di luar negeri.

      Dalam kasus seperti itu, maka penghasilan ekspatriat yang dilaporkan ke kantor pajak seharusnya termasuk juga penghasilan yang diterima keluarga di luar negeri.

      Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 mengatur bahwa atas gaji ekspatriat di Indonesia dan penghasilan keluarga di luar negeri menjadi dasar penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

      PPh Pasal 21 untuk pegawai ekspatriat di Indonesia

      Contoh:

      Terdapat hubungan istimewa perusahaan PT X di Indonesia dan X Ltd Jepang. Mr Hanakawa bekerja di PT X sebagai direktur. Dan PT X ternyata memiliki hubungan istimewa dengan X Ltd di Jepang.

      Mr. Hanakawa di Indonesia mendapat gaji US$2000, tetapi X Ltd di Jepang memberikan pembayaran ke istri Hanakawa sebesar US$3000. Maka total penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 di PT X sebesar $2000 + $3000 = $5000

      Controlled Foreign Company (CFC)

      CFC adalah ketentuan pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh WPDN dari usaha di luar negeri. Jadi, CFC adalah pemajakan atas hasil investasi di luar negeri yang masuk ke Indonesia.

      Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

      CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham. Karena itu, ketentuan CFC biasa disebut juga Specific Anti Avoidance Rules (SAAR).

      Dasar hukum pemajakan CFC adalah Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan direvisi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019.

      Pemajakan atas Controled Foreign Company di Indonesia

      Pokok-pokok perubahan ketentuan CFC dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 menjadi Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 yaitu:

      • Mengubah DPP Deemed Dividend dari laba setelah pajak , menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali;
      • Mengatur cakupan penghasilan tertentu: dividen, bunga, sewa, royalti, dan keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

      Pengendali langsung memperoleh Deemed Dividend yang berasal dari penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali yang meliputi penghasilan sebagai berikut:

      • dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;
      • bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai izin usaha bank;
      • sewa berupa: (a) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (b) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;
      • royalti (semua royalti); dan
      • keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta (semua keuntungan dari penjualan harta).

      Contoh-contoh penggunaan ketentuan CFC menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 bisa dilihat di tulisan Ketentuan Baru Controlled Foreign Company

      SPECIAL PURPOSE COMPANY (SPC)

      Special Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara.

      Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran (conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara Mitra tax treaty (treaty shopping).

      Tujuan pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan bentukan untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam tax treaty antara Indonesia dengan Negara Mitra.

      Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang PPh menjelaskan:

      Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.

      Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang PPh menjelaskan:

      Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

      Peraturan Menteri Keuangan nomor 140/PMK/2010 menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

      Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang

      Dalam hal terdapat kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 yang mengakibatkan PPh Pasal 26 yang dipotong lebih besar daripada PPh Pasal 26 yang seharusnya dipotong atau dipungut, Wajib Pajak luar negeri dapat mengajukan pengembalian kelebihan (refund).

      Kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 dapat berupa:

      • pemotongan PPh Pasal 26 yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam tax treaty;
      • pemungutan PPN terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
      • pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.

      Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan nomor 187/PMK.03/2015, pihak yang dapat meminta pengembalian pajak adalah:

      1. Wajib Pajak yang dipotong dalam hal terjadi kesalahan pemotongan pajak terkait dengan Pajak Penghasilan, atau pajak yang seharusnya tidak dipotong.
      2. pihak yang dipungut (syarat: pihak yang dipungut bukan PKP) dalam hal terjadi kesalahan pemungututan PPN, atau PPnBM.
      3. SPLN (melalui BUT di Indonesia) dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap SPLN yang memiliki BUT di Indonesia.
      4. Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap SPLN yang tidak memiliki BUT di Indonesia.

      Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kantor pajak terkait melakukan penelitian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

      Advance Pricing Agreement (APA)

      Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.

      Tujuan Advance Pricing Agreement (APA) adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing.

      Ruang lingkup APA meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

      Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 mengatur bahwa APA dapat bersifat

      • unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak, atau
      • bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

      Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:

      • inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan APA Unilateral atau APA Bilateral; atau
      • pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan APA Bilateral yang diajukan wajib pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra tax treaty.

      Permohonan ini APA dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode APA dan Roll-back dalam hal Wajib Pajak meminta Roll-back dalam Permohonan APA.

      Roll-back adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam APA untuk tahun-tahun pajak sebelum Periode APA.

      Roll-back berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:

      • fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam APA
      • belum daluwarsa penetapan;
      • belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan; dan
      • tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.

      Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan Pejabat Berwenang Mitra tax treaty untuk menentukan harga transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu.

      Direktur Jenderal Pajak juga berwenang untuk mengawasi kesepakatan serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

      Hubungan istimewa menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:

      • kepemilikan atau penyertaan modal;
      • penguasaan; atau
      • hubungan keluarga sedarah atau semenda.

      Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya merupakan keadaan satu atau lebih pihak yang mengendalikan pihak yang lain, atau tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

      Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada apabila:

      • satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
      • dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
      • terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
      • para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
      • satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.

      Lebih lanjut tentang APA, bisa dilihat di tulisan Advance Pricing Agreement.

      Salindia Sosialisasi Tata Cara Pelaksanaanย Advance Pricing Agreement

      Mutual Agreement Procedur (MAP)

      Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan tax treaty.

      Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra tax treaty antara lain berasal dari penyesuaian akibat:

      • koreksi Transfer Pricing,
      • permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment),
      • karakterisasi atas suatu penghasilan,
      • tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan dalam tax treaty.

      Ketentuan MAP yang terbaru diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 49/PMK.03/2019

      Lebih lanjut silakan baca tulisan Tata Cara Mutual Agreement Procedure

      Prinsip Netralitas Dalam Perpajakan Internasional

      Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri.

      Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal .

      Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang โ€œnetralโ€ yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.

      Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.

      Doernberg, menyebut tiga unsur netralitas:

      • capital-export neutrality
      • capital-impor neutrality
      • national neutrality

      Netralitas ekspor modal atau capital-export neutrality maksudnya sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik.

      Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018.

      Netralitas impor modal (capital-impor neutrality), maksudnya netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality).

      Maksud netralitas impor modal adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.

      Netralitas nasional (national neutrality), maksudnya netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.

      Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.

      International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.

      Mengapa Terjadi Pajak Berganda?

      Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.

      Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis .

      Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.

      Contoh pajak ganda internasional ekonomis adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.

      Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system.

      Sistem klasikal didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain. Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar.

      Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari

      • full integration system,
      • deviden deduction system,
      • split rate system,
      • devidend examption system, dan
      • imputation system.

      Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.

      Metode Penghindaran Pajak Berganda Ekonomi

      Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi.

      Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.

      Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir.

      Devidend deduction system adalah integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan. Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen.

      Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.

      Di rancangan undang-undang omnibus law perpajakan, konsep dividen exemption system nampaknya akan digunakan.

      Split rate system adalah pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan.

      Imputation system yaitu penghindaran pajak dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.

      Pajak Ganda Yuridis

      Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu :

      1. ada dual residence;
      2. konflik antara asas domisili dengan asas sumber; dan
      3. perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).

      Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan. Seseorang dianggap penduduk oleh dua otoritas pajak. Misalnya saya dianggap penduduk Indonesia dan Singapura.

      Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency). Artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

      Kriteria a tie breaker rule adalah

      1. tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;
      2. pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada;
      3. kebiasaan berdiam (habitual abode);
      4. status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;
      5. prosedur kesepakatan (MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

      Jenis pajak ganda yuridis yang kedua disebabkan adanya konflik antara asas domisili dengan asas sumber.

      Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. World wide income principle adalah negara domisili yang mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya. Sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut .

      Pasal 26 Undang-Undang PPh merupakan perwujudan konsep kewenangan atas wilayah. Indonesia mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

      Konsep ini disebut juga asas sumber. Menurut asas sumber, negara tempat sumber penghasilan berasal, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu. Tidak pandang di mana orang yang memiliki sumber itu berada.

      Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya.

      Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.

      Metode Penghindaran Pajak Berganda

      Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu:

      • metode pembebasan, dan
      • metode kredit.

      Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber.

      Metode pembebasan meliputi :

      1. Pembebasan subjek
      2. Pembebasan objek
      3. Pembebasan pajak

      Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa.

      Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang PPh.

      Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) dikecualikan sebagai objek pajak.

      Metode pembebasan pajak dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan.

      Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif. Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.

      Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Salah satu varian metode ini dipakai Indonesia dan diatur di Pasal 24 Undang-Undang PPh.

      Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili.

      Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit.

      Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.

      Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.

      Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:

      • Overall limitation
      • Per country limitation
      • Tax sparing
      • Underlying tax credit
      • Matching credit

      Menurut metode overall limitation, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation.

      Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

      rumus metode overall limitation

      Menurut metode per country limitation, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara.

      Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:

      rumus metode per county limitation

      Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor  192/PMK.03/2018

      Tulisan lebih lanjut untuk menghitung kredit pajak Pasal 24 dapat dilihat di artikel Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri.

      Metode tax sparing disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday.

      Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber.

      Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.

      Contoh: Indonesia memberikan tax holiday kepada industri pionir. Kemudian investor luar negeri (misal Jepang) investasi di Indonesia. Atas hasil investasi di Indonesia dibebaskan pajak penghasilan. Hasil ini kemudian dibawa ke negara Jepang. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negera sumber dan Jepang sebagai negara domisili.

      Agar tujuan tax holiday efektif, maka di Indonesia seolah-olah bayar pajak. Pajak semu ini kemudian dibawa ke Jepang, dikreditkan. Sehingga di Jepang juga tidak bayar pajak. Inilah tax sparing.

      Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba.

      Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.

      Variasi terakhir dari tax credit adalah matching credit. Metode matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty).

      Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.

      Skema Penghindaran Pajak

      Setidaknya ada empat jenis penghindaran pajak, yaitu:

      1. hybrid mismatch arrengement,
      2. manipulasi transfer pricing,
      3. penghindaran status BUT, dan
      4. Control Foreign Company.

      Jenis penghindaran pajak pertama, hybrid mismatch arrangement, dilakukan oleh tax planner karena atas karakteristik instrumen yang sama terjadi inkonsistensi peraturan pajak antar negara . Dampak bisa jadi double non-taxation (alias tidak dikenakan pajak di mana pun).

      Skema hybrid mismatch arrangement terdapat tiga macam. Pertama, adanya skema pengurangan berganda (double deduction scheme).

      Double deduction scheme adalah pengakuan biaya untuk tujuan pajak dilakukan di dua negara yang berbeda.

      Biasanya skema double deduction efektif jika ada perbedaan perlakukan perpajakan antar negara terkait entitas transparan. Atas entitas transparan suatu negara mengenakan pajak, ada juga yang tidak mengenakan pajak.

      Skema kedua, deduction or no inclusion scheme. Skema deduction or no inclusion adalah pengakuan biaya bunga di satu negara tetapi diakuai sebagai dividen di negara lawan.

      Misal, Negara Indonesia mengakui bahwa PT XYZ membayar bunga ke ABC Ltd di luar negeri. PT XYZ mencatat sebagai utang. Tetapi di ABC Ltd dianggap sebagai investasi. Sehingga pembayaran bunga di PT XYZ akan dicatat sebagai dividen di ABC Ltd. Cara ini akan efektif jika di Negara tempat ABC Ltd memperlakukan dividen bukan sebagai objek pajak.

      Skema ketiga, foreign tax credit. Skema ini dimanfaatkan jika ada ketentuan bahw aentitas berhak mendapatkan kredit pajak luar negeri yang seharusnya tidak diterima.

      Contoh: PT XYZ (dalam negeri) membeli saham SPV Ltd di luar negeri. SPV Ltd milik ABC Ltd di negara yang sama dengan SPV Ltd. Padahal PT XYZ memberikan pembiayaan kepada ABC Ltd.

      contoh ilustrasi skema foreign tax credit generator

      Sementara di Luar Negeri, ABC Ltd mejual saham SPV Ltd dengan menyatakan komitmen untuk membeli kembali saham tersebut pada waktu yang ditentukan, dan harga yang disepakati.

      Karena saham SPV Ltd dipegang PT XYZ maka SPV Ltd memberikan dividen kepada PT XYZ. Di luar negeri, SPV Ltd dikenakan pajak, dan (misal) Indonesia mengakui kredit pajak atas pajak SPV Ltd. Sehingga, atas penghasilan dividen ini, PT XYZ melaporkan penghasilan dividen dan melaporkan kredit pajak luar negeri.

      Sementara di luar negeri, ABC Ltd mencatat sebagai utang. Saham SPV Ltd hanya sebagai jaminan. Bukan dijual. Sehingga ABC Ltd tetap sebagai pemilik SPV Ltd. ABC Ltd mencatatkan biaya bunga atas pembayaran ke PT XYZ dengan nilai yang sama dengan pembayaran dividen.

      Sementara itu, penghindaran pajak melalui skema penghindaran status BUT dilakukan dengan memanfaatkan tax treaty. Intinya, perusahaan menghindari status BUT menurut tax treaty yang berlaku supaya negara sumber tidak berhak mengenakan pajak.

      Contoh yang paling umum dan terang benderang adalah pemajakan atas perusahaan digital. Google meraup keuntungan dari Indonesia sebagai negara sumber (konsumen). Tetapi berdasarkan tax treaty yang berlaku, Indonesia tidak dapat mengenakan Pajak Penghasilan karena tidak ada BUT, sampai berlakunya MLI (Multilateral Instrument).

      FAQ Pajak Internasional

      Beberapa minggu yang lalu saya mengunduh file dari TKB di kantor. File ini berisi FAQ Pajak Internasional. Di bawah ini merupakan salinan FAQ Pajak Internasional dari TKB.

      UMUM

      Apa saja cakupan dari Pajak Internasional?

      Cakupan dari Pajak Internasional adalah:
      a. Wajib Pajak Dalam Negeri yang memperoleh penghasilan dari luar
      negeri; dan
      b. Wajib Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari dalam
      negeri.

      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 2 ayat (3) dan
      b. Pasal 2 ayat (4)

      Bagaimana pengenaan pajak berganda pada transaksi internasional dapat terjadi?

      Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut:
      a. Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena bersumber di negara tersebut.

      b. Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya.

      c. Negara A dan Negara B mengenakan pajak terhadap seorang Wajib Pajak, karena masing-masing negara mengklaim sebagai penduduk di negaranya.

      Apakah penyebab terjadinya pajak berganda internasional?

      Pajak berganda internasional akan timbul karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Pengenaan pajak berganda internasional timbul karena tiga konflik berikut:
      a. Konflik antar sesama Negara sumber
      b. Konflik antar sesama Negara domisili
      c. Konflik antar Negara sumber โ€“ Negara domisili

      Bagaimana dasar hukum pembentukan P3B, terutama dalam kaitannya dengan ketentuan perpajakan?

      Sesuai dengan UU PPh, Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
      a. penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
      b. pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba;
      c. pertukaran informasi perpajakan;
      d. bantuan penagihan pajak; dan
      e. kerja sama perpajakan lainnya.

      Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, Pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.

      Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
      Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

      Apakah P3B dapat menimbulkan hak pemajakan baru?

      Tidak, karena P3B adalah suatu ketentuan yang dipergunakan untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas transaksi lintas batas yang terjadi antar negara.

      Dalam konteks perpajakan internasional, sistem pajak worldwide dan territorial merupakan alternatif utama yang digunakan negara domisili untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari Luar Negeri. Apakah yang dimaksud dengan sistem pajak worldwide dan territorial tersebut?

      Setiap negara bebas untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, pada umumnya, sistem perpajakan internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili (the residence principle) dan prinsip sumber (the territoriality principle).

      Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Sementara, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial.

      Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak.

      Negara yang menganut sistem pajak worldwide akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negaranya. 

      Apabila terjadi konflik atau perbedaan pengaturan pada ketentuan domestik dan P3B atas suatu transaksi internasional, ketentuan manakah yang berlaku?

      P3B merupakan ketentuan lex-spesialis. Oleh karenanya, apabila terjadi konflik antara ketentuan P3B dan ketentuan domestik atas suatu transaksi internasional, ketentuan P3B lebih diutamakan.

      Berdasarkan PMK-202/PMK.0102017 s.t.d.t.d PMK-236/PMK.010/2020, dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.

      Penjelasan Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

      Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.010/2017 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020

      Bagaimana jika tarif pemotongan/pemungutan pajak atas bunga, royalti atau dividen dalam P3B lebih besar dibandingkan dengan tarif menurut ketentuan domestik?

      Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan perjanjian.

      Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih besar, maka tarif yang digunakan adalah yang sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.

      Apakah yang dimaksud dengan treaty shopping?

      Treaty shopping adalah suatu praktik yang dilakukan oleh Wajib Pajak suatu negara dengan menggunakan suatu skema tertentu, untuk mendapatkan manfaat/fasilitas yang diberikan oleh tax treaty yang menggunakan pasal-pasal dalam tax treaty yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.

      Contoh  transaksi yang dicurigai termasuk dalam skema penyalahgunaan P3B, antara lain:
      a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
      b. transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
      c. transaksi yang penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO).

      Apakah yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle (SPV)?

      IBFD International Tax Glossary (2015) mendefinisikan special purpose vehicle adalah entitas yang dibentuk untuk berpartisipasi dalam pengaturan keuangan terstruktur atau transaksi investasi yang biasanya sebagai bagian dari rencana pengurangan atau penghindaran pajak.

      OECD Glossary Statistical Terms mendefinisikan special purpose entities adalah entitas yang secara umum terorganisir atau didirikan dalam perekonomian selain perekonomian di mana perusahaan induk berada.

      Bentuk dari special purpose company antara lain; conduit company, letter box company, money box company, paper company, atau shell company.

      Ketentuan mengenai special purpose company dalam aturan domestik diatur dalam:
      a. Pasal 18 ayat (3b) dan ayat (3c) UU Pajak Penghasilan,
      b. Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri,
      c. Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan PIhak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga, dan
      d. Peraturan Menteri Keuangan No. 142/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle.  

      Definisi Special Purpose Vehicle (SPV):
      a. sesuai dengan Pasal 1 angka 2 PMK No.258/PMK.03/2008, perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) adalah perusahaan antara yang dibentuk dengan tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Heaven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
      b. sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) PMK No. 127/PMK.010/2016, berdasarkan Undang Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, mendefinisikan special purpose company sebagai perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti untuk pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.

      Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 18 ayat (3b) dan
      b. Pasal 18 ayat (3c)

      • Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3(c) Undang Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib Pajak Luar Negeri;
      • Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.
      • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor  142/PMK.01/2016
      Seringkali dijumpai modus di mana Wajib Pajak Luar Negeri menggunakan perusahaan antara (conduit company) di negara yang memiliki P3B dengan Indonesia sebagai perantara untuk menerima penghasilan dividen, bunga atau royalti dengan tujuan untuk memanfaatkan P3B antara Indonesia dengan negara mitra P3B di mana perusahaan conduit tersebut berada. Apakah atas manfaat P3B yang diterima oleh perusahaan conduit tersebut dapat dibatalkan dengan alasan perusahaan conduit tersebut bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan dimaksud?

      Secara umum, berdasarkan Pasal 2 PER-25/PJ/2018 untuk dapat memanfaatkan tarif P3B untuk penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti, beneficial owner dari penghasilan tersebutlah yang harus merupakan residen dari negara mitra P3B.

      Ketentuan domestik pajak internasional

      Secara umum, apa yang diatur dalam PPh Pasal 26?

      Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

      Jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26, antara lain:
      a. dividen;
      b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
      c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
      d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
      e. hadiah dan penghargaan;
      f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
      g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
      h. keuntungan karena pembebasan utang.

      Siapa Pemotong PPh Pasal 26?

      Badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 26 ayat (1)

      Bagaimanakah konsep โ€˜residentโ€™ dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty?

      Dalam Pasal 4 ayat (1) P3B yang berpedoman pada Organisation for Economic Co-ordination and Development (OECD) Model, definisi mengenai resident atau disebut sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) diberikan kepada undang-undang domestik dari kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

      Dengan demikian, untuk menentukan apakah subjek pajak merupakan resident dari negara yang mengadakan P3B adalah berpedoman pada ketentuan domestik masing-masing negara tersebut.

      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 2 ayat (3) dan
      b. Pasal 2 ayat (4)
      Model P3B: Pasal 4

      Apa yang dimaksud dengan tempat usaha bersifat permanen dalam penentuan suatu bentuk usaha tetap?

      Tempat usaha yang dianggap permanen sesuai dengan kriteria dalam bentuk usaha tetap, adalah sepanjang tempat usaha tersebut:
      a. digunakan secara kontinu; dan
      b. berada di lokasi geografis tertentu

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
      a. Pasal 5 ayat (3)

      Apa saja kriteria suatu usaha untuk ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia?

      Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
      a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
      b. tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan
      c. tempat usaha tersebut digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
      a. Pasal 4

      Bagaimana cara menentukan periode waktu untuk penerapan P3B dalam BUT yang berbentuk proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan?

      Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, dapat dianggap merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B, dengan ketentuan sebagai berikut:
      a. periode waktu dihitung sejak saat proyek mulai dikerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing;
      b. periode waktu berakhir saat :
      i. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menyelesaikan pekerjaan dan menyerahkan hasil pekerjaan kepada penerima jasa konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; atau
      ii. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menghentikan pekerjaan sebelum pekerjaan selesai;
      c. penghentian pengerjaan proyek untuk sementara tidak menunda penghitungan periode waktu;
      d. bagian dari hari dihitung penuh 1(satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
      e. bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan bulan; dan
      f. waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor dalam negeri maupun luar negeri.  

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
      a. Pasal 7

      Apa saja yang menjadi obyek pajak dari suatu BUT?

      a. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
      b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
      c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).

      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 5 ayat (1)

      Bagaimana peran penting permanent establishment (PE) dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh dari suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas?

      Konsep permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) memiliki peranan penting dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas.

      Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.

      Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.

      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 5
      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

      Apa saja jenis dari Bentuk Usaha Tetap?

      Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
      a. tempat kedudukan manajemen;
      b. cabang perusahaan;
      c. kantor perwakilan;
      d. gedung kantor;
      e. pabrik;
      f. bengkel;
      g. gudang;
      h. ruang untuk promosi dan penjualan;
      i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
      j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
      k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
      l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
      m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
      n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
      o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
      p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet

      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 2 ayat (5)

      Apa perbedaan antara BUT dan representative office?

      Pasal 4 ayat 1 PMK-35/PMK.03/2019 diatur bahwa bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
      a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
      b. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan
      c. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan,

      Sedangkan Representative Office didirikan dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan. Dalam Pasal 6 PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa:
      a. Kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) merupakan kegiatan pendahuluan agar kegiatan yang esensial dan signifikan siap untuk dilakukan.
      b. Kegiatan yang bersifat penunjang (auxiliary) merupakan kegiatan tambahan yang memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan.

      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 2 ayat (5)
      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

      Bagaimana penentuan BUT atas pemberian jasa?

      Dalam PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
      a. pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing atau subkontraktor dari Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut;
      b. pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
      c. pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.

      Untuk penerapan P3B, penerapan jasa tersebut merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap:
      a. Pasal 4 ayat (2),
      b. Pasal 8 ayat (1), dan
      c. Pasal 8 ayat (2)

      Apakah kegiatan usaha yang dilakukan melalui website internet dimana website tersebut terdapat di luar negeri dapat menimbulkan bentuk usaha tetap?

      Penggunaan website tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

      Sesuai dengan SE-50/PJ/2013, untuk setiap transaksi, pemeriksa akan melakukan uji eksistensi dan manfaat ekonomi. Pengujian tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut telah benar-benar dilakukan dan memberikan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak.

      Bagaimana pemotongan PPh atas WPLN yang:
      a. memiliki BUT?
      b. tidak memiliki BUT?

      BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri sehingga BUT wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana subjek pajak badan dalam negeri pada umumnya.

      Bagi WPLN yang tidak memiliki BUT, maka penghasilan yang diperoleh akan dipotong/dipungut pajaknya oleh pemotong/pemungut pajak sesuai ketentuan UU PPh (PPh Pasal 26), atau sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN.

      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
      a. Pasal 2 ayat (1a)
      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
      a. Pasal 3

      Bagaimana penentuan CFC sesuai dengan ketentuan domestik?

      Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019:

      1. Wajib Pajak dalam negeri yang:
        a. Memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada Badan Usaha Luar Negeri (BULN) Nonbursa; atau
        b. Secara bersama sama dengan WPDN lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa

      ditetapkan memiliki pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa.

      1. BULN Nonbursa terkendali tidak langsung merupakan BULN Nonbursa yang dikendalikan secara tidak langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri melalui:
        a. BULN Nonbursa terkendali langsung; atau
        b. BULN Nonbursa terkendali langsung dan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung pada tingkat penyertaan modal sebelumnya

      dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

      Bagaimana perbedaan perlakuan PMK-107/2017 dan PMK-93/2019?

      Ketentuan umum PMK-107/2017 dan PMK-93/2019:

      1. PMK-107/2017 berlaku untuk Tahun Pajak 2017 dan Tahun Pajak 2018 mengatur mengenai penetapan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya atas penyertaan modal pada BULN Nonbursa terkendali berdasarkan laba setelah pajak;
      2. PMK-93/2019 berlaku mulai Tahun Pajak 2019 mengubah ketentuan yang ada pada PMK-107/2017 yang meliputi:
        a. mengatur jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan Deemed Dividend;
        b. mengubah dasar pengenaan Deemed Dividend yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

      Bagaimana penentuan saat perolehan deemed dividend? 

      Sesuai dengan Pasal 3 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK 93/PMK.03/2019, saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung WPDN pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada:

      1. akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan;
      2. akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.

      dalam hal BULN Nonbursa terkendali Iangsung tersebut berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki pilihan untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan interim (berdasarkan estimasi), saat diperolehnya Deemed Dividend tersebut ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan akhir (final) bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun yang bersangkutan.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

      Bagaimana perlakuan perpajakan apabila jumlah dividen yang diterima berbeda dari deemed dividend?

      Dalam hal deemed dividend lebih besar dari dividen yang diterima, maka, selisih deemed dividend tersebut menjadi saldo yang dapat diperhitungkan dengan dividen yang diterima dalam jangka waktu lima tahun.

      Dalam hal deemed dividend lebih kecil dari dividen yang diterima, maka selisih dividen yang diterima dikenai Pajak Penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak diterimanya dividen.

      Bagaimana interaksi antara ketentuan Deemed Dividend dengan ketentuan dividen yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja? 

      Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, maka ketentuan Deemed Dividend tetap berlaku sepanjang:

      1. BULN Nonbursa terkendali langsung tidak membagikan dividen kepada WPDN; dan/atau
      2. WPDN tidak melakukan investasi di Indonesia atas dividen yang dibagikan oleh BULN Nonbursa terkendali langsung

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
      a. Pasal 39

      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

      PT JKL mendirikan anak perusahaan (Cayman JKL Co.) yang dimiliki 100% di Cayman Island untuk menampung penghasilan dari luar negeri. Di negara tersebut tidak terdapat pajak atas penghasilan dan penghasilan yang dikirim ke luar negeri (outbound income) tidak dikenakan pajak.  Pada tahun 2017, PT JKL memperoleh penghasilan neto dalam negeri sebesar 1.000, sementara pada tahun yang sama Cayman JKL Co. memperoleh penghasilan neto sebesar 500. Apabila Cayman JKL Co tidak membagikan dividen, berapa beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?

      Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK-107/PMK.03/2017, Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai Controlled Foreign Company (CFC) karena penyertaan modal langsung PT JKL lebih besar dari 50%.

      Penghasilan yang diperoleh Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai dividen yang seharusnya diterima oleh PT JKL. Besarnya beban pajak yang harus dibayarkan PT JKL Tahun 2017 adalah:

      Penghasilan netto dalam negeri Rp1.000
      Penghasilan netto luar negeri Rp500
      Penghasilan Kena Pajak Rp1.500
      Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
      Pajak terutang = 25% x Rp1.500 = Rp375

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.

      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019

      Berdasarkan kondisi pada pertanyaan nomor 6, dalam hal CFC didirikan di Singapura (tarif pajak 18%, dan outbound income dalam bentuk dividen tidak dikenakan pajak). Berapakah beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?

      Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2017 adalah:
      Penghasilan netto dalam negeri Rp1 .000
      Penghasilan netto luar negeri Rp500
      PPh (Singapura) = 18% x Rp500 = Rp90
      Penghasilan Netto Setelah Pajak di LN (Dasar Pengenaan Deemed Dividend) = Rp500 โ€“ Rp90 = Rp410
      Penghasilan Kena Pajak (total) Rp1.410
      Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25%
      Pajak terutang = 25% x Rp1.410 = Rp352,5

      Bagaimana sebuah perusahaan disebut melakukan thinly capitalized? Apa tujuan sebuah perusahaan melakukan thinly capitalized tersebut?

      Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat perbandingan yang tinggi antara modal hutang (debt capital) dan modal ekuitas (equity capital). Tujuan dari thin capitalization adalah untuk memperoleh tingkat penghasilan kena pajak yang rendah karena adanya tambahan beban bunga hutang/pinjaman, sehinga beban pajakyang ditanggung sebuah perusahaan menjadi lebih kecil.

      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan

      Apakah yang disebut dengan Branch Profit Tax?

      Branch Profit Tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

      Berdasarkan PMK-14/PMK.03/2011, Branch Profit Tax tidak dikenakan jika Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dalam bentuk:

      1. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
      2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
      3. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
      Apa yang dimaksud dengan beneficial owner dalam ketentuan domestik?

      Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PER-25/PJ/2018, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner dalam hal:

      1. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
      2. bagi WPLN badan, harus memenuhi ketentuan:
        a. tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit,
        b. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
        c. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
        d. menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan
        e. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
      Bagaimana perlakuan kerugian usaha di luar negeri sesuai ketentuan domestik? 

      Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN tidak dapat memperhitungkan:

      1. kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri, termasuk kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri yang diperoleh setelah memperhitungkan kerugian yang diperoleh dari harta atau kegiatan yang memiliki hubungan efektif dengan cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri; dan
      2. kerugian lain yang diderita di luar negeri.

      Ketentuan Baru Controlled Foreign Company

      Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

      CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.

      Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa :

      Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

      a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau

      b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.

      Pasal 18 ayat (2) UU PPh

      Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki saham seperti dimaksud Pasal 18 ayat (2) di atas disebut pengendali langsung.

      Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomorย 107/PMK.03/2017 dan direvisi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019.

      Baik Pasal 18 ayat (2) UU Pajak Penghasilan maupun Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 merupakan bagian dari Specific Anti Avoidance Rules (SAAR).

      Pembahasan CFC Rules menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 sudah dibahas di sini. Silakan buka dulu karena tulisan sekarang hanya membahas perubahannya.

      Melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor No. 93/PMK.03/2019, pemerintah mengubah terminologi laba sebelum pajak yang selama ini menjadi dasar penetapan deemed dividend menjadi jumlah neto setelah pajak.

      Deemed Dividend adalah dividen yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN Nonbursa terkendali langsung.

      Wajib Pajak dalam negeri pengendali langsung ditetapkan memperoleh Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung.

      Pengendali langsung adalah Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki paling sedikit 50% saham dari modal yang disetor BULN nonbursa, baik kepemilikan saham tunggal maupun bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya.

      Objek Pajak Yang Harus Dilaporkan

      Peraturan Menteri Keuangan nomor No. 93/PMK.03/2019 memberikan penegasan penghasilan CFC yang disebut dalam peraturan dengan โ€˜penghasilan tertentuโ€™ meliputi dividen, bunga, sewa, royalti dan capital gain.

      Pengendali langsung memperoleh Deemed Dividend yang berasal dari penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali yang meliputi penghasilan sebagai berikut:

      • dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;
      • bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai izin usaha bank;
      • sewa berupa: (a) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (b) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;
      • royalti; dan
      • keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.

      Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 tidak merinci jenis-jenis penghasilan.

      Dasar Pengenaan Deemed Dividend

      Besarnya Deemed Dividend dihitung dengan cara mengalikan persentase penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung dengan dasar pengenaan Deemed Dividend.

      Dasar pengenaan Deemed Dividend yaitu jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali langsung. Di ketentuan sebelumnya, dasar pengenaan deemed dividen adalah laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali langsung.

      Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri memiliki pengendalian langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung dan memiliki pengendalian tidak langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung, maka dasar pengenaan Deemed Dividend dihitung:

      1. jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali langsung; dan
      2. jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali tidak langsung dikalikan dengan persentase penyertaan modal BULN Nonbursa terkendali langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung tersebut.

      Biar lebih jelas, langsung saja ke contoh seperti yang ada di lampiran PMK:

      Contoh 1

      PT JKL yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri pada akhir Tahun Pajak 2018 memiliki penyertaan modal langsung sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari jumlah saham yang disetor VWX Ltd. di negara D. Saham VWX Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.

      Pada tahun pajak 2018, VWX Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD80.000,00. Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD25.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD5.000,00.

      Tahun pajak VWX Ltd. adalah 1 Januari s.d. 31 Desember 2018 dan batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk tahun pajak dimaksud di negara tersebut paling lambat 31 Mei 2019, sehingga saat diperolehnya Deemed Dividend bagi PT JKL atas penyertaan modalnya pada VWX Ltd. adalah 30 September 2019.

      Nilai kurs USD terhadap Rupiah yang berlaku pada tanggal 30 September 2019 adalah Rp11.500,00/USD

      Dengan demikian, besarnya Deemed Dividend tahun 2019 yang diperoleh PT JKL adalah

      65% x (USD80.000,00 – USD25.000,00 – USD5.000,00) = USD32.500.00.

      Deemed Dividend tersebut dilaporkan PT JKL sebesar USD32.500,00 x Rp11.500,00/USD = Rp373.750.000,00 dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.

      Contoh 2

      PT ABC dan PT DEF merupakan Wajib Pajak dalam negeri. PT ABC memiliki penyertaan modal langsung sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada XYZ Ltd. dan PT DEF memiliki penyertaan modal langsung sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada PQR Ltd.. XYZ Ltd. dan PQR Ltd. merupakan penduduk negara Y. XYZ Ltd. dan PQR Ltd. memiliki penyertaan modal langsung masing-masing sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan 20% (dua puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada MNO Pte. Ltd. yang merupakan penduduk negara X. Saham XYZ Ltd., PQR Ltd., dan MNO Pte. Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.

      Contoh penyertaan modal langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung dan penyertaan modal tidak langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung

      Tahun pajak XYZ Ltd., PQR Ltd., dan MNO Pte. Ltd. adalah sama dengan tahun kalender. Kemudian pada tahun pajak 2018 masing-masing entitas di luar negeri tersebut memperoleh penghasilan tertentu sebagai berikut:

      1. XYZ Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD1.750.000,00 (tidak termasuk dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari MNO Pte. Ltd.). Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD215.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD35.000,00, sehingga jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut sebesar USD1.500.000,00. Terdapat kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan pada tanggal 30 April 2019;
      2. PQR Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD3.300.000,00 (tidak termasuk dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari MNO Pte. Ltd.). Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD225.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD75.000,00, sehingga jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut sebesar USD3.000.000,00. Terdapat kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan pada tanggal 30 April 2019; dan
      3. MNO Pte. Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD1.250.000,00. Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD195.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD55.000,00, sehingga jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut sebesar USD1.000.000,00.

      Dengan demikian, saat diperolehnya Deemed Dividend pada XYZ Ltd. dan PQR Ltd. adalah 31 Agustus 2019. Nilai kurs USD terhadap Rupiah pada tanggal 31 Agustus 2019 adalah sebesar Rp11.550,00/USD.

      Saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan.

      Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017

      Besarnya Deemed Dividend tahun 2019 yang diperoleh masing-masing Wajib Pajak dalam negeri sebagai berikut:

      contoh perhitungan deemed dividen pengendali langsung dan tidak langsung

      PT ABC wajib melaporkan penghasilan deemed dividen di SPT tahunan tahun pajak 2019 sebesar Rp15.246.000.000,00. Sedangkan PT DEF sebesar Rp18.480.000.000,00

      Contoh 3

      Pada contoh 1 dan 2, pengendali langsung memiliki saham 50% dan lebih 50%. Menurut ketentuan, pengendali langsung tidak hanya satu Wajib Pajak dalam negeri, tetapi bisa juga sekumpulan. Atau bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki saham 50% atau lebih.

      Berikut contoh penentuan penyertaan modal langsung secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya pada BULN Nonbursa terkendali langsung dan penentuan penyertaan modal tidak langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung:

      PT ABC, PT DEF, dan PT GHI yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri memiliki penyertaan modal langsung sebesar masing-masing 15% (lima belas persen) dari jumlah saham yang disetor pada Forco Ltd. yang merupakan penduduk negara X. PT JKL, PT MNO, dan PT PQR yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri juga memiliki penyertaan modal langsung sebesar masing-masing 5% (lima persen) dari jumlah saham yang disetor pada Forco Ltd.

      Selanjutnya Forco Ltd. memiliki penyertaan modal langsung sebesar 60% (enam puluh persen) pada Forsubco1 Ltd. dan 45% (empat puluh lima persen) pada Forsubco2 Ltd.. Forsubco1 Ltd. dan Forsubco2 Ltd. merupakan penduduk negara X. Saham Forco Ltd., Forsubco1 Ltd. dan Forsubco2 Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.

      contoh penentuan penyertaan modal langsung secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya

      Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa terdapat 6 Wajib Pajak dalam negeri (PT ABC, PT DEF, PT GHI, PT JKL, PT MNO, dan PT PQR) yang secara bersama-sama memiliki penyertaan modal langsung 60% (enam puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada Forco Ltd..

      Dengan demikian, 6 Wajib Pajak dalam negeri tersebut ditetapkan secara bersama-sama memiliki pengendalian langsung pada Forco Ltd. sehingga Forco Ltd. merupakan BULN Nonbursa terkendali langsung bagi 6 Wajib Pajak dalam negeri tersebut.

      Selanjutnya, penentuan besarnya penyertaan modal tidak langsung Wajib Pajak dalam negeri pada Forsubco1 Ltd. dan Forsubco2 Ltd. dilakukan sebagai berikut:

      • PT ABC, PT DEF, PT GHI, PT JKL, PT MNO, dan PT PQR ditetapkan secara bersama-sama memiliki pengendalian tidak langsung pada Forsubco1 Ltd. (melalui Forco Ltd.) karena terdapat penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal, sehingga Forsubco1 Ltd. merupakan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung bagi 6 (enam) Wajib Pajak dalam negeri tersebut.
      • PT ABC, PT DEF, PT GHI, PT JKL, PT MNO, dan PT PQR tidak memiliki pengendalian pada Forsubco2 Ltd. karena tidak terdapat penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal, sehingga Forsubco2 Ltd. bukan merupakan BULN Nonbursa terkendali bagi 6 (enam) Wajib Pajak dalam negeri tersebut.

      Cara Menghitung PPh Pasal 25

      Pasal 25 adalah angsuran PPh pada tahun berjalan


      PPh Pasal 25 adalah cicilan pembayaran Pajak Penghasilan pada tahun berjalan. Saya menggunakan istilan “cicilan” karena jumlah pembayaran dalam satu tahun akan diperhitungkan di SPT Tahunan. Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 25? Ini penjelasannya.

      Continue reading “Cara Menghitung PPh Pasal 25”

      Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri

      Atas Penghasilan Luar Negeri Wajib Dilaporkan. Dan Pajaknya Boleh Dikreditkan

      Indonesia menerapkan pemajakan atas semua penghasilan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri (world wide income). Karena atas penghasilan luar neger wajib dilaporkan, maka atas pajak-pajak yang sudah dibayar di luar negeri dapat diperhitungkan. Inilah cara menghitung kredit pajak luar negeri.

      Continue reading “Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri”

      Syarat Perdagangan Dan Perlakuan Perpajakannya

      Contoh kasus yang dapat diterapkan di tempat lain

      Pendapatan pasar modern, seperti supermarker dan departement store, tidak hanya diperoleh dari marjin harga antara harga jual kepada konsumen dan harga beli dari pemasok, tetapi juga diperoleh dari sejumlah trading term (syarat perdagangan) yang dalam kondisi tertentu justru besarannya jauh lebih besar dibandingkan dengan marjin harga tersebut.

      Continue reading “Syarat Perdagangan Dan Perlakuan Perpajakannya”

      14 Biaya Yang Harus Dikoreksi Positif

      Koreksi positif biaya artinya koreksi yang menyebabkan penghasilan neto lebih besar. Biaya pengurang penghasilan bruto berkurang (dicoret) tentu menyebabkan penghasilan neto lebih besar. Dan PPh terutang lebih besar.Istilah koreksi positif sebenarnya koreksi apapun yang menyebabkan pajak terutang bertambah. Sebaliknya, koreksi negatif merupakan koreksi apapun yang menyebabkan pajak terutang berkurang.

      Continue reading “14 Biaya Yang Harus Dikoreksi Positif”

      Langkah-langkah Bayar Pajak Mobil di Samsat Bandung

      Samsat drivethru: praktis dan memudahkan

      Banyak orang bingung cara bayar pajak kendaraaan bermotor (PKB). Baik kendaraan motor (roda dua) maupun kendaraan mobil (roda empat). Karena bingung, kemudian mengambil jasa agen pengurusan STNK, atau calo. Padahal, di Bandung bisa bayar pajak melalui jalur drivethru. Praktis dan memudahkan.

      Continue reading “Langkah-langkah Bayar Pajak Mobil di Samsat Bandung”

      Pajak Atas Penghasilan

      Pajak penghasilan adalah pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh seseorang. Pajak penghasilan disingkat PPh. Dasar hukum pengenaan PPh adalah Pasal 4 ayat (1) UU PPh.

      Continue reading “Pajak Atas Penghasilan”

      Bikin Perseroan Terbatas, Langsung Dibuatkan NPWP Badan

      NPWP Badan maksudnya NPWP untuk badan usaha. Khusus badan usaha perseroan terbatas, sekarang pemberian NPWP tidak perlu lagi minta ke kantor pajak. Dalam rangka mendukung kemudahan berusaha, sekarang pemerintah mengintegrasikan layanan pengesahan pendirian badan (Ditjen AHU) dan pendaftara NPWP (Ditjen Pajak). Dengan demikian, bikin perseroan terbatas melalui notaris dapat langsung dibuatkan NPWP badan.

      Continue reading “Bikin Perseroan Terbatas, Langsung Dibuatkan NPWP Badan”

      Cara Memanfaatkan Restitusi Dipercepat

      Menteri Keuangan pada tahun 2018 ini telah menerbitkan ketentuan restitusi yang dipercepat. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 39/PMK.03/2018 bahwa terdapat 3 klasifikasi Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan restitusi 1 atau 3 bulan saja. Dan tanpa dilakukan pemeriksaan. Kantor pajak melakukan restitusi cukup dengan cara penelitian saja.

      Continue reading “Cara Memanfaatkan Restitusi Dipercepat”

      Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Badan form 1771 dengan e-Form

      Mulai tahun 2018 ini, DJP Online telah menyediakan layanan e-Form. Fasilitas e-Form sebenarnya memudahkan untuk penyampaian SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Badan. Hanya saja, karena masih baru, mungkin banyak yang belum tahu tata tata cara pengisiannya. Berikut ini petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Badan form 1771 dengan menggunakan e-Form.

      Continue reading “Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Badan form 1771 dengan e-Form”

      Indonesia Memberikan Tax Holiday 20 Tahun

      Pemerintah Indonesia sedang kebelet investasi swasta. Untuk menarik investasi yang lebih besar, Indonesia secara resmi sudah membuat kebijakan pemberian pembebasan Pajak Penghasilan Badan atau yang sering disebut tax holiday, selama 20 tahun. Diskon 100% selama 20 tahun! Setelah itu, masih dapat diskon Pajak Penghasilan Badan sebesar 50% selama 2 tahun.

      Continue reading “Indonesia Memberikan Tax Holiday 20 Tahun”

      Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan

      Secara umum, Pasal 9 Undang-Undang PPN mengatur tata cara pengkreditan pajak masukan. Pasal 9 mengatur persyaratan faktur pajak yang dapat dikreditkan dan kondisi faktur pajak yang menyebabkan tidak dapat dikreditkan.

      Continue reading “Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan”

      Saat Pembuatan Faktur Pajak Untuk Barang Dengan Karakteristik Tertentu

      Menteri Keuangan menentukan saatย pembuatan Faktur Pajak untuk barang kena pajak dengan karakteristik tertentu. Saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan secara khusus untuk kepastian hukum.

      Continue reading “Saat Pembuatan Faktur Pajak Untuk Barang Dengan Karakteristik Tertentu”

      Lampiran SPT Tahunan Badan terbaru : TP Doc dan DER

      Mulai tahun pajak 2017, otoritas pajak Indonesia mewajibkan pelaporan TP Doc dan DER sebagai lampiran SPT Tahunan badan. TP Doc merupakan istilah “pasar” untuk Dokumen Penentuan Harta Transfer. Sedangkan DER merupakan perbandingan antara utang dan modal. Kewajiban dua dokumen tersebut ditegaskan lagi dalam S-03/PJ/2018 tentang kebijakan penerimaan dan pengolahan SPT Tahunan di tahun 2018.

      Continue reading “Lampiran SPT Tahunan Badan terbaru : TP Doc dan DER”

      PPN Tidak Dipungut : Kawasan Bebas

      Letak Batam di sisi jalur perdagangan internasional paling ramai di dunia merupakan pertimbangan utama bagi penetapan Kawasan Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan  Pelabuhan Bebas. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di Kawasan Bebas dibebaskan dan penyerahan BKP ke Kawasan Bebas PPN-nya tidak dipungut dengan syarat.

      Continue reading “PPN Tidak Dipungut : Kawasan Bebas”

      PPN Tidak Dipungut: Proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman Luar Negeri

      Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan bagi proyek-proyek yang didanai dengan pinjaman luar negeri. Fasilitas yang diberikan berupa pembebasan PPh dan PPN tidak dipungut. Artinya, uang yang berasal dari pinjaman luar negeri diharapkan akan dioptimalkan untuk pembiayaaan.

      Continue reading “PPN Tidak Dipungut: Proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman Luar Negeri”

      Pembebasan PPN Kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional Serta Pejabatnya

      Pembebasan PPN kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya untuk menampung perjanjian dengan Negara lain, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya.

      Continue reading “Pembebasan PPN Kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional Serta Pejabatnya”

      PPN Dibebaskan: Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci, Buku Pelajaran Agama

      Dalam rangka meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat Pemerintah membebaskan PPN atas penyerahan buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama.

      Continue reading “PPN Dibebaskan: Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci, Buku Pelajaran Agama”

      BKP dan JKP Angkutan Tertentu Yang PPN-nya Tidak Dipungut

      Pemerintah mengubah kebijakan PPN atas angkutan tertentu yang semula PPN dibebaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 146 TAHUN 2000 menjadi PPN tidak dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 2015. Angkutan tertentu adalah pelayaran, pesawat udara, dan keretan api.

      Continue reading “BKP dan JKP Angkutan Tertentu Yang PPN-nya Tidak Dipungut”

      Dasar Pengenaan Pajak Dengan Nilai Lain

      Pada dasarnya dasar pengenaan pajak dalam PPN adalah harga jual, penggantian, nilai impor dan nilai ekspor. Nilai tersebut adalah nilai sebenarnya atau seharusnya. Tetapi ada 13 dasar pengenaan pajak yang tidak berdasarkan nilai sebenarnya yang disebut nilai lain atau disingkat DPP nilai lain.

      Continue reading “Dasar Pengenaan Pajak Dengan Nilai Lain”

      Jasa Perhotelan Yang Tidak Dikenai PPN

      Secara umum, hotel bukan objek PPN. Jasa perhotelah merupakan objek Pajak Hotel yang termasuk pajak daerah dan diadministrasikan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal ini PPN “mengalah” untuk tidak mengenakan. Namun tidak semua penghasilan yang diterima oleh bukan objek PPN.

      Continue reading “Jasa Perhotelan Yang Tidak Dikenai PPN”

      Kriteria Jasa Periklanan Yang Tidak Dikenai PPN

      Jasa periklanan (maksudnya penyiaran iklan) menurut Undang-Undang PPN terbagi menjadi dua, yaitu: bersifat iklan dan tidak bersifat iklan. Jasa periklanan yang bersifat iklan dikenai PPN karena ini termasuk jasa komersial. Tetapi jasa periklanan yang tidak bersifat iklan dikecualikan sebagai jasa kena pajak. Hal ini diatur di Pasal 4A ayat (3) huruf i Undang-Undang PPN.

      Continue reading “Kriteria Jasa Periklanan Yang Tidak Dikenai PPN”

      Penyerahan Yang Tidak Termasuk Penyerahan BKP

      Walaupun PPN mengenakan pajak atas setiap penyerahan, tetapi ada beberapa penyerahan yang dikecualikan. Artinya, atas jenis penyerahan tersebut tidak terutang PPN. Hal ini diatur di Pasal 1A ayat (2) Undang-Undang PPN.

      Continue reading “Penyerahan Yang Tidak Termasuk Penyerahan BKP”

      Cara Menghapal Objek Pajak Pertambahan Nilai

      Undang-Undang PPN mengatur barang kena pajak dan jasa kena pajak. Sekilas kita mesti hapal mana-mana barang yang dikenai PPN, dan mana-mana jasa yang dikenai PPN. Tetapi sebenarnya tidak begitu. Ada cara yang lebih mudah untuk menghapalkan objek Pajak Pertambahan Nilai.

      Continue reading “Cara Menghapal Objek Pajak Pertambahan Nilai”

      Perbedaan Visit, Verifikasi, Pemeriksaan, dan Penagihan

      Apakah kamu kedatangan petugas pajak? Jika iya, cek identitas mereka dan tanyakan Surat Tugas yang harus mereka bawa! Nah, dalam Surat Tugas anda akan tahu pegawai tersebut datang untuk kunjungan (biasa disebut visit), verifikasi lapangan, pemeriksaan, atau dalam rangka penagihan pajak. Berikut perbedaan maksud keempatnya.

      Continue reading “Perbedaan Visit, Verifikasi, Pemeriksaan, dan Penagihan”

      Macam-Macam Ketetapan Pajak Yang Dikeluarkan Oleh Kantor Pajak

      gambar pajak 02

      Beberapa buku perpajakan menyebut adanya ajaran formil dan ajaran materil. Ajaran formil mengharuskan adanya ketetapan pajak untuk mengetahui besarnya pajak terutang. Kantor pajak yang menentukan berapa yang harus dibayar Wajib Pajak. Padahal ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh kantor pajak ada bermacam-macam. Artinya, tidak semua ketetapan pajak mengharuskan Wajib Pajak keluar uang. Bahkan ada yang sebaliknya.

      Continue reading “Macam-Macam Ketetapan Pajak Yang Dikeluarkan Oleh Kantor Pajak”

      Sanksi Administrasi Karena Pembetulan SPT

      gambar taxes 3

      Niat baik dikenai sanksi? Eit, bukan masalah niat ini tapi masalah keterlambatan bayar pajak. Setiap keterlambatan satu bulan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% dari pajak kurang bayar. Pembetulan SPT yang menyebabkan pajak lebih besar otomatis akan menyebabkan keterlambatan bayar pajak dan itu harus dikenai sanksi administrasi.

      Continue reading “Sanksi Administrasi Karena Pembetulan SPT”

      Faktur Pajak Elektronik

      efaktur mulai Juli 2016

      Faktur pajak elektronik (disingkat efaktur atau e-faktur) merupakan terobosan dari Direktorat Jenderal Pajak dalam pengawasan faktur pajak. Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum kenal dengan internet. Baik yang di ibukota maupun di daerah. Tetapi, sekarang saat akan membuat faktur pajak, dia wajib menggunakan aplikasi dan terhubung ke internet.

      Continue reading “Faktur Pajak Elektronik”

      Buat NPWP Badan Sekarang Bisa Oleh Notaris

      Akhir 2017, notaris diberikan fasilitas baru oleh Direktur Jenderal Pajak, yaitu akses khusus ke ereg.pajak.go.id untuk membuat NPWP badan.

      Continue reading “Buat NPWP Badan Sekarang Bisa Oleh Notaris”

      Pengungkapan Aset Sukarela dengan tarif FINAL (PASFINAL)

      Direktorat Jenderal Pajak membuat istilah baru, yaitu pasfinal. Atau pakai tagar #Pasfinal. Istilah pasfinal singkatan dari pengungkapan aset sukarela dengan tarif final. Pasfinal diperkenalkan dalam rangka sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan nomor 165/PMK.03/2017. Poin penting dari peraturan menteri keuangan ini adalah menghilangkan sanksi 200% yang diatur Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak.

      Pasfinal merupakan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk menyampaikan harta yang belum diungkap dalam SPH (peserta TA) maupun belum dilaporkan dalam SPT, syarat belum diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).

      Kesempatan ini tidak dibatasi waktu. Artinya boleh dilakukan kapan saja sepanjang belum terbit SP2. Namun, pasfinal hanya terkait dengan pengungkapan harta yang pada tanggal 31 Desember 2015 masih dimiliki.

      Jadi syarat untuk memanfaatkan pasfinal ada dua:

      • harta yang dimiliki pada tanggal 31 Desember 2015 belum dilaporkan;
      • belum diterbitkan SP2

      Fasilitas pasfinal tentu sangat membantu mengurangi beban pajak wajib pajak karena sanksi administrasi sebanyak 200% dari pajak terutang sangat memberatkan wajib pajak. Padahal banyak Wajib Pajak yang belum mengungkapkan harta dalam SPH (peserta TA) bukan berarti bandel.ย 

      Berikut contoh kasus Wajib Pajak yang gagal “meng-amnesti-kan hartanya bukan karena bandel :

      1. terlambat datang ke kantor pajak;
      2. tidak sempat menyampaikan SPH;
      3. bermasalah dengan pembayaran uang tebusan.

      Pada akhir periode amnesti pajak, banyak wajib pajak datang ke kantor pajak. Mereka terlambat mendapatkan informasi amensti pajak. Ada juga yang datang dari luar negeri, khusus datang ke Indonesia untuk memanfaatkan amnesti pajak.

      Dalam kondisi masih belum jelas, pada hari terakhir mereka masih konsultasi. Tentu saja berkas kelengkapan tidak bawa. Beberapa kasus yang seperti ini terjadi di kantor saya.

      Ada juga sih yang datang pada menit-menit terakhir. Kasus seperti ini sedikit tapi saya kira di tempat lain juga ada. Bahkan di kantor pusat kabarnya banyak.

      Pada kasus tidak sempat menyampaikan SPH, sebenarnya Wajib Pajak ada niat mengamnestikan hartanya. Bahkan sudah bayar. Namun SPH tidak disampaikan ke kantor pajak. Atau sudah disampaikan, tetapi dokumen pendukung tidak lengkap sehingga dinyatakan dikembalikan.

      Sedangkan kasus ketiga terkait dengan masalah pembayaran uang tebusan. Ada dua macam, yaitu terkait masalah limitasi pembayaran kartu ATM, dan permasalah ATM.ย 

      Beberapa wajib pajak terpaksa “memangkas daftar harta yang diamnestikan” karena menyesuaikan dengan limitasi pembayaran ATM. Satu dua orang gagal ikut amnesti pajak karena mau bayar di menit-menit terakhir hari amnesti.ย 

      CARA MEMANFAATKAN PASFINAL
      Ada tiga cara memanfaatkan fasilitas pasfinal :

      • Membayar PPh final dengan tarif : 25% (badan), 30% (orang pribadi), dan 12,5 (Wajib Pajak tertentu.ย 
      • Dibayar langsung ke bank dengan menggunakan kode bayar 411128-422;
      • Diungkap melalui SPT Masa PPh Final.


      Nah, bagi yang mau membaca slide PMK lebih lanjut, silakan unduh dari google drive.

      Tata cara pengungkapan pasfinal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-23/PJ/2017.

      SPT Masa PPh Final yang disampaikan oleh Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan:

      1. ditandatangani oleh Wajib Pajak orang pribadi dan tidak dapat dikuasakan;
      2. disampaikan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar; dan
      3. lampiran lengkap.

      SPT Masa Pasfinal dianggap lengkap jika dilampiri :

      1. bukti pelunasan Pajak Penghasilan Final atas Harta Bersih yang dianggap sebagai penghasilan berupa surat setoran pajak dan/ atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pajak;
      2. daftar rincian Harta dan Utang dalam bentuk hardcopy dan softcopy dengan format yang
      3. ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
      4. dokumen pendukung terkait nilai Harta selain kas/ setara kas;
      5. dokumen pendukung Utang, dalam hal terdapat Utang yang diungkapkan; dan
      6. surat kuasa yang sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang undangan yang mengatur mengenai kuasa, dalam hal SPT Masa PPh Final ditandatangani oleh penerima kuasa.
      ย 

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      ย 

      Indonesia Menandatangani Perjanjian Perpajakan Multilateral

      OECD telah melakukan inisiasi gerakan anti penghindaran pajak. Tax treaty bilateral salah satu kelemahan dari aturan perpajakan global. Sejarah tax treaty bilateral memang dari semangat untuk menghilangkan kewenangan aturan domestik. Tujuannya supaya tidak dobel pemajakan. Objek yang sama dipajaki dua negara, negara sumber dan negara domisili.
      ย 
      Karena dibuat dengan kacamata negara per negara, para ahli tax treaty kemudian melihat lubang-lubang yang dapat dimanfaatkan (biasa disebut treaty shoping). Akibatnya penghasilan dapat didesain jadi bebas pajak dimana pun. Kasus Apple, Microsoft, Google, dan perusahaan digital lainnya dengan mudah lolos dari aturan pajak dengan memanfaatkan kelemahan tax treaty.
      ย 
      Pasca kasus perusahaan digital naik ke tingkat dunia, maka OECD kemudian memprakarsai BEPS untuk menutup lubang tax treaty konvensional.ย 
      ย 
      Untuk melengkapi aturan anti penghindaran pajak diantaranya dengan melengkapi tax treaty khusus terkait program BEPS. Namun jika dilakukan secara bilateral maka akan memakan waktu yang sangat panjang dan melelahkan karena banyaknya negara yang terkait. Disampingnya itu, proses pembuatan treaty juga panjang.
      ย 
      Untuk memotong prosedur dan mempersingkat waktu maka tax treaty dibuat Multilateral. Pada tanggal 7 Juni 2017 tax treaty Multilateral ditandatangani oleh 68 negara termasuk Indonesia. Ini adalah penandatanganan tahap pertama!
      ย 
      Menteri Keuangan telah mewakili Indonesia Menandatangani tax treaty tersebut.ย 
      ย 
      Berikut ini adalah sambutan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang ditulis di buku dan disalin di laman Facebook. Saya salin kembali di bawah ini.

      Paris, 7 Juni 2017

      Hari ini Indonesia menandatangani Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) di kantor pusat OECD Paris, Perancis. MLI merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral. ย Dengan 68 negara yang ikut menandatangani hari dan akan segera disusul 30 negara lain, maka Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.

      MLI merupakan upaya bersama secara global untuk mencegah praktik-praktik yang dilakukan wajib pajak/badan usaha untuk mengalihkan keuntungan dan menggerus basis pajak suatu negara atau disebut sebagai “base erosion and profit shifting”.

      Kita harus terus menerus berjuang untuk memerangi penghindaran dan pengalihan pajak oleh pembayar pajak Indonesia, termasuk melalui pengumpulan informasi perpajakan, baik yang ada di Indonesia maupun yang ditempatkan dan disembunyikan di luar Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia ikut dalam kesepakatan pertukaran informasi untuk keperluan perpajakan atau automatic exchange of information. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 2017 yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 70 tahun 2017.

      Tanpa kerjasama internasional, para wajib pajak kita terutama 1-5% terkaya dan badan usaha akan mudah menghindari kewajiban membayar pajak. Bila indonesia tidak mampu mengumpulkan pajak, terutama dari kelompok terkaya dan masyarakat yg mampu, maka kita tidak akan mampu membangun sekolah, madrasah, dan pendidikan yg baik, tidak mampu membayar anggaran kesehatan yang cukup, tidak mampu membayar guru, polisi, tentara, hakim, tidak mampu membantu petani, nelayan, dan usaha kecil, dan Indonesia tidak mampu membangun infrastruktur, air bersih, jalan raya, listrik, pelabuhan, dll.

      Tanpa pajak kita tidak mampu menjaga keutuhan dan kemerdekaan kita, dan tidak mungkin menciptakan indonesia yg maju, adil dan makmur serta bermartabat.

      Sri Mulyani Indrawati.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Boleh alamat eFaktur Pajak tidak sama dengan NPWP

      Boleh alamat eFaktur Pajak tidak sama dengan NPWP

      Berdasarkan Pengumuman nomor PENG-05/PJ.02/2015 Direktur Peraturan Perpajakan I telah menegaskan bahwa e-faktur pajak tetap sah walaupun alamat yang tampil dalam e-faktur pajak berbeda dengan alamat NPWP. Hal terpenting alamat tersebut memang benar adanya.ย 

      ย 
      ย 
      ย 
      Ini diaย PENG-05/PJ.02/2015 dimaksud:
      [sila diklik untuk lebih jelas]
      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
      ย 

      Wajib Pajak Yang Wajib Menyampaikan SPT

      Isilah SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas

      Pada dasarnya setiap wajib pajak yang memiliki NPWP wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke kantor pajak. SPT ini adalah media untuk menyampaikan pajak yang sudah dibayar atau setidaknya penghasilan yang diterima atau diperoleh. Walaupun nihil. Hanya saja SPT yang wajib disampaikan itu bermacam-macam. Terutama bagi wajib pajak yang memiliki usaha. ย Berikut ini adalah SPT yang wajib disampaikan ke kantor pajak berdasarkan penggolongan wajib pajak.



      SPT TAHUNAN:

      • Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
      • Wajib Pajak badan wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

      Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan ย untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.

      Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:

      • penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
      • laporan keuangan sementara; dan
      • Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak.

      Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UndangยญUndang KUP:

      Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.ย 

      Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 243/PMK.03/2014 bahwa pengenaan sanksi administrasi berupa denda tidak dilakukan terhadap:

      1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
      2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
      3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
      4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
      5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
      6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
      7. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
      8. Wajib Pajak lain karena kerusuhan massal, kebakaran, ledakan bom atau aksi terorisme, perang antarsuku, kegagalan sistem informasi administrasi penerimaan negara atau perpajakan, atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.



      SPT MASA PPh
      Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPhย wajib melaporkan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir, yaitu:

      • PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong;
      • PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar sendiri;
      • PPh Pasal 15 yang dipotong;
      • PPh Pasal 15 yang dipotong;
      • PPh Pasal 15 yang dibayar sendiri;
      • PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong;
      • PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong; dan/atau
      • PPh Pasal 25 dibayar

      Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

      Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.



      SPT MASA PPN
      Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


      Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


      Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiriย (biasa disebut PPN KMS) yang telah disetor dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

      Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang ย telah disetor (biasa disebut PPN JLN), dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.



      Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu yang Dikecualikan dari Kewajiban Menyampaikan SPT PPh
      Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

      • Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang PPh; atau
      • Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.

      Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajakย dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.

      Wajib Pajak orang pribadi yangย tidak menjalankan kegiatan usahaย atau tidak melakukan pekerjaan bebasย dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.





      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      ย 

      Jenis, Bentuk, dan Isi SPT

      Isilah SPT Tahunan Anda dengan benar, lengkap, dan jelas!

      Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

      etiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Berikut ini copypasteย dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 243/PMK.03/2014 tentang SPT, khususnya terkait jenis, bentuk, dan isi SPT.

      Pada dasarnya SPT itu dapat dibagi dua:

      • SPT Tahunan
      • SPT Masa
      SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.ย SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
      ย 
      Tapi jika dilihat dari jenis pajak, SPT yang wajib disampaikan ke kantor pajak itu ada dua (juga):
      • SPT PPh
      • SPT PPN
      SPT Tahunan itu sudah pasti SPT Tahunan PPh. Hanya saja, SPT Tahunan dibagi lagi menjadi dua jenis subjek pajak, yaitu:
      • SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (OP)
      • SPT Tahunan PPh Badan
      ย 
      Orang pribadi itu sudah jelas. Maka tidak perlu didefinisikan. Pokoknya orang yang lahir atau dilahirkan. Sedangkan badan adalah badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban menurut hukum yang berlaku. Tetapi secara definisi pajak:

      Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. ย 

      ย 
      menurut bentuknya, SPT terdiri dari SPT dalam bentuk formulir kertas dan SPT dalam bentuk dokumen elektronik. Nah dokumen elektonik ini biasa disebut e-SPT atau yang langsung diisi di web disebut efiling. Jika kita isi langsung di laman pajak maka kita tidak perlu lagi datang ke kantor pajak. Bisa diisi dimana saja, dan kapan saja.
      Isi SPT Tahunan PPh menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 243/PMK.03/2014 harus memuat data:
      • jenis pajak;
      • nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      • Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan;
      • tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
      • jumlah peredaran usaha;
      • jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
      • jumlah Penghasilan Kena Pajak;
      • jumlah pajak yang terutang;
      • jumlah kredit pajak;
      • jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
      • jumlah harta dan kewajiban;
      • tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan
      • data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
      format SPT Tahunan PPh OP untuk yang bukan pengusaha atau tidak punya usaha ada dua:
      sedangkan format SPT Tahunan PPh OP untuk yang memiliki usaha baik kecil maupun besar maka menggunakan FORMULIR 1770.
      ย 
      Pada format Tahunan PPh OP ada yang baru di bagian DAFTAR HARTA dan DAFTAR HUTANG yaitu di 1770-IV atau 1770S-II
      hal yang baru di format SPT 2014 diantaranya adalah kode harta dan kode hutang
      ada kolom baru di SPT Tahunan PPh OP 2014 yaitu kode harta dan kode utang
      ย 
      Daftar kode harta:
      Kas dan Setara Kas:ย 
      011: uang tunai
      012: tabungan
      013: giro
      014: deposito
      019: setara kas lainnya
      Piutang:ย 
      021: piutang
      022: piutang afiliasi (piutang kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh)
      029: piutang lainnya
      Investasi:
      031: saham yang dibeli untuk dijual kembali
      032: saham
      033: obligasi perusahaan
      034: obligasi pemerintah Indonesia (Obligasi Ritel Indonesia atau ORI, surat berharga syariah negara, dll)
      035: surat utang lainnya
      036: reksadana
      037: Instrumen derivatif (right, warran, kontrak berjangka, opsi, dll)
      038: penyertaan modal dalam perusahaan lain yang tidak atas saham meliputi penyertaan modal pada CV, Firma, dan sejenisnya
      039: Investasi lainnya
      Alat Transportasi:
      041: sepeda
      042: sepeda motor
      043: mobil
      049: alat transportasi lainnya
      Harta Bergerak Lainnya:
      051: logam mulia (emas batangan, emas perhiasan, platina batangan, platina perhiasan, logam mulia lainnya)
      052: batu mulia (intan, berlian, batu mulia lainnya)
      053: barang-barang seni dan antik (barang-barang seni, barang-barang antik)
      054: kapal pesiar, pesawat terbang, helikopter, jetski, peralatan olahraga khusus
      055: peralatan elektronik, furnitur
      059: harta bergerak lainnya
      Harta Tidak Bergerak
      061: tanah dan/atau bangunan untuk tempat tinggal.
      062: tanah dan/atau bangunan untuk usaha (toko, pabrik, gudang, dan sejenisnya)
      063: tanah atau lahan untuk usaha (lahan pertanian, perkebunan, perikanan darat, dan sejenisnya)
      069: harta tidak gerak lainnya
      Daftar Kode Utang:
      101 : Utang Bank / Lembaga Keuangan Bukan Bank (KPR, Leasing Kendaraan Bermotor, dan sejenisnya)
      102 : Kartu Kredit
      103 : Utang Afiliasi (Pinjaman dari pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh)
      109 : Utang Lainnya
      SPT Tahunan PPh Badan ada dua jenis, yaitu:
      • FORMULIR 1771ย  untuk yang menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang rupiah
      • FORMULIR 1770$ untuk yang menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang US Dolar.
      pembukuan dalam mata uang selain rupiah wajib hukumnya memiliki ijin dari DJP.
      ย 
      Sedangkan SPT Masa terdiri dari:
      • SPT Masa PPh
      • SPT Masa PPN
      • SPT Masa PPN Pemungut
      ย 
      Isi SPT Masa PPh menurut Peraturan Menteri Keuangan nomorย 243/PMK.03/2014ย harus memuat data:
      • jenis pajak;
      • nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      • Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan;
      • tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
      • jumlah objek pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar;
      • tanggal pembayaran atau penyetoran; dan
      • data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

      Isi SPT Masa PPN menurut Peraturan Menteri Keuangan nomorย 243/PMK.03/2014ย harus memuat data:

      • jenis pajak;
      • nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      • Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan;
      • tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
      • jumlah penyerahan;
      • jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
      • jumlah Pajak Keluaran;
      • jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
      • jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
      • jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
      • tanggal penyetoran; dan
      • data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

      Isi SPT Masa PPN Pemungut menurut Peraturan Menteri Keuangan nomorย 243/PMK.03/2014ย harus memuat data:

      • jenis pajak;
      • nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      • Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan;
      • tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
      • jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
      • jumlah pajak yang dipungut;
      • jumlah pajak yang disetor;
      • tanggal pemungutan;
      • tanggal penyetoran; dan
      • data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

      ย 

      Tandan tangan SPT boleh menggunakan tanda tangan biasa atau yang sering disebut “tanda tangan basah”, boleh juga dengan stempel, dan tanda tangan elektronik. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1b) Undang-Undang KUP:

      Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.ย 

      ย 
      ย 


      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      ย 

      ย 
      ย 

      Contoh Pemotongan PPh Atas Jasa Penyediaan Tenaga Kerja dengan Status Tenaga Kerja Tetap Sebagai Karyawan Perusahaan Penyedia Jasa

      Buku Petunjuk Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh edisi revisi 2013
      SOAL: PT Sinar Mustika merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk segala bidang. Pada bulan April 2013 PT Sinar Mustika mendapatkan permintaan dari PT Amoel untuk menyediakan 10 orang tenaga kerja untuk ditempatkan di bagian pengarsipan PT Amoel.
      Atas permintaan tersebut kemudian dibuat kontrak penyediaan tenaga kerja antara PT Sinar Mustika dengan PT Amoel yang isinya:
      • ย PT Sinar Mustika wajib menyediakan 10 orang tenaga kerja yang terampil dalam bidang pengarsipan;
      • Status kepegawaian atas 10 orang tenaga kerja tersebut tetap sebagai pegawai PT Sinar Mustika;
      • Tenaga kerja tersebut melaksanakan pekerjaan berdasarkan instruksi/perintah yang diberikan oleh PT Sinar Mustika;
      • Gaji, tunjangan, dan hak lain sebagai tenaga kerja atas 10 orang tenaga kerja tersebut menjadi kewajiban PT Sinar Mustika;

      Atas penyediaan tenaga kerja tersebut PT Sinar Mustika berhak mendapatkan pembayaran sebesar Rp20.000.000,00ย  per bulan yang dibayarkan pada tanggal 5 setiap bulannya.
      Jumlah pembayaran sebesar Rp20.000.000,00 tersebut adalah:
      • Untuk fee atas penyediaan tenaga kerja sebesar Rp3.000.000,00;
      • Untuk pembayaran gaji dan tunjangan 10 orang tenaga kerja Rp17.000.000,00 (dilampiri kontrak kerja antara tenaga kerja dengan PT Sinar Mustika dan daftar pembayaran gaji);

      Kontrak penyediaan tenaga kerja antara PT Sinar Mustika dengan PT Amoel berlaku selama 1 tahun terhitung sejak 1 Mei 2013.
      Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
      JAWAB:
      Pembayaran oleh PT Amoel kepada PT Sinar Mustika atas penyediaan tenaga kerja untuk bagian pengarsipan merupakan pembayaran terkait jasa penyediaan tenaga kerja yang termasuk dalam kelompok jenis jasa lain sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 yang atas pembayarannya dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% (dua persen) dari jumlah bruto pembayaran.
      Oleh karena dalam tagihan PT Sinar Mustika kepada PT Amoel telah dipisahkan antara pembayaran gaji, tunjangan, dan hak lain kepada tenaga kerja yang ditempatkan di PT Amoel dengan imbalan (fee) atas penyediaan tenaga kerja tersebut maka jumlah bruto yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah hanya sebesar imbalan (fee) atas penyediaan tenaga kerja tersebut.
      Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran yang dilakukan oleh PT Amoel kepada PT Sinar Mustika sehubungan dengan jasa penyediaan tenaga kerja pada tanggal 5 Mei 2013 adalah:
      2% x Rp3.000.000,00 = Rp60.000,00.
      Kewajiban PT Amoel sebagai Pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut adalah:
      1. melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp60.000,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Sinar Mustika;
      2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat tanggal 10 Juni 2013;
      3. melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23 masa pajak Mei 2013 paling lambat tanggal 20 Juni 2013.
      Tulisan ini adalah salinan Buku Oasis yang diterbitkan DJP dan sudah diposting di pajaktaxes.blogspot.com

      Pembersihan PKP

      Ibarat badan manusia, biasanya makin tua makin banyak penyakit yang mengganggu kesehatannya.ย  Begitu juga dengan administrasi, semakin lama administrasi makin tambun termasuk masalah didalamnya. Karena itu, supaya bisa menjalankan good governance, maka diperlukan upaya pembersihan masalah-masalah yang dapat mengganggu administrasi. Salah satu sumber masalah adalah penyalahgunaan PKP. Kenapa ada oknum yang menyalahgunakan PKP?

      Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini [Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984]. Sebelum berlaku UU No. 42 tahun 2009 Wajib Pajak wajib membuat dua faktur, yaitu faktur komersial yang digunakan untuk keperluan pembukuan, dan kedua faktur pajak yang dibagi lagi menjadi faktur pajak standar, faktur pajak sedernaha, dan faktur pajak gabungan. Khusus faktur pajak standar, harus ada dokumen yang diberi judul “Faktur Pajak Standar”. Faktur pajak khusus digunakan untuk pelaporan di SPT Masa PPN.

      Sejak terbit Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-13/PJ/2010 bahwa faktur pajak dibagi dua yaitu faktur pajak dan faktur pajak gabungan. Sedangkan bentuk dan ukurannya dibebaskan dan disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak. Hal ini diatur di Pasal 3 ayat (1) ย Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.ย PER-13/PJ/2010ย Walaupun bentuk dan ukurannya dibebaskan tetapi dokumen faktur pajak tetap memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu yang diatur di Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984.

      Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak [Pasal 1 angka 23 UU PPN 1984]. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Pertambahan Nilai [PPN]. PPN dipungut oleh penjual dari pembeli. Kepada pembeli diberikan faktur pajak sebagai bukti bahwa pembeli telah membayar pajak. Karena itu, sebenarnya, dari sisi pembeli, ย faktur pajak sama atau setara dengan surat setoran pajak.

      Boleh dibilang, salah satu kelemahan sistem PPN adalah kebebasan yang diberikan oleh Negara kepada PKP untuk membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan. Bandingkan dengan pembuatan dokumen SSP sebagai bukti setoran pajak ke bank persepsi. Harusnya faktur tersebut mencerminkan transaksi sebenarnya. Tetapi dalam praktiknya, ada PKP yang spesial memproduksi faktur pajak untuk diperjualbelikan. Di kalangan internal DJP faktur pajak seperti itu sering disebut faktur pajak palsu.

      Sebagian PKP memang tidak bermotif sebagai produsen faktur pajak palsu, tetapi pengusaha tersebut meminta dikukuhkan PKP untuk keperluan pengadaan / tender dengan pihak pemerintah. Setidaknya sebagai pengusaha yang “seolah-olah pesaing” supaya syarat peserta tender tercukupi. Kabar dari salah satu nara sumber LKPP, pesaing tersebut bisa dipesan satu, dua, atau tiga. Sedangkan kabar dari para pemeriksa pajak mengatakan ada spesialis “penjual bendera” perusahaan yang alamatnya hanya disatu gang tetapi “dihuni” oleh puluhan perusahaan.

      Itulah sebagian alasan pengusaha meminta pengukuhan PKP. Mereka tidak peduli dengan kewajiban penyampaian SPT Masa yang harus dibuat setiap bulan. Toh petugas pajak juga kebingungan mencari alamatnya. Karena pada saat meminta pengukuhan PKP, tidak ada petugas DJP yang mengecek ke lapangan. Mungkin sebagian kecil sih ada, tetapi sebagian besar tidak. Berprasangka baik ๐Ÿ™‚

      Karena itu, di tahun 2012 ini DJP akan membersihkan PKP yang tidak benar. Istilahnya registrasi ulang. Tentu nantinya akan ada pengusaha yang dihapus sebagai PKP. Pengusaha yang bagaimana yang akan dicabut pengukuhan PKPnya? Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-05/PJ/2012, pencabutan PKP dilakukan terhadap :

      • Pengusaha Kena Pajak yang telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai di tempat lain;
      • Pengusaha Kena Pajak yang pindah alamat ke wilayah kerja kantor Direktorat Jenderal Pajak lainnya; atau
      • Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak.

      PKP yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yaitu:
      [1.] PKP dengan status tidak aktif (Non Efektif);
      [2.] PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011;
      [3.] PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang Pajak Keluaran dan Pajak Masukannya nihil untuk Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011;
      [4.] PKP, yang pada Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011 yang pada bagian periode tersebut tidak menyampaikan SPT Masa PPN atau menyampaikan SPT Masa PPN yang Pajak Keluaran dan Pajak Masukannya nihil;
      [5.] PKP yang tidak ditemukan pada waktu pelaksanaan Sensus Pajak Nasional; atau
      [6.] PKP yang tidak diyakini keberadaan dan/atau kegiatan usahanya.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      SKP Secara Jabatan

      Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) KUP bahwa kewajiban wajib pajak dimulai sejak terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Tidak tergantung pada sarana administrasi seperti NPWP. Jika persyaratan subjektif terpenuhi, dan persyaratan objektif pun terpenuhi, maka sejak itulah yang bersangkutan harus melaksanakan ketentuan perpajakan. Dimulai dengan mendaftarkan diri ke kantor pajak.

      Pada prantiknya, banyak yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP karena kebutuhan, misalnya karena mau mengajukan kredit ke bank, atau mau kerja dan ditempat kerja (pemberi kerja) diwajibkan memiliki NPWP. Walaupun belum diterima sebagai pegawai, maka dia dengan sukarela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.

      Untuk contoh pengusaha yang mengajukan kredit, sebenarnya kewajiban subjektif dan objektifnya bisa jadi sudah terpenuhi jauh sebelum dia mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Contoh, Tn Jugala sudah menjadi pengusaha sejak tahun 2000.

      Usahanya cukup sukses dengan berbagai rintangan yang dia hadapi. Karena usahanya semakin maju, dan permintaan pasar sangat tinggi, maka dia perlu modal untuk meningkatkan kapasitas produksinya.

      Maka tahun 2010 dia mengajukan kredit ke bank. Karena ada persyaratan NPWP, sebelum aplikasi kreditnya disetujui, Tn Jugala mendaftarkan diri tahun 2010 ke kantor pajak.

      Pada contoh seperti ini, bisa jadi Tn Jugala seharusnya sudah terdaftar sejak, misalnya, tahun 2003. Tetapi dia baru mendaftarkan diri di tahun 2010. Bandingkan dengan contoh pegawai yang belum-belum punya gaji (berarti persyaratan objektifnya belum cukup) tetapi dia sudah terdaftar dan punya NPWP.

      Dua kondisi ini, menurut logika umum, tidak adil karena Tn Jugala harus sudah membayar pajak sejak tahun 2003.

      Untuk alasan kepastian hukum, UU KUP mengatur bahwa DJP dapat menerbitkan SKPKB sebelum Wajib Pajak diberikan NPWP. Ketentuan ini diatur di Pasal 2 ayat (4a) UU KUP:

      Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

      Perhatikan frase “diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan”. Karena ada kata “secara jabatan” ini maka ada yang berpendapat bahwa ayat ini dapat ditafsirkan secara a contrario bahwa yang dapat mundur 5 tahun ini ada kalau pemberitan NPWP secara jabatan.

      Jika pemberian NPWP secara sukarela maka kewajiban perpajakan dimulai sejak tahun terdaftar.

      Saya termasuk yang tidak setuju dengan pendapat ini. Mari kita baca Pasal 2 ayat (4) UU KUP yang menjadi acuan Pasal 2 ayat (4a) UU KUP diatas:

      Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2)

      Jadi pertanyaannya: jika Wajib Pajak mendaftarkan diri secara sukarela tahun 2010, apakah DJP memilki kewenangan menetapkan NPWP secara jabatan sejak 2006? Teman saya yang “bermazhab” a contrario mengatakan tidak boleh. Alasannya juga untuk kepastian hukum. Tetapi saya tetap berpendapat bahwa DJP memiliki kewenangan tsb!

      Salah satu kalimat penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU KUP :

      Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

      Tulisan bold dan underline dari saya untuk penekanan bahwa syarat “secara jabatan” yang diatur di Pasal 2 ayat (4a) UU KUP adalah data yang diperoleh DJP. Kata “ternyata” juga menyiratkan bahwa Wajib Pajak sebenarnya sudah punya NPWP pada saat DJP memperoleh data.

      Kembali kepada contoh, Tn Jugala mendaftarkan diri tahun 2010, ternyata DJP memperoleh data bahwa tahun 2008 dan 2009 Tn Jugala juga suda memenuhi syarat secara objektif sehingga sejak tahun 2008 kepada Tn Jugala dapat diterbitkan SKPKB. Dan “secara jabatan” DJP menetapkan bahwa Tn Jugala sejak 2008ย  diterbitkan NPWP dan ditagih pajaknya dengan dikeluarkan SKPKB.

      Pendapat saya diperkuat dengan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011:

      Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajakdan/atau dikukuhka sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

      Jika kita memperhatikan bagian menimbang Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011 bahwa peraturan pemerintah ini mengacu pada Pasal 48 UU KUP. Pasal 48 UU KUP hanya ada di UU No. 6 Tahun 1983:

      Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

      Bagian penjelasan Pasal 48 UU KUP berbunyi:

      Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan.

      Dalam hal ini, saya perpendapat bahwa untuk masalah seperti uraian diatas, peraturan pemerintah memperjelas hak DJP dan kewajiban Wajib Pajak. Hak DJP untuk menerbitkan SKP secara jabatan. Sebaliknya kewajiban Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

      Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 harus ditafsirkan tidak bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4a) UU KUP kecuali jika Mahkamah Agung menyatakan sebaliknya.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      TKI di luar negeri

      Minggu ini hampir semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia sedang “hajatan”.
      ย 
      Banyakย  KPP yang memasang tenda yang mengantisipasi lonjakan Wajib Pajak yang datang ke KPP terdekat. Dengan sistem dropbox, Wajib Pajak bisa menyampaikan SPT dimana saja, tidak perlu di KPP terdaftar tapi bisa di KPP terdekat atau ….. terjauh jika sedang dalam perjalanan.
      ย 
      Bukan hanya di KPP, dropbox pun disediakan di pusat-pusat keramaian.

      ย 

      Antusias menyampaikan SPT ternyata bukan hanya Wajib Pajak Dalam Negeri. Bahkan banyak juga para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari penghidupan di negeri orang bersiap-siap menyampaikan SPT.

      Setidaknya ini terpantau dari beberapa email yang masuk ke saya dan banyaknya pertanyaan di milis perpajakan.

      Padahal berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-2/PJ/2009 tentan perlakuan PPh bagi tenaga kerja di Luar Negeri bahwa orang pribadi WNI yang bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam 12 (dua belas) bulan merupakan subjek pajak luar negeri.

      Jika sudah jelas merupakan subjek pajak luar negeri maka status orang pribadi tersebut jadi Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).

      Administrasi perpajakan hanya menjangkau Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Kenapa? Karena memang WPLN itu seperti orang lain.

      Semua penduduk bumi yang jumlahnya milyaran orang merupakan subjek pajak.

      Setiap subjek pajak tersebut dibagi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

      Subjek pajak dalam negeri menurut UU PPh adalah mereka yang tinggal (berada di Indonesia) selama 183 hari dalam 12 bulan.

      Jika kita lahir di Indonesia, maka subjek pajak sudah melekat sejak lahir karena memang berada di Indonesia terus. Hal ini diatur di Pasal 2A UU PPh.

      Karena itu, saya selalu menganjurkan untuk para TKI di luar negeri untuk meminta penghapusan NPWP ke KPP terdaftar.

      Bukan berarti saya kontra dengan DJP tetapi memang aturan yang berlaku begitu, bahwa jika TKI bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 hari maka jadi subjek pajak luar negeri.

      Artinya mereka sebenarnya sudah WPLN. Jika WPLN masih memiliki penghasilan dari Indonesia meka berlaku aturan di Pasal 26, yaitu dipotong dan disetornya PPh Pasal 26 oleh pihak pemberi penghasilan sebesar 20%.

      Mungkin dari kacamata umum terlihat aneh jika “orang Indonesia” menjadi WPLN dan dipotong PPh Pasal 26!

      Hanya saja, banyak juga yang berpendapat bahwa “orang Indonesia” hanya bisa menghapus NPWP jika meninggal dunia.

      Menurut Pasal 2A UU PPh memang kewajiban subjektif dari orang pribadi subjek pajak dalam negeri akan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

      Untuk syarat pertama, meninggal dunia, saya yakin tidak ada perdebatan. Tetapi syarat kedua, meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya terjadi perdebatan.

      Salah satu yang memberatkan adalah ,”Bagaimana meyakinkan orang pribadi tersebut tidak akan kembali lagi ke Indonesia?”

      Terlepas pada perdebatan tersebut, jika TKI di luar negeri tidak boleh menghapus NPWP maka saya anjurkan untuk me”non-efektif”-kan NPWP tersebut.

      Biasa di kantor pajak disebut NE. Status NE memang tidak menghapus NPWP tetapi ada keuntungan bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan yaitu tidak diterbitkan Surat Teguran.

      Secara umum boleh juga dibaca bahwa WP NE boleh tidak menyampaikan SPT. Tata cara penanganan Wajib Pajak non-efektif diatur di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE – 89/PJ/2009.

      Silakan diunduh jika ingin membaca secara utuh.

      Saya kutip aturan-aturan terkait TKI di Luar Negeri :

      2. Wajib Pajak dinyatakan sebagai WP NE apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
      a. ย  selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian SPT Masa dan/atau SPT Tahunan.
      b. tidak diketahui/ditemukan lagi alamatnya.
      c.ย  Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia tetapi belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli warisnya atau belum mengajukan penghapusan NPWP.
      d. secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.
      e. bendahara tidak melakukan pembayaran lagi.
      f.ย  Wajib Pajak badan yang telah bubar tetapi belum ada Akte Pembubarannya atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi badan yang sudah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang).
      g. Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

      ย 

      Tulisan ditebalkan (dibold) oleh saya karena terkait dengan TKI di Luar Negeri. Berikut syarat-syarat permohonan untuk menjadi Wajib Pajak Non Efektif ke KPP.

      Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g mengajukan permohonan sebagai WP NE ke KPP, dengan melampirkan :
      1) surat pernyataan sudah tidak lagi melakukan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
      2) surat pernyataan sudah tidak melakukan pembayaran, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf e, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
      3) surat keterangan dalam proses pembubaran atau likuidasi dari Notaris, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf f.
      4) fotokopi passpor dan kontrak kerja atau dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g.

      ย 

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
      ย 

      ย 

      building construction site work
      Photo by Pixabay on Pexels.com

      Membuat SPT OP

      Apakah anda masih bingung cara mengisi SPT? Atau bahkan masih cari-cari formulir SPT? Jangan khawatir, saya bimbing cara mendapatkannya.

      Pertama, dapatkan file eSPT.

      Jika belum punya silakan unduh :
      1. Form 1770
      Form 1770 adalah SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang memiliki usaha atau pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan. Boleh dibilang, inilah media pelaporan pajak bagi para pengusaha / wiraswasta / juragan / majikan.

      2. Form 1770S
      Form 1770S adalah SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang berstatus pegawai. Inilah media pelaporan pajak bagi para buruh dan pegawai.

      3. Form 1770SS
      Form 1770SS adalah media pelaporan pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000 [ini menurut PER-34/PJ/2010].

      Jadi perbedaan antara 1770S dan 1770SS adalah batasan penghasilan. Jika 1770S tidak ada batasan (unlimited) penghasilan yang diterima oleh pegawai, maka 177SS hanya mereka yang memiliki penghasilan setahun tidak lebih dari enam puluh juta rupiah saja.

      Kalau formulir SPT sudah punya, maka silakan unduh file powerpoint tata cara pengisian SPT. Ada dua file powerpoint, yaitu :
      1. Simulasi Pengisian SPT PPh OP
      2. Simulasi Pengisian 1770 S dan 1770 SS

      File powerpoint diatas bukan buatan saya. Tapi dibuat oleh P2 Humas Kantor Pusat DJP.

      Saya pikir, file seperti ini wajib disebarluaskan untuk membantu para Wajib Pajak.

      Kalau Wajib Pajak bingung membuat SPT, sudah pasti tingkat kepatuhan formal berupa penyampaian SPT akan kecil.

      Bikin SPT masih bingung, terus bayar pajaknya kapan?

      Walaupun tidak semua yang bikin SPT bayar pajak!

      Tetapi ada juga yang bayar pajak tapi tidak lapor SPT, terutama Wajib Pajak yang bayar PPh atas penjualan tanah dan atau bangunan.

      Anda akan dibimbing tahap demi tahap cara pengisian SPT. Bahkan diingatkan bagian mana saja yang harus diisi.

      Tentu saja dalam prakteknya tidak harus “plek” persis sama dengan simulasi dari kantor pusat DJP. Setidaknya mirip-mirip atau bedanya tidak terlalu jauh ๐Ÿ™‚

      Setelah formulir SPT tersedia dan sudah paham cara pembuatannya, maka tahap selanjutnya adalah mengumpulkan bukti potong dan Surat Setoran Pajak [SSP].

      Bukti potong untuk Wajib Pajak pekerja adalah bukti potong yang dibuat oleh pengusaha / majikan / pemberi kerja.

      Biasanya, bendahara pemberi kerja sudah menghitung berapa PPh terutang (formulir A1). Tinggal pindahkan angka-angka dari A1 ke 1770S atau 1770SS.

      Setelah membuat SPT dan ternyata hasil perhitungan SPT tersebut kurang bayar, maka kekurangan tersebut harus dilunasi sebelum SPT tersebut dilaporkan.

      Bagi Wajib Pajak orang pribadi, pelaporan SPT paling lambat 31 Maret. B

      isa saja kita setor kekurangan PPh pada tanggal 31 Maret pagi dan melaporkan pada sore harinya, tapi harus diantisipasi antrian di bank persepsi saat akan bayar pajak!

      Jangan-jangan karena panjangnya antrian ditambah ada gangguan on-line, maka tidak sempet bayar tanggal tersebut.

      Posting terkait cara pembuatan SPT OP :
      1. Membuat Daftar Harta
      2. Menghitung Penghasilan dari Biaya Hidup
      3. Melaporkan Penghasilan Istri
      4. Bukti Potong sebagai Kredit Pajak

      selamat membuat SPT
      Kalau mau format SPT dalam bentuk Excel, silakan diunduh :
      1. form 1770
      2. form 1770S
      3. form 1770SS

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Bayar pajak

      Sudah lama kantor pajak [DJP] tidak menerima pembayaran pajak. DJP adalah administrator perpajakan khususnya pajak-pajak pusat. Untuk tahun APBN 2010 ini, target penerimaan pajak sekitar 743 trilyun rupiah.
      Penerimaan pajak tersebut adalah penerimaan bersih setelah dikurangi dengan restitusi yang minta oleh Wajib Pajak.

      Untuk mengamankan hal tersebut, saya kira berkaitan juga dengan kasus di Surabaya DJP sudah mengeluarkan Surat Edaran No. 67/PJ/2010 supaya Wajib Pajak :
      [1]. melakukan pembayaran langsung ke bank persepsi, tidak melalui perantara, dan jangan menitipkan pembayaran pajak kepada pegawai instansi/institusi/konsultan terkait;

      [2]. melakukan konfirmasi piutang pajak kepada KPP terkait.

      Berkaitan dengan himbauan yang kedua, banyak cerita dari para petugas juru sita yang melakukan penagihan pajak.

      Antara lain bahwa Wajib Pajak merasa sudah membayar pajak tapi saat minta SSP (bukti bayar pajak) si Wajib Pajak tidak bisa menunjukkan.

      “Pokoknya saya sudah melunasi hutang!” Kira-kira begitu jawaban Wajib Pajak.

      Nah, konfirmasi piutang pajak ke KPP terkait merupakan rekonsiliasi piutang pajak antara kantor pajak dan Wajib Pajak supaya petugas juru sita tidak “bersitegang” dengan Wajib Pajak.

      Saya kira, Wajib Pajak yang menitipkan pembayaran pajak kepada orang lain, wajib hukumnya melakukan konfirmasi kepada KPP terkait apakah pajak yang dibayar sudah tercatat di kantor pajak atau belum.

      Konfirmasi dilakukan dengan mengirim surat langsung ditujukan kepada Kepala KPP Pratama dimana Wajib Pajak terdaftar. Surat tersebut dilengkapi dengan salinan (copy) bukti bayar, jika ada.

      Dianjurkan bagi Wajib Pajak yang membayar :
      [a]. BPHTB (biasa nitip ke Notaris),
      [b]. PPh Final atas penjualan tanah dan atau bangunan (ini juga sering dititipkan ke Notaris), dan
      [c]. PBB (kalo ini sering dititipkan ke petugas desa / kelurahan / pemda)
      untuk mengirim surat konfirmasi ke KPP terkait.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Dipecat Karena Suap

      Konon, pada saat sosialisasi untuk para perwira di Departemen Peratahan (waktu itu), pembicara dari DJP kira-kira seperti ini, “Sejak ada remunerasi di DJP, pegawai yang baru masuk sekarang di gaji empat juta.”
      Sebagian perwira tentu kaget. Kemudian pembicara meneruskan, “Tentu saja gaji sebesar itu dibarengi dengan reward dan punishment. Jika macam-macam pasti GET OUT!”.

      Pembicara yang mantan Direktur KITSDA tersebut tentu tahu benar sudah berapa pagawai yang dipecat dengan tidak hormat gara-gara menerima uang dari Wajib Pajak.

      Saya sendiri mendengar langsung dari pejabat KITSDA bahwa beberapa orang dipecat gara-gara terima uang dari Wajib Pajak. Tidak besar, cukup sekitar jutaan rupiah. Bandingkan dengan kasus “GT”!

      KITSDA adalah unit kepatuhan internal DJP. Unit ini berwenang menginvestigasi dan memberikan hukuman administrasi bagi pegawai DJP.

      Selain KITSDA, sebenarnya ada IBI, yaitu unit investigasi internal di tingkat Kementrian. Kedua institusi ini sangat ditakuti oleh pegawai DJP. Kadang sengaja kanwil memberikan informasi “semu” tentang operasi KITSDA ke kantor pajak lain supaya pegawai lebih hati-hati heheheh ……

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Rumah Orang Pajak

      Media akhir-akhir ini memiliki daya jual tinggi. Ada rekayasa kasus yang melibatkan para petinggi Polri. Tentu ini menarik karena para Jenderal Polri sedang “bertarung”.
      Mudah-mudahan ada efek domino atas kasus ini seperti harapan Ketua Mahkamah Konstitusi pagi tadi.

      Kasus ini lebih menarik karena tersangkanya adalah seorang pegawai pajak rendahan yang memiliki rekening puluhan milyar.

      Hari ini malah terbuka bahwa Gayus Tambunan juga punya rumah mewah di Perumahan Park View Taman Puspa III Blok ZE 6 No. 1 Kelapa Gading [sumber MI].

      Saya kira, kalau informasi rumah ini benar, maka ada rekening lain yang tidak terlaporkan oleh bank. Beli rumah milyaran rupiah seperti itu dulu emang pakai tunai?

      Apakah semua pegawai pajak seperti Gayus Tambunan? Tentu tidak!

      Bahkan sebagian petugas pajak kaget dengan pemberitaan itu. Mungkin komentar temen-temen petugas pajak, “Kok bisa?”

      Saya berharap pembaca berita tidak pukul rata.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Flow Chat SPT

      Bagaimana perjalanan SPT Wajib Pajak sebelum diarsip?
      Bagi yang berminat, silakan perhatikan flow chat diatas. Supaya lebih jelas, mungkin bisa diperbesar dengan cara diklik dibagian gambar.
      Bukti bahwa kita sudah lapor SPT adalah :
      [1]. Bukti Kirim via Pos
      [2]. Tanda Terima SPT Tahunan bagi SPT yang diterima via Drop Box
      [3]. Bukti Penerimaan Surat (BPS) bagi SPT yang diterima di KPP
      Account Representative (AR) yang bertugas melakukan penelitian SPT kita akan membuat Surat Permintaan Kelengkapan SPT jika SPT kita dianggap belum lengkap. Surat ini ditandatangani oleh Kepala Kantor.ย 
      Jika tidak mendapat surat dari KPP, berarti SPT kita sudah diarsip di gudang atau sudah discan di Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan. Hanya saja, saya sendiri tidak tahu berapa lama SPT sampai di gudang.
      Salaam
      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      SPT anda benar

      Bulan Februari dan Maret biasanya banyak yang bertanya masalah SPT. Khusus pegawai DJP saat terakhir melaporkan SPT “dimajukan” menjadi bulan Febuari. Maksudnya supaya memberi contoh kepada Wajib Pajak yang lain. Khusus tahun ini tanggal 23 Februari 2010 adalah tanggal terakhir lapor SPT. Sepanjang yang saya tahu dari teman-teman DJP, kebanyakan menyampaikan SPT via Kantor Pos atau Tiki. Jarang ada yang mengirim langsung ke KPP atau drop box. Mungkin ini kebiasaan untuk mendapatkan bukti kirim sebagai tanda bahwa yang bersangkutan sudah lapor.

      Banyak yang bertanya, “Formulir mana yang harus saya gunakan? Sebenarnya di atas form 1770, 1770S, dan 1770SS sudah disebutkan peruntukkan masing-masing formulir. Tetapi masih banyak yang bertanya. Bahkan seorang teman sekantor juga masih “berdebat” apakah pakai form 1770S atau 1770SS. Saya sendiri dari dulu sampai sekarang menggunakan form 1770S. Tetapi ada juga yang berpendapat cukup pakai 1770SS.
      Sebenarnya masalah formulir tidak perlu dipermasalah. Tidak ada satu pun sanksi yang dapat diberikan kepada Wajib Pajak gara-gara salah formulir! Ini yang menjadi acuan saya. Bahkan secara berkelakar seorang teman pernah bilang, “Masih untung lapor.”
      Permasalah di SPT itu dari dulu sampai sekarang adalah masalah isi. Angka-angka yang dilaporkan di SPT itulah yang menjadi masalah. Bukan formulir. Saya sudah jadi pemeriksa pajak sejak tahun 1995, tapi saya tidak pernah mempermasalahkan format SPT. Saya juga sampai sekarang belum pernah mendengar ada teman pemeriksa pajak yang mempermasalahkan format SPT.
      Jadi, menurut saya, tidak perlu ragu lapor SPT. Form mana saja yang paling disukai. Yang penting isinya benar. Angka-angkanya mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Tentu saran ini tidak berlaku bagi mereka yang melakukan pekerjaan bebas. Apalagi yang melakukan pembukuan. Hal ini berkaitan dengan pengakuan biaya usaha. Biaya-biaya usaha tentu harus dirinci supaya petugas bisa mengerti darimana penghasilan neto dihitung.
      Setelah SPT anda diterima oleh kantor pajak, maka SPT tersebut akan diteliti. Bagi mereka yang menyampaikan SPT via Pos, Tiki, Dropbox, dan KPP lain (selain KPP dimana kita terdaftar) maka SPT tersebut “dianggap benar” sepanjang :
      [1]. Tidak ada surat dari KPP terdaftar yang meminta kelengkapan SPT.
      Jika ada surat permintaan kelengkapan lampiran SPT, maka SPT kita dianggap belum disampaikan karena dianggap belum lengkap. Kita wajib melengkapi sesuai permintaan dari KPP terdaftar.
      [2]. Tidak ada pemeriksaan.
      Tentu tidak setiap SPT yang disampaikan ke KPP akan diperiksa. Hanya Wajib Pajak tertentu yang diperiksa sesuai kebijakan pemeriksaan dari Kantor Pusat DJP. Nah, bagi mereka yang diperiksa oleh pemeriksa pajak, maka pendapat akhir ada di pemeriksa pajak. Koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak merupakan “pembetulan” fiskus atas SPT Wajib Pajak!
      [3]. Tidak ada himbauan.
      Berkaitan dengan data pihak ketiga yang makin lengkap dimiliki kantor pajak, bisa saja kita mendapatkan Surat Himbauan dari KPP terdaftar bahwa SPT kita belum benar. Dan kita disurut melakukan pembetulan. Seharusnya, kantor pajak menyebutkan dasar kenapa kantor pajak menganggap SPT kita belum benar. Pada dasarnya, jika tidak ada data pembanding, SPT kita tetap dianggap benar. Kantor pajak harus memiliki data pembanding yang membuktikan bahwa SPT kita tidak benar. Berbeda dengan pemeriksaan, Surat Hibauan tentu meminta kesukarelaan atau kesadaran dari Wajib Pajak.
      Sudahkah anda menyampaikan SPT?
      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Penyampaian SPT

      Tingkat kepatuhan Wajib Pajak biasanya diukur dengan kepatuhan menyampaikan SPT, baik SPT Masa maupun SPT Tahunan. Karena itu, UU KUP memberikan sanksi bagi mereka yang tidak menyampaikan SPT ke kantor pajak. Untuk SPT Tahunan yang tidak disampaikan, Wajib Pajak akan diberi sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah).

      Sejak dulu, sebenarnya tidak ada kewajiban kantor pajak mengirim blangko SPT karena Wajib Pajak dibebani kewajiban mengambil sendiri. Tetapi prakteknya, blangko SPT dikirim. Nah … mulai tahun sekarang blangko SPT tidak dikirim tapi harus diambil sesuai peraturan yang ada.
      Akan tetapi,ย untuk hal-hal tertentu kantor pajak akan mengirim blangko SPT. Sesuai Surat Edaran No. SE-1/PJ/2010 bahwa kantor pelayanan pajak [KPP] diminta mengirim blangko [formulir] SPT jika tingkat pengambilan formulir dianggap rendah. Pengiriman formulir SPT OPย dilakukan kepada :
      [1]. Pemberi kerja, dan
      [2]. Bendaharawan Pemerintah
      Selain itu, tempat pengambilan formulir akan disediakan di tempat-tempat strategisย seperti: mall, statsiun, bandara, pasar, dan lainnya. Itu maunya kantor pusat.
      Kita tunggu saja,ย apakah petugas pajak akan berkantor di mall?
      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Tempat Pengambilan SPT

      Pasal 3 ayat (2) UU KUP:
      Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
      Jadi, mulai sekarang jangan tunggu kiriman SPT dari kantor pajak J
      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Wajib Pajak Non Efektif

      Sesama pegawai DJP mungkin tidak asing lagi dengan istilah WPNE. Ya, WPNE adalah singkatan dari Wajib Pajak Non Efektif. Bulan September kemarin, Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE-89/PJ/2009 tentang Wajib Pajak Non Efektif [WPNE].
      Berikut ini adalah salinan SE tersebut yang jadi catatan saya :

      Wajib Pajak Non Efektif yang selanjutnya disebut dengan WP NE adalah Wajib Pajak yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang nantinya dapat diaktifkan kembali.

      Wajib Pajak dinyatakan sebagai WP NE apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
      [a.] selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian SPT Masa dan/atau SPT Tahunan.
      Nih WP secara administratif perpajakan telah dinyatakan membandel ๐Ÿ˜€ Saya kira, WP yang begini percuma saja daftar NPWP. Nyusah-nyusahin ajah.

      [b.] tidak diketahui/ditemukan lagi alamatnya.
      Biasanya kirt nyari-nyari alamat WP sampai ke tingkat RT. Kalau Pak/Ibu RT sajah sudah tidak kenal, maka anggap saja alamat bodong atau fiktif. Tapi lucunya, ada WP yang tidak ditemukan di alamat terdaftar tetapi setiap bulan dia rajin melaporkan SPT. Dimana gerangan? Nah, kalau pemeriksa jaman dulu biasanya ngintipnya justru di kantor pajak. Pas dia melaporkan SPT, si pengantar SPT ditanya alamat yang benarnya, baru didatangi.

      [c.] Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia tetapi belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli warisnya atau belum mengajukan penghapusan NPWP.
      Belum ada pemberitahuan tapi kantor pajak sudah tahu bahwa si WP meninggal. Mungkin maksudnya informasi secara lisan.

      [d.] secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.
      Wajib Pajak dalam keadaan bangkrut, atau bisa juga pindah usaha di tempat baru. Dan di tempat lama tidak ada kegiatan.

      [e.] bendahara tidak melakukan pembayaran lagi.
      Saya kira bendahara yang seperti ini adalah bendahara yang sudah pensiun sebagai bendahara.

      [f.] Wajib Pajak badan yang telah bubar tetapi belum ada Akte Pembubarannya atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi badan yang sudah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang).
      Pada kenyataannya memang Wajib Pajak tersebut sudah bubar. Tapi belum ada dokumen formalitas berupa Akta Pembubaran. Dokumen ini bisa dibuat oleh Notaris

      [g.] Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
      Saya kira subjek pajaknya sudah berubah dari subjek pajak dalam negeri menjadi subjek pajak luar negeri. Nah ini yang sering saya anjurkan bagi para pekerja Indonesia di Luar Negeri. Mungkin saja waktu di Indonesia, yang bersangkutan sudah memiliki NPWP, tapi karena menurut perpajakan sudah bukan “penduduk” Indonesia lagi, maka sebaiknya para pekerja meminta status WPNE ke kantor pajak. Surat Edaran inilah salah satu dasar permintaan status WPNE.

      WP NE dapat berubah status menjadi Wajib Pajak efektif apabila :
      a. menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;
      b. melakukan pembayaran pajak;
      c. diketahui adanya kegiatan usaha dari Wajib Pajak;
      d. diketahui alamat WP; atau
      e. mengajukan permohonan untuk diaktifkan kembali.

      Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan label โ€œNEโ€ tetap tercantum dalam Master File Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
      a. tidak diterbitkan Surat Teguran sekalipun Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;

      b. tidak turut diawasi pembayaran masa/bulanannya dan tidak diterbitkan STP atas
      sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Tempat Terutang PPN

      Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan BKP atau JKP. Objek pajaknya penyerahan BKP atau JKP.
      Dan terutang di tempat penyerahan BKP atau JKP walaupun penyerahan tersebut masih dalam satu entitas seperti penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya, dan penyerahan antar cabang. Dasarnya adalah Pasal 12 ayat (1) UU PPN yang berbunyi sebagai berikut :

      Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c dan huruf f terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

      Lebih lanjut Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 143 tahun 2000 mengatur :

      (1) Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

      (2) Tempat Pajak terutang atas :
      a. Impor Barang Kena Pajak, adalah di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;

      b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak;

      c. Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

      Tetapi kita bisa menghindari pengenaan PPN atas penyerahan intra perusahaan.

      Artinya penyerahan dalam satu perusahaan seperti penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antar cabang tidak terutang PPN.

      Caranya dengan meminta pemusatan ke kantor pajak. Persyaratan pemusatan diatur di Pasal 4 KEP – 128/PJ./2003

      (1) Permohonan untuk penetapan salah satu tempat usaha sebagai tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak selain Pedagang Eceran dan Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPn BM dengan Media Elektronik (e-filing) dapat dikabulkan apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
      a. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipusatkan tidak menyelenggarakan administrasi penjualan dan administrasi pembelian, semua administrasi dilakukan di tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang;

      b. Fungsi tempat kegiatan usaha yang dipusatkan hanya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli barang atau penerima jasa atas perintah tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai;

      c. Semua Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan diterbitkan oleh tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang;

      d. Tempat kegiatan usaha yang dipusatkan tidak membuat Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan, kecuali Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan yang dicetak berdasarkan data yang diinput secara on line dari Kantor Pusat atau tempat pemusatannya; dan

      e. Kantor Cabang Unit yang dipusatkan hanya mengadministrasi persediaan dan administrasi kegiatan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak untuk keperluan operasional kantor atau unit bersangkutan yang dananya berasal dari kas-kecil (petty cash).

      (2) Permohonan tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai bagi Pedagang Eceran dapat dikabulkan apabila kegiatan dan administrasi pembelian untuk jaringan penjualan yang tersebar di berbagai tempat, dipusatkan di tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai dimohonkan.

      Khusus bagi mereka yang terdaftar di kantor pajak yang berada di Kanwil WP Besar, Kanwil Khusus, serta KPP Madya diseluruh Indonesia, dianjurkan terpusat di pusat atau pemusatan.

      Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2009 bahwa semua Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Madya dan KPP WP Besar diwajibkan melakukan pemusatan kecuali Wajib Pajak belum siap. Berikut kutipan Pasal 3 ayat (1) PER-15/PJ/2009 :

      cag!

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      88 Hari Menuju Lelang

      Tidak ada yang pasti kecuali dua hal : kematian dan pajak. Seandainya orang yang berutang kepada Negara (utang pajak) meninggal dunia dan pajak-pajaknya belum dilunasi maka atas warisan yang belum terbagi pun bisa disita kemudian dilelang untuk membayar pajak.
      Tetapi lelang juga bisa dilakukan kepada Wajib Pajak yang belum meninggal. Dan dalam kondisi normal, harta kekayaan Wajib Pajak akan dilelang sekurang-kurangnya 88 hari setelah produk hukum diterbitkan atau diterima.

      Jika satu bulan 30 hari maka formulanya sebagai berikut 30 + 7 + 21 + 2 + 14 + 14 = 88. Nah dari mana angka-angka tersebut? Berikut contekan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 tanggal 06 Februari 2008.

      Jatuh tempo pembayaran PPh dan PPN adalah satu bulan sejak tanggal penerbitan. Produk hukum yang dimaksud adalah
      (1) Surat Tagihan Pajak (STP),
      (2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta
      (3) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan
      (4) Surat Keputusan Pembetulan,
      (5) Surat Keputusan Keberatan,
      (6) Putusan Banding, serta
      (7) Putusan Peninjauan Kembali,
      yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

      Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka Waktu pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.

      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak untuk jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

      Sedangkan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jatuh tempo pembayaran pajak sebagai berikut:

      (1) Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB)
      (2)Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKPKB),
      (3) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta
      (4) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(STB), dan
      (5) Surat Keputusan Pembetulan,
      (6) Surat Keputusan Keberatan,
      (7) Putusan Banding, serta
      (8) Putusan Peninjauan Kembali,
      yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

      Nah, setalah satu bulan lewat dan pajak yang ditetapkan belum juga dibayar oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, maka setelah 7 (tujuh) hari akan keluar Surat Teguran. Tujuh hari tersebut dihitung :

      1. sejak saat jatuh tempo pelunasan
      2. sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan
      3. sejak saat jatuh tempo pengajuan banding
      4. sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding
      5. sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut.

      Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi [juga] oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.

      Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak dan utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, diterbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

      Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang.

      Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan [lelang] barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara.

      Siapa Penanggung Pajak yang harus melunasi pajak negara? Berikut adakah definisi UU KUP,

      Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Termasuk “wakil” yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiba Wajib Pajak. Siapa sebenarnya wakil menurut UU KUP? Berikut adalah Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP

      (1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal :
      a. badan oleh pengurus;
      b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
      c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
      d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
      e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
      f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.

      (2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

      Nah, jika ingin baca lebih lengkap, silakan unduh saja Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 disini.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Penghapusan NPWP

      Banyak orang memiliki motivasi lain ketika mengajukan pendaftara NPWP. Contohnya, seorang yang membeli kendaraan angkutan umum seperti taksi atau angkutan kota mengajukan NPWP karena akan mengajukan restitusi atas PPN sedan kendaraan yang dia beli. Seorang calon nasabah bank mendaftarakan diri untuk memperoleh NPWP karena akan mengajukan permohonan kucuran kredit ke bank. Tetapi setelah mendapatkan NPWP dan maksudnya sudah terlaksana, NPWP tidak dicabut sehingga kantor pajak setiap tahun mengirim formulir SPT dan mengirim surat teguran.

      Banyak Wajib Pajak awam yang kebingungan setelah mendapatkan NPWP. Apa kewajiban perpajakan setelah memiliki NPWP? Sebenarnya, bagi Wajib Pajak pekerja (non-usahawan) kewajiban perpajakan hanya satu, yaitu mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Itu pun tinggal menyalin data-data yang ada di bukti potong yang telah dibuat oleh pemberi kerja atau bendaharawan. Data yang dimaksud adalah penghasilan kotor yang diterima selama setahun, penghasilan bersih, dan pajak terutang yang telah dipotong. Sedernana ko. Apalagi sekarang ada SPT โ€œsangat sederhanaโ€ yaitu form 1770SS. Cuma selembar!

      Bagi mereka yang sudah memiliki NPWP tetapi sudah tidak memiliki usaha atau pekerjaan lagi, lebih baik mengajukan permohonan pencabutan NPWP. Pencabutan NPWP diperlukan untuk menghindari penerbitan STP (surat tagihan pajak) karena tidak melaporkan SPT. Denda administrasi karena tidak melaporkan SPT mulai Rp.100.000,- sampai dengan Rp.1.000.000,- Padahal ini hanyalah masalah administratif saja.

      Penghapusan NPWP dapat dilakukan berdasarkan:
      a. Permohonan Wajib Pajak atau Kuasanya; atau
      b. Hasil analisis data dan penelitian terhadap administrasi perpajakan oleh Petugas Pajak.

      Baik karena adanya permohonan penghapusan NPWP maupun hasil penelitian terhadap administrasi perpajakan, NPWP akan dihapuskan setelah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas fungsional pemeriksa pajak untuk memastikan bahwa NPWP memang โ€œlayakโ€ dicabut dan telah memenuhi syarat.

      Pasal 2 ayat (6) UU KUP,

      โ€œPenghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:

      a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

      b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;

      c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau

      d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

      Syarat penghapusan dan pencabutan NPWP:
      [a.] WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotocopy akte/laporan kematian dari instansi yang berwenang;

      [b.] Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;

      [c.] Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subyek Pajak apabila sudah selesai dibagi disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;

      [d.] Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI pensiun dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak;

      [e.] Karyawan yang tidak memiliki usaha atau pekerjaan bebas dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak yaitu yang penghasilannya di bawah PTKP;

      [f.] Bendahara Pemerintah/Bendahara Proyek yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena yang bersangkutan sudah tidak lagi ditunjuk menjadi bendahara;

      [g.] Telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

      [h.] Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP untuk menentukan NPWP yang dapat digunakan sebagai sarana administratif pemenuhan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

      [i.] WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;

      [j.] Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Up-date NPWP

      Pada saat mengisi formulir pendaftaran NPWP, data-data yang diisikan tentunya data yang ada saat daftar. Pada perjalanan usaha, mungkin saja datanya sudah berubah.
      Contoh yang paling sering adalah tempat usaha. Bisa jadi pada saat daftar kita punya kios di Mall A, ternyata kios tersebut tidak laku atau sepi pembeli sehingga tempat usaha kita pindah ke Mall B.
      Otomatis data tempat usaha sudah tidak benar lagi. Karena itu, salah satu kewajiban Wajib Pajak setelah mendapat NPWP adalah memperbaharui data sehingga data di kantor pajak selalu up-to-date.

      Berikut adalah kondisi yang harus dilaporkan:
      [a.] Perbaikan data karena kesalahan data hasil komputer;

      [b.] Perubahan nama WP karena penggantian nama, disyaratkan adanya keterangan dari instansi yang berwenang;

      [c.] Perubahan alamat WP karena perpindahan tempat tinggal;

      [d.] Perubahan NPWP karena adanya kesalahan nomor (misalnya NPWP cabang tidak sama dengan NPWP Pusat);

      [e.] Perubahan status usaha WP dilampiri pernyataan tertulis dari WP atau fotocopy akte perubahan;

      [f.] Perubahan jenis usaha karena ada perubahan kegiatan usaha WP;

      [g.] Perubahan bentuk Badan;

      [h.] Perubahan jenis pajak karena sesuatu hal yang mengakibatkan kewajiban jenis pajaknya berubah;

      [i.] Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan NPPKP karena dipenuhinya persyaratan yang ditentukan;

      Pembaruan data diatas bisa langsung melalui formulir SPT Tahunan. Biasanya beserta SPT Tahunan, dikirim juga selembar formulir perubahan data yang harus dilampirkan di SPT Tahunan. Selian itu, bisa pula dengan formulir khusus seperti formulir pendaftaran NPWP.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com

      Mendapatkan NPWP

      Pasal 2 ayat (1) UU KUP, โ€œ

      Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak

      .โ€

      Penjelasan dari pasal tersebut, diantaranya, โ€œPersyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

      Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.โ€

      Karena RUU PPh sampai dengan hari ini belum selesai dibahas di DPR (setahu saya sudah dimasukkan sejak tahun 2005), maka bagaimana syarat subjektif dan syarat objektif lebih baik menunggu perubahan terakhir UU PPh 1984. Jadi kita langsung saja ke syarat-syarat memperoleh NPWP.

      1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
      Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.

      2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
      Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
      Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

      3. Untuk WP Badan:
      Fotocopy akte pendirian;
      Fotocopy KTP salah seorang pengurus;
      Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.

      4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
      Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
      Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.

      5. Apabila WP pemohon berstatus cabang:
      Fotocopy kartu NPWP atau Bukti Pendaftaran WP Kantor Pusatnya.

      [sumber : Buku Informasi Perpajakan 2004]

      Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, pendaftar juga harus mengisi formulir yang telah disediakan. Bagi pendaftar yang langsung datang ke KPP, formulir yang diperlukan bisa diminta langsung ke KPP. Dan formulir tersebut โ€œwajib gratisโ€. Formulir tersebut diisi dan ditandatangani oleh pendaftar. Jika pendaftar orang lain, kuasa atas nama orang lain, maka harus ada surat kuasa dari orang yang dimaksud. Formulir dan syarat-syaratnya akan diteliti saat diterim oleh petugas di KPP. Jika telah lengkap, maka akan diproses lebih lanjut. Sehari kemudian (jika tidak ada gangguan teknis seperti listrik mati), kartu NPWP sudah bisa didapatkan [lihat SOP].

      Istilah Usahawan
      Wajib Pajak Orang Pribadi non-usahawan adalah Wajib Pajak karyawan yang akan mendaftarkan diri. Istilah usahawan tidak hanya diperuntukan bagi mereka yang memiliki penghasilan besar saja. Orang pribadi yang memiliki kios, warung, atau bahkan pedagang lapak sekalipun bisa disebut usahawan. Seorang usahawan adalah seorang yang independen. Istilah lain yang sejenis dengan usahawan adalah majikan, dan pengusaha.

      Wajib Pajak Orang Pribadi terbagi dua, yaitu karyawan dan majikan. Karyawan adalah orang yang bekerja pada orang lain. Penghasilannya biasa disebut gaji atau upah. Atas penghasilan ini, sekarang, wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun oleh majikan telah dipotong dan dilaporkan. Jika kita hanya memiliki satu pemberi kerja, satu majikan, maka kita tidak perlu khawatir karena kewajiban perpajakan kita hanya membuat SPT, sedangkan kewajiban membayar PPh sudah โ€œdidelegasikanโ€ kepada majikan. Jika ada kekurangan pembayaran, kewajiban ada dipihak majikan.

      Tetapi jika kita memili dua sumber penghasilan, dua majikan, satu majikan tetapi nyambi usaha kecil-kecilan, atau satu majikan tetapi suami dan istri bekerja, maka pasti akan ada kekurangan pajak penghasilan yang harus kita bayar pada akhir tahun. Dengan demikian, kewajiban kita lain selain membuat SPT.

      Tanda Garis Miring ( / )
      Garis miring pada persyaratan โ€œKTP/Kartu Keluarga/SIM/Pasporโ€ diatas bisa diartikan sebagai โ€œatauโ€. Artinya, persyaratan untuk mendapatkan NPWP bisa dengan hanya fotokopi KTP, hanya dengan fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi SIM atau hanya dengan fotokopi Paspor. Yang terakhir mungkin bagi NPWP warga negara asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari.

      Surat Izin Usaha
      Tidak perlu dipusingkan dengan persyaratan โ€œSurat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenangโ€. Jika memang tidak punya surat ijin, lebih baik bikin surat pernyataan saja bahwa pendaftar belum memiliki surat ijin dari Pemda setempat. Tetapi jika petugasnya ngotot mengharuskan adanya surat ijin, bisa dibikin dari surat keterangan dari Desa atau Lurah. Ketentuan instansi yang berwenang tidak bisa dipastikan. Bisa perdagangan, dinas perindustrian, dinas pariwisata, atau dinas pertambahan. Bahkan bisa pula dari keluarahan.

      Pengurus WP Badan
      Pengurus WP Badan bisa komisaris, presiden direktur, direktur, ketua, pesero aktif, anggota firma, atau istilah lain yang digunakan oleh pendaftar. Pengurus ini adalah orang yang bertanggung jawab bagi kewajiban perpajakan, baik langsung atau tidak langsung. Walaupun tidak memiliki jabatan dalam badan tersebut, tetapi seseorang bisa disebut pengurus jika mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan/badan.

      Khusus untuk pemegang saham, walaupun sedikit, ada kewajiban memiliki NPWP. Siapapun yang memiliki saham atas perusahan yang aktif, wajib memiliki NPWP. Karena itu, bagi pengurus yang pemegang saham, bisa sekaligus minta NPWP pemegang saham.

      Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com